BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Aggressive...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Aggressive...
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Aggressive driving
1. Definisi Agresivitas
Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI (2002) menjelaskan bahwa agresif
merupakan kecenderungan (ingin) menyerang sesuatu yang dipandang sebagai hal atau
situasi yang mengecewakan, menghalangi, atau menghambat. Sedangkan agresi lebih
menunjukkan pada perasaan marah atau tindakan kasar akibat kekecewaan atau
kegagalan dalam mencapai pemuasan atau tujuan yang dapat diarahkan kepada orang
atau benda. Oleh sebab itu. agresif adalah kata benda dan agresi adalah kata sifat.
Berkowitz (dalam Crisp & Turner, 2007) mengemukakan, perilaku agresif
merupkan suatu tindakan yang dimaksudkan untuk menyerang seseorang secara fisik
maupun psikis. Perilaku ini berawal dari perasaan frustrasi yang muncul dalam diri
individu, belanjut menjadi kemarahan dan emosi marah, selanjutnya muncul perilaku
agresif tersebut. Baron & Byrne (2004) menambahkan, bahwa agresivitas adalah
dorongan dasar yang dimiliki oleh manusia dan hewan, dengan tujuan
menyerang/menyakiti fisik atau psikologis orang lain. Perilaku agresif adalah suatu
bentuk perilaku ditujukan untuk melukai atau mencelakakan orang lain.
Mayer (2007) menjelaskan, bahwa perlaku agresif merupakan perilaku fisik
atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain.
Selanjutnya, Krahe (2005) menambahkan bahwa perilaku agresif juga dilihat dari
respon individu lain pada saat diserang. Sehingga perilaku agresif didefinisikan dengan
perilaku individu yang dimaksudkan untuk menyerang individu lain, dan individu lain
tersebut berusaha untuk menghindar.
12
Paterson (Malik, 2007) menggolongkan perilaku agresif menjadi empat bentuk,
yaitu:
a. Agresif menyerang fisik, contohnya: memukul, menendang, mendorong dan
melukai orang lain.
b. Agresif menyerang verbal, contohnya: menghina, memaki, dan melakukan
gerakan lain yang mengancam.
c. Agresif menyerang dengan benda, contohnya: membanting buku, membanting
pintu, atau membunyikan klakson berulang.
d. Agresif menyerang daerah atau hak orang lain, contohnya: mengambil barang
orang lain secara paksa dan mencoret-coret tembok orang lain.
Menurut penjelasan dari beberapa pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa
perilaku agresif adalah suatu tindakan yang muncul dengan maksud untuk
mencelakakan atau melukai pihak lain secara sengaja secara fisik ataupun psikis dan
dalam bentuk tindakan langsung ataupun verbal.
2. Faktor Penyebab Agresivitas
Baron & Brascombe (2012) menjelaskan faktor penyebab perilaku agresif
tersebut antara lain sosial, budaya, personal dan situasi. Penulis mencoba menjelaskan
bahwa perilaku agresi disebabkan oleh beberapa faktor berikut.
a. Personal
Individu dengan tipe kepribadian A yang bersifat ambisius, kompetitif,
terburu-buru, mudah tersinggung akan lebih cepat menjadi agresif daripada
individu dengan tipe kepribadian B yang memiliki sifat cepat puas, tidak
ambisius, lebih sabar. Selanjutnya, sebuah penelitian menemukan bahwa ada
indikasi individu dengan narcissism (yang setuju dengan item “jika saya
13
memimpin dunia, akan menjadi tempat yang lebih baik” dan item “ saya lebih
mampu dibandingkan dengan orang lain”) akan melakukan kecenderungan
agresi ketika egonya terancam, atau melihat dirinya dalam bahaya Bushman &
Baumeister; Thomes, Bushman, Strege & Olthof (dalam Baron & Branscombe,
2012). Sarwono (1997) menambahkan, kepribadian individu sangat erat
kaitannya dengan perilaku agresi, individu mempunyai kecenderungan perilaku
agresi sesuai dengan tipe kepribadiannya. Rokeach (1973) menerangkan, orang
yang mempunyai locus of control (LC) internal lebih bisa mengendalikan
dirinya sendiri daripada orang dengan LC eksternalnya.
Selanjutnya pengaruh jenis kelamin (gender). Pria mempunyai
kemungkinan lebih besar melakukan perilaku agresif dibandingkan wanita,
namun hal tersebut masih dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya dan besar
kecilnya hal yang memicu perilaku ini. Pria cenderung melakukan agresi secara
langsung pada pihak lain dan wanita cenderung melakukannya secara tidak
langsung (Baron & Branscombe, 2012).
b. Sosial
Manusia adalah makhluk sosial sehigga selalu membutukan orang lain.
Jika dalam suatu hubungan sosial individu mendapat penolakan atau tidak
dianggap dalam suatu kelompok sosial, dapat memicu perilaku agresif karena
dengan adanya penolakan ini akan membuat individu mempunyai mind-set
sebagai musuh dan kemudian menyebabkan emosi negatif sehingga muncul
perilaku agresif (Baron dan Branscombe, 2012). Sarwono (1997)
menambahkan, pengaruh kelompok dalam perilaku agresif adalah mengurangi
hambatan dan menurunkan moral. Sehingga ketika individu melihat perilaku
14
negatif yang terjadi dalam kelompok tersebut, ada kemungkinan individu untuk
meniru.
c. Lingkungan
Kondisi lingkungan sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif
individu. Baron & Branscombe (2012) menyimpulkan dari beberapa penelitian
bahwa suhu udara yang tinggi akan sangat mempengaruhi agresi, tetapi hanya
pada suhu tertentu. Jika suhu terlalu tinggi, agresi bisa semakin menurun.
Sarwono (1997) menambahkan, perasaan sesak (crowding) pada lingkungan
sekitar juga bisa memicu agresi. Penelitian Lawrencen dan Kathryn Andrews
(2004) menjelaskan bahwa dengan kondisi penjara yang cukup sempit dan
banyaknya tahanan seringkali memicu perilaku agresif mereka, karena berawal
pada kondisi sesak (density) sehingga menimbulkan perasaan sesak (crowding)
dan pada akhirnya dapat menyebabkan munculnya perilaku agresif.
Keramaian di jalan raya juga memicu adanya peilaku agresif. Hal ini
terjadi karena semakin padat kondisi jalan raya akan semakin mengingkatkan
stres pengguna jalan dan dapat menimbulkan perilaku agresif di jalan raya (Mc
Grava dalam Vanlaar Ward, 2008). Pengunaan alkohol juga terlihat jelas
efeknya terhadap perilaku agresif, yang mengakibatkan kapasitas individu
untuk memproses informasi menjadi berkurang (Baron & Branscombe, 2012).
Ada kemungkinan pengaruh dari media informasi juga bisa memberikan
dampak terjadinya perilaku agresif. Banyak media yang menyiarkan kekerasan
dan juga bentuk-bentuk perilaku agresif yang lain, sehingga akan menimbulkan
efek belajar dan meiru yang digunakan aktivitas sehari-harinya (Sarwono,
1997).
15
3. Aggressive driving
Dula & Geller (2003) melakukan penelitian mengenai penyampaian maksud
yang tidak sesuai dalam penelitian mengenai penjelasan makna road rage dan risky
atau aggressive driving. Road rage merupakan perilaku kriminal di jalan raya atau bisa
dikatakan sebagai bentuk ekstrim dari perilaku pengemudi yang tidak aman, bahkan
sampai melakukan pembunuhan atau penembakan pada saat mengemudi. Sedangkan
Dula dan Geller mendefinisikan risky dan aggressive driving sebagai perilaku agreif
yang disangaja untuk menyerang, emosi negatif pada saat mengemudi dan perilaku
mengemudi yang tidak aman dan membahayakan orang lain.
Sependapat, Hennessy and Wiesenthal (dalam Ruvio & Shoham, 2011)
mendefinisikan aggressive driving sebagai suatu perilaku yang direncanakan untuk
menyerang secara fisik, emosi atau psikologi di lingkungan mengemudi atau jalan raya.
Selanjutnya, Tasca (2000) menambahkan bahwa, aggressive driving dilakukan secara
sengaja, cenderung meningkatkan risiko kecelakaan dan dimotivasi oleh
ketidaksabaran, kekesalan, permusuhan, dan atau upaya untuk menghemat waktu.
Mizell dalam American Automobile Association (AAA) Fondation for Traffic
Safety, (1997) juga mendefinisikan aggressive driving sebagai perilaku marah atau
tidak sabar dari pengemudi yang disengaja atau dengan maksud untuk melukai atau
membunuh pengemudi lain atau pejalan kaki karena masalah lalu lintas. Sedangkan
National Highway Traffic Safety Administration (NHTSA) mengartikan aggressive
driving sebagai suatu pengoperasian kendaraan bermotor yang dapat membahayakan
dirinya sendiri atau mungkin membahayakan seseorang, atau properti. Pengemudi
bersikap tidak sabar dan kurang peduli sehingga memancing emosi pengguna jalan di
sekitarnya.
16
Harris & Houston, (2008) mendukung pandangan tersebut dan menjelaskan,
aggressive driving adalah bentuk perilaku mengemudi yang tidak aman yang bisa
diukur tanpa mengacu pada kondisi emosi dan motivasi, karena banyak penyebab
lainnya antara lain stres, pola berfikir pengemudi dan coping terhadap kondisi
lingkungan.
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, aggressive driving adalah tindakan
mengemudi yang tidak aman, berbahaya dan dapat beresiko kecelakaan. Perilaku
tersebut dapat diawali bentuk verbal dan selanjutnya akan timbul perilaku secara
langsung (menggunakan kendaraannya dan memfungsikannya dengan
membahayakan). Contoh perilaku aggressive driving antara lain dengan mengemudi
secara berkelok-kelok, menyalip kendaraan lain dengan kasar, menempel pada
kendaraan pengemudi lain yang akan diserang, tidak mentaati perarutan lalu lintas atau
mengucapkan atau memberikan tanda agresif kepada pengemudi lain.
4. Bentuk-bentuk Aggressive driving
Tasca (2000), mengemukakan beberapa tingkah laku yang dapat dikategorikan
sebagai mengemudi agresif, antara lain :
a. Membuntuti terlalu dekat
b. Keluar-masuk jalur
c. Menyalip dengan kasar
d. Memotong ke depan kendaraan yang berada di jalur dengan jarak yang
dekat
e. Menyalip dari bahu jalan
f. Berpindah-pindah jalur tanpa memberikan tanda
g. Menghalangi pengemudi lain untuk menyalip
17
h. Tidak mau memberikan kesempatan pengemudi lain untuk masuk ke dalam
jalur
i. Mengemudi dengan kecepatan tinggi yang kemudian menimbulkan tingkah
laku membuntuti dan berpindah jalur
j. Melewati (melanggar) lampu merah
k. Melewati tanda yang mengharuskan berhenti sehingga dapat
membahayakan pengguna jalan lainnya
Selanjutnya, James & Nahl (2000) mengemukakan perilaku aggressive driving
menjadi beberapa kategori, yaitu : Impatience and inattentiveness, Power Struggle,
Recklessness and Road Rage.
a. Kategori 1: Impatience (ketidaksabaran) dan Inattentiveness
(ketidakperhatian)
1) Menerobos lampu merah
2) Menambah kecepatan ketika melihat lampu kuning
3) Berpindah-pindah jalur
4) Mengemudi dengan kecepatan 5-15 km/jam di atas batas kecepatan
aman maksimum
5) Berjalan terlalu dekat dengan kendaraan di depannya
6) Tidak memberikan tanda ketika dibutuhkan, seperti berbelok atau
berhenti
7) Menambah kecepatan atau mengurangi kecepatan secara mendadak
b. Kategori 2 : Power Struggle (adu kekuatan)
1) Menghalangi orang yang akan berpindah jalur, menolak untuk memberi
jalan atau pindah
18
2) Memperkecil jarak kedekatan dengan kendaraan di depannya untuk
menghalangi orang yang mengantri
3) Mengancam atau memancing kemarahan pengemudi lain dengan
berteriak, membuat gerakan-gerakan yang memancing kemarahan dan
membunyikan klakson berkali-kali
4) Membunuti kendaraan lain untuk memberikan hukuman atau
mengancam kendaraan tersebut
5) Memotong jalan kendaraan lain untuk menyerang atau membalas
pengemudi lain
6) Mengerem secara mendadak untuk menyerang atau membalas
pengemudi lain
c. Kategori 3 : Recklessness (ugal-ugalan) dan Road Rage (kemarahan di
jalan)
1) Mengejar pengemudi lain untuk berduel
2) Mengemudi dalam kondisi mabuk
3) Mengarahkan senjata atau menembak pengemudi lain
4) Menyerang pengemudi lain dengan menggunakan mobilnya sendiri atau
memukul suatu objek
5) Mengemudi dengan kecepatan yang sangat tinggi
Bentuk perilaku aggressive driving yang dijelaskan oleh Tasca (2000) lebih
mengarah pada perilaku mengemudi yang berbahaya dan dapat meningkatkan resiko
kecelakaan. Sedangkan bentuk perilaku aggressive driving yang dijelaskan James &
Nahl (2000) lebih cenderung pada perilaku menyerang. Penulis akan menggunaka bentuk-
bentuk aggressive driving yang telah dijelasan oleh Tasca (2000) sebagai acuan dalam
menyusun instrumen pengukuran. Hal ini dilakukan karena jenis-jenis aggressive
19
driving menurut Tasca (2000) lebih merepresentasikan kondisi pengemudi saat ini dan
lebih sesuai dengan tujuan penelitian.
5. Faktor-faktor Penyebab Aggressive driving
Beberapa faktor penyebab aggressive driving menurut Tasca (2000) adalah
sebagai berikut :
a. Usia dan Jenis Kelamin
Parry (dalam Tasca, 2000) menjelaskan bahwa perilaku aggressive
driving sebagian besar melibatkan pengemudi laki-laki dengan usia muda, yaitu
antara 17-35 tahun, sedangkan dalam rentang usia yang sama, pengemudi
perempuan menujukkan tingkat yang lebih rendah. Paleti, Eluru, dan Bath
(2010) mendukung dalam penelitiannya bahwa pengendara usia muda antara
16-23 tahun cenderung lebih agresif pada saat mengemudi. Perilaku melanggar
lalu lintas masuk dalam kategori aggressive driving.
Tasca (2000) mengemukakan bahwa laki-laki lebih meremehkan resiko
terhadap perilaku pelanggaran lalu lintas tersebut. Lak-laki mengevaluasi
peraturan lalu lintas dengan negatif, sehingga menganggap peraturan lalu lintas
adalah sesuatu yang menjengkelkan dan mengganggu pada kondisi tertentu.
Perempuan memiliki pemikiran sebaliknya, mereka menganggap lalu lintas
sebagai sesuatu yang harus ditaati, sesuatu yang penting, jelas, dan masuk akal.
Dengan hal tersebut, pengguna kendaraan laki-laki lebih banyak terlibat
perilaku aggressive driving daripada perempuan.
b. Anonimitas
Novaco (dalam Tasca, 2000) menjelaskan bahwa pada malam hari, jalan
raya dapat menjadi tempat yang mendukung untuk tercapainya anonimitas
20
pengguna jalan karena kondisi sepi dan gelap, sehingga ada kesempatan untuk
melarikan diri. Keadaan tersebut memberikan kesempatan untuk pergi begitu
saja dari pandangan seseorang sebagai pengguna jalan yang melakukan
aggressive driving.
c. Faktor Sosial
Grey (dalam Tasca, 2000) menyampaikan pengaruh dari faktor sosial.
Norma, reward, hukuman, dan model di masyarakat dapat mempengaruhi
aggressive driving. Kasus aggressive driving yang tidak mendapatkan
hukuman/sanksi yang jelas akan menimbulkan persepsi bahwa perilaku ini
adalah wajar, sesuai norma, dan dapat diterima (Novaco dalam Tasca, 2000).
Dengan demikian, pengemudi akan merasa bahwa perilaku agresif pada saat
menggunakan kendaraan yang dilakukannya tidak bisa dikontrol, kemudian
para pengemudi tetap melakukakan perilaku ini.
d. Kepribadian
Tasca (2000) mengemukakan bahwa individu memiliki sifat yang akan
menentukan perilakunya secara teratur dan terus-menerus dalam setiap situasi.
Sifat-sifat ini akan berperan dalam pembentukan kepribadian mereka juga.
Faktor pribadi yang dimaksudkan menjadi penyebab aggressive driving ini
seperti permusuhan, rasa ingin bersaing, kurangnya kepedulian terhadap
individu lain, mengemudi untuk pelepasan emosi, impulsif, dan keputusan
untuk mengambil resiko (Grey dalam Tasca, 2000).
e. Gaya Hidup
Salah satu penyebab aggressive driving adalah gaya hidup. Beirness
(dalam Tasca, 2000) menyimpulkan terhadap beberapa penelitian yang telah
dilakukan mengenai gaya hidup yang berkaitan dengan performa
21
mengoperasikan kendaraan. Resiko kecelakaan dalam usia muda menunjukkan
bahwa mereka memiliki gaya hidup seperti mengkonsumsi alkohol,
menggunakan obat-obatan terlarang, merokok dan kelelahan akibat bergaul
dengan teman sampai larut malam. Gaya hidup tersebut dapat mempengaruhi
semua aspek kehidupan mereka, termasuk perilaku mengemudinya. Perilaku-
perilaku tersebut masuk dalam kategori mengemudi di bawah gangguan
emosional yang disebut juga aggressive driving (James & Nahl, 2000).
f. Keterampilan Mengemudi
Tasca (2000), mengemukakan dalam penelitiannya melihat perilaku
mengemudi, menunjukan bahwa pengemudi yang merasa memiliki
keterampilan dan tidak berorientasi pada keselamatan pada saat
mengoperasikan kendaraan, lebih sering menunjukkan kemarahan pada saat
mengalami hambatan di jalan raya. Sedangkan pengemudi yang merasa
berkendara dengan berorientasi pada keselamatan, menunjukkan tidak terlalu
terganggu oleh situasi lalu lintas yang menghambat proses mengemudinya. Hal
ini menunjukkan pengemudi yang merasa memiliki ketrampilan yang baik saat
mengemudi saja dan tidak berorientasi pada keselamatan akan memiliki
kencederungan melakukan aggressive driving. Orang yang berorientasi
keselamatan akan lebih berhati-hati demi keselamatan dirinya.
g. Faktor Lingkungan
Shinar (dalam Tasca, 2000) menjelaskan adanya hubungan yang
signifikan antara kondisi lingkungan dan perilaku agresif pada saat mengemudi.
Pengemudi yang lebih sering mengemudi dalam kemacetan jalan cenderung
lebih jarang merasakan emosi marah saat mengemudi. Lajunen (dalam Tasca,
2000) menambahkan bahwa kemacetan yang tidak terduga/tidak bisa
22
diperkirakan dapat menimbulkan emosi marah pada pengemudi yang berakibat
pengemudi tersebut melakukan aggressive driving.
Faktor lingkungan lain yang mempengaruhi munculnya aggressive
driving adalah kepadatan. Sarwono (1997) mengemukakan bahwa kepadatan ini
akan memberikan dampak pada manusia, salah satunya adalah munculnya
perilaku agresif. Konecni (dalam Mann & Leon, 1982) mendukung pendapat
tersebut dengan menjelaskan bahwa tidakan paling umum yang ditampilkan
pada saat berada dalam kondisi padat adalah perilaku agresif. Holahan (1982)
mengatakan bahwa, kepadatan tinggi merupakan salah satu syarat terjadinya
kesesakan (crowding), selanjutnya kondisi ini akan menimbulkan stres pada
individu dan memunculkan perilaku agresif.
Hennessy & Wiesenthal (2000) menambahkan, kondisi lingkungan jalan
raya yang padat akan mempengaruhi tingkat stres individu, selanjutnya akan
memungkinkan terjadinya perilaku agresif pada saat mengemudi. Sependapat,
Prakash & Kansal (2003) menjelaskan bahwa salah satu penyebab aggressive
driving yaitu kesesakan (crowding). Kesesakan merupakan penyebab yang
sangat subjektif dan akan persepsikan berbeda-beda oleh setiap individu.
Hal ini menjelaskan bahwa pada kondisi jalan raya yang padat akan
menimbulkan stres pada inividu, selanjutnya individu akan mengalami perasaan
sesak (crowding) dan kemudian memungkinkan terjadinya aggressive driving.
6. Jenis Kelamin dan Aggressive Driving
Baron & Branscombe (2012) menjelaskan mengenai faktor gender dalam
kaitannya dengan perilaku agresif. Pria mempunyai kemungkinan lebih besar
melakukan perilaku agresif dibandingkan wanita, namun hal tersebut masih
23
dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya dan besar kecilnya hal yang memicu
perilaku ini. Pria cenderung melakukan agresi secara langsung pada pihak lain dan
wanita cenderung melakukannya secara tidak langsung. Selanjutnya, Krahe (2005)
menambahkan bahwa faktor gender dapat menjelaskan perbedaan tingkat perilaku
agresif. Hal ini dijelaskan melalui penjelasan biologis, bahwa hormon testoteron
pada laki-laki ternyata lebih memungkinkan menimbulkan perilaku agresif daripada
perempuan.
Perbedaan jenis kelamin ini juga mempengaruhi aggressive driving yang
muncul pada pengemudi di jalan raya. Lawton dan Nutter (2002) mencoba melihat
bentuk ekspresi marah pada saat mengemudi pada pengemudi laki-laki dan
perempuan. Hasilnya menunjukkan bahwa ternyata bentuk perilaku agresif ini
terdapat perbedaan. Laki-laki cenderung mengekspresikan perasaan marahnya
dalam bentuk perilaku yang nampak sedangkan pada perempuan mengekspresikan
marah dalam bentuk yang lain seperti neghidari situasi dan mengungkapkan secara
verbal.
Constantinou, dkk (2011) menambahkan bahwa perilaku aggressive driving
di jalan raya juga dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin. Penelitiannya menjelaskan
bahwa aggressive driving pada laki-laki ditunjukkan dengan perilaku mengemudi
yang lebih beresiko, berbeda dengan perempuan yang cenderung lebih hati-hati dan
mengikuti peraturan.
Selain itu, Tasca (2000) juga menjelaskan bahwa perilaku aggressive
driving dipengaruhi oleh jenis kelamin. Pengemudi laki-laki lebih menilai peraturan
lalu lintas dengan negatif, sehingga menganggap peraturan lalu lintas adalah
sesuatu yang menjengkelkan dan mengganggu pada kondisi tertentu. Sedangkan
pengemudi perempuan memiliki pemikiran sebaliknya, mereka menganggap lalu
24
lintas sebagai sesuatu yang harus ditaati, sesuatu yang penting, jelas, dan masuk
akal. Sehingga pengemudi laki-laki memiliki kemungkinan lebih besar akan
perilaku aggressive driving.
Berdasarkan penjelasan diatas, faktor jenis kelamin ini memiliki pengaruh
yang cukup besar terhadap perilaku aggressive driving. Berangkat dari sini, faktor
ini akan digunakan sebagai variabel moderator dalam penelitian ini yang akan di
analisis bersama dengan persepsi kesakan terhadap aggressive driving.
B. Remaja
1. Definisi Remaja
Santrock (2003) mendefinisikan remaja sebagai masa perkembangan
transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang mencakup perubahan
biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Pappalia (2009) menyatakan bahwa remaja
adalah suatu periode yang panjang sebagai proses transisi dari masa anak-anak
menuju masa dewasa. Santrock (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan pada masa
remaja digambarkan sebagai masa evaluasi, pengambilan keputusan, komitmen.
Batasan usia remaja dikemukakan dalam berbagai pendapat, antara lain
Hurlock (1959) menyatakan bahwa remaja merupakan rentang usia 12-18 tahun.
Monks, dkk (2002) memberi batasan usia remaja adalah 12-21 tahun. Sedangkan
Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) berpendapat bahwa usia remaja berada pada
rentang usia 12-23 tahun. Berdasarkan semua pernyataan ahli di atas dapat diamati
bahwa proses mulainya masa remaja relatif sama sedangkan masa berakhirnya
berbeda-beda. Ada yang dipercepat dan ada yang diperlambat. Hal ini tergantung
25
dari kondisi lingkungan tempat remaja tersebut berkembang. Monk, dkk (2002)
menambahkan pembagian masa remaja mulai dari remaja awal antara usia 12-15
tahun, remaja tengah antara usia 15-18 tahun dan remaja akhir antara usia 18-22
tahun.
Berdasarkan penjelasan di atas, remaja adalah masa peralihan dari masa
anak-anak ke masa dewasa dengan banyak terjadi perubahan baik fisik maupun
psikis. Batasan usia remaja dapat digunakan dalam penelitian ini adalah antara usia
12-22 tahun atau bisa masuk dalam kategori remaja tengah dan remaja akhir.
2. Proses Perkembangan Remaja
Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak-anak
ke masadewasa. Masa peralihan ini meliputi proses perubahan baik secara biologis,
kognitif, maupun secara sosioemosional. Dikatakan oleh Larson (dalam Santrock,
2007) bahwa tugas utama masa remaja adalah persiapan menuju masa dewasa.
Periode perkembangan remaja dideskripsikan menjadi masa remaja awal (early
adolescence) dan masa remaja akhir (late adolescence). Periode perkembangan
masa remaja awal meliputi antara tahun kedua sekolah menengah atas dimana
mulai terjadi proses pubertas. Sedangkan masa remaja akhir diperkirakan pada usia
awal 20an. Pada masa ini mulai ada ketertarikan atau minat pada karir dan lawan
jenis. Selain itu mulai terjadi eksplorasi kepribadian dibandingkan dengan masa
remaja awal.
Perkembangan manusia ditandai dengan proses biologis, kognitif, dan
sosioemosional. Perkembangan ini digambarkan dalam bentuk periode
perkembangan (Santrock, 2007).
26
a. Proses biologis pada remaja
Hurlock (1959) menyatakan bahwa ada tiga poin perubahan fisik yang
terjadi pada masa remaja, yakni (1) Pertumbuhan fisik dengan cepat (rapid
pshysical growth), (2) perubahan proporsi tubuh (change in body proporsions),
(3) Karakteristik organ seks utama (primary sex characteristics), (4)
Karakteristik organ seks sekunder (secondary sex characteristics).
Pertumbuhan fisik secara cepat merupakan salah satu ciri masa remaja
atau sering disebut dengan pubertas. Pada masa pubertas terlihat tubuh remaja
mengalami penambahan tinggi yang secara otomatis mengalami penambahan
berat badan. Perubahan tinggi badan dan berat badan terjadi dengan sangat
cepat dan drastis pada masa ini.
Perubahan proporsi tubuh, meskipun tubuh berkembang menjadi lebih
besar, namun ada beberapa bagian tubuh yang tidak berkembang dalam waktu
yang bersamaan. Contohnya, tangan, kaki, hidung. Namun seiring dengan
perjalanan pertumbuhan itu sendiri, bagian-bagian tadi akan berkembang sesuai
dengan proporsi yang dibutuhkan oleh tubuh.
Perkembangan karakteristik organ seks utama, pada masa anak-anak
organ seks kecil dan tidak matang secara fungsi. Sedangkan pada masa pubertas
organ seks mengalami perkembangan dari segi ukuran dan menjadi lebih
matang secara fungsi.
Perkembangan karakteristik organ seks sekunder. Pada tahap ini anak
laki-laki dan perempuan akan mengalami perubahan penampilan fisik.
Perubahan ini tentu diakibatkan oleh berkembangannya organ seks sekunder.
Pada laki-laki ditandai dengan tumbuhnya rambut pubis, rambut di area ketiak
27
dan wajah. Kulit menjadi lebih kasar dan permukaannya lebih keras
dibandingkan pada masa anak-anak yang memiliki tekstur kulit halus. Selain itu
ditandai dengan pertumbuhan otot dan perubahan warna suara. Pada perempuan
ditandai dengan tumbuhnya rambut pubis, membesarnya payudara, dan gejala
menstruasi.
b. Proses Kognitif pada remaja
Perkembangan kognitif seseorang ditandai dengan perubahan pola pikir
seiring meningkatnya pengalaman hidup seseorang. Sesuai dengan teori
perkembangan kognitif Piaget, masa remaja berada pada tahapan operasional
formal. Tahap operasional formal dikatakan oleh Piaget (dalam Hurlock, 1959)
sebagai masa dimana seseorang telah mampu berpikir secara abstrak, idealis,
dan logis. Kualitas abstrak tersebut dilihat dari kemampuan remaja dalam
memecahkan masalah secara verbal. Pada masa operasional konkret contohnya
seorang anak harus melihat wujud dari benda A, B, dan C untuk mendapat
kesimpulan bahwa A > B > C, maka A > C. Sedangkan pada masa operasional
formal seseorang akan mampu memecahkan masalah ini melalui penjelasan
yang hanya diberikan secara verbal.
c. Proses Sosioemosional pada remaja
Perkembangan psikis masa remaja ditandai dengan memasuki masa
pubertas, setiap anak telah mempunyai sistem kepribadian yang merupakan
pembentukan dari perkembangan selama ini. Di luar sistem kepribadian anak
seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi, pengaruh media massa,
keluarga, sekolah, teman sebaya, budaya, agama, nilai dan norma masyarakat
tidak dapat diabaikan dalam proses pembentukan kepribadian tersebut. Pada
28
masa remaja, seringkali berbagai faktor penunjang ini dapat saling mendukung
dan dapat saling berbenturan nilai (Havighurst dalam Hurlock, 1973).
Pada usia tersebut, tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi adalah
sebagai berikut:
a. Mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya baik sesama jenis
maupun lawan jenis
b. Mampu memenuhi peran sosial maskulin dan feminine
c. Mampu menerima kondisi fisik dan dapat mempergunakannya secara efektif
d. Mampu mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang dewasa
lainnya
e. Dapat mencapai kemandirian secara ekonomi
f. Memilih pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja
g. Mempersiapkan diri dalam menghadapi perkawinan dan kehidupan keluarga
h. Mengembangkan kemampuan dan konsep intelektual
i. Menginginkan dan mencapai perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan
secara sosial
j. Memperoleh rangkaian sistem nilai dan etika sebagai pedoman perilaku
Semua remaja belum tentu dapat memenuhi tugas-tugas tersebut dengan
sempurna. Menurut Hurlock (1973) ada beberapa masalah yang dialami remaja
dalam memenuhi tugas-tugas tersebut, yaitu:
a. Masalah pribadi, yaitu masalah-masalah yang berhubungan dengan situasi dan
kondisi di rumah, sekolah, kondisi fisik, penampilan, emosi, penyesuaian sosial,
tugas dan nilai-nilai.
b. Masalah khas remaja, yaitu masalah yang timbul akibat status yang tidak jelas,
seperti pencapaian kemandirian, kesalahpahaman atau penilaian berdasarkan
29
stereotip yang tidak tepat, pemberian beban kewajiban yang lebih kecil
dibandingkan hak yang diperoleh dari orangtua.
Melihat pada poin yang telah disebutkan sebelumnya dapat disimpulkan
bahwa masa remaja merupakan masa yang labil dan rentan akan berbagai
permasalahan. Masa tersebut dikenal sebagai masa badai dan tekanan (storm and
stress). Hal ini dikuatkan oleh gagasan Erickson (dalam Hurlock, 1973) bahwa
masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian jati diri.
Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini pun
menjadi sering menimbulkan masalah pada diri remaja.
3. Aggressive Driving Pengemudi Sepeda Motor Remaja
Menurut Peraturan Pemerintah No 43 tahun 1993, pengemudi adalah orang
yang mengendalikan kendaraan bermotor atau orang yang secara langsung
mengawasi calon yang sedang belajar mengemudikan kendaraan bermotor. Kamus
Besar Bahasa Indonesia/KBBI (2002), menjelaskan bahwa pengemudi adalah orang
yang (pekerjaannya) mengemudikan (perahu, mobil, pesawat terbang, sepeda
motor, dsb). Oleh karena itu, pengguna sepeda motor remaja adalah orang yang
mengemudikan sepeda motor dalam usia 12 tahun sampai 22 tahun (Stanley Hall
dalam Santrock, 2003).
Parry (dalam Tasca, 2000) menyatakan bahwa aggressive driving paling
banyak ditampilkan oleh pengemudi yang berusia 17-35 tahun, yaitu young driver
atau pengemudi muda. Penelitian menunjukkan bahwa perilaku agresif di jalan
didominasi oleh pengemudi usia muda (16-23 tahun), biasanya mereka tidak
menggunakan sabuk pengaman, dibawah kendali alkohol, tidak mempunyai surat
ijin yang valid. Selain itu situasi juga memicu terjadinya aggressive driving,
30
diantaranya seorang remaja membawa penumpang sesama remaja, kondisi jalan
padat pada pagi hari, dan batas kecepatan yang ada pada peraturan (Paleti, Eluru &
Bath, 2010).
Beberapa studi juga menemukan perbedaan gender dalam penilaian
subyektif pengemudi usia muda terkait kesesakan yang dialami di lalu lintas. Shinar
(2004) menjabarkan dalam penelitiannya bahwa kodisi lalu luntas yang padat akan
memicu aggressive driving. Pria yang mengalami kesesakan akan lebih terlihat
agresif dapripada wanita, karena pria akan lebih reaktif dengan kesesakan tersebut.
Respon yang muncul atara lain perilaku agresif, kompetitif dan perilaku negatif
lainnya (Altman, 1975 dan Holahan, 1982). Holahan, (1982) menambahkan bahwa
perilaku reaktif ditunjukkan pada individu dengan usia muda lebih banyak
diabanding usia tua.
Aggressive driving sendiri telah dimasukkan menjadi salah satu pembahasan
dalam psikologi perkembangan remaja. Beberapa diantaranya telah diuraikan oleh
Santrock (1988); Papalia, Old, & Feldman (2009). Kovar (1991), Millstein & Litt
(1990) & Takanishi (1993) menguraikan bahwa tiga penyebab utama kematian
pada masa remaja adalah kecelakaan, bunuh diri, dan pembunuhan (dalam
Santrock, 2003). Lebih dari setengah seluruh kematian pada remaja usia 10-19
disebabkan karena kecelakaan, dan kebanyakan berupa kecelakaan kendaraan
bermotor, terutama pada remaja yang lebih tua. Kebiasaan mengemudi berisiko
yang sering menyebabkan kecelakaan pada usia remaja yaitu ngebut (speeding),
membuntuti (tailgating), dan mengemudi di bawah pengaruh alkohol atau obat-
obatan (Santrock, 2003).
Kematian karena kecelakaan kendaraan dan tabrakan kendaraan bermotor
adalah penyebab utama kematian dikalangan remaja AS. Risiko tabrakan lebih
31
besar pada usia antara 16 sampai 19 daripada kelompok usia lainnya, terutama di
antara usia 16 dan 17 tahun yang baru saja mulai mengemudi (Mc Cartt, 2001;
National Center for Injury Prevention and Control/NCIPC, 2004). Hal tersebut
mungkin menjadi lebih fatal saat penumpang remaja berada di kendaraan bermotor,
remaja cenderung mengemudi lebih cereboh ketika sedang bersama teman
sebayanya (dalam Papalia, Old, & Feldman, 2009).
C. Persepsi Kesesakan (crowding) di Jalan Raya
1. Persepsi
Wade & Travis, (2007) menjelaskan bahwa persepsi merupakan proses
pengaturan dan penerjemanahan informasi sensorik oleh otak. Persepsi dipengaruhi
oleh kebutuhan, kepercayaan diri, emosi, dan ekspektasi. Selain itu, persepsi juga
dapat disebabkan oleh faktor budaya. Sehingga individu akan melakukan apa yang
mereka inginkan sesuai dengan pengalaman dan pengaruh dari beberapa hal di atas.
Sedangkan Goldstein, (2002) mengemukakan bahwa persepsi adalah
conscious sensory experience, diartikan sebagai pengalaman sensorik yang secara
sadar. Persepsi muncul ketika objek nampak dan terlihat, yang kemudian
ditransformasikan ke otak menjadi sebuah pengalaman sebagai objek itu. Kita akan
mengetahui ada warna merah atau kuning atau hijau karena hal tersebut sudah
menjadi pengalaman kita sebelumnya dan tersimpan di otak.
Ivancevich, Konopaske, & Matteson, (2008), melanjutkan bahwa persepsi
merupakan suatu proses kognitif dari setiap individu untuk mengartikan stimulus
32
dari lingkungan sekitar. Sehingga persepsi setiap individu mungkin berbeda
meskipun stimulus atau objeknya sama.
Pada dasarnya, persepsi merupakan hipotesis terhadap apa itu stimulus,
yang disesuaikan dengan masa lalu dan jenis stimulusnya (Gregory dalam Paser,
Smith, 2007). Paser & Smith, (2007) juga menjelaskan proses dalam pembentukan
persepsi melalui 2 cara. Bottom up processing dimulai dari mendeteksi stimulus
yang terjadi pada setiap individu, kemudian terjadi proses analisis stimulasi dan
selanjutnya mengkombinasi dan menginterpretasikan stimulus tersebut secara
menyeluruh. Yang kedua adalah proses Top down, yaitu dengan konsep atau
pemikiran yang sudah ada, kemudian di sesuaikan dengan stimulus yang muncul.
Berdasarkan penjelasan beberapa sumber di atas, dapat disimpulkan bahwa
persepsi merupakan suatu penginterpretasian stimulus yang ada di lingkungan.
Persepsi muncul sesuai pengangalaman yang sudah ada dan setiap individu dapat
menghasilkan persepsi yang berbeda-beda dari suatu stimulus atau objek yang
sama. Perbedaan persepsi dapat dipengaruhi oleh pengalaman yang sudah ada dan
kondisi individu itu sendiri.
Walgito (2001), membagi persepsi ada tiga macam, yaitu :
a. Persepsi diri, yaitu bila objek persepsi pada pribadi seseorang mengenal ciri-
ciri dan kualitas dirinya sendiri.
b. Persepsesi benda, yaitu bila objek persepsi perwujudannya adalah benda-benda.
c. Persepsi sosial, bila objek persepsi berwujud manusia atau orang.
Apa yang ada dalam diri individu akan mempengaruhi individu dalam
mengadakan persepsi, ini disebut faktor internal, sedangkan lainnya adalah faktor
eksternal yakni stimulus dan lingkungan dimana persepsi itu berlangsung. Kedua
faktor ini saling berinteraksi dalam individu saat melakukan persepsi.
33
2. Kesesakan (Crowding)
a. Definisi Kesesakan (Crowding)
Kesesakan berbeda dengan kepadatan. Beberapa pakar menjelaskan
perbendaannya secara teoritis. Stokols (dalam Holahan, 1982) menjelaskan
bahwa kepadatan (density) adalah kendala keruangan (spatial constraint),
sedangkan kesesakan (crowding) adalah respon subjektif terhadap ruang yang
sesak. Holahan (1982) menjelaskan bahwa kepadatan (density) merupakan
salah satu faktor terjadinya kesesakan (crowding).
Kepadatan adalah kondisi fisik yang melibatkan pembatasan ruang,
sedangkan kesesakan adalah tahap pengalaman yang disebabkan oleh persepsi
individu akan pembatasan ruang (Stokols dalam Veitch & Arkkelin, 1995).
Kesesakan dapat terjadi karena adanya kepadatan secara fisik di lingkungan
atau biasa disebut density (Sarwono, 1992). Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa kesesakan tidak sama dengan kepadatan. Kepadatan terjadi karena
adanya jumlah objek yang berlebih pada suatu tempat, namun kesesakan bisa
dirasakan meskipun kondisi tidak padat.
Veitch & Arkkelin (1995) mendefinisikan kesesakan sebagai suatu
konsep psikologis yang menunjuk pada pengalaman subyektif terhadap
kepadatan populasi seperti jumlah ruang fisik per orang atau jumlah orang per
unit ruangan. Krahe (2005) menyatakan bahwa kesesakan mengacu pada
kepadatan ruang yang dipersepsi secara subyektif sebagai tidak menyenangkan
dan aversif.
Kesesakan (crowding) merupakan persepsi individu terhadap
keterbatasan ruang yang lebih bersifat psikis, ada evaluasi subjektif di mana
34
besarnya ruang dirasa tidak mencukupi sebagai kelanjutan dari persepsi
langsung terhadap ruang yang tersedia (Gifford, 1987 dalam Holahan, 1982).
Altman (dalam Gifford, 1987) menambahkan bahwa, kesesakan
merupakan suatu proses interpesonal pada suatu tingkatan interaksi manusia
satu dengan yang lainnya dalam suatu kelompok kecil atau pasangan.
Selanjutnya, Sarwono, (1992) menjelaskan juga bahwa kesesakan ini
merupakan salah satu persepsi individu terhadap lingkungan sekitarnya dan
berdampak munculnya stres. Rapoport (dalam Altman, 1975) menambahkan
penjelasan sebelumnya, kesesakan merupakan suatu situasi di mana individu
menghadapi interaksi dalam jumlah yang melebihi dari interaksi yang
diinginkan.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, kesesakan (crowding)
adalah keterbatasan secara psikologis yang dialami individu karena kondisi
fisik yang padat di sekitarnya. Namun kesakan sangat tergantung pada kondisi
psikologis individu, karena kesesakan dapat pula terjadi pada kondisi yang
tidak padat.
b. Teori-teori Kesesakan
Beberapa psikolog lingkungan menjabarkan beberapa teori tentang
kesesakan. Holahan (1982) menjelaskan teori-teori kesesakan dalam 3 model,
yaitu
1) Teori Stimulus Berlebih (Information Overload Theory)
Beberapa peneliti psikologi lingkungan mengemukakan bahwa ada
beberapa proses yang sama yang dilakukan oleh individu saat menghadapi
kesesakan. Individu yang berada dalam kondisi kesesakan mendapatkan
berbagai stimulus yang berasal dari lingkungan di sekitarnya, sehingga
35
memungkinkan individu untuk mengalami apa yang disebut sebagai
stimulus berlebih (Holahan, 1982).
Milgram (dalam Holahan, 1982) berpendapat bahwa stimulus
berlebih yang dialami oleh penduduk kota dapat menyebabkan
ketidakpedulian sosial dan menciptakan individu yang tidak responsif, yang
saat ini menjadi karakteristik dari masyarakat kota. Lebih jauh lagi,
Milgram mengemukakan bahwa dalam menghadapi stimulus berlebih,
masyarakat kota membentuk mekanisme adaptasi sosial. Masyarakat kota
belajar untuk meminimalisasi masuknya input sosial dengan cara membatasi
hubungan sosial dan menunjukkan sikap yang tidak bersahabat. Dengan
kata lain, mereka belajar untuk menyaring input sosial dengan cara
membatasi keterlibatan sosial. Individu akan melakukan penyaringan
terhadap stimulus atau stimulus yang berlebihan tersebut. Stimulus yang
tidak berhubungan langsung dengan kepentingannya akan diabaikan,
sedangkan stimulus yang penting dan manfaat bagi dirinya akan
dipertahankan (Bell, Greene, Fisher & Baum, 2001).
2) Teori Kendala Perilaku (Behavioral Constrain Theory)
Beberapa psikolog lingkungan mengemukakan bahwa konsekuensi
negatif dari kesesakan disebabkan oleh hambatan yang terjadi akibat
kepadatan sosial dan spasial yang mempengaruhi kebebasan seseorang.
Menurut pandangan ini, jumlah tekanan yang dialami akan mengganggu
tergantung dari pemilihan perasaan terhadap situasi tersebut. Untuk
menjelaskan proses psikologis ini, psikolog lingkungan mengemukakan
suatu model untuk membantu dalam memahami bagaimana kesesakan
36
mempengaruhi mood seseorang dan performansi mereka dalam
mengerjakan berbagai tugas.
Proshansky (dalam Holahan, 1982) berpendapat bahwa efek
psikologis dari kesesakan adalah pengalaman kebebasan memilih yang
dialami dalam siatuasi kesesakan. Mereka berpendapat bahwa kesesakan
sebagai suatu fenomena psikologi tidak secara langsung berhubungan
dengan jumlah orang. Hal yang penting untuk mengalami kesesakan adalah
perasaan bahwa orang lain menghalangi dirinya untuk mencapai suatu
tujuan tertentu. Penelitian yang dilakukan oleh Schmidt dkk (dalam
Holahan, 1982) terhadap penduduk California Selatan menemukan bahwa
pandangan mengenai kebebasan memilih berhubungan secara signifikan
dengan persepsi kesesakan yang dimiliki seseorang.
Teori ini menerangkan bahwa kesesakan terjadi ketika individu
merasa kebebasan untuk berperilaku dibatasi oleh keberadaan sejumlah
individu pada suatu wilayah sehingga individu merasa terhambat untuk
melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Kondisi
tersebut akhirnya mendorong individu melakukan perlawanan terhadap
keadaan yang mengancam kebebasannya itu, yang disebut reaktansi
psikologis (psychology reactance), yaitu suatu bentuk perlawanan terhadap
kondisi yang mengancam kebebasan untuk memilih. Adapun bentuknya
adalah usaha-usaha untuk mendapatkan lagi yang hilang. Misalnya, seorang
sedang belajar dikamar, sementara di luar kamar ada sekelompok orang
yang sedang berbicara dengan suara keras, dan tidak mempunyai pilihan
tempat lain untuk belajar, maka orang itu akan merasa terganggu oleh suara
yang keras itu. Akan tetapi bila individu dapat pindah keruangan lain dan
37
meneruskan belajar, individu tidak akan merasa bahwa suara keras itu
mengganggu.
Model ini tergolong dalam konsep intervensi perilaku, yang
memandang bahwa kepadatan yang tinggi saja tidak cukup untuk
menimbulkan stres. Kesesakan akan timbul bila kepadatan yang tinggi
mengganggu perilaku individu dalam usaha pencapaian tujuan.
3) Teori Model Ekologi (Ecological Model Theory)
Micklin (dalam Holahan, 1982) mengidentifikasi bagaimana model
ekologi mempengaruhi perilaku. Pertama, teori perilaku ekologi berfokus
pada hubungan adaptif antara individu dengan lingkungannnya. Kedua, unit
analisis dalam model ekologi adalah pengaruh sosial daripada individual,
dan penekanan bahwa organisasi sosial memainkan peran penting dalam
model ini. Ketiga, konsep ekologi perilaku menekankan distribusi dan
penggunaan sumber-sumber material dan sosial. Model ekologi kesesakan
juga membantu seseorang untuk memahami pengaruh kelompok sosial dan
pengaruh kesesakan dalam proses sosial yang berlangsung dalam kelompok
besar.
Calhoun (dalam Holahan, 1982) mengemukakan bahwa individu
bisa mentoleransi kepadatan yang tinggi dalam lingkungan karena pola
organisasi sosial yang terlibat dalam menentukan ruang konseptual antar
individu. Dengan kata lain, ketentuan sosial yang telah ditetapkan dapat
membantu dalam membagi ruang sosial tanpa tindakan agresif. Holahan
(1982) mengambil kesimpulan bahwa model teori ekologi tentang
kesesakan membahas bagaimana pengaruh kesesakan terhadap organisasi
38
kelompok sosial dan pengaruh kesesakan pada proses-proses sosial pada
kelompok-kelompok yang besar.
c. Aspek-aspek Kesesakan
Stokols dan Sundstrom (dalam Gifford, 1987) menjelaskan bahwa
kesesakan memiliki tiga aspek yakni :
1) Aspek Situasional
Kondisi pada situasi terlalu banyak orang yang saling berdekatan
dalam jarak yang tidak diinginkan sehingga menyebabkan gangguan secara
fisik dan ketidaknyamanan, tujuan yang terhambat oleh kehadiran orang-
orang yang terlalu banyak, ruangan/lokasi yang menjadi semakin sempit
karena kehadiran orang baru.
2) Aspek Emosional
Menjelaskan pada perasaan yang berkaitan dengan kesesakan yang
dialami, biasanya adalah perasaan negatif pada orang lain maupun pada
situasi yang dihadapi. Perasaan positif dalam kesesakan masih mungkin
terjadi, namun perasaan ini hanya terjadi jika individu berhasil menangani
rasa sesak dengan strategi penanggulangan masalah yang digunakan.
3) Aspek Perilaku
Kesesakan menimbulkan respon yang jelas hingga samar seperti
mengeluh, menghentikan kegiatan dan menjauhi situasi, tetap bertahan
namun berusaha mengurangi rasa sesak yang timbul, menghindari kontak
mata, beradaptasi hingga menarik diri dari interaksi sosial.
39
d. Faktor-faktor Penyebab Kesesakan (crowding)
Gifford (1987) menjelaskan 3 faktor yang menyebabkan kesesakan,
yaitu faktor personal, sosial, dan faktor lingkungan. Berikut ini penjelasan
faktor-faktor kesesakan tersebut
1) Faktor Personal
Faktor yang berasal dari diri individu dapat berpengaruh besar
terhadap perasaan sesak (crowding), hal ini terjadi karena kesesakan
merupakan suatu pandangan subjektif yang akan berbeda-beda pada setiap
individu. Fator-faktor personal ini terdiri dari :
a) Kontrol Pribadi (Locus Of Control)
Individu dapat menggunakan kontrol perilakunya, sesuai dengan
teori hambatan perilaku yang sudah dijelaskan sebelumnya. Apabila
kontrol pribadi sudah tidak dapat digunakan, maka kesesakan akan
muncul sebagai akibatnya. Kontrol diri dilakukan individu untuk
mnghindari stimulus yang ada sehingga terlepas dari perasaan sesak
(crowding).
Individu dengan locus of control internal, percaya bahwa
keadaan yang akan terjadi pada dirinya akan mempengaruhi
kehidupannya. Lebih dimungkinkan individu seperti ini mampu
mengendalikan kesesakan daripada individu dengan locus of control
eksternal (Gifford, 1987).
b) Budaya, Pengalaman dan Proses adaptasi
Budaya akan berpengaruh terhadap perilaku individu.
Dibeberapa tempat dengan budaya yang berbeda akan menunjukkan
perilaku individu yang berbeda terhadap suatu hal. Nasar dan Min
40
dalam Gifford (1987) membandingkan persepsi kesesakan antara orang
Asia dan Mediterania yang tinggal di Asrama di Amerika, hasilnya
adalah orang Mediterania merasa lebih sesak daripada orang asia,
demikian cukup membuktikan bahwa latar belakan budaya dapat
menyebabkan perbedaan persepsi kesesakan (crowding).
Pengalaman sebelumnya dapat juga mempengaruhi perasaan
sesak. Sundstrom (dalam Gifford, 1987) menjelaskan bahwa
pengalaman individu pada kondisi padat yang dapat menyebabkan
kesesakan dapat mempengaruhi tingkat toleransi individu terhadap stres
yang dialami akibat kesesakan tersebut. Tingkat toleransi ini dapat
berguna apabila berada pada kondisi yang baru.
Semakin sering individu mengalami kepadatan sehingga
merasakan kesesakan (crowding), akan semakin ada pembiasaan yang
kemudian membuat individu semakin menganggap kepadatan tersebut
tidak menyebabkan kesesakan. Fisher, dkk, (1978) menambahkan
bahwa apabila individu semakin sering dan konstan mengalami stimulus
yang muncul, akan membentuk pembiasaan secara psikologis (adaptasi)
dan fisik (habituasi) yang akan melemahkan efek dari stimulus tersebut.
c) Jenis Kelamin dan Usia
Dalam beberapa penelitian, pria yang mengalami kesesakan akan
lebih terlihat daripada wanita, karena pria akan lebih reaktif dengan
kesesakan tersebut. Respon yang muncul atara lain perilaku agresif,
kompetitif dan perilaku negatif lainnya (Altman, 1975 dan Holahan,
1982). Holahan, (1982) menambahkan bahwa perilaku reaktif
41
ditunjukkan pada individu dengan usia muda lebih banyak diabanding
usia tua.
2) Faktor Sosial
Pengaruh personal terhadap kesesakan akan semakin mudah terjadi
apabila ada pengaruh juga dari pengaruh orang lain, atau keadaan
lingkungannya. Faktor-faktor sosial adalah sebagai berikut :
a) Kehadiran dan perilaku orang lain
Kehadiran orang lain akan membuat individu merasakan sesak
apabila hadirnya orang lain tersebut dianggap mengganggu individu.
Schiffenbauer (dalam Gifford, 1987) menyatakan bahwa penghuni
asrama merasa sesak apabila ada banyak kunjungan dari penghuni
asrama lain. penghuni yang menerima banyak kunjungan juga merasa
tidak nyaman terhadap ruangan, teman sekamar dan proses elajar
mereka.
b) Formasi Koalisi
Berawal dari anggapan bahwa kepadatan sosial dapat
meningkatkan kesesakan (crowding). Gifford, (1987) mengemukakan
dalam penelitiannya bahwa bertambahnya teman sekamar akan memicu
kesesakan, karena akan terjadi koalisi atara suatu pihak dan kemudian
menyebabkan pihak lain merasa terisolasi.
c) Kualitas Hubungan
Kesamaan tujuan dan kepentingan atau pandangan yang sama
antara beberapa individu akan mengurang perasaan sesak. Seberapa baik
individu dapat bergaul dengan orang lain akan mempengaruhi perasaan
42
sesak individu dalam suatu lingkungan (Schaffer & Patterson dalam
Gifford, 1987).
3) Faktor Lingkungan
a) Informasi yang Tersedia
Kesesakan juga dipengaruhi oleh bentuk dan jumlah informasi
yang muncul sebelum mengalami kepadatan. Menurut Fisher & Baum
dalam Gifford, 1987, individu yang tidak mempunyai informasi
sebelumnya akan merasa lebih sesak dibandingkan dengan individu
yang sudah mempunyai informasi sebelumnya.
b) Faktor Fisik
Faktor fisik merupakan kondisi atau penampakan yang ada pada
lingkungan sekitar individu yang dapat menimbulkan efek kesesakan
(crowding). Dalam banyak penelitian menjelaskan faktor ini sangat
berpengaruh terhadap perasaan sesak. Dalam penelitian Lawrencen dan
Kathryn Andrews, (2004) menunjukkan bahwa kondisi ruangan penjara
menimbulkan perasaan sesak, karena ukuran ruangan dan penghuni
dalam penjara tersebut.
Schiffenbauer dalam Gifford, (1987) menambahkan bahwa
penghuni asrama pada lantai atas lebih sedikit merasakan efek sesak
karena keberadaan orang lain yang lebih sedikit disbanding lantai
bawah. Yudha dan Christine, (2005) menambahkan bahwa ada
hubungan atara kondisi pemukiman yang kumuh dan sesak dengan
intensi perilaku agresif. Jadi faktor lingkungan secara fisik seperti,
bentuk ruangan, ukuran ruangan, lebar wilayah, jumlah lantai, jumlah
43
ruangan, tinggi atap, dan sebagainya mendukung munculnya efek sesak
(crowding) pada individu.
e. Pengaruh Kesesakan terhadap Perilaku
Lingkunan dapat berpengaruh dengan perilaku. Kepadatan yang terjadi
pada lingkungan akan membuat individu di dalamnya merasakan kesesakan
(crowding) dan kemudian akan mempengaruhi perilaku individu. Pengaruh
negaif dapat terlihat melalui penurunan-penurunan psikologis, fisiologis dan
hubungan sosial antar individu. Penurunan psikologis antara lain,
ketidaknyamanan, stress, kecemasan, performa kerja yang tidak baik,
agresivitas meningkat bahkan gangguan mental serius. Menurut Holahan,
(1982), kesesakan dapat mempengarui perilaku sosial seperti meningkatnya
kenakalan remaja, menurunnya perilaku gotong royong dan saling membantu,
penarikan diri dari lingkungan, timbulnya perilaku tidak peduli, dan hubungan
sosial semakin berkurang.
John Howard Society of Alberta (1996) menyebutkan bahwa kesesakan
akan mengakibatkan kompetisi untuk memperebutkan sumber daya, agresivitas,
tingginya resiko sakit, dan juga tingginya resiko bunuh diri. Penelitian ini
dilakukan di dalam penjara yang sebagian besar residivisnya mengalami tingkat
kesesakan yang tinggi. Hasil penelitian di atas didukung dengan pendapat Cox
& Paulus yang menyebutkan bahwa dengan bertambahnya jumlah tahanan yang
ada di penjara, maka akan semakin tinggi pula masalah disiplin, resiko
kematian, dan angka bunuh diri yang terjadi (dalam Baron & Byrne, 1991).
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa kesesakan dipandang
sebagai penyebab sikap agresif. Analisis biokimia yang dilakukan oleh
Schaeffer pada kondisi kesesakan menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
44
produksi hormon adrenalin, yang akan memicu perilaku negatif (dalam Baron
& Byrne, 1991). Kebutuhan akan teritori juga akan mengakibatkan perasaan
agresif yang disebabkan karena dorongan instingtif dan kecenderungan untuk
menyerang seseorang yang dipandang sebagai penyebab kesesakan. Agresi
dapat terjadi karena naiknya kadar adrenalin yang berlebihan, meningkatnya
reaksi terhadap stimulus eksternal, dan timbulnya sifat neurotis dan kecurigaan.
Dari pendapat ini dapat disimpulkan bahwa kesesakan dapat dipandang sebagai
penyebab tidak langsung munculnya kekerasan.
3. Jalan Raya
Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapan yang diperuntukkan bagi lalu
lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, dibawah
permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api,
jalan lori, dan jalan kabel (Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006).
Jalan raya adalah jalur - jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuat
oleh manusia dengan bentuk, ukuran - ukuran dan jenis konstruksinya sehingga
dapat digunakan untuk menyalurkan lalu lintas orang, hewan dan kendaraan yang
mengangkut barang dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan mudah dan cepat
(Oglesby, Clarkson H., 1999).
Jalan raya sebagai sarana transportasi darat yang membentuk jaringan
transportasi untuk menghubungkan daerah-daerah akan mempengaruhi kondisi
perekonomian dan pembangunan suatu daerah. Seiring dengan bertambahnya
kepemilikan kendaraan menyebabkan meningkatnya volume lalu lintas, sementara
kapasitas jalan tetap. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kemacetan lalu lintas.
45
4. Kesimpulan
Kesesakan di jalan raya merupakan keterbatasan secara psikologis individu
terhadap jalan yang dilaluinya, disebabkan karena kuantitas kendaraan yang sedang
menggunakan jalan, ukuran jalan dan juga adanya sarana-sarana pelengkap lain di
sekitarnya. Hal ini bisa mengakibatkan stres dan perubahan prilaku pada individu.
Persepsi terhadap kesesakan merupakan kondisi dimana individu
melakukan penilaian dan memproses stimulus yang ada di sekitarnya yang berupa
benda atau individu lain dan menganggap hal tersebut sebagai kesesakan karena
kuantitasnya yang padat. Seperti penjelasan Walgito, (2001) persepsi kesesakan ini
merupakan bentuk persepsi terhadap benda dan orang lain di sekitarnya. Perasaan
ini dapat dirasakan oleh setiap individu dengan tingkat yang berbeda. Hal ini
disebabkan karena kemampuan individu dalam mengolah semua stimulus di
lingkungan sekitar individu serta intensitas individu dalam mengalami stimulus
yang ada. Individu yang lebih sering dan konstan merasakan stimulus kesesakan
(crowding), akan semakin kecil juga individu tersebut merasakan kesesakan
dibandingkan dengan individu yang jarang menerima stimulus tersebut.
Persepsi kesesakan (crowding) di jalan raya merupakan penilaian subjektif
individu terhadap perasaan keterbatasan psikologis yang dialami karena kondisi
jalan. Hal ini dipengaruhi beberapa hal seperti jumlah kendaraan yang ada di jalan
raya, ukuran jalan, dan benda fisik pelengkap di sekitar jalan. Setiap individu akan
mempersepsikan semua stimulus yang ada, dan kemungkinan akan menghasilkan
persepsi yang berbeda antara satu dengan yang lain.
46
D. Dinamika hubungan antara persepsi kesesakan (crowding) di jalan raya
dangan aggressive driving pada remaja
Agresif merupakan suatu tindakan untuk menyakiti atau bermaksud
menyakiti pihak lain. Salah satu penjelasan terhadap timbulnya perilaku agresif
adalah frustasi. Perilaku agresif merupakan akibat dari frustasi yang terjadi oleh
setiap individu. Fustrasi ini akan muncul apabila tujuan individu terhambat.
Sehingga perilaku agresif muncul sebagai respon dari frustrasi tersebut Dollard,
dkk. & Miller dalam (dalam Baumeister & Bushman, 2008).
Aggressive driving merupakan salah satu bentuk perilaku agresif yang
dilakukan oleh pengemudi pada saat mengoperasikan kendaraannya terhadap
pengguna jalan lain. Menurut beberapa sumber yang telah diuraikan di atas,
aggressive driving dapat didukung oleh beberapa faktor yang hampir sama dengan
perilaku agresif secara umum. Beberapa hal yang mempengaruhi aggressive
driving pada penelitian ini adalah faktor personal, sosial, dan lingkungan. Faktor
lingkungan menjadi fokus dalam penelitian ini sebagai pemicu munculnya
aggressive driving. Kondisi lingkungan akan mempengaruhi perilaku individu
termasuk salah satunya aggressive driving.
Faktor Lingkungan sangat berperan dalam pembentukan perilaku individu.
Kondisi lingkungan yang padat akan menimbulkan perasaan sesak (crowding).
Menurut beberapa sumber yang sudah dijelaskan di atas, kesesakan merupakan
perasaan individu terhadap lingkungan sekitarnya disebabkan padatnya benda fisik
yang ada. Hal ini bisa mengakibatkan stres dan perubahan prilaku pada individu.
Individu dapat mempersepsikan kesesakan (crowding) secara berbeda-beda.
Persepsi individu terhadap kesesakan dapat dipengaruhi oleh bentuk, jumlah, dan
47
lokasi terjadinya stimulus. Selain itu proses adaptasi dan pengalaman akan
mempengaruhi pula persepsi kesesakan (crowding) oleh masing-masing individu.
Persepsi kesesakan berpengaruh terhadap respon reaktif individu, salah
satunya adalah agresivitas meningkat. Beberapa ahli menjelaskan bahwa kesesakan
bisa menimbulkan agresivitas. Holahan (1982) mengemukakan bahwa kesesakan
dapat mempengarui perilaku sosial seperti meningkatnya kenakalan remaja,
menurunnya perilaku gotong royong dan saling membantu, penarikan diri dari
lingkungan, timbulnya perilaku tidak peduli dan hubungan sosial semakin
berkurang.
Kesesakan pada saat berada di dalam penjara juga meningkatkan agresivitas
para napinya, karena brntuk fisik ruangan penjaranya dan jumlah orang di
dalamnya (Lawrencen & Andrews, 2004). Ditambahkan lagi oleh Macintyre &
Homel, (2004), bahwa perilaku agresif muncul disebabkan salah satunya oleh
crowding, dalam penelitiannya kesesakan di nightclub dapat meningkatkan perilaku
agresif pengunjung, selain karena efek mabuk alkohol.
Informasi yang telah tersedia, seharusnya dapat mereduksi persepsi
kesesakan, karena individu sudah memperkirakan dan mempunyai pengalan dan
dapat mempersiapkan dirinya. Namun dalam penelitian Jonson & McKnight,
(2009) melihat bahwa dengan adanya peringatan kemacetan, ternyata tidak
mempengarui atau mengurai tingkat stres pada pengemudi yang nantinya akan
mengalami kemacetan tersebut. Dengan demikian, persespi kesesakan dalam
kemacetan di jalan akan dirasakan berbeda oleh setiap individu.
Faktor personal dan usia dapat juga mempengaruhi perilaku aggressive
driving ini. Parry dalam Tasca, (2000) menjelaskan bahwa sebagian besar perilaku
aggressive driving dilakukan oleh pengguna kendaraan pada usia muda. Morton,
48
Lerner & Shinger, (2005) menambahkan pengemudi remaja pria lebih cenderung
melakukan perilaku mengendara beresiko dan kurang berhati-hati seperti dengan
selalu menggunakan kecepatan tinggi pada saat mengemudi.
Paleti, dkk (2010) dalam penelitiannya menjelaskankan juga bahwa
pengemudi usia muda lebih banyak melakukan perilaku agresif pada saat
mengemudi, karena kondisi mereka yang masih labil seperti tidak mengenakan
sabuk pengaman, mengemudi setelah mengkonsumsi alkohol.
Muhaz, (2013) menambahkan dalam penelitiannya bahwa individu yang
sudah mengalami kematangan emosi, akan menunjukkan perliaku aggressive
driving yang cenderung rendah juga. Hal ini dapat terjadi karena sistem kontrol diri
dari individu dengan usia muda masih belum matang. Santrock, (2007)
menjelaskan juga bahwa masa remaja adalah masa guncangan, dimana akan mudah
sekali perilaku remaja dipengarugi oleh sesuatu, dalam hal ini hal yang kurang
menyenangkan direspon dengan perilaku agresif.
Penulis mencoba melihat hubungan yang terjadi antara persepsi kesesakan
di jalan raya dengan aggressive driving yang muncul. Dinamika hubungan antara
kesesakan dan aggressive driving tidak terjadi secara langsung. Berawal dari
kondisi linkungan jalan yang padat menjadi menjadi pemicu terjadinya aggressive
driving. Holahan (1982) mengemukakan bahwa kepadatan merupakan salah satu
syarat terjadinya kesesakan. Kepadatan yang tinggi akan menimbulkan kesesakan
(crowding). Selanjutnya, Holahan menambahkan bahwa kesesakan berpengaruh
negatif terhadap psikologis individu, antaranya adalah ketidaknyamanan, stres, dan
juga agresivitas. Oleh karena itu, kondisi lingkungan jalan yang padat, akan
menimbulkan perasaan sesak pada pengemudi, kemudian akan mempengaruhi
tingkat stres dan memunculkan aggressive driving.
49
Mendukung pernyataan tersebut, Hennessy & Wiesenthal (2000)
menjelaskan, kondisi lingkungan jalan raya yang padat akan mempengaruhi tingkat
stres individu, selanjutnya akan memungkinkan terjadinya perilaku agresif pada
saat mengendara. Hennessy & Wiesnthal, (1999) melakukan penelitian sebelumnya
kepada para sopir dengan metode wawancara dengan handphone pada saat mereka
mengemudi pada kondisi jalan dengan kemacetan tinggi dan rendah, hasilnya
menunjukkan bahwa 2 kategori yang diteliti yaitu perilaku agresif pada saat
mengemudi dan tingkat stress meningkat pada saat kondisi jalan mengalami
kemacetan yang tinggi.
Shinar & Compton, (2004) menambahkan, dalam penelitian yang
dilakukannya, terliahat bahwa aggressive driving muncul lebih banyak pada jam-
jam padat lalu lintas dibandingkan waktu biasa. Dengan semakin padatnya kondisi
jalan, akan meningkatkan pula terjadinya perilaku aggressive driving. Kesesakan
(crowding) akan menyebabkan peningkatan stress sehingga pada akhirnya
memunculkan aggressive driving. Parkash & Kansal, (2007) menambahkan
perilaku agresif ketika mengemudi merupakan respon dari kepadatan yang ada di
jalan. Kondisi jalan yang padat dan lambat memicu parilaku agresif pengemudi.
Shinar, (1998) menjelaskan dalam penelitian sebelumnya bahwa, perilaku
agresif pada saat mengemudi ini memang sesuai dengan teori frustasi agresi, yaitu
karena pengemudi merasa frustasi dengan keadaan jalan, maka munculah perilaku
agresif untuk melanggar hak-hak orang lain misalnya perilaku menerobos lampu
merah atau dengan melakukan penyerangan kepada pengemudi lain seperti dengan
mengeluarkan kata-kata menantang (mengutuk) objek frustrasinya.
Tasca (2000) menjelaskan bahwa jenis kelamin dapat menjadi factor
pembentuk aggressive driving. Sehingga akan terdapat perbedaan intensitas
50
perilaku aggressive driving antara laki-laki dan perempuan. Constantinou, dkk
(2011) menjelaskan pula dalam penelitiannya bahwa jenis kelamin juga
mempengaruhi munculnya aggressive driving.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, aggressive driving
dapat dipengaruhi oleh lingkungan, khususnya kondisi jalan raya. Jalan raya yang
padat akan dipersepsikan masing-masing individu secara berbeda-beda. Persepsi
individu terhadap kesesakan (crowding) pada saat terjadi kemacetan di jalan raya,
akan menetukan tinggi atau rendahnya perilaku aggressive driving yang muncul.
E. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah : terdapat hubungan antara persepsi
kesesakan dan jenis kelamin terhadap aggressive driving. Jenis kelamin sebagai
moderator antara variabel persepsi kesesakan dan aggressive driving.