Bab ii tinjauan pustaka

6
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suren (Toona Sinensis Roemer) Suren adalah salah satu jenis pohon dari kelompok Dicotyledone yang termasuk ke dalam divisi Angiospermae, ordo Archichlamydae dan famili Meliaceae. Suren memiliki nama yang berbeda di setiap daerah, diantaranya di daerah Jawa Barat disebut Kibeureum atau Suren beureum, di Kerinci disebut Ingul, di Madura disebut Soren, di Sumba disebut Horeni atau Linu dan di Halmahera orang mengenalnya dengan nama Huru (Heyne 1987). Suren merupakan jenis pohon yang tumbuh pada dataran tinggi dan umumnya terdapat pada hutan pegunungan primer yang terkena cahaya langsung, lereng bukit yang curam, dan di dekat sungai. Pohon ini tumbuh secara alami di India, Nepal, Cina, Myanmar, Thailand, Indonesia (pulau Jawa) dan Malaysia (Edmond & Staniforth 1998). Suren memiliki pohon yang berukuran sedang sampai besar dengan tinggi total 40-60 m dengan tinggi bebas cabang hingga 25 m. Diameter batang mencapai 100-300 cm (Jayusman et al. 2007). Bagian kayu teras berwarna merah kecoklatan sedangkan gubal berwarna putih kemerahan dan mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras (Mandang & Pandit 1997). Suren memiliki bau sangat tajam dan tidak sedap yang mirip dengan bau bawang putih, merica atau bawang yang membusuk. Bau tersebut berasal dari bagian vegetatif dan bunganya dan semakin kuat saat kulitnya disayat. Spesies Toona yang lain memiliki bau yang lebih manis (Edmond & Staniforth 1998). Saat ini berbagai negara telah merintis pengembangan jenis Suren di antaranya Malaysia dan Vietnam yang telah mempromosikan jenis suren sebagai salah satu jenis yang akan dikembangkan pada hutan tanaman. Penanaman secara luas juga telah dilakukan di negara Fiji, Tonga, dan Samoa Barat serta penanaman skala kecil telah dilakukan di Argentina dan Paraguay (Collin and Walker 2006). Darwiati (2009) menyatakan bahwa ekstrak metanol, n-heksan, dan etil asetat dari bagian daun, ranting, kulit batang, dan biji Suren mengandung senyawa aktif yang dapat mengendalikan hama daun (Eurema spp. dan Spodoptera litura F.).

Transcript of Bab ii tinjauan pustaka

Page 1: Bab ii tinjauan pustaka

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Suren (Toona Sinensis Roemer)

Suren adalah salah satu jenis pohon dari kelompok Dicotyledone yang

termasuk ke dalam divisi Angiospermae, ordo Archichlamydae dan famili

Meliaceae. Suren memiliki nama yang berbeda di setiap daerah, diantaranya di

daerah Jawa Barat disebut Kibeureum atau Suren beureum, di Kerinci disebut

Ingul, di Madura disebut Soren, di Sumba disebut Horeni atau Linu dan di

Halmahera orang mengenalnya dengan nama Huru (Heyne 1987). Suren

merupakan jenis pohon yang tumbuh pada dataran tinggi dan umumnya terdapat

pada hutan pegunungan primer yang terkena cahaya langsung, lereng bukit yang

curam, dan di dekat sungai. Pohon ini tumbuh secara alami di India, Nepal, Cina,

Myanmar, Thailand, Indonesia (pulau Jawa) dan Malaysia (Edmond & Staniforth

1998).

Suren memiliki pohon yang berukuran sedang sampai besar dengan tinggi

total 40-60 m dengan tinggi bebas cabang hingga 25 m. Diameter batang

mencapai 100-300 cm (Jayusman et al. 2007). Bagian kayu teras berwarna merah

kecoklatan sedangkan gubal berwarna putih kemerahan dan mempunyai batas

yang jelas dengan kayu teras (Mandang & Pandit 1997). Suren memiliki bau

sangat tajam dan tidak sedap yang mirip dengan bau bawang putih, merica atau

bawang yang membusuk. Bau tersebut berasal dari bagian vegetatif dan bunganya

dan semakin kuat saat kulitnya disayat. Spesies Toona yang lain memiliki bau

yang lebih manis (Edmond & Staniforth 1998). Saat ini berbagai negara telah

merintis pengembangan jenis Suren di antaranya Malaysia dan Vietnam

yang telah mempromosikan jenis suren sebagai salah satu jenis yang akan

dikembangkan pada hutan tanaman. Penanaman secara luas juga telah

dilakukan di negara Fiji, Tonga, dan Samoa Barat serta penanaman skala

kecil telah dilakukan di Argentina dan Paraguay (Collin and Walker 2006).

Darwiati (2009) menyatakan bahwa ekstrak metanol, n-heksan, dan etil asetat dari

bagian daun, ranting, kulit batang, dan biji Suren mengandung senyawa aktif yang

dapat mengendalikan hama daun (Eurema spp. dan Spodoptera litura F.).

Page 2: Bab ii tinjauan pustaka

5

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi merupakan proses pemisahan dua zat atau lebih dengan

menggunakan pelarut yang tidak saling campur. Berdasarkan fase yang terlibat,

terdapat dua jenis ekstraksi, yaitu ekstraksi cair-cair dan ekstraksi padat-cair.

Pemindahan komponen dari padatan ke pelarut pada ekstraksi padat-cair melalui

tiga tahapan, yaitu difusi pelarut ke pori-pori padatan atau ke dinding sel, di dalam

dinding sel terjadi pelarutan padatan oleh pelarut, dan tahapan terakhir adalah

pemindahan larutan dari pori-pori menjadi larutan ekstrak. Ekstraksi padat-cair

dipengaruhi oleh waktu ekstraksi, suhu yang digunakan, pengadukan, dan

banyaknya pelarut yang digunakan (Harborne 1987). Tingkat ekstraksi bahan

ditentukan oleh ukuran partikel bahan tersebut. Bahan yang diekstrak sebaiknya

berukuran seragam untuk mempermudah kontak antara bahan dan pelarut

sehingga ekstraksi berlangsung dengan baik (Sudarmadji & Suhardi 1996).

Terdapat dua macam ekstraksi padat-cair, yaitu dengan cara sokhlet dan

perkolasi dengan atau tanpa pemanasan (Sabel & Warren 1973 dalam Muchsony

1997). Menurut Brown (1950) dalam Muchsony (1997), metode lain yang lebih

sederhana dalam mengekstrak padatan adalah dengan mencampurkan seluruh

bahan dengan pelarut, lalu memisahkan larutan dengan padatan tak terlarut.

Menurut Harborne (1987), metode maserasi digunakan untuk mengekstrak

jaringan tanaman yang belum diketahui kandungan senyawanya yang

kemungkinan bersifat tidak tahan panas sehingga kerusakan komponen tersebut

dapat dihindari. Kekurangan dari metode ini adalah waktu yang relatif lama dan

membutuhkan banyak pelarut. Ekstraksi dengan metode maserasi menggunakan

prinsip kelarutan. Prinsip kelarutan adalah like dissolve like, yaitu (1) pelarut polar

akan melarutkan senyawa polar, demikian juga sebaliknya pelarut nonpolar akan

melarutkan senyawa nonpolar, (2) pelarut organik akan melarutkan senyawa

organik. Ekstraksi senyawa aktif dari suatu jaringan tanaman dengan berbagai

jenis pelarut pada tingkat kepolaran yang berbeda bertujuan untuk memperoleh

hasil yang optimum, baik jumlah ekstrak maupun senyawa aktif yang terkandung

dalam contoh uji.

Prosedur klasik untuk memperoleh kandungan senyawa organik dari

jaringan tumbuhan kering adalah dengan proses ekstraksi berkesinambungan atau

Page 3: Bab ii tinjauan pustaka

6

bertingkat dengan menggunakan beberapa pelarut yang berbeda tingkat

kepolarannya (Harborne 1987). Ekstraksi berkesinambungan dilakukan secara

berturut-turut dimulai dengan pelarut nonpolar (misalnya n-heksan atau

kloroform) dilanjutkan dengan pelarut semipolar (etil asetat atau dietil eter)

kemudian dilanjutkan dengan pelarut polar (metanol atau etanol). Pada proses

ekstraksi akan diperoleh ekstrak awal (crude extract) yang mengandung berturut-

turut senyawa nonpolar, semipolar, dan polar (Hostettmann et al. 1997). Hasil

ekstrak yang diperoleh tergantung pada beberapa faktor, yaitu kondisi alamiah

senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel contoh uji,

kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, dan perbandingan jumlah

pelarut terhadap jumlah contoh uji (Shahidi & Naczk 1991).

Polaritas sering diartikan sebagai adanya pemisahan kutub bermuatan

positif dan negatif dari suatu molekul sebagai akibat terbentuknya konfigurasi

tertentu dari atom-atom penyusunnya. Dengan demikian, molekul tersebut dapat

tertarik oleh molekul yang lain yang juga mempunyai polaritas yang kurang lebih

sama. Besarnya polaritas dari suatu pelarut proporsional dengan besarnya

konstanta dielektriknya (Adnan 1997). Menurut Stahl (1985), konstanta dielektrik

(ε) merupakan salah satu ukuran kepolaran pelarut yang mengukur kemampuan

pelarut untuk menyaring daya tarik elektrostatik antara isi yang berbeda.

2.3 Kromatografi

Kromatografi merupakan suatu metode yang digunakan untuk

memisahkan campuran komponen berdasarkan distribusi komponen tersebut

diantara dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak (Stoenoiu et al. 2006). Fase diam

berguna untuk mengikat komponen zat, sedangkan fase bergerak berguna untuk

mengangkut komponen zat lain yang tidak terikat. Oleh karena adanya sistem

pengangkutan dan sistem pengikatan ini, maka suatu komponen zat dapat

dipisahkan dari komponen lainnya (Suhartono 1989). Menurut Harborne (1987),

terdapat empat macam teknik kromatografi, yaitu kromatografi kertas,

kromatografi lapis tipis, kromatografi gas cair, dan kromatografi cair kinerja

tinggi. Pemisahan dan pemurnian kandungan kimia tumbuhan dapat dilakukan

Page 4: Bab ii tinjauan pustaka

7

dengan menggunakan salah satu dari keempat metode tersebut atau gabungannya.

Pemilihan metode tergantung pada sifat-sifat senyawa yang digunakan.

Vacuum Liquid Chromatography (VLC) atau kromatografi vakum cair

merupakan pengembangan dari kromatografi kolom konvensional. Pada VLC,

elusi diaktivasi dengan menggunakan vakum. Elusi dilakukan dengan

menggunakan fase gerak dengan gradien polaritas dari polaritas paling rendah

sampai polaritas yang paling tinggi. Pemisahan senyawa pada VLC didasarkan

pada kelarutan senyawa yang dipisahkan dalam fase gerak yang digunakan. Fase

gerak dengan gradien polaritas diharapkan dapat memisahkan senyawa-senyawa

yang memiliki polaritas berbeda (Padmawinata 1995).

Pada kromatografi lapis tipis (KLT), fase diam berupa lapisan

pelarut yang terjerap pada lapisan tipis alumina, silika gel, atau balian serbuk

lainnya, dan fase geraknya berupa cairan. Prinsip KLT adalah sampel

diteteskan pada lapisan tipis kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang berisi

fase gerak sehingga sampel tersebut terpisah menjadi komponen-komponennya

dengan laju tertentu yang dinyatakan dengan faktor retensi (Rf), yaitu

perbandingan antara jarak yang ditempuh komponen terhadap jarak yang

ditempuh fase gerak. Komponen yang mempunyai afinitas lebih besar dari fase

gerak atau afinitasnya lebih kecil dari fase diam akan bergerak lebih cepat dari

pada komponen yang mempunyai sifat sebaliknya (Gritter et al. 1991). Pada KLT,

sistem pengembangan yang digunakan berdasarkan prinsip like dissolves like,

yaitu memisahkan komponen bersifat polar menggunakan sistem pelarut yang

bersifat polar juga ataupun sebaliknya. Deteksi hasil kromatogram dilakukan di

bawah sinar UV pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm, serta dapat

dilakukan juga dengan pereaksi semprot (Santosa & Hertiani 2005).

2.4 Brine Shrimp Lethality Test

Menurut Meyer et al. (1982), uji bioaktivitas menggunakan larva udang

Artemia salina Leach dikenal dengan istilah Brine Shrimp Lethality Test (BSLT).

Uji mortalitas larva udang merupakan salah satu metode uji bioaktivitas pada

penelitian senyawa bahan alam. Penggunaan larva udang untuk kepentingan studi

bioaktivitas sudah dilakukan sejak tahun 1956 dan sejak saat itu telah banyak

Page 5: Bab ii tinjauan pustaka

8

dilakukan pada studi lingkungan, toksisitas dan penapisan senyawa bioaktif dari

jaringan tanaman. Uji ini merupakan uji pendahuluan untuk mengamati aktivitas

farmakologi suatu senyawa. Adapun penerapan untuk sistem bioaktivitas dengan

menggunakan larva udang tersebut, antara lain untuk mengetahui residu pestisida,

anastetik lokal, senyawa turunan morpin, mikotoksin, karsinogenitas suatu

senyawa dan polutan untuk air laut serta sebagai alternatif metode yang murah

untuk uji sitotoksisitas (Hamburger & Hostettmann 1991). Senyawa aktif yang

memiliki daya bioaktivitas tinggi diketahui berdasarkan nilai Lethal

Concentration 50% (LC50), yaitu suatu nilai yang menunjukkan konsentrasi zat

toksik yang dapat menyebabkan kematian hewan uji sampai 50%. Data mortalitas

yang diperoleh kemudian diolah dengan analisis probit yang dirumuskan oleh

Finney (1971) untuk menentukan nilai LC50 pada derajat kepercayaan 95%.

Senyawa kimia memiliki potensi bioaktif jika mempunyai nilai LC50 kurang dari

1.000 µg/ml (Meyer et al. 1982).

Uji BSLT dengan menggunakan larva udang A. salina dilakukan dengan

menetaskan telur-telur tersebut dalam air laut yang dibantu dengan aerasi. Telur A.

salina akan menetas sempurna menjadi larva dalam waktu 24 jam. Larva A.

Salina yang baik digunakan untuk uji BSLT adalah yang berumur 48 jam sebab

jika lebih dari 48 jam dikhawatirkan kematian A. salina bukan disebabkan

toksisitas ekstrak melainkan oleh terbatasnya persediaan makanan (Meyer et al.

1982). Kista ini berbentuk bulatan-bulatan kecil berwarna kelabu kecoklatan

dengan diameter berkisar 200-300 μm. Kista berkualitas baik, apabila diinkubasi

dalam air berkadar garam 5-70 permil akan menetas sekitar 18-24 jam. A. salina

yang baru menetas disebut nauplius, berwarna orange, berbentuk bulat lonjong

dengan panjang sekitar 400 mikron, lebar 170 mikron dan berat 0,002 mg.

Nauplius berangsur-angsur mengalami perkembangan dan perubahan morfologis

dengan 15 kali pergantian kulit hingga menjadi dewasa. Pada setiap pergantian

kulit disebut instar (Mudjiman 1995).

Keunggulan penggunaan larva udang A. salina untuk uji BSLT ini ialah

sifatnya yang peka terhadap bahan uji, waktu siklus hidup yang lebih cepat,

mudah dibiakkan dan harganya yang murah. Sifat peka A. salina kemungkinan

disebabkan oleh keadaan membran kulitnya yang sangat tipis sehingga

Page 6: Bab ii tinjauan pustaka

9

memungkinkan terjadinya difusi zat dari lingkungan yang mempengaruhi

metabolisme dalam tubuhnya. A. salina ditemukan hampir pada seluruh

permukaan perairan di bumi yang memiliki kisaran salinitas 10-20 g/l, hal inilah

yang menyebabkannya mudah dibiakkan. Larva yang baru saja menetas berbentuk

bulat lonjong dan berwarna kemerah-merahan dengan panjang 400 μm dengan

berat 15 μg. Anggota badannya terdiri dari sepasang sungut kecil (anteluena atau

antena I) dan sepasang sungut besar (antena atau antena II). Di bagian depan di

antara kedua sungut kecil tersebut terdapat bintik merah yang berfungsi sebagai

mata (oselus). Di belakang sungut besarnya terdapat sepasang mandibula (rahang)

yang kecil, sedangkan di bagian perut (ventral) sebelah depan terdapat labrum

(Mudjiman 1983).