BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. - repository.ump.ac.idrepository.ump.ac.id/3310/3/Trias Eka Nurlela BAB...
-
Upload
nguyenthien -
Category
Documents
-
view
220 -
download
0
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. - repository.ump.ac.idrepository.ump.ac.id/3310/3/Trias Eka Nurlela BAB...
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Terapi Intravena
1. Pengertian
Terapi intravena merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan
dengan cara memasukkan cairan melalui intravena dengan bantuan infus set
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit tubuh
(Tamsuri,2008). Pemasangan infuse adalah tindakan pemasangan kateter
intravena pada vena tertentu untuk memberikan terapi intravena. Terapi
intravena digunakan untuk mengoreksi berbagai kondisi pasien, terutama dalam
hal pemasukan peroral tidak adekuat, ketidakseimbangan elektrolit, kurangnya
nutrient tubuh, untuk medikasi secara IV dan untuk memasukkan produk darah
(Craven &Hirnle, 2000).
Selain itu terapi intravena diberikan untuk memperbaiki atau mencegah
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit pada penyakit akut dan kronis dan juga
digunakan untuk pemberian obat intravena (Potter dan Perry, 2005).
2. Tujuan Terapi Intravena
Tujuan utama terapi intravena diberikan pada pasien menurut Sugiarto (2006)
adalah:
a. Mengembalikan dan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
tubuh.
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
12
b. Memberikan obat-obatan dan kernoterapi.
c. Transfusi darah dan produk darah.
d. Memberikan nutrisi parenteral dan suptemen nutrisi.
3. Indikasi Terapi Intravena
Selain untuk pemberian cairan, pemasangan intravena juga berfungsi untuk
pemberian obat IV dengan indikasi yaitu:
a. Pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui intravena
langsung masuk ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya, pada kasus
infeksi bakteri dalam peredaran darah (sepsis). Sehingga memberikan
keuntungan lebih dibandingkan memberikan obat oral. Namun sering
terjadi, meskipun pemberian antibiotika intravena hanya diindikasikan pada
infeksi serius, rumah sakit rnemberikan antibiotika jenis ini tanpa melihat
derajat infeksi. Antibiotika oral pada kebanyakan pasien dirawat di RS
dengan infeksi bakteri, sama efektifnya dengan antibiotika intravena, dan
lebih menguntungkan dan segi kemudahan administrasi RS, biaya
perawatan. dan lamanya perawatan.
b. Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika
dimasukkan melalui mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalarn
sediaan intravena (sebagai obat suntik). Misalnya antibiotika golongan
aminoglikosida yang susunan kimiawinya “polications” dan sangat polar,
sehingga tidak dapat diserap rnelalui jalur gastrointestinal di usus hingga
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
13
sampai masuk ke dalam darah). Maka harus dimasukkan ke dalam
pembuluh darah langsung.
c. Pasien tidak dapat minum obat karena rnuntah, atau memang tidak dapat
menelan obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini,
perlu dipertirnbangkan pemberian rnelalui jalur lain sepe rektal (anus),
sublingual (di bawah lidah), subkutan (di bawah kulit), dan intramuskular
(disuntikkan di otot).
d. Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedak atau obat masuk
ke pernapasan), sehingga pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan.
e. Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan
melalui injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik atau vena).
Peningkatan cepat konsentrasi obat dalam darah tercapai. Misalnya pada
orang yang mengalami hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada
penderita diabetes melitus. Alasan ini juga sering digunakan untuk
pemberian antibiotika melalui infus atau suntikan, namun perlu diingat
bahwa banyak antibiotika memiliki bioavailabilitas oral yang baik, dan
mampu mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri.
Dari uraian di atas dapat diketahui hahwa pemberian atau pemasangan terapi
intravena harus sesuai indikasi pada keadaan-keadaan tertentu dan berfungsi
untuk pemberian obat intravena. Secara garis besar, Sugiarto (2006)
menyimpulkan bahwa indikasi pemasangan terapi intravena, yaitu:
1) Pemberian cairan intravena (intravenous fluids).
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
14
2) Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah) dalam
jumlah terbatas.
3) Pemberian kantong darah dan produk darah.
4) Pemberian obat yang terus-menerus (continiu).
5) Upaya profilaksis (tindakan pencegahan sebelum prosedur (misalnya
pada operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus
intravena untuk persiapan jika terjadi syok, juga untuk memudahkan
pemberian obat).
6) Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya
resiko dehidrasi (kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa),
sebelum pembuluh darah kolaps (tidak teraba). sehingga tidak dapat
dipasang jalur infus.
4. Keuntungan dan Kerugian Terapi Intravena
a. Keuntungan
Menurut Sugiarto (2006), terapi intravena mempunyai keuntungan sebagai
berikut :
1) Efek terapeutik segera dapat tercapai karena penghantaran obat ke
tempat target berlangsung cepat.
2) Absorsi total memungkinkan dosis obat lebih tepat dan terapi lebih
dapat diandalkan.
3) Kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek terapeutik dapat
dipertahankan maupun dimodifikasi.
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
15
4) Rasa sakit dan iritasi obat-obat tertentu jika diberikan intramuskular
atau subkutan dapat dihindari.
5) Sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorbsi dengan rute lain karena
molekul yang besar, iritasi atau ketidak stabilan dalam traktus
gastrointestinalis.
b. Kerugian
Sugiarto (2006) mengatakan hahwa terapi intravena mempunyai kerugian
sebagai berikut:
1. Tidak bisa dilakukan “drug recall” dan rnengubah aksi obat tersebut
sehingga resiko toksisitas dan sensitivitas tinggi.
2. Kontrol pemberian yang tidak baik bisa rnenyebabkan “speed shock”.
3. Komplikasi tambahan dapat timbul, yaitu kontaminasi mikroba
melalui titik akses ke sirkulasi dalam periode tertentu, iritasi vaskular
seperti flebitis mekanik dan kimia, inkompabilitas obat dan interaksi
dari berbagai obat tambahan.
5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terapi intravena
a. Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Sisi Penusukan Vena
Menurut Sharon dalam Sugiarto (2006) ada beherapa faktor yang
mempengaruhi pemilihan sisi penusukan vena, yaitu:
1) Umur pasien; misalnya pada anak kecil. pemilihan sisi adalah sangat
penting dan mempengaruhi berapa larna IV perifer berakhir.
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
16
2) Prosedur yang diantisipasi; misalnya jika pasien harus menerirna jenis
terapi tertentu atau mengalami beberapa prosedur seperti pembedahan.
pilih sisi yang tidak terpengaruhi apapun.
3) Aktivitas pasien; misalnya gelisah, bergerak. tak bergerak dan perubahan
tingkat kesadaran.
4) Terapi IV sebelumnya; flebitis sebelumnya membuat vena tidak baik
untuk digunakan. Kemoterapi juga dapat membuat vena menjadi buruk
(mudah pecah).
5) Sakit sebelumnya, misalnya jangan digunakan ekstrimitas yang sakit
pada pasien stroke.
6) Kesukaan pasien; jika mungkin pertimbangkan kesukaan alami pasien
untuk sebelah kiri atau kanan.
7) Torniquet; gunakan 4 sampai 6 cm di atas titik yang diinginkan.
8) Membentuk genggaman; minta pasien membuka dan menutup
genggaman berulang-ulang.
9) Posisi tergantung; gantung lengan pada posisi menggantun (rnisalnya di
bawah batas jantung).
b. Pemilihan Kanula untuk Infus Perifer
Menurut Prajitno dalam Sugiarto (2006), pemilihan kanul dapat
mempengaruhi terapi infus perifer, antara lain:
1) Kanula plastik boleh digunakan untuk IV secara rutin, pemasangan
tidak boleh Iebih dan 48-72 jam.
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
17
2) Kanula logam digunakan bila kanula plastik tidak mungkin diganti
secara rutin setiap 48-72 jam, namun untuk kasus tertentu yang
memelihara fiksasi yang baik harus digunakan kanula plastik.
c. Pemilihan Lokasi Pemasangan IV
Pemilihan lokasi pemasangan infus menurut Sharon dalam Sugiarto (2006)
adalah :
1) Pada orang dewasa pemasangan kanula lebih baik pada lengan atas dan
pada lengan bawah, bila perlu pemasangan dilakukan di daerah sub
klavikula atau jugularis.
2) Vena tangan paling sering digunakan untuk terapi IV yang rutin.
3) Vena lengan, periksa dengan teliti kedua lengan sebelum keputusan
dibuat
4) Vena lengan atas, juga digunakan untuk terapi IV.
5) Vena ekstremitas bawah, digunakan hanya menurut kebijaksanaan
institusi.
6) Vena kepala, digunakan sesuai kebija institusi, sering dipilih pada bayi
dan anak.
d. Persiapan Psikologis pada Pasien
Persiapan psikologis pada pasien juga merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi pemasangan intravena (Sharon dalarn Sugiarto, 2006), yaitu:
1. Jelaskan prosedur sebelum melakukan dan berikan penyuluhan jika
diperlukan.
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
18
2. Berikan instruksi tentang perawatan dan keamanan IV.
3. Gunakan terapi bermain untuk anak kecil.
4. Dorong pasien untuk mengajukan pernyataan atau masalah.
e. Persiapan Pemasangan IV
Adapun persiapan pemasangan IV menurut Prajitno dalam Sugiarlo (2006)
adalah:
1) Tempat yang akan dipasang kanula terdahulu didesinfeksi dengan
antiseptik.
2) Gunakan Yodium Tinture 1-2 % atau dapat juga menggunakan
Klorheksidine, lodofer atau alkohol 70 %. Antiseptik secukupnya dan
ditunggu sampai kering minimal 30 detik sebelum dilakukan
pemasangan kanula.
3) Jangan menggunakan heksalurofen atau campuran semacam
benzalkonium dalam air untuk desinfeksi tempat tusukan.
f. Prosedur Pemasangan Infus
Prosedur pemasangan terapi intravena menurut Sharon dalam Sugiarto (2006)
adalah:
1) Lakukan pemilihan sisi dan pakai sarung tangan.
2) Pasang tourniquet di atas sisi pemasangan untuk meningkatkan
pengisian vena yang lebih baik (jika aliran arteri tidak teraba dapat
disebabkan karena tourniquet terlalu ketat).
3) Siapkan kulit sesuai kebijaksanaan institusi yang diterima.
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
19
4) Pastikan kelengkapan produk misalnya jarum, kateter atau starter pack.
5) Tusukkan alat infus ke kulit, sisi potongan jarum ke arah atas dengan
sudut kira kira 45 derajat terhadap kulit. Turunkan batang jarum sarnpai
menjadi sejajar dengan kulit dan dorong jarum sarnpai vena tertembus.
Aliran balik darah umumnya memastikan masuk kedalam vena.
6) Dengan perlahan angkat keseluruhan batang dan dorong ke dalam vena.
7) Untuk kateter ketika jarum introdukter, dorong kateter plastik melewati
jarum ke dalam pembuluh sementara jarum tidak bergerak. Cabut jarum
introdukter, patahkan, dan buang ke tempat yang aman. setelah
mernastikan bahwa darah mengalir.
8) Hubungkan set pemberian dan tentukan kecepatan aliran yang
diinginkan.
9) Fiksasi jarum atau kateter.
10) Adalah sangat membantu untuk memberi label pada sisi IV dengan
tanggal dan ukuran alat yang digunakan dalam upaya untuk
mempermudah keputusan mengenai infus atau darah.
g. Prosedur Setelah Pemasangan
Prosedur setelah pemasangan IV line menurut Prajitno dalarn Sugiarto (2006)
yaitu:
1. Beri antiseptik pada tempat pemasangan terutama pada teknik insisi.
2. Kanula difiksasi sebaik-baiknya.
3. Tutuplah dengan kasa steril.
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
20
4. Cantumkan tanggal pemasangan di tempat yang rnudah dibaca
(misalnya plester, penutup pipa infus) serta pada catatan pasien yang
bersangkutan tuliskan tanggal dan lokasi pemasangan.
h. Perawatan Tempat Pemasangan Infus
Adapun cara perawatan tempat pernasangan IV line menurut Prajitno dalarn
Sugiarto (2006) adalah :
1) Tempat tusukan diperiksa setiap hari untuk melihat kemungkinan
timbulnya komplikasi tanpa membuka kasa penutup yaitu dengan cara
meraba daerah vena tersebut, Bila ada demarn yang tidak bisa
dijelaskan dan ada nyeri tekan pada daerah penusukan, barulah kasa
penutup dibuka untuk melihat kemungkinan komplikasi.
2) Cek setiap 8 jam apakah ada tanda-tan flebitis atau infeksi.
3) Pindahkan pemasangan IV line setiap 72 jam untuk mengurangi resiko
flebitis atau infeksi lokal.
4) Bila kanula harus dipertahankan untuk waktu lama, maka setiap 48-72
jam kasa penutup harus diganti dengan yang baru dan steril.
5) Bila pada pemasangan kanula, tempat pemasangan diberi antiseptik
maka setiap penggantian kasa penutup, tempat pemasangan diberi
antise kembali.
i. Penyulit Terapi Intra Vena
Terapi intravena dapat menyebabkan beberapa penyulit yang
ringan dan dapat menyebabkan kerusakan vena sampai yang fatal sehingga
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
21
dapat menyebabkan kematian. Adapun gangguan yang dapat terjadi pada saat
terapi intravena seperti flebitis tromboflebitis, purulenta, bakteri (Prajitno
dalam Sugiarto, 2006).
Selain penyakit, ada beherapa hal yang perlu diperhatikan pada
pemasangan infus melalui jalur pembuluh darah vena. Pemasangan jalur
intravena memiliki kontraindikasi sebagai berikut:
1) Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan
infus.
2) Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan
digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada
tindakan hemodialisis (cuci darah).
3) Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang
aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).
j. Komplikasi Pemasangan Infus
Ada beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan terapi IV
menurut Sugiarto (2006), yaitu:
1) Flematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat
pecahnya pembuluh darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat
penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau “tusukan”
berulang pada daerah yang sama.
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
22
2) Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan
pernbuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh
darah.
3) Flebitis, tromboflebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pernbuluh vena,
terjadi akibat infus yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar.
4) Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah. terjadi
akibat masuknya udara yang ada dalarn cairan infus ke dalam
pembuluh darah.
5) Ekstravasasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan ekstrasel.
B. Phlebitis
1. Pengertian
Phlebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi
kimia maupun mekanik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya daerah yang
merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena.
Insiden plebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur
intravena. Komplikasi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama PH dan
tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula dimasukkan. Pemasangan jalur IV
yang tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme pada saat penusukan
(Brunner dan Sudarth, 2002).
Menurut Infusion Nursing Society (INS, 2006) phlebitis merupakan
peradangan pada tunika intima pembuluh darah vena, yang sering dilaporkan
sebagai komplikasi pemberian terapi infus. Peradangan didapatkan dari
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
23
mekanisme iritasi yang terjadi pada endhothelium tunika intima vena, dan
perlekatan tombosit pada area tersebut.
2. Klasifikasi Phlebitis
Pengklasifikasian phlebitis didasarkan pada faktor penyebabnya. Ada
empat kategori penyebab terjadinya phlebitis yaitu kimia, mekanik, agen
infeksi, dan post infus (INS, 2006).
a. Chemical Phlebitis (Phlebitis kimia)
Kejadian phlebitis ini dihubungkan dengan bentuk respon yang terjadi
pada tunika intima vena dengan bahan kimia yang menyebabkan reaksi
peradangan. Reaksi peradangan dapat terjadi akibat dari jenis cairan yang
diberikan atau bahan material kateter yang digunakan.
PH darah normal terletak antara 7,35 – 7,45 dan cenderung basa. PH
cairan yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah 7 yang berarti
adalah netral. Ada kalanya suatu larutan diperlukan konsentrasi yang lebih
asam untuk mencegah terjadinya karamelisasi dekstrosa dalam proses
sterilisasi autoclaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino,
dan lipid yang biasa digunakan dalam nutrisi parenteral lebih bersifat
flebitogenik.
Osmolalitas diartikan sebagai konsentrasi sebuah larutan atau jumlah
partikel yang larut dalam suatu larutan. Pada orang sehat, konsentrasi
plasma manusia adalah 285 ± 10 mOsm/kg H20 (Sylvia, 1991). Larutan
sering dikategorikan sebagai larutan isotonik, hipotonik atau hipertonik,
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
24
sesuai dengan osmolalitas total larutan tersebut dibanding dengan
osmolalitas plasma. Larutan isotonik adalah larutan yang memiliki
osmolalitas total sebesar 280 – 310 mOsm/L, larutan yang memliki
osmolalitas kurang dari itu disebut hipotonik, sedangkan yang melebihi
disebut larutan hipertonik. Tonisitas suatu larutan tidak hanya
berpengaruh terhadap status fisik klien akaan tetapi juga berpengaruh
terhadap tunika intima pembuluh darah. Dinding tunika intima akan
mengalami trauma pada pemberian larutan hiperosmoler yang mempunyai
osmolalitas lebih dari 600 mOsm/L. Terlebih lagi pada saat pemberian
dengan tetesan cepat pada pembuluh vena yang kecil. Cairan isototonik
akan menjadi lebih hiperosmoler apabila ditambah dengan obat, elektrolit
maupun nutrisi (INS, 2006). Menurut Imam Subekti vena perifer dapat
menerima osmolalitas larutan sampai dengan 900 mOsm/L. Semakin
tinggi osmolalitas (makin hipertonis) makin mudah terjadi kerusakan pada
dinding vena perifer seperti phlebitis, trombophebitis, dan tromboemboli.
Pada pemberian jangka lama harus diberikan melalui vena sentral, karena
larutan yang bersifat hipertonis dengan osmolalitas > 900 mOsm/L,
melalui vena sentral aliran darah menjadi cepat sehingga tidak merusak
dinding.
Kecepatan pemberian larutan intravena juga dianggap salah satu
penyebab utama kejadian phlebitis. Pada pemberian dengan kecepatan
rendah mengurangi irritasi pada dinding pembuluh darah. Penggunaan
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
25
material katheter juga berperan pada kejadian phlebitis. Bahan kateter
yang terbuat dari polivinil klorida atau polietelin (teflon) mempunyai
resiko terjadi phlebitis lebih besar dibanding bahan yang terbuat dari
silikon atau poliuretan (INS,2006).
Partikel materi yang terbentuk dari cairan atau campuran obat yang
tidak sempurna diduga juga bisa menyebabkan resiko terjadinya phlebitis.
Penggunaan filter dengan ukuran 1 sampai dengan 5 mikron pada infus
set, akan menurunkan atau meminimalkan resiko phlebitis akibat partikel
materi yang terbentuk tersebut. (Darmawan, 2008)
b. Mechanical Phlebitis (phlebitis mekanik)
Phlebitis mekanikal sering dihubungkan dengan pemasangan atau
penempatan katheter intravena. Penempatan katheter pada area fleksi lebih
sering menimbulkan kejadian phlebitis, oleh karena pada saat ekstremitas
digerakkan katheter yang terpasang ikut bergerak dan meyebabkan trauma
pada dinding vena. Penggunaan ukuran katheter yang besar pada vena
yang kecil juga dapat mengiritasi dinding vena. (The Centers for Disease
Control and Prevention, 2002)
c. Backterial Phlebitis (Phlebitis Bakteri)
Phlebitis bacterial adalah peradangan vena yang berhubungan dengan
adanya kolonisasi bakteri. Berdasarkan laporan dari The Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2002 dalam artikel
intravaskuler catheter – related infection in adult and pediatric kuman
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
26
yang sering dijumpai pada pemasangan katheter infus adalah stapylococus
dan bakteri gram negative, tetapi dengan epidemic HIV / AIDS infeksi
oleh karena jamur dilaporkan meningkat.
Tabel 2.1
Kuman pathogen yang sering ditemukan di
aliran darah Pathogen
1986 - 1989 1992 - 1999
Coagulase-negatif Staphylococcus 27 37
S Aureus 16 13
Enterococcus 8 13
Gram-negatif rods 19 14
E coli 6 2
Enterobacter 5 5
P aeruginosa 4 4
K pneumoniae 4 3
Candida species 8 8
Adanya bakterial phlebitis bisa menjadi masalah yang serius sebagai predisposisi
komplikasi sistemik yaitu septicemia. Faktor – faktor yang berperan dalam kejadian
phlebitis bakteri antara lain :
1) Tehnik cuci tangan yang tidak baik.
2) Tehnik aseptik yang kurang pada saat penusukan.
3) Tehnik pemasangan katheter yang buruk.
4) Pemasangan yang terlalu lama. (INS, 2002)
d. Post Infus Phlebitis
Phlebitis post infus juga sering di laporkan kejadiannya sebagai akibat
pemasangan infus. Phlebitis post infus adalah peradangan pada vena yang
didapatkan 48 – 96 jam setelah pelepasan infus. Faktor yang berperan
dengan kejadian phlebitis post infus, antara lain :
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
27
1) Tehnik pemasangan catheter yang tidak baik.
2) Pada pasien dengan retardasi mental.
3) Kondisi vena yang baik.
4) Pemberian cairan yang hipertonik atau terlalu asam.
5) Ukuran katheter terlalu besar pada vena yang kecil.
3. Diagnosa dan Pengenalan tanda Phlebitis
Phlebitis dapat didiagnosa atau dinilai melalui pengamatan visual yang
dilakukan oleh perawat. Andrew Jackson telah mengembangkan skor
visual untuk kejadian phlebitis, yaitu:
Tabel 2.2 VIP Score (Visual Infusion Phleitis Score) oleh andrew
jacson, dalam PPI 2014)
SKOR KEADAAN AREA PENUSUKAN PENILAIAN
0 Tempat suntikan tampak sehat Tidak ada tanda phlebitis
1 Salah satu dari berikut jelas
a. Nyeri area penusukkan
b. Adanya eritema di area
penusukkan
Mungkin tanda dini
phlebitis
2 Dua dari berikut jelas ;
a. Nyeri area penusukkan
b. Eritema
c. Pembengkakan
Stadium dini phlebitis
3 Semua dari berikut jelas;
a. Nyeri sepanjang kanul
b. Eritema
c. Indurasi
Stadium moderat phlebitis
4 Semua dari berikut jelas;
a. Nyeri sepanjang kanul
b. Eritema
c. Indurasi
d. Venous chord teraba
Stadium lanjut atau awal
thrombophlebitis
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
28
5 Semua dari berikut jelas;
a. Nyeri sepanjang kanul
b. Eritema
c. Indurasi
d. Venous chord teraba
e. Demam
Stadium lanjut
thrombophlebitis
(INS, 2006 dalam PPI 2014)
4. Tindakan Pencegahan Phlebitis
Kejadian phlebitis merupakan hal yang masih lazim terjadi pada
pemberian terapi cairan baik terapi rumatan cairan, pemberian obat melalui
intravena maupun pemberian nutrisi parenteral. Oleh karena itu sangat
diperlukan pengetahuan tentang faktor – faktor yang berperan dalam kejadian
phlebitis serta pemantauan yang ketat untuk mencegah terjadinya phlebitis
yang telah disepakati oleh para ahli, antara lain ;
a. Mencegah phlebitis bakterial
Pedoman yang lazim dianjurkan adalah menekankan pada kebersihan
tangan, tehnik aseptik, perawatan daerah infus serta antisepsis kulit. Untuk
pemilihan larutan antisepsis, CDC merekomendasikan penggunaan
chlorhexedine 2 %, akan tetapi penggunaan tincture yodium, iodofor atau
alcohol 70 % bisa digunakan.
b. Selalu waspada dan tindakan aseptic
Selalu berprinsip aseptic setiap tindakan yang memberikan manipulasi
pada daerah infus. Studi melaporkan Stopcock (yang digunakan sebagai
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
29
jalan pmberian obat, pemberian cairan infus atau pengambilan sampel
darah) merupakan jala masuk kuman.
c. Rotasi katheter
May dkk (2005) melaporkan hasil pemberian Perifer Parenteral
Nutrition (PPN), di mana mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan
kontralateral setiap hari pada 15 pasien menyebabkan bebas phlebitis.
Namun, dalam uji kontrol acak yang dipublikasi baru – baru ini oleh
webster dkk disimpulkan bahwa kateter bisa dibiarkan aman di tempatnya
lebih dari 72 jam jika tidak ada kontraindikasi. The Centers for Disease
Control and Prevention menganjurkan penggantian kateter setiap 72 – 96
jam untuk membatasi potensi infeksi.
d. Antiseptic dressing
INS merekomendasikan untuk penggunaan balutan yang trnsparan
sehingga mudah untuk melakukan pengawasan tanpa harus
memanipulasinya. Penggunaan balutan konvensional masih bisa
dilakukan, tetapi kassa steril harus diganti tiap 24 jam.
e. Kecepatan pemberian
Para ahli umumnya sepakat bahwa makin lambat infus larutan
hipertonik diberikan makin rendah resiko phlebitis. Namun, ada
paradigma berbeda untuk pemberian infus obat injeksi dengan osmolaritas
tinggi. Osmolaritas boleh mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya
beberapa jam. Durasi sebaiknya kurang dari tiga jam untuk mengurangi
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
30
waktu kontak campuran yang iritatif dengan dinding vena. Ini
membutuhkan kecepatan pemberian tinggi (150 – 330 mL/jam. Vena
perifer yang paling besar dan kateter yang sekecil dan sependek mungkin
dianjurkan untuk mencapai laju infus yang diinginkan, dengan filter
0.45mm. Katheter harus diangkat bila terlihat tanda dini nyeri atau
kemerahan. Infus relatif cepat ini lebih relevan dalam pemberian infus
sebagai jalan masuk obat, bukan terapi cairan maintenance atau nutrisi
parenteral.
f. Titrable acidity
Titrable acidity mengukur jumlah alkali yang dibutuhkan untuk
menetralkan pH larutan infus. Potensi phlebitis dari larutan infus tidak
bisa ditaksir hanya berdasarkan pH atau titrable aciditys sendiri. Bahkan
pada pH 4.0, larutan glukosa 10% jarang menyebabkan perubahan karena
titrable acidity nya sangat rendah (0.16 mEq/L). Dengan demikian makin
rendah titrable acidity larutan infus makin rendah risiko phlebitisnya.
g. Heparin dan hidrokortison
Heparin sodium, bila ditambahkan ke cairan infus sampai kadar akhir
1 unit/mL, mengurangi masalah dan menambah waktu pasang katheter.
Risiko phlebitis yang berhubungan dengan pemberian cairan tertentu
(misal, kalium, klorida, lidocain, dan antimikrobial) juga dapat dikurangi
dengan pemberian aditif IV tertentu, seperti hidrokortison. Pada uji klinis
dengan pasien penyakit koroner, hidrokortison secara bermakna
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
31
mengurangi kekerapan phlebitis pada vena yang diinfus lidokain, kalium
klorida atau antimikrobial. Pada dua uji acak lain, heparin sendiri atau
dikombinasi dengan hidrokortison telah mengurangi kekerapan phlebitis,
tetapi penggunaan heparin pada larutan yang mengandung lipid dapat
disertai dengan pembentukkan endapan kalsium.
C. Respon Nyeri
1. Pengertian Nyeri
The International Association for the study of pain (1979) dalam
Koizer (2000) mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman sensoris dan
emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan
jaringan, baik aktual maupun potensial atau dilukiskan dalam istilah seperti
kerusakan.
Pengertian nyeri lainnya adalah suatu perasaan yang tidak
menyenangkan dan disebabkan oleh stimulus spesifik seperti mekanik, termal,
kimia, atau elektrik pada ujung ujung saraf serta tidak dapat diserahkan kepada
orang lain menurut summer (1985) dalam Meliala (2004).
Nyeri bersifat subyektif,serta hanya pasien yang dapat merasakan
adanya nyeri nyeri.Perawat dapat mengetahui adanya dari keluhan pasien dan
tanda-tanda umum atau respon fisiologi pasien tubuh terhadap nyeri.keluhan
dan respon tubuh terhadap nyeri adalah: pasien tampak meringis kesakitan, nadi
naik, berkeringat, nafas cepat, pucat, berteriak, menangis, tekanan darah naik
(Aziz,2006).
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
32
2. Klasifikasi Nyeri
a. Nyeri akut yang berlangsung tidak melebihi 6 bulan, serangan mendadak
dari sebab yang sudah diketahui dan daerah nyeri biasanya sudah
diketahui, nyeri akut ditandai dengan ketegangan otot, cemas yang
keduanya akan meningkatkan persepsi yeri.
b. Nyeri kronis,nyeri yang berlangsung 6 bulan atau lebih,sumber nyeri tidak
diketahui dan tidak bisa ditemukan lokasinya.Sifat nyeri hilang dan timbul
pada periode tertentu nyeri menetap (Aziz,2006).
Karakteristik nyeri menurut Aziz (2006):
1) Pada nyeri akut dan kronis karakteristik nyeri meliputi:pengalaman
sumber, serangan, waktu, pernyataan nyeri, gejala klinis, pola dan
perjalanan.
2) Pada nyeri somatik dan nyeri viseral karakteristik nyeri meliputi:
menjalar, stimulasi reaksi otonom, dan reaksi kontraksi otot.
3. Fisiologis Nyeri
Menurut Meliala (2004) proses terjadinya nyeri secara umum dapat
dibagi tiga:
a. Jenis I : Proses stimulasi singkat
Proses terjadinya nyeri disini sederhana, yaitu: stimulus mengenai
reseptor dan reseptor mengeluarkan potensial aksi yang dijalarkan kekornu
dorsalis, kemudian diteruskan ke otak sehingga timbul persepsi nyeri.Ciri
khas ini adalah adanya korelasi yang erat antara kekuatan stimuli yang dapat
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
33
diukur dari discharge yang dijalarkan nosiseptor dengan persepsi nyeri atau
ekspresi subyektif nyeri. Contoh : Pukulan, cutan, dan aliran listrik yang
mengenai jaringan tubuh tertentu akan menyebabkan timbulnya persepsi
nyeri bila stimulus tidak begitu kuat dan tidak menimbulkan lesi maka
timbulnya persepsi nyeri yang timbul akan terjadi dalam waktu singkat.
b. Jenis II : Proses stimulasi yang berkepanjangan, yang
menyebabkan lesi atau inflamasi jaringan
Nyeri inflamasi mengenai jaringan cukup kuat dan menyebabkan
fungsi berbagai komponen sistem nosiseptor berubah.Sehingga inflamasi
dapat dikatakan penyebab utama nyeri akut atau kronis dan penyakit pada :
faringitis, appendisitis, arthritis, artikularis dan otot. Inflamasi merupakan
proses reaksi proteksi dari jaringan untuk mencegah terjadinya kerusakan
yang lebih berat, akibat dari trauma maupun infeksi. Ciri khas dari inflamasi
ialah : rubor, kalor, tumor, dolor, dan fungsiolaesa.
c. Jenis III : Proses yang terjadi akibat lesi dari sistem saraf.
Lesi saraf tepi maupun sentral pada umumnya berakibat hilangnya
fungsi seluruh atau sebagian dari sistem saraf yang sering disebut sebagai
gejala negatif, pada umumnya terjadi pada pasien neuropatia diabetikum,
atau lesi saraf sentral seperti pada pasien stroke akan menunjukkan gejala
positip yang berupa disestesia, parestesia atau nyeri. Nyeri neuropatik adalah
nyeri yang disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem saraf.
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
34
Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis
kompleks yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang memfleksikan
empat proses komponen yang nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi
dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer sampai
dirasakannya nyeri di susunsn saraf pusat (cortex cerebri).
1) Proses Transduksi
Proses dimana stimulus noksius diubah ke implus elektrikal pada
ujung syaraf suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik
kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktivitas listrik yang akan diterima
ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh
(reseptor meisneri, merkel, corpusculum, paccini, golgi mazoni).
Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau
trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana
prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari
reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri
seperti histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri.
Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer (Turk & Flor, 1999).
2) Proses Transmisi
Proses penyaluran implus melalui saraf sensori sebagai lanjutan
proses transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer
ke medulla spinalis, dimana implus tersebut mengalami modulasi
sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalaicus dan
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
35
sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama
membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral
serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan
emosi.Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps
interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin.
Selanjtnya implus disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di
cortec cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri (Davis, 2003).
3) Proses Modulasi
Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusun saraf pusat
(medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem
analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri
yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses
ascenden yang dikontrol oleh otak. Hal inilah yang menyebabkan
persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang (Turk & Flor, 1999).
4) Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi,
transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu
proses subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang
diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai
diskriminasi dari sensorik (Turk & Flor, 1999).
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
36
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang
mempengaruhi pengalaman seseorang terhadap nyeri. Seorang perawat harus
mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam menghadapi klien yang
mengalami nyeri.
a. Usia
Menurut Potter & Perry (2005) usia adalah variabel penting yang
mempengaruhi nyeri pada anak dan orang dewasa. Perbedaan
perkembangan yang ditemukan antara kedua kelompok umur ini dapat
mempengaruhi bagaimana anak dan orang dewasa bereaksi terhadap
nyeri. Anak-anak kesulitan untuk memahami nyeri dan beranggapan
kalau apa yang dilakukan perawat dapat menyebabkan nyeri. Anak-anak
yang belum mempunyai kosakata yang banyak, mempunyai kesulitan
mendeskripsikan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada orang
tua dan perawat. Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga
perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa
kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan
fungsi (Tamsuri,2007)
b. Jenis kelamin
Laki-laki dan wanita tidak mempunyai perbedaan secara signifikan
mengenai respon mereka terhadap nyeri. Masih diragukan bahwa jenis
kelamin merupakan faktor yang berdiri sendiri dalam ekpresi nyeri.
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
37
Misalnya anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis dimana
seorang wanita dapat menangis dalam waktu yang sama. Penelitian yang
dilakukan Burn, dkk. (1989) dalam Potter & Perry (2005) mempelajari
kebutuhan narkotik post operative pada wanita lebih banyak
dibandingkan dengan pria.
c. Kecemasan
Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan meningkatkan
nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaan. Riset tidak
memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten antara ansietas dan nyeri
juga tidak memperlihatkan bahwa pelatihan pengurangan stress
praoperatif menurunkan nyeri saat pascaoperatif. Namun, ansietas yang
relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi
pasien terhadap nyeri. Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri
dapat mendistraksi pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi
nyeri. Secara umum, cara yang efektif untuk menghilangkan nyeri adalah
dengan mengarahkan pengobatan nyeri ketimbang ansietas (Smeltzer &
Bare, 2001)
5. Pengukuran Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri
dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan
individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama di rasakan
sangat berbeda. Pengukuran nyeri yang paling objektif yang paling mungkin
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
38
adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri.
Namun, pengukuran dalam teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran
pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Skala penilaian numerik (Numerial Rating Scale) adalah yang paling
efektif (Potter & Perry, 2005). Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri,
maka direkomendasikan patokan 10 poin (AHCPR, 1992 dalam Potter &
Perry, 2005). Pengukuran tingkat nyeri dapat dilakukan dengan wawancara
tentang nyeri pada pasien. Perawat bertanya pada pasien tentang bagaimana
nyeri dirasakan dengan bantuan Skala Bourbonais.
Intensitas nyeri dapat dapat diukur menggunakan alat yang berupa
Verbal Discriptor Scale (VDS) dan Numerical rating scales (NRS), Visual
analog scale (VAS).
a. Verbal Descriptor Scale (VDS)
Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)
merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata
pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis.
Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang
tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan
meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan.
Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan
dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. VDS
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
39
memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan
nyeri.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak ada nyeri nyeri ringan nyeri sedang nyeri berat nyeri berat
tidak terkontrol
Gambar 2.1. Verbal Descriptor Scale (VDS)
b. Numerical rating scales (NRS)
Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih
digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien
menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Gambar. 2.2 Numerical rating scales (NRS)
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Li, Liu & Herr (2007)
dengan membandingkan empat skala nyeri yaitu Numeric Rating Scale
(NRS), Face Pain Scale Revised (FPS-R), Verbal Descriptor Scale
(VDS), dan Visual Analog Scale (VAS) pada pasien pasca bedah
menunjukkan bahwa keempat skala nyeri menunjukkan validitas dan
reabilitas yang baik. Uji reabilitas menggunakan Intraclass correlation
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
40
coefficients (ICCs) dan keempat skala nyeri ini menunjukkan konsistensi
penilaian pasca bedah setiap harinya (0,673 - 0,825) dan mempunyai
hubungan kekuatan (r = 0,71-0,99).
c. Visual Analog Scale (VAS)
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel
subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri
yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala
ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan
nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih
sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian
dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).
Keandalan VAS ini telah dibuktikan oleh Intraclass korelasi
koefisien (ICCs) dengan 95% confidence interval (95% CIS) dan Bland-
Altman analisis yang digunakan untuk menilai keandalan diperoleh
pasangan pengukuran VAS 1 menit terpisah setiap 30 menit selama dua
jam. Hasil yang diperoleh dari ringkasan ICC untuk semua pasangan
VAS skor adalah 0,97 [95% CI = 0,96-0,98]. Hal tersebut menunjukan
bahwa VAS cukup handal digunakan untuk menilai nyeri.
Tidak Nyeri Nyeri Sangat
Gambar 2.3 Visual Analog Scale (VAS)
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
41
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah
digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien
melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala,
maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskriptif bermanfaat
bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga,
mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan
setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai
apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).
D. Lidah Buaya (Aloe Vera)
1. Pengertian
Lidah buaya (Aloe vera atau Aloe barbadensis Miller) sinonim dengan
Aloe barbandenis Mill atau Aloe vulgaris. Tanaman ini merupakan family dari
Liliaceae. Nama lainnya adalah crocodiles tongoes (Inggris), Jadam (Malaysia),
Salvila (Spanyol), dan Lu hui (Cina). Lidah buaya merupakan sejenis tumbuhan
yang sudah dikenal sejak ribuan tahun silam dan digunakan sebagai penyubur
rambut, penyembuh luka, dan perawatan kulit. Tumbuhan ini dapat ditemukan
dengan mudah di kawasan kering di Afrika.
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemanfaatan
tanaman lidah buaya berkembang sebagai bahan baku industri farmasi, serta
sebagai bahan makanan dan minuman kesehatan. Secara umum, lidah buaya
merupakan satu dari 10 jenis tanaman terlaris di dunia yang mempunyai potensi
untuk dikembangkan (Agoes, 2010 dalam Sari 2013)
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
42
Lidah buaya (Aloe vera) merupakan tumbuhan berbatang pendek yang
tidak terlihat karena tertutup oleh daun – daun yang rapat dan sebagian
terbenam dalam tanah. Melalui batang inilah muncul tunas – tunas yang
selanjutnya akan menjadi tanaman anak. Aloe vera yang bertangkai panjang
juga muncul dari batang melalui celah – celah atau ketiak daun. Batang ini
dapat distek untuk perbanyakan tanaman. Peremajaan tanaman ini dilakukan
dengan memangkas habis daun dan batangnya, kemudian dari sisa tunggal
batang ini, akan muncul tunas – tunas baru (Agoes, 2010 dalam Sari 2010).
Tanaman lidah buaya dikenal sebagai bahan obat tradisional. Khasiat
yang tersimpan dari lidah buaya untuk pembersih darah, penurun panas, obat
wasir, batuk rejan dan mempercepat penyembuhan luka. Sejumlah nutrisi yang
bermanfaat terkandung di dalam lidah buaya, berupa bahan organik dan
anorganik, diantaranya vitamin, mineral dan beberapa asam amino, serta enzim
yang diperlukan tubuh. Pemanfaatan lidah buaya dapat berfungsi sebagai
antiinflamasi, antijamur, antibakteri dan regenerasi sel, untuk mengontrol
tekanan darah, menstimulasi kekebalan tubuh terhadap serangan kanker, serta
dapat digunakan sebagai nutrisi pendukung bagi penderita HIV. Penggunaan
dapat berupa gel dalam bentuk segar atau dalam bentuk jadi seperi kapsul, jus,
makanan, dan minuman kesehatan (Fredy, 2010)
2. Kandungan
Menurut seorang pengamat makanan kesehatan (suplemen), fredy
(2010) dari sekitar 200 jenis tanaman lidah buaya, yang baik digunakan untuk
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
43
pngobatan adalah jenis Aloe vera Barbadensis miller. Lidah buaya jenis ini
mengandung 72 zat yang dibutuhkan oleh tubuh. Di antarake-72 zat yang
dibutuhkan tubuh itu terdapat 18 macam asam amino, karbohidrat, lemak, air,
vitamin, mineral, enzim, hormon, dan zat golongan obat. Antara lain
antibiotok, antiseptik, antibakteri, antikanker, antivirus, antijamur,
antiinfeksi, antiperadangan, anti pembengkakan, antiparkinson,
antiaterosklerosis, serta antivirus yang resisten terhadap antibiotik.
Tanaman lidah buaya kaya akan kandungan zat-zat seperti enzim,
asam amino, mineral, vitamin, polisakarida dan komponen lain yang sangat
bermanfaat bagi kesehatan antara lain aloin, barbaloin, isobarbaloin, aloe
emodin, aleonin dan aloesin.
Tabel 2.3 Kandungan zat aktif lidah buaya (Aloe vera) yang sudah
teridentifikasi
Zat aktif Kegunaan
Lignin Mempunyai kemampuan penyerapan yang tinggi
sehingga memudahkan peresapan gel kedalam kulit atau
mukosa
Saponin Membersihkan dan bersifat antiseptik, serta bahan
pencuci yang baik
Kompleks
Anthraguinone
Sebagai bahan laksatif, penghilang rasa sakit, mengurangi
racun, sebagai antibakteri, antibiotik.
Acemannan Sebagai antivirus, antibakteri, antijamur dan dapat
menghancurkan sel tumor, serta meningkatkan daya tahan
tubuh.
Enzim
bradykinese,
karbiksipeptidase
Mengurangi inflamasi, antialergi dan dapat mengurangi
rasa sakit
Glukomannan,
mukopulypeptidase
Memberikan efek imonomudalasi
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
44
Tenin, aloctin A Sebagai anti inflamasi
Salisilat Menghilangkan rasa sakit, dan antiinflamasi
Asam amino Bahan untuk pertumbuhan dan perbaikan serta sebagai
sumber energi. Aloe vera menyediakan 20 asam amino
dari 22 AA yang dibutuhkan tubuh.
Mineral Memberikan ketahanan tubuh terhadap penyakit, dan
berinteraksi dengan vitamin untuk fungsi tubuh.
Vitamin A, B1,
B2, B6, B12, C, E,
asam folat.
Bahan penting untuk menjalankan fungsi tubuh secara
normal dan sehat.
(Setiani, 2005).
Mekanisme kerja aloe vera dalam menurunkan tingkat skala nyeri
phlebitis adalah lidah buaya menghambat migrasi sel PMN (neutrofit) ke
jaringan vena yang meradang, sehingga proses inflamasi vena dihambat.
Kandungan asam amino, glikoprotein dan aloe emodin dalam lidah buaya (aloe
vera) mempercepat perkembangan sel-sel baru dalam proses regenerasi epitel
pembuluh darah.
E. Kompres Hangat Lembab dan Dingin
1. Pengertian
Pemberian sensasi hangat dan dingin mengurangi nyeri dan memberikan
kesembuhan. Pemilihan intervensi pemberian sensasi hangat dan sensasi dingin
berbeda-beda sesuai dengan kondisi klien (MnCarber dan O Conor, 2004).
Menggunakan sensasi panas atau dingin merupakan instruksi pemberian
pelayanan kesehatan yang mencakup lokasi tubuh yang akan diobati serta jenis,
frekuensi, dan durasi pemberian.
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
45
Kompres panas adalah memberikan rasa hangat pada daerah tertentu
dengan menggunakan cairan atau alat yang menimbulkan hangat pada bagian
tubuh yang memerlukan. Tindakan ini selain untuk melancarkan sirkulasi darah
juga untuk menghilangkan rasa sakit, merangsang peristaltic usus, pengeluaran
getah radang menjadi lancar, serta memberikan ketenangan dan kesenangan
pada klien. Pemberian kompres dilakukan pada radang persendian, kekejangan
otot, perut kembung, dan kedinginan (Potter & Perry, 2010).
Kompres dingin, lembab, dan kering adalah memberi rasa dingin pada
daerah setempat dengan menggunakan kain yang dicelupkan pada air biasa atau
air es sehingga memberi efek rasa dingin pada area tersebut. Tujuan diberikan
kompres dingin adalah menghilangkan rasa nyeri akibat odema atau trauma,
mencegah kongesti kepala, memperlambat denyutan jantung, mempersempit
pembuluh darah dan mengurangi arus darah lokal. Tempat yang diberikan
kompres dingin tergantung lokasinya. Selama pemberian kompres, kulit klien
diperiksa setelah 5 menit pemberian, jika dapat ditoleransi oleh kulit diberikan
selama 20 menit dengan suhu 15˚C. Kompres ini dapat dilakukan secara bersih
atau steril (Potter & Perry, 2012)
Kompres lembab kering. Faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih
sensasi kering atau lembab yaitu tipe luka atau cidera, lokasi bagian tubuh dan
peradangan.
Kompres lembab dan hangat biasanya untuk luka terbuka, steril, hangat,
kompres lembab meningkatkan sirkulasi, mengurangi edema, pus dan
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
46
drainasse. Kompres itu sendiri terbuat dari potongan dari balutan yag tipis yang
dilembabkan dalam larutan yang hangat. Sedang balutan kasa atau bahan kaca
yang dipasang di area tubuh yang besar.
Panas dari kompres hangat hilang secara cepat maka perlu
mempertahankan suhu yang konstan, dengan cara perawat perlu mengganti
kompresan sesering mungkin bisa juga dengan diberikan lapisan pemanas anti
air pada kompres. Karena kelembaban menghasilkan panas, setiap pengaturan
suhu harus lebih rendah untuk kompres lembab dibanding pemberian sensasi
kering, panas yang lembab memberikan vasodilatasi dan evaporasi panas dari
permukaan kulit (Potter & Perry, 2010)
2. Derajat suhu air untuk kompres (Wolf, 1984 dalam Ningsih, 2013)
a. Dingin sekali : dibawah 13˚C (55ᵒF)
b. Dingin : 10 - 18˚C (50 - 65˚F)
c. Sejuk : 18 - 26˚C (65 - 80˚F)
d. Hangat kuku : 26 - 34˚C (80 - 93˚F)
e. Hangat : 34 - 37˚C ( 93 - 98˚F)
f. Panas : 37 - 41˚C (98 - 105˚F)
g. Sangat panas : 41 - 46˚C (105 - 115˚F)
3. Keuntungan dan Kerugian Pemberian Kompres Hangat Lembab
a. Keuntungan :
1) Pemberian sensasi lembab mengurangi kekeringan kulit dan
melembutkan eksudat luka.
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
47
2) Kompres lembab menyesuaikan diri dengan baik terhadap sebagian
besar area tubuh.
3) Panas yang lembab masuk ke dalam lapisan jaringan panas lembab
yang hangat tidak membuat keringat dan kehilangan cairan yang
dapat dilihat.
b. Kerugian :
1) Paparan yang lama menyebabkan kemerahan pada kulit.
2) Panas yang lembab akan menjadi dingin dengan cepat karena
evaporasi yang lembab.
3) Panas yang lembab menghasilkan resiko yang lebih besar terhadap
kulit yang terbakar karena kelembaban menghasilkan panas.
4. Langkah-langkah untuk memberikan kompres hangat lembab (Potter &
Perry, 2010)
a. Peralatan
1) Larutan hangat yang dianjurkan pada suhu yang tepat.
2) Balutan tipis yang steril atau kompres yang sudah dipersiapkan.
3) Sarung tangan bersih
4) Alat anti air/perlak.
b. Langkah-langkah
1) Lihat instruksi pemberian layanan kesehatan akan jenis kompres, lokasi
dan durasi pemberian kompres, suhu yang diinginkan, serta kebijakan
rumah sakit terkait suhu kompres.
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
48
2) Lihat catatan medis untuk mengidentifikasi adanya kontra indikasi
sistemik terhadap pemberian kompres hangat.
3) Cuci tangan.
4) Periksa kondisi kulit terbuka dan luka dimana perawat akan
memperikan kompres.
5) Kaji ekstremitas klien terhadap kesensitifan terhadap suhu dengan
mengukurnya melalui sentuhan ringan dan sensasi suhu.
6) Siapkan alat dan persediaan.
7) Jelaskan langkah-langkah prosedur dan tujuan pada klien.
8) Jelaskan langkah-langkah pencegahan untuk mencegah luka bakar.
9) Menutup pintu dan tirai tempat tidur.
10) Membantu klien dalam menemukan posisi yang nyaman, sejajar
dengan garis tubuh dan menempatkan alas anti air (perlak) dibawah
area yang akan diobati.
11) Buka area tubuh yang mau diobati dengan kompres, dan bungkus klien
dengan selimut (jika diperlukan).
12) Siapkan kompres
13) Bila menggunakan sumber panas, hangatkan larutan. (Perawat harus
memeriksa suhu sebelum memberikan kompres pada lengan bawah
klien).
14) Pasang sarung tangan bersih
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
49
15) Angkat lapisan kasa atau kain tipis yang dicelup, peras dari berlebihnya
cairan, dan taruh pada luka. Dalam beberapa detik (5-20 detik), angkat
tepi kasa untuk mengkaji tanda adanya kemerahan.
16) Setelah kompres dilakukan kita kaji kembali luka atau kondisi kulit dan
kemudian bilas dengan kain/kasa yang kering.
17) Kaji klien setelah dilakukan kompres.
18) Bereskan alat dan buang kompres yang kotor.
19) Cuci Tangan.
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
50
F. Kerangka Teori Penelitian
G.
Gambar.2.2 Kerangka Teori Penelitian
(Sumber : Potter & Perry 2010)
Terapi Intravena a. Lamanya
pemasangan infus
b. Waktu dressing
infus
c. Ph &Osmolalitas
d. Cuci tangan
e. Teknik aseptik
Penatalaksanaan Non-
farmakologi :
a. Relaksasi
b. Distraksi
c. Kompres dingin
(Lidah buaya/aloe
vera)
d. Kompres hangat
e. Terapi musik
f. Massage
Faktor-faktor yang
mempengaruhi
nyeri:
1. Usia
2. Jenis
Kelamin
3. Kecemasan
Phlebitis
Skala Nyeri dengan Numerik
0 : Tidak ada
10 : Nyeri Sangat Hebat
Perubahan Skala Nyeri
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015
51
H. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Variebal Bebas Variabel Terikat
Gambar 2.3. Kerangka Konsep
I. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang
kebenarannya harus diuji secara empiris (Nasir, Abdul, dan Ideputri, 2011).
Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini yaitu “ Kompres lidah buaya
lebih efektif daripada kompres air hangat dalam penurunan tingkat skala nyeri
phlebitis”.
Teknik kompres:
a. Kompres
Lidah Buaya
(gel Aloe
vera)
b. Kompres Air
Hangat
Respon Nyeri
Variabel
pengganggu:
a. Usia
b. Jenis
kelamin
c. Kecemasan
Perbandingan Efektivitas Penggunaan..., Trias Eka Nurlela, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2015