BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empatieprints.mercubuana-yogya.ac.id/1570/2/BAB...

22
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empati Baron dan Byrne, 2005 yang menyatakan bahwa empati merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain. Selain pengertian diatas, Menurut Leiden, dkk, 1997 menyatakan Empati sebagai kemampuan menempatkan diri pada posisi orang lain sehingga orang lain seakan - akan menjadi bagian dalam diri. (dalam Asih dan Pratiwi, 2010). Gottman, 1997 menyatakan bahwa empati merupakan kemampuan untuk menempatkan diri sendiri dalam kedudukan orang lain serta memberi tanggapan sesuai dengan itu. Stein dan Book, 2002 berpendapat bahwa empati merupakan kemampuan untuk menyadari, memahami, dan menghargai perasaan dan pikiran orang lain (dalam Spica, 2008). Sedangkan menurut Santrock dalam buku perkembangan anak, 2007 mengatakan empati adalah sebuah keadaan emosi, tetapi memiliki komponen kognitif yang artinya kemampuan untuk melihat keadaan psikologis dalam diri orang lain. Empati adalah keadaan psikologis yang mendalam, seseorang menempatkan pikiran dan perasaan diri sendiri ke dalam pikiran dan perasaan orang lain yang dikenal maupun orang yang tidak dikenal (Hasyim, dkk, 2012).

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empatieprints.mercubuana-yogya.ac.id/1570/2/BAB...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empatieprints.mercubuana-yogya.ac.id/1570/2/BAB II.pdf · diikuti dengan perkembangan yang nyata. Perubahan kognitif dan relational

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Empati

1. Pengertian Empati

Baron dan Byrne, 2005 yang menyatakan bahwa empati merupakan

kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan

mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain. Selain

pengertian diatas, Menurut Leiden, dkk, 1997 menyatakan Empati sebagai

kemampuan menempatkan diri pada posisi orang lain sehingga orang lain seakan -

akan menjadi bagian dalam diri. (dalam Asih dan Pratiwi, 2010).

Gottman, 1997 menyatakan bahwa empati merupakan kemampuan untuk

menempatkan diri sendiri dalam kedudukan orang lain serta memberi tanggapan

sesuai dengan itu. Stein dan Book, 2002 berpendapat bahwa empati merupakan

kemampuan untuk menyadari, memahami, dan menghargai perasaan dan pikiran

orang lain (dalam Spica, 2008). Sedangkan menurut Santrock dalam buku

perkembangan anak, 2007 mengatakan empati adalah sebuah keadaan emosi,

tetapi memiliki komponen kognitif yang artinya kemampuan untuk melihat

keadaan psikologis dalam diri orang lain.

Empati adalah keadaan psikologis yang mendalam, seseorang

menempatkan pikiran dan perasaan diri sendiri ke dalam pikiran dan perasaan

orang lain yang dikenal maupun orang yang tidak dikenal (Hasyim, dkk, 2012).

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empatieprints.mercubuana-yogya.ac.id/1570/2/BAB II.pdf · diikuti dengan perkembangan yang nyata. Perubahan kognitif dan relational

11

Watson, dkk, 1984 kemampuan empati adalah kemampuan seseorang untuk

mengenal dan memahami emosi, pikiran, serta sifat orang lain (dalam Setiawan,

2010). Masa remaja adalah masa yang penting untuk pengembangan empati.

Empati adalah kemapuan dasar sosial yang menggaris bawahi pentingnya

kemampuan, tingkah laku dan sebuah peran yang sangat penting dalam

pengembangan moral dan perilaku prososial (dalam Graaff, dkk, 2014).

Menurut Blakemore dan Choudhury, 2006 berpendapat bahwa, Masa

remaja juga ditandai dengan perubahan fisik yang cepat dan pengembangan

empati yang mengalami kemunduran, sementara itu bertepatan dengan pubertas.

Empati adalah gejala yang komplek, meliputi kognitif dan proses afektif yang

diikuti dengan perkembangan yang nyata. Perubahan kognitif dan relational dapat

berpengaruh pada masa remaja atau perspektif untuk pendapat orang lain

mengalami perasaan dan perhatian (dalam Graaff, dkk, 2014).

2. Tahap Tahap dalam Perkembangan Empati

Hetherington dan Parker, 1993 membagi perkembangan empati kedalam

empat tahap utama, yakni empati global (Global Empathy), empati egosentris

(Egocentric Empathy), empati terhadap perasaan orang lain (Empathy for Another

Feeling) dan empati untuk kondisi hidup yang berbeda (Empathy for Another Life

Condition).

a. Empati global (Global Empathy)

Goleman, 1998 yang melihat adanya proses alamiah empati semenjak

masa – masa bayi. Bila menyaksikan penderitaan anak lain sebagian besar anak

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empatieprints.mercubuana-yogya.ac.id/1570/2/BAB II.pdf · diikuti dengan perkembangan yang nyata. Perubahan kognitif dan relational

12

yang berusia sekitar satu tahun, akan memeberikan respon empati yang bersifat

global. Anak akan merasakan penderitaan yang sama dan bereaksi seakan – akan

penderitaan tersebut terjadi padanya. Hal tersebut terjadi karena bayi belum dapat

membedakan dirinya dengan orang lain.

b. Empati egosentris (Egocentri Empathy)

Berkembang saat anak berusia sekitar 12 – 18 bulan dan mulai dapat

memahami bahwa orang lain secara fisik berbeda dengan dirinya. Meskipun

demikian, anak belum dapat mengetahui situasi batin atau emosi orang lain dan

dianggap sama dengan situasi batinnya sendiri. Anak kemudian akan

mengembangkan tindakan penyesuaian terhadap penderitaan orang lain, yang

bersifat egosentris, karena anak belum dapat membedakan interpretasi orang lain.

c. Empati terhadap perasaan orang lain (Empathy for Another Feeling)

Dimulai usia dua sampai tiga tahun, berlanjut hingga sekitar usia enam

tahun, saat anak mulai menyadari bahwa perasaan orang lain mungkin berbeda

dengan apa yang ia rasakan. Pada taraf usia ini, dalam diri anak mulai muncul

pertimbangan terhadap orang lains sebagai pribadi yang berbeda – beda dan

memiliki emosi, pikiran, maupun perasaan masing – masing. Sebagian anak telah

mampu melakukan role taking meskipun belum sempurna.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empatieprints.mercubuana-yogya.ac.id/1570/2/BAB II.pdf · diikuti dengan perkembangan yang nyata. Perubahan kognitif dan relational

13

d. Empati untuk kondisi hidup yang berbeda (Empathy for Another Life

Condotion)

Berlangsung pada masa kanak – kanak dan menjelang remaja, dimulai

sekitar usia enam hingga dua belas tahun. Pada tahap ini, individu tidak hanya

melihat kejadian yang tengah berlangsung saja, namun dapat berlanjut terus dalam

masa selanjutnya. Inidividu akan merasa tertekan saat mengetahui bahwa

penderitaan orang lain bersifat kronis dan tidak terselesaikan, atau bila secara

umum keadaan tersebut sangat memprihatinkan. Disamping itu, individu dapat

mengetahui bahwa terkadang seseorang dapat menyembunyikan emosi atau

perasaan dan bertindak bertentangan dengan apa yang sedang dirasakan saat itu.

Dari uraian diatas diatas dapat disimpulkan bahwa empati adalah

kemampuan merasakan keadaaan emosional orang lain, menempatkan dirinya

dalam posisi orang lain sehingga atau seakan akan orang tersebut merasakan apa

yang dirasakan orang tersebut.

3. Aspek – Aspek yang Terdapat dalam Empati

Menurut Baron dan Byrne, 2005 menyatakan bahwa dalam empati juga

terdapat aspek – aspek, yaitu :

a. Kognitif

Individu yang memiliki kemampuan empati dapat memahami apa yang

orang lain rasakan dan mengapa hal tersebut dapat terjadi pada orang tersebut.

Kognisi yang relevan termasuk kemampuan untuk mempertimbangkan sudut

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empatieprints.mercubuana-yogya.ac.id/1570/2/BAB II.pdf · diikuti dengan perkembangan yang nyata. Perubahan kognitif dan relational

14

pandang orang lain, kadang kadang disebut sebagai pengambilan perspektif

(Perspective Taking), mampu untuk menempatkan diri dalam posisi orang lain.

Kemampuan untuk merasa empati pada karakter fiktif. Penonton yang merasa

berempati akan mengalami kesedihan, ketakutan, atau kegembiraan ketika emosi

emosi ini dialami oleh karakter dalam cerita.

b. Afektif

Individu yang berempati merasakan apa yang orang lain rasakan. Bahkan

anak anak beusia dua bulan tampak jelas merasakan stress sebagai respon dari

stress yang dirasakan orang lain (Brothers, 1990). Karakteristik yang sama juga

diobservasi pada primata yang lain (Ungerer, 1990), dan mengindikasikan

kepedulian. Aspek ini juga termasuk merasa simpati, tidak hanya penderitaan

orang lain tetapi juga mengekspresikan kepedulian dan mencoba melakukan

sesuatu untuk meringankan penderitaan mereka. Misalnya, individu yang

memiliki empati tinggi lebih termotivasi untuk menolong seorang teman daripada

mereka yang memiliki empati yang rendah (Schlenker dan Britt, 2001).

Berbagai aspek – aspek yang ada diatas penulis mengambil salah satu dari

aspek yang dikemkakan oleh Davis, 1983 yaitu Perspective Taking (PT), Fantacy

(F), Empathic Concern (EC) dan Personal Distress (PD). Dikarenakan aspek

tersebut sering muncul dikehidupan setiap remaja.

Davis, 1983 secara global ada dua komponen dalam empati, yaitu

komponen kognitif dan komponen afektif yang masing – masing mempunyai dua

aspek yaitu : Komponen kognitif terdiri dari Perspective Taking (PT) dan Fantacy

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empatieprints.mercubuana-yogya.ac.id/1570/2/BAB II.pdf · diikuti dengan perkembangan yang nyata. Perubahan kognitif dan relational

15

(F), sedangkan Komponen afektif meliputi Empathic Comcern (EC) dan Personal

Distress (PD). Keempat aspek tersebut mempunyai arti sebagai berikut :

a. Perspective Taking (PT)

Mead (dalam Davis, 1983) menenkankan pentingnya kemampuan dalam

perspective taking untuk perilaku non egosentrik, yaitu kemampuan yang tidak

berorientasi pada kepentingan sendiri, tetapi kepentingan orang lain. Coke (dalam

Davis, 1983) menyatakan bahwa perspective taking berhubungan dengan reaksi

emosional dan perilaku menolong pada orang dewasa. Perspektif taking

diharapkan memiliki skor yang lebih tinggi dengan sosial yang berfungsi lebih

baik. Kecenderungan seseorang untuk mengambil sudut pandang psikologis orang

lain secara spontan. Kemampuan perspective taking membuat seorang individu

mengetahui perilaku dan reaksi dari orang lain, karenanya memudahkan dan lebih

menghargai hubungan interpersonal. Kecenderungan menggunakan kemampuan

ini, yang diukur dengan skala PT, harus dikaitkan dengan fungsi sosial yang lebih

baik.

Kedua, diharapakan skor perspektif lebih tinggi yang dikaitkan dengan

tingginya harga diri. Sebagian besar, ini harus mengikuti fungsi sosial yang

diharapkan untuk pengambilan perspektif yang tinggi. Artinya, dengan

ditingkatkannya harga diri dengan hubungan sosial bermanfaat untuk perspektif

taking yang harus meningkatkan konsep diri. Ketiga, tidak ada hubungan antara

perspektif taking dan emosionalitas kronis. Keempat, hubungan antara perspektif

taking dan langkah – langkah dari “kepekaan terhadap orang lain” diharapkan

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empatieprints.mercubuana-yogya.ac.id/1570/2/BAB II.pdf · diikuti dengan perkembangan yang nyata. Perubahan kognitif dan relational

16

bervariasi sesuai dengan langkah – langkah. Beberapa langkah dari kepekaan

terhadap orang lain (Misalnya, subskala Umum Self – kesadaran ; Fenigstein, dkk,

1975 dapat digambarkan sebagai orientasi diri, skor tinggi pada langkah – langkah

tersebut menunjukan kesadaran orang lain hanya berkaitan dengan bagaimana

orang lain melihat diri. Tindakan sensitivitas lainnya (misalnya, Personal Atribut

skala F Angket ini; Spence, Helmreich, & Stapp, 1974) kurang berorientasi diri

dan lebih lainnya berorientasi; tinggi skor pada langkah-langkah ini

mencerminkan kepedulian terhadap perasaan sendiri yang lain dan kebutuhan.

Diprediksi hanya itu perspektif taking skor akan berhubungan positif dengan lain

seperti berorientas langkah-langkah dan tidak selalu terkait dengan selforiented

yang.

b. Fantacy (F)

Kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara imajinatif

dalam mengalami perasaan dan tindakan dari karakter khayal dalam buku, film

atau cerita yang dibaca dan ditontonnya. Stotland (dalam Davis, 1983)

mengemukakan bahwa fantacy merupakan aspek yang berpengaruh pada reaksi

emosi terhadap orang lain dan menimbulkan perilaku menolong. Demikian juga,

tidak ada hubungan antara harga diri dan F dengan skor yang diharapkan.

Tampaknya skor fantasi akan menunjukkan hubungan dengan ukuran

emosionalitas. Stotland (1978) bukti laporan bahwa orang-orang yang mendapat

skor tinggi pada Fantasi - Empati (F-E), skala cenderung menampilkan gairah

fisiologis yang lebih besar untuk gambaran dari lain pengalaman emosional dan

kecenderungan yang lebih besar untuk membantu orang lain (setidaknya di antara

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empatieprints.mercubuana-yogya.ac.id/1570/2/BAB II.pdf · diikuti dengan perkembangan yang nyata. Perubahan kognitif dan relational

17

anak sulung subyek). Karena skala F dari IRI berisi tiga item dari F - E Skala

(lihat bagian Method) dan sisanya item pada skala F mencerminkan konten yang

sama, skala F juga diharapkan untuk menampilkan hubungan yang signifikan

untuk ukuran emosionalitas. Akhirnya, tidak ada hubungan antara Skor dan

ukuran sensitivitas F kepada orang lain (dalam Davis, 1983).

c. Empathic Concern (EC)

Perasaan simpati yang berorientasi pada orang lain dan perhatian terhadap

kemalangan orang lain. Aspek ini juga merupakan cermin dari perasaan

kehangatan yang erat kaitannya dengan kepekaan dan kepedulian terhadap orang

lain. Tidak jelas apakah kecenderungan untuk mengalami perasaan simpati dan

kepedulian terhadap orang lain akan sistematis meningkatkan atau mengganggu

kemampuan seseorang untuk terlibat dalam hubungan sosial yang bermanfaat.

Kedua, itu juga tidak diharapkan bahwa skor EC akan konsisten terkait

pada harga diri. Ketiga, hubungan antara EC, dengan skala pengukur jenis tertentu

tentang respon tindakan emosional dan emosionalitas akan tergantung pada sifat

yang tepat tindakan emosionalitas ini. Skor keprihatinan empatik diharapkan,

untuk menampilkan beberapa asosiasi dengan Langkah - langkah "global" emosi,

karena membangun dari "reaktivitas emosional" yang mendasari baik langkah –

langkah. Skor EC diharapkan menunjukkan hubungan dengan lain, yang lebih

spesifik ukuran emosionalitas yang terkait dengan kekhawatiran empatik.

Keempat, nilai EC yang mewakili perasaan, kehangatan dan simpati, harus

sangat terkait dengan langkah - langkah lain yang berorientasi pada kepekaan

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empatieprints.mercubuana-yogya.ac.id/1570/2/BAB II.pdf · diikuti dengan perkembangan yang nyata. Perubahan kognitif dan relational

18

terhadap orang lain, tindakan yang mencerminkan kepedulian terhadap orang lain.

Tindakan sensitivitas yang lebih "Egois" tidak harus berhubungan dengan EC

skor.

d. Personal Distress (PD)

Menekankan pada kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri sendiri

serta kegelisahan dalam menghadapi setting interpersonal yang tidak

menyenangkan. Personal Distress yang tinggi membuat kemampuan sosialisasi

seseorang menjadi rendah. Kedua, diperkirakan bahwa skor PD akan secara

signifikan negatif dan terkait dengan harga diri. Seperti prediksi PT / harga diri,

ini adalah berdasarkan pengaruh mediasi interpersonal yang berfungsi pada diri

sendiri. Karena tinggi skor PD yang diduga kurang menguntungkan hubungan

sosial dan harga diri mereka harus sepadan . Ketiga, Hubungan skor PD (seperti

skor EC) dengan langkah - langkah lain dari emosionalitas harus berbeda dengan

sifat mereka. Keempat, tidak ada prediksi yang jelas ditawarkan menyangkut

hubungan antara skor dan langkah - langkah PD terhadap sensitivitas kepada

orang lain.

3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Empati

Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi proses perkembangan empati

pada diri seseorang yaitu (dalam Ginting 2009) :

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empatieprints.mercubuana-yogya.ac.id/1570/2/BAB II.pdf · diikuti dengan perkembangan yang nyata. Perubahan kognitif dan relational

19

a. Pola Asuh

Pola asuh adalah merupakan suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang

tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada

anak (Oktavia, 2008). Franz (dalam Koestner, 1990) menemukan adanya

hubungan yang kuat antara pola asuh pada masa - masa awal dengan empathic

concern anak yang mempunyai ayah yang terlibat baik dalam pengasuhan dan ibu

yang sabar dalam menghadapi ketergantungan anak (tolerance of dependency)

akan mempunyai empati yang lebih tinggi. Keterlibatan ayah dalam hal ini

berhubungan dengan jumlah waktu yang diluangkan bersama anak, sedangkan

tolerance of dependency diinterpretasikan sebagai: (1) besarnya tingkat interaksi

ibu dan anak, (2) refleksi kelembutan, responsivitas dan penerimaan terhadap

perasaan anak, yang semuanya berhubungan dengan perilaku prososial (Siegel

dalam Laurence, 1982).

Ibu yang puas dengan perannya akan mampu menciptakan anak yang

memiliki empathic concern yang tinggi (Koestner, 1990). Hal ini terjadi karena

ibu yang mempunyai keyakinan akan kemampuannya dan tidak cemas dalam

pengasuhan anak akan menciptakan hubungan kelekatan antara ibu dan anak

secara aman (secure attachement). Ibu yang mempunyai kepercayaan lebih juga

dapat memberikan perhatian atau lebih peduli perasaan anak. Hal lain yang

mempengaruhi perkembangan empati adalah kehangatan orang tua (Shaffer,

2004).

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empatieprints.mercubuana-yogya.ac.id/1570/2/BAB II.pdf · diikuti dengan perkembangan yang nyata. Perubahan kognitif dan relational

20

Orang tua yang hangat dan penuh perhatian cenderung menghargai dan

jarang menggunakan hukuman dalam menilai perilaku anak. Orang tua akan lebih

banyak menggunakan alasan - alasan yang dapat diterima anak dalam

menjelaskan mengapa suatu perbuatan dinilai salah. Selanjutnya hal - hal di atas

akan dijadikan model bagi anak dalam mengembangkan empathic concern, atau

dengan kata lain anak akan melakukan proses modeling pada ibu dalam

berempati. Selanjutnya yang berhubungan dengan pola asuh adalah metode

pendisiplinan yang diterapkan orang tua terhadap anak. Metode ini diterapkan

dengan memfokuskan perhatian anak pada perasaan dan reaksi orang lain.

Matthews (Barnett, 1979) berpendapat bahwa perkembangan empati lebih besar

terjadi dalam lingkungan keluarga yang: (1). Memberikan kepuasan pada

kebutuhan emosional anak dan tidak terlalu mementingkan kepentingan pribadi,

(2). Mendorong anak untuk mengalami emosi dan mengekspresikan emosinya,

dan (3). Memberikan kesempatan untuk mengobservasi dan berinteraksi dengan

orang lain sehingga mengasah kepekaan dan kemampuan emosi.

Terdapat 4 macam pola asuh menurut Diana Baumirnd, 1917 yaitu :

(dalam Santrock, 2002)

1. Pola asuh otoriter (Authoritarian parenting)

Ialah suatu gaya membatasi dan menghukum yang menuntut anak untuk

mengikuti perintah – perintah orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha.

Orang tua otoriter menetapkan batas yang tegas dan tidak memberi peluang yang

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empatieprints.mercubuana-yogya.ac.id/1570/2/BAB II.pdf · diikuti dengan perkembangan yang nyata. Perubahan kognitif dan relational

21

besar kepada anak – anak untuk berbicara (bermusyawarah). Pengasuhan yang

otoriter diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak – anak.

2. Pola asuh otoritatif (Authoritative parenting)

Mendorong anak – anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas –

batas dan pengendalian atas tindakan – tindakan mereka. Musyawarah verbal yang

ekstensif dimungkinkan, dan orang tua memperlihatkan kehangatan serta kasih

sayang kepada anak. Pengasuhan yang otoritatif diasosiasikan dengan kompetensi

sosial anak – anak.

3. Pola asuh permisif

Terjadi dalam 2 bentuk : Permissive indifferent dan Permissive indulgent

(Maccoby dan Martin, 1983). Pengasuhan yang permissive indifferent ialah suatu

gaya dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak, tipe

pengasuhan ini diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak khususnya

kurangnya kendali diri. Pengasuhan yang permissive indulgent ialah suatu gaya

pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak – anak

mereka tetapi menetapkan sedikit batas atau kendali terhadap mereka. Pengasuhan

yang permissive indulgent diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak,

khususnya kurangnya kendali diri.

b. Kepribadian

Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi akan mempunyai

tingkat empat dan nilai prososial yang tinggi pula (Koestner, 1990), sedangkan

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empatieprints.mercubuana-yogya.ac.id/1570/2/BAB II.pdf · diikuti dengan perkembangan yang nyata. Perubahan kognitif dan relational

22

individu yang memiliki self direction, need for achievement dan need for power

yang tinggi akan mempunyai tingkat empati yang rendah.

c. Jenis Kelamin

Berdasarkan beberapa penelitian diketahui bahwa perempuan mempunyai

tingkat empat yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan laki - laki.

Karakteristik yang diatribusikan pada perempuan dibandingkan laki - laki adalah

kecenderungan berempati. Persepsi stereotip ini didasarkan pada kepercayaan

bahwa perempuan lebih nurturance (bersifat memelihara) dan lebih berorientasi

interpersonal dibandingkan laki - laki (Parsons dan Bales dalam Eisenberg &

Strayer, 1987). Penelitian yang dilakukan oleh Marcus (dalam Eisenberg &

Strayer, 1987) berupa cerita hipotetik yang diajukan untuk melihat respon empati,

didapatkan hasil bahwa anak perempuan lebih empatik dalam merespon secara

verbal keadaan distress orang lain. (Buck, 1995) dalam penelitiannya menemukan

hasil, ada perbedaan dalam hubungan dengan orientasi eksternal dan internal.

Perempuan lebih berorientasi eksternal (orientasi pada orang lain), sedangkan laki

- laki lebih berorientasi internal (orientasi pada diri sendiri).

d. Variasi Situasi, Pengalaman dan Objek Respon

Tinggi rendahnya kemampuan berempati seseorang akan sangat

dipengaruhi oleh situasi, pengalaman dan respon empati yang diberikan. Secara

umum anak akan lebih berempati pada orang yang lebih mirip dengan dirinya

dibandingkan dengan orang yang mempunyai perbedaan dengan dirinya (Krebs,

1987).

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empatieprints.mercubuana-yogya.ac.id/1570/2/BAB II.pdf · diikuti dengan perkembangan yang nyata. Perubahan kognitif dan relational

23

e. Usia

Kemampuan berempati akan semakin bertambah dengan meningkatnya

usia. Hal ini dikarenakan bertambahnya pemahaman perspektif (Mussen, 1989).

Usia juga akan mempengaruhi proses kematangan kognitif dalam diri seseorang.

f. Derajat Kematangan

Gunarsa (Gunarsa, 1979) mengatakan bahwa empati itu dipengaruhi oleh

derajat kematangan. Maksud derajat kematangan adalah besarnya kemampuan

seseorang dalam memandang sesuatu secara proporsional.

g. Sosialisasi

Semakin banyak dan semakin intensif seorang individu melakukan

sosialisasi maka akan semakin terasah kepekaannya terhadap emosi orang lain.

Matthew (Hoffman, 1996) menyatakan beberapa hal yang menjadikan sosialisasi

sebagai komponen yang berpengaruh terhadap empati, yaitu: (1). Sosialisasi

membuat seseorang mengalami banyak emosi, (2). Sosialisasi membuat seseorang

dapat mengamati secara langsung situasi internal orang lain, (3). Sosialisasi

membuka terjadinya proses role taking, (4). Terdapat banyak afeksi sehingga

seseorang akan menjadi lebih terbuka terhadap kebutuhan emosi orang lain, dan

(5). Dalam sosialisasi ditemukan banyak model yang dapat memberikan banyak

contoh kebiasaan prososial dan perasaan empati yang dinyatakan secara verbal.

Dari berbagai faktor - faktor yang mempengaruhi empati diatas penulis

mengambil salah satu dari faktor tersebut adalah pola asuh. Dan salah satunya

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empatieprints.mercubuana-yogya.ac.id/1570/2/BAB II.pdf · diikuti dengan perkembangan yang nyata. Perubahan kognitif dan relational

24

yang digunakan oleh penulis adalah pola asuh otoriter. Dalam kehidupan sekarang

ini perkembangan remaja sangat dipengaruhi oleh pola asuh dari setiap orang tua

walaupun perkembangan sosialnya tidak hanya dari orang tua tapi juga dari

lingkungan sekolah dan lingkungan sekitar remaja tersebut tinggal tapi orang tua

lebih mengambil perannya karena pada masa remaja, orang tua lebih mengatur

pergaulan remaja tersebut

B. Pola Asuh Otoriter Orang Tua

1. Pengertian Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter (Authoritarian parenting) ialah suatu gaya membatasi

dan menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah – perintah orang

tua dan menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua otoriter menetapkan batas

yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar kepada anak – anak untuk

berbicara (bermusyawarah). Pengasuhan yang otoriter diasosiasikan dengan

inkompetensi sosial anak – anak (Santrock, 2002). Menurut Stewart dan Koch,

1983 orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri antara lain:

kaku, tegas, suka menghukum, kurang ada kasih sayang serta simpatik. Orang tua

memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, serta mencoba

membentuk tingkah laku sesuai dengan tingkah lakunya serta cenderung

mengekang keinginan anak. Orang tua tidak mendorong serta memberi

kesempatan kepada anak untuk mandiri dan jarang memberi pujian. Hak anak

dibatasi tetapi dituntut tanggung jawab seperti anak dewasa (dalam Aisyah, 2010).

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empatieprints.mercubuana-yogya.ac.id/1570/2/BAB II.pdf · diikuti dengan perkembangan yang nyata. Perubahan kognitif dan relational

25

Pola asuh otoriter adalah cara orang tua mengasuh anak dengan

menetapkan standar perilaku bagi anak, tetapi kurang responsif pada hak dan

keinginan anak. Orang tua berusaha membentuk, mengendalikan, serta

mengevaluasi tingkah laku anak sesuai dengan standar tingkah laku yang

ditetapkan orang tua. Dalam pola pengasuhan ini orang tua berlaku sangat ketat

dan mengontrol anak tapi kurang memiliki kedekatan dan komunikasi berpusat

pada orang tua (Rahmasari, 2014). Gaya pengasuhan otoriter, berusaha untuk

mengontrol anak – anak mereka melalui aturan, orang tua juga menggunakan

reward dan punishment untuk membuat anak – anaknya mengikuti aturan,

disamping itu orang tua mengontrol mereka dengan aturan dengan sedikit

penjelasan. Orang tua yang otoriter menuntut tapi tidak hangat, selain itu mereka

memberikan anak – anak mereka sedikit otonomi. (Dacey dan Kenny, 1997).

Santrock, 2009 menyatakan bahwa pola asuh otoriter ini adalah

membatasi, dengan gaya hukuman dimana orang tua mendesak remaja untuk

mengikuti arah orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha mereka, batas

tegas dan control ditempatkan pada masa remaja, dan pertukaran lisan sedikit

diperbolehkan. Gaya ini dikaitkan dengan remaja perilaku tidak kompeten secara

sosial. Disamping itu menempatkan nilai tinggi pada ketaatan dan kesesuaian.

Mereka cenderung menghukum, mutlak dan kuat tindakan disiplinnya. Karena

yang mendasari orang tua otoriter adalah anak yanga harus menerima tanpa

pertanyaan aturan dan standar yang ditetapkan orang tua. Mereka cenderung tidak

mendorong perilaku independen dan, sebagai gantinya membatasi otonomi anak.

Selain itu orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter dimana orang tua

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empatieprints.mercubuana-yogya.ac.id/1570/2/BAB II.pdf · diikuti dengan perkembangan yang nyata. Perubahan kognitif dan relational

26

menerapkan displin yang kaku dan menuntut anak untuk mematuhi aturan –

aturannya, membuat remaja menjadi frustasi (dalam Soetjiningsih, 2014).

Menurut Dacey dan Kenny, 1997 mengemukakan bahwa beberapa orang tua

memakai gaya pengasuhan otoriter, mereka menanggapi tantangan remaja mereka

denga menjadi lebih ketat. Dan para orang tua juga merasa bahwa jika mereka

menenkankan segera, maka remaja akan pulang tepat waktu, membersihkan

kamar tidur mereka dan berpakaian rapi.

Steinberg, 2002 mengemukakan bahwa gaya pengasuhan otoirter,

menempatkan nilai tinggi pada ketaatan dan kesesuaian. mereka cenderung

menghukum, mutlak, dan kuat tindakan disipliner. Karena keyakinan yang

mendasari orang tua otoriter adalah bahwa anak harus menerima tanpa bertanya

aturan dan standar yang ditetapkan oleh orang tua. Mereka cenderung tidak

mendorong, dan membatasi pada pentignya otonomi anak. Remaja yang besar

dirumah otoriter, lebih tergantung, lebih pasif, kurang mahir sosial, kurang

meyakinkan diri, dan kurang intelektual, sebagai lawan untuk penelitian tentang

pola asuh otoritatif. (dalam Chao, 1994 ; Dornbusch, dkk, 1987 ; Lamborn, dkk

1996 ; Steinberg dkk, 1994).

Beberapa penjelasan telah ditawarkan atau temuan ini. Pertama, beberapa

penulis telah menyarankan bahwa, karena keluarga etnis minoritas lebih mungkin

untuk hidup dalam masyarakat yang berbahaya. Pola asuh otoriter, dengan

penekanan pada pengendalian, mungkin tidak berbahaya dan bahkan dapat

membawa beberapa manfaat. Kedua, karena beberapa peneliti telah menunjukkan

Chao, 1994 ; Gonzales, 1996, perbedaan antara orangtua otoritatif dan otoriter

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empatieprints.mercubuana-yogya.ac.id/1570/2/BAB II.pdf · diikuti dengan perkembangan yang nyata. Perubahan kognitif dan relational

27

mungkin tidak selalu masuk akal bila diterapkan orang tua dari budaya lain.

Misalnya, orang tua kulit putih sering menggabungkan tingkat yang sangat tinggi

dari ketatnya (seperti orang tua otoriter putih) dengan kehangatan (seperti orang

tua otoritatif putih). Formoso, dkk, 1997 ; Rohner, dkk, 1986) ; Smetana, dkk,

2000 ; Yau, dkk, 1996 menyatakan bahwa jika mereka terlalu fokus pada orang

tua, ketika peneliti mengamati hubungan keluarga, peneliti dapat melabeli

kelompok etnis lain pendekatan untuk membesarkan anak (yang muncul sangat

mengontrol tetapi yang tidak menyendiri atau bermusuhan) sebagai otoriter

(dalam Steinberg, 2002).

Ahadi, dkk, 2014 mengemukakan bahwa gaya pengasuhan otoriter

merupakan memamerkan kekuasaan orangtua adalah faktor pertama membedakan

gaya ini dengan dua gaya yang lain. Orang tua ini menempatkan tuntutan tinggi

pada anak tetapi tidak responsif terhadap kebutuhan anak. Orang tua otoriter

membawa efek negatif tentang perkembangan kreativitas dan kognisi anak. Anak-

anak yang berulang kali mengancam memiliki kecenderungan isolasi, depresi,

rendah diri, banyak stres, keingintahuan rendah dan permusuhan kepada orang

lain. Para peneliti telah menemukan bahwa orang tua otoriter membina anak-anak

dengan kurangnya otonomi, rasa ingin tahu dan kreativitas. Dari uaraian diatas

dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoriter merupakan pola asuh yang

memberikan aturan yang tegas terhadap remaja denga memberikan sedikit

otonomi, selain tegas juga mengontrol tingkah laku atau kegiatan yang harus

dilakukan oleh remaja tersebut. Pola asuh ini berdampak pada perilaku dan

perkembangan sosial mereka.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empatieprints.mercubuana-yogya.ac.id/1570/2/BAB II.pdf · diikuti dengan perkembangan yang nyata. Perubahan kognitif dan relational

28

2. Ciri – Ciri Pola Asuh Otoriter

Hurlock (1993) mengemukankan ciri – ciri pola asuh, yaitu : (dalam

Yusuf, 2002)

a. Anak harus tunduk dan patuh pada kehendak orang tua dan

memperlakukan anak dengan tegas yang dimaksudkan bahwa orang tua

bersikap kaku atau keras pada anak.

b. Pengontrolan orang tua pada tingkah laku anak sangat ketat hampir tidak

pernah memberi pujian, kurang kasih sayang, kurang simpatik dan mudah

menyalahkan segala aktivitas anak terutama ketika anak ingin berlaku

kreatif yang orang tua lakukan dengan anak seperti diatas akan bersikap

mengomando atau mengharuskan / memerintah anak untuk melakukan

sesuatu tanpa kompromi, dan juga memiliki sikap menerimanya rendah

tetapi mengontrolnya tinggi.

c. Sering memberikan hukuman fisik jika terjadi kegagalan memenuhi

standar yang telah ditetapkan orang tua karena selain itu dihukum karena

orang tua menganggap tidak sesuai dengan keinginan orang tua dan orang

tua bersikap dengan memberi hukuman.

d. Terlalu banyak aturan yang cenderung sikap orang tuanya emosional dan

bersikap menolak yang hanya menuntut kepatuhan semata.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoriter

sangat mempengaruhi kepribadian remaja dan perkembangan sosialnya. Remaja

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empatieprints.mercubuana-yogya.ac.id/1570/2/BAB II.pdf · diikuti dengan perkembangan yang nyata. Perubahan kognitif dan relational

29

yang mendapat pola asuh ini akan menjadi remaja yang mudah tersinggung,

penakut, pemurung, tidak bahagia, mudah terpengaruhi, mudah stress, tidak

mempunyai arah masa depan yang jelas dan juga tidak bersahabat (Yusuf, 2002).

Dapat dikatakan bahwa remaja yang memiliki perilaku yang seperti itu, terhambat

dalam perkembangan sosialnya.

C. Hubungan Antara Pola Asuh Otoriter Orang Tua Dengan Empati

Pada Remaja Awal

Orang tua yang otoriter sangat berkuasa terhadap anak, memegang

kekuasaan tertinggi serta mengharuskan anak patuh pada perintahnya. Dengan

berbegai cara, segala tingkah laku anak dikontrol dengan ketat (dalam Aisyah,

2010). Pola asuh otoirter menjadikan remaja berperilaku mudah tersinggung,

penakut, pemurung, tidak bahagia, mudah terpengaruh, mudah stress, tidak

mempunyai arah masa depan yang jelas, dan tidak bersahabat (Yusuf, 2002).

Pola asuh otoriter cenderung menjadikan kepribadian remaja mudah

tersinggung ini dikarenakan remaja tersebut cenderung mengambil sudut pandang

dirinya sendiri, misalnya disaat temannya berkata atau menyampaikan suatu

pendapat yang menurut temannya hal tersebut bukanlah hal serius tetapi dalam

sudut pandangnya itu merupakan hal serius. Hal ini menjadikan remaja tersebut

memiliki empati yang rendah. Selain menjadikan remaja mudah tersinggung, pola

asuh otoriter orang tua juga menjadikan remaja memiliki kepribadian yang mudah

stres karena remaja mengalami kecemasan dan kegelisahan dalam mengahadapi

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empatieprints.mercubuana-yogya.ac.id/1570/2/BAB II.pdf · diikuti dengan perkembangan yang nyata. Perubahan kognitif dan relational

30

dirinya sendiri dilihat dari sisi yang tidak menyenangkan, kepribadian tersebut

menjadikan remaja memiliki empati yang rendah.

Lebih lanjut, orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter terhadap

remaja, remaja tersebut cenderung memiliki kepribadian yang mudah terpengaruh

dan penakut, yang dimaksudkan disini bahwa remaja ini cenderung merasa bahwa

sudut pandangnya benar tanpa memperhatikan sudut pandang orang lain, seperti

disaat temannya mengatakan atau memberitahukan harus berperilaku baik atau

buruk remaja tersebut akan mengikutinya tanpa menyaring terlebih dahulu yang

dilakukan atau dikatakan ini benar atau salah hal ini dapat menjadikan remaja ini

memiliki empati yang rendah.

Remaja yang memiliki kepribadian tidak mempunyai arah masa depan

yang jelas dikarenakan orang tuanya menerapakan pola asuh otoriter sehingga

remaja tersebut tidak memiliki kemampuan untuk berimajinasi atau berkhayal

mengenai masa depan dari kepribadian ini dapat menjadikan remaja memiliki

empati yang rendah. Disamping itu pola asuh otoriter orang tua ini juga memiliki

kepribadian yang tidak bahagia dan permurung dikarenakan remaja tersebut

mengalami kecemasan dan kegelisahan yang berorientasi pada dirinya sendiri dari

sisi tidak menyenangkan, menjadikan remaja tersebut memiliki empati yang

rendah. Pola asuh otoriter ini memiliki kepribadian yang tidak bersahabat

dikarenakan remaja tersebut tidak memiliki perasaan simpati atau perhatian

terhadap orang lain, kerpibadian ini menjadikan remaja tersebut susah menjalin

hubungan dengan teman sebaya dan jarang memiliki teman, hal ini dapat

menjadikan remaja tersebut memiliki empati yang rendah.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empatieprints.mercubuana-yogya.ac.id/1570/2/BAB II.pdf · diikuti dengan perkembangan yang nyata. Perubahan kognitif dan relational

31

D. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara pola

asuh otoriter dengan empati pada remaja awal. artinya semakin tinggi pola asuh

otoriter, maka semakin rendah empati pada remaja awal, begitu juga sebaliknya,

semakin rendah pola asuh otoriter, maka semakin tinggi empati pada remaja awal.