BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Faktor-Faktor Penyebab...

24
14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Faktor-Faktor Penyebab Penyalahgunaan Narkotika Bukan lagi istilah asing bagi masyarakat mengingat begitu banyaknya, berita baik dari media cetak, maupun elektronik yang memberitakan tentang pengedar dan penyalahguna narkotika, dan bagaimana korban dari berbagai kalangan dan usia berjatuhan akibat penggunaannya. Ada beberapa faktor seseorang melakukan tindak pidana narkotika penyebab penyalahgunaan narkotika dapat di kelompokan. 1. Faktor Internal Pelaku Ada beberapa macam penyebab kejiwaan yang dapat mendorong sesorang terjerumus kedalam tindak pidana narkotika,penyebab internal,yaitu : a. Perasaan egois Merupakan sifat yang di miliki oleh setiap orang sifat ini sering kali mendominir perilaku seseorang secara tanpa sadar, demikian juga bagian orang yang berhubungan dengan narkotika/para pengguna dan pengedar narkotika, begitu juga dengan orang yang terlibat dengan narkoba atau para pengguna dan pengedar narkoba. Suatu waktu ketika rasa egois dapat mendorong seseorang untuk memiliki dan atau menikmati secara penuh apa yang dapat diperoleh dari narkoba. 10 b. Kehendak ingin bebas 10 A.W. Widijaya. 1985. Masalah Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika. Penerbit Armico. Bandung. Hal. 25

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Faktor-Faktor Penyebab...

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Faktor-Faktor Penyebab Penyalahgunaan Narkotika

Bukan lagi istilah asing bagi masyarakat mengingat begitu banyaknya,

berita baik dari media cetak, maupun elektronik yang memberitakan tentang

pengedar dan penyalahguna narkotika, dan bagaimana korban dari berbagai

kalangan dan usia berjatuhan akibat penggunaannya. Ada beberapa faktor

seseorang melakukan tindak pidana narkotika penyebab penyalahgunaan

narkotika dapat di kelompokan.

1. Faktor Internal Pelaku

Ada beberapa macam penyebab kejiwaan yang dapat mendorong sesorang

terjerumus kedalam tindak pidana narkotika,penyebab internal,yaitu :

a. Perasaan egois

Merupakan sifat yang di miliki oleh setiap orang sifat ini sering kali

mendominir perilaku seseorang secara tanpa sadar, demikian juga bagian

orang yang berhubungan dengan narkotika/para pengguna dan pengedar

narkotika, begitu juga dengan orang yang terlibat dengan narkoba atau

para pengguna dan pengedar narkoba. Suatu waktu ketika rasa egois dapat

mendorong seseorang untuk memiliki dan atau menikmati secara penuh

apa yang dapat diperoleh dari narkoba. 10

b. Kehendak ingin bebas

10 A.W. Widijaya. 1985. Masalah Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika.

Penerbit Armico. Bandung. Hal. 25

15

“Sifat ini adalah juga merupakan suatu sifat dasar yang diniliki manusia.

Sementara dalam tata pergaulan masyarakat banyak, norma-norma yang

membatasi kehendak bebas tersebut”.11

Kehendak bebas adalah merupakan salah satu sifat alamiah manusia,

setiap manusia tentu ingin memiliki kebebasan yang penuh tanpa di kekang oleh

suatu apapun, apalagi seseorang yang menjelang remaja sangat ingin memiliki

kehendak yang bebas, tidak ingin diatur atau dikekang oleh suatu peraturan.

Mereka beranggapan bahwa aturan akan menyebabkan mereka terkekang, tidak

ada lagi kehendak bebas. Kehendak ingin bebas ini muncul dan terwujud ke

dalam perilaku setiap kali menghadapi himpitan dalam melakukan interaksi

dengan orang lain sehubungan dengan narkoba, maka akan dengan sangat mudah

mereka terjerumus pada suatu tindak pidana narkoba.

c. Kegoncangan jiwa.

Hal ini pada umumnya terjadi karena salah satu sebab yang secara

kejiwaan hal tersebut tidak mampu dihadapi/diatasinnya. Dalam keadaan

jiwa yang labil, apabila ada pihak-pihak yang berkomunikasi dengan

mengenai narkotika maka ia akan dengan mudah terlibat tindak pidana

narkotika.12

Kegoncangan jiwa, bahwa reaksi frustasi negatif atau kegonjangan jiwa

timbul karena secara kejiwaan tidak mampu menghadapi atau beradaptasi dengan

keadaan zaman yang serba modern dan kompleks sehingga menimbulkan reaksi

yang keliru atau tidak cocok.

d. Rasa keingintauan.

11 Ibid 12 Ibid. Hal 26

16

Perasaan ini pada umumnya lebih dominan pada manusia yang usiannya

masih muda, perasaan ingin tidak terbatas pada hal-hal yang positif, tetapi

juga kepada hal-hal yang sifatnya negatif. Rasa ingin tahu tentang

narkotika, ini juga dapat mendorong seseorang melakukan perbuatan yang

tergolong dalam tindak pidana narkotika.13

Perasaan ini lebih cenderung dominan melekat pada anak-anak, perasaan

tidak ingin terbatas pada hal-hal yang positif tetapi juga kepada hal-hal yang

sifatnya negatif. Rasa ingin tahu mendorong anak-anak menggunakan narkoba

dari ingin coba-coba sehingga menimbulkan ketergantungan dan menyebabkan

anak menjadi susah terlepas dari narkoba

2. Faktor Eksternal Pelaku.

Faktor yang di luar diri pelaku penyalahguna narkotika, di antaranya yang

paling menonjol dalam kasus narkotika, yaitu :

a. Keadaan ekonomi

“Keadan ekonomi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu

ekonomi yang baik dan ekonomi yang kurang atau miskin. Pada keadaan ekonomi

yang baik maka orang-orang dapat mencapai atau memenuhi kebutuhannya

dengan mudah”.14

Demikian juga sebaliknya, apabila keadaan ekonomi kurang baik maka

pemenuhan kebutuhan sangta sulit adanya, karena itu orang-orang akan berusaha

untuk dapat keluar dari himpitan ekonomi tersebut.

13 Ibid 14 Ibid. Hal 28

17

b. Pergaulan/lingkungan

“Pergaulan ini pada pokoknya terdiri dari pergaulan/lingkungan tempat

tinggal, lingkungan sekolah atau tempat kerja dan lingkungan pergaulan lainnya

Ketiga itu lingkungan tersebut dapat memberikan pengaruh yang negatif terhadap

seseorang”.15

Artinya akibat yang ditimbulkan oleh interaksi dengan lingkungan tersebut

seseorang dapat melakukan perbuatan yang baik dan dapat pula sebaliknya.

Apabila di lingkungan tersebut narkotika dapat diperoleh dengan mudah, maka

dengan sendirinya kecenderungan melakukan tindak pidana narkotika semakin

besar.

Lingkungan Keluarga dan masyarakat yang menjadi salah satu faktor

pengguna narkotika, yaitu :

a. Lingkungan Keluarga.

Merupakan satu organisasi yang paling penting dalam kelompok sosial

dan keluarga merupakan lembaga didalam masyarakat yang paling utama

bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan sosial dan biologis anak

manusia. Penyebab penggunaan narkoba salah satunya adalah keluarga dengan

ciri-ciri sebagai berikut: keluarga yang memiliki sejarah (termasuk orang tua)

pengguna narkoba, keluarga dengan konflik yang tinggi, keluarga dengan orang

tua yang otoriter dan keluarga tidak harmonis.

b. Lingkungan Masyarakat

15 Ibid. Hal. 30

18

Kondisi lingkungan masyarakat yang tidak sehat atau rawan, dapat

menjadi faktor terganggunya perkembangan jiwa kearah perilaku yang

menyimpang yang pada akhirnya terlibat penyalahgunaan atau ketergantungan

narkoba. Lingkungan masyarakat yang rawan tersebut antara lain :

1. Semakin banyaknya penggangguran, anak putus sekolah dan anak jalan.

2. Tempat-tempat hiburan yang buka hingga larut malam bahkan hingga

dini hari dimana sering digunakan sebagai tempat transaksi narkoba.

Kebut-kebutan, coret-coretan pengerusakan tempat-tempat umum.

3. Tempat-tempat transaksi narkoba baik secara terang-terangan maupun

sembunyi-sembunyi.16

c. Lingkungan Sekolah/Pekerjaan.

Lingkungan sekolah dan Pekerjaan juga dapat mengakibatkan seseorang

menggunakan narkotika, yang salah satunya pemicunya adalah adanya

seorang yang merupakan pengguna narkotika yang kerja/sekolah di tempat

yang sama sehingga dengan gampang dia mengajak teman lainnya untuk

ikut menggunakan narkotika.17

Apabila di di dalam dunia kerja dan sekolah, misalakan di sekolah tersebut

tidak ada media yang memadai untuk mengembangkan diri dari dalam berkreasi

yang sifatnya positif, mungkin pelajar mudah di terpengaruhi dengan kegiatan

yang negatif, salah satunya mudah terpegaruh dengan obat-obatan terlarang,

sedangkan di dalam dunia kerja, di dalam dunia kerja seorang tidak selalu bekerja

dengan mulus, tetapi di suatu waktu seseorang juga merasa jenuh dengan

pekerjaanya, dengan kejenuhannya saat bekerja seseorang mudah dipengaruhi

dengan hal-hal yang negatif. Misalkan saja masuknya obat-obatan yang dibuat

sebagai doping/suplemen saat bekerja, dan saat obat suplemen itu sudah tidak

16 Ibid

17Hari Sasangka. 2003. Narkotika dan Psikologi Dalam Hukum Pidana Untuk Mahasiswa

dan Praktisi serta penyuluh Masalah Narkotika. Bandung. Cet I. Penerbit Mandar Maju. Hal. 6

19

manjur lagi buat tubunya seseorang sudah mulai mencoba-coba obatanyang

terlarang.

d. Kemudahan

Kemudahan disini dimaksudkan dengan semakin banyaknya beredar jenis-

jenis narkotika dipasar gelap maka akan semakin besarnlah peluang

terjadinya tindak pidana. Permasalahan penyalahgunaan dan

ketergantungan narkoba tidak akan terjadi bila tidak ada narkobanya itu

sendiri.18

Dalam pengamatan ternyata banyak tersedianya narkoba dan mudah

diperoleh. faktor tersedianya narkoba adalah ketersediaan dan kemudahan

memperoleh narkoba juga menjadi faktor penyabab banyaknya pemakai narkoba.

e. Kurang pengawasan

“Pengawasana disini dimaskudkan adalah pengendalian terhadap

persedian narkotika, pengunaan dan peredaran. Jadi tidak hanya mencakup

pengawasan oleh maasyarakat. Pemerintah memegang peranan penting membatasi

mata rantai peredam, produksi dan pemakaian narkotika”.19

Dalam hal kurangnya pegawasan ini, maka pasar gelap, produksi gelap

dan populasi pecandu narkotika akan semakin meningkat. Pada gilirannya,

keadaan semacam ini sulit untuk di kendalikan. Disisi lain keluarga merupakan

inti dari masyarakat seyogyanya dapat melakukan pengawasan intensif terhadap

anggota pada tindak pidana narkotika. Dalam hal kurangnya pengawasan seperti

dimaksudkan diatas, maka tindak pidana narkotika bukan merupakan perbuatan

yang sulit untuk dilakukan.

18 A.W. Widijaya .Op.cit. Hal. 32 19 Ibid.

20

f. Faktor Hukum.

Status hukum bagi pecandu narkotika sampai saat ini masih menjadi

perdebatan khususnya dalam pemberian rehabilias baik secara medis maupun

secara sosial, ataupun pemberian sanksi pidana kepada penyalahguna narkotika

karena dianggap merupakan perbuatan pidana.

Sebagimana diketahui kejahatan narkotika sudah sedemikian rupa

sehingga perlu pengaturan yang sangat ketat bahkan cenderung keras, perumusan

ketentuan pidana berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana narkotika

dengan prekursor narkotika telah dirumuskan sedemikian rupa dengan harapan

akan efektif seta mencapai tujuan yang dikehendaki, oleh karena itu penerapan

ketentuan pidana Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika

haruslah pula dilakukan secara ekstra hati-hati. Pemahaman yang besar atas setiap

ketentuan pidana yang telah dirumuskan akan menghindari kesalahan dalam

praktiknya.

Setidaknya ada dua hal pokok yang dapat ditemukan dari perumusan

tindak pidana dalam undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

narkotika yaitu adanya semangat memberantas peredaran tindak pidana

narkotika dan prekursor narkotika serta perlindungan terhadap pengguna

narkotika.20

Konsekuensi ke dua semangat tersebut adalah peredaran tindak pidana

narkotika dan prekursor narkotika diberikan sanksi keras, sedangkan pengguna

narkotika terutama pecandu narkotika maupun korban penyalahgunaan narkotika

didorong memperoleh perawatan melalui rehabilitas.

20 Ar.Sujono dan Bony Daniel. 2011. Komertar dan pembahasan Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Cet ke 1. Penerbit sinar Grafika. Hal. 224

21

Berarti bahwa ada pemisahan besar berkaitan dengan pengaturan ketentuan pidana

UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu :

Mengenai pemberantasan narkotika dan prekursor narkotika, dan

Mengenai penyalahgunaan narkotika dan pecandu narkotika. Mengatur tentang

pemberantasan peredaran narkotika ditemukan antara lain dalam ketentuan pasal

111 sampai dengan pasal 126, sedangan bekaitan dengan penyalahgunaan

narkotika antara lain ditemukan dalam pasal 127 dan pasal 128 Oleh karena itu,

perlu mendapakan perhatian, bahwa ketentuan seperti pasal 111 sampai dengan

pasal 126 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, hanya dapat dikenakan

kepada seorang dalam kerangka peredaran baik dalam perdagangan bukan

perdagangan maupun pemindah tangan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan

dan pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi ( pasal 35 ), sehingga tidak

boleh begitu saja sehingga serampangan misalnya seorang penyalahguna

narkotika dijatuhkan kepersidangan dan dikenakan ketentuan-ketentuan tersebut.

Seorang penyalahguna narkotika dalam rangka mendapatkan narkotika

tentulah dilakukan dengan cara membeli, menerima atau memperoleh dari orang

lain dan untuk itu narkotika yang ada dalam tangannya jelas merupakan miliknya

atau setidak-tidaknya dalam kekuasaannya, sehingga tentulah tidak tepat apabila

dikenakan pasal 111, pasal 112, pasal 114, pasal 115, pasal 117, pasal 119, pasal

122, pasal 124 dan pasal 125 Undang-Undang Narkotika dengan anggapan pasal-

pasal tersebut mencantumkan larangan meliliki, menyimpan, menguasai,

membeli, menerima dan membawa. Oleh karena itu, meskipun penyalahguna

kedapatan memiliki, meyimpan,menguasai, membeli,menerima dan membawa

22

dalam rangka untuk menggunakan narkotika untuk dirinya sendiri maka tindak

pidana yang dikenakan haruslah pasal 127.

Disadari diperlukan ketelitian dan kehati-hatian dalam menentukan apakah

penyalahguna narkotika atau pengedar narkotika. Penegak hukum

khususnya para hakim harus berhati-hati dalam menjatuhkan pidana yang

didasarkan ketentuan pasal 111 sampai pasal 126, pemeriksaan haruslah

dilakukan dengan teliti dan cermat. Jumlah narkotika sebagai barang bukti

serta keterangan para ahli setidak-tidaknya dapat diacuan apakah benar-

benar sebagai penyalahguna atau memang ada motif berkaitan dengan

peredaran narkotika dan prekursor narkotika. Bisa jadi dalam jumlah yang

menurut penilaian rasional sedikir, namun apabila pemeriksaan yang teliti

oleh saksi ahli dinyatakan jumlah yang sedikit bukanlah merupakan

jumlah yang wajar untuk dipakai/digunakan, tentulah hal ini menjadi

petunjuk awal dan sangat diragukan apabila narkotika tersebut akan

dikonsumsi/digunakan sendiri. Sehingga jumlahh yang menurut penilaian

rasional sedikit bukanlah jaminan akan dikonsumsi sediri, bisa terjadi dari

jumlah yang sedikit terbukti bagian dari peredaran.21

Aparat penegak hukum dalam menetukan penyalahguna atau pengerdar

harus bisa membuktikan unsur-unsur pasal yang di buat menjeratnya. Dan

menjatuhan sanksi harus bisa membuat jera narapidana “Ringan sanksi pidana

yang tidak menimbulkan efek jera baik pelaku kejahatan narkotika sebagaimana

yang disebutkan dalam ketentuan pidana pasal 111 sampai dengan pasal 127

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika”.22 dalam menjerat

pengedar aparatur penegak hukum belum bisa secara maksimal dan kegagalan

dari aparatur Negara dalam hal ini aparat penegak hukum dalam memberatkan

peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

21 Ibid. Hal. 226

22 Sudarto. 2004. Bahaya Narkotika. Bandung. Penerbit Amco. Hal. 136

23

B. Penggulangan Tindak Pidana (Residivis)

Di dalam KUHP ketentuan pengulangan tindak pidana tidak diatur secara

umum tetapi diatur secara khusus untuk dikelompokan tindak pidana tertentu baik

berupa kejahatan maupun pelanggaran disamping itu di dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana juga diberikan syarat tenggang waktu pengulangan tindak

pidana yang tertentu, jadi dengan demikian KUHP mengatur keadaan

Pengulangan tindak pidana /residivis secara khusus.

Pengertian sehari-hari bahwa seorang residivis adalah seorang yang telah

melakukan beberapa kali kejahatan karena melakukan berbagai kejahatan.

“Residive adalah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, yang

merupakan beberapa delik yang berdiri sendiri, akan tetapi atas salah satu atau

lebih perbuatan pidana tersebut telah dijatuhi hukuman”.23

Pada dasarnya pengertian residivis tersebut digolongkan kedalam 2

bagian. yaitu:

1. Residive umum (generale residive);

Apabila seseorang melakukan kejahatan, terhadap kejahatan yang mana

telah dijatuhi hukuman, maka apabila ia kemudian melakukan kejahatan

lagi yang dapat merupakan bentuk kejahatan apapun, ini dapat

dipergunakan sebagai alasan untuk memperberat hukuman.

2. Residive khusus (special residive).

Apabila seseorang melakukan kejahatan, dan terhadap kejahatan itu telah

dijatuhi hukuman oleh hakim, kemudian ia melakukan kejahatan lagi yang

sama (sejenis) dengan kejahatan yang pertama, maka persamaan kejahatan

yang dilakukan kemudian merupakan dasar untuk memperberat

hukuman.24

23 Pengertian Pelaku dan Residivis. Universitas Lampung. digilib.unila.ac.id. Hal. 20

24 Ibid. Digilib.Unila.ac.id. Hal. 23

24

Dalam hal ini, residivis/pengulangan tindak pidana dapat diartikan bahwa

seseorang melakukan kejahatan dan sudah dikenakan hukuman pejara dengan

jangka waktu tertentu seseorang mengulangi tindak pidana, tidak melihat

tindakannya itu sama atau tidak dengan perbuatan yang pertama, sama atau

tidaknya tindakan seseorag yang melakukan pengulangan tindak pidana. tetap

disebut residivis/pengulangan tindak pidana.

Pengulangan tindak pidana dapat disimpulkan bahwa ada beberapa syarat

yang harus dipenuuhi agar sesuatu perbuatan yang dianggap sebagai pengulangan

tindak pidana kembali residivis, yaitu :

1. Seseorang yang telah melakukan tindak pidana.

2. Telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang tetap

3. Seseorang tersebut melakukan suatu tindak pidana lagi.

4. Keputusan hakim tersebut tidak dapat di ubah lagi atau sudah

berkekuatan hukum

5. Pengulangan terjadi dalam jangka waktu tertentu.

Pengulangan tindak pidana residivis diartikan sebagai orang yang telah

melakukan kejahatan kembali dan orang yang sama melakukan pengulangan

tindak pidana kembali, residivis merupakan alasan yang dapat memperberat

pemidanaan.

KUHP juga mensyaratkan tentang waktu pengulangan yang tertentu.

Dengan demikian KUHP menganut sistem pemberatan pidana hanya dikenakan

pada pengulangan jenis-jenis tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) tentu saja dan

dilakukan dalam tenggang waktu tertentu.

25

Syarat-syarat pengulangan tindak pidana untuk setiap kali tindak pidana,

baik terhadap kejahatan maupun pelanggaran, diterangkan berturut-turut dibawah

ini :

Pengulangan tindak pidana kejahatan, Dengan dianut system Residivis

Khusus, maka residivis kejahatan menurut KUHP adalah Residivis

kejahatan-kejahatan tertentu, Mengenai pengulangan tindak

pidana/residivis kejahatan – kejahatan tertentu ini KUHP membedakan

antara lain : Pengulangan tindak pidana/residivis terhadap kejahatan-

kejahatan yang sejenis dan Pengulangan tindak pidana/residivis kejahatn-

kejahatan yang termasuk kejahatan kelompok.25

Pengulangan tindak pidana tidak ada ketentuan umum mengenai system

pemberatan pidananya. Bentuk pemberatan pidanannya sebagai berikut :

1. Pidana denda diganti atau ditingkatkan menjadi pidana kurungan.

2. Pidana denda/kurungan dilipatkan jadi dua kali.

3. Pidana penjara yang ditentukan dapat ditambah dengan sepertiga jika terpidana

belum lewat 2 (dua) tahun sejak menjalani seluruhnya atau sebagai pidana

penjarayang dijatuhkan kepadanya.

Perbedaan gabungan tindak pidana dengan residivis, nada peraturan

peraturan gabungan beberapa perbuatan agak mengurangi hukuman. Sebaliknya,

apabila seorang sudah dijatuhi hukuman perihal suatu kejahatan, dan kemudian,

setelah selesai menjalani hukuman, melakukan suatu kejahatan lagi, maka kini ada

apa yang dinamankan recidivis, yang berakibat, bahwa hukuman yang akan

dijatuhkan kemudian malahan diperberat, yaitu dapat melebihi hukuman

maksimum.“Perbedaan ini dapat dimegerti oleh karena seorang recidivis dapat

25 Moeljatno. 2008. Asas-Asas hukum pidana. Jakarta. Cet ke 8. Penerbit Rineka Cipta. Hal

78

26

dikatakan tidak kapok meskipun hukumanya kurang berat baginya”.26 Recidivis di

atur dalam titel XXXI Buku II KUHP pasal 486 – 488, dan biasanya terbatas pada

tenggang waktu lima tahun setelah hukuman pidannya selesai dijalankan.

Dari sudut ilmu pengetahuan hukum pidana, pengulangan tindak pidana

dibedakan atas 3 jenis, yaitu:

1. Pengulangan tindak pidana yang dibedakan berdasarkan cakupannya antara

lain:

Pengertian yang lebih luas yaitu bila meliputi orang-orang yang

melakukan suatu rangkaian tanpa yang diseiringi suatu penjatuhan pidana/

condemnation.

Pengertian yang lebih sempit yaitu bila si pelaku telah melakukan

kejahatan yang sejenis (homolugus recidivism) artinya ia menjalani suatu pidana

tertentu dan ia mengulangi perbuatan sejenis tadi dalam batas waktu tertentu

misalnya 5 (lima) tahun terhitung sejak terpidana menjalani sama sekali atau

sebagian dari hukuman yang telah dijatuhkan.

2. Pengulangan tidak pidana yang dibedakan berdasarkan sifatnya antara lain :

Accidentale recidive yaitu apabila pengulangan tindak pidana yang

dilakukan merupakan akibat dari keadaan yang memaksa dan menjepitnya.

Habituele recidive yaitu pengulangan tindak pidana yang dilakukan karena

si pelaku memang sudah mempunyai inner criminal situation yaitu tabiat jahat

sehingga kejahatan merupakan perbuatan yang biasa baginya.

26Wirjono Prodjidikoro.1989. Asas-asas hukum pidana di Indonesia. Bandung. Cet ke 6.

Penerbit PT.Eresco bandung. Hal. 136.

27

3. Selain kepada kedua bentuk di atas, pengulangan tindak pidana dapat juga

dibedakan atas :

Recidive umum, yaitu apabila seseorang melakukan kejahatan/ tindak

pidana yang telah dikenai hukuman, dan kemudian melakukan kejahatan/ tindak

pidana dalam bentuk apapun maka terhadapnya dikenakan pemberatan hukuman.

Recidive khusus, yaitu apabila seseorang melakukan perbuatan kejahatan/ tindak

pidana yang telah dikenai hukuman, dan kemudian ia melakukan kejahatan/

tindak pidana yang sama (sejenis) maka kepadanya dapat dikenakan pemberatan

hukuman.

Dari uraian tersebut dapat ditegaskan bahwa seorang dikatakan residivis,

karena sudah ada putusan hakim terlebih dahulu. Putusan terlebih dahulu itu akan

menentukan berat ringannya hukuman yang diberikan dalam putusan baru ini,

apakah si penjahat telah menjadi residivis.

Jadi pemidanaan mempunyai beberapa tujuan dan fungsi untuk melindungi

segenap masyarakat, agar tidak terjadinya perbedaan sosial yang ada di

masyarakat dan mencegah pelaggaran yang ada di dalam masyarakat, sehingga

terciptalah suatu tata sususnan masyarakat yang damai, aman dan tertib. ada

beberapa bagian yang akan diuraikan tentang pemidanaan, yaitu masuk dalam

teori pemidanaan. adalah sebagai berikut :

1. Teori absolut (Vergeldingstheorieen) / teori pembalasan (Vergfalden),

teori ini membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan

suatu tindak pidana, maka terhadap pelaku pidana mutlak harus

diadakan pembalasan berupa pidana dengantidak mempersoalkan akibat

pemidanaan bagi terpidana.

2. Teori relative (Nisbi) / teori tujuan ( Doeltheorieen), teori tujuan

membenarkan pemidanaan (rechtsvaardigen) pada tujuan pemidanaan,

yakni untuk mencegah terjadinya kejahatan (ne peccetur). Dengan

28

adanya ancaman pidana dimaksudkan untuk menakut-nakuti calon

pejabat yang bersangkutan atau untuk prevensi umum.

3. Teori Gabungan ( Vereningings-theorieen ) teori ini berdasarkan

pemidanaan pada perpaduan antara terori pembalasan dengan terori

tujuan, karena kedua teori tersebut bila berdiri sendiri-sendiri, masing-

masing mempunyai kelemahan.27

Dengan adanya teori pemidanaan, akan terciptanya suatu keadilan, artinya

seseorang yang melakukan tindak pidana tidak serta merta langsung di kenakan

hukuman yang berat, tetapi harus melalui proses dengan peradilan, di dalam

proses peradilanpun juga harus mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan

kesalahan yang diperbuat, “Pada umumnya tujuan hukum pidana untuk

melindungi kepastian individu atau melindungi hak asasi manusia dan melindungi

kepentingan masyarakat maupun negara”28 sehingga tidak ada pelanggaran hak

asasi manusia, dan adanya win-win solusion antar para pihak. Meskipun seseorang

melakukan pengulangan tindak pidana, dalam pengenaan sanksi, tetap harus

memperhatikan teori pemidanaan, walapun pengulangan tindak pidana itu

mendapatkan sanksi pemberatan, penjatuhan sanksi pemberatan sudah

menggunakan pertimbangan hakim, walaupun dikenakan sanksi pemberatan itu

menurut hakim. Sudah mempertimbangkan dengan berbagai aspek dari pihak

korban dan pelaku sehingga terciptanya suatu keadian.

Dan tujuan pemidanaan mencegah tindak pidana demi pegayoman

masyarakat, mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan

berguna, menyelesaikan konflik yang disebakan oleh tindak pidana,

27 Ishkak Hamzah. Pengertian pidana di Indonesia. “Http://www.id.Shovoong/writing-And

speking Artikel/html, 02 November 2016, pukul 15:46 WIB 28 Adam Chazawi 2002. Pelajaran hukum pidana. Cet 1. Penerbit RajaGrafindo Persada.

Jakarta. Hal 151

29

mencegah pengulangan tindak pidana, membebaskan rasa bersalah para

terpidana.29

Di atas sudah di jelaskan bahwa di dalam KUHP pengulangan tindak

pidana tidak diatur secara umum tetapi diatur secara khusus, secara khusus di

dalamnya termasuk mengatur tetang narkotika, sehingga di dalam Undang-

Undang Narkotika mengantur secara khusus sanksi tentang pengulangan tindak

pidana narkotika, yaitu pada pasal 114 UUNomor 35 Tahun 2009 Tentang

Nartokita : (1) Setiap orang yang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan

pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112,

Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal

120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127

ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 pidana maksimumnya ditambah dengan

1/3 (sepertiga). (2) Ancaman dengan tambahan 1/3 (sepertiga) sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pelaku tindak pidana yang dijatuhi

dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua

puluh) tahun.

Di dalam undang-undang narkotika, apabila ada yang melakukan

pengulangan tindak pidana narkotika, dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun,

dikenakan hukuman maksimal dan ditambah 1/3(sepertiga).

Ancaman pidana yang diperberat adalah ancaman pidana maksimumnya,

karena yang ditambah 1/3 (sepertiga) tidak ditentukan apakah pidana penjara atau

29 Bambang Waluyo. 2010. Pelajaran dan pemidanaan. Jakarta. Penerbit sinar Grafika.

Hal 16-17

30

denda, oleh karean itu yang dimaksud tentulah tambahan ancaman maksimum 1/3

(sepertiga) baik dari pidana penjara maupun pidana denda.

Meskipun ancaman pidana ditambah 1/3(sepertiga) namun demikian

terdapat pembatasan penambahan ancaman 1/3 (sepertiga) tersebut diluar pidana

denda yaitu tidak berlaku bagi tindak pidana yang dijatuhi tindak pidana mati,

pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun. Adapun

sistem pemberatan pidannya, ialah :

a. Untuk pidana penjara : ditambah sepertiiga dari ancaman maxsimum

b. Untuk pidana denda : dilipatkan dua kali sejenis

Pada pokoknya yang disebut dengan pengulangan tindak pidana kembali

bahwa suatu perbuatan yang masuk dalam lebih dari suatu aturan pidana, ini

dijelaskan pasa pasal 63 (1) kitab Undang-undang hukum pidana yang berbunyi

“jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang

dikenakan hanyalah salah satu diantara atura-aturan itu, jika berbeda-beda yang

dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.

C. Penggolongan Narkotika.

Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika dalam

pasal 6 ayat (1) disebutkan, bahwa narkotika digolongkan menjadi 3 golongan,

antara lain:

a. Narkotika Golongan I

31

“Narkotika Golongan I Adalah narkotika yang hanya dapat digunakan

untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,

serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan”.30

Yang termasuk narkotika golongan I ada 65 macam yang masuk dalam

daftar undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika, yang poluler

disalah gunakan adalah tanaman genius cannabis dan kokaina di indonesia

dikenal dengan nama ganja atau bisa disebut anak muda jaman sekarnag cimeng,

sedangkan untuk kokaina adalah bubuk putih yang diambil dari daun pohon koka

dan menjadi perangsang yang hebat dalam narkotika bentuk tanaman, sedangkan

narkotika bentuk bukan tanaman contohnya Shabu-shabu.

Jenis - jenis narkotika golongan I seperti diatas dilarang untuk diproduksi

dan/atau digunakan dalam proses produksi kecuali dalam jumlah terbatas untuk

kepentingan tertentu. Hal ini diatur dalam Pasal 12 Undang-UndangNomor 35

tahun 2009 tentang narkotika :

(1) Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam

proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (2) Pengawasan produksi

Narkotika Golongan I untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara ketat oleh Badan

Pengawas Obat dan Makanan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

penyelenggaraan produksi dan/atau penggunaan dalam produksi dengan jumlah

30 O.C, Kaligis, Loc.cit. Hal. 251

32

yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Dalam hal penyaluran narkotika golongan I ini hanya dapat dilakukan oleh pabrik

obat-obatan tertentudan/atau pedangan besar farmasi tertentu kepada lembaga

pengetahuan untuk kepentingan pengembangan ilmu pegetahuan sebagaimana

dinyatakan dalam pasal 14 Undang-udang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika.

b. Narkotika Golongan II

Menurut pasal 2 ayat (2) huruf b, narkotika golongan ini adalah narkotika

yang berkhasiat dalam pengobatan dan digunakan dalam terapi dan/atau

untuk tujuan pengembangan ilmu serta mempunyai potensi yang paling

tinggi mengakibatkan ketergantungan. Jenis narkotikan golongan II yang

paling populer digunakan adalah jenis heroin dibuat dari pengertingan

bunga opium yang mempunyai kandungan morfin dan banyak digunakan

dalam pengobatan batuk dan diare. 31

Heroin Jenis Sintetis yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit disebut

pelhipidine dan methafone. Heroin dengan kadar lebih rendah dikenal dengan

putauw.

“Putauw merupakan jenis narkotika yang paling sering disalah gunakan.

Sifat putauw ini adalah paling berat dan paling berbahaya. Putauw menggunakan

bahan dasar heroin dengan kelas rendah dengan kualitas buruk sangat cepat

menyebabkan terjandinya kecanduan”.32 Jenis heroin yang juga sering disalah

gunakan adalah jenis dynamite. yang berkualitas tinggi sedangkan brown atau

Mexican adalah jenis heroin yang kualitas lebih rendah dari heroin atau putaw.

31 O.C, Kaligis, Op.cit. Hal 253 32 Dedi humas. Ht Fentanyl / Putauw (Alphamethylfentanyl). http://dedihumas.bnn.

go.id/read/ section/informasi-narkoba. diakses tanggal 17 November 2016

33

Pengguna putaw lebih sering dibanding heroin oelh penguna narkotika. Hal ini

dapat disebabkan putaaw hargannya relatif lebih murah di bandingkan heroin.

c. Narkotika Golongan III

Narkotika golongan III sebagiamana yang dijelaskan dalam pasal ayat (2)

huruf c UU Nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika adalah narkotika yang

berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau

tujuan pegembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan

dalam ketergantungan.33

Kegunaan narkotika ini adalah sama dengan narkotika golongan II yaitu

untuk pelayanan kesehatan dan.atau untuk perkembangan ilmu pengetahuan

tentang bagaimana cara memproduksi dan menyalurkan yang diatur dalam salah

sayu ketentuan yang sama dengan narkotika golongan II. Salah satu narkotika

golongan III yang sangat populer adalah kodein. Kodein ini ditemukan pada

opium mentah sebagai kotoran dari sejumlah morfin.

“Kodein merupakan ampas dari morfin yang juga dapat membuat

penggunaanya mengalami ketergantungan efek yang ditimbulkannnya tidak jauh

beda dengan morfin. Namun kasus penggunaan narkotika jenis kodein adak jarang

ditemukan di Indonesia”.34

Perbedaan mendasar dari ketiga golongan narkotika ini adalah sebagai

berikut :

Narkotika Golongan I : berguna untuk ilmu pengetahuan dan tidak

digunakan untuk terapi dengan resiko ketergantungan sangat tinggi.

Narkotika golongan II : berguna untuk pengobatan dan digunakan sebagai

alternatif pengobatan terakhir serta sebagai pengembangan ilmu

pengetahuan dengan resiko ketergantungan tinggi.

33 Ibid. O.C, Kaligis. Hal 254 34 Spesialis.Info. Sekilas Tentang Kodein. http://www.spesialis.info/sekilas-tentang-

kodein,1453. diakses tanggal 17 November 2016

34

Narkotika Golongan III : berguna untuk pengobatan, terapi dan

pengembangan ilmu pengetahuan dengan resiko ketergantungan rendah.35

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa narkotika yang

digolongkan menjadi tiga yaitu : (1) Golongan I, yakni narkotika yang berguna

untuk ilmu pengetahuan dan tidak digunakan untuk terapi dengan resiko

ketergantungan sangat tinggi. Contohnya adalah Ganja atau Cimeng dan Kokain;

(2) Golongan II, yakni berguna untuk pengobatan dan digunakan sebagai

alternatif pengobatan terakhir serta sebagai pengembangan ilmu pengetahuan

dengan resiko ketergantungan tinggi. Contohnya morfin, heroin dan putauw, (3)

Golongan III, yakni berguna untuk pengobatan, terapi dan pengembangan ilmu

pengetahuan dengan resiko ketergantungan rendah. Contohnya adalah kodein.

D. Lembaga Permasyarakatan.

Sebelum membahasa secara mendalam tentang Lembaga Permasya -

rakatan, pengertian dari lembaga masayarakat apabila di lihat di Pasal 1 Angka 1

Undang-Undang No 12 tahun 1995 tentang Permasayarakatan, Permasyarakatan

adalah :

Kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Permasyarakatan

berdasarkan sistem, kelembaganaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian

akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan.

Berdasarkan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang

permasyarakatan, Lembaga permasyarakata (LAPAS) adalah Tempat untuk

melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak didik Permasyarakatan.

35 Gatot Supramoni. 2009. Hukum Narkotika Indonesia. Jakarta. Penerbit Djambatan. Hal

218

35

Dari pengertian ini dapat ditarik suatu benang merah bahwa “Lembaga

Permasyarakatan merupakan suatu badan atau organisasi yang mengatur

sekelompok orang sebagai suatu kesatuan sosial dengan batasan-batasan

tertentu”.36 Dalam hal ini yang dimaskudkan dengan Lembaga Permasyarakatan

secara khusus dapat disebut sebagai suatu organisasi atau lembaga yang

mempunyai kewajiban membina sekelompok masyarakat karena telah melakukan

pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan sehingga diharapkan

lembaga tersebut dapat berfungsi sebagai suatu badan yang benar-benar mampu

membina seseorang atau sekelompok orang sehingga dapat lebih baik dari

keadaan semua dan menjadi manusia seutuhnya serta tidak mengulangi perbuatan

yang telah dilakukan.

Berdasarkan Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995

Tentang Lembaga Permasyarakatan, Sistem Permasyarakatan adalah :

Suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembina Warga Binaan

Permasyarakatan (Narapidana) berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara

terpadu antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas

Warga Binaan Permasyarakatan (Narapidana) agar menyadari kesalahan,

memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindakan pidana sehingga dapat diterima

kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan

dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Lembaga permasyarakatan merupakan lembaga yang melakukan suatu

pembinaan kepada narpidana adalah sebuat sistem, maka pembinaan narapidana

36 Soejoboro.B. 1990. Pelaksanaan System Permasyarakatan. LPHN-UNPAD. Bandung.

Hal. 16

36

mempunyai beberapa komponen yang bekerja saling berkaitan untuk mencapai

suatu tujuan, sedangkan komponen sistem pembinaan narapidana. Adalah sebagai

berikut:

1. Pembinaan narapidana di indoneisa menggunakan falsafah Pancasila,

karena sudah menjadi kesepakatan nasional untuk menggunakan

pancasila sebagai falsafah dari semua segi dan pandangan hidup bangsa

Indonesia,

2. Dasar hukum yang digunakan dalam sistem pembinaan narapidana di

Indonesia yaitu KUHP dan Undang-Undang yang diberlakukan oleh

Pemerintah Republik Indonesia terhadap sistem pembinaan narapidana

di Indonesia.37

Dengan demikian maka dalam pembinaan narapidana negara telah

melakukan pertimbangan bahwa tujuan pembinaan narapidana dengan

memenjarakan bukanlah menyiksa namun lebih ditekankan kepada membuat jera

kepada narapidana.

Sebagai dasar pertimbangan dari sistem permasyarakatan adalah sepuluh

Prinsip Permasyarakatan. yaitu :

1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan

perannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.

2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam negara.

3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat

4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau jahat

dari pada sebelum dijatuhi pidana.

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak

didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari

masyarakat.

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak

boleh sekedar pengisisan waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan

untuk memenuhi kebutuhan dinas atau kepentingan negara sewaktu-

waktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan

dimasyarakat dan yang menunjukan usaha peningkatan produksi.

7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak

didik harus berdasarkan pancasila.

37 Harsono, S.H. 1995. Sistem baru Pemidanaan Narapidana. Penerbit Djambatan. Jakarta.

Hal 48-49

37

8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah

manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia.

9. Narapidana dana anak didik hanya dijatuhkan pidana hilang

kemerdekaan sebagai satu-satunya dari yang dialami.

10. Disediakan dan dipupukan yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif,

korektif dan edukatif dalam sistem permasyarakatan. 38

38 Materi Pusduk cegah BNN RI. Advokasi bagi petugas Lapas dan Narapidana Wanita

dan Anak. Lapas Klas IIA Wanita Malang, Jawa Timur, 19 Februari 2007