BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Burnout
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Burnout
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Burnout
1. Pengertian Burnout
Istilah burnout pertama kali dikemukakan Freudenberg, seorang
psikiater di New York pada tahun 1974. Sebagai seorang psikiater, Freudenberg
melihat banyak sukarelawan yang awalnya semangat membantu pasien, tiba-
tiba mengalami penurunan motivasi dan komitmen kerja, penurunan ini disertai
dengan gejala kelelahan fisik dan mental. Menurut Maslach & Schaufeli
(Schaufeli, 2008) burnout merupakan kelelahan baik secara fisik maupun
emosional yang menyebabkan berkembangnya konsep diri negatif, kurangnya
konsentrasi, dan sikap kerja yang buruk. Pendapat lain menyatakan burnout
sebagai keadaan lelah atau frustasi yang disebabkan terhalangnya pencapaian
sehingga muncul perubahan sikap dan perilaku yang menyebabkan seseorang
menarik diri secara psikologis dari pekerjaannya, biasanya seseorang menjadi
cenderung menjaga jarak dengan klien atau bersikap sinis terhadap mereka
(Pangesti, 2012).
Selain menyebabkan perubahan sikap, biasanya burnout diikuti dengan
menurunnya prestasi kerja seperti menurut Ivancevich (2006), burnout adalah
proses psikologis yang disebabkan stres kerja yang tidak terlepaskan, sehingga
menyebabkan kelelahan emosi, perubahan kepribadian, dan perasaan serta
penurunan pencapaian. Siagian (2009) berpendapat bahwa burnout adalah
16
kondisi mental, emosional, dan kelelahan fisik yang disebabkan stres yang
berlanjut dan tidak teratasi. Menurut Greenberg (2002) burnout adalah dampak
dari stres kerja baik secara psikologis, psikofisiologis dan perilaku yang sifatnya
merugikan.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, burnout adalah kondisi
kelelahan kerja yang diakibatkan stres kerja yang tidak tertangani, sehingga
mengakibatkan penurunan pencapaian, perubahan sikap, dan masalah baik fisik
maupun psikologis pada seorang pekerja.
2. Gejala Burnout
Orang-orang yang cenderung mengalami burnout adalah mereka yang
bekerja pada bidang sosial atau pelayanan publik seperti yang dijelaskan
Maslach (Darmawan, Silviandari, Susilawati, 2015) burnout adalah stres yang
dialami individu dengan pekerjaan yang secara langsung berhadapan dengan
manusia sebagai penerima pelayanan, dengan kata lain burnout lebih sering
terjadi pada orang-orang yang bekerja pada bidang sosial atau pelayanan
masyarakat.
Burnout dapat diketahui dari beberapa gejala yang dialami pekerja,
menurut Greenberg (Darmawan, Silviandari, & Susilawati, 2015) gejala
burnout adalah
a. Berkurangnya selera humor (diminished sense of humor)
b. Mengabaikan waktu istirahat (skipping rest and food breaks)
c. Jam lembur meingkat tanpa libur (increased overtime and no vacation)
d. Meningkatnya keluhan fisik (increased physical complaints)
17
e. Menarik diri dari lingkungan sosial (social withdrawal)
f. Berubahnya kinerja dalam pekerjaan (changed job performance)
g. Mengkonsumsi obat pribadi (self medication)
h. Perubahan dari dalam diri (internal changed)
3. Dimensi - Dimensi Burnout
Menurut Maslach, Schaufeli dan Leiter (2001) burnout dapat
dikategorikan menjadi tiga dimensi yaitu:
a. Kelelahan Emosi (Emotional Exhausted)
Kelelahan emosi disebabkan oleh terkurasnya energi secara
emosional untuk menghadapi situasi akibat beban kerja atau tuntutan
pekerjaan. Perasaan frustrasi, putus asa, tertekan, sedih, mudah
tersinggung, merasa terbebani dengan tugas yang ada, mudah marah tanpa
alasan yang jelas merupakan beberapa kondisi yang dapat
menggambarkan kelelahan emosi. Dalam bidang pelayanan
sosial,kelelahan emosi dapat menguras tenaga penyedia layanan untuk
terlibat dengan klien, sehingga menjadi kurang responsif terhadap
kebutuhan klien atau penerima layanan.
b. Depersonalisasi (Depersonalization)
Depersonalisasi adalah perasaan dimana seseorang merasa
kehilangan realitas diri, dan merasa bertingkah laku seperti orang lain atau
seperti robot. Depersonalisasi juga menyebabkan berkembangnya sikap
dan perasaan yang negatif terhadap klien atau penerima pelayanan.
18
Depersonalisasi berkaitan dengan sikap negatif, kasar menjaga jarak
dengan orang lain, menarik diri dan tidak peduli dengan sekitarnya.
c. Penurunan Prestasi Pribadi (Reduced Personal Accomplishment)
Penurunan prestasi pribadi seseorang berkaitan dengan penurunan
kompetensi diri, motivasi dan produktifitas kerja hal ini dapat disebabkan
oleh rasa bersalah karena tujuan kerja yang tidak tercapai dan perasaan
rendah diri yang disertai kurangnya penghargaan pada diri sendiri.
Biasanya penurunan prestasi pribadi ditunjukkan dengan sikap tidak
ramah saat melayani klien, kurang peduli pada orang lain, rasa empati
berkurang, merasa aktivitas yang dilakukan tidak berguna.
Menurut Baron & Greenberg (Farhati & Rosyid, 1996) burnout
memiliki 4 dimensi, yaitu:
a. Kelelahan fisik (physical exhaustion), ditandai dengan keluhan
gangguan fisik seperti sakit kepala, mual, selalu merasa letih, daan
diikuti dengan perubahan pola makan dan tidur.
b. Kelelahan emosional (emotional exhaustion), ditandai dengan
perasaan cemas, depresi, frustasi, mudah tersinggung, tempramen
buruk tanpa alasan yang jelas.
c. Kelelahan mental (mental exhaustion), ditandai dengan munculnya
sikap sinis terhadap klien, selalu berpikiran negatif pada orang lain,
dan memandang buruk diri sendiri.
19
d. Rendahnya penghargaan diri (low of accomplishment), ditandai
dengan perasaan yang selalu merasa tidak puas segala dimensi dalam
diri.
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas, peneliti akan menegaskan
bahwa penelitian ini mmenggunakan teori dimensi yang dikemukakan oleh
Maslach, Schaufeli dan Leiter (2001) yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi,
dan penurunan prestasi pribadi.
4. Faktor – Faktor Penyebab Burnout
Maslach, Schaufeli & Leiter (2001) menjelaskan faktor yang dapat
menyebabkan burnout dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Faktor situasional (situational factor)
1) Job characteristic, banyak penelitian yang menyatakan bahwa burnout
adalah akibat dari kelebihan beban kerja dimana terlalu banyak
pekerjaan yang harus diselesaikan dalam satu waktu dan terjadi terus
menerus. Selain beban kerja, beberapa penelitian juga membahas
mengenai konflik peran dan ambiguitas peran yang memiliki korelasi
rendah sampai tinggi dengan burnout.
2) Occupational characteristic, pekerjaan dengan peran yang ambigu
mempunyai kontribusi besar pada stres dan burnout. Adanya konflik
peran merupakan faktor yang berpotensi menimbulkan burnout, konflik
peran ini muncul karena job desc atau tuntutan pekerjaan tidak sesuai
dan bertentangan dengan apa yang menjadi pekerjaan utama.
20
3) Organizational characteristic, burnout dapat dipengaruhi oleh budaya
organisasi, gaya kepemimpinan atasan, dukungan rekan kerja,
semuanya dapat berpengaruh pada kelelahan emosi yang dapat berlanjut
pada terjadinya bunout.
b. Faktor individu (individual factor).
1) Demograpic characteristic, karakteristik berhubungan dengan usia,
jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, dan sebagainya. Usia
pekerja yang relatif muda cenderung lebih mudah mengalami burnout
karena pengalaman kerjanya yang masih sedikit sehingga belum
berpengalaman menghadapi burnout. Sebenarnya belum ada penelitian
yang menyatakan bahwa wanita cenderung lebih mudah mengalami
burnout dibanding pria begitu juga sebaliknya. Tingkat pendidikan,
seseorang tingkat pendidikan rendah cenderung lebih mudah mengalami
burnout dibanding yang tidak menyelesaikan pendidikannya. Status
perkawinan, pekerja yang belum menikah cenderung lebih tinggi pada
mereka yang lajang dibandingkan yang telah menikah karena pekerja
yang telah menikah akan memeperoleh dukungan dari pasangan, namun
kecenderungan burnout pada wanita lebih tinggi saat telah memiliki
anak.
2) Personality characteristic, karakteristik seseorang dapat
mempengaruhi kecenderungan burnout, bagaimana cara ia mengatasi
masalah yang dialami dan memiliki coping stres yang baik
kecenderungan burnout- nya tentu semakin rendah.
21
3) Job attitudes, setiap orang memiliki sikap dan harapan yang berbeda
dalam bekerja, seseorang dengan harapan yang terlalu tinggi akan
membuat seseorang bekerja terlalu keras sehingga dapat menimbulkan
stres berkelanjutan yang dapat menyebabkan burnout.
Menurut Schaufeli dan Buunk (2003), burnout memiliki beberapa
faktor penyebab yaitu:
a. Banyaknya tuntutan pekerjaan (quantitative job demands)
Pekerja dengan tuntutan pekerjaan yang berlebih ditambah dengan
tenggat waktu yang singkat akan mudah merasa tertekan dan mengalami
kelelahan emosional. Tuntutan pekerjaan dapat berupa jumlah jam
kerja, kontak langsung dengan klien,dan beban permasalahan yang
dialami klien.
b. Permasalahan peran (role problems)
Konflik peran biasanya dihadapi pekerja yang memiliki peran
ganda yang harus dilakukan secara bersamaan. Konflik peran dalam
pekerjaan akan menimbulkan ambiguitas mengenai apa yang harus
dilaksanakan atau dikerjakan pekerja sehingga dapat menghambat
pekerjaannya.
c. Kurangnya dukungan sosial (lack of social support)
Dukungan sosial yang diterima pekerja dapat menjadi motivasi
sebagai penghambat dampak dari stres kerja. Banyaknya dukungan
sosial dari orang terdekat yang diterima pekerja akan membuat pekerja
lebih mampu untuk menghadapi masalah yang berkaitan dengan
22
tuntutan pekerjaan. Sumber dukungan sosial dapat berasal dari keluarga,
pasangan, atasan, rekan kerja, dan sahabat dari pekerja itu sendiri.
d. Kurangnya aktivitas regulasi diri (lack of self-regulatory activity)
Aktivitas regulasi diri bagi seorang pekerja berperan untuk
membantu mengatur pencapaian yang diinginkan, aktivitas yang
dilakukan biasanya dapat membantu untuk menentukan target,
mengevaluasi kesuksesan mencapai target dan penghargaan pada diri
sendiri. Kurangnya aktivitas regulasi diri pada pekerja dapat memicu
burnout sebab dapat memicu penurunan prestasi pribadi dan tidak
adanya penghargaan pada diri sendiri.
e. Berhubungan dengan tuntutan klien (client-related demands)
Pekerja dalam bidang pelayanan masyarakat akan sering
berinteraksi dengan klien yang memiliki masalah. Permasalahan klien
yang dihadapi cukup beragam tergantung dalam bidang apa pekerja
tersebut bekerja. Tuntutan dari permasalahan klien yang beragam,
disampaikan dengan emosi, sampai klien yang ingin permasalahannya
diselesaikan terlebih dahulu menjadi tekanan yang menyebabkan stres
sehingga dapat memicu burnout.
Berdasarkan uraian di atas munculnya burnout dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, menurut Maslach, Schaufeli & Leiter (2001) faktor yang
mempengaruhi burnout adalah faktor situasional dan individu, faktor situasional
sendiri terbagi menjadi karakteristik pekerjaan (job characteristic), karakteristik
jabatan (occupational characteristic), dan karakteristik organisasi (organizational
23
characteristic). Faktor individu terdiri dari demographic characteristic yang
berhubungan dengan usia, jenis kelamin, pendidikan, dan status perkawinan.
Karakteristik pribadi (personality characteristic) dan sikap seseorang terhadap
pekerjaannya (job attitude). Sedangkan menurut Schaufeli & Buunk (2003),
burnout dapat dipengaruhi oleh banyaknya tuntutan pekerjaan, permasalahan peran,
kurangnya dukungan sosial, kurangnya aktivitas regulasi diri, dan berhubungan
dengan tuntutan klien. Penelitian ini menggunakan faktor yang dikemukaan
Schaufeli & Buunk (2003) mengenai permasalahan peran, di mana faktor tersebut
sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian yaitu mengenai work-
family conflict. Work-family conflict atau konflik peran antara pekerjaan dengan
peran dalam keluarga sebagai istri atau Ibu diangkat dalam penelitian ini karena
peneliti merasa tertarik terhadap wanita karir yang telah berkeluarga, apakah dalam
menjalankan kedua perannya para wanita karir ini mengalami konflik yang
membuat perannya pada dua hal tersebut tidak imbang dan bagaimana pengaruh
konflik tersebut terhadap pekerjaan atau kinerjanya.
B. Work – Family Conflict
1. Pengertian Work – Family Conflict
Pekerjaan dan keluarga merupakan dua hal yang sangat penting bagi
kehidupan orang dewasa yang telah mampu untuk bekerja dan berkeluarga.
Menurut Greenhaus & Beutell (Greenhaus, Allen, & Spector, 2006), work-
family conflict diartikan sebagai suatu bentuk konflik peran ganda di mana
tekanan peran antara pekerjaan dan keluarga bertentangan dalam beberapa hal.
24
Frone (2000) mendefinisikan work-family conflict sebagai bentuk dari konflik
peran dimana tuntutan antara peran dalam pekerjaan dan keluarga tidak dapat
selaras dalam beberapa hal. Work-family conflict seringkali timbul saat salah
satu peran menuntut lebih banyak perhatian dibandingkan peran lainnya. Paden
& Buchler (Apollo & Cahyadi, 2012) mengungkapkan bahwa work-family
conflict merupakan konflik yang muncul akibat harapan berbeda antara dua
peran yang dimiliki seseorang. Netemeyer, dkk (Apollo & Cahyadi, 2012)
mendefinisikan work-family conflict atau konflik peran ganda adalah konflik
yang muncul sebagai sebab dari tanggung jawab pekerjaan yang menimbulkan
ketegangan dalam keluarga. Wallace (2005) mendefinisikan work-family
conflict sebagai masalah yang terjadi saat tanggungjawab pekerjaan melebihi
tanggungjawab dalam keluarga.
Work-family conflict adalah konflik yang disebabkan dari adanya
ketidakseimbangan peran antara tanggungjawab dalam keluarga dan pekerjaan
yang dialami pekerja (Boles et al, dalam Retnaningrum 2016). Menurut Frone
(2000) work-family confict memiliki hubungan kuat dengan depresi dan
kecemasan, hal ini lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria. Sumber
utama work-family conflict adalah masalah yang dihadapi oleh wanita dengan
peran ganda sebagai pekerja dan Ibu dalam keluarga. Wanita cenderung lebih
mudah mengalami stres saat menjalani peran ganda karena wanita cenderung
memikirkan dan melakukan lebih banyak hal terkait dengan peran yang dijalani
seperti bagaimana harus mendidik anak, mengurus rumah tangga,
menyelesaikan tuntutan sebagai pekerja yang terkadang semua itu di luar
25
kemampuan yang dimiliki sehingga akan lebih cepat merasa depresi. Cinnamon
& Rich (2002) menjelaskan bahwa jumlah anak, waktu yang dihabiskan untuk
mengurus urusan rumah tangga dan pekerjaan, serta kurangnya dukungan dari
pasangan dan keluarga, dapat memicu terjadinya work-family conflict.
Berdasarkan definisi dari para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa work-
family conflict adalah konflik peran ganda antara pekerjaan dan keluarga yang
saling bertentangan sehingga berdampak pada terhambat dan tidak
maksimalnya performa pada salah satu peran, biasanya terjadi pada wanita yang
memiliki lebih banyak hal untuk dikerjakan dalam peran di keluarga dan tetap
harus dapat menyelesaikan tuntutan sebagai pekerja, sehingga work-family
conflict berdampak pada individu itu sendiri, keluarga, dan pekerjaannya.
2. Dimensi - Dimensi Work – Family Conflict
Menurut Greenhaus & Beutell (1985) membagi work-family conflict 3
dimensi, yaitu:
a. Time - based conflict
Time-based conflict adalah konflik yang terjadi ketika waktu yang
digunakan untuk menjalankan satu peran, misalnya pada pekerjaan tidak
dapat digunakan untuk menjalankan peran dalam keluarga. Hal ini berarti
seseorang yang mengalami work-family conflict tidak dapat menjalani dua
peran sekaligus secara bersamaan. Dalam menjalankan setiap peran apabila
salah satu peran menuntut lebih banyak perhatian maka peran yang lain
harus dikorbankan. Misalnya jika seorang pekerja harus membawa
pekerjaan kantor ke rumah, maka waktu yang seharusnya digunakan untuk
26
keluarga mau tidak mau akan dikorbankan untuk menyelesaikan pekerjaan
kantor tersebut.
b. Strain - based conflict
Strain - based conflict adalah konflik yang terjadi akibat ketegangan
atau tekanan yang timbul karena tuntutan salah satu peran membuat
seseorang sulit memenuhi tuntutan peran lainnya. Ketegangan ini dapat
memicu keadaan emosional, stres, cemas, dan sakit fisik seperti hipertensi
bahkan serangan jantung. Misalnya, masalah dalam keluarga dapat
mengganggu produktivitas pekerjaan, begitu juga sebaliknya.
c. Behavior-based conflict
Behavior-based conflict adalah konflik yang muncul akibat dari
kewajiban dari salah satu peran memunculkan suatu perilaku yang
bertentangan dengan norma yang terapkan peran lainnya. Misalnya seorang
Ibu yang bekerja sebagai polisi atau tentara, diharuskan untuk berperilaku
keras dan tegas selama bertugas di tempat kerja, saat berada di rumah atau
dalam lingkungan keluarga harus menjadi sosok yang keibuan dan
penyayang bagi keluarganya.
Kossek dan Ozeki (Rantika dan Sunjoyo, 2010) membagi work-family
conflict menjadi 2 (dua) dimensi, yaitu:
1. Work Interfering With the Family (WIF) adalah konflik atau masalah yang
timbul saat peran seseorang dalam pekerjaan mengganggu atau mengambil
porsi perannya dalam keluarga.
27
2. Family Interfering With the Work (FTW) adalah konflik atau masalah yang
timbul saat peran seseorang dalam keluarga mengganggu atau mengambil
porsi perannya dalam pekerjaan.
Berdasarkan uraian di atas penelitian ini akan memperjelas bahwa penelitian
ini menggunakan dimensi work-family conflict menurut Greenhaus & Beutell
(1985) yaitu time-based conflict, strain-based conflict, dan behavior based karena
peneliti ingin menyelaraskan antara teori dan dimensi dengan menggunakan satu
tokoh yang sama dalam penelitian.
C. Hubungan antara work-family conflict dengan burnout
Salah satu faktor yang mempengaruhi burnout adalah faktor individu, di
mana faktor individu ini terdiri dari usia, jenis kelamin, pendidikan, status
pernikahan, karakteristik, dan bagaimana seseorang bersikap terhadap
pekerjaannya Maslach, Schaufeli & Leiter (2001). Menurut Maslach & Schaufeli
(Shaufeli, 2008), burnout merupakan keadaan di mana seseorang mengalami
kelelahan baik secara fisik maupun emosional yang menyebabkan berkembangnya
konsep diri yang negatif, berkurangnya konsentrasi, dan sikap kerja yang buruk.
Menurut Greenhaus & Beutell (Greenhaus, Allen, & Spector, 2006), work-family
conflict dapat diartikan sebagai suatu konflik peran ganda yang disebabkan karena
tekanan peran antara pekerjaan dan keluarga bertentangan dalam beberapa hal.
Work-family conflict atau konflik peran ganda menurut Greenhaus & Beutell
(1985), memiliki beberapa dimensi yaitu time-based conflict, strain-based conflict,
dan behavior-based conflict. Time-based conflict berkaitan dengan keseimbangan
28
waktu dalam membagi peran antara pekerjaan dan keluarga. Sebagaimana diketahui
apabila lebih banyak waktu di tempat kerja akan membuat tidak adanya waktu
untuk keluarga, apalagi bekerja dengan waktu tidak menentu yang mengharuskan
lembur dan bekerja di hari libur dapat menjadi penyebab munculnya work-damily
conflict (Staines and Pleck, 1984, dalam Coban dan Ayse, 2016). Konflik yang
muncul ketika salah satu peran menuntut lebih banyak perhatian sehingga
menghabiskan lebih banyak waktu daripada yang seharusnya, akan mempengaruhi
peran lainnya. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Susanti & Ekayati
(2013) bahwa seorang wanita karir yang memiliki anak akan merasa membutuhkan
waktu yang lebih besar pada perannya dalam keluarga sehingga menyebabkan
seseorang dapat kesulitan membagi waktu antara keluarga dan pekerjaan. Kim-
Wan (1991) dalam penelitiannya menyatakan bahwa time-based conflict memiliki
hubungan dengan burnout.
Strain-based conflict timbul ketika ketegangan atau stres yang ada pada
salah satu peran menghambat pemenuhan tuntutan peran lain (Dierdorff &
Ellington, 2008). Dalam konteks ini konflik yang muncul disebabkan karena
ketidak nyamanan kerja, kurangnya wewenang, kondisi kerja, dan mudahnya akses
melalui teknologi sepanjang waktu pada karyawan bahkan di luar jam kerja
(Schenewark, 2008, dalam Coban dan Ayse, 2016). Seorang wanita karir dalam
perannya sebagai Ibu, dituntut untuk dapat merawat dan mendidik anak, mengurus
suami dan rumah, dan tuntutan lainnya. Tuntutan tersebut dapat menghasilkan stres
atau tekanan tambahan yang membuat pekerja wanita atau Ibu yang bekerja ini
lebih sulit untuk melakukan dengan baik perannya sebagai wanita karir atau pekerja
29
di mana pekerja yang bergerak dalam bidang pelayanan harus berhadapan dengan
klien dan segala tuntutan maupun keluhan mereka. Kesulitan memenuhi tuntutan
salah satu peran tersebut dapat menimbulkan stres, kecemasan, dan ketegangan
yang menghambat pemenuhan peran lainnya sehingga dapat memicu timbulnya
burnout.
Behavior-based conflict atau masalah yang bersumber dari ketidaksesuaian
perilaku yang muncul akibat tuntutan salah satu peran akan berpengaruh terhadap
peran lainnya (Dierdorff & Ellington, 2008). Ketika seseorang mengalami kesulitan
dalam perilakunya dan tidak dapat mengubah perilakunya saat harus menjalankan
peran lainnya baik dalam pekerjaan maupun keluarga dapat mengakibatkan
terjadinya behavior-based conflict (Greenhaus dan Beutell, 1985, dalam Coban dan
Ayse, 2016). Seorang Ibu yang terbiasa berperilaku penuh kasih dan lembut
terhadap anak, saat dalam pekerjaannya sebagai seorang polisi dan harus
menghadapi kasus dengan anak-anak sebagai pelakunya, memiliki kemungkinan
untuk tidak dapat bertindak tegas terhadap pelaku dan terjadi berulang kali pada
setiap kasus. Hal ini tentunya dapat mempengaruhi pendapat atasan terhadap
kinerja bawahannya tersebut dan menurunkan prestasi pribadi bawahan.
Menurunnya prestasi pribadi dapat menyebabkan seseorang merasa bersalah dan
kurang menghargai diri sendiri. Perasaan kurang menghargai diri sendiri dan
perasaan tidak berguna merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan
burnout.
Konflik peran ganda yang dialami pekerja dapat menyebabkan terjadinya
burnout, hal ini didukung oleh penelitian Kuntari (2014) bahwa work-family
30
conflict adalah salah satu penyebab burnout, pekerja menjadi cemas karena
beberapa masalah terkait dengan pasangan atau karena tidak cukup waktu
menjalankan peran dalam keluarga ditambah beban dan tanggung jawab pekerjaan
dapat memicu terjadinya burnout. Selain itu, work-family conflict juga dapat
memicu perilaku menyimpang di tempat kerja.
D. Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah hubungan positif antara work-family conflct dengan burnout, di mana
semakin tinggi skor work-family conflict semakin tinggi pula skor burnout,
demikian juga sebaliknya, semakin rendah skor work-family conflict maka semakin
rendah juga skor burnout.