BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Faktor-Faktor Penyebab...
-
Upload
nguyenthuy -
Category
Documents
-
view
225 -
download
0
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Faktor-Faktor Penyebab...
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Faktor-Faktor Penyebab Penyalahgunaan Narkotika
Bukan lagi istilah asing bagi masyarakat mengingat begitu banyaknya,
berita baik dari media cetak, maupun elektronik yang memberitakan tentang
pengedar dan penyalahguna narkotika, dan bagaimana korban dari berbagai
kalangan dan usia berjatuhan akibat penggunaannya. Ada beberapa faktor
seseorang melakukan tindak pidana narkotika penyebab penyalahgunaan
narkotika dapat di kelompokan.
1. Faktor Internal Pelaku
Ada beberapa macam penyebab kejiwaan yang dapat mendorong sesorang
terjerumus kedalam tindak pidana narkotika,penyebab internal,yaitu :
a. Perasaan egois
Merupakan sifat yang di miliki oleh setiap orang sifat ini sering kali
mendominir perilaku seseorang secara tanpa sadar, demikian juga bagian
orang yang berhubungan dengan narkotika/para pengguna dan pengedar
narkotika, begitu juga dengan orang yang terlibat dengan narkoba atau
para pengguna dan pengedar narkoba. Suatu waktu ketika rasa egois dapat
mendorong seseorang untuk memiliki dan atau menikmati secara penuh
apa yang dapat diperoleh dari narkoba. 10
b. Kehendak ingin bebas
10 A.W. Widijaya. 1985. Masalah Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika.
Penerbit Armico. Bandung. Hal. 25
15
“Sifat ini adalah juga merupakan suatu sifat dasar yang diniliki manusia.
Sementara dalam tata pergaulan masyarakat banyak, norma-norma yang
membatasi kehendak bebas tersebut”.11
Kehendak bebas adalah merupakan salah satu sifat alamiah manusia,
setiap manusia tentu ingin memiliki kebebasan yang penuh tanpa di kekang oleh
suatu apapun, apalagi seseorang yang menjelang remaja sangat ingin memiliki
kehendak yang bebas, tidak ingin diatur atau dikekang oleh suatu peraturan.
Mereka beranggapan bahwa aturan akan menyebabkan mereka terkekang, tidak
ada lagi kehendak bebas. Kehendak ingin bebas ini muncul dan terwujud ke
dalam perilaku setiap kali menghadapi himpitan dalam melakukan interaksi
dengan orang lain sehubungan dengan narkoba, maka akan dengan sangat mudah
mereka terjerumus pada suatu tindak pidana narkoba.
c. Kegoncangan jiwa.
Hal ini pada umumnya terjadi karena salah satu sebab yang secara
kejiwaan hal tersebut tidak mampu dihadapi/diatasinnya. Dalam keadaan
jiwa yang labil, apabila ada pihak-pihak yang berkomunikasi dengan
mengenai narkotika maka ia akan dengan mudah terlibat tindak pidana
narkotika.12
Kegoncangan jiwa, bahwa reaksi frustasi negatif atau kegonjangan jiwa
timbul karena secara kejiwaan tidak mampu menghadapi atau beradaptasi dengan
keadaan zaman yang serba modern dan kompleks sehingga menimbulkan reaksi
yang keliru atau tidak cocok.
d. Rasa keingintauan.
11 Ibid 12 Ibid. Hal 26
16
Perasaan ini pada umumnya lebih dominan pada manusia yang usiannya
masih muda, perasaan ingin tidak terbatas pada hal-hal yang positif, tetapi
juga kepada hal-hal yang sifatnya negatif. Rasa ingin tahu tentang
narkotika, ini juga dapat mendorong seseorang melakukan perbuatan yang
tergolong dalam tindak pidana narkotika.13
Perasaan ini lebih cenderung dominan melekat pada anak-anak, perasaan
tidak ingin terbatas pada hal-hal yang positif tetapi juga kepada hal-hal yang
sifatnya negatif. Rasa ingin tahu mendorong anak-anak menggunakan narkoba
dari ingin coba-coba sehingga menimbulkan ketergantungan dan menyebabkan
anak menjadi susah terlepas dari narkoba
2. Faktor Eksternal Pelaku.
Faktor yang di luar diri pelaku penyalahguna narkotika, di antaranya yang
paling menonjol dalam kasus narkotika, yaitu :
a. Keadaan ekonomi
“Keadan ekonomi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu
ekonomi yang baik dan ekonomi yang kurang atau miskin. Pada keadaan ekonomi
yang baik maka orang-orang dapat mencapai atau memenuhi kebutuhannya
dengan mudah”.14
Demikian juga sebaliknya, apabila keadaan ekonomi kurang baik maka
pemenuhan kebutuhan sangta sulit adanya, karena itu orang-orang akan berusaha
untuk dapat keluar dari himpitan ekonomi tersebut.
13 Ibid 14 Ibid. Hal 28
17
b. Pergaulan/lingkungan
“Pergaulan ini pada pokoknya terdiri dari pergaulan/lingkungan tempat
tinggal, lingkungan sekolah atau tempat kerja dan lingkungan pergaulan lainnya
Ketiga itu lingkungan tersebut dapat memberikan pengaruh yang negatif terhadap
seseorang”.15
Artinya akibat yang ditimbulkan oleh interaksi dengan lingkungan tersebut
seseorang dapat melakukan perbuatan yang baik dan dapat pula sebaliknya.
Apabila di lingkungan tersebut narkotika dapat diperoleh dengan mudah, maka
dengan sendirinya kecenderungan melakukan tindak pidana narkotika semakin
besar.
Lingkungan Keluarga dan masyarakat yang menjadi salah satu faktor
pengguna narkotika, yaitu :
a. Lingkungan Keluarga.
Merupakan satu organisasi yang paling penting dalam kelompok sosial
dan keluarga merupakan lembaga didalam masyarakat yang paling utama
bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan sosial dan biologis anak
manusia. Penyebab penggunaan narkoba salah satunya adalah keluarga dengan
ciri-ciri sebagai berikut: keluarga yang memiliki sejarah (termasuk orang tua)
pengguna narkoba, keluarga dengan konflik yang tinggi, keluarga dengan orang
tua yang otoriter dan keluarga tidak harmonis.
b. Lingkungan Masyarakat
15 Ibid. Hal. 30
18
Kondisi lingkungan masyarakat yang tidak sehat atau rawan, dapat
menjadi faktor terganggunya perkembangan jiwa kearah perilaku yang
menyimpang yang pada akhirnya terlibat penyalahgunaan atau ketergantungan
narkoba. Lingkungan masyarakat yang rawan tersebut antara lain :
1. Semakin banyaknya penggangguran, anak putus sekolah dan anak jalan.
2. Tempat-tempat hiburan yang buka hingga larut malam bahkan hingga
dini hari dimana sering digunakan sebagai tempat transaksi narkoba.
Kebut-kebutan, coret-coretan pengerusakan tempat-tempat umum.
3. Tempat-tempat transaksi narkoba baik secara terang-terangan maupun
sembunyi-sembunyi.16
c. Lingkungan Sekolah/Pekerjaan.
Lingkungan sekolah dan Pekerjaan juga dapat mengakibatkan seseorang
menggunakan narkotika, yang salah satunya pemicunya adalah adanya
seorang yang merupakan pengguna narkotika yang kerja/sekolah di tempat
yang sama sehingga dengan gampang dia mengajak teman lainnya untuk
ikut menggunakan narkotika.17
Apabila di di dalam dunia kerja dan sekolah, misalakan di sekolah tersebut
tidak ada media yang memadai untuk mengembangkan diri dari dalam berkreasi
yang sifatnya positif, mungkin pelajar mudah di terpengaruhi dengan kegiatan
yang negatif, salah satunya mudah terpegaruh dengan obat-obatan terlarang,
sedangkan di dalam dunia kerja, di dalam dunia kerja seorang tidak selalu bekerja
dengan mulus, tetapi di suatu waktu seseorang juga merasa jenuh dengan
pekerjaanya, dengan kejenuhannya saat bekerja seseorang mudah dipengaruhi
dengan hal-hal yang negatif. Misalkan saja masuknya obat-obatan yang dibuat
sebagai doping/suplemen saat bekerja, dan saat obat suplemen itu sudah tidak
16 Ibid
17Hari Sasangka. 2003. Narkotika dan Psikologi Dalam Hukum Pidana Untuk Mahasiswa
dan Praktisi serta penyuluh Masalah Narkotika. Bandung. Cet I. Penerbit Mandar Maju. Hal. 6
19
manjur lagi buat tubunya seseorang sudah mulai mencoba-coba obatanyang
terlarang.
d. Kemudahan
Kemudahan disini dimaksudkan dengan semakin banyaknya beredar jenis-
jenis narkotika dipasar gelap maka akan semakin besarnlah peluang
terjadinya tindak pidana. Permasalahan penyalahgunaan dan
ketergantungan narkoba tidak akan terjadi bila tidak ada narkobanya itu
sendiri.18
Dalam pengamatan ternyata banyak tersedianya narkoba dan mudah
diperoleh. faktor tersedianya narkoba adalah ketersediaan dan kemudahan
memperoleh narkoba juga menjadi faktor penyabab banyaknya pemakai narkoba.
e. Kurang pengawasan
“Pengawasana disini dimaskudkan adalah pengendalian terhadap
persedian narkotika, pengunaan dan peredaran. Jadi tidak hanya mencakup
pengawasan oleh maasyarakat. Pemerintah memegang peranan penting membatasi
mata rantai peredam, produksi dan pemakaian narkotika”.19
Dalam hal kurangnya pegawasan ini, maka pasar gelap, produksi gelap
dan populasi pecandu narkotika akan semakin meningkat. Pada gilirannya,
keadaan semacam ini sulit untuk di kendalikan. Disisi lain keluarga merupakan
inti dari masyarakat seyogyanya dapat melakukan pengawasan intensif terhadap
anggota pada tindak pidana narkotika. Dalam hal kurangnya pengawasan seperti
dimaksudkan diatas, maka tindak pidana narkotika bukan merupakan perbuatan
yang sulit untuk dilakukan.
18 A.W. Widijaya .Op.cit. Hal. 32 19 Ibid.
20
f. Faktor Hukum.
Status hukum bagi pecandu narkotika sampai saat ini masih menjadi
perdebatan khususnya dalam pemberian rehabilias baik secara medis maupun
secara sosial, ataupun pemberian sanksi pidana kepada penyalahguna narkotika
karena dianggap merupakan perbuatan pidana.
Sebagimana diketahui kejahatan narkotika sudah sedemikian rupa
sehingga perlu pengaturan yang sangat ketat bahkan cenderung keras, perumusan
ketentuan pidana berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana narkotika
dengan prekursor narkotika telah dirumuskan sedemikian rupa dengan harapan
akan efektif seta mencapai tujuan yang dikehendaki, oleh karena itu penerapan
ketentuan pidana Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika
haruslah pula dilakukan secara ekstra hati-hati. Pemahaman yang besar atas setiap
ketentuan pidana yang telah dirumuskan akan menghindari kesalahan dalam
praktiknya.
Setidaknya ada dua hal pokok yang dapat ditemukan dari perumusan
tindak pidana dalam undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
narkotika yaitu adanya semangat memberantas peredaran tindak pidana
narkotika dan prekursor narkotika serta perlindungan terhadap pengguna
narkotika.20
Konsekuensi ke dua semangat tersebut adalah peredaran tindak pidana
narkotika dan prekursor narkotika diberikan sanksi keras, sedangkan pengguna
narkotika terutama pecandu narkotika maupun korban penyalahgunaan narkotika
didorong memperoleh perawatan melalui rehabilitas.
20 Ar.Sujono dan Bony Daniel. 2011. Komertar dan pembahasan Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Cet ke 1. Penerbit sinar Grafika. Hal. 224
21
Berarti bahwa ada pemisahan besar berkaitan dengan pengaturan ketentuan pidana
UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu :
Mengenai pemberantasan narkotika dan prekursor narkotika, dan
Mengenai penyalahgunaan narkotika dan pecandu narkotika. Mengatur tentang
pemberantasan peredaran narkotika ditemukan antara lain dalam ketentuan pasal
111 sampai dengan pasal 126, sedangan bekaitan dengan penyalahgunaan
narkotika antara lain ditemukan dalam pasal 127 dan pasal 128 Oleh karena itu,
perlu mendapakan perhatian, bahwa ketentuan seperti pasal 111 sampai dengan
pasal 126 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, hanya dapat dikenakan
kepada seorang dalam kerangka peredaran baik dalam perdagangan bukan
perdagangan maupun pemindah tangan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi ( pasal 35 ), sehingga tidak
boleh begitu saja sehingga serampangan misalnya seorang penyalahguna
narkotika dijatuhkan kepersidangan dan dikenakan ketentuan-ketentuan tersebut.
Seorang penyalahguna narkotika dalam rangka mendapatkan narkotika
tentulah dilakukan dengan cara membeli, menerima atau memperoleh dari orang
lain dan untuk itu narkotika yang ada dalam tangannya jelas merupakan miliknya
atau setidak-tidaknya dalam kekuasaannya, sehingga tentulah tidak tepat apabila
dikenakan pasal 111, pasal 112, pasal 114, pasal 115, pasal 117, pasal 119, pasal
122, pasal 124 dan pasal 125 Undang-Undang Narkotika dengan anggapan pasal-
pasal tersebut mencantumkan larangan meliliki, menyimpan, menguasai,
membeli, menerima dan membawa. Oleh karena itu, meskipun penyalahguna
kedapatan memiliki, meyimpan,menguasai, membeli,menerima dan membawa
22
dalam rangka untuk menggunakan narkotika untuk dirinya sendiri maka tindak
pidana yang dikenakan haruslah pasal 127.
Disadari diperlukan ketelitian dan kehati-hatian dalam menentukan apakah
penyalahguna narkotika atau pengedar narkotika. Penegak hukum
khususnya para hakim harus berhati-hati dalam menjatuhkan pidana yang
didasarkan ketentuan pasal 111 sampai pasal 126, pemeriksaan haruslah
dilakukan dengan teliti dan cermat. Jumlah narkotika sebagai barang bukti
serta keterangan para ahli setidak-tidaknya dapat diacuan apakah benar-
benar sebagai penyalahguna atau memang ada motif berkaitan dengan
peredaran narkotika dan prekursor narkotika. Bisa jadi dalam jumlah yang
menurut penilaian rasional sedikir, namun apabila pemeriksaan yang teliti
oleh saksi ahli dinyatakan jumlah yang sedikit bukanlah merupakan
jumlah yang wajar untuk dipakai/digunakan, tentulah hal ini menjadi
petunjuk awal dan sangat diragukan apabila narkotika tersebut akan
dikonsumsi/digunakan sendiri. Sehingga jumlahh yang menurut penilaian
rasional sedikit bukanlah jaminan akan dikonsumsi sediri, bisa terjadi dari
jumlah yang sedikit terbukti bagian dari peredaran.21
Aparat penegak hukum dalam menetukan penyalahguna atau pengerdar
harus bisa membuktikan unsur-unsur pasal yang di buat menjeratnya. Dan
menjatuhan sanksi harus bisa membuat jera narapidana “Ringan sanksi pidana
yang tidak menimbulkan efek jera baik pelaku kejahatan narkotika sebagaimana
yang disebutkan dalam ketentuan pidana pasal 111 sampai dengan pasal 127
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika”.22 dalam menjerat
pengedar aparatur penegak hukum belum bisa secara maksimal dan kegagalan
dari aparatur Negara dalam hal ini aparat penegak hukum dalam memberatkan
peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.
21 Ibid. Hal. 226
22 Sudarto. 2004. Bahaya Narkotika. Bandung. Penerbit Amco. Hal. 136
23
B. Penggulangan Tindak Pidana (Residivis)
Di dalam KUHP ketentuan pengulangan tindak pidana tidak diatur secara
umum tetapi diatur secara khusus untuk dikelompokan tindak pidana tertentu baik
berupa kejahatan maupun pelanggaran disamping itu di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana juga diberikan syarat tenggang waktu pengulangan tindak
pidana yang tertentu, jadi dengan demikian KUHP mengatur keadaan
Pengulangan tindak pidana /residivis secara khusus.
Pengertian sehari-hari bahwa seorang residivis adalah seorang yang telah
melakukan beberapa kali kejahatan karena melakukan berbagai kejahatan.
“Residive adalah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, yang
merupakan beberapa delik yang berdiri sendiri, akan tetapi atas salah satu atau
lebih perbuatan pidana tersebut telah dijatuhi hukuman”.23
Pada dasarnya pengertian residivis tersebut digolongkan kedalam 2
bagian. yaitu:
1. Residive umum (generale residive);
Apabila seseorang melakukan kejahatan, terhadap kejahatan yang mana
telah dijatuhi hukuman, maka apabila ia kemudian melakukan kejahatan
lagi yang dapat merupakan bentuk kejahatan apapun, ini dapat
dipergunakan sebagai alasan untuk memperberat hukuman.
2. Residive khusus (special residive).
Apabila seseorang melakukan kejahatan, dan terhadap kejahatan itu telah
dijatuhi hukuman oleh hakim, kemudian ia melakukan kejahatan lagi yang
sama (sejenis) dengan kejahatan yang pertama, maka persamaan kejahatan
yang dilakukan kemudian merupakan dasar untuk memperberat
hukuman.24
23 Pengertian Pelaku dan Residivis. Universitas Lampung. digilib.unila.ac.id. Hal. 20
24 Ibid. Digilib.Unila.ac.id. Hal. 23
24
Dalam hal ini, residivis/pengulangan tindak pidana dapat diartikan bahwa
seseorang melakukan kejahatan dan sudah dikenakan hukuman pejara dengan
jangka waktu tertentu seseorang mengulangi tindak pidana, tidak melihat
tindakannya itu sama atau tidak dengan perbuatan yang pertama, sama atau
tidaknya tindakan seseorag yang melakukan pengulangan tindak pidana. tetap
disebut residivis/pengulangan tindak pidana.
Pengulangan tindak pidana dapat disimpulkan bahwa ada beberapa syarat
yang harus dipenuuhi agar sesuatu perbuatan yang dianggap sebagai pengulangan
tindak pidana kembali residivis, yaitu :
1. Seseorang yang telah melakukan tindak pidana.
2. Telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang tetap
3. Seseorang tersebut melakukan suatu tindak pidana lagi.
4. Keputusan hakim tersebut tidak dapat di ubah lagi atau sudah
berkekuatan hukum
5. Pengulangan terjadi dalam jangka waktu tertentu.
Pengulangan tindak pidana residivis diartikan sebagai orang yang telah
melakukan kejahatan kembali dan orang yang sama melakukan pengulangan
tindak pidana kembali, residivis merupakan alasan yang dapat memperberat
pemidanaan.
KUHP juga mensyaratkan tentang waktu pengulangan yang tertentu.
Dengan demikian KUHP menganut sistem pemberatan pidana hanya dikenakan
pada pengulangan jenis-jenis tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) tentu saja dan
dilakukan dalam tenggang waktu tertentu.
25
Syarat-syarat pengulangan tindak pidana untuk setiap kali tindak pidana,
baik terhadap kejahatan maupun pelanggaran, diterangkan berturut-turut dibawah
ini :
Pengulangan tindak pidana kejahatan, Dengan dianut system Residivis
Khusus, maka residivis kejahatan menurut KUHP adalah Residivis
kejahatan-kejahatan tertentu, Mengenai pengulangan tindak
pidana/residivis kejahatan – kejahatan tertentu ini KUHP membedakan
antara lain : Pengulangan tindak pidana/residivis terhadap kejahatan-
kejahatan yang sejenis dan Pengulangan tindak pidana/residivis kejahatn-
kejahatan yang termasuk kejahatan kelompok.25
Pengulangan tindak pidana tidak ada ketentuan umum mengenai system
pemberatan pidananya. Bentuk pemberatan pidanannya sebagai berikut :
1. Pidana denda diganti atau ditingkatkan menjadi pidana kurungan.
2. Pidana denda/kurungan dilipatkan jadi dua kali.
3. Pidana penjara yang ditentukan dapat ditambah dengan sepertiga jika terpidana
belum lewat 2 (dua) tahun sejak menjalani seluruhnya atau sebagai pidana
penjarayang dijatuhkan kepadanya.
Perbedaan gabungan tindak pidana dengan residivis, nada peraturan
peraturan gabungan beberapa perbuatan agak mengurangi hukuman. Sebaliknya,
apabila seorang sudah dijatuhi hukuman perihal suatu kejahatan, dan kemudian,
setelah selesai menjalani hukuman, melakukan suatu kejahatan lagi, maka kini ada
apa yang dinamankan recidivis, yang berakibat, bahwa hukuman yang akan
dijatuhkan kemudian malahan diperberat, yaitu dapat melebihi hukuman
maksimum.“Perbedaan ini dapat dimegerti oleh karena seorang recidivis dapat
25 Moeljatno. 2008. Asas-Asas hukum pidana. Jakarta. Cet ke 8. Penerbit Rineka Cipta. Hal
78
26
dikatakan tidak kapok meskipun hukumanya kurang berat baginya”.26 Recidivis di
atur dalam titel XXXI Buku II KUHP pasal 486 – 488, dan biasanya terbatas pada
tenggang waktu lima tahun setelah hukuman pidannya selesai dijalankan.
Dari sudut ilmu pengetahuan hukum pidana, pengulangan tindak pidana
dibedakan atas 3 jenis, yaitu:
1. Pengulangan tindak pidana yang dibedakan berdasarkan cakupannya antara
lain:
Pengertian yang lebih luas yaitu bila meliputi orang-orang yang
melakukan suatu rangkaian tanpa yang diseiringi suatu penjatuhan pidana/
condemnation.
Pengertian yang lebih sempit yaitu bila si pelaku telah melakukan
kejahatan yang sejenis (homolugus recidivism) artinya ia menjalani suatu pidana
tertentu dan ia mengulangi perbuatan sejenis tadi dalam batas waktu tertentu
misalnya 5 (lima) tahun terhitung sejak terpidana menjalani sama sekali atau
sebagian dari hukuman yang telah dijatuhkan.
2. Pengulangan tidak pidana yang dibedakan berdasarkan sifatnya antara lain :
Accidentale recidive yaitu apabila pengulangan tindak pidana yang
dilakukan merupakan akibat dari keadaan yang memaksa dan menjepitnya.
Habituele recidive yaitu pengulangan tindak pidana yang dilakukan karena
si pelaku memang sudah mempunyai inner criminal situation yaitu tabiat jahat
sehingga kejahatan merupakan perbuatan yang biasa baginya.
26Wirjono Prodjidikoro.1989. Asas-asas hukum pidana di Indonesia. Bandung. Cet ke 6.
Penerbit PT.Eresco bandung. Hal. 136.
27
3. Selain kepada kedua bentuk di atas, pengulangan tindak pidana dapat juga
dibedakan atas :
Recidive umum, yaitu apabila seseorang melakukan kejahatan/ tindak
pidana yang telah dikenai hukuman, dan kemudian melakukan kejahatan/ tindak
pidana dalam bentuk apapun maka terhadapnya dikenakan pemberatan hukuman.
Recidive khusus, yaitu apabila seseorang melakukan perbuatan kejahatan/ tindak
pidana yang telah dikenai hukuman, dan kemudian ia melakukan kejahatan/
tindak pidana yang sama (sejenis) maka kepadanya dapat dikenakan pemberatan
hukuman.
Dari uraian tersebut dapat ditegaskan bahwa seorang dikatakan residivis,
karena sudah ada putusan hakim terlebih dahulu. Putusan terlebih dahulu itu akan
menentukan berat ringannya hukuman yang diberikan dalam putusan baru ini,
apakah si penjahat telah menjadi residivis.
Jadi pemidanaan mempunyai beberapa tujuan dan fungsi untuk melindungi
segenap masyarakat, agar tidak terjadinya perbedaan sosial yang ada di
masyarakat dan mencegah pelaggaran yang ada di dalam masyarakat, sehingga
terciptalah suatu tata sususnan masyarakat yang damai, aman dan tertib. ada
beberapa bagian yang akan diuraikan tentang pemidanaan, yaitu masuk dalam
teori pemidanaan. adalah sebagai berikut :
1. Teori absolut (Vergeldingstheorieen) / teori pembalasan (Vergfalden),
teori ini membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan
suatu tindak pidana, maka terhadap pelaku pidana mutlak harus
diadakan pembalasan berupa pidana dengantidak mempersoalkan akibat
pemidanaan bagi terpidana.
2. Teori relative (Nisbi) / teori tujuan ( Doeltheorieen), teori tujuan
membenarkan pemidanaan (rechtsvaardigen) pada tujuan pemidanaan,
yakni untuk mencegah terjadinya kejahatan (ne peccetur). Dengan
28
adanya ancaman pidana dimaksudkan untuk menakut-nakuti calon
pejabat yang bersangkutan atau untuk prevensi umum.
3. Teori Gabungan ( Vereningings-theorieen ) teori ini berdasarkan
pemidanaan pada perpaduan antara terori pembalasan dengan terori
tujuan, karena kedua teori tersebut bila berdiri sendiri-sendiri, masing-
masing mempunyai kelemahan.27
Dengan adanya teori pemidanaan, akan terciptanya suatu keadilan, artinya
seseorang yang melakukan tindak pidana tidak serta merta langsung di kenakan
hukuman yang berat, tetapi harus melalui proses dengan peradilan, di dalam
proses peradilanpun juga harus mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan
kesalahan yang diperbuat, “Pada umumnya tujuan hukum pidana untuk
melindungi kepastian individu atau melindungi hak asasi manusia dan melindungi
kepentingan masyarakat maupun negara”28 sehingga tidak ada pelanggaran hak
asasi manusia, dan adanya win-win solusion antar para pihak. Meskipun seseorang
melakukan pengulangan tindak pidana, dalam pengenaan sanksi, tetap harus
memperhatikan teori pemidanaan, walapun pengulangan tindak pidana itu
mendapatkan sanksi pemberatan, penjatuhan sanksi pemberatan sudah
menggunakan pertimbangan hakim, walaupun dikenakan sanksi pemberatan itu
menurut hakim. Sudah mempertimbangkan dengan berbagai aspek dari pihak
korban dan pelaku sehingga terciptanya suatu keadian.
Dan tujuan pemidanaan mencegah tindak pidana demi pegayoman
masyarakat, mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan
berguna, menyelesaikan konflik yang disebakan oleh tindak pidana,
27 Ishkak Hamzah. Pengertian pidana di Indonesia. “Http://www.id.Shovoong/writing-And
speking Artikel/html, 02 November 2016, pukul 15:46 WIB 28 Adam Chazawi 2002. Pelajaran hukum pidana. Cet 1. Penerbit RajaGrafindo Persada.
Jakarta. Hal 151
29
mencegah pengulangan tindak pidana, membebaskan rasa bersalah para
terpidana.29
Di atas sudah di jelaskan bahwa di dalam KUHP pengulangan tindak
pidana tidak diatur secara umum tetapi diatur secara khusus, secara khusus di
dalamnya termasuk mengatur tetang narkotika, sehingga di dalam Undang-
Undang Narkotika mengantur secara khusus sanksi tentang pengulangan tindak
pidana narkotika, yaitu pada pasal 114 UUNomor 35 Tahun 2009 Tentang
Nartokita : (1) Setiap orang yang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan
pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112,
Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal
120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127
ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 pidana maksimumnya ditambah dengan
1/3 (sepertiga). (2) Ancaman dengan tambahan 1/3 (sepertiga) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pelaku tindak pidana yang dijatuhi
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua
puluh) tahun.
Di dalam undang-undang narkotika, apabila ada yang melakukan
pengulangan tindak pidana narkotika, dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun,
dikenakan hukuman maksimal dan ditambah 1/3(sepertiga).
Ancaman pidana yang diperberat adalah ancaman pidana maksimumnya,
karena yang ditambah 1/3 (sepertiga) tidak ditentukan apakah pidana penjara atau
29 Bambang Waluyo. 2010. Pelajaran dan pemidanaan. Jakarta. Penerbit sinar Grafika.
Hal 16-17
30
denda, oleh karean itu yang dimaksud tentulah tambahan ancaman maksimum 1/3
(sepertiga) baik dari pidana penjara maupun pidana denda.
Meskipun ancaman pidana ditambah 1/3(sepertiga) namun demikian
terdapat pembatasan penambahan ancaman 1/3 (sepertiga) tersebut diluar pidana
denda yaitu tidak berlaku bagi tindak pidana yang dijatuhi tindak pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun. Adapun
sistem pemberatan pidannya, ialah :
a. Untuk pidana penjara : ditambah sepertiiga dari ancaman maxsimum
b. Untuk pidana denda : dilipatkan dua kali sejenis
Pada pokoknya yang disebut dengan pengulangan tindak pidana kembali
bahwa suatu perbuatan yang masuk dalam lebih dari suatu aturan pidana, ini
dijelaskan pasa pasal 63 (1) kitab Undang-undang hukum pidana yang berbunyi
“jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang
dikenakan hanyalah salah satu diantara atura-aturan itu, jika berbeda-beda yang
dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
C. Penggolongan Narkotika.
Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika dalam
pasal 6 ayat (1) disebutkan, bahwa narkotika digolongkan menjadi 3 golongan,
antara lain:
a. Narkotika Golongan I
31
“Narkotika Golongan I Adalah narkotika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,
serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan”.30
Yang termasuk narkotika golongan I ada 65 macam yang masuk dalam
daftar undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika, yang poluler
disalah gunakan adalah tanaman genius cannabis dan kokaina di indonesia
dikenal dengan nama ganja atau bisa disebut anak muda jaman sekarnag cimeng,
sedangkan untuk kokaina adalah bubuk putih yang diambil dari daun pohon koka
dan menjadi perangsang yang hebat dalam narkotika bentuk tanaman, sedangkan
narkotika bentuk bukan tanaman contohnya Shabu-shabu.
Jenis - jenis narkotika golongan I seperti diatas dilarang untuk diproduksi
dan/atau digunakan dalam proses produksi kecuali dalam jumlah terbatas untuk
kepentingan tertentu. Hal ini diatur dalam Pasal 12 Undang-UndangNomor 35
tahun 2009 tentang narkotika :
(1) Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam
proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (2) Pengawasan produksi
Narkotika Golongan I untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara ketat oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyelenggaraan produksi dan/atau penggunaan dalam produksi dengan jumlah
30 O.C, Kaligis, Loc.cit. Hal. 251
32
yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Dalam hal penyaluran narkotika golongan I ini hanya dapat dilakukan oleh pabrik
obat-obatan tertentudan/atau pedangan besar farmasi tertentu kepada lembaga
pengetahuan untuk kepentingan pengembangan ilmu pegetahuan sebagaimana
dinyatakan dalam pasal 14 Undang-udang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
b. Narkotika Golongan II
Menurut pasal 2 ayat (2) huruf b, narkotika golongan ini adalah narkotika
yang berkhasiat dalam pengobatan dan digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan pengembangan ilmu serta mempunyai potensi yang paling
tinggi mengakibatkan ketergantungan. Jenis narkotikan golongan II yang
paling populer digunakan adalah jenis heroin dibuat dari pengertingan
bunga opium yang mempunyai kandungan morfin dan banyak digunakan
dalam pengobatan batuk dan diare. 31
Heroin Jenis Sintetis yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit disebut
pelhipidine dan methafone. Heroin dengan kadar lebih rendah dikenal dengan
putauw.
“Putauw merupakan jenis narkotika yang paling sering disalah gunakan.
Sifat putauw ini adalah paling berat dan paling berbahaya. Putauw menggunakan
bahan dasar heroin dengan kelas rendah dengan kualitas buruk sangat cepat
menyebabkan terjandinya kecanduan”.32 Jenis heroin yang juga sering disalah
gunakan adalah jenis dynamite. yang berkualitas tinggi sedangkan brown atau
Mexican adalah jenis heroin yang kualitas lebih rendah dari heroin atau putaw.
31 O.C, Kaligis, Op.cit. Hal 253 32 Dedi humas. Ht Fentanyl / Putauw (Alphamethylfentanyl). http://dedihumas.bnn.
go.id/read/ section/informasi-narkoba. diakses tanggal 17 November 2016
33
Pengguna putaw lebih sering dibanding heroin oelh penguna narkotika. Hal ini
dapat disebabkan putaaw hargannya relatif lebih murah di bandingkan heroin.
c. Narkotika Golongan III
Narkotika golongan III sebagiamana yang dijelaskan dalam pasal ayat (2)
huruf c UU Nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika adalah narkotika yang
berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau
tujuan pegembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
dalam ketergantungan.33
Kegunaan narkotika ini adalah sama dengan narkotika golongan II yaitu
untuk pelayanan kesehatan dan.atau untuk perkembangan ilmu pengetahuan
tentang bagaimana cara memproduksi dan menyalurkan yang diatur dalam salah
sayu ketentuan yang sama dengan narkotika golongan II. Salah satu narkotika
golongan III yang sangat populer adalah kodein. Kodein ini ditemukan pada
opium mentah sebagai kotoran dari sejumlah morfin.
“Kodein merupakan ampas dari morfin yang juga dapat membuat
penggunaanya mengalami ketergantungan efek yang ditimbulkannnya tidak jauh
beda dengan morfin. Namun kasus penggunaan narkotika jenis kodein adak jarang
ditemukan di Indonesia”.34
Perbedaan mendasar dari ketiga golongan narkotika ini adalah sebagai
berikut :
Narkotika Golongan I : berguna untuk ilmu pengetahuan dan tidak
digunakan untuk terapi dengan resiko ketergantungan sangat tinggi.
Narkotika golongan II : berguna untuk pengobatan dan digunakan sebagai
alternatif pengobatan terakhir serta sebagai pengembangan ilmu
pengetahuan dengan resiko ketergantungan tinggi.
33 Ibid. O.C, Kaligis. Hal 254 34 Spesialis.Info. Sekilas Tentang Kodein. http://www.spesialis.info/sekilas-tentang-
kodein,1453. diakses tanggal 17 November 2016
34
Narkotika Golongan III : berguna untuk pengobatan, terapi dan
pengembangan ilmu pengetahuan dengan resiko ketergantungan rendah.35
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa narkotika yang
digolongkan menjadi tiga yaitu : (1) Golongan I, yakni narkotika yang berguna
untuk ilmu pengetahuan dan tidak digunakan untuk terapi dengan resiko
ketergantungan sangat tinggi. Contohnya adalah Ganja atau Cimeng dan Kokain;
(2) Golongan II, yakni berguna untuk pengobatan dan digunakan sebagai
alternatif pengobatan terakhir serta sebagai pengembangan ilmu pengetahuan
dengan resiko ketergantungan tinggi. Contohnya morfin, heroin dan putauw, (3)
Golongan III, yakni berguna untuk pengobatan, terapi dan pengembangan ilmu
pengetahuan dengan resiko ketergantungan rendah. Contohnya adalah kodein.
D. Lembaga Permasyarakatan.
Sebelum membahasa secara mendalam tentang Lembaga Permasya -
rakatan, pengertian dari lembaga masayarakat apabila di lihat di Pasal 1 Angka 1
Undang-Undang No 12 tahun 1995 tentang Permasayarakatan, Permasyarakatan
adalah :
Kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Permasyarakatan
berdasarkan sistem, kelembaganaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian
akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang
permasyarakatan, Lembaga permasyarakata (LAPAS) adalah Tempat untuk
melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak didik Permasyarakatan.
35 Gatot Supramoni. 2009. Hukum Narkotika Indonesia. Jakarta. Penerbit Djambatan. Hal
218
35
Dari pengertian ini dapat ditarik suatu benang merah bahwa “Lembaga
Permasyarakatan merupakan suatu badan atau organisasi yang mengatur
sekelompok orang sebagai suatu kesatuan sosial dengan batasan-batasan
tertentu”.36 Dalam hal ini yang dimaskudkan dengan Lembaga Permasyarakatan
secara khusus dapat disebut sebagai suatu organisasi atau lembaga yang
mempunyai kewajiban membina sekelompok masyarakat karena telah melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan sehingga diharapkan
lembaga tersebut dapat berfungsi sebagai suatu badan yang benar-benar mampu
membina seseorang atau sekelompok orang sehingga dapat lebih baik dari
keadaan semua dan menjadi manusia seutuhnya serta tidak mengulangi perbuatan
yang telah dilakukan.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995
Tentang Lembaga Permasyarakatan, Sistem Permasyarakatan adalah :
Suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembina Warga Binaan
Permasyarakatan (Narapidana) berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara
terpadu antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas
Warga Binaan Permasyarakatan (Narapidana) agar menyadari kesalahan,
memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindakan pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan
dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Lembaga permasyarakatan merupakan lembaga yang melakukan suatu
pembinaan kepada narpidana adalah sebuat sistem, maka pembinaan narapidana
36 Soejoboro.B. 1990. Pelaksanaan System Permasyarakatan. LPHN-UNPAD. Bandung.
Hal. 16
36
mempunyai beberapa komponen yang bekerja saling berkaitan untuk mencapai
suatu tujuan, sedangkan komponen sistem pembinaan narapidana. Adalah sebagai
berikut:
1. Pembinaan narapidana di indoneisa menggunakan falsafah Pancasila,
karena sudah menjadi kesepakatan nasional untuk menggunakan
pancasila sebagai falsafah dari semua segi dan pandangan hidup bangsa
Indonesia,
2. Dasar hukum yang digunakan dalam sistem pembinaan narapidana di
Indonesia yaitu KUHP dan Undang-Undang yang diberlakukan oleh
Pemerintah Republik Indonesia terhadap sistem pembinaan narapidana
di Indonesia.37
Dengan demikian maka dalam pembinaan narapidana negara telah
melakukan pertimbangan bahwa tujuan pembinaan narapidana dengan
memenjarakan bukanlah menyiksa namun lebih ditekankan kepada membuat jera
kepada narapidana.
Sebagai dasar pertimbangan dari sistem permasyarakatan adalah sepuluh
Prinsip Permasyarakatan. yaitu :
1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan
perannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam negara.
3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat
4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau jahat
dari pada sebelum dijatuhi pidana.
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak
didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari
masyarakat.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak
boleh sekedar pengisisan waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan
untuk memenuhi kebutuhan dinas atau kepentingan negara sewaktu-
waktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan
dimasyarakat dan yang menunjukan usaha peningkatan produksi.
7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak
didik harus berdasarkan pancasila.
37 Harsono, S.H. 1995. Sistem baru Pemidanaan Narapidana. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Hal 48-49
37
8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah
manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia.
9. Narapidana dana anak didik hanya dijatuhkan pidana hilang
kemerdekaan sebagai satu-satunya dari yang dialami.
10. Disediakan dan dipupukan yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif,
korektif dan edukatif dalam sistem permasyarakatan. 38
38 Materi Pusduk cegah BNN RI. Advokasi bagi petugas Lapas dan Narapidana Wanita
dan Anak. Lapas Klas IIA Wanita Malang, Jawa Timur, 19 Februari 2007