BAB II Tinjauan Pustaka

download BAB II Tinjauan Pustaka

of 13

Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka

  • 6

    TINJAUAN PUSTAKA

    Permasalahan Gizi Pada Balita

    Gizi merupakan hal penting dalam pembangunan, karena gizi adalah

    investasi dalam pembangunan. Gizi yang baik dapat memicu terjadi pembangunan

    yang pesat karena tingginya produktifitas kerja. Sebaliknya jika masalah gizi

    banyak terdapat dalam suatu masyarakat hal ini dapat menghambat pembangunan

    dan menimbulkan kerugian yang tidak terhingga (Soekirman, 2005).

    Permasalahan gizi sangat berkaitan erat dengan masalah kemiskinan.

    Peningkatan ekonomi masyarakat akan berdampak terhadap peningkatan status

    gizi. Peningkatan ekonomi masyarakat dapat menurunkan masalah gizi dapat

    dilihat dari dua sisi. Pertama, mengurangi biaya kematian dan kesakitan, kedua

    melalui peningkatan produktifitas. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh

    Soekirman (2005) yaitu kemiskinan memiliki hubungan timbal balik dengan

    permasalahan gizi. Kurang gizi berpotensi sebagai penyebab kemiskinan melalui

    rendahnya pendidikan dan produktivitas. Sebaliknya, kemiskinan menyebabkan

    anak tidak mendapat makanan bergizi yang cukup sehingga kurang gizi.

    Tahun 2004 sekitar 50 persen penduduk Indonesia pada semua kelompok

    usia mengalami masalah kekurangan gizi baik dalam keadaan sakit maupun sehat.

    Kejadian kekurangan gizi cenderung dikesampingkan, padahal secara perlahan

    dapat berdampak pada tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka

    kematian balita dan rendahnya umur harapan hidup (Atmarita, 2004). Pada tahun

    2001, prevalensi underweight dan stunting di Indonesia lebih tinggi dibandingkan

    negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand. Tabel 1 menunjukkan pada tahun

    2001 prevalensi underweight ( BB/U)

  • 7

    Tabel 1 Perbandingan masalah gizi kurang pada balita pada beberapa negara di Asia, 2001

    Negara Prevalensi Underweight

    (%)

    Prevalensi Stunting

    (%)

    Prevalensi BBLR

    (%) Bangladesh 47,8 44,8 30,0 India 47,0 45,6 25,5 Kamboja 45,9 46,0 8,9 Pakistan 38,2 - 21,4 Myanmar 36,0 37,2 16,0 Vietnam 33,1 36,4 18,9 Srilangka 33,0 17,0 17,0 Indonesia 26,1 42,6 7,7 Thailand 18,6 16,0 7,2 Malaysia 18,3 - - Cina 9,6 16,7 5,9

    Sumber : Atmarita (2004) Analisis Situasi Gizi dan KesehatanMasyarakat

    Tabel 1 juga menunjukan prevalensi stunting pada balita di Indonesia

    sebesar 42,6 persen. Ini menunjukkan Indonesia memiliki permasalahan stunting

    yang cukup tinggi. Sama halnya dengan Indonesia, Bangladesh, India dan

    Kamboja juga memiliki prevalensi stunting yang tinggi sebesar 44,8 persen, 45,6

    persen dan 46,0 persen. Negara dengan prevalensi stunting yang rendah antara

    lain Thailand sebesar 16,0 persen dan Cina sebesar 16,7 persen.

    Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) prevalensi

    balita gizi buruk dari tahun 1989 sampai tahun 1995 meningkat tajam, lalu

    cenderung fluktuatif sampai dengan tahun 2003 (Tabel 2). Sedangkan prevalensi

    balita gizi kurang dari tahun 1989 sampai tahun 2000 mengalami penurunan, lalu

    cenderung fluktuatif sampai dengan tahun 2003. Untuk prevalensi balita yang

    mengalami status gizi buruk dan gizi kurang dari tahun 1989 sampai tahun 2000

    mengalami penurunan, lalu cenderung fluktuatif sampai dengan tahun 2003.

    Tahun 2003 prevalensi balita gizi buruk dan gizi kurang mencapai 27,5 persen.

  • 8

    Tabel 2 Jumlah balita gizi buruk dan gizi kurang berdasarkan Susenas 1989-2003

    Tahun Total Total Jumlah Prevalensi (%)

    Penduduk Balita Gizi

    Buruk

    Gizi

    Kurang

    Total Gizi

    Buruk

    Gizi

    Kurang

    Total

    1989 177,614,965 21,313,796 1,342,769 6,643,510 7,98,279 6.3 31.2 37.5 1992 185,323,458 22,238,815 1,607,866 6,302,480 7,910,346 7.2 28.3 35.6 1995 195,860,899 21,544,699 2,490,567 4,313,249 6,803,816 11.6 20.0 31.6 1998 206,398,340 20,639,834 2,169,247 3,921,568 6,090,815 10.5 19.0 29.5 1999 209,910,821 19,941,528 1,617,258 3,639,329 5,256,587 8.1 18.3 26.4 2000 203,456,005 17,904,128 1,348,181 3,066,977 4,415,158 7.5 17.1 24.7 2001 206,070,543 18,134,208 1,142,455 3,590,573 4,733,028 6.3 19.8 26.1 2002 208,749,460 18,369,952 1,469,596 3,545,401 5,014,997 8.0 19.3 27.3 2003 211,463,203 18,608,762 1,544,527 3,572,882 5,117,409 8.3 19.2 27.5

    Sumber : Atmarita (2004) : Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat

    Kronisnya masalah gizi kurang pada balita di Indonesia ditunjukkan pula

    dengan tingginya prevalensi stunting. Tabel 3 menunjukkan berdasarkan survey

    gizi dan kesehatan HKI tahun 1999-2001 prevalensi balita stunting dari tahun

    1999-2002 di wilayah pedesaan di delapan propinsi masih berkisar antara 30-40

    persen begitu juga dengan prevalensi balita stunting di wilayah kumuh perkotaan

    di empat kota menunjukan prevalensi balita stunting tergolong tinggi berkisar

    antara 27-40 persen.

    Tabel 3 menunjukkan Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan

    propinsi yang memiliki prevalensi stunting paling tinggi untuk wilayah pedesaan

    pada tahun 1999-2002 yaitu mencapai 48 persen. Pada tahun 2000 dan 2001

    untuk wilayah perkotaan, Makasar merupakan kota dengan prevalensi stunting

    tertinggi, masing masing mencapai 43,1 persen dan 42,6 persen.

    Untuk membandingkan dengan hasil survey gizi kesehatan HKI tahun

    1999-2001 di atas, maka pada tabel 3 juga ditampilkan hasil Riskesdas 2007 pada

    wilayah yang terdapat pada tabel 3. Berdasarkan data Riskesdas 2007 prevalensi

    stunting di Nusa Tenggara Barat (NTB) sebesar 43,7 persen. Semarang

    merupakan kota dengan prevalensi tinggi yaitu 29,0 persen. Untuk lingkup

    nasional, propinsi yang memiliki prevalensi stunting paling tinggi adalah Nusa

    Tenggara Timur (NTT) sebesar 46,7 persen.

  • 9

    Tabel 3 Prevalensi stunting balita berdasarkan survei gizi dan kesehatan HKI tahun 1999-2001 dan Riskesdas 2007

    Wilayah Tahun 1999 1) 2000 1) 2001 1) 2002 1) 2007 2)

    Sumatera Barat 36,5 37,9 37,0 37,2 36,5 Lampung - 27,3 29,5 30,4 38,7 Banten 28,4 31,0 33,0 37,4 38,9 Jawa Barat 30,7 33,0 33,4 35,4 35,4 Jawa Tengah 36,0 30,8 29,5 29,0 36,4 Jawa Timur 34,5 34,9 33,5 31,2 34,8 NTB 44,0 46,9 48,2 48,8 43,7 Jakarta - 31,0 28,8 - 26,7 Semarang - 30,2 28,2 - 29,0 Surabaya - 27,7 27,9 - 24,8 Makasar - 43,1 42,6 - 26,9

    Sumber : 1)Atmarita (2004)Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat 2) Riskesdas 2007

    Menurut data Riskesdas 2007 prevalensi nasional underweight adalah

    18,4 persen. Sedangkan prevalensi nasional stunting sebesar 36,8 persen. Bila

    dibandingkan dengan target pencapaian program perbaikan gizi pada Rencana

    Pembangunan Jangka Menegah Nasional (RPJMN) tahun 2015 sebesar 20 persen

    dan target Millenium Development Goals (MDGs) untuk Indonesia sebesar 18,5

    persen, maka secara nasional target untuk underweight terlampaui, namun

    pencapaian tersebut belum merata di 33 propinsi. Prevalensi stunting yang masih

    tinggi di atas 20 persen menunjukkan adanya permasalahan di masyarakat yang

    harus segera ditangani.

    Status Gizi Balita

    Masa balita merupakan proses pertumbuhan yang pesat dimana

    memerlukan perhatian dan kasih sayang dari orang tua dan lingkungan.

    Disamping itu balita membutuhkan zat gizi yang seimbang agar status gizinya

    baik dan proses pertumbuhan tidak terhambat, karena balita merupakan kelompok

    umur yang paling menderita akibat kekurangan gizi (Santoso dan Lies, 2004 ).

    Status gizi pada saat bayi dapat memberi andil terhadap status gizi anak-

    anak bahkan sampai masa dewasa. Menurut Riyadi (1995) Status gizi adalah

    keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh

  • 10

    konsumsi, penyerapan (absorbs) dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan

    yang ditentukan berdasarkan ukuran tertentu.

    Mengingat pentingnya status gizi pada masa bayi maka orang tua dalam

    hal ini ibu mempunyai peran penting untuk dapat mengendalikan agar status gizi

    anak dapat mencapai optimal serta mempertahankan status gizi yang sudah baik

    agar tetap di zona aman ( tidak kekurangan gizi atau kelebihan gizi). Oleh karena

    itu diperlukan penilaian status gizi anak yang dilakukan secara berkelanjutan.

    Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan cara antropometri, konsumsi pangan,

    biokimia dan klinis. Cara mana yang akan digunakan sangat tergantung pada

    tahapan dan keadaan gizi seseorang yang akan dinilai status gizinya. Dari ketiga

    cara penilaian ini, antropometri merupakan cara yang paling sederhana dan praktis

    untuk penilaian status gizi (Riyadi, 1995). Hal ini disebabkan pada pengukuran

    dengan antropometri prosedur pemeriksaannya lebih mudah dan harga

    peralatannya juga relatif murah.

    Menurut Riyadi (1995), pengukuran status gizi dengan menggunakan

    antropometri dapat memberikan gambaran tentang status konsumsi energi dan

    protein seseorang. Oleh karena itu, antropometri sering digunakan sebagai

    indikator status gizi yang berkaitan dengan masalah kurang energi-protein.

    Nyoman (2001) menyatakan indeks antropometri yang sering digunakan ada tiga

    yaitu :

    1) Berat badan menurut umur (BB/U) untuk menilai underweight

    Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa

    tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang

    mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu

    makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Dalam keadaan

    normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi

    dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan meningkat mengikuti

    pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan abnormal, terdapat dua

    kemungkinan peningkatan berat badan yaitu dapat meningkat cepat atau lebih

    lambat dari keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka

    indeks BB/U digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi.

  • 11

    2) Tinggi badan menurut umur (TB/U) untuk menilai stunting

    Tinggi badan merupakan parameter yang menggambarkan keadaan

    pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring

    dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat

    badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu

    pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan tampak dalam

    waktu yang lama.

    3) Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) untuk menilai wasting

    Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam

    keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan

    berat badan dengan kecepatan tertentu.

    Ketiga indeks ini dapat digunakan untuk melihat status gizi balita. Indeks

    BB/U merupakan indeks untuk menilai status gizi anak akibat dari kekurangan

    asupan gizi. Oleh karena itu secara umum indeks BB/U mengindikasikan

    adanya gangguan gizi. Indeks TB/U merupakan indeks yang menggambarkan

    status gizi anak balita akibat keadaan yang berlangsung lama, misalnya

    kekurangan asupan gizi atau sakit dalam waktu lama. Oleh karena itu indeks

    TB/U mengindikasikan permasalahan gizi kronis. Indeks BB/TB merupakan

    indeks untuk menilai status gizi anak balita akibat kekurangan asupan gizi atau

    terkena penyakit infeksi dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu indeks

    BB/TB mengindikasikan permasalahan gizi akut (Depkes, 2009).

    Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Balita

    Menurut UNICEF (1997) ada dua faktor yang menjadi penyebab langsung

    permasalahan gizi, ketidakmampuan dan kematian anak di negara-negara

    berkembang yaitu asupan makanan yang tidak cukup dan penyakit yang diderita

    oleh anak. Faktor-faktor yang menjadi penyebab yang mendasari permasalahan

    gizi pada level keluarga adalah tidak cukup akses terhadap pangan, pola asuh anak

    yang tidak memadai dan akses pelayanan kesehatan dan sanitasi air bersih yang

    tidak memadai. Penyebab dasar permasalahan gizi di level masyarakat adalah

    kuantitas dan kualitas sumber daya potensial yang ada di masyarakat misalnya :

    manusia, ekonomi, lingkungan, organisasi, dan teknologi.

  • 12

    Dalam penelitian ini faktor yang mempengaruhi status gizi yang akan

    dianalisis yaitu faktor karakteristik keluarga terdiri dari wilayah tempat tinggal,

    jumlah anggota keluarga dan jumlah balita dalam keluarga. Faktor karakteristik

    ibu meliputi usia ibu, pendidikan ibu dan status bekerja ibu. Faktor karakteristik

    anak yaitu umur dan jenis kelamin. Faktor lainnya yaitu faktor sanitasi

    lingkungan, faktor perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), faktor akses

    pelayanan kesehatan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, faktor penyakit

    infeksi anak, serta faktor asupan gizi anak.

    Kaitan antara faktor yang akan dianalisis dalam penelitian ini dengan

    faktor penyebab permasalahan gizi, ketidakmampuan dan kematian anak

    berdasarkan kerangka konsep Unicef (1997) adalah asupan gizi dan penyakit

    infeksi merupakan penyebab langsung. Sanitasi, PHBS, akses dan pemanfaatan

    pelayanan kesehatan merupakan penyebab yang mendasari permasalahan gizi

    pada level keluarga. Faktor karakteristik keluarga, karakteristik ibu dan

    karakteristik anak merupakan penyebab dasar permasalahan gizi di level

    masyarakat yang berkaitan dengan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia di

    masyarakat.

    Faktor Karakteristik Keluarga

    Secara teoritis permasalahan gizi banyak terjadi pada rumah tangga

    miskin. Namun tidak menutup kemungkinan permasalahan gizi juga terjadi pada

    rumah tangga yang memiliki kemampuan ekonomi yang mapan. Hal ini sejalan

    dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2005) di Indonesia menyatakan

    bahwa rumah tangga yang memiliki pengeluaran total lebih dari dua juta rupiah

    sebulan terdapat juga kasus gizi kurang pada balita, sebaliknya kasus gizi lebih

    juga terjadi pada rumah tangga miskin yang memiliki pengeluaran dibawah

    500.000 rupiah sebulan sebesar 32 persen.

    Soekirman (2005) menyatakan bahwa kemiskinan merupakan akar

    terjadinya permasalahan gizi. Kemiskinan memiliki hubungan timbal balik

    dengan permasalahan gizi. Kurang gizi berpotensi sebagai penyebab kemiskinan

    melalui rendahnya pendidikan dan produktivitas. Sebaliknya, kemiskinan

    menyebabkan anak tidak mendapat makanan bergizi yang cukup sehingga kurang

  • 13

    gizi. Mahgoup (2006) dalam penelitiannya di Botswana menemukan sebesar 53,3

    persen rumah tangga memiliki pendapatan bulanan di bawah 400 Pula (setara 87

    US $) yang merupakan rentang terendah dalam penelitian. Hal ini menempatkan

    mereka berada pada golongan miskin dalam masyarakat. Seiring meningkatnya

    pendapatan pada rumah tangga ini, maka kejadian gizi buruk menurun secara

    signifikan sebesar 18,1 persen.

    Suhardjo (2003) menyatakan bahwa hubungan antara laju kelahiran yang

    tinggi dan kurang gizi, sangat nyata pada masing-masing keluarga. Sumber

    pangan keluarga, terutama mereka yang sangat miskin, akan lebih mudah

    memenuhi kebutuhan makanannya jika yang harus diberi makanan jumlahnya

    sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar mungkin cukup

    untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut, tetapi tidak cukup

    untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga yang besar tersebut.

    Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin paling rawan

    terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil

    biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Sebab seandainya besar

    keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang

    tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda memerlukan pangan

    relatif lebih banyak dari pada anak-anak yang lebih tua. Dengan demikian anak-

    anak yang muda mungkin tidak diberi cukup makan. Selain anak-anak, wanita

    yang sedang hamil dan menyusui juga merupakan kelompok yang rawan akan

    kekurangan gizi. Apabila mereka hidup dalam keluarga dengan jumlah yang besar

    dan kesulitan dalam persediaan pangan tentunya masalah gizi akan timbul

    (Suhardjo, 2003)

    Pembagian pangan yang tepat kepada setiap anggota keluarga sangat

    penting untuk mencapai gizi yang baik. Pangan harus dibagikan untuk memenuhi

    kebutuhan gizi setiap orang dalam keluarga. Anak, wanita hamil dan menyusui

    harus memperoleh sebagian besar pangan yang kaya akan protein. Semua anggota

    keluarga sesuai dengan kebutuhan perorangan, harus mendapat bagian energi,

    protein dan zat-zat gizi lain yang cukup setiap harinya untuk memenuhi

    kebutuhan (Suhardjo, 2003).

  • 14

    Penelitian yang dilakukan oleh Chaudury (1984) di Bangladesh

    menunjukan pertambahan jumlah keluarga akan memberikan dampak merugikan

    kepada status gizi anggota keluarga, termasuk anak berusia dibawah dua tahun,

    sebab hal tersebut akan menurunkan pendapatan perkapitanya. Dengan kata lain,

    alokasi makanan tiap anak akan mengalami penurunan seiring dengan

    bertambahnya jumlah anggota keluarga. Demikian pula dengan penelitian yang

    dilakukan oleh Wray dan Aquire dalam Jus at (1991) di Guatemala menemukan

    bahwa status gizi anak berhubungan dengan ukuran keluarga dalam jumlah total

    anak-anak, tetapi hasil penelitian Megawangi (1991) di tiga propinsi di Indonesia

    menunjukan bahwa ukuran keluarga tidak berpengaruh pada status gizi anak balita

    walaupun jumlah anggota keluarga yang besar diperkirakan akan mempengaruhi

    status gizi.

    Faktor karakteristik Ibu

    Menurut Hurlock (1999) ibu yang berumur muda cenderung kurang

    memperhatikan kebutuhan anak. Ibu yang berusia muda masih miskin

    pengetahuan dan pengalaman tentang pertumbuhan dan perkembangan anak.

    Pengetahuan ibu muda umumnya diperoleh dari orang tua sehingga masih

    mengalami ketergantungan dalam hal perawatan dan dalam memperhatikan anak.

    Sebaliknya ibu yang berumur tua lebih dapat memainkan peran dalam

    pertumbuhan dan perkembangan anak.

    Ibu merupakan pendidik pertama dalam keluarga, untuk itu ibu perlu

    menguasai berbagai pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan ibu di samping

    merupakan modal utama dalam menunjang perekonomian rumah tangga juga

    berperan dalam pola penyusunan makanan untuk rumah tangga. Tingkat

    pendidikan akan mempengaruhi konsumsi melalui pemilihan bahan pangan. Ibu

    yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik

    dalam jumlah dan mutu dibandingkan mereka yang berpendidikan rendah

    (Moehji, 1995).

    Penelitian yang dilakukan oleh Mahgoup (2006) di Bostwana, Afrika

    menunjukan hubungan yang kuat antara kenaikan tingkat pendidikan ibu dengan

    penurunan angka gizi kurang pada anak-anak. Hal ini sejalan dengan penelitian

  • 15

    yang dilakukan Chaudury (1984) di Bangladesh yang menunjukan bahwa

    pendidikan ibu berpengaruh positif terhadap asupan protein dan rasio kecukupan

    protein pada anak pra sekolah, terutama anak yang berusia muda (tahun pertama

    kehidupannya).

    Wanita sebagai pekerja mempunyai potensi dan sudah dibuktikan dalam

    dunia kerja yang tidak kalah dengan pria. Sebagai pekerja, masalah yang dihadapi

    wanita lebih berat dibandingkan pria. Karena dalam diri wanita lebih dahulu harus

    mengatasi urusan keluarga, suami, anak dan hal-hal lain yang menyangkut urusan

    rumah tangganya (Anoraga, 2005 ). Pada kenyataannya cukup banyak wanita

    yang tidak cukup mengatasi masalah itu, sekalipun mempunyai kemampuan

    teknis cukup tinggi. Kalau wanita tidak pandai menyeimbangkan peran ganda

    tersebut akhirnya balita akan terlantar (Anoraga, 2005).

    Ibu yang sudah mempunyai pekerjaan penuh tidak lagi dapat memberikan

    perhatian penuh terhadap anak balita, apalagi untuk mengurusnya. Meskipun tidak

    semua ibu bekerja tidak mengurus anaknya, akan tetapi kesibukan dan beban kerja

    yang ditanggung ibu dapat menyebabkan berkurangnya perhatian ibu dalam

    menyiapkan hidangan yang sesuai untuk balitanya. Dalam sebuah penelitian

    menunjukkan bahwa seringkali terjadi ketidaksesuaian antara konsumsi zat gizi

    terutama energi dan protein dengan kebutuhan tubuh pada kelompok anak yang

    berusia diatas satu tahun (Moehji,1995)

    Penelitian di wilayah kumuh Bostwana yang dilakukan oleh Mahgoup

    (2006) menunjukkan bahwa anak yang tinggal bersama orang tua tunggal

    (bersama ibunya saja) signifikan terkena wasting, stunting, dan underweight. Hal

    ini dikarenakan ibu berperan ganda sebagai pencari nafkah juga sebagai ibu

    rumah tangga. Karena peran ganda ini ibu tidak dapat secara penuh dan fokus

    untuk mengurus anak sehingga anak lebih rentan terkena permasalahan gizi.

    Faktor Karakteristik Anak

    Faktor anak yang berperan nyata terhadap risiko kurang gizi adalah

    riwayat berat badan lahir yang rendah, adanya penyakit infeksi yaitu batuk, pilek,

    dan tanda-tanda klinis kurang gizi. Risiko kurang gizi lebih tinggi bila konsumsi

  • 16

    semua zat gizi pada anak rendah. Riwayat kelahiran juga berperan dalam risiko

    kurang gizi antara lain tempat lahir dan penolong persalinan (Sandjaja, 2001).

    Penelitian pada keluarga-keluarga petani di pedesaan Bangladesh oleh

    Chen, Hug dan DSouza (dalam Ai Nurhayati, 2000) menyimpulkan bahwa

    terdapat disparitas dalam konsumsi pangan diantara perempuan dan laki-laki pada

    setiap kelompok umur termasuk umur balita, dimana konsumsi pangan anak laki-

    laki lebih tinggi dari anak perempuan yang kemudian akibat dari dispritas pangan

    ini menyebabkan permasalahan gizi lebih besar terjadi pada anak perempuan.

    Berbeda dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Mahgoup (2006) di

    Botswana, Afrika menunjukan tingkat permasalahan gizi di kalangan anak-anak

    usia di bawah tiga tahun yaitu wasting, stunting dan underweight, semuanya

    secara signifikan umum terjadi diantara anak laki-laki dibandingkan perempuan.

    Faktor Sanitasi Lingkungan dan Akses Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

    Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik memungkinkan terjadinya

    berbagai jenis penyakit. Penyakit-penyakit yang terjadi antara lain adalah diare

    dan infeksi saluran pernafasan. Apabila anak menderita penyakit tersebut,

    penyerapan zat-zat gizi akan terganggu dan akhirnya mengakibatkan penurunan

    berat badan. Bila terjadi dalam waktu lama maka anak akan menderita kurang gizi

    (Supriasa, 2002). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Triska

    (2005) yang menyatakan bahwa akibat sanitasi yang tidak memadai menyebabkan

    semakin tingginya penyakit infeksi yang akan berpengaruh terhadap kesehatan.

    Andersen (2005) melaporkan bahwa kondisi sanitasi lingkungan di negara-

    negara berkembang berada pada kategori buruk. Kondisi sanitasi yang buruk

    mempertinggi kejadian penyakit infeksi. Keadaan ini menyebabkan tingginya

    prevalensi gizi kurang. Perilaku hidup yang tidak sehat memicu terjadinya sanitasi

    lingkungan yang buruk dan memudahkan anak mengalami penyakit infeksi.

    Pelayanan kesehatan adalah keterjangkauan anak dan keluarga terhadap

    upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi,

    pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, penyuluhan

    kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas,

    praktek bidan, dokter dan rumah sakit. Kendala keluarga dan masyarakat dalam

  • 17

    memanfaatkan secara langsung pelayanan kesehatan yang tersedia adalah jarak

    pelayanan kesehata jauh, tidak mampu membayar, kurang pendidikan dan

    pengetahuan. Hal ini berdampak terhadap status gizi anak (Sunarya, 2005)

    Menurut Arimond dan Ruel (2004), keluarga dengan pendapatan yang

    memadai dapat memenuhi kebutuhan asupan makannya juga mempunyai akses

    yang baik terhadap pelayanan kesehatan serta memiliki lingkungan yang sehat

    dapat terhindar dari gizi kurang.

    Faktor Penyakit Infeksi Anak

    Anak-anak di negara berkembang terutama pada tahun-tahun pertama dari

    kehidupan mereka sering menderita penyakit infeksi. Penyakit infeksi memiliki

    pengaruh yang besar terhadap pertambahan berat badan anak balita. Penelitian di

    Guatemala Amerika Tengah yang dilakukan oleh Rodhe (1979) menunjukkan

    bahwa ada hubungan erat antara infeksi dan kegagalan untuk menambah berat

    badan. Infeksi yang sering terjadi pada anak balita adalah infeksi saluran

    pernapasan akut (ISPA) dan infeksi saluran pencernaan yaitu diare.

    Berdasarkan data yang diambil dari berbagai kota dan kabupaten yang

    mewakili daerah ekonomi rendah, sedang dan tinggi ditemukan bahwa pola

    penyakit utama masih didominasi oleh penyakit-penyakit infeksi. ISPA

    menempati urutan pertama di semua daerah baik kabupaten atau kota disusul oleh

    penyakit lain seperti malaria dan penyakit kulit. Data WHO menunjukan bahwa

    setiap tahun kurang lebih 11 juta balita di seluruh dunia meninggal karena

    penyakit infeksi seperti ISPA, diare, malaria, dan campak. Ironisnya, 54 persen

    dari kematian tersebut berkaitan dengan adanya kurang gizi (BAPPENAS, 2004).

    Sandjaja (2001) dalam penelitiannya menunjukan faktor yang berperan

    nyata terhadap resiko kurang gizi adalah riwayat berat badan lahir yang rendah,

    adanya penyakit infeksi yaitu batuk, pilek, penyakit kulit, dan tanda-tanda klinis

    kurang gizi. Sedangkan penyakit yang tidak berperan nyata antara lain : campak,

    bronchitis, penyakit mata, telinga dan lainnya.

  • 18

    Faktor Asupan Gizi

    Gizi merupakan kebutuhan setiap mahluk hidup agar mampu melakukan

    proses tumbuh kembang. Kecukupan asupan gizi ditentukan dengan kecukupan

    energi dan protein yang dikonsumsi setiap orang per hari. Energi dan protein yang

    dibutuhkan tubuh setiap hari bergantung pada kualitas, kuantitas dan jenis

    makanan yang dikonsumsi. Sayogya (2006) menyatakan kuantitas menunjukan

    kuantum masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh. Apabila kekurangan

    akan menimbulkan kondisi gizi kurang dan sebaliknya apabila berlebihan akan

    menimbulkan gizi lebih. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) tahun

    2004 menganjurkan kecukupan gizi rata-rata anak 0-3 tahun sebagai berikut :

    Tabel 4 Angka kecukupan gizi anak usia 0-3 tahun

    No Kelompok Umur

    Berat Badan (Kg)

    Tinggi Badan (cm)

    Energi (Kkal)

    Protein (g)

    1 0-6 bulan 6 60 550 10 2 7-12 bulan 8,5 71 650 16 3 1-3 tahun 12 90 1000 25 Sumber : WNPG 2004

    Adi (2005) dalam penelitiannya yang dilakukan di Kecamatan Gunung

    Pati, Semarang menunjukan resiko kekurangan energi protein (KEP) pada balita

    yang konsumsi energinya kurang dari 80 persen AKG sebesar 6,9 kali lebih besar

    dari balita yang konsumsi energinya lebih dari 80 persen AKG. Sementara itu

    Hidayat (2005) menyatakan perubahan asupan gizi tergantung pada tingkat

    pendidikan ibu. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, maka peningkatan gizi

    semakin tinggi. Wishik dan Vynckt (1976) menyatakan faktor tidak langsung

    yang mempengaruhi status gizi adalah sumber makanan, ketersediaan makanan,

    tempat menyimpan makanan, konsumsi dan kualitas konsumsi.