BAB II Tinjauan Pustaka

6
3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Proses Penggorengan Penggorengan adalah salah satu cara pengolahan pangan yang mudah serta banyak diminati. Penggorengan dengan minyak atau lemak banyak dipilih sebagai cara pengolahan karena mampu meningkatkan citarasa dan tekstur bahan pangan yang spesifik, sehingga bahan pangan menjadi kenyal dan renyah (Winarno 1999). Menurut Supriyanto et al. (2006), penggorengan merupakan fenomena transpor yang terjadi secara simultan, yaitu transfer panas, transfer massa air, dan transfer (serapan) massa minyak. Saat proses penggorengan dilakukan, terjadi transfer panas dari minyak ke bahan pangan, penguapan massa air, dan penyerapan minyak oleh bahan pangan. Suhu penggorengan yang dianjurkan adalah 177—201 o C, atau tergantung jenis bahan yang digoreng (Winarno 1999). Adanya perbedaan konsentrasi air dan minyak antara permukaan dan bagian dalam bahan pangan menyebabkan proses transfer massa air dan massa minyak terjadi secara difusi. Proses difusi air dari dalam ke permukaan bahan pangan dan difusi minyak dari permukaan ke dalam bahan pangan berlangsung bersamaan (simultan) dengan proses transfer panas dari permukaan ke dalam bahan pangan. Pinthus dan Sagui (1994) menyatakan bahwa minyak akan masuk ke dalam bahan menempati pori-pori yang ditinggalkan oleh air. Proses difusi minyak akan berlangsung terus sampai akhir penggorengan bahkan pada waktu pendinginan pasca penggorengan (Moreira dan Barrufet 1998). Minyak yang digunakan untuk menggoreng merupakan salah satu faktor yang menentukan keamanan suatu produk gorengan untuk dikonsumsi, sebab minyak akan berdifusi ke dalam bahan pangan dan membawa serta bahan-bahan lain yang terkandung di dalamnya. Terdapat acuan bagi minyak goreng yang beredar di Indonesia agar terjamin mutu dan keamanannya bagi konsumen. Berikut adalah syarat mutu minyak goreng menurut SNI 01-3741-2002 (BSN 2002). Tabel 1. Syarat mutu minyak goreng menurut SNI 01-3741-2002 No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan Mutu I Mutu II 1 Keadaan 1.1 Bau Normal Normal 1.2 Rasa Normal Normal 1.3 Warna Putih, kuning pucat sampai kuning 2 Kadar air % b/b maks 0.1 maks 0.3 3 Bilangan asam mg KOH/g maks 0.6 maks 2 4 Asam linolenat (C18:3) dalam komposisi asam lemak minyak % maks 2 maks 2 5 Cemaran logam 5.1 Timbal (Pb) mg/kg maks 0.1 maks 0.1 5.2 Timah (Sn) mg/kg maks 40.0/250* maks 40.0/250* 5.3 Raksa (Hg) mg/kg maks 0.05 maks 0.05 5.4 Tembaga (Cu) mg/kg maks 0.1 maks 0.1 6 Cemaran arsen (As) mg/kg maks 0.1 maks 0.1 7 Minyak pelikan ** negatif Negatif CATATAN * Dalam kemasan kaleng CATATAN **Minyak pelikan adalah minyak mineral dan tidak bisa disabunkan Sumber: BSN (2002)

description

penjelasan mengenai minyak goreng dan asap rokok. didalamnya juga terdapat SNI mengenai minyak goreng.

Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Proses Penggorengan Penggorengan adalah salah satu cara pengolahan pangan yang mudah serta banyak diminati.

Penggorengan dengan minyak atau lemak banyak dipilih sebagai cara pengolahan karena mampu meningkatkan citarasa dan tekstur bahan pangan yang spesifik, sehingga bahan pangan menjadi kenyal dan renyah (Winarno 1999). Menurut Supriyanto et al. (2006), penggorengan merupakan fenomena transpor yang terjadi secara simultan, yaitu transfer panas, transfer massa air, dan transfer (serapan) massa minyak. Saat proses penggorengan dilakukan, terjadi transfer panas dari minyak ke bahan pangan, penguapan massa air, dan penyerapan minyak oleh bahan pangan. Suhu penggorengan yang dianjurkan adalah 177—201oC, atau tergantung jenis bahan yang digoreng (Winarno 1999).

Adanya perbedaan konsentrasi air dan minyak antara permukaan dan bagian dalam bahan pangan menyebabkan proses transfer massa air dan massa minyak terjadi secara difusi. Proses difusi air dari dalam ke permukaan bahan pangan dan difusi minyak dari permukaan ke dalam bahan pangan berlangsung bersamaan (simultan) dengan proses transfer panas dari permukaan ke dalam bahan pangan. Pinthus dan Sagui (1994) menyatakan bahwa minyak akan masuk ke dalam bahan menempati pori-pori yang ditinggalkan oleh air. Proses difusi minyak akan berlangsung terus sampai akhir penggorengan bahkan pada waktu pendinginan pasca penggorengan (Moreira dan Barrufet 1998).

Minyak yang digunakan untuk menggoreng merupakan salah satu faktor yang menentukan keamanan suatu produk gorengan untuk dikonsumsi, sebab minyak akan berdifusi ke dalam bahan pangan dan membawa serta bahan-bahan lain yang terkandung di dalamnya. Terdapat acuan bagi minyak goreng yang beredar di Indonesia agar terjamin mutu dan keamanannya bagi konsumen. Berikut adalah syarat mutu minyak goreng menurut SNI 01-3741-2002 (BSN 2002).

Tabel 1. Syarat mutu minyak goreng menurut SNI 01-3741-2002

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

Mutu I Mutu II 1 Keadaan

1.1 Bau Normal Normal 1.2 Rasa Normal Normal 1.3 Warna Putih, kuning pucat sampai kuning 2 Kadar air % b/b maks 0.1 maks 0.3 3 Bilangan asam mg KOH/g maks 0.6 maks 2 4 Asam linolenat (C18:3) dalam

komposisi asam lemak minyak % maks 2 maks 2

5 Cemaran logam 5.1 Timbal (Pb) mg/kg maks 0.1 maks 0.1 5.2 Timah (Sn) mg/kg maks 40.0/250* maks 40.0/250* 5.3 Raksa (Hg) mg/kg maks 0.05 maks 0.05 5.4 Tembaga (Cu) mg/kg maks 0.1 maks 0.1 6 Cemaran arsen (As) mg/kg maks 0.1 maks 0.1 7 Minyak pelikan ** negatif Negatif

CATATAN * Dalam kemasan kaleng CATATAN **Minyak pelikan adalah minyak mineral dan tidak bisa disabunkan

Sumber: BSN (2002)

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka

4

Salah satu standar mutu yang diterapkan pada minyak goreng adalah cemaran logam. Hal tersebut tergolong penting karena cemaran logam dalam minyak goreng akan terdifusi ke dalam bahan pangan dan mempengaruhi keamanan pangan untuk dikonsumsi. Penelitian Marbun (2010) dalam studinya mengenai kadar timbal pada gorengan di pinggir jalan Pasar I Padang Bulan Medan tahun 2009 menyebutkan bahwa rata-rata kadar timbal gorengan sesaat setelah diangkat dari kuali penggorengan yaitu 0.4287 mg/kg. Hal tersebut menunjukkan bahwa bahan baku yang digunakan, salah satunya adalah minyak goreng, serta proses penggorengan dapat mempengaruhi jumlah cemaran logam berat pada gorengan.

B. Struktur Bahan Pangan Goreng Gorengan yang banyak dijajakan umumnya digoreng dengan metode deep fat frying, yaitu

seluruh bahan pangan terendam dalam minyak goreng. Berlangsungnya berbagai proses dalam penggorengan akan menentukan kualitas akhir produk goreng, yang antara lain dicirikan oleh warna produk, kadar air akhir, kadar minyak (banyaknya minyak yang terserap), kerenyahan produk, dan bentuk produk setelah mengembang (Supriyanto et al. 2006).

Semua pangan goreng mempunyai struktur dasar yang sama, terdiri dari inner zone (core), outer zone (crust), dan outer zone surface. Inner zone (core) adalah bagian dalam pangan goreng yang masih mengandung air. Sedangkan outer zone (crust) adalah bagian luar pangan goreng yang mengalami dehidrasi pada waktu proses penggorengan. Rongga pada bahan pangan goreng akibat penguapan air akan tergantung pada perbandingan ketebalan crust dan core. Semakin tebal crust, semakin banyak minyak yang diserap.

Outer zone surface adalah bagian paling luar dari bahan pangan goreng yang berwarna cokelat kekuning-kuningan. Lapisan tepung pada bahan pangan goreng akan mengalami gelatinisasi, volume lapisan akan mengembang dan mengering dengan teruapkannya air. Dengan demikian terbentuk tekstur renyah yang disukai (Ketaren 1986). Warna cokelat pada outer zone surface umumnya merupakan hasil reaksi pencokelatan atau Maillard yang dipengaruhi oleh komposisi makanan, suhu, dan lama penggorengan.

Gorengan umumnya tidak mengalami pengolahan atau tindakan lebih lanjut yang dapat menurunkan risiko bahaya setelah diolah (setelah selesai digoreng). Gorengan yang dijajakan terbuka di pinggir jalan memiliki resiko terkena cemaran logam berat. Penelitian Marbun (2010) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar timbal (Pb) pada makanan jajanan yang dijual di pinggir jalan Pasar I Padang Bulan Medan tahun 2009. Sampel yang berupa gorengan terbukti menunjukkan peningkatan kadar timbal sejalan dengan semakin lamanya jajanan tersebut terpajan. Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa logam berat dari udara bebas dapat terjerap atau terserap pada permukaan gorengan.

C. Asap Rokok Asap rokok merupakan aerosol heterogen dari pembakaran tembakau, komponen dalam rokok,

serta pembungkusnya. Setiap batang rokok mengandung banyak bahan kimia, di antaranya nikotin, karbonmonoksida, tar, dan radikal bebas (Rahayu 2006). Asap rokok mengandung 4000 bahan kimia, dan 43 di antaranya merupakan penyebab kanker. Ukuran partikel asap rokok sangat kecil yaitu 0.1-1 mikrometer.

Asap yang dihembuskan perokok dapat digolongkan menjadi asap utama (main stream smoke) dan asap samping (side stream smoke). Asap utama merupakan asap tembakau yang dihirup langsung oleh perokok, sedangkan asap samping merupakan asap tembakau yang disebarkan ke udara bebas (Susanna et al. 2003). Sepertiga bagian dari asap akan dihisap oleh perokok aktif, sedangkan sisanya tetap berada di luar karena dihembuskan.

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka

5

Aditama (1992) menjelaskan bahwa komponen dalam asap rokok terdiri dari komponen gas dan komponen padat atau partikel. Penelitian mengenai kandungan logam pada rokok Indonesia yang dilakukan oleh peneliti Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) menunjukkan adanya selisih kandungan logam berat antara tembakau dengan filter dan abu rokok. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sebagian logam berat yang terkandung dalam rokok ikut terbawa dalam asap (Mulyaningsih 2009).

Taftazani dan Widodo (2008) menyebutkan bahwa pada penelitian terhadap cuplikan tembakau tujuh rokok kretek dan empat rokok non-kretek Jawa Timur, diperoleh hasil adanya logam berat Hg, Cd, Cr, dan Co pada semua sampel. Konsentrasi keempat logam berat tersebut dalam semua cuplikan rokok masih berada di bawah batas ambang konsumsi harian (ADI) dari FAO/WHO jika rokok tersebut dikonsumsi 12 batang per hari. Dari hasil analisis diketahui tidak terdapat perbedaan signifikan antara konsentrasi logam Hg, Co, dan Cr dalam rokok kretek dan non-kretek, sedangkan untuk logam Cd terdapat perbedaan signifikan.

Penelitian lainnya oleh Mulyaningsih (2009) terhadap lima merek rokok filter dan lima merek rokok kretek Indonesia menunjukkan adanya unsur logam toksik dan karsinogenik yaitu Co, Br, dan Cr. Karakterisasi unsur logam dilakukan pada tembakau, filter bersih, kertas rokok, puntung, abu rokok, dan filter setelah dihisap. Unsur-unsur logam pada rokok terdistribusi dalam asap sebanyak 3-79%. Asap dari rokok kretek mengandung logam berat yang jauh lebih tinggi dari asap rokok filter.

Kandungan logam berat yang terdeteksi pada rokok Indonesia menurut beberapa penelitian disajikan pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Kandungan logam berat yang terdeteksi pada rokok Indonesia No Logam

Berat

Jumlah Terdeteksi Menurut Hasil Penelitian (mg/kg)

Mellawati (1991) diacu dalam

Taftazani dan Widodo (2008)

Taftazani dan

Widodo (2008)

Mulyaningsih (2009)

1 Hg 0.0300-0.1000 0.0096-0.1565

2 Zn 31.1-50.68

3 Cd 0.3967-1.4226

4 Cr 0.7200-1.9900 8.1432-11.2746 1.21-1.91

5 Co 0.3100-0.4000 0.4042-0.6426 1.32-2.26

6 Fe 223-769

Sumber: Taftazani dan Widodo (2008) dan Mulyaningsih (2009)

Selain di Indonesia, penelitian terhadap kandungan logam berat pada rokok juga dilakukan di beberapa negara lain seperti Amerika, Mesir, Meksiko, India, Pakistan, Iran, dan Belanda. Kandungan logam berat yang terdeteksi pada rokok luar negeri disajikan pada Tabel 3.

Keberadaan unsur logam berat pada asap rokok patut dijadikan perhatian karena asap rokok bukan hanya dihirup oleh perokok aktif, tetapi juga perokok pasif. Selain itu logam berat pada asap rokok yang dihembuskan oleh perokok aktif dapat terjerap atau terserap oleh bahan lainnya, salah satunya adalah bahan pangan.

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka

6

Tabel 3. Kandungan logam berat pada rokok luar negeri No Logam

Berat

Jumlah Terdeteksi Menurut Hasil Penelitian (mg/kg)

Amerika Mesir Meksiko India Pakistan Iran Belanda

1 Hg 0.02-0.8 3.001 0.05-0.54

2 Zn 4.1-54 76.8-180.01 15-31

3 Cr <0.8-2.4 0.08-6.3 2.9-6.2 3.140 0.47-4.49

4 Co 1.7-6.7 0.41-1.8 0.210 0.12-1.46

5 Fe 2864 420-680

Sumber: Taftazani dan Widodo (2008) dan Mulyaningsih (2009)

D. Cemaran Logam Bahan-bahan kimia yang tidak dikehendaki seringkali terbawa ke dalam produk pangan, seperti

terjadinya cemaran logam atau logam berat. Logam berat adalah istilah yang sering digunakan untuk logam yang bersifat toksik. Lingkungan yang tercemar dapat mempengaruhi produk pangan. Menurut BSN (2009) yang dimaksud dengan pangan tercemar di antaranya adalah pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia. Bahaya cemaran logam berat pada konsumen bersifat akumulatif, tidak langsung menimbulkan gejala dalam jumlah rendah namun dapat bersifat toksik jika kadarnya meningkat. Peningkatan kadar logam berat berkaitan dengan masuknya limbah yang mengandung logam berat akibar kegiatan pertambangan, pembakaran bahan fosil, pertanian, dan sebagainya (Connell dan Miller 1995).

Sifat toksisitas logam berat terbagi ke dalam tiga kelompok (Nugroho 2010). Kelompok pertama adalah logam berat yang bersifat toksik tinggi yaitu merkuri (Hg), cadmium (Cd), timbal (Pb), tembaga (Cu), dan seng (Zn). Logam berat yang bersifat toksik sedang adalah cobalt (Co), chromium (Cr), dan nikel (Ni). Kelompok terakhir, logam berat yang bersifat toksik rendah terdiri dari mangan (Mn) dan besi (Fe). Logam berat dapat memberi pengaruh merugikan karena mampu menghambat proses biokimia dalam tubuh.

Berdasarkan SNI 7387 (2009) mengenai batas maksimum cemaran logam berat serta deteksi logam berat pada rokok Indonesia dan luar negeri, maka logam berat yang akan dibahas lebih lanjut adalah cadmium (Cd), timbal (Pb), arsen (As), cobalt (Co), dan chromium (Cr).

1. Logam Cadmium (Cd) Cadmium (Cd) adalah logam yang ditemukan alami dalam kerak bumi. Cadmium murni

berupa logam lunak berwarna putih perak. Jenis logam tersebut belum pernah ditemukan sebagai logam murni di alam, umumnya terikat dengan unsur lain seperti oksigen, klorin, atau sulfur (BSN 2009). Cadmium termasuk logam berat dengan toksisitas tinggi, dan merupakan kontaminan yang paling harus diwaspadai.

Bahan pangan dapat terkontaminasi cadmium melalui lingkungan atau kegiatan industri. Cadmium dapat diabsorpsi oleh tanaman dan hewan laut, juga mengontaminasi melalui pupuk pada tanaman. Kontaminasi cadmium pada tanaman tidak dapat dihilangkan dengan pencucian, karena sudah terdistribusi ke seluruh bagian tumbuhan (IOCCC 1996). WHO (1990) menyatakan bahwa kadar cadmium pada sebagian besar bahan pangan adalah kurang dari 0.02 µg/g, namun asap rokok dapat meningkatkan kadar cadmium tersebut. Cadmium dan senyawanya (terutama senyawa asam lemah) bersifat karsinogen. Cadmium dapat terserap ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan dan terakumulasi dalam tubuh pada hati dan ginjal. Akumulasi cadmium di ginjal dapat berlanjut hingga

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka

7

usia 50-60 tahun, sementara ekskresi senyawa tersebut berlangsung sangat lama, diperkirakan antara 10-33 tahun (WHO 1990).

Dampak dari akumulasi cadmium yaitu anemia, penurunan fungsi ginjal dan hati, serta perubahan komposisi mineral pada tulang. Akumulasi cadmium juga dapat menyebabkan kanker prostat dan paru-paru. Toksisitas cadmium menurut BSN (2009) yaitu LD50 225 mg/kg dan PTWI 0.007 mg/kg bb. Batas maksimum cemaran cadmium untuk bahan pangan goreng mengacu pada kelompok produk pangan lainnya yaitu 0.2 mg/kg. FAO/WHO menetapkan bahwa batas ambang konsumsi harian (ADI) untuk cadmium adalah 0.06 mg/hari.

2. Logam Timbal (Pb) Timbal adalah sejenis logam yang lunak, berwarna coklat kehitaman, dan mudah dimurnikan.

Timbal juga dikenal dengan timah hitam, jenis logam tertua yang pernah dikenal manusia, dan terdapat dalam jumlah besar dari deposit bumi. Kontaminan timbal berasal dari udara yang tercemar akibat banyaknya asap kendaraan, proses industri dan emisinya, asap dan debu dari pembangkit listrik tenaga batubara dan gas, serta penggunaan cat dan antikarat (IOCCC 1996). Timbal juga dapat berasal dari kegiatan pertambangan, pembakaran bahan fosil, pertanian, dan urbanisasi sehingga jumlahnya meningkat di ekosfer. Pada makanan, kontaminan timbal dapat berasal dari air yang melalui pipa saluran dari timbal atau pematrian timbal pada kaleng atau botol.

Timbal dapat masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan, yaitu dari makanan, dan saluran pernafasan, yaitu dari udara. IOCCC (1996) menyebutkan bahwa timbal memiliki afinitas tinggi terhadap protein, sehingga dapat membentuk ikatan dengan hemoglobin dan protein plasma darah. Hal tersebut menyebabkan penghambatan sintesis sel darah merah yang sangat diperlukan untuk transportasi oksigen. Secara umum, meningkatnya kandungan timbal dalam tubuh dapat menyebabkan efek kontinu terutama pada hati, urat syaraf, ginjal, tulang, limpa, pankreas, serta paru-paru. Pada anak balita, tingginya kandungan timbal dapat mempengaruhi perkembangan otak, inti sel, mitokondria, dan mikrosom pada tingkat seluler.

Keracunan timbal dapat menyebabkan efek akut dan kronis. Keracunan akut hanya terjadi karena konsumsi garam timbal terlarut dalam dosis tunggal yang relatif besar (IOCCC 1996). Keracunan akut ditandai oleh rasa terbakar pada mulut, terjadinya perangsangan dalam gastrointestinal, dan diikuti dengan diare. Sedangkan keracunan kronis ditandari oleh rasa mual, anemia, sakit di sekitar perut, dan dapat menyebabkan kelumpuhan. Batas maksimum cemaran timbal pada makanan menurut SNI (2009) adalah 0.25 mg/kg. FAO/WHO menetapkan bahwa batas ambang konsumsi harian (ADI) untuk timbal adalah 0.214 mg/hari.

3. Logam Arsen (As) Arsen (As) merupakan logam anorganik berwarna abu-abu. Logam tersebut dapat ditemukan

pada tanah, air, makanan, dan udara dalam konsentrasi rendah. Persenyawaan arsen dengan oksigen, klorin, dan sulfur disebut arsen anorganik, sedangkan persenyawaan arsen dengan karbon dan hidrogen disebut arsen organik. Penggunaan arsen adalah dalam insektisida dan bahan pendadah pada semikonduktor.

Kajian mengenai keamanan logam arsen pada SNI 7387 (2009) menyebutkan bahwa arsen merupakan salah satu elemen yang paling toksik dan bersifat akumulatif. Pada tikus, nilai LD50 pada pemberian oral adalah 763 mg/kg bb. Efek akut terhadap arsen berlangsung lambat namun disertai dengan anemia hemolitik yang cepat. Efek kronis dapat menyebabkan kerusakan pada tulang, darah, hati, saluran pernafasan, dan sistem saraf pusat. Batas maksimum cemaran arsen pada makanan

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka

8

menurut SNI 7387 (2009) adalah 0.25 mg/kg. FAO/WHO menetapkan bahwa batas ambang konsumsi harian (ADI) untuk arsen adalah 0.128 mg/hari.

4. Logam Cobalt (Co) Bentuk fisik cobalt (Co) adalah serbuk berwarna abu-abu keperakan. Cobalt dan senyawanya

terdistribusi secara luas di alam, dan paling banyak ditemukan di kerak bumi. Aktivitas penambangan dan industri menghasilkan cobalt sebagai produk sampingan. Penggunaan cobalt adalah sebagai pemberi warna pada barang-barang gelas dan keramik.

Jalur paparan utama cobalt ke dalam tubuh manusia adalah melalui pernafasan. Secara alami tubuh manusia mengandung cobalt dalam jumlah rendah, namun paparan yang sering dapat meningkatkan jumlah cobalt dalam tubuh. Cobalt yang terdapat pada sayuran dan buah-buahan berasal dari tanah. Sayuran merupakan sumber paparan cobalt terbanyak pada manusia yang berasal dari saluran pencernaan. Cobalt juga banyak terdapat pada asap rokok.

International Agency of Research on Cancer (1997a) menyebutkan bahwa penelitian paparan senyawa cobalt pada tikus menunjukkan penurunan fertilitas tikus jantan. Penelitian in vitro terhadap sel manusia dan hewan yang diberi paparan senyawa cobalt menunjukkan bahwa senyawa tersebut memicu kerusakan DNA dan mutasi. Jumlah cobalt yang tinggi dalam tubuh manusia dapat meningkatkan resiko kanker paru-paru dan penyakit jantung. Batas maksimum cemaran cobalt pada makanan belum diatur dalam SNI, namun Nugroho (2010) menggolongkan cobalt sebagai logam berat dengan toksisitas sedang. Batas ambang konsumsi harian (ADI) untuk cobalt adalah 1 mg/hari.

5. Logam Chromium (Cr) Chromium (Cr) termasuk golongan logam berat dengan toksisitas sedang. Unsur tersebut

berbentuk serbuk berwarna abu-abu. Chromium banyak digunakan dalam industri untuk pembuatan plat krom. Sumber pajanan utama chromium pada tubuh manusia adalah melalui pernafasan. Bahan pangan dan air juga dapat menjadi sumber masuknya chromium ke dalam tubuh.

International Agency for Research on Cancer (1997b) menyatakan bahwa belum teramati adanya peningkatan resiko kanker pada manusia karena paparan chromium dalam bentuk unsur logam. Namun dalam bentuk senyawa, chromium dengan valensi ion III-VI terbukti meningkatkan resiko kanker paru-paru dan bersifat toksik pada sel. Batas maksimum cemaran chromium pada makanan belum diatur dalam SNI. Batas ambang konsumsi harian (ADI) untuk chromium adalah 0.32 mg/hari.