BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perairan Umum
Sumber daya alam (sumber alam) menurut Supangat (2007: 1.11)
didefinisikan sebagai “segala sesuatu yang terdapat di alam yang berguna bagi
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya”, akibat dari defenisi ini maka
komponen alam yang belum tahu pemanfaatannya tidak termasuk sumber daya
alam. Karena itu, beberapa ahli telah merubah defenisi tersebut menjadi
“segala sesuatu yang terdapat di alam yang berguna bagi manusia, untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang telah digunakan dimasa kini atau
yang akan digunakan dimasa yang akan datang”. Dengan demikian semua
komponen alam termasuk manusia merupakan sumber daya alam. Menurut
Katili (1983:15), secara ilmiah dapat dikatakan bahwa :
Sumber daya alam adalah semua unsur tata lingkungan biofisik yang dengan nyata atau potensial dapat memenuhi kebutuhan manusia, atau dengan perkataan lain sumber daya alam adalah semua bahan yang ditemukan manusia dalam alam, yang dapat dipakai untuk kepentingan hidupnya.
Apabila kita berbicara mengenai perairan itu berarti yang menjadi objek
utama adalah air dan badan air. Air merupakan suatu senyawa yang sangat
dibutuhkan oleh semua mahluk hidup, baik itu sebagai kebutuhan untuk
metabolisme tubuh ataupun sebagai habitat. Berdasarkan salinitasnya air secara
garis besar dibedakan menjadi tiga, yaitu air tawar, air payau, dan air asin
(air laut). Sebagian besar mahluk hidup terutama yang habitatnya di daratan
16
sangat tergantung pada air tawar, sebagai contoh yang paling nyata adalah
manusia.
Air yang mengalami siklus hidrologi tertampung di dalam suatu wadah
(badan air) berfungsi sebagai tempat air permukaan berkumpul yang akhirnya
membentuk suatu peraturan. Perairan yang berisi air tawar kita temukan di
bagian permukaan bumi yang berupa daratan. Perairan ini kita kenal istilah
perairan umum. Walaupun ada pengertian yang menyatakan bahwa perairan
umum juga termasuk di dalamnya adalah laut. Namun, ada juga yang
mengistilahkan perairan yang terdapat di daratan sebagai perairan pedalaman,
hanya saja masih sedikit orang yang menggunakannya.
Sekaitan dengan hal tersebut, Supangat (2007:1.3) mengatakan bahwa:
Perairan umum adalah bagian permukaan bumi yang secara permanen atau berkala digenangi air, baik air tawar, air payau maupun air laut, mulai garis pasang surut laut terendah ke arah daratan dan badan air tersebut terbentuk secara alami atau buatan.
Perairan umum tidak dimiliki oleh perorangan dan mempunyai fungsi
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Istilah perairan
umum dibatasi kepada badan-badan air yang berair tawar.
Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan disebutkan
bahwa :
1. Air beserta sumber-sumbernya termasuk kekayaan yang terkandung di dalamnya adalah karunia Tuhan yang Maha Esa yang mempunyai manfaat serba guna dan dibutuhkan manusia sepanjang masa.
2. Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ini berarti tidak ada penguasaan air secara individual, yang ada hanyalah
hak pakai atau penggunaan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa perairan
17
umum merupakan bagian permukaan bumi yang secara permanen ataupun
berkala tertutup oleh massa air dan terbentuk secara alami dan atau buatan,
baik yang berair tawar ataupun payau yang bersifat umum. Sungai, danau, rawa
dan waduk merupakan contoh-contoh perairan umum.
Sifat perairan umum ditinjau dari fungsinya yang multiguna dapat
ditinjau dari berbagai sudut pandang pemanfaat. Hal ini dikarenakan perairan
umum memiliki nilai ekonomi, nilai estetika, nilai politik, nilai ekologi, dan
nilai biologi. Sebagai contoh dalam pendayagunaan aliran sungai maka daerah
aliran sungai dapat dipandang sebagai suatu kesatuan yang dapat
dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan manusia sebanyak mungkin.
Aliran sungai untuk memenuhi kebutuhan manusia dapat mencakup di
dalam berbagai kegiatan, misalnya irigasi, pembangkit tenaga listrik,
pelayaran, perikanan, penyelidikan air untuk keperluan domestik dan industri
serta kebutuhan lainnya. Di samping keuntungan air sungai dapat juga
menimbulkan kerugian bagi manusia, seperti banjir, kekeringan, pendangkalan
sungai dan waduk.
Menurut Supangat (2007:1.14), Jabotabek (Jakarta, Bogor Tangerang
dan Bekasi) tercatat lebih kurang 194 situ dan 122, diantaranya terdapat di
Kabupaten Bogor, tetapi sekarang sebagian situ-situ tersebut sudah tidak
terawat/rusak, bahkan ada yang sudah berubah fungsi menjadi daratan.
Berkurangnya luasan perairan umum yang ada terutama situ dan rawa
disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Campur tangan manusia
mempercepat berkurangnya luasan perairan umum untuk kepentingan lahan
18
tempat tinggal, perkantoran, pertokoan, dan lain sebagainya dengan cara
penimbunan.
Perairan umum dengan tipe ekosistem masing-masing, baik danau,
telaga, legokan, rawa, waduk, sungai mati, lebak lebung dan estuari
mempunyai potensi yang tinggi untuk dapat dikembangkan sebagai objek atau
kawasan wisata. Semua tipe ekosistem perairan umum dapat direncanakan
untuk dikembangkan sebagai resort wisata. Pemanfaan perairan umum sebagai
kawasan wisata contohnya Danau Toba, Danau Batur, Danau Tiga Warna,
Sungai Musi, dan Sungai Mahakam.
Ketiga danau yang dicontohkan memiliki nilai estetika, sedangkan
sungai Musi memiliki nilai sejarah dengan adanya Jembatan Ampera dan
Benteng Kuto Besak (peninggalan Kesultanan Palembang). Sungai Mahakam
memiliki nilai biologi dan ekologi karena merupakan habitat mamalia air tawar
yang kita kenal dengan sebutan Pesut yang dalam bahasa Inggrisnya disebut
Irrawady Dolphin (Orcaella brevirostris).
Lingkungan hidup perairan umum berfungsi untuk menyangga
perikehidupan. Perairan umum dimanfaatkan secara bersama oleh berbagai
sektor dengan berbagai kepentingan sehingga memerlukan pengelolaan guna
mempertahankan keberadaannya dalam keseimbangan yang dinamis melalui
berbagai usaha perlindungan, rehabilitasi, dan pemeliharaan keseimbangan
antara unsur-unsur yang ada secara terus menerus.
Kebutuhan manusia akan air terutama air tawar selalu meningkat dari
waktu ke waktu, hal ini disebabkan bukan saja hanya oleh pertumbuhan
19
penduduk, melainkan juga karena adanya peningkatan intensitas dan jenis
kebutuhan manusia. Kualitas air semakin banyak mendapat perhatian
berhubung adanya peningkatan kebutuhan dan kesadaran para pemakai.
Sumber air tawar utama adalah perairan umum, diperkirakan 1,3 sampai 1,4
milyar kilometer kubik air sekitar 0,73 % berada di daratan (sebagai air sungai,
air danau, air tanah, dan lain sebagainya).
Telah dikatakan bahwa perairan umum dalam pemanfaatanya bersifat
multi-user, dan tiada kepemilikan sehingga memerlukan pengelolaan yang
terpadu dari semua pihak yang berkepentingan. Seperti yang tercantum dalam
Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang berarti tidak ada
penguasaan air secara individu, yang ada hanyalah hak pakai atau penggunaan.
B. Rawa (Swamps)
1. Pengertian Rawa (Swamps)
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa :
Rawa diartikan sebagai tanah yang rendah (umumnya di daerah pantai) dan digenangi air, biasanya banyak terdapat tumbuhan air. Penggenangan air di rawa dapat bersifat musiman ataupun permanen.
Menurut PP No. 27 Tahun 1991 Pasal 1 Tentang Rawa;
Rawa adalah lahan genangan air secara alamiah yang terjadi terus menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara phisik, kimiawi, dan biologis. � Ciri phisik, pada umumnya kondisi tanahnya cekung dengan topografi
relatif datar; � Ciri kimiawi, pada umumnya derajat keasaman airnya rendah, tanahnya
bersifat anorganik dan mengandung pirit; dan � Ciri biologis, pada umumnya terdapat ikan-ikan rawa, tumbuhan rawa, dan
hutan rawa.
20
Secara singkatnya rawa dapat didefinisikan sebagai tanah basah yang
selalu digenangi air dan ditumbuhi vegetasi atau genangan air di daratan pada
cekungan yang relatif dangkal.
Terjadinya genangan rawa karena permukaan daratan hampir sama atau
di bawah permukaan air sungai atau air tanah yang berada di sekitarnya.
Karena itu air rawa seolah-olah tidak dapat mengalir ke sungai atau meresap
ke dalam lapisan tanah. Genangan rawa juga bisa terjadi karena terjebak pada
suatu daerah cekungan dan lapisan batuan di bawah rawa yang merupakan
batuan yang sifatnya impermeabel. Rawa biasanya ditumbuhi tumbuhan
tertentu dengan jenis tanaman yang khas rawa.
Jenis-jenis floranya antara lain: durian burung (Durio carinatus), ramin
(Gonystylus sp), terentang (Camnosperma sp.), kayu putih (Melaleuca sp),
sagu (Metroxylon sp), rotan, pandan, palem-paleman dan berbagai jenis
lainnya. Faunanya antara lain : harimau (Panthera tigris), Orang utan (Pongo
pygmaeus), rusa (Cervus unicolor), buaya (Crocodylus porosus), babi hutan
(Sus scrofa), badak, gajah, musang air dan berbagai jenis ikan.
2. Rawa dan Pembangunan
Rawa merupakan kimah (asset) potensial untuk dapat digunakan baik
langsung maupun tidak langsung bagi kemaslahatan dan kesejahteraan
manusia. Fungsi rawa, selain sebagai penyangga lingkungan, adalah penghasil
berbagai produk seperti kayu, flora (tanaman), dan fauna (ikan, burung dan
sebagainya). Dalam kawasan hutan rawa baik di Kalimantan ataupun di
Sumatera terdapat sekitar 34 – 58 jenis pohon sebagai penghasil kayu. Jenis
21
kayu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi antara lain ramin (Gonystylus
bancanus), meranti (Shorea sp.), pulai (Alastonia sp.), terantang
(Campnospernum sp.), geronggang (Cratoxylon arborescens), punak
(Tetrameristra glabra), bintangur (Calophylum sp.), balam (Payena leerii),
nyatoh (Palaqulum cochlearia), dan jelutung (Dyera costulata).
Selain itu, beranekaragam tanaman baik sebagai bahan makanan maupun
sebagai obat-obatan tumbuh di lahan hutan-hutan rawa. Secara tradisional,
masyarakat Dayak di Kalimantan mengusahakan beje, yaitu sejenis kolam
perangkap ikan, sebagai mata pencaharian di kawasan rawa yang setiap
menjelang musim kemarau dipanen. Makin sempitnya lahan-lahan subur dan
meningkatnya jumlah penduduk, maka pengembangan pertanian dan
perkebunan bergeser ke lahan-lahan piasan seperti rawa. Di kawasan Asia,
termasuk Indonesia, lahan rawa lebih diperuntukkan pengembangan pertanian.
Kimah atau sumber daya penting lain yang terdapat di kawasan rawa
adalah keanekaragaman hayati dan sumber plasma nutfah yang besar dan khas.
Menurut Noor (2001:10), di sekitar Sungai Mentangai, Kalimantan Tengah
ditemukan 104 satwa liar yang terdiri atas 32 jenis mamalia (di antaranya 13
jenis dilindungi), 8 jenis reptilia (5 jenis dilindungi) dan 60 jenis burung (19
jenis dilindungi). Dalam konteks ini, kawasan rawa, selain dapat dijadikan
objek wisata flora dan fauna, juga dapat dijadikan objek wisata lingkungan
(ecotourism).
Dari segi potensi luas rawa, Indonesia merupakan negara yang cukup
banyak memiliki rawa namun, dari sekian luas rawa tersebut baru sebagian
22
kecil yang telah dimanfaatkan. Rendahnya pemanfaatan sumber daya alam ini
terutama disebabkan oleh besarnya dana investasi yang harus ditanamkan.
Faktor lokasi yang jauh di pedalaman dengan sarana dan prasarana transportasi
yang sulit karena hanya mengandalkan transportasi air dan lingkungan hidup
yang tidak sehat seperti air yang asam dan jangkitan (virulensi) penyakit yang
tinggi seperti malaria, cacing dan penyakit kulit menjadi kendala untuk
pembukaan dan pemukiman penduduk di kawasan rawa.
C. Penyebaran dan Pemanfaatan Lahan Rawa
1. Luas dan Penyebaran
Lahan rawa baik yang berupa rawa pasang surut dan nonpasang surut
(lebak) merupakan salah satu sumber daya alam terbesar di Indonesia.
Pengembangan daerah rawa ini tersebar di beberapa pulau, yaitu Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Luas lahan rawa di Indonesia
diperkirakan mencapai 33.393.570 hektar yang terdiri dari 20.096.800 hektar
lahan pasang surut dan 13.296.770 hektar lahan nonpasang surut (lebak)
seperti yang terlihat pada Tabel 2.1. Pemanfaatan lahan rawa secara umum
dapat dibedakan untuk pertanian tanaman pangan dan hortikultura,
perkebunan, perikanan, kehutanan dan tanaman industri, serta konservasi dan
ekowisata.
23
Adapun distribusi lahan rawa Indonesia dan areal yang telah
dikembangkan dengan bantuan pemerintah dapat ditunjukkan pada tabel
berikut ini.
Tabel 2.1 Distribusi Lahan Rawa Indonesia dan Areal yang Telah
Dikembangkan dengan Bantuan Pemerintah
Lokasi
Total Lahan Rawa (Ha)
Total Luas yang Dikembangkan (Ha)
Pasang Surut
Non Pasang Surut
Total
Pasang Surut
Non Pasang Surut
Total
Sumatera Kalimantan Sulawesi Irian Jaya
6.604.000 8.126.900 1.148.950 4.216.950
2.766.000 3.580.500
644.500 6.305.770
9.370.000 11.707.400 1.793.450
10.522.720
615.250 219.950
0 0
279.480 192.190
2.000 6.000
894.730 412.140
2.000 6.000
Total 20.096.800 13.296.770 33.393.570 835.200 479.670 1.314.870 Sumber : Supangat, 2007
2. Status dan Pemanfaatan
Berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan
dinyatakan bahwa “Rawa merupakan salah satu sumber air yang perlu
dilindungi dan dimanfaatkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
rakyat”. Sedangkan di Pasal 5 pada PP 27 1991 dinyatakan bahwa “Rawa
dikuasai oleh Negara, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah”.
Dari pernyataan tersebut sudah barang tentu status lahan rawa ini
bukanlah milik individu melainkan milik bersama yang semuanya di bawah
pengaturan negara. Kita sebagai warganya hanya diberi hak untuk
menggunakannya saja dengan tetap menjaga kelestariannya sebagai kewajiban.
Pengembangan rawa dan lahan gambut berkaitan erat dengan masa
kekurangan beras, baik yang dialami pada masa pemerintahan kolonial Belanda
24
setelah Perang Dunia I maupun yang dialami oleh pemerintah Indonesia setelah
kemerdekaan pada sekitar tahun 1960-an.
Indonesia memiliki luas lahan yang luas totalnya sekitar 162,4 juta,
terdiri dari: 20,56% daerah rawa dan 79,44% lahan kering (http://Informasi
Umum Tentang Rawa Pasang Surut Di Indonesia.pusair-pu.go.id/).
Pengembangan lahan pertanian saat ini sangat diperlukan untuk mengimbangi
kecepatan alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian yang terjadi saat
ini di Pulau Jawa. Salah satu pilihan yang bisa digunakan untuk upaya tersebut
adalah daerah rawa, dimana daerahnya masih relatif terbuka dengan tingkat
kepadatan yang tidak terlalu tinggi, sumber daya airnya tersedia, demikian pula
kondisinya yang cukup sesuai untuk budi daya tanaman.
Dalam konteks pengembangan wilayah, pemerintah berupaya
mengembangkan daerah rawa menjadi areal pertanian yang dilandasi konsep
pembangunan secara bertahap dan terintegrasi. Daerah rawa tersebar di
sepanjang pantai Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua dengan
luas sekitar 33,393 juta ha.
Manfaat yang diberikan dari keberadaan daerah rawa ini, baik rawa
pasang surut maupun rawa lebak di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Sumber cadangan air, dapat menyerap dan menyimpan kelebihan air dari daerah sekitarnya dan akan mengeluarkan cadangan air tersebut pada saat daerah sekitarnya kering.
b. Mencegah terjadinya banjir dan mencegah intrusi air laut ke dalam air tanah dan sungai.
c. Sumber energi karena tumbuhan rawa dapat dimanfaatkan untuk energi (biogas).
d. Sumber makanan nabati maupun hewani. e. Sebagai lahan pertanian dan rawa yang airnya tidak terlalu asam dapat
juga untuk daerah perikanan.
25
f. Sebagai sumber pembangkit tenaga listrik g. Pemendam karbon dan pencegah emisi gas rumah kaca. h. Penawar pencemaran pedosfer dan hidrosfer. i. Keanekaragaman hayati dan sumber plasma nutfah. j. Sebagai objek pariwisata.
Begitu banyak manfaat yang kita peroleh dari daerah rawa ini, apa yang
terjadi jika daerah rawa ini hilang, dapat dibayangkan. Kita akan mengalami
kekeringan, dapat mengakibatkan intrusi air laut lebih jauh ke daratan, dapat
mengakibatkan banjir, hilangnya flora dan fauna di dalamnya, dan yang
parahnya sumber mata pencaharian penduduk setempat akan berkurang.
D. Pembentukan dan Ragam Jenis Rawa
1. Pembentukan Rawa
Daerah becek, danau dangkal, dan rawa-rawa merupakan daerah yang cocok
untuk penimbunan bahan organik. Lingkungan demikian mendorong
pertumbuhan vegetasi seperti rumput danau, cattail, sedges, reeds dan rumput-
rumput lain, lumut, belukar dan juga pohon-pohon. Tumbuh-tumbuhan itu
hidup turun temurun, mati, dan terbenam, dan kemudian tergenangi air.
Air itu menghentikan aliran udara, menghalangi oksidasi cepat, dengan demikian
bertindak sebagai pengawet. Pelapukan yang terjadi sebagian besar dilakukan oleh
fungi, bakteri anaerobik, ganggang, dan binatang air mikroskopik tertentu. Mereka
menghancurkan jaringan-jaringan organik, membebaskan bahan-bahan gas dan
membantu pembentukan humus.
Setiap generasi tumbuhan yang menyusul tumbuhan sebelumnya akan
meninggalkan lapisan demi lapisan bahan organik yang diendapkan (lihat Gambar 2.1).
Susunan tiap lapisan berubah dengan waktu mengikuti urutan kehidupan
26
berbagai tumbuhan yang telah lalu. Jadi, tumbuhan yang hidup di perairan
dalam akan ditumbuhi oleh sejenis alang-alang, disusul oleh berbagai lumut, dan
di atas lumut tumbuh semak, dan akhirnya kita jumpai hutan yang terdiri dari pohon-
pohon berkayu keras. Suksesi ini tidak selalu beraturan karena setiap perubahan
iklim atau permukaan air dapat mengubah urutan tersebut, oleh karena itu profil
endapan organik dicirikan oleh lapisan, tidak saja berbeda dalam tingkat pelapukannya,
tetapi juga oleh sifat jaringan tumbuhan aslinya. Sebenarnya, lapisan-lapisan itu
kemudian akan menjadi horizon tanah. Sifat akhir suatu tanah organik sebagian
ditentukan oleh sifat dari bahan asal.
Gambar 2.1. Empat tingkat perkembangan dari gambut danau berkayu (a-d) dan setelah daerah i tu dibuka dan didrainase (e). Hara yang berkumpul dari tanah-tanah di sekitarnya merangsang per tumbuhan tanaman a i r , te ru tama d i p inggi r -pinggir danau (a) . Limbah organik mengis i dasar dar i danau (b dan c), dan akhirnya pohon-pohon menutupi seluruh daerah (d) . Bi la daerah ini d ibuka dan didrainasekan, daerah tersebut menjadi tanah gambut yang sangat produkitif (e).
Lahan rawa merupakan lahan yang selalu dijenuhi air, baik yang berasal
dari hujan maupun luapan sungai atau pengaruh pasang surut air laut.
Keberadaan air tersebut terutama disebabkan oleh bentuk fisiografi datar
sampai cekung yang tidak memungkinkan air tersebut teratus secara cepat.
Endapan gambut di rawa terbentuk secara geologis dengan bahan endapan
27
berupa bahan yang terbawa bersama air dari daerah hulu (koloid mineral) atau
berupa timbunan sisa tumbuhan setempat yang laju penimbunan lebih cepat
daripada laju perombakannya. Sering sekali bahan penyusun rawa tersebut
berupa campuran gambut dan tanah mineral, baik campuran langsung maupun
lapis melapisi. Vegetasi alami, kejenuhan air yang relatif tidak bergerak,
kekahatan oksigen merupakan keadaan apabila laju dekomposisi lebih rendah
daripada laju sedimentasi yang menyebabkan lahan gambut dapat tumbuh dan
berkembang.
2. Ragam Jenis Rawa
Jenis rawa dapat dibedakan berdasarkan proses terbentuknya (letaknya),
penyebab genangannya, keadaan airnya, dan sifat airnya. Berdasarkan proses
terbentuknya rawa terbagi atas :
a) Rawa Pantai
Rawa pantai adalah rawa yang yang berada di muara sungai. Air pada
jenis rawa ini selalu mengalami pergantian karena dipengaruhi oleh pasang
surut air laut. Pada saat air laut pasang, air akan masuk ke mulut muara sungai
dan sebagian akan melimpah ke daerah rawa. Pada saat air laut surut, air rawa
akan mengalir kembali baik melalui kanal-kanal sempit pinggir pantai atau
melalui muara sungai tersebut. Rawa jenis ini airnya payau jika tercampur
dengan air sungai sehingga derajat keasamannya relatif rendah. Rawa ini
terbentuk karena proses pelumpuran di muara sungai. Dalam keadaan yang
dangkal, tumbuh-tumbuhan rawa. Mula-mula hanya sedikit, kemudian meluas
menuju ke daerah laut lepas seiring laju pelumpuran muara sungai.
28
Rawa di tepian pantai bisa juga terjadi tanpa harus ada muara sungai.
Misalnya, pada daerah teluk di pantai yang landai. Pada saat laut pasang, air
membawa material kasar dan diendapkan di mulut teluk. Sementara pada saat
surut, air tidak membawa lagi material kasar tersebut sehingga terjadilah
pendangkalan mulut teluk yang mengakibatkan rawa belakang.
b) Rawa Pinggiran
Rawa pinggiran adalah rawa yang berada di sepanjang aliran sungai,
terjadi akibat sering meluapnya sungai tersebut. Pada saat sungai meluap
(banjir), air membawa material yang berbutiran pasir dan relatif kasar
kemudian diendapkan di tepi bantaran sungai. Pada saat banjir surut, butiran
kasar tersebut tidak dapat terangkut lagi karena kesurutan air sungai tidak
sederas ketika banjir. Endapan pasir yang kasar ini akan terus bertambah setiap
kali banjir sehingga membentuk tanggul alam di sepanjang aliran sungai.
Akibat lanjutnya, jika tanggul alam ini semakin tinggi, di samping kiri dan
kanan aliran akan tergenang air sisa banjir. Terbentuklah rawa sungai.
Rawa sungai ini dapat juga terbentuk pada daerah bekas aliran sungai
yang terpotong akibat proses meandering sungai, yaitu pada danau tapal kuda
(oxbow lake) atau oxbow swamp. Rawa macam ini dapat digunakan untuk
pertanian dan dibuka menjadi lahan dataran banjir.
c) Rawa Abadi
Rawa abadi yaitu rawa yang airnya terjebak dalam sebuah cekungan dan
tidak memiliki pelepasan ke laut. Air hujan yang tertampung dalam rawa hanya
dapat menguap tanpa ada aliran yang berarti. Air pada jenis rawa ini sangat
29
asam dan berwarna kemerah-merahan. Di rawa ini hampir tidak ada organisme
yang dapat hidup, sehingga rawa macam ini kurang berguna bagi manusia.
Berdasarkan penyebab genangannya, lahan rawa dibagi menjadi tiga,
yaitu rawa pasang surut, rawa lebak (rawa non pasang surut) dan rawak lebak
peralihan.
a) Rawa pasang surut
Rawa pasang surut merupakan lahan rawa yang genangannya
dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut. Tingginya air pasang dibedakan
menjadi dua, yaitu pasang besar dan pasang kecil. Pasang kecil, terjadi secara
harian (1-2 kalisehari).
b) Rawa lebak
Rawa lebak adalah lahan rawa yang genangannya terjadi karena luapan
air sungai dan atau air hujan di daerah cekungan pedalaman. Genangannya
umumnya terjadi pada musim hujan dan menyusut pada musim kemarau.
c) Rawa lebak peralihan
Lahan rawa lebak yang pasang surutnya air laut masih terasa di saluran
primer atau di sungai. Pada lahan seperti ini, endapan laut dicirikan oleh
adanya lapisan pirit, biasanya terdapat pada kedalaman 80 - 120 cm di bawah
permukaan tanah.
Berdasarkan keadaan airnya, rawa dibedakan atas beberapa jenis sebagai
berikut:
a) Rawa yang airnya tidak mengalami pergantian (airnya tidak mengalir). b) Rawa yang mengalami pergantian air karena mendapat pengaruh pasang
surut air laut.
30
Berdasarkan sifat airnya, rawa dibedakan atas :
a) Rawa Air Tawar adalah rawa yang airnya tawar karena letaknya di
pinggiran sepanjang sungai.
b) Rawa Air Payau adalah rawa yang airnya percampuran antara tawar dan
asin, biasanya letaknya di muara sungai menuju laut.
c) Rawa Air Asin adalah rawa yang airnya asin dan letaknya di daerah pasang
surut laut.
Dari sekian klasifikasi rawa tersebut, pada umumnya kategori rawa
dibagi atas dua, yaitu rawa pasang surut dan rawa lebak (non pasang surut).
a) Rawa Pasang Surut
Rawa pasang surut adalah rawa yang terletak di pantai atau dekat pantai,
di muara atau dekat muara sungai sehingga dipengaruhi oleh pasang surutnya
air laut. Kategori hidrotopografi ini berada pada lahan rawa pasang surut yang
berada pada daerah sungai yang terluapi pasut menurut kelas daerah pasut.
Hidrotopografi lahan rawa pasang surut akibat pasang surutnya air di sungai
sebagai dampak pasang surut di laut.
Sumber : Dede Rohmat dalam Dasar Teoritis Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak
Gambar 2.2. Hidrotopografi Lahan Rawa Pasang Surut
31
1) Kategori A : Lahan dapat diluapi dengan pengaruh pasang, baik pada
musim hujan maupun musim kemarau, dengan frekuensi minimum 4-5 kali
selama siklus pasang maksimum atau pasang perbani (satu siklus 14 hari),
sebagian waktu pasang masuk dalam zone akar tanaman pangan (50 cm).
Lahan ini potensial untuk ditanami tiga kali padi sawah atau diselingi
dengan 1 kali palawija setahun, karena ada jaminan suplai air pada setiap
musim, asalkan tidak ada air asin masuk ke lahan. Kategori A bisa
digunakan untuk perikanan tambak asalkan salinitas memenuhi untuk
kebutuhan ikan laut.
2) Kategori B : Lahan dapat diluapi pasang pada musim hujan saja, pasang
naik karena debit sungai membesar. Lahan ini dapat diluapi pasang
minimum 4-5 kali pada saat pasang selama siklus pasut (satu siklus 14
hari), tetapi hanya pada musim hujan. Pada musim kemarau lahan tidak
diluapi sama sekali tetapi masuk dalam zone akar dengan frekuensi 4-5
kali, atau hanya kadang-kadang terluapi (frekuensi < 4 kali selama siklus
pasang). Lahan ini potensial ditanami padi sawah di musim hujan,
sedangkan di musim kemarau ditanami padi sawah dengan sistem
pengairan zone akar dan dengan pertanian SRI, airnya didatangkan dari
sumber yang lain (daerah konservasi, sungai bagian hulu) atau tanaman
palawija.
3) Kategori C : Lahan di atas elevasi pasang (muka air < 50 cm di bawah
muka tanah di lahan). Lahan ini tidak dapat diluapi pasang di musim hujan,
kecuali hanya kadang-kadang saja. Elevasi air di saluran lebih rendah
32
daripada lahan kategori A atau B, sehingga air dari petakan sawah relatif
cepat mengalir ke saluran (air sulit ditahan di petakan sawah). Untuk
daerah yang curah hujannya cukup tinggi (>175 mm/bln atau >2000
mm/tahun) dan sistem jaringan mampu/cukup untuk menampung air hujan
(longstorage) dengan pengaturan pintu maka daerah ini bisa ditanami padi
sawah hanya dengan pertanian SRI dan pengairan sistem zone akar. Untuk
hujan yang tergolong rendah maka lahan ini cocok untuk sawah tadah
hujan/tegalan, dan ditanami padi tadah hujan hanya dimusim hujan atau
palawija dimusim kemarau. Lahan bisa ditanami perkebunan yang tidak
memerlukan air banyak.
4) Kategori D : Lahan tinggi. Lahan ini betul-betul di atas jangkauan pasang
surut dan lebih menyerupai lahan tidak ada pengaruh pasang surut (muka
air < 50 cm di bawah muka tanah di lahan). Variasi kapasitas drainase
tergantung perbedaan antara muka tanah di lahan dan muka air di sungai
terdekat dengan lahan. Lahan cocok diusahakan untuk lahan kering/tegalan,
ditanami tanaman tahunan, perkebunan atau hutan industri asal lahan cocok
untuk perkebunan tersebut. Tetapi untuk daerah yang curah hujannya cukup
tinggi (>150 mm/bln atau >1800 mm/tahun) dan sistem jaringan
direncanakan cukup/mampu untuk menampung air hujan (longstorage)
dengan pengaturan pintu maka daerah ini bisa ditanami padi sawah hanya
dengan pertanian SRI dan pengairan sistem zone akar. Apabila volume
disaluran masih kurang, bisa menggunakan kolam penampungan air hujan
33
untuk digunakan di musimm kemarau dengan sistem irigasi SRI. Jenis
tanaman yang dipilih tergantung dari kelas kesesuaian lahan.
Sumber air di lahan rawa pasang surut berasal dari air permukaan yang
mengalir di sungai (air tawar, air payau), air tanah (air tanah hanya untuk
keperluan hidup sehari-hari, selama air permukaan tidak ada atau jauh
lokasinya), air hujan, air konservasi dan air laut yang berada di darat (pasang
surut atau dipompa untuk tambak).
Penyediaan sumber daya air di lahan rawa pasang surut berdasarkan daya
dukung ketersediaan air bagi kebutuhan pendayagunaan lahan dan kebutuhan air
baku bagi masyarakat setempat. Penyediaan sumber daya air di lahan rawa
pasang surut dilakukan dengan memanfaatkan fluktuasi muka air di laut yang
merambat ke sungai dan ke saluran yang ujungnya akan masuk ke lahan
pertanian (hanya di zone akar atau meluap). Pemasukan air dari pasut ada 3
kondisi yaitu (1) air tawar, (2) air payau (dengan kadar garam tertentu) dan (3)
air asin penggunaannya tergantung jenis budidaya di lahan.
Penyediaan air dengan memanfaatkan energi pasang surut maka ada 4
kategori hidrotopografi yaitu A, B, C, dan D. Jika hidrotopografi kategori C,
apabila ingin diluapi maka harus menggunakan pompa. Kalau muka air tersebut
sampai mencapai zone akar dan cukup sering (dari periode pasut) maka
penanaman bisa dilakukan tanpa menambah air tapi dengan sistem pertanian SRI
dan sistem irigasi zone akar, selama air tidak pernah mencapai titik layu bagi
tanaman. Jika fluktuasi pasang surut tidak memungkinkan meluapi masuk ke
lahan usaha, maka penyediaan air bisa dilakukan dengan pompa.
34
Penyediaan air dengan pompa dapat dilakukan untuk masuk ke tingkat
sekunder atau tersier. Sarana penyediaan air adalah jaringan rawa, yang terdiri
dari saluran primer, sekunder dan tersier, bahkan mungkin ada saluran navigasi.
Secara teknis kunci keberhasilan pengembangan lahan pasang surut untuk
pertanian sebagian besar terletak dalam operasi jaringan rawa untuk pengaturan
air pada sistem tata air makro dan mikro. Langkah utama dalam operasi jaringan
rawa ditujukan pada penguasaan air untuk, memanfaatkan air pasang untuk
pengairan, mencegah akumulasi garam pada daerah perakaran, mencuci zat-zat
toksik bagi tanaman, mengatur tinggi genangan untuk sawah dan permukaan air
tanah guna menghindari oksidasi pirit pada tanah sulfat masam untuk lahan
kering dan mencegah intrusi air asin, dan mencegah penurunan tanah yang
terlalu cepat terutama untuk lahan gambut.
b) Rawa Lebak
Rawa lebak adalah rawa yang sering tergenang > 7 bulan yang letaknya
bisa pada daerah yang tidak kena pengaruh pasang surut, atau daerah pasang
surut. Kategori hidrotopografi ini berada pada lahan rawa lebak yang berada
pada daerah sungai yang terluapi pasut sungai menurut kelas daerah pasut.
Hidrotopografi lahan rawa lebak akibat pasang surutnya air di sungai sebagai
dampak pasang surut di laut dan suplei air dari bagian sungai yang ada di hulu.
Sumber : Dede Rohmat dalam Dasar Teori
Sumber air di lahan rawa pasang surut berasal dari
mengalir di sungai
keperluan hidup sehari
lokasinya), air hujan, air konservasi d
surut atau dipompa untuk tambak)
lebak berdasarkan daya dukung ketersediaan air bagi kebutuhan
pendayagunaan lahan dan kebutuhan air baku bagi masyarakat setempat.
Penyediaan sumber daya air di lahan rawa lebak dilakukan dengan
memanfaatkan air permukaan, air ta
langsung dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan dan / atau terlebih dahulu
ditampung dan dialirkan melalui sungai alam atau sungai buatan yang
ujungnya akan masuk ke lahan pertanian (hanya di zone akar atau melu
Pemasukan air dari pasut ada 3 kondisi yaitu (1) air tawar, (2) air payau
(dengan kadar garam tertentu) dan (3) air asin penggunaannya tergantung jenis
budidaya di lahan. Penyediaan air di lahan lebak dengan memanfaatkan
genangan pada waktu lahan rawa
: Dede Rohmat dalam Dasar Teoritis Jaringan Reklamasi Rawa dan
Gambar 2.3 Hidrotopografi Lahan Rawa Lebak
Sumber air di lahan rawa pasang surut berasal dari air permukaan yang
mengalir di sungai (air tawar, air payau), air tanah (air tanah hanya untuk
keperluan hidup sehari-hari, selama air permukaan tidak ada atau jauh
lokasinya), air hujan, air konservasi dan air laut yang berada di darat (pasang
surut atau dipompa untuk tambak). Penyediaan sumber daya air di lahan rawa
lebak berdasarkan daya dukung ketersediaan air bagi kebutuhan
pendayagunaan lahan dan kebutuhan air baku bagi masyarakat setempat.
Penyediaan sumber daya air di lahan rawa lebak dilakukan dengan
memanfaatkan air permukaan, air tanah, air hujan, dan air konservasi yang bisa
langsung dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan dan / atau terlebih dahulu
ditampung dan dialirkan melalui sungai alam atau sungai buatan yang
ujungnya akan masuk ke lahan pertanian (hanya di zone akar atau melu
Pemasukan air dari pasut ada 3 kondisi yaitu (1) air tawar, (2) air payau
(dengan kadar garam tertentu) dan (3) air asin penggunaannya tergantung jenis
budidaya di lahan. Penyediaan air di lahan lebak dengan memanfaatkan
genangan pada waktu lahan rawa tergenang dan dengan memanfaatkan energi
35
tis Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak
Hidrotopografi Lahan Rawa Lebak
ir permukaan yang
(air tawar, air payau), air tanah (air tanah hanya untuk
hari, selama air permukaan tidak ada atau jauh
an air laut yang berada di darat (pasang
ber daya air di lahan rawa
lebak berdasarkan daya dukung ketersediaan air bagi kebutuhan
pendayagunaan lahan dan kebutuhan air baku bagi masyarakat setempat.
Penyediaan sumber daya air di lahan rawa lebak dilakukan dengan
nah, air hujan, dan air konservasi yang bisa
langsung dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan dan / atau terlebih dahulu
ditampung dan dialirkan melalui sungai alam atau sungai buatan yang
ujungnya akan masuk ke lahan pertanian (hanya di zone akar atau meluap).
Pemasukan air dari pasut ada 3 kondisi yaitu (1) air tawar, (2) air payau
(dengan kadar garam tertentu) dan (3) air asin penggunaannya tergantung jenis
budidaya di lahan. Penyediaan air di lahan lebak dengan memanfaatkan
tergenang dan dengan memanfaatkan energi
36
pasang surut. Secara teknis kunci keberhasilan pengembangan lahan lebak
untuk pertanian sebagian besar terletak dalam operasi jaringan rawa untuk
pengaturan air pada sistem tata air makro dan mikro. Langkah utama dalam
operasi jaringan rawa ditujukan pada penguasaan air untuk memanfaatkan air
di saluran untuk pengairan, mencegah terjadinya banjir pada musim basah,
mencegah kekurangan air di musim kering, mencuci zat-zat toksit bagi
tanaman, dan mengatur tinggi muka air di saluran untuk dapat dimanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhan air di lahan.
Secara lebih jelasnya perbandingan karakteristik antara Rawa Pasang
Surut dan Rawa Lebak dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2.2 Perbandingan Karakteristik Rawa Pasang Surut dan Rawa Lebak
No Rawa Pasang Surut Rawa Lebak 1 2 3 4 5
Topografi datar Pengaruh luapan pasang surut air laut lebih kuat/sama kuat dengan luapan air sungai Genangan air hanya 1-2 meter Lama genangan 3-4 jam Jenis tanah mineral (aluvial) dan atau gambut (marsh)
Topografi berupa cekungan dengan dasar yang luas dan pengatusan yang jelek Pengaruh arus pasang surut dari laut sangat lemah bahkan hampir nihil Genangan air minimal 50 cm Lama genangan minimal 3 bulan Jenis tanah mineral (aluvial) dan atau gambut (marsh)
Sumber : Noor, 2007 : 4-7
37
E. Sifat dan Ciri Lahan Rawa
1. Kondisi Fisik
a. Iklim
Keadaan iklim di lahan rawa tergantung pada letak ketinggian
lokasi dari permukaan laut. Lahan rawa mempunyai beragam iklim karena
mencakup sebaran wilayah yang luas dari yang beriklim sedang, tropik,
hingga tropik basah. Anasir penting iklim di kawasan rawa tropik adalah
curah hujan, suhu dan kelembaban. Curah hujan di lahan gambut dan rawa
umumnya cukup tinggi, yakni antara 2.000 – 4.000 mm per tahun. Curah
hujan bulanan rata-rata > 200 mm dengan bulan basah antara 6-11 bulan
yang jatuh antara bulan September hingga bulan Mei.
Reklamasi atau pembukaan lahan akan mengubah kondisi alami
yang sudah mantap. Perubahan iklim seperti suhu yang meningkat dan
kelembaban yang menurun merupakan dampak dari perubahan komposisi
vegetasi alami karena pembukaan lahan. Dengan kondisi curah hujan dan
suhu yang tinggi, maka pembukaan lahan dapat menimbulkan peningkatan
jumlah keluaran (seperti hara mineral tanah) dan penurunan jumlah
masukan alami.
b. Tata Air
Dalam keadaan alami, lahan rawa selalu basah dan sebagian secara
permanen dalam keadaan tergenang air. Sifat dan keadaan tata air lahan
rawa dipengaruhi oleh perilaku pasang surut sungai/laut, iklim, dan
topografi. Perilaku pasang surut adalah manifestasi pengaruh gaya tarik
38
benda-benda langit sehingga secara silih berganti terjadi pasang dan surut.
Dalam hal ini, secara berkala terjadi pasang tunggal atau pasang tinggi
(spring tide) sebanyak dua kali setiap bulan, yaitu pada hari ke-1 (bulan
mati) dan ke-14 (bulan purnama). Pada rentang waktu antara dua pasang
tinggi terjadi pasang ganda (neap tide) terjadi dua kali dalam 1 x 24 jam.
Perbedaan ketinggian air antara pasang tertinggi (high tide) dan surut
terendah (low tide) berkisar 2,0 m – 2,5 m.
c. Tanah
Tanah merupakan akumulasi tubuh alam bebas, terdapat di permukaan bumi
yang mampu menumbuhkan tanaman, dan memiliki sifat heterogen akibat pengaruh
iklim dan jasad hidup yang bertindak terhadap bahan induk dalam keadaan relief
tertentu selama jangka waktu tertentu pula.
Tanah terbentuk karena dua faktor utama, yaitu faktor bahan induk dan faktor
lingkungan. Sebagai penjabaran dari dua faktor tadi, Jenny (1941) menyebutkan
bahwa tanah (S) terbentuk lima faktor, yaitu iklim (cl), organisme (o), relief (r), bahan
induk (p), dan waktu (w). Secara fungsional dapat ditulis dalam bentuk fungsi (1) atau
digambarkan dalam bentuk :
S= f (cl, o. r, p, w)
Berdasarkan kadar bahan organik, biasanya dikenal dua kelompok tanah yaitu
tanah mineral dan organik. Kadar bahan organik tanah mineral berkisar dari
sedikit (1 – 6 %) hingga sebanyak 20 – 30 % . Tanah-tanah dengan kadar bahan
organik lebih tinggi disebut tanah organik dan diklasifikasikan sebagai Histosol
yang banyak dijumpai di daerah rawa-rawa. Tanah yang terdapat di daerah
39
rawa ini berupa tanah rawa organik (gambut) dan tanah mineral (aluvial).
1) Tanah Rawa Organik (Gambut)
Noor, 2001:1 menyatakan bahwa:
Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya sedikit mengalami perombakan. Istilah gambut diambil alih dari kosa kata bahasa daerah
Kalimantan Selatan (suku Banjar). Tanpa menghiraukan tingkat
pelapukannya, Gambut dipilah berdasarkan bahan induknya, yaitu :
a) Gambut endapan (campuran air, rumputan air, plankton)
Gambut endapan biasanya diakumulasikan di perairan, dan pada
umumnya dijumpai di bagian bawah dari suatu profil organik. Kadang-
kadang ia tercampur dengan gambut lain yang lebih dekat ke permukaan.
Gambut endapan kelihatannya dibentuk dari bahan tanaman yang mudah
dihumifikasikan. Mengingat sifat dari jaringan asal dan mungkin juga
macam pelapukan, maka terbentuk bahan sangat koloidal, padat dan
bersifat seperti karet; kapasitas kelembabannya tinggi, mungkin empat
hingga lima kali bobot keringnya. Air yang diisap secara demikian diikat
secara kuat dan dengan demikian gambut itu sangat lambat mengering.
Bila sekali kering ia mengisap air sangat lambat dan tetap keras dan berada
dalam bentuk bongkah yang kuat.
Gambut endapan tidak disenangi sebagai tanah karena sifat
fisiknya yang tidak menguntungkan menyebabkan tidak memuaskan untuk
ditanami tanaman. Bila sedikit saja gambut semacam itu dijumpai dalam
40
lapisan olah, maka tingkat manfaat tanah untuk pertanian kurang baik.
Untungnya hampir disemua kasus, gambut semacam itu dijumpai di bagian
bawah profil, dan biasanya tidak muncul di atas batas. Dengan demikian
sering kali adanya lapisan tersebut dalam profil tidak diketahui atau
diabaikan, terkecuali bila ia menghalangi drainase atau mengganggu
penggunaan endapan gambut untuk pertanin.
b) Gambut berserat (sisa tumbuhan, ranting, daun, rerumputan dan semak-belukar)
Sejumlah gambut berserat sering dijumpai di dalam rawa di mana
gambut endapan berada. Gambut ini mempunyai kapasitas menahan air
yang tinggi dan dapat memperlihatkan tingkat dekomposisi yang berbeda-
beda. Mereka berbeda satu sama lain, terutama disebabkan oleh sifat fisik
serat atau filamennya.
Bila bahan berserat itu melapuk ia menghasilkan tanah yang
memuaskan, meskipun tingkat produktivitasnya berbeda. Hampir semua
gambut lumut bersifat masam dan rendah akan kadar abu dan nitrogen.
Gambut berserat dapat dijumpai dari akumulasi organik. Biasanya ia
berada di atas gambut endapan. Namun demikian, dapat saja berada di
tengah-tengah gambut berserat dan bahkan mungkin dekat ke permukaan.
c). Gambut berkayu (tanaman keras dan tumbuhan di bawahnya)
Endapan rawa gambut berkayu biasanya dijumpai di atas
permukaan akumulasi organik. Bila air naik vegetasi pohonan mati,
sedangkan pertumbuhan alang-alang, semak akan dirangsang oleh keadaan
41
baru, sehingga satu lapisan gambut berserat akan dijumpai duduk di atas
gambut berkayu.
Gambut berkayu berwarna coklat atau hitam bila basah. Warna itu
bergantung dari tingkat dekomposisi. Gambut ini bersifat lepas dan
terbuka bila kering atau agak lembab dan nyata bersifat tidak berserat.
Endapan perawan sering kali jelas berbentuk granular. Jadi ia mudah
dibedakan dari kedua tipe gambut yang disebut terdahulu, terkecuali bila
contohnya telah didisintegrasikan atau lapuk.
Gambut berkayu terbentuk dari sisa pohon-pohon tetapi juga dari
semak dan tumbuhan lain yang tumbuh di rawa. Meskipun berbagai
macam tumbuhan menjadi sumber bahan organik yang diakumulasikan,
gambut berkayu agak homogen, terkecuali bila ia mengandung campuran
bahan-bahan berserat. Gambut ini kapasitas menahan airnya lebih rendah
dari gambut berserat. Sedangkan berdasarkan tempat atau lingkungan
terbentuknya, gambut dibedakan menjadi dua, yaitu:
a) Gambut Topogenous
Gambut Topogenous adalah gambut yang dibentuk pada depresi
topografi dan diendapkan dari sisa tumbuhan yang hidupnya atau
berkembangnya mengambil nutrisi tanah mineral, dan nutrisi tersebut
mengandung air yang berasal dari humifikasi sisa-sisa tumbuhan yang
semasa hidupnya tumbuhan dari pengaruh air permukaan tanah sehingga
kadar abunya dipengaruhi oleh elemen yang terbawa oleh air permukaan
42
tersebut (gambut ini disebut sebagai gambut "eutrophic" atau gambut kaya
bahan nutrisi).
b) Gambut Ombrogenous
Gambut Ombrogenous adalah gambut yang dibentuk dalam
lingkungan pengendapan dimana tumbuhan pembentuk semasa hidupnya
hanya tumbuh dari air hujan, sehingga kadar abunya adalah asli (inherent)
dari tumbuhan itu sendiri (gambut ini disebut sebagai gambut
"oligotrophic" atau gambut miskin bahan nutrisi). Selama pembentukan
gambut ombrogenous masih berlanjut, biasanya nutrisi akan terlepas atau
hilang secara berangsur-angsur, sehingga tumbuhannya menjadi kurang
subur atau kurang lebat pertumbuhan daripada kondisi sebelumnya. Selain
itu produksi material organik menjadi rendah dan kondisi ini menyebabkan
kecepatan pembentukan massa gambut menjadi berkurang.
Kecepatan pembentukan formasi gambut sangat lambat dan
berbeda diantara lahan gambut yang ada. Perbedaan kecepatan
pembentukan formasi gambut tersebut disebabkan karena iklim dan jenis
tumbuhan setiap daerah atau negara berbeda. Kecepatan pembentukan
formasi gambut di Eropa diperkirakan sekitar 0,20 - 0,80 M per 1.000
tahun. Menurut Andriesse (1974) ketebalan gambut maksimum pada
daerah dataran pantai adalah 4,00 M dan gambut yang terdapat di
pedalaman dapat mencapai ketebalan sekitar 12,00 M.
Pada umumnya pH tanah gambut di Indonesia berkisar 3-5, tetapi
gambut pantai umumnya lebih tinggi daripada gambut pedalaman. Tanah-
43
tanah yang sangat masam menyebabkan kekahatan unsur hara seperti N, P,
K, Ca, Mg, Bo, Mo, Cu, Fe, Zn. Kekahatan hara mikro Cu paling sering
ditemukan pada tanah gambut. Hal ini karena rendahnya kadar Cu dalam
mineral tanah, serta kuatnya ikatan kompleks Cu - organik. Kandungan N
total umumnya tinggi berkisar antara 2.000 - 4.000 kg N.ha-1 pada lapisan
0-20 cm tetapi yang tersedia bagi tanaman hanya kurang dari 3 persen dari
jumlah tersebut. Nisbah C/N yang sangat tinggi menyebabkan N dalam
gambut tidak mudah tersedia bagi tanaman.
Unsur P tanah gambut umumnya terdapat sebagai P-organik.
Dibandingkan dengan beberapa jenis tanah mineral misalnya Andisol,
Ultisol, dan Oksisol, tanah gambut mempunyai kapasitas fiksasi P yang
lebih rendah sehingga ketersediaan P pada tanah gambut dapat lebih baik
daripada tanah-tanah mineral tersebut.
Kapasitas tukar kation tanah gambut umumnya sangat tinggi
(90-200 cmol (+).kg-1) tetapi kejenuhan basanya, terutama pada gambut
pedalaman adalah sangat rendah. Kejenuhan basa gambut pedalaman
Kalimantan Tengah kurang dari 10 persen (Tim Fakultas Pertanian, IPB,
1974). Keadaan ini menghambat penyediaan hara yang baik bagi tanaman
terutama K, Ca, dan Mg. Tanah gambut tebal umumnya juga mempunyai
kadar abu yang sangat rendah yang menunjukkan gambut tersebut sangat
miskin hara.
Gambut dibedakan berdasar atas ketebalannya dan tingkat
dekomposisinya. Dikatakan tanah gambut bilamana :
44
� Kandungan bahan organiknya > 30% bila bagian mineralnya bertekstur kasar/pasir
� Kadar bahan organik > 50% bila fraksi mineralnya adalah lempung. Disebut tanah gambut bilamana ketebalannya > 40 (untuk gambut matang), > 60 cm (untuk gambut mentah/agak matang.
Sedangkan berdasarkan tingkat dekomposisi/kematangan gambut,
dapat dibedakan menjadi:
� Gambut mentah (fibrik) bilamana kandungan serat masih banyak dan bila diperas maka air perasannya masih jernih kekuningan dan tidak mengandung lumpur.
� Gambut setengah matang (hemik) bilamana kandungan serat kasar lebih rendah, berwarna hitam dan bila diperas yang terperas ke luar adalah koloid bercampur air berwarna gelap.
� Gambut matang (saprik) bila tidak lagi mengandung bahan/serat kasar dan bila diperas maka akan terperas seperti pasta dengan sedikit sisa di dalam genggaman.
Dikatakan juga tanah gambut bila suatu tanah berlapis-lapis antara
sedimen organik dan mineral dengan imbangan > 60% adalah gambut
sampai kedalaman 180 cm yang di bagian tanah atasannya adalah gambut
dengan ketebalan > 30 cm.
2) Tanah Rawa Mineral
Rawa bukan gambut merupakan endapan aluvial mineral
(umumnya lempung) mentah atau gambut yang keadaan aslinya jenuh air
(reduksi) dengan suasana tawar atau masin. Pengisian endapan tersebut
berasal dari bahan erosi di daerah hulu yang terbawa oleh aliran sungai
yang kehilangan kecepatannya sewaktu memasuki rawa. Dengan sangat
berkurangnya kecepatan air, menyebabkan sebagian besar bahan erosi
akan mulai diendapkan di daerah cekungan rawa tersebut. Tanah rawa
mineral dapat dibagi atas:
45
a) Tanah Salin
Lahan ini langsung dipengaruhi oleh pasang surut air laut, baik
melalui sungai maupun pengaruh pasang surut yang melebar ke arah
depresi aluvium rawa. Secara garis besar intrusi air laut ini sangat
bervariasi, dapat hanya < 10 km dari garis pantai sampai menjorok cukup
jauh ke pedalaman (60 km), tergantung dari hidrotopografi lahan dan
besar kecilnya discharge dari sungai yang bermuara di laut tersebut, di
samping besarnya amplitudo ayunan pasang surut.
Tanah bersuasana payau sampai masin dengan tumbuhan penutup
berupa hutan bakau sampai nipah. Tanahnya terdiri atas bahan endapan
mineral bersuasana marin dan/atau gambut pantai. Mengingat suasana
endapan yang bersifat marin, kaya bahan organik dan daerah dengan iklim
tropis, di daerah ini berkembang tanah yang mengandung bahan sulfidik
dan merupakan tanah yang mentah (lunak). Menurut klasifikasinya tanah
yang ada disebut tanah Halaquent, Sulfaquent bila endapannya adalah
mineral dan Sulfihemist bila tanahnya adalah gambut.
b) Lahan Endapan Marin Non Salin
Lahan ini masih dipengaruhi oleh pasang surut tetapi tidak
bersuasana payau atau masin, meskipun suasana asin – payau masih terasa
di aliran sungai. Sewaktu pengisiannya dipengaruhi oleh air asin, sehingga
tanahnya dapat mengandung bahan sulfidik yang terutama pada tanah
mineralnya. Meliputi daerah belakang lahan yang masih aktif dipengaruhi
air asin, baik berupa jalur meander ataupun pengisian celah teras yang
46
teriris oleh aliran sungai/saluran drainase alami. Keberadaan bahan sulfidik
dicirikan pula oleh vegetasi gelam atau rerumputan yang toleran suasana
masam.
c) Tanah Aluvial Non Marin
Lahan yang jenuh air, baik musiman ataupun permanen yang tidak
dipengaruhi oleh air payau atau asin dan pengisian daerah cekungan di
antara perbukitan atau dataran rendah dengan bahan pengisi berupa tanah
mineral atau gambut yang tidak mengandung bahan sulfidik. Tanah ini
dapat juga berupa tanah gumuk pasir di pesisir pantai, atau dapat pula
berupa teras tua yang sudah cukup matang dan tidak terpengaruh pasang
surut. Demikian pula daerah rawa musiman yang hanya tergenang dalam
jangka waktu singkat di musim hujan (2 – 3 bulan) yang dikenal dengan
lahan rawa musiman.
Bilamana suasana pembentukan rawa adalah marin, maka terjadi
reduksi besi dari bahan sedimen dan reduksi sulfat yang terdapat dalam air
laut. Kedua komponen reduktif ini dapat membentuk senyawa yang disebut
dengan pirit. Kandungan pirit yang > 0,75 % dan tidak cukup bahan
alkalinitas untuk menetralkan asam yang ada di dalam pirit tersebut disuatu
lingkungan maka tanahnya disebut Sulfaquent atau sulfat masam potensial
(SMP). Bilamana pirit teroksidasi dan bersifat sangat masam yang disertai
oleh bercak jarosit maka disebut dengan Sulfaquept atau tanah sulfat
masam aktual (SMA).
47
Ciri lapangan untuk tanah sulfat masam potensial adalah:
� Tanah bersuasana jenuh air atau selalu tergenang � Warna tanah kekelabuan dan tidak mengandung bercak/karat
kemerahan � Tanahnya lunak (mentah) mudah keluar dari sela jari tangan bila tanah
tersebut dikepal � Bila tanah diambil dan dibiarkan terbuka di udara, warna tanah cepat
berubah menjadi lebih kelam � Pemberian peroksida (H2O2) pada tanah ini akan menyebabkan
terjadinya reaksi cepat berupa buih panas yang disertai oleh bau belerang. pH tanah setelah reaksi reda < 2.50
Ciri lapangan untuk tanah sulfat masam aktual adalah:
� Tanah bersuasana tidak jenuh air (oksidatif) � Warna tanah kelabu coklat kehitaman, mengandung bercak
kekuningan di permukaan tanah (disebut jarosit) � Tanahnya keras (matang) tanah tidak terperas ke luar dari sela jari
tangan bila tanah tersebut dikepal � pH tanah < 3.5 (luar biasa masam) dan tidak ada tanaman budidaya
yang mampu tumbuh (kecuali rumpuit purun atau pohon gelam) � Air saluran yang ada di sekitas tanah ini umumnya jernih, sangat
masam (terasa sepet atau pahit bila dicicipi). Air terebut mengandung sulfat dan besi yang bila terminum dapat menyebabkan murus/mencret, tidak dapat digunakan sebagai air untuk kebutuhan rumah tangga). pH air dapat < 2.0.
F. Pertanian Di Lahan Rawa
1. Dasar-Dasar Tata Guna Lahan
Pembukaan lahan rawa untuk pengembangan pertanian atau
pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan rawa yang
telah mantap membentuk ekosistem baru. Pengembangan pertanian di lahan
rawa dapat diartikan sebagai upaya peningkatan fungsi produksi. Antara fungsi
produksi dan fungsi perlindungan lingkungan dalam ekosistem lahan rawa
saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Jika fungsi perlindungan
lingkungan menurun, maka fungsi produksi dapat terganggu. Karena itu, lahan
rawa selain bersifat piasan (marginal) juga bersifat rapuh (fragile). Dengan
48
kata lain, pembukaan lahan rawa harus memperhatikan atau memperhitungkan
juga perubahan yang terjadi baik terhadap aras dinamika lahan maupun aras
keuntungan berupa layanan jasanya terhadap lingkungan, hasil produksi dan
nilai-nilai sosial lainnya.
Tata guna lahan rawa mencakup penataan terhadap (1) kawasan non budi
daya atau pengawetan; dan (2) kawasan budi daya atau reklamasi. Kawasan
non-budi daya dibagi menjadi kawasan lindung, suaka alam dan pengawetan.
Kawasan pengawetan dipilih beberapa lokasi yang mewakili ekosistem spesifik
tertentu dan diberi batas alami yang jelas sebelum reklamasi dilakukan.
Kawasan budi daya perlu dibagi antara kawasan budi daya dan
pemukiman. Dalam hal ini perlu delineasasi (garis batas) adanya sempadan
pantai, sempadan sungai, dan kawasan tampung hujan. Menurut Noor
(2001:79), kawasan tampung hujan ini diperlukan sekitar sepertiga luas total
kawasan satuan pengembangan.
Penentuan kawasan lindung, pemukiman, dan pertanaman yang
dikembangkan memerlukan informasi awal, antara lain data tipologi lahan
(luapan air) ketebalan lapisan gambut dan tipe penyusunan lapisan bawah
(substratum). Gambut yang mempunyai lapisan organik < 1 m cocok untuk
pengembangan berbagai ragam komoditas yang meliputi tanaman pangan,
misalnya padi, kedelai, kacang tanah, jagung ubikayu, dan ubijalar.
Gambut yang mempunyai tebal lapisan organik antara 1 m - 2 m cocok
untuk pengembangan tanaman perkebunan seperti kelapa, kelapa sawit, karet,
dan kopi. Adapun gambut yang mempunyai lapisan organik > 2 m lebih sesuai
49
untuk pengembangan tanaman hortikultura seperti kubis, pepaya, nanas dan
sejenisnya. Gambut sangat dalam yang tebal lapisan organiknya > 3 m
disarankan untuk dijadikan kawasan lindung yang sekaligus berfungsi sebagai
wilayah tangkapan air.
2. Kendala Pemanfaatan Lahan Rawa
Karakteristik tanah di kawasan sempadan sungai, rawa (gambut) dan
kerangas, sejatinya sangat tidak baik untuk sebuah kawasan budidaya
perkebunan dan pertanian. Kawasan hutan kerangas (the heath forest) yang
didominasi vegetasi Gymnostoma nobile, Myrmecophytes dan Nepenthes sp.
Dalam bahasa Dayak Iban, kerangas berarti tanah yang tidak bisa ditumbuhi
padi. Hutan kerangas umumnya didominasi oleh tanah asam yang tergenang
dengan pH di bawah 4 dan memiliki kandungan liat yang sedikit. Kondisi lain
pada hutan kerangas adalah ditemukannya lapisan tanah keras (batuan) yang
menjadi penghambat aliran air masuk ke dalam tanah. Kawasan hutan kerangas
dikategorikan IUCN (The International Union for The Conservation of Nature
- World Conservation Union) dengan status vulnerable (rawan).
Pada kawasan rawa (gambut), walaupun memiliki kandungan humus
yang tinggi, namun unsur hara yang tersaji pada kawasan ini sangat sedikit dan
memiliki keasaman yang tinggi. Semakin tebal gambut pada kawasan ini,
semakin tidak layak untuk sebuah pengembangan budidaya tanaman, walaupun
telah dilakukan pendekatan teknologi pengolahan lahan. Sebuah studi
European Space Agency menemukan bahwa pada kawasan rawa (gambut)
sangat berperan terhadap pengikatan karbon yang pada kebakaran tahun 1997-
50
1998 jumlah karbon yang terlepas ke atmosfer dari kawasan ini mencapai
hingga 2,5 miliar ton dan pada kebakaran tahun 2002-2003 berkisar antara 200
juta hingga 1 miliar ton. IUCN mengkategorikan kawasan ini sebagai kawasan
critically endangered (kritis).
Secara umum terdapat beberapa permasalahan dalam pengembangan
daerah rawa, di antaranya adalah sebagai berikut:
a) Kondisi dan karakteristik lahan rawa merupakan lahan yang tidak normal karena banyak faktor pembatas di antaranya : � Kondisi gambut : umumnya kondisi gambut tebal hingga kedalaman 3
– 5 m dimana nilai keasaman sangat tinggi (pH<4) sehingga unsur hara yang merupakan faktor penting dalam pertumbuhan tanaman sangat minim atau terbatas.
� Kondisi pirit : Umumnya kondisi pirit adalah dangkal sehingga jika teroksidasi dengan udara akan menjadi racun bagi tanaman.
� Salinitas : Perilaku pasang surut air laut berdampak pada masuknya air asin di lahan, terutama di daerah pesisir atau berdekatan dengan laut/selat.
� Hidrotopografi lahan : Secara umum, kondisi hidrotopografi lahan Tipe C dan D dimana air saluran/parit tidak dapat menggenangi lahan tetapi sebatas membasahi permukaan lahan usaha. Kondisi topografi umumnya adalah datar sehingga pada musim kemarau, air sungai turun dan tanaman banyak yang mati. Pada musim hujan jika terjadi banjir, air sungai naik menggenangi lahan.
b) Permasalahan yang terkait dengan ketenagakerjaan dan sumber daya manusia di daerah rawa yang menonjol di antaranya adalah :
� Rendahnya tingkat pengetahuan dan keterampilan � Terbatasnya ketersediaan tenaga kerja untuk pertanian.
c) Produksi pertanian masih rendah, hal ini disebabkan oleh : � Sistem tata air yang masih sederhana. � Sistem dan pola bercocok tanam yang sederhana. � Tingginya harga saprodi dan rendahnya daya beli masyarakat
petani. � Rendahnya harga komoditas pangan. � Faktor alam/cuaca yang kurang mendukung, misalnya curah hujan
yang rendah.
51
d) Sejauh ini pengelolaan air yang baik di kawasan reklamasi rawa belum menjamin secara otomatis terjadinya peningkatan produktifitas pertanian pada tingkat yang optimal. Hal ini disebabkan oleh :
� Sarana dan prasarana tata air yang belum lengkap. � Sistem jaringan tersier (tata air mikro) umumnya belum ada.
e) Belum adanya lembaga pendukung di daerah rawa yang berperan aktif yang membantu petani untuk mengembangkan usaha-usaha budidaya pertanian maupun usaha-usaha lain yang berbasis pertanian guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
f) Kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan masih belum mendukung kegiatan pengembangan pertanian yang berkelanjutan.
g) Belum aktifnya peran petani secara individu maupun kelompok seperti P3A atau gabungan P3A. Bahkan P3A yang telah terbentuk umumnya belum mandiri dalam pengelolaan dan pengoperasian jaringan dikarenakan keterbatasan dana.
h) Belum lengkapnya ketentuan yang mengatur tentang penyelenggaraan dan pengembangan rawa sebagai penjabaran UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dari mulai tingkatan Peraturan Pemerintah sampai kepada Norma Standar Pedoman dan Manual (NSPM).
i) Aksessibilitas relatif masih rendah. Angkutan transportasi masih mengandalkan transportasi air, sementara transportasi darat masih mengandalkan jasa ojek yang relatif lebih mahal karena fasilitas jalan masih terbatas dan kurang nyaman untuk dilalui.
j) Terbatasnya sumber-sumber air bersih khususnya pada musim kemarau dapat menyebabkan rendahnya derajat kesehatan masyarakat dan rawan terhadap penyakit.
Pengembangan pertanian di lahan rawa (gambut) tropik dihadapkan
pada beberapa masalah, antara lain sebagai berikut:
a) Lahan gambut sebagian besar terhampar di atas lapisan pirit yang mempunyai potensi keasaman tinggi dan pencemaran dari hasil oksidasi seperti Fe, Al, dan asam-asam organik lainnya. Sebagian lahan gambut terhampar di atas lapisan pasir kuarsa yang miskin hara.
b) Lahan gambut cepat mengalami perubahan lingkungan fisik setelah direklamasi antara lain menjadi kering tak balik, berubah sifat menjadi hidrofob dan terjadi amblesan.
c) Lahan gambut mudah dan cepat mengalami degradasi kesuburan kerana pengurasan melalui pelindian dan penggelontoran. Walaupun diyakini abu hasil bakaran mengandung hara bagi tanaman, tetapi mudah tererosi dan hilang melalui aliran limpas.
d) Kawasan gambut merupakan lingkungan yang mempunyai potensi jangkitan penyakit (vurulensi) tinggi. Perkembangan organisme
52
pengganggu tanaman (gulma, hama dan penyakit tanaman) dan gangguan kesehatan manusia (malaria, cacing) cukup tinggi.
Menurut Andriesse (1988), ada delapan faktor pembatas yang menjadi
kendala bagi pertumbuhan tanaman di lahan gambut. Faktor-faktor pembatas
ini pada tingkat tertentu dapat menjadi sangat serius sehingga lahan gambut
dinilai tidak sebanding dan kalah bersaing untuk dikembangkan dibandingkan
dengan lahan pertanian lainnya.
Dengan sistem reklamasi dan pengelolaan lahan yang baik, lahan
gambut dapat ditingkatkan kelas kesesuaiannya. Sistem pengelolaan lahan ini
juga memerlukan upaya-upaya pencegahan atau antisipasi terhadap degradasi
lahan agar produksi tanaman dapat terus berkelanjutan dan kelestarian gambut
tetap terpelihara.
3. Kesesuaian Lahan Rawa untuk Pertanian
Jenis lahan rawa yang berpotensi untuk pertanian adalah lahan potensial,
lahan sulfat masam potensial, lahan gambut dangkal, dan lahan gambut sedang.
Tipe luapan menentukan arah pengembangan lahan. Lahan rawa tergolong
marginal dan fragile, sehingga aspek teknis harus dijadikan dasar dalam
pemilihan lokasi dan penerapan teknologi. Walaupun demikian, aspek sosial
ekonomi berperan penting pula untuk menuju keberhasilan pembangunan
pertanian di lahan rawa. Pengalaman menunjukkan kesalahan pemilihan lokasi
dan penerapan teknologi mengakibatkan munculnya lahan-lahan terdegradasi
(lahan bongkor, lahan tidur) yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan.
Bertitik tolak dari pengalaman tersebut, didukung dengan hasil-hasil penelitian
53
yang telah dicapai, pemanfaatan lahan rawa untuk pertanian perlu dilakukan
dengan tahapan sebagai berikut:
a) Melaksanakan identifikasi dan karakterisasi lahan rawa sebagai dasar untuk menentukan prioritas pengembangan yang didasarkan pada aspek teknis dan sosial ekonomi.
b) Memilih teknologi pengelolaan tanah dan air yang sesuai dengan tipologi lahan dan tipe luapan.
c) Memilih komoditas pertanian (tanaman, ternak, dan ikan) yang sesuai baik dari aspek teknis maupun ekonomis. Wilayah-wilayah yang tidak sesuai atau menjadi tidak sesuai jika dimanfaatkan, difungsikan sebagai hutan produksi atau konservasi.
Lahan rawa yang memiliki tanah organik (gambut) yang akan
dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian memerlukan reklamasi. Harkat
kesesuaian lahan gambut dapat meningkat dengan dilakukannya reklamasi.
Radjagukguk dan Setiadi (1989) menilai kesesuaian lahan gambut bagi
tanaman dari segi ketebalan lapisan organiknya yang tercantum pada Tabel 2.4
di bawah ini.
Tabel 2.3 Kesesuaian Lahan Gambut untuk
Berbagai Jenis Tanaman Pertanian Berdasarkan Ketebalannya
Jenis Tanaman
Ketebalan Gambut (cm) 0 - 100 100 – 200 > 200
• Padi sawah • Pangan lahan kering (padi gogo,
kedelai, jagung, kacang tanah dan sejenisnya)
• Hortikultura (kubis cina, pepaya, nanas, rambutan dan sejenisnya)
• Perkebunan (kelapa, kelapa sawit, kopi, karet)
• Tanaman industri (rami, tanaman obat-obatan)
S2
S1
S1
S1
S1
S3
S2
S1
S2
S2
-
S3
S1
S2
S2
Sumber : Noor, 2001
54
Dengan merangkum sejumlah parameter lahan secara umum yang
didasarkan hasil sigi tanah/lahan dari berbagai sumber di beberapa instansi dan
perguruan tinggi diperoleh bahwa kesesuaian lahan rawa ditentukan oleh delapan
sifat tanah dan lingkungannya seperti pada tabel berikut ini.
55
Tabel 2.4 Penilaian Kesesuaian Beberapa Parameter Utama Tanah di Lahan Rawa
untuk Persawahan, Tanaman Semusim dan Tanaman Tahunan
Anasir
Kelas Kesesuaian S1 S2 S3 N1 N2
Jeluk mempan (cm): a*) b c pH (0-30 cm):
a b c
Kesuburan tanah: a,b,c
Keracunan: 1) Kejenuhan Al (%)
a b c
2) Jeluk pirit a b c
Pengatusan: a b c
Daya antar listrik (uS): a,b,c
Ketebalan gambut (cm) a b c
Kematangan gambut: a,b,c
> 75 > 75 > 100 6,0-7,0 6,0-7,0 5,5-7,5 T < 20 < 20 < 40 > 100 > 150 > 100 Bk Bk Tt < 1500 < 30 < 50 < 50 Sp
> 50 > 50 > 75 5,5-7,5 5,5-7,5 4,5-7,5 S-T < 40 < 40 < 60 > 75 > 100 > 75 Bk, Ac Bk, Ac AT < 2500 < 50 < 75 < 75 Sp-H (Jeluk <30 cm)
> 25 > 25 > 50 4,5-8,0 4,5-8,0 4,0-8,0 S-R < 60 < 70 < 80 > 50 > 75 > 50 Ac Ac ST < 4000 < 100 < 100 < 100 H
> 10 > 10 > 25 3,5-8,5 3,5-8,5 3,5-8,5 R-SR < 80 < 90 < 100 > 25 > 50 > 25 AcT AcT Sc < 4000 < 150 < 150 < 150 H-F
< 10 < 10 < 25 - - - SR - - - < 25 < 50 < 25 - - - > 4000 > 150 > 150 > 150 -
Keterangan: a = tanaman semusim; b = tanaman tahunan, c = persawahan, T = tinggi, S = sedang, R = rendah, SR = sangat rendah, Bk = baik, Ac = agak cepat, Tt = terhambat, AT = agak terhambat, ST = sangat terhambat, Sc = sangat cepat, Sp = saprik, H = hemik, F = fibrik
Sumber : Noor, 2001
56
G. Reklamasi dan Pengelolaan Lahan Rawa
1. Reklamasi Lahan Rawa
Reklamasi sering diartikan sebagai tindakan untuk meningkatkan status
lahan dari yang tidak layak guna menjadi layak guna. Seiring dengan terjadinya
perkembangan lahan atau perubahan sifat lahan rawa (gambut) seperti
penurunan muka tanah, kering tak balik, dan keasaman tanah dan air, semuanya
berhubungan dengan kondisi dari tata air sehingga istilah reklamasi lahan lebih
mengacu pada perbaikan pengelolaan air (water management).
Dalam reklamasi dilakukan penggalian saluran-saluran untuk pengatusan
yang menimbulkan berbagai masalah-masalah baru berkenaan dengan
terjadinya perubahan sifat-sifat tanah dan lingkungan fisiknya. Hal ini tentu
memerlukan pemecahan dengan upaya-upaya antisipasi secara dini sehingga
tidak merugikan. Sejak awal reklamasi seyogyanya tindakan mempertahankan
tinggi muka air tanah sudah dilakukan sehingga kemerosotan perubahan mutu
lahan dapat ditekan sedini mungkin. Menunjuk pada kasus-kasus yang terjadi
di Sumatera dan juga di Kalimantan pengurasan air melalui pengatusan terjadi
terus menerus.
Berkenaan dengan reklamasi, permasalahan yang dihadapi adalah
perubahan yang terjadi setelah reklamasi. Selain itu, banyak ditemukan
kesulitan dalam penilaian secara ekonomi biaya-biaya reklamasi. Andriesse
(1988) memberikan garis-garis besar yang perlu diperhatikan berkenaan
dengan reklamasi sebagai berikut:
57
a) Reklamasi buatan terhadap gambut pasang surut hendaknya didahului dengan penilaian keuntungan dan kerugian sebagai dasar dan masukan untuk penyusunan perencanaan yang baik.
b) Pengembangan secara besar-besaran dari lahan gambut pasang surut hendaknya dicegah bila mungkin. Reklamasi yang dilakukan pemukiman spontan dengan pengatusan tanpa organisasi yang jelas sering menimbulkan masalah besar dikemudian hari.
c) Hal penting yang perlu dipelajari dalam pemanfaatan lahan gambut secara sungguh-sungguh, antara lain, sebagai berikut: � Mempertahankan kondisi alami yang ada, yang masih berupa hutan
primer. Hasil hutan dapat diambil dalam skala kecil dengan kebijakan kehutanan yang tetap menjamin hasil berkesinambungan.
� Penggunaan lahan gambut untuk pertanian dilakukan setelah perbaikan meliputi pengatusan dan mungkin pencegahan banjir. Berbagai kemungkinan pengembangan pertanian meliputi penerapan pengatusan dangkal dengan berbagai pola tanam dan pemilihan komoditas tanaman, pengatusan menengah diikuti dengan pemilihan komoditas tanaman yang lebih luas, dan pengatusan dalam yang mempercepat terbentuknya ampas (wastage) gambut dan ini hanya disarankan jika lapisan tanah di bawahnya mempunyai mutu yang sangat baik.
Reklamasi tanah gambut/rawa dilakukan dengan perbaikan pengatusan,
dengan membuat saluran yang akan menyebabkan keseimbangan alamiah
lahan rawa berubah. Perubahan ini terutama terjadi di dalam tanah akibat
perubahan suasana reduktif menjadi kearah oksidatif. Reaksi kimia, biokimia,
dan mikrobiologis akan menghasilkan perubahan tanah anasir yang berperan
ganda (sistem redoks). Oksidasi bahan metan, sulfida, fero, amonium, dan
mangan atau percepatan oksidasi bahan organik akan menghasilkan senyawa-
senyawa yang lebih sederhana dan sebagian besar berupa asam-asam dalam
bentuk terlarutkan. Gambut yang mengandung koloid mineral pada tahap awal
reklamasi akan mampu menghasilkan produksi tanaman. Kelanjutan
dekomposisi yang selalu menghasilkan garam dan asam organik pada suatu
58
saat tidak dapat diimbangi oleh bahan penetral sehingga mulai melarutkan
koloid mineral dengan memunculkan aluminium sebagai kation utama.
Jadi, pengembangan lahan rawa/gambut memerlukan langkah awal yaitu
reklamasi. Reklamasi berdasarkan penataan dan pengelolaan air pada tahap
awal bertujuan untuk menurunkan periode terjadinya kondisi tumpat air dan
karenanya dapat memperbaiki daya tumpu tanah. Reklamasi dan pengelolaan
air juga dimaksudkan untuk membuang kelebihan air secara tepat untuk
mengendalikan muka air tanah agar tercapai kondisi yang optimum baik bagi
gambut sendiri maupun untuk pertumbuhan tanaman.
2) Langkah Strategi Pengelolaan Lahan Rawa
Tujuan dari pengelolaan rawa adalah terwujudnya pengelolaan rawa
adalah kemanfaatan rawa yang berkelanjutan yang berupa:
a) Kelestarian rawa sebagai sumber air, b) Dukungan produktivitas lahan dalam rangka ketahanan pangan, c) Dukungan pengembangan wilayah yang berbasis pertanian termasuk
daerah perbatasan dan pesisir yang handal, dalam rangka menjaga keutuhan NKRI.
Adapun pengelolaan rawa dimaksudkan untuk:
a) Mengatur konservasi, pendayagunaan, dan pengendalian daya rusak rawa, b) Mengatur pengelolaan air rawa, c) Mengatur pengembangan dan pengelolaan jaringan reklamasi rawa, d) Mengatur pemberdayaan masyarakat, dan e) Mengatur pengelolaan aset rawa.
Arah kebijakan pengelolaan rawa adalah untuk mewujudkan
kemanfaatan rawa yang berkelanjutan, dalam bentuk upaya:
a) Menjaga dan memelihara kelestarian rawa sebagai sumber air; b) Mendukung produktivitas lahan (melalui revitalisasi pertanian) dalam
rangka meningkatkan ketahanan pangan;
59
c) Dalam mendukung produktivitas lahan, tidak hanya terbatas pada tanaman padi tetapi juga opsi multi-komoditi sesuai dengan potensi dan tingkat perkembangan kematangan tanah serta berorientasi pada permintaan pasar (marketdriven);
d) Mewujudkan kontribusi potensial pengembangan rawa bagi pembangunan ekonomi wiiayah;
e) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sekaitan dengan hal tersebut, strategi yang dapat diterapkan dalam
pengelolaan rawa adalah sebagai berikut:
a) Strategi konservasi: menjaga keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya air dan upaya menjaga daya dukung rawa.
b) Strategi pendayagunaan rawa: peningkatan fungsi; dan manfaat rawa sebagai sumber daya alam.
c) Strategi pengendalian daya rusak: upaya pencegahan melalui perencanaan, dan upaya pemulihan melalui restorasi.
d) Strategi pengelolaan air: yang mencakup pengelolaan air rawa, serta pengelolaan jaringan reklamasi rawa.
e) Strategi peningkatan koordinasi dan partisipasi, pembinaan kelembagaan dan pembiayaan.
H. Pemanfaatan dan Permasalahan Di Daerah Rawa Cermai
1. Pemanfaatan Rawa Cermai
Berkurangnya lahan subur untuk usaha pertanian serta
meningkatnya kebutuhan pangan nasional terutama beras akibat
pertambahan jumlah penduduk menyebabkan pilihan pemenuhan
kebutuhan pangan diarahkan pada pemanfaatan lahan rawa, baik untuk
kepentingan pertanian maupun untuk pemukiman penduduk.
Penggunaan lahan rawa untuk pertanian dengan semestinya dan
dilakukan secara efisien akan memberi sumbangan bagi kelangsungan bagi
pertumbuhan ekonomi negara. Dengan kata lain, pemanfaatan lahan rawa
dengan tidak semestinya akan menyebabkan kehilangan salah satu sumber
60
daya yang berharga, dikarenakan lahan rawa merupakan lahan marginal
dan merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui.
Pemanfaatan lahan rawa sebagai areal produksi pertanian
khususnya tanaman pangan merupakan alternatif yang sangat tepat,
mengingat arealnya yang sangat luas dan pemanfaatannya belum
dilakukan secara intensif dan ekstensif. Dalam hal ini Daerah Rawa
Cermai yang terdapat di Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas juga turut
berlomba-lomba dalam memanfaatkan lahan rawa yang tersedia sebagai
lahan yang produktif.
Lahan rawa tersebut sebagian kecil telah dimanfaatkan untuk
bercocok tanam padi dan palawija meskipun sebagian besar lahan rawa
cermai masih banyak yang belum dimanfaatkan secara optimal. Sebagian
besar lahan masih berupa hutan dan semak belukar. Jenis pemanfaatan
lahan di Daerah Rawa Cermai dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2.5 Jenis Pemanfaatan Lahan di Daerah Rawa Cermai
Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas Kalimantan Barat
Jenis Pemanfaatan Lahan Luas (ha) Persentase (%) 1. Pemukiman dengan tanaman campuran 2. Sawah 3. Semak dan tanaman hutan 4. Hutan
15,6 135,33 48,98
900,49
1,42 12,30 4,45
81,83 Jumlah 1100,4 100
Sumber : Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah Sambas, 2008
Dari tabel tersebut, tergambarkan bahwa pola penggunaan lahan
terbesar berupa hutan, urutan kedua dan ketiga adalah sawah dan semak-
tanaman hutan, terakhir pemukiman dengan tanaman budidaya.
61
2. Permasalahan Rawa Cermai
Alam mengajarkan kepada manusia agar hidup mengikuti kaidah-
kaidah yang telah ditetapkan alam. Sejarah panjang kehidupan manusia
pada dasarnya merupakan catatan upaya manusia dalam menaklukkan
alam. Penaklukan alam yang sifatnya eksploratif dan eksploitatif tanpa
memerhatikan kaidah-kaidah alam ternyata harus dibayar mahal karena
memerlukan energi dan dana yang besar untuk mengatasi. Dampak negatif
yang muncul kemudian terhadap lingkungan akibat polah manusia menjadi
catatan panjang penderitaan.
Pada prinsipnya permasalahan yang terdapat di daerah Rawa
Cermai ini sama dengan permasalahan yang dihadapi pada daerah-daerah
rawa lainnya. Adapun permasalahan yang terdapat di Daerah Rawa
Cermai ini adalah permasalahan genangan yang merupakan masalah utama
pengembangan daerah ini. Setiap tahun masalah ini terus berulang selama
musim hujan. Genangan yang terjadi mempunyai durasi yang cukup
panjang dan membahayakan tanaman untuk dapat tumbuh dengan baik.
Genangan yang terjadi umumnya berada pada daerah-daerah
dengan topografi lebih rendah dari elevasi muka air maksimum. Masalah
lainnya yang juga sedikit menghambat adalah tidak adanya saluran dan
sarana irigasi serta kriteria tanah yang sebagian besar memiliki pH rendah
yang akan cukup menyulitkan dalam pengolahan tanah untuk pemanfaatan
sebagai lahan pertanian atau perkebunan.