BAB II Tinjauan Pustaka

25
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Standar, Standardisasi, dan Perumusan Standar Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar yang dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak. Life cycle suatu standar Menurut PP No. 102/2000 tentang Standardisasi Nasional, perumusan Standar Nasional Indonesia (SNI) diartikan sebagai rangkaian kegiatan sejak pengumpulan dan pengolahan data untuk menyusun Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) sampai tercapainya konsensus dari semua pihak yang terkait. Perumusan standar pada umumnya melalui tahapan yang berbentuk siklus (life cycle). Life cycle suatu standar dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Life Cycle Suatu Standar (BSN, 2009)

Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Standar, Standardisasi, dan Perumusan Standar

Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 102 tahun 2000 tentang

Standardisasi Nasional, Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang

dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus

semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan,

keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang

untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Standardisasi adalah proses

merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar yang dilaksanakan

secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak.

Life cycle suatu standar

Menurut PP No. 102/2000 tentang Standardisasi Nasional, perumusan

Standar Nasional Indonesia (SNI) diartikan sebagai rangkaian kegiatan sejak

pengumpulan dan pengolahan data untuk menyusun Rancangan Standar Nasional

Indonesia (RSNI) sampai tercapainya konsensus dari semua pihak yang terkait.

Perumusan standar pada umumnya melalui tahapan yang berbentuk siklus (life

cycle). Life cycle suatu standar dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Life Cycle Suatu Standar (BSN, 2009)

4

Perumusan suatu standar umumnya melalui tujuh tahap utama (BSN, 2009), yaitu:

1) Identifikasi perlunya suatu standar tertentu oleh para pemangku kepentingan;

2) Penyusunan program kolektif berdasarkan analisis kebutuhan dan penetapan

prioritas oleh semua pihak berkepentingan disusul adopsi dalam program

kerja badan/lembaga standardisasi nasional;

3) Penyiapan rancangan standar oleh semua pihak yang berkepentingan yang

diwakili oleh pakar (termasuk produsen, pemasok, pemakai, konsumen,

administrator, laboratorium, peneliti dan sebagainya) yang dikoordinasikan

oleh panitia teknis;

4) Konsensus mengenai rancangan standar;

5) Validasi melalui public enquiry nasional mencakup semua unsur ekonomi

dan pelaku usaha untuk memastikan keberterimaan secara luas;

6) Penetapan dan penerbitan standar, dan;

7) Peninjauan kembali (revisi), amandemen atau abolisi. Suatu standar dapat

direvisi setelah kurun waktu tertentu (umumnya 5 tahun sekali) agar selalu

sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan baru.

Prinsip dasar perumusan standar

Prinsip yang harus dipenuhi dalam proses perumusan maupun

pengembangan dalam menghasilkan dokumen standar adalah (BSN, 2009):

1. Transparan (Transparent)

2. Keterbukaan (Openness)

3. Konsensus dan tidak memihak (Consensus and impartiality)

4. Efektif dan relevan (Effective and relevant)

5. Koheren (Coherent)

6. Dimensi pengembangan (Development dimension)

Transparan. Transparan berarti prosesnya mengikuti suatu prosedur yang dapat

diikuti oleh berbagai pihak yang berkepentingan dan tahapan dalam proses dapat

dengan mudah diketahui oleh pihak yang berkepentingan.

Keterbukaan. Terbuka bagi semua pihak yang berkepentingan untuk mengikuti

program pengembangan standar melalui kelembagaan yang terkait dengan

5

pengembangan standar, baik sebagai anggota PT (Panitia Teknis) / SPT (Sub

Panitia Teknis) maupun sebagai anggota masyarakat. Hendaknya pihak yang

berkepentingan dapat terlibat untuk memberikan masukan, menyatakan

persetujuan atau keberatan mereka terhadap suatu rancangan standar.

Konsensus dan tidak memihak. Memberikan kesempatan bagi pihak yang

memiliki kepentingan berbeda untuk mengutarakan pandangan mereka serta

mengakomodasikan pencapaian kesepakatan oleh pihak-pihak tersebut secara

konsensus (mufakat atau suara mayoritas) dan tidak memihak kepada pihak

tertentu. Hal ini dilaksanakan melalui proses konsensus di tingkat Panitia Teknis,

dan juga di rapat konsensus nasional serta di tingkat jajak pendapat dan

pemungutan suara. Untuk menjamin hal ini harus ada prosedur konsensus yang

tidak memihak.

Efektif dan relevan. Untuk memenuhi kepentingan para pelaku usaha dan untuk

mencegah hambatan yang tidak perlu dalam perdagangan, maka standar nasional

tersebut harus relevan dan efektif memenuhi kebutuhan pasar, baik domestik

maupun internasional sehingga bila diadopsi standar akan dipakai oleh dunia

usaha atau pihak pengguna lainnya. Selain itu juga harus memenuhi kebutuhan

regulasi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Sedapat

mungkin standar nasional berlandaskan unjuk kerja daripada berdasarkan desain

atau karakteristik deskriptif dan hasilnya dapat diterapkan secara efektif sesuai

dengan konteks keperluannya.

Koheren. Untuk menghindari ketidakselarasan di antara standar, maka Badan

Standardisasi Nasional (BSN) perlu mencegah adanya duplikasi dan tumpang

tindih dengan kegiatan perumusan standar sejenis lain. Agar harmonis dengan

kegiatan perkembangan dan perumusan standar perlu ada kerjasama dengan badan

standar lain baik regional maupun internasional. Pada tingkat nasional duplikasi

perumusan antara Panitia Teknis dan antara tahun pembuatan harus dihindari.

Dimensi pengembangan. Hambatan yang biasanya dialami oleh usaha

kecil/menengah untuk ikut berpartisipasi dalam perumusan standar nasional harus

menjadi pertimbangan. Dalam memfasilitasi keikut-sertaan Usaha Mikro, Kecil,

6

dan Menengah (UMKM) serta penyuaraan pendapat mereka ini, diperlukan upaya

yang nyata. Pembinaan peningkatan kemampuan UMKM harus dikedepankan

sehingga UMKM akan mampu memenuhi standar yang dipersyaratkan pasar. Hal

ini dimaksudkan agar UMKM dapat bersaing di pasar regional/internasional dan

dapat menjadi bagian dari global supply chain. Dengan demikian standar yang

dihasilkan akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan

masyarakat dan negara.

Menurut Winarno (2002) perumusan standar yang tergesa-gesa akan

menimbulkan biaya tak terduga yang tidak dapat diprediksi. Dalam beberapa hal

perumusan standar yang tetap harus melalui konsensus yang dapat dilaksanakan

dengan cepat sepanjang ada alasan yang tepat dan hasilnya tetap objektif serta

memberikan manfaat kepada semua pihak yang terkait. Pertanyaan yang perlu

dijawab dalam merumuskan suatu standar adalah (i) Siapa yang memerlukan

standar? (ii) Standar seperti apa yang diinginkan? (iii) Mengapa diperlukan

standar? (iv) Dimana penerapannya? (v) Kapan standar tersebut diterapkan? (vi)

Bagaimana cara perumusannya?.

2.2. Standar, SNI, dan Peraturan Keamanan Pangan

Standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) disebut

sebagai Standar Nasional Indonesia (SNI). Menurut PP No. 102/2000 tentang

Standardisasi Nasional, SNI didefinisikan sebagai standar yang ditetapkan oleh

Badan Standardisasi Nasional dan berlaku secara nasional. SNI yang ditetapkan

oleh BSN bersifat sukarela (voluntary), sedangkan instansi teknis dapat

memberlakukan wajib (mandatory) SNI dalam bentuk peraturan melalui surat

keputusan menteri atau kepala badan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia

peraturan didefiniskan sebagai tataan (petunjuk, kaidah, ketentuan) yang dibuat

untuk mengatur (Kemendiknas, 2011).

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI sebagai salah satu instansi

teknis dapat memberlakukan wajib sebagian atau keseluruhan ketentuan di dalam

SNI yang telah ditetapkan oleh BSN. Pertimbangan utama BPOM RI di dalam

7

memberlakukan wajib SNI adalah faktor kesehatan masyarakat dan keamanan

pangan. BPOM RI memberlakukan wajib SNI dituangkan dalam bentuk

peraturan melalui surat keputusan (SK) kepala BPOM RI. Selain pemberlakuan

wajib SNI tersebut, di dalam menjalankan fungsi pengawasan pangan, BPOM RI

juga berwenang mengeluarkan peraturan lain dalam bentuk pedoman dan kode

praktis. Untuk itu, pada pembahasan selanjutnya, peraturan yang dikeluarkan

oleh BPOM RI baik berupa pemberlakuan wajib SNI, pedoman, maupun kode

praktis disebut sebagai peraturan.

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan mendefinisikan

Keamanan Pangan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah

pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat

mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. BPOM RI

berwenang menetapkan peraturan dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai

lembaga pengawas pangan untuk menciptakan keamanan pangan pada produk

pangan yang beredar di Indonesia. Peraturan BPOM RI yang memberlakukan

wajib SNI dapat disebut sebagai standar keamanan pangan.

Secara umum di dalam kerangka SNI dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu

(i) awal, (ii) umum, (iii) teknis, dan (iv) tambahan. Bagian Awal dan Tambahan

bersifat informatif, sedangkan bagian Umum dan Teknis bersifat normatif.

Bagian umum umumnya terdiri atas unsur (i) judul, (ii) ruang lingkup, dan (iii)

acuan normatif. Bagian teknis umumnya terdiri atas unsur (i) istilah dan definisi,

(ii) simbol dan singkatan, (iii) klasifikasi, (iv) persyaratan, (v) pengambilan

contoh, (vi) metode uji, (vii) penandaan, dan (viii) lampiran normatif. Secara

lengkap bagian dan unsur yang terdapat di dalam SNI dapat dilihat pada Lampiran

1 (BSN, 2007b).

Jika dilihat dari bagian dan unsur di dalam SNI, dapat dilihat bahwa unsur

persyaratan pada bagian teknis merupakan unsur yang menggambarkan standar

keamanan pangan. Pada unsur persyaratan di dalam SNI pangan terdapat

ketentuan persyaratan mutu baik yang bersifat fisik, kimia, maupun

(mikro)biologi. Persyaratan mutu kimia dan mikrobiologi pada umumnya

dijadikan sebagai standar keamanan pangan yang diwajibkan (mandatory) oleh

8

BPOM RI. Contoh SNI (SNI 3141.1:2011 tentang Susu Segar – Bagian 1: Sapi)

yang ditetapkan oleh BSN dengan bagian yang lengkap dapat dilihat pada

Lampiran 2 (BSN, 2011a). Contoh peraturan dalam bentuk surat keputusan (SK)

BPOM RI yang memberlakukan wajib SNI (HK.00.05.5.1.4547 tentang

Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan Dalam Produk

Pangan) dapat dilihat pada Lampiran 3 (BPOM, 2004).

Untuk itu, definisi standar dan peraturan keamanan pangan di dalam tulisan

ini mencakup: (i) parameter atau ketentuan di dalam SNI dari BSN yang

memberikan persyaratan kimia dan mikrobiologi dan terkait dengan keamanan

pangan dan (ii) peraturan yang ditetapkan melalui surat keputusan (SK) BPOM RI

berupa pemberlakuan wajib standar (SNI), pedoman, dan kode praktis untuk

menjalankan fungsi BPOM RI sebagai lembaga pengawas pangan guna

menciptakan keamanan pangan produk pangan yang beredar di Indonesia.

Sementara itu. peraturan keamanan pangan dari instansi teknis lain (misal

Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian

Kesehatan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Kehutanan) tidak

dibahas secara lebih mendalam di dalam tulisan ini.

2.3. Perumusan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan dengan

Pendekatan Ilmiah

Perumusan dan pengembangan standar dan perturan keamanan pangan

seharusnya mengikuti suatu prosedur yang berbasis ilmiah. Perumusan dan

pengembangan standar dan peraturan keamanan pangan dapat dilakukan melalui

pendekatan analisis risiko (risk analysis). Analisis risiko terdiri dari komponen

kajian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko (CAC, 2007). Adapun

keterkaitan antar komponen tersebut di dalam pendekatan analisis risiko dapat

dilihat pada Gambar 2.

Kerangka kerja analisis risiko memberikan sebuah proses secara sistematis

dan transparan untuk mengumpulkan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi

yang berkaitan dengan aspek ilmiah dan non-ilmiah mengenai bahaya kimia,

9

biologi, dan fisik yang kemungkinan terdapat di dalam pangan agar dapat memilih

pilihan terbaik untuk mengatur berdasarkan risiko di dalam berbagai alternatif

yang teridentifikasi (FAO/WHO, 2005).

Gambar 2. Keterkaitan Komponen dalam Analisis Risiko (FAO/WHO, 2005)

2.4. Potret Standardisasi Keamanan Pangan di Indonesia

2.4.1.Sistem Standardisasi Nasional Indonesia

Sistem standardisasi di Indonesia telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah

(PP) Nomor 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Badan Standardisasi

Nasional (BSN) adalah lembaga pemerintah yang berwenang dalam

mengkoordinasikan sistem standardisasi nasional. Berbagai lembaga terlibat di

dalam proses perumusan dan pengembangan standar. Selain BSN, lembaga yang

terlibat dalam pengembangan standardisasi nasional di antaranya instansi teknis,

pelaku usaha, masyarakat, lembaga perlindungan konsumen, dan pemerintah

daerah. Di dalam menjalankan tugasnya, BSN berkoordinasi dengan Komite

Nasional Standardisasi untuk Satuan ukuran (KSNSU) dan Komite Akreditasi

Nasional (KAN). Secara lengkap lembaga yang terlibat dan fungsinya dalam

pengembangan sistem standardisasi nasional di Indonesia dapat dilihat pada

Gambar 3.

10

Gambar 3. Sistem Standardisasi Nasional Berdasarkan PP No. 102 Tahun 2000

11

Instansi teknis adalah Kantor Menteri Negara, Kementerian atau Lembaga

Pemerintah Non Kementerian yang salah satu kegiatannya melakukan kegiatan

standardisasi. Instansi teknis yang dimaksud misalnya Badan Pengawas Obat dan

Makanan (BPOM) RI, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian,

Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian

Kehutanan.

2.4.2. Dasar Hukum dan Lembaga Otoritas Pembuat Kebijakan

Pengembangan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan di

Indonesia

A. Dasar Hukum Kebijakan Pengembangan Standar dan Peraturan

Keamanan Pangan di Indonesia

Di Indonesia ada beberapa lembaga pemerintah yang berwenang menyusun

dan menetapkan kebijakan pengembangan standar keamanan pangan, di antaranya

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI dan Badan Standardisasi

Nasional (BSN). Selain itu, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian,

Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian

Kehutanan, dan Pemerintah Daerah juga berperan dalam pengembangan standar

dan peraturan keamanan pangan di Indonesia. Hal ini didasarkan pada sistem

keamanan pangan di Indonesia yang menganut sistem keamanan pangan terpadu.

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan induk dan dasar hukum di

Indonesia. Pengaturan pangan dan keamanan pangan merupakan amanah dari

UUD 1945 terutama yang tersirat dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33. Pada

peraturan di bawahnya telah ditetapkan undang-undang (UU) yang mewarnai

sistem pengaturan keamanan pangan dan standardisasi di Indonesia, seperti UU

No. 7 tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan WTO (World Trade

Organization), UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, dan UU No. 8 tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang tersebut melahirkan Peraturan

Pemerintah (PP) yang terkait, misalnya PP No. 28 tahun 2004 tentang Mutu,

12

Keamanan dan Gizi Pangan, PP No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan

Pangan, dan PP No. 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional.

Di dalam PP No. 28/2004 dan PP No. 102/2000 dijelaskan bahwa keamanan

pangan dan standardisasi nasional merupakan tanggung jawab dan tugas berbagai

lembaga pemerintah. Kewenangan berbagai lembaga pemerintah yang berperan

dalam pengembangan standar dan pengaturan keamanan pangan di Indonesia

berdasarkan kedua PP tersebut (PP No. 28/2004 dan PP No. 102/2000) dapat

dilihat pada Tabel 1.

B. Beberapa Lembaga Pemerintah yang Terlibat dalam Perumusan dan

Pengembangan Standar Keamanan Pangan di Indonesia

Pada bagian ini, secara khusus dibahas mengenai beberapa lembaga

pemerintah yang terkait dengan perumusan dan pengembangan standar keamanan

pangan di Indonesia. Lembaga pemerintah yang sangat berpengaruh dalam

perumusan dan pengembangan standar dan peraturan tersebut adalah Badan

Standardisasi Nasional (BSN) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

RI. Meskipun berbagai lembaga pemerintah berperan dalam kebijakan

pengembangan standar dan peraturan keamanan pangan seperti telah dijelaskan

pada Tabel 1, tetapi pada bagian ini akan dibahas mengenai 2 lembaga pemerintah

yang paling dominan yaitu BSN dan BPOM sebagai perwakilan lembaga

pemerintah lainnya.

Di dalam era otonomi daerah sekarang ini, sekiranya perlu juga dikaji

mengenai peran dari pemerintah daerah (Pemda) dalam kebijakan pengembangan

standar dan peraturan keamanan pangan di Indonesia. Untuk itu, peran dari

Pemda akan dikaji sesuai dengan dasar hukum yang berlaku saat ini. Hal ini

dimaksudkan agar rekomendasi dari kajian ini dapat diaplikasikan oleh semua

lembaga terkait, termasuk Pemda.

13

Tabel 1. Dasar Hukum Otoritas Pembuat Kebijakan Pengembangan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan di Indonesia

No Nomor Pasal

Tugas/Uraian Pasal Lembaga Pemerintah yang Berwenang

BSNInstansi Teknis

PEMDABPOM Kemenkes Kementan KKP Kemenperin Kemenhut

PP No. 28/2004 tentang Mutu, Keamanan dan Gizi Pangan1. 21 Berwenang mewajibkan suatu

standar dengan mempertimbangakan perjanjian TBT/SPS WTO

√ √ √ √ √ √

2. 29 Berwenang menetapkan standar mutu pangan yang dinyatakan sebagai SNI

3. 30 Berkoordinasi dengan BSN dalam menetapkan standar wajib

√ √ √ √

4. 31 Dapat menetapkan ketentuan mutu pangan di luar SNI untuk produk pangan berisikokeamanan tinggi

√ √ √

5. 32 Melakukan sertifikasi SNI yang diwajibkan atau persyaratan ketentuan mutu

√ √ √

6. 41 Berkoordinasi dengan BSN untuk mengupayakan saling pengakuan pelaksanaan penilaian kesesuaian dalam memenuhi persyaratan negara tujuan ekspor

√ √ √

14

No Nomor Pasal

Tugas/Uraian Pasal Lembaga Pemerintah yang Berwenang

BSNInstansi Teknis

PEMDABPOM Kemenkes Kementan KKP Kemenperin Kemenhut

7. 42-45 Pengawasan dan pembinaan mutu, keamanan, dan gizi pangan

√ √

PP No. 102/2004 tentang Standardisasi Nasional1. 4 Penyelenggara pengembangan

dan pembinaan di bidang standardisasi

2. 5 Menyusun dan menetapkan Sistem Standardisasi Nasional dan pedoman di bidang standardisasi nasional

√ √

3. 12 Pemberlakuan SNI secara wajib √4. 22-23 Pembinaan dan Pengawasan

terhadap penerapan SNI secara wajib

√ √

Keterangan:BSN : Badan Standardisasi NasionalBPOM : Badan Pengawas Obat dan MakananKemenkes : Kementerian KesehatanKementan : Kementerian PertanianKKP : Kementerian Kelautan dan PerikananKemenperin : Kementerian PerindustrianKemenhut : Kementerian KehutananPEMDA : Pemerintah Daerah

15

1. Tentang Badan Standardisasi Nasional

Sejalan dengan perkembangan kemampuan nasional di bidang standardisasi dan

dalam mengantisipasi era globalisasi perdagangan dunia, ASEAN Free Trade Area

- AFTA (2003) dan APEC – Asia Pasific Economic Cooperation (2010/2020),

kegiatan standardisasi yang meliputi standar dan penilaian kesesuaian (conformity

assessment) secara terpadu perlu dikembangkan secara berkelanjutan khususnya

dalam memantapkan dan meningkatkan daya saing produk nasional,

memperlancar arus perdagangan dan melindungi kepentingan umum. Untuk

membina, mengembangkan serta mengkoordinasikan kegiatan di bidang

standardisasi secara nasional menjadi tanggung jawab Badan Standardisasi

Nasional (BSN, 2011c).

Badan Standardisasi Nasional dibentuk dengan Keputusan Presiden No. 13

Tahun 1997 yang disempurnakan dengan Keputusan Presiden No. 166 Tahun

2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan

Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa

kali diubah dan yang terakhir dengan Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001,

merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen dengan tugas pokok

mengembangkan dan membina kegiatan standardisasi di Indonesia. Badan ini

menggantikan fungsi dari Dewan Standardisasi Nasional (DSN). Dalam

melaksanakan tugasnya Badan Standardisasi Nasional berpedoman pada

Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional.

Pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Standardisasi Nasional di bidang akreditasi

dilakukan oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). KAN mempunyai tugas

menetapkan akreditasi dan memberikan pertimbangan serta saran kepada BSN

dalam menetapkan sistem akreditasi dan sertifikasi. Pelaksanaan tugas dan fungsi

BSN di bidang Standar Nasional untuk Satuan Ukuran dilakukan oleh Komite

Standar Nasional untuk Satuan Ukuran (KSNSU). KSNSU mempunyai tugas

memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN mengenai standar nasional

untuk satuan ukuran.

Sesuai dengan tujuan utama standardisasi adalah melindungi produsen,

konsumen, tenaga kerja dan masyarakat dari aspek keamanan, keselamatan,

16

kesehatan serta pelestarian fungsi lingkungan, pengaturan standardisasi secara

nasional ini dilakukan dalam rangka membangun sistem nasional yang mampu

mendorong dan meningkatkan, menjamin mutu barang dan/atau jasa serta mampu

memfasilitasi keberterimaan produk nasional dalam transaksi pasar global. Dari

sistem dan kondisi tersebut diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk

barang dan/atau jasa Indonesia di pasar global.

Visi Badan Standardisasi Nasional tahun 2010–2014 adalah menjadi

lembaga terpercaya dalam mengembangkan Standar Nasional Indonesia untuk

meningkatkan daya saing perekonomian nasional sesuai dengan perkembangan

iptek (BSN, 2011c). Sejalan dengan visi tersebut, maka misi BSN adalah

memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan ekonomi melalui :

Mengembangkan Standar Nasional Indonesia (SNI)

Mengembangkan sistem penerapan standar dan penilaian kesesuaian

Meningkatkan persepsi masyarakat dan partisipasi pemangku kepentingan dalam

bidang standardisasi dan penilaian kesesuaian

Mengembangkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan standardisasi

dan penilaian kesesuaian

Fungsi Badan Standardisasi Nasional adalah (BSN, 2011c):

a. pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang standardisasi

nasional;

b. koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BSN;

c. fasilitasi dan pembinaan terhadap kegiatan lembaga pemerintah di bidang

standardisasi nasional;

d. penyelenggaraan kegiatan kerjasama dalam negeri dan internasional di bidang

standardisasi;

e. penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang

perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tatalaksana, kepegawaian,

keuangan, kearsipan, hukum, persandian, perlengkapan dan rumah tangga.

Dalam menyelenggarakan fungsi tersebut, Badan Standardisasi Nasional

mempunyai kewenangan :

a. penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya;

17

b. perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara

makro;

c. penetapan sistem informasi di bidangnya;

d. kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku yaitu :

1) perumusan dan pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang standardisasi

nasional;

2) perumusan dan penetapan kebijakan sistem akreditasi lembaga sertifikasi,

lembaga inspeksi dan laboratorium;

3) penetapan Standar Nasional Indonesia (SNI);

4) pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidangnya;

5) penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di bidangnya.

2. Tentang Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPOM RI

Sebelum mengkaji kebijakan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat

dan Makanan RI (Direktorat Standardisasi Produk Pangan) berupa peraturan atau

penetapan wajib standar, terlebih dahulu perlu diketahui mengenai profil lembaga

ini. Hal ini diperlukan agar dalam mengkaji kebijakan yang dikeluarkannya lebih

fokus dan terarah, sehingga dihasilkan suatu kajian yang efektif dan mudah

diaplikasikan pada lembaga tersebut.

Fungsi pengawasan keamanan pangan di Indonesia terutama dilakukan oleh

BPOM RI. Direktorat Standardisasi Produk Pangan, Deputi Bidang Pengawasan

Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya adalah bagian yang berwenang untuk

menyusun kebijakan berupa peraturan atau penetapan wajib standar untuk

mendukung pelaksanaan fungsi pengawasan BPOM RI tersebut.

A. Tugas Pokok dan Fungsi Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPOM RI

(BPOM, 2008)

Tugas Pokok Direktorat Standardisasi Produk Pangan, Badan Pengawas

Obat dan Makanan RI adalah, sebagai berikut:

menyiapkan perumusan kebijakan,

menyusun pedoman, standar, kriteria prosedur, dan

18

melaksanakan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang

pengaturan dan standardisasi produk pangan

Fungsi Direktorat Standardisasi Produk Pangan adalah:

1. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis; penyusunan pedoman, standar,

kriteria dan prosedur; pengendalian dan pemantauan; pemberian bimbingan

dan pembinaan, di bidang pengaturan dan standardisasi bahan baku dan bahan

tambahan pangan, pangan khusus dan pangan olahan.

2. Penyusunan rencana dan program standardisasi produk pangan

3. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan teknis di standardisasi

produk pangan

4. Evaluasi dan penyusunan laporan standardisasi produk pangan

5. Pelaksanaan tugas lain sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Deputi

Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya.

Output yang dihasilkan dari kegiatan Direktorat Standardisasi Produk

Pangan BPOM RI adalah berupa standar. Standar yang dimaksud di sini terdiri

atas Peraturan, Pedoman, Code of Practice, dan peran untuk mendukung posisi

delegasi RI pada sidang Codex.

B. Rencana Strategi BPOM RI (BPOM, 2008)

Visi BPOM RI adalah menjadi institusi pengawas obat dan makanan yang

inovatif, kredibel dan diakui secara internasional untuk melindungi masyarakat.

Adapun misi BPOM RI adalah:

1. Melakukan pengawasan pre-market dan post-market berstandar internasional

2. Menerapkan sistem manajemen mutu secara konsisten

3. Mengoptimalkan kemitraan dengan pemangku kepentingan di berbagai lini

4. Memberdayakan masyarakat agar mampu melindungi diri dari obat dan

makanan yang berisiko terhadap kesehatan

5. Membangun organisasi pembelajar (Learning organization)

Grand strategis BPOM RI dalam kurun waktu lima tahun (2010–2014)

adalah:

Memperkuat sistem regulatory pengawasan obat dan makanan

19

Memperkuat sistem regulatory pengawasan pangan

C. Sasaran (BPOM, 2008)

Sasaran dari Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPOM RI adalah:

Seluruh standar pangan yang berlaku diakui secara nasional dan internasional.

Seluruh pangan harus memenuhi standar tersebut.

Semua kode praktis, pedoman dan standar di-mandatori-kan (diberlakukan

wajib) dalam bentuk peraturan perundang–undangan.

D. Indikator Keberhasilan (BPOM, 2008)

Indikator keberhasilan program Direktorat Standardisasi Produk Pangan

BPOM RI adalah:

100% standar pangan yang berlaku diakui secara nasional dan internasional

100% pangan harus memenuhi standar tersebut

100% kode praktis, pedoman dan standar di-mandatori-kan (diberlakukan

wajib) dalam bentuk perundang–undangan

3. Tentang Peran Pemerintah Daerah dalam Standardisasi Keamanan

Pangan Nasional

Salah satu lembaga yang perlu diperhatikan peranannya dalam

pengembangan standar dan peraturan keamanan pangan adalah pemerintah daerah

(Pemda). Di dalam era otonomi daerah saat ini, partisipasi dan peran daerah

sangat diperlukan untuk mewujudkan keamanan pangan melalui pemberlakuan

peraturan-peraturan dan standar yang diwajibkan di bidang pangan. Pembagian

peran pemerintah pusat dan daerah dalam pengembangan standardisasi di bidang

pangan di Indonesia telah dijelaskan pada Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor

38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,

Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Bidang

Pertanian dan Ketahanan Pangan, Sub Bidang 5 Penunjang, sub sub bidang 7

Standardisasi dan Akreditasi, menjelaskan pembagian peran pemerintah pusat dan

pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dalam bidang standardisasi dan

akreditasi. Secara lengkap pembagian peran tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

20

Tabel 2. Pembagian Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Bidang Standardisasi dan Akreditasi (PP No.38, 2007)

Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Provinsi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota1. Perumusan kebijakan sektor pertanian

di bidang standardisasi. 1. Rekomendasi usulan kebijakan sektor

pertanian di bidang standardisasi sesuai pengalaman di daerah.

1. Rekomendasi usulan kebijakan sektor pertanian di bidang standardisasi sesuai pengalaman di daerah.

2. Penyusunan rencana dan penetapan program standardisasi sektor pertanian.

2. Rekomendasi aspek teknis, sosial dan ekonomi dalam penyusunan rencana dan program standardisasi sektor pertanian.

2. Rekomendasi aspek teknis, sosial dan ekonomi dalam penyusunan rencana dan program nasional di bidang standardisasidi daerah.

3. Koordinasi standardisasi nasional sektor pertanian.

3. Koordinasi standardisasi sektor pertanian di provinsi.

3. Koordinasi standardisasi sektor pertanian di kabupaten/kota.

4. Perumusan rancangan Standar Nasional Indonesia (SNI) sektor pertanian melalui konsensus untuk ditetapkan sebagai SNI.

4. Koordinasi pengusulan kebutuhan standar yang akan dirumuskan sesuai kebutuhan daerah.

4. Pengusulan kebutuhan standar yang akan dirumuskan.

5. Penetapan pemberlakuan SNI wajib. 5. Rekomendasi aspek teknis, sosial dan bisnis dalam rencana pemberlakuan wajib SNI serta memberikan usulan pemberlakuan wajib SNI.

5. Rekomendasi aspek teknis, sosial dan bisnis dalam rencana pemberlakuan wajib SNI serta mengusulkan usulan pemberlakuan wajib SNI.

6. Fasilitasi kelembagaan sektor pertanian yang akan mengajukan akreditasi.

6. Penerapan sistem manajemen mutu kelembagaan dalam rangka proses akreditasi di provinsi.

6. Penerapan sistem manajemen mutu kelembagaan dalam rangka proses akreditasi di kabupaten/kota.

7. Penilaian kesesuaian terhadap pemohon akreditasi di sektor pertanian.

7. --- 7. ---

8. Penetapan sistem dan pelaksanaan sertifikasi sektor pertanian.

8. Penerapan sistem sertifikasi yang mendukung standardisasi sektor pertanian di provinsi.

8. Penerapan sistem sertifikasi yang mendukung standardisasi sektor pertanian di kabupaten/kota.

21

Tabel 2. Pembagian Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Bidang Standardisasi dan Akreditasi (Lanjutan)

Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Provinsi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota9. Pembinaan dan pengawasan

pelaksanaan sistem sertifikasi sektor pertanian.

9. --- 9. ---

10. Pembinaan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi dalam lingkungan pertanian.

10.Dukungan pengembangan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi sektor pertanian di provinsi.

10. Pengembangan pembinaan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi sektor pertanian di kabupaten/kota.

11. Pembinaan dan pengawasan lembaga sertifikasi dan laboratorium penguji dalam mendukung penerapan standardisasi di sektor pertanian.

11.Kerjasama standardisasi dan penyampaian rekomendasi teknis dalam rangka penerapan standar dan peningkatan daya saing produk pertanian.

11. Kerjasama standardisasi dalam rangka penerapan standar dan peningkatan daya saing produk pertanian.

12. Pengembangan dokumentasi dan informasi standardisasi sektor pertanian.

12.Fasilitasi penyebaran dokumentasi dan informasi standardisasi sektor pertanian di provinsi.

12. Fasilitasi penyebaran dokumentasi dan informasi standardisasi sektor pertanian di kabupaten/kota.

13. Menyusun dan melaksanakan program pemasyarakatan standardisasi sektor pertanian.

13.Fasilitasi pelaksanaan program pemasyarakatan standardisasi di provinsi.

13. Fasilitasi pelaksanaan program pemasyarakatan standardisasi di kabupaten/kota.

14. Penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standardisasi sektor pertanian.

14.Fasilitasi penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standardisasi sektor pertanian sesuai kebutuhan di provinsi.

14. Fasilitasi penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standardisasi sektor pertanian sesuai kebutuhan di kabupaten/kota.

22

Peran pemerintah pusat dan daerah dalam pengembangan kebijakan

keamanan pangan di Indonesia juga dapat dilihat pada Lampiran PP No. 38 Tahun

2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan

Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Bidang Pertanian dan

Ketahanan Pangan, Sub Bidang 4. Ketahanan Pangan, sub sub bidang 2.

Keamanan Pangan menjelaskan pembagian peran pemerintah pusat dan

pemerintah daerah di bidang keamanan pangan. Secara lengkap pembagian peran

tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pembagian Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Bidang Keamanan Pangan (PP No.38, 2007)

Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Provinsi

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

1. Perumusan standar Batas Minimum Residu (BMR).

1. Pembinaan penerapan standar BMR wilayah provinsi.

1. Penerapan standar BMR wilayah kabupaten/kota.

2. Penyusunan modul pelatihan inspektur, fasilitator, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) keamanan pangan.

1. Pelatihan inspektur, fasilitator, PPNS keamanan pangan wilayah provinsi.

2. Pelatihan inspektur, fasilitator, PPNS keamanan pangan wilayah kabupaten/kota.

3. Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan nasional.

2. Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan provinsi.

3. Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan kabupaten/kota.

4. a. Monitoring otoritas kompeten provinsi.

b. —

3. a. Monitoring otoritas kompeten kabupaten/kota.

b. Pelaksanaan sertifikasi dan pelabelan prima wilayah provinsi.

4.a. —

b. Pelaksanaan sertifikasi dan pelabelan prima wilayah kabupaten/kota.

23

2.4.3. Perbedaan Kelembagaan dan Sifat Standar atau Peraturan yang

Ditetapkan BSN, BPOM, dan CAC

Lembaga pemerintah di tingkat pusat yang bertanggung jawab untuk

menyusun dan mengatur standar keamanan pangan paling tidak ada Badan

Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI dan Badan Standardisasi Nasional

(BSN). Meskipun berbagai lembaga pemerintah berperan dalam kebijakan

pengembangan standar dan peraturan keamanan pangan seperti telah dijelaskan

pada bagian sebelumnya (Bagian 2.4.2.B pada Tabel 1), tetapi pada bagian ini

akan dilihat mengenai 2 lembaga pemerintah yang paling dominan yaitu BSN dan

BPOM sebagai perwakilan lembaga pemerintah lainnya. BPOM RI bertanggung

jawab dalam pengawasan pangan yang beredar di Indonesia, sedangkan BSN

bertanggung jawab dalam mengatur sistem standardisasi nasional. Kedua

lembaga pemerintah tersebut sangat berperan dalam sistem standardisasi

keamanan pangan di Indonesia. Untuk membandingkan peran, bentuk

kelembagaan, dan sifat standar yang dihasilkan atau diberlakukan wajib dalam

bentuk peraturan pada Tabel 4 diperlihatkan perbedaan kedua lembaga pemerintah

tersebut. Sebagai pembanding, disandingkan juga kelembagaan dan sifat standar

yang ditetapkan Codex Alimentarius Committee (CAC). CAC merupakan

lembaga internasional yang menghasilkan standar sebagai acuan dalam

perselisihan perdagangan antar negara anggota WTO (World Trade

Organization).

24

Tabel 4. Perbedaan Kelembagaan dan Sifat Standar atau Peraturan yang Ditetapkan BPOM, BSN, dan CAC (BSN, 2011c; BPOM, 2011b;CAC, 2006)

No Karakter BSN BPOM CAC1 Mandat/Pendirian Badan Standardisasi Nasional

dibentuk dengan Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1997 yang disempurnakan dengan Keputusan Presiden No. 166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah dan yang terakhir dengan Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001

Sebelumnya bernama Dewan Standardisasi Nasional

Badan Pengawas Obat dan Makanan dibentuk dengan No. 178 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tugas Lembaga Pemerintah Non Departemen

Sebelumnya adalah Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan di bawah Departemen Kesehatan RI

Didirikan berdasarkan sidang ke-11 Konferensi FAO tahun 1961 dan sidang ke-16 Konferensi WHO tahun 1963

2 Tujuan BSN merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen dengan tugas pokok mengembangkan dan membina kegiatan standardisasi di Indonesia

Tujuan utama BPOM RI: melakukan pengawasan obat dan makanan yang beredar di Indonesia, salah satunya dengan mengeluarkan kebijakan berupa pemberlakuan wajib standar pangan

Mempersiapkan standar pangan dan mempublikasikannya

25

Tabel 4. Perbedaan Kelembagaan dan Sifat Standar atau Peraturan yang Ditetapkan BPOM, BSN, dan CAC (Lanjutan)No Karakter BSN BPOM CAC3 Struktur Komite BSN memiliki 3 Deputi: Bidang

Penelitian dan Kerjasama Standardisasi, Bidang Penerapan Standar dan Akreditasi, dan Bidang Informasi dan Pemasyarakatan Standardisasi

Deputi Bidang Penelitian dan Kerjasama Standardisasimemiliki 3 Pusat, yaitu: Pusat Penelitian dan Pengembangan Standardisasi, Pusat Perumusan Standar, dan Pusat Kerjasama Standardisasi

BSN dibantu oleh: Komite Akreditasi Nasional

(KAN): menetapkan akreditasi dan memberikan pertimbangan serta saran kepada BSN dalam menetapkan sistem akreditasi dan sertifikasi

Komite Standardisasi Nasional Satuan Ukuran (KSNSU): memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN mengenai standar nasional untuk satuan ukuran

BPOM memiliki 3 Deputi: Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA, Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen, Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya

Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya memiliki 5 Direktorat, yaitu: Dit. Penilaian Keamanan Pangan, Dit. Standardisasi Produk Pangan, Dit. Inspeksi dan Sertifikasi Pangan, Dit. Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, dan Dit. Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya

Pada bulan Agustus 2006, CAC memiliki 174 negara anggota dan 1 anggota organisasi (UE)

Terdiri atas: Komisi Komite Eksekutif Sekretariat Badan subsidiary: Komite

Subjek Umum (General Subject Committees), Komite Komoditi (Commodity Committees), Komite Ad hoc Satuan Tugas Antar Pemerintah (Ad hoc Intergovernmental Task Forces), dan Komite Koordinasi (Coordinating Committees)

26

Tabel 4. Perbedaan Kelembagaan dan Sifat Standar atau Peraturan yang Ditetapkan BPOM, BSN, dan CAC (Lanjutan)

No Karakter BSN BPOM CAC4 Sekretariat Perumusan standar dilakukan oleh

Pusat Perumusan Standar, Deputi Bidang Penelitian dan Kerjasama Standardisasi BSN

Perumusan standar pangan di bawah tanggung jawab direktorat Standardisasi Produk Pangan, Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM

Komisi diganti setiap 2 tahun sekali, dan bertempat di kantor pusat FAO di Roma dan Markas WHO di Jenewa

5 Pengaturan Prioritas

Dilakukan terutama oleh Pusat Perumusan Standar

Melalui target yang ditetapkan Direktorat Standardisasi Produk Pangan

Dibuat oleh komite eksekutif

6 Lembaga superordinate

Presiden RI dibawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi

Presiden RI dibawah koordinasi Kementerian Kesehatan

FAO/WHO

7 Luaran Standar Nasional Indonesia (SNI) Peraturan kepala BPOM (misal batas cemaran kimia dan mikroba)

PedomanKode praktis

Codex standardCode of practicesGuidelines

8 Jumlah peraturan atau standar yang telah dikeluarkan

7010 SNI(1970 hingga 1 Mei 2011)

29 Peraturan/Keputusan Ka. BPOM terkait pengawasan keamanan pangan yang diberlakukan untuk keluar organisasi BPOM (dari 2001 hingga Januari 2010) (lihat Lampiran 8)

5342 Codex standards, guidelinesdan codes of practice(1963 hingga Juni 2006) (CAC, 2006)

9 Wilayah pemberlakuan standar/peraturan

Nasional Nasional Internasional

10 Lingkup standar Mutu dan keamanan pangan Keamanan pangan Mutu dan keamanan pangan11 Sifat

standar/peraturanSukarela Wajib Sukarela

27

Tabel 4. Perbedaan Kelembagaan dan Sifat Standar atau Peraturan yang Ditetapkan BPOM, BSN, dan CAC (Lanjutan)

No Karakter BSN BPOM CAC12 Dasar perumusan

standar/peraturanMeningkatkan mutu dan melindungi kesehatan masyarakat (kesehatan, keamanan, keselamatan, lingkungan, dan pertumbuhan ekonomi nasional)

Melindungi kesehatan masyarakat Melindungi kesehatan masyarakat dan menjamin perdagangan dunia yang fair

13 Manfaat bagi pengguna standar/peraturan

o Jaminan mutu produkoMembantu penyelesaian dalam

masalah yang terkait TBT

Mendapatkan izin edar/mendaftar produk

Penyelesaian perselisihan perdagangan antar negara (WTO) yang terkait dengan Technical Barrier Trade (TBT) dan Sanitary and Phytosanitary (SPS)

14 Tim penyusun Panitia teknis: Pemerintah (instansi teknis), industri, konsumen, akademisi; dan MASTAN

BPOM, industri, konsumen, dan akademisi

Codex committee: Pemerintah negara anggota dan NGO

15 Tim pengkaji risiko

Gugus kerja/Panitia teknis?(tidak eksplisit dijelaskan)

Tim mitra bestari?(tidak eksplisit dijelaskan)

Joint FAO & WHO (misal JECFA - Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives, JEMRA - Joint FAO/WHO Expert Meetings on Microbiological Risk Assessment, -JMPR - Joint FAO/WHO Meetings on Pesticide Residues)

16 Target penyelesaian

19 bulan (berdasarkan PSN 01-2007)

Tidak eksplisit dijelaskan ≤ 5 tahun

17 Waktu kaji ulang 5 tahun Tidak eksplisit dijelaskan Maksimal 6 tahun(CAC, 2010)