BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Penelitian...

39
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Penelitian Sebelumnya Untuk dapat memperoleh jawaban tentang perspektif sementara dari penelitian ini, diperlukan adanya pengkajian terhadap beberapa penelitian terdahulu yang dianggap relevan pada kajian penelitian ini, diantaranya sebagai berikut. Penelitian oleh Wahyuni (2008) dan Garry (2011) yang membahas variabel sikap konsumen sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi konsumen secara positif dalam pengambilan keputusan pembelian atas suatu produk. Dalam penelitian Wahyuni dan Garry tersebut terdapat kesamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan, yaitu mengukur bagaimana variabel sikap mempengaruhi keputusan pembelian. Namun penelitian Wahyuni dan Garry juga menggunakan variabel motivasi dan presepsi konsumen yang secara signifikan dalam mempengaruhi keputusan pembelian, sedangkan peneliti mengukur pengaruh pengetahuan dan sikap wisatawan terhadap keputusan wisatawan dalam pembelian. Penelitian oleh Maisyarah dan Ginting (2013) membahas pengaruh variabel sikap konsumen terhadap keputusan pembelian produk. Dalam penelitian tersebut indikator atas sikap konsumen diukur dari afektif, kognitif, dan konatif konsumen. Ketiga indikator variabel sikap tersebut berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap keputusan pembelian. Dalam penelitian yang peneliti lakukan memiliki kesamaan variabel sikap dengan indikator serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Maisyarah dan Ginting, namun peneliti memperjelas indikator afektif, kognitif dan konatif dengan indikator kepercayaan (kognitif), kesukaan (afektif), dan tindakan (konatif) wisatawan. Dalam penelitian yang peneliti lakukan, selain sikap wisatawan yang akan mengukur pengaruh terhadap keputusan pembelian juga menggunakan 10

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Penelitian...

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Penelitian Sebelumnya

Untuk dapat memperoleh jawaban tentang perspektif sementara dari

penelitian ini, diperlukan adanya pengkajian terhadap beberapa penelitian terdahulu

yang dianggap relevan pada kajian penelitian ini, diantaranya sebagai berikut.

Penelitian oleh Wahyuni (2008) dan Garry (2011) yang membahas variabel

sikap konsumen sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi konsumen secara

positif dalam pengambilan keputusan pembelian atas suatu produk. Dalam penelitian

Wahyuni dan Garry tersebut terdapat kesamaan dengan penelitian yang peneliti

lakukan, yaitu mengukur bagaimana variabel sikap mempengaruhi keputusan

pembelian. Namun penelitian Wahyuni dan Garry juga menggunakan variabel

motivasi dan presepsi konsumen yang secara signifikan dalam mempengaruhi

keputusan pembelian, sedangkan peneliti mengukur pengaruh pengetahuan dan sikap

wisatawan terhadap keputusan wisatawan dalam pembelian.

Penelitian oleh Maisyarah dan Ginting (2013) membahas pengaruh variabel

sikap konsumen terhadap keputusan pembelian produk. Dalam penelitian tersebut

indikator atas sikap konsumen diukur dari afektif, kognitif, dan konatif konsumen.

Ketiga indikator variabel sikap tersebut berpengaruh secara positif dan signifikan

terhadap keputusan pembelian. Dalam penelitian yang peneliti lakukan memiliki

kesamaan variabel sikap dengan indikator serupa dengan penelitian yang dilakukan

oleh Maisyarah dan Ginting, namun peneliti memperjelas indikator afektif, kognitif

dan konatif dengan indikator kepercayaan (kognitif), kesukaan (afektif), dan tindakan

(konatif) wisatawan. Dalam penelitian yang peneliti lakukan, selain sikap wisatawan

yang akan mengukur pengaruh terhadap keputusan pembelian juga menggunakan

10

variabel pengetahuan dan pengalaman sebagai penunjang sikap terhadap keputusan

pembelian wisatawan, sedangkan Maisyarah dan Ginting cukup mengukur sikap

terhadap keputusan pembelian sebagai hasil yang akan diteliti.

Dalam penelitian Mashadi (2010) dan Yuliana, dkk (2014) mengukur

motivasi, presepsi, sikap dan pembelajaran konsumen terhadap keputusan pembelian

konsumen, dimana hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa variabel motivasi,

presepsi, sikap dan pembelajaran konsumen telah berpengaruh secara signifikan

terhadap keputusan konsumen dalam pembelian. Dalam penelitian ini, peneliti juga

menggunakan variabel sikap untuk mengukur keputusan pembelian dengan indikator

penilaian evaluatif konsumen terhadap produk, namun peneliti membagi indikator

penilaian evaluatif konsumen menjadi kepercayaan, kesukaan dan tindakan

wisatawan sebagai alat ukur pada hasil yang akan diteliti tersebut. Alat analisis data

yang peneliti gunakan sama dengan penelitian Mashadi dan Yuliana, dkk dengan

menggunakan regresi linier berganda, namun peneliti juga menggunakan MRA

(Moderated Regression Analysis) untuk menganalisis variabel pengalaman sebagai

pemoderasi dalam hubungan tersebut.

Penelitian Syafril (2008) memfokuskan untuk menganalisis pengaruh sikap

konsumen terhadap loyalitas merek. Persamaan penelitian ini dengan penelitian

Syafril adalah indikator pada variabel sikap konsumen yaitu kepercayaan, kesukaan

dan tindakan. Hasil penelitian dengan menggunakan analisis regresi linier berganda,

menunjukan indikator-indikator sikap tersebut mempengaruhi loyalitas merek secara

parsial dan simultan. Namun penelitian yang peneliti lakukan untuk mengetahui

pengaruh terhadap keputusan pembelian produk, sedangkan penelitian Syafril adalah

terhadap loyalitas merek.

Penelitian Nguyen dan Gizaw (2014) yang membahas faktor-faktor yang

mempengaruhi keputusan pembelian konsumen, bahwa ada 5 faktor yang

teridentifikasi mampu mempengaruhi keputusan pembelian, dan salah satu

diantaranya adalah sikap konsumen. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nguyen

dan Gizaw memiliki kesamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan, yaitu

menggunakan keputusan pembelian konsumen sebagai variabel dependen. Namun

dalam penelitian yang peneliti lakukan, lebih memfokuskan penelitian pada

bagaimana sikap mempengaruhi keputusan pembelian, sedangkan dalam penelitian

Nguyen dan Gizaw terdapat 5 variabel penelitian (brand, brand related activities

(advertisement & word of mouth), preseption, attitude, dan purchase intention and

demographic factors) terhadap keputusan pembelian.

Penelitian yang dilakukan oleh Jaafar, dkk (2012) fokus menganalisis

faktor-faktor yang berpengaruh pada niat pembelian konsumen terhadap Private

Label Brand Food Product dengan menggunakan regresi berganda sebagai alat

analisis data. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa faktor sikap konsumen

merupakan faktor yang paling signifikan dalam mempengaruhi konsumen terhadap

niat pembelian. Namun dalam penelitian yang peneliti lakukan adalah untuk

mendapatkan keputusan pembelian produk sedangkan penelitian Jaafar, dkk untuk

mendapatkan niat pembelian konsumen.

Penelitian oleh Yunita (2014) yang menggunakan regresi linier berganda

sebagai alat analisis data dengan meneliti pengaruh pengetahuan produk,

pengetahuan perolehan, dan pengetahuan pemakaian terhadap keputusan pembelian.

Dalam penelitian ini menggunakan variabel bebas pengetahuan produk, pengetahuan

perolehan dan pengetahuan pemakaian yang merupakan indikator yang juga peneliti

gunakan untuk mengukur pengetahuan wisatawan terhadap keputusan pembelian.

Hasil penelitian Yunita menunjukan bahwa hanya pengetahuan produk dan

pengetahuan perolehan yang berpengaruh positif terhadap keputusan pembelian,

sedangkan pengetahuan pemakaian tidak terdapat beda pada hasil uji beda. Penelitian

Yunita tersebut hanya fokus menggunakan pengetahuan sebagai alat ukur terhadap

keputusan pembelian, sedangkan peneliti menggunakan tiga alat ukur yaitu

pengetahuan, sikap dan pengalaman konsumen.

Dalam penelitian Budiarti (2010) menyatakan bahwa pengaruh pengetahuan

konsumen terhadap keputusan pembelian laptop Acer di Universitas Brawijaya

menunjukan ada pengaruh positif dan signifikan pengetahuan terhadap keputusan

pembelian secara parsial dan simultan. Persamaan penelitian ini dan penelitian yang

dilakukan oleh Budiarti adalah mempergunakan pengetahuan konsumen sebagai alat

ukur terhadap keputusan pembelian, selain juga persamaan indikator pengetahuan

yang digunakan yaitu pengetahuan produk, pengetahuan pemakaian atau perolehan

dan pengetahuan pemakaian serta menggunakan regresi linier berganda sebagai alat

analisis data.

Penelitian oleh Riquelme (2001) telah melakukan percobaan untuk

mengidentifikasi pengaruh pengetahuan yang konsumen miliki terhadap keputusan

pembelian produk ponsel. Penelitian tersebut menggunakan pengetahuan terhadap

atribut produk sebagai alat ukur yang terdiri atas fitur telepon, biaya akses, biaya

sambungan, tarif panggilan dan panggilan gratis, ternyata berpengaruh terhadap

pengambilan keputusan pembelian. Persamaan penelitian Riquelme dengan penelitan

yang peneliti lakukan yaitu mempergunakan variabel pengetahuan konsumen

terhadap kepentingan produk dalam mempengaruhi keputusan konsumen dalam

pembelian, namun peneliti menilai pengetahuan konsumen dengan lebih rinci dan

membaginya menjadi pengetahuan produk, pengetahuan pembelian dan pengetahuan

pemakaian, sedangkan Riquelme membandingkan atribut produk dengan psikologis

mereka terhadap produk tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Kim, et al. (2004) dan Kwek, et al. (2010)

melakukan penelitian untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi niat

pembelian secara online. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa

pengalaman pembelian secara online sebelumya sebagai salah satu variabel

berpengaruh positif terhadap niat pembelian online. Persamaan penelitian peneliti

dengan penelitian yang dilakukan oleh Kim, et, al., dan Kwek, et al. adalah sama

menggunakan variabel pengalaman pembelian konsumen sebagai salah satu alat ukur

terhadap variabel dependen. Namun dalam penelitian ini, peneliti menggunakan

keputusan pembelian produk sebagai variabel dependen, sedangkan Kim, et al, dan

Kwek, et al. menggunakan niat pembelian secara online. Peneliti juga memfungsikan

variabel pengalaman sebagai variabel meoderator yang akan memperkuat hubungan

variabel independen (pengetahuan dan sikap) terhadap variabel dependen (keputusan

pembelian) sedangkan Kim, et al, dan Kwek, et al. murni hubungan variabel

independen terhadap variabel dependen.

Penelitian oleh Thomson (2013) dan Harysa (2013) bermaksud mengetahui

faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan pembelian

konsumen dengan menggunakan regresi berganda sebagai alat analisis data.

Persamaan penelitian yang dilakukan peneliti dengan penelitian yang dilakukan oleh

Thomson dan Harysa yaitu hasil dari penelitian tersebut adalah pengambilan

keputusan pembelian konsumen dengan indikator kemantapan pada sebuah produk,

keinginan merasakan manfaat produk, memberikan rekomendasi kepada orang lain

dan melakukan pembelian ulang. Namun peneliti menggunakan pengetahuan, sikap

dan pengalaman wisatawan sebagai alat ukur pada hasil yang akan diteliti tersebut.

2.2. Tinjauan Konsep

2.2.1. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan adalah sesuatu yang ada secara niscaya pada diri manusia yang

keberadaannya diawali dari kecenderungan psikis manusia sebagai bawaan kodrat

manusia yaitu dorongan ingin tahu yang bersumber dari kehendak atau kemauan,

Suhartono; 2005 (dalam Nurjanatun; 2012)

Pengetahuan menurut Ferry Efendi dan Makhfudli, 2009 (dalam Martiani;

2012), merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan

terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yakni

indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar

pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga, hal ini dikarenakan dari

pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan

akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan.

Beberapa definisi atas pengetahuan bisa menyimpulkan bahwa pengetahuan

merupakan proses mengerti atau memahami tentang suatu objek melalui indra yang

dimilikinya.

Pengetahuan merupakan domain yang penting dalam membentuk tindakan

seseorang. Dewi dan Wawan; 2010 (dalam Martiani; 2012) menyatakan bahwa

Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek, yaitu aspek

positif dan negatif. Kedua aspek ini yang akan menentukan sikap seseorang, semakin

banyak aspek positif dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin

positif terhadap objek tertentu dan mengambil keputusan terhadap objek tersebut.

Rogers; 1974 (dalam Martiani; 2012) mengungkapkan bahwa sebelum

orang mengadopsi perilaku baru di dalam diri orang tersebut, terjadi proses berurutan,

diantaranya:

1. Awarness (kesadaran), yaitu individu tersebut menyadari dalam arti mengetahui

terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

2. Interest (merasa tertarik), yaitu individu mulai tertarik terhadap stimulus atau

objek tertentu.

3. Evaluation (menimbang-nimbang), yaitu individu akan mempertimbangkan baik

buruknya tindakan terhadap stimulus tersebut bagi dirinya, hal ini berarti sikap

responden sudah baik lagi.

4. Trial, yaitu individu mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang

dikehendaki stimulus.

5. Adoption, yaitu individu telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,

kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini

didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut

akan bersifat langgeng. Sebaliknya, apabila perilaku tersebut tidak didasari

pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama, Rogers; 1974 (dalam

Martiani; 2012).

Mowen dan Minor (2002) memberikan pernyataan bahwa pengetahuan

konsumen sebagai “the amount of experience with and information about particular

products or services a person has”, yang dapat diartikan bahwa pengetahuan

konsumen adalah semua informasi yang dimiliki konsumen mengenai berbagai

macam produk dan jasa, serta pengetahuan lainnya yang terkait dengan produk dan

jasa tersebut dan informasi yang berhubungan dengan fungsinya sebagai konsumen.

Pengetahuan yang dimiliki oleh konsumen sangat mempengaruhi sikap dan

prilaku konsumen dalam mengambil sebuah keputusan, karena semakin tinggi

tingkat pengetahuan tentang merek produk berarti produk tersebut berada dalam

benak konsumen sebelum merek lain, Durianto; 2001 (dalam Yunitasari dan

Yuniawan; 2006). Pengetahuan konsumen akan mempengaruhi keputusan pembelian

(Yunita; 2014). Ketika konsumen memiliki pengetahuan lebih banyak, maka

konsumen akan lebih baik dalam mengambil keputusan, konsumen akan lebih efisien

dan lebih tepat dalam mengolah informasi dan mampu me-recall informasi dengan

lebih baik. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik tentang

buah aggur, dapat berfikir dalam beberapa dimensi, seperti warna anggur,

keasamannya, asalnya dan cenderung suka dengan buah anggur, sebaliknya orang

baru akan berfikir hanya dalam satu dimensi saja, katakanlah seberapa besar dia

menyukai rasa anggur. Demikian pula konsumen mungkin akan segera berpindah

tempat dimana sebelumnya berbelanja setelah mengetahui bahwa ada tempat lain

yang lebih nyaman dan harga yang kompetitif. Semua itu dampak dari pengetahuan

yang dimiliki oleh konsumen yang akan berpengaruh besar terhadap tindakannya

dalam pengambilan keputusan.

Menurut Sukmadinata (2007) mengemukakan bahwa pengetahuan yang

dimiliki seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini:

1) Faktor internal

Faktor internal meliputi jasmani dan rohani. Faktor jasmani adalah tubuh orang

itu sendiri, sedangkan faktor rohani adalah psikis, psikomotor, serta kondisi

afektif dan kognitifnya.

2) Faktor eksternal

a. Tingkat pendidikan

Pendidikan berpengaruh dalam memberi respon yang datang dari luar. Orang

berpendidikan tinggi akan memberi respon lebih rasional terhadap informasi

yang datang.

b. Papan media masa

Media masa, baik cetak maupun elektronik merupakan sumber informasi yang

dapat diterima oleh masyarakat, sehingga seseorang yang lebih sering mendengar

atau melihat media masa (tv, radio, dan majalah) akan memperoleh informasi

yang lebih banyak dibandingkan dengan orang yang tidak pernah mendapat

informasi dari media masa.

c. Ekonomi

Keluarga dengan status ekonomi tinggi lebih mudah mencukupi kebutuhan

primer maupun kebutuhan sekunder dibandingkan dengan keluarga status

ekonomi rendah. Hal ini akan mempengaruhi kebutuhan akan informasi yang

termasuk kebutuhan sekunder.

d. Hubungan sosial

Manusia adalah makhluk sosial, dimana dalam kehidupan saling berinteraksi

antara satu dengan yang lain. Individu yang berinteraksi secara kontinyu akan

lebih besar terpapar informasi. Faktor hubungan sosial juga mempengaruhi

kemampuan individu sebagai komunikan untuk menerima pesan menurut model

komunikasi.

e. Pengalaman

Pengalaman merupakan pengetahuan melalui kontak nyata dengan produk,

Mowen & Minor; 2002. Pengalaman umumnya merupakan sarana yang lebih

efektif untuk mendapatkan pengetahuan bagi konsumen, oleh karenanya orang

yang berpengalaman mudah menerima informasi dari lingkungan sekitar

sehingga lebih baik dalam mengambil keputusan. Pengetahuan yang dipengaruhi

oleh faktor tersebut di atas merupakan hal yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang. Pengaruh dari intelektual, afektif, kognitif dan

pengalaman manusia sebagai subjek akan mempengaruhi pengetahuannya

terhadap suatu objek yang terjadi melalui pengindraan.

Pengukuran terhadap pengetahuan biasanya dikaitkan dengan suatu jenis

produk atau jasa yang dikonsumsinya. Engel, Blackwell & Miniard; 2010 (dalam

Yunita; 2014) membagi pengetahuan konsumen menjadi (1) pengetahuan produk, (2)

pengetahuan pembelian dan (3) pengetahuan pemakaian. Ketiga ukuran pengetahuan

tersebut yang pada prinsipnya saling berhubungan erat akan peneliti gunakan sebagai

acuan untuk menjelaskan pengetahuan wisatawan atas produk wisata Spa.

1. Pengetahuan produk

Menurut Sumarwan; 2011 (dalam Yunita; 2014), pengetahuan produk adalah

kumpulan dari beberapa macam informasi mengenai produk. Menurut

Nitisusastro; 2012 (dalam Yunita; 2014), konsumen perlu mengetahui tentang

karakteristik suatu produk, apabila konsumen kurang mengetahui informasi

tentang karakteristik suatu produk bisa salah mengambil keputusan membeli.

Peter dan Olson; 1999 (dalam Yunita; 2014) menyebutkan bahwa konsumen

memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda. Peter dan Olson membagi kedalam;

1) pengetahuan produk yaitu terdiri atas karateristik dan atribut produk yang

dalam penelitian ini adalah nama/variasi produk-produk Spa, fasilitas Spa dan

harga produk Spa, 2) pengetahuan manfaat produk yaitu manfaat yang akan

diberikan produk Spa.

2. Pengetahuan pembelian

Engel, Blackwell dan Miniard, 2010 (dalam Yunita; 2014), mendefinisikan

pengetahuan pembelian produk mencakupi bermacam potongan informasi yang

dimiliki konsumen yang berhubungan erat dengan pemerolehan produk. Dimensi

dasar dari pengetahuan pembelian melibatkan informasi berkenaan dengan

keputusan tentang dimana produk tersebut harus dibeli dan kapan pembelian

harus terjadi. Ketika konsumen memutuskan akan membeli suatu produk dan

kapan membelinya. Keputusan konsumen mengenai tempat pembelian produk

akan sangat ditentukan oleh pengetahuannya, misalkan pengetahuan lokasi Spa

dan kemudahan memperoleh informasi Spa yang terkait dalam penelitian ini.

3. Pengetahuan pemakaian

Suatu produk akan memberi manfaat kepada konsumen jika produk tersebut

telah digunakan atau dikonsumsi oleh konsumen. Agar produk tersebut bisa

memberi manfaat yang maksimal dan kepuasan yang tinggi kepada konsumen,

maka konsumen harus bisa menggunakan atau mengkonsumsi produk tersebut

dengan benar, Yunita (2014). Menurut Engel, Blackwell dan Miniard; 2010

(dalam Yunita; 2014), kecakupan pengetahuan pemakaian konsumen penting

karena beberapa alasan. Konsumen tentu saja lebih kecil kemungkinannya

membeli suatu produk bila mereka tidak memiliki informasi yang cukup

mengenai bagaimana cara menggunakan produk tersebut ataupun proses kerja

layanan tersebut. Upaya pemasaran yang dirancang untuk membidik konsumen

tentang bagaimana menggunakan produk pun dibutuhkan. Jika dalam penelitian

ini pengetahuan konsumen terhadap pemakaian dapat diukur dari pengetahuan

focus healing dan metode treatment Spa.

2.2.2. Sikap (Attitude)

Sikap merupakan predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan suatu

prilaku tertentu, sikap lebih mengarah pada suatu proses kesadaran yang sifatnya

individual. Sikap yang positif akan memicu sesorang untuk melakukan tindakan

(Nurjanatun; 2012).

Widowati (2011), Sikap (attitude) seseorang adalah predisposisi (keadaan

mudah terpengaruh) untuk memberikan tanggapan terhadap rasangan lingkungan

yang dapat memulai atau membimbing tingkah laku orang tersebut.

L L. Thurstone mendefinisikan sikap sebagai “afeksi atau perasaan untuk

atau terhadap sebuah rangsangan” (dalam Mowen & Minor; 2002).

Menurut Swasta dan Handoko (dalam Widowati; 2011) definisi dari sikap

adalah Suatu keadaan jiwa (mental) dan keadaan pikir (neural) yang dipersiapkan

untuk memberikan tanggapan terhadap suatu obyek yang di organisir melalui

pengalaman serta mempengaruhi secara langsung dan atau secara dinamis pada

prilaku.

Sikap adalah emosi dan perasaan seperti pernyataan sangat menyenangkan

atau tidak menyenangkan, sangat menarik atau tidak menarik, suka atau tidak suka.

Sikap dapat diibaratkan evaluasi keseluruhan tentang makanan yang dimakan

konsumen dan merefleksikan respon konsumen terhadap makanan yang dimakan

tersebut.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa sikap adalah kecenderungan individu

untuk memahami, merasakan, bereaksi dan berperilaku terhadap suatu produk

tertentu yang merupakan hasil dari interaksi komponen kognitif, afektif dan konatif.

Sikap sering mempengaruhi keputusan apakah konsumen ingin mengkonsumsi atau

tidak. Sikap positif terhadap produk tertentu akan memungkinkan konsumen

melakukan pembelian. Sebaliknya sikap negatif akan menghalangi konsumen untuk

membeli (Mowen dan Minor; 2002). Oleh karena itu pemasar perlu menciptakan

aktivitas-aktivitas yang akan menumbuhkan sikap yang positif terhadap produk.

Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. Dalam bersikap

positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek

tertentu. Sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi,

menghindari, membenci dan tidak menyukai objek tertentu.

Wee, et al., 1995 (dalam Hendro Trisdiarto; 2012) tegas menyatakan bahwa

Sikap sangat berperan penting terhadap keputusan pembelian wisatawan serta

bertahan terhadap produk tersebut (retention). Adanya sikap yang lebih positif dari

konsumen terhadap barang maka akan meningkatkan pembelian akan barang tersebut.

Sama halnya dengan semakin negatifnya sikap konsumen terhadap barang, maka

akan kecil kemungkinan bagi konsumen tersebut untuk melakukan pembelian.

Adapun Faktor-Faktor yang mempengaruhi sikap adalah sebagai berikut :

(dalam Nurjanatun; 2012)

1. Jenis Kelamin

Perbedaan perilaku pria dan wanita dapat dilihat dari cara berpakaian secara fisik

dan melakukan pekerjaan sehari-hari. Umumnya wanita lebih memperhatikan

penampilan daripada pria.

2. Lingkungan

Lingkungan merupakan seluruh kondisi disekitar manusia dan mempengaruhi

perkembangan dan sikap seseorang. Melalui interaksi timbal balik akan

mempengaruhi praktek seseorang dalam melakukan hygiene sanitasi

disekitarnya.

3. Pekerjaan

Pekerjaan merupakan kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Makin cocok jenis pekerjaannya yang diemban, makin tinggi pula tingkat

kepuasan yang diperoleh. Orang yang bekerja disektor formal memiliki akses

yang lebih baik terhadap berbagai informasi termasuk kesehatan.

4. Kebudayaan

Pembentukan sikap tergantung pada kebudayaan tempat individu tersebut

dibesarkan, Contoh pada sikap orang kota dan orang desa terhadap kebebasan

dalam pergaulan.

5. Faktor emosional

Suatu sikap yang dilandasi oleh emosi yang fungsinya sebagai semacam

penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Dapat

bersifat sementara ataupun menetap. Contoh : Prasangka (sikap tidak toleran).

Dalam mempengaruhi keputusan konsumen terhadap pembelian produk,

dalam Theory of Planned Behaviour (TPB) ditentukan oleh niat pembelian sebagai

cikal bakal terbentuknya keputusan pembelian ataupun loyalitas, dimana hal tersebut

ditentukan oleh sikap konsumen, Fishbein and Ajzen, 1975 (dalam Hendro

Trisdiarto; 2012).

Dalam Zulkarnain, 2006, pendekatan pengukuran sikap seringkali bertolak

dari tinjauan mengenai dua komponen pertama yaitu kognitif yang ditujukan untuk

keyakinan, kepercayaan atau pengetahuan konsumen terhadap atribut – atribut

tertentu serta komponen afektif yang diketahui melalui reaksi emosional dan

pernyataan tentang perasaan konsumen (Sugiyono;1999). Sedangkan menurut

Simamora, 2002 (dalam Wahyuni; 2008 bahwa pengukuran sikap erat berkaitan

dengan tiga komponen yaitu kognitif, afektif dan konatif. Mowen dan Minor (2002)

meyakinkan kembali bahwa komponen kognitif, afektif dan tindakan/konatif secara

bersama-sama membentuk hirarki pada pembelian. Demikian dalam penelitian ini

juga mengaplikasikan tiga komponen tersebut untuk mengukur sikap wisatawan

terhadap produk wisata Spa, dengan penjelasan sebagai berikut.

1. Cognitive component: kepercayaan konsumen dan presepsi tentang obyek. Obyek

yang dimaksud adalah atribut produk, semakin positif kepercayaan terhadap

suatu merek atau produk, maka keseluruhan komponen kognitif akan mendukung

sikap secara keseluruhan. Mowen dan Minor (2002) menekankan bahwa kognitif

sebagai bentuk atas kepercayaan akan terbentuk melalui pengetahuan, karena

akan melalui proses mengetahui atribut dan manfaat yang mana mempengaruhi

kepercayaan konsumen. Dalam penelitian ini untuk mengukur komponen kognitif

dengan menggunakan variabel kepercayaan wisatawan terhadap atribut dan

manfaat produk seperti produk Spa memberikan manfaat terhadap relaksasi tubuh,

produk Spa di Ubud berbeda dengan produk di tempat lainnya.

2. Affective component : emosional yang merefleksikan perasaan seseorang

terhadap suatu obyek, apakah obyek tersebut diinginkan atau disukai. Afektif

juga mencerminkan motivasi yang mana seseorang akan mengalami dorongan

emosi & fisiologis. Dalam pembelian impulsif (impulse purchase), perasaan

(afektif) yang kuat akan diikuti dengan tindakan pembelian. Komponen afektif

yang akan digunakan sebagai alat ukur dalam penelitian ini adalah variabel

kesukaan yang dapat diukur dengan indikator kesukaan wisatawan terhadap

produk Spa.

3. Konatif component: merefleksikan kecenderungan dan perilaku aktual terhadap

suatu obyek, yang mana komponen ini menunjukkan kecenderungan melakukan

suatu tindakan. Dalam Mowen & Minor (2002), tindakan pada komponen konatif

adalah keinginan berperilaku (behavioral intention), maka variabel tindakan

wisatawan dalam penelitian ini bisa diukur dengan indikator atas produk Spa

yang diinginkan atau dipilih wisatawan.

2.2.3. Keputusan Pembelian

Keputusan dalam arti yang umum adalah "a decision is the selection of an

option from two or more alternative choices" yaitu suatu keputusan seseorang

dimana dia memilih salah satu dari beberapa alternatif pilihan yang ada.

Kotler dan Keller (2009), keputusan pembelian adalah keputusan konsumen

mengenai preferensi atas merek-merek yang ada di dalam kumpulan pilihan.

Menurut Setiadi, 2003 (dalam Yunita; 2014) dalam bukunya “Perilaku

Konsumen Konsep dan Implikasi” bahwa pengambilan keputusan konsumen

(Consumer Decision Making) adalah proses pengintegrasian yang

mengkombinasikan pengetahuan dan sikap untuk mengevaluasi dua atau lebih

perilaku alternatif dan memilih salah satu diantaranya”. Keputusan pembelian

menunjuk arti kesimpulan terbaik konsumen untuk melakukan pembelian. Konsumen

melakukan kegiatan-kegiatan dalam mencapai kesimpulanya. Kualitas setiap

kegiatan membentuk totalitas kesimpulan terbaik sesuai dengan kebutuhan dan

keinginannya, Setiadi, 2003 (Garry; 2011).

Berdasarkan definisi di atas disimpulkan bahwa keputusan pembelian adalah

tindakan yang dilakukan konsumen untuk melakukan pembelian sebuah produk.

Oleh karena itu, pengambilan keputusan pembelian konsumen merupakan suatu

proses pemilihan salah satu dari beberapa alternatif penyelesaian masalah dengan

tindak lanjut yang nyata. Setelah itu konsumen dapat melakukan evaluasi pilihan dan

kemudian dapat menentukan sikap yang akan diambil selanjutnya.

Keputusan pembelian konsumen terhadap suatu produk pada dasarnya erat

kaitannya dengan perilaku konsumen. Perilaku konsumen merupakan unsur penting

dalam kegiatan pemasaran suatu produk yang perlu diketahui oleh perusahaan,

karena perusahaan pada dasarnya tidak mengetahui mengenai apa yang ada dalam

pikiran seorang konsumen pada waktu sebelum, sedang, dan setelah melakukan

pembelian produk tersebut. Adanya kecenderungan pengaruh produk, pelayanan, dan

lokasi terhadap keputusan pembelian yang dilakukan oleh konsumen tersebut,

mengisyaratkan bahwa manajemen perusahaan perlu mempertimbangkan aspek

perilaku konsumen, terutama proses pengambilan keputusan pembeliannya.

Pada hierarki pengambilan keputusan pembelian yang dikemukakan oleh

Mowen dan Minor, 2002, bahwa ada yang disebut dengan hierarki dengan

keterlibatan tinggi (high-involvement hierarchy) sebagai salah satu dari 4 hierarki

pengaruh pengambilan keputusan ((2) hierarki keterlibatan rendah, (3) hierarki

eksperiensial/impulsif, (4) hierarki pengaruh prilaku), menunjukan bahwa

pengetahuan dan sikap ada pada hierarki dengan keterlibatan tinggi, karena

konsumen cenderung terlibat dalam pencarian informasi yang ekstensif tentang

alternatif produk yang selanjutnya membentuk kepercayaan besar terhadap objek,

kemudian mengembangkan afeksi (perasaan) terhadap objek, dan akhirnya muncul

keinginan berprilaku relatif terhadap objek tersebut yaitu pembelian produk atau jasa.

Singkatnya, apabila konsumen sangat terlibat dalam keputusan pembelian tertentu,

mereka melakukan aktivitas penyelesaian masalah yang luas dan bergeser melalui

hierarki proses pembelajaran (pengetahuan) – formasi sikap – dan kemudian Prilaku.

Saling mendukung dengan pernyataan di atas, dalam mempengaruhi

keputusan pembelian, Swasta dkk; 2000 (dalam Harysa; 2013) merumuskan lima

tahapan yang akan dilalui meliputi; 1) pengenalan masalah, 2) pencarian informasi,

3) evaluasi terhadap alternatif pembelian, 4) keputusan pembelian dan 5) perilaku

setelah pembelian yang digambarkan dalam tahapan sebagai berikut :

1. Pengenalan kebutuhan

Pengenalan kebutuhan terjadi ketika konsumen menghadapi ketidakseimbangan

antara keadaan sebenarnya dan keinginan. Pada tahapan ini juga muncul motivasi

yang merupakan bentuk dari afektif atau emosional serta psikologi atau dorongan,

karena ketika kebutuhan muncul akan menghasilkan dorongan atau motivasi, dan

ini akan mendorong konsumen untuk memahami lebih besar atas produk atau

jasa yang diinginkannya.

2. Pencarian informasi

Setelah mengenali kebutuhan atau keinginan, konsumen mencari informasi

tentang produk yang sesuai dengan kebutuhannya. Pada tahapan ini setelah

mengetahui produk, maka konsumen mengenal memahami produk, dan ini

merupakan wujud atas pengetahuan konsumen terhadap produk.

3. Evaluasi alternatif

Konsumen akan menggunakan informasi yang tersimpan di dalam ingatan,

ditambah dengan informasi yang diperoleh dari luar untuk membangun suatu

kriteria tertentu. Kotler dan Keller (2009) menekankan bahwa pada tahap

evaluasi alternatif inilah terdapat minat membeli awal. Tahapan ini akan

menimbang-nimbang baik buruknya produk terhadap dirinya. Pada tahapan ini

sikap berperan dalam mempengaruhi hasil akhir. Tahapan ini menimbang

kognitif atau kepercayaan bahwa produk memberikan manfaat terhadap dirinya,

menimbang aftektif atau emosional seperti suka atau tidak suka, tertarik atau

tidak tertarik, serta menghasilkan tindakan terhadap produk, yaitu tindakan

mencoba atau tidak yang merupakan unsur konatif.

4. Pembelian

Pembelian adalah tahapan setelah terjadinya evaluasi atas sejumlah

alternatif-alternatif sebelumnya. Jika positif maka konsumen akan memutuskan

apakah produk akan dibeli atau diputuskan untuk tidak dibeli sama sekali. Dalam

tahap ini terjadi pengujian atas kemantapan terhadap suatu produk atau jasa

stimulus.

5. Perilaku setelah pembelian

Tahapan yang disebut sebagai “hasil”. Ketika membeli suatu produk, konsumen

mengharapkan dampak tertentu dari pembelian tersebut. Bagaimana

harapan-harapan itu terpenuhi, menentukan apakah konsumen puas atau tidak

puas dengan pembelian tersebut, seperti muncul prilaku untuk memberitahukan

kepada orang lain, muncul keinginan pembelian ulang atas produk atau jasa.

Dalam penelitian Thomson (2013) dan Harysa (2013) menggunakan variabel

keputusan pembelian yang difokuskan pada tahapan pembelian dan pasca pembelian

sesuai dengan proses pengambilan keputusan pembelian yang dipaparkan oleh

Pengenalan masalah

Perilaku pasca pembelian

Pencarian informasi

Evaluasi alternatif

Keputusan Pembelian

Gambar 2.1

Model Proses Keputusan Pembelian, Swasta dkk; 2000 (dalam Harysa; 2013)

Swasta, dkk di atas, yaitu dengan menggunakan indikator diantaranya; (1)

kemantapan pada pemilihan sebuah produk, (2) keinginan merasakan manfaat

produk, (3) memberikan rekomendasi kepada orang lain serta (4) ketertarikan untuk

membeli ulang. Dalam penelitian ini juga menggunakan 4 indikator tersebut untuk

mengukur variabel keputusan pembelian produk wisata wellness di kawasan wisata

Ubud yaitu (1) kemantapan pada pemilihan produk Spa, (2) keinginan merasakan

manfaat produk Spa, (3) memberikan rekomendasi kepada orang lain serta (4)

ketertarikan untuk membeli ulang produk Spa.

2.2.4. Pengalaman (Experience)

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005, mendefinisikan pengalaman sebagai

sesuatu yang pernah dialami (dijalani, dirasai, ditanggung). Pengalaman dapat

diartikan juga sebagai memori episodic, yaitu memori yang menerima dan

menyimpan peristiwa yang terjadi atau dialami individu pada waktu dan tempat

tertentu, yang berfungsi sebagai referensi otobiografi (Daehler & Bukatko; 1985

dalam Syah; 2003).

Kotler dan Keller (2009), mendefinisikan bahwa pengalaman merupakan

hal-hal yang bersifat pribadi dan berlangsung di benak konsumen secara individual

dan bersifat tidak terlupakan. Sedangkan menurut Meyer and Schwager, 2007 (dalam

Prastyaningsih, dkk; 2014), pengalaman adalah tanggapan pelanggan secara internal

dan subjektif sebagai akibat dari interaksi secara langsung maupun tidak langsung

dengan perusahaan.

Menurut Schmitt, 1999 (Septiadi; 2013), pengalaman merupakan suatu

peristiwa yang terjadi karena respon terhadap beberapa rangsangan. Pengalaman

terjadi dari observasi langsung atau partisipasi atas suatu kejadian dalam bentuk

nyata maupun virtual. Pengalaman konsumen dibentuk oleh harapan konsumen yang

merefleksikan pengalaman sebelumnya, Meyer and Schwager, 2007 (dalam

Prastyaningsih, dkk; 2014). Sekarang ini, hampir semua perusahaan mulai bergerak

ke tingkatan baru penciptaan nilai bagi pelanggannya. Untuk mendiferensiasikan

tawarannya, perusahaan membangun dan memberikan pengalaman secara total.

Perusahaan yang memasarkan pengalaman menyadari bahwa yang benar-benar dibeli

oleh konsumen lebih dari sekedar produk dan jasa. Pelanggan membeli apa yang

akan dilakukan oleh tawaran tersebut terhadapnya, yaitu pengalaman yang akan

diperoleh karena membeli dan mengkonsumsi produk dan jasa tersebut (Kotler dan

Keller; 2009)

Mowen dan Minor (2002) menyatakan bahwa salah satu bentuk pengalaman

yaitu pengalaman konsumen dalam hal konsumsi. Mowen dan Minor sendiri

mengartikan bahwa pengalaman konsumsi dapat didefinisikan sebagai kesadaran dan

perasaan yang dialami konsumen selama pemakaian produk atau jasa.

Pengalaman konsumen akan mempengaruhi prilaku konsumen berikutnya

dalam pembelian (Kwek, et al.; 2010). Konsumen yang sudah merasakan produk dari

pembelian sebelumnya akan lebih mudah di dalam pengambilan keputusan, demikian

sebaliknya konsumen yang belum pernah mengkonsumsi produk yang akan di beli

akan cenderung berhati-hati dan akan melalui banyak proses dalam pengambilan

keputusan.

Menurut Sukmadinata (2007) pengalaman merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Disebutkan bahwa

pengalaman merupakan pengetahuan melalui kontak nyata dengan produk oleh

karenanya orang yang berpengalaman mudah menerima informasi dari lingkungan

sekitar, sehingga akan lebih baik dalam mengambil keputusan. Ketika konsumen

telah memiliki pengalaman konsumsi atas suatu produk, itu akan mempengaruhi

tingkat pengetahuan atas produk tersebut, karena semakin banyak pengalaman

seseorang terhadap produk maka pengetahuan orang tersebut akan lebih baik tentang

produk (Dwiastuti, 2012). Misalnya orang yang sudah pernah membeli produk facial

treatment pada Salon untuk kedua kalinya atau lebih, maka orang tersebut

memahami produk facial di Salon tersebut, karena ada proses mempelajari yang

dilakukan oleh konsumen pada brosur, majalah dan ketika berlangsungnya treatment

ada proses penyampaian informasi produk yang dilakukan oleh terapis, sehingga ada

proses belajar secara terus menerus yang dilakukan setiap melakukan pembelian.

Mowen dan Minor (2002) juga menyebutkan, pengalaman berpengaruh

terhadap pembentukan sikap konsumen. Pengalaman yang positif dan cenderung

puas akan berdampak pada sikap yang positif dan mengarah pada pembelian ulang

dan begitu juga ketika pengalaman konsumen bersifat negatif setelah mengkonsumsi

produk, maka akan berdampak negatif pada sikap. Apakah nantinya mengkonsumsi

lagi atau mengurangi pengkonsumsian atau bahkan tidak akan memakai produk itu

lagi, semua akan terekam dalam ingatan konsumen (Dwiastuti, dkk; 2012). Sejalan

dengan penelitian ini, maka pengalaman wisatawan akan senantiasa memperkuat

pengetahuan dan sikap wisatawan terhadap keputusan pembelian produk wisata

wellness di Ubud.

Bernnet, et al., 2004 telah melakukan penelitian dan menunjukan bahwa

fungsi dari pengalaman sebagai variabel yang memoderasi hubungan keterlibatan

dan kepuasan terhadap loyalitas merek, demikian dengan penelitian yang dilakukan

oleh Paterson, et al., 1995 yang juga menemukan bahwa variabel pengalaman

sebagai variabel moderasi terhadap kepuasan pelanggan (customer). Dengan

demikian didasari oleh penemuan pada penelitian-penelitian tersebut dengan

menjadikan pengalaman sebagai variabel moderasi yang akan memperkuat ataupun

memperlemah hubungan antara independen pada dependen. Sehingga dalam

penelitian ini pula memfungsikan pengalaman sebagai variabel pemoderasi yang

diperkirakan akan menjadi variabel yang akan memperkuat hubungan pengetahuan

dan sikap terhadap keputusan pembelian produk wisata Spa di kawasan wisata Ubud.

Dalam Penelitian Kim, et al. (2004), pengukuran terhadap pengalaman

konsumen atas pembelian atau pemakaian suatu produk atau jasa melalui indikator

rasa puas dan rasa senang yang diperoleh atas pembelian yang dilakukan sebelumnya.

Sedangkan Kwek, et al. (2010) mengukur pengalaman melalui indikator frekuensi

pembelian dan kemampuan mengenal atas produk. Mengacu pada indikator yang

digunakan oleh Kim, et al. (2004) dan Kwek, et al. (2010), maka dalam penelitian ini,

pengalaman wisatawan akan diukur dengan menggunakan indikator dari kombinasi

kedua konsep tersebut yaitu (1) frekuensi pembelian, (2) mengenal produk atas

pengalaman pembelian, (3) kepuasan atas pengalaman pembelian dan (4) rasa senang

atas pengalaman pembelian

2.2.5. Wisata Wellness

Müller dan Kaufmann, 2000 (Holzner; 2010) mendefinisikan wellness dengan

menggabungkan pendekatan yang berbeda dari North-Amerika dan Eropa, bahwa

Wellness berkaitan dengan kesehatan yang menampilkan keharmonisan tubuh,

pikiran dan jiwa dengan tanggung jawab diri, perawatan kebugaran fisik atau

kecantikan, kesehatan gizi atau diet, relaksasi atau meditasi, aktivitas mental atau

pendidikan dan kepekaan lingkungan serta kontak sosial sebagai elemen dasar.

Demikian pula wisata wellness juga digambarkan oleh Müller dan Kaufmann,

2000 (Holzner; 2010), sebagai bentuk hubungan dan fenomena yang dihasilkan dari

sebuah perjalanan dan tempat tinggal masyarakat yang tujuan utamanya adalah untuk

mempertahankan atau meningkatkan kesehatan mereka. Mereka tinggal di sebuah

hotel khusus yang menyediakan perawatan individu secara profesional. Mereka

membutuhkan paket layanan yang komprehensif yang terdiri kebugaran atau

kecantikan perawatan fisik, nutrisi (diet), relaksasi atau meditasi dan pendidikan. Ini

harus menunjukkan bahwa alasan untuk bepergian bukan penyembuhan penyakit.

Tujuan utama adalah perjalanan dimana wisatawan dapat beristirahat dan

memulihkan pikiran (refresh), Berg, 2008 (dalam Holzner; 2010).

Dalam Global Spa Summit, 2010 menerangkan bahwa wellness tourism

merupakan salah satu bagian sektor dari industri wellness. Wellness tourism telah

menjadi trend pariwisata kekinian serta telah berkontribusi dalam Estimate Global

Market Size pada Wellness Industry Cluster sebesar $ 106.00 (5,4%) (dalam Spas

and the Global Wellness Market report, 2010). Romulo, et al.; 2007 (dalam

Pramono; 2013) mendefinisikan Pariwisata Wellness mengacu pada kegiatan

perjalanan seseorang ke dan tinggal di tempat-tempat di luar lingkungan biasa

mereka untuk tidak lebih dari satu tahun berturut-turut untuk tujuan health and

Wellness dan tidak berhubungan dengan suatu pekerjaan, dan dibayar dari tempat

yang dikunjungi. Juga hal ini berasosiasi dengan perjalanan ke health spa atau

destinasi-destinasi resort di mana tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan

kebugaran fisik melalui latihan fisik dan terapi, kontrol diet dan pelayanan medis

yang relevan dengan pemeliharaan fisik.

Wellness tourism didefinisikan sebagai sebuah produk berupa jasa pariwisata

yang dapat dikembangkan atau dikreasikan ragamnya sesuai dengan kondisi sebuah

destinasi baik dari sisi sosial maupun lingkungan pada sebuah destinasi atau kawasan

(Mueller dan Kaufmann; 2007)

Menurut Kaspar (dalam Mueller dan Kaufmann; 2007), berpendapat dari

aspek ekonomi dan bisnis bahwa Wellness tourism dan Heath tourism dikategorikan

menjadi illness prevention tourism dan spa atau convalescence tourism. Health and

wellness tourism termasuk pada illness prevention tourism yang di dalamnya

terkategori menjadi jasa kesehatan dan jasa kebugaran.

Kebutuhan akan produk health and wellness akan terus berkembang dan

menjadi beragam tergantung pada faktor sosial dan kepekaan lingkungan

sebagaimana juga dalam kutipan pada CTC, 2004 (dalam Mueller dan Kaufmann;

2007)

“Current trends towards “health and wellness” in Western society

are actively promoting values that emphasize a proactive approach where

individuals improve and maintain personal well being through a variety of

services and activities. In the words of a recent Canadian Tourism

Commission (CTC) advertising campaign, these activities “soothe the soul

and invigorate the mind.”

Menurut Smith dan Puczk ó, 2009 (dalam Raiutama; 2011), health and

wellness tourism dapat dikembangkan berdasarkan bahan-bahan atau aset yang telah

tersedia pada suatu destinasi (Existing assets for health and wellness tourism) dan atau

diadakan berdasarkan kebutuhan atau permintaan (Use of existing assets).

1. Existing assets for health and wellness tourism, diantaranya;

a. natural asset,

b. indigenous healing tradition,

c. medical service,

d. nature,

e. spiritual tradition,

2. sedangkan Use of existing assets diantaranya ;

a. leisure and recreation,

b. medical or therapeutis hotel/clinic spa,

c. medical or surgical clinic or hospital,

d. medical wellness centre or Spa,

e. holistic retreat,

f. hotel dan resort Spa.

Sheldon dan Park, 2008 (dalam Yildirim; 2010) menambakan bahwa sebuah

destinasi dapat mengembangkan berbagai jenis wisata wellness dan Spa dengan

modal yang harus dimilikinya, diantaranya

1. Complementary Treatments

Perawatan (treatment) ini meliputi modal penyembuhan secara alternatif, seperti

akupunktur, chiropractic, kinesiology, naturopati, obat tradisional Cina,

Ayurveda, dan penyembuhan intuitif.

2. Indigenous Cultures

Banyak budaya asli, nilai spiritual dan kemampuan penyembuhan dan

pengalaman yang dimiliki dan bisa dibuatkan pondok-pondok sauna,

penyembuhan oleh dukun, upacara, makanan tradisional, tanamanan asli dan

alam yang terkait dengan budaya asli, pengetahuan atas metode penyembuhan,

praktisi metode tersebut dan alam disekitarnya yang tepat.

3. Healing Accommodations

Beberapa akomodasi yang lebih kondusif untuk Spa dari pada akomodasi lainnya.

healing accomodation menawarkan pilihan makanan sehat, lingkungan ekologis

dan penyembuhan secara alami dari lingkungan dan suasana akomodasi.

4. Lifestyle modification

Lifestyle modification berfokus pada mengubah kebiasaan dan prilaku untuk

hidup lebih sehat dan kebiasaan itu dilanjutkan setelah wisatawan pulang ke

daerah asal mereka. Diperlukan life coach, praktisi kesehatan, sistem diagnotik,

penasihat atau ahli gizi memberikan informasi dan meyakinkan pada wisatawan.

5. Nature Experience

Jenis Spa and wellness ini mempromosikan kesadaran, relaksasi dan kesenangan

melalui pertemuan bermakna dengan lingkungan alam. Contohnya mendaki di

alam, berenang dengan lumba-lumba, menunggang kuda, kunjungan ke kebun

raya, meditasi alam. Hal ini juga mencangkup penggunaan bahan-bahan alami

dan organik seperti tumbuh-tumbuhan, rumput laut, lumpur, dan bunga, sumber

daya yang dijadikan sebuah destinasi perlu untuk menyertakan situs alam yang

unik dari destinasi akan efektif untuk meningkatkan daya tariknya.

Saat ini perkembangan untuk health and wellness (medical service, leisure

and recreation, Spas, medical surgical clinic, medical wellness centres or Spa)

tourism telah menjadi trend pasar pada tingkat global dan regional yang menyebar

hampir merata di beberapa kawasan seperti Eropa, Amerika, Asia, dan Australia serta

Selandia Baru (Raiutama; 2011). Peningkatan kesejahteraan hidup manusia telah

mendorong terciptanya gaya hidup “lifestyle” moderen, kecenderungan ingin tampil

beda dengan tubuh yang senantiasa segar dan sehat, dan health and wellness tourism

berkembang seiring dengan adanya permintaan diimbangi beragam jenis produknya,

dengan mengkategorikannya dalam beberapa kelompok yakni; (1) mind mental

activity or education, (2) health nutrion or diet, (3) body physical fitness or beauty

care, dan (4) relaxation rest or Spa, namun Menurut Smith & Puczkó, 2009, (dalam

Holzner; 2010) Spa yang dianggap bentuk paling dikenal dari pariwisata wellness,

oleh karena itu pada Spa satu sisi dianggap sebagai bagian dari wisata wellness

(wellness tourism), Spa di sisi lain dipandang sebagai komponen dari industri

wellness.

Dalam industri kepariwisataan, Spa akan menjadi trend pariwisata

kedepannya (Holzner; 2010). Industri pariwisata mulai memasukan produk Spa

sebagai bagian dari penawaran dalam paket wisata untuk menarik minat wisatawan,

sehingga muncul istilah „Spa Tourism‟(Yildrirm; 2010). Seiring dengan

perkembangan Spa di seluruh dunia, telah menjadikan Spa sebagai sebuah bagian

dari aktivitas wisata secara holistik pada sebuah destinasi. Destinasi wisata

menggabungkan wisata dengan kebugaran dan kesehatan yang juga sebagai faktor

penarik bagi seseorang untuk melakukan perjalanan wisata dengan alasan utama

untuk bersantai dan menghilangkan stress. Terbukti faktor ini menyebabkan lonjakan

pariwisata Spa sebagai perjalanan dan pariwisata yang difokuskan pada kegiatan

preventif dan kesehatan di bawah pengawasan profesional dalam waktu satu luang

(Gúčik; 2006 dalam Talarovičová; 2010).

ISPA (International Spa Association), 2006 (dalam Yildirim; 2010),

mendefinisikan Spa tourism sebagai tempat yang khusus digunakan untuk

meningkatkan keseluruhan kesejahteraan melalui berbagai layanan profesional yang

mendorong pembaharuan pikiran, tubuh dan jiwa. Ditambahkan oleh Illing, 2009

(dalam Holzner; 2010), bahwa Spa tidak hanya menekankan pada penggunaan air

namun juga termasuk di dalamnya fasilitas pelayanan Spa lainnya. Maka dari itu

secara komprehensif bahwa Spa diartikan sebagai tempat dimana wisatawan dapat

memenuhi kebutuhan kesehatan, kesejahteraan dan tempat relaksasi dalam berbagai

bentuk pada sebuah destinasi.

Menurut Smith & Puczkó 2009 (dalam Holzner; 2010), ISPA (International

Spa Association) telah mengkategorikan unsur-unsur utama dari Spa diantaranya; 1)

Relax (misalnya manajemen stres), 2) Reflect (misalnya meditasi), 3) Revitalisasi

(misalnya energi dan peremajaan) dan 4) Rejoice (misalnya kebahagiaan dan

hiburan). Mengacu pada unsur-unsur tersebut, Spa menawarkan berbagai perawatan

(treatment), kegiatan dan layanan. Oleh karenannya adapun klasifikasi jenis Spa

dapat mengkategorikan penawaran Spa sebagai bentuk atas produk wellness tourism

dengan kategori sebagai berikut.

1. Day Spa, Spa dengan pelayanan terorganisir secara profesional yang ditawarkan

dalam 1 hari, dengan pelayanan dari penataan rambut hingga perawatan kaki

(misalnya kecantikan, kebugaran, program Wellness) tanpa memberikan

akomodasi.

2. Resort Hotel Spa, Spa yang menjadi satu lokasi dengan sebuah resort atau hotel,

dengan pelayanan Spa yang terorganisir secara professional dengan pilihan

pelayanan bermacam-macam selain Spa, juga makanan sehat yang tersedia, bisa

dilakukan dalam sehari maupun beberapa hari.

3. Medi Spa, Spa secara individual, berkelompok dan secara institusi dimana

menggabungkan pengobatan medis dan Spa tradisional dibawah pengawasan

dokter.

4. Holistic Spa, Spa yang menawarkan pengobatan alternatif seperti akupunktur,

reiki, pijat refleksi, yoga serta lainnya.

Daniela Matušíková, 2010 juga memberikan batasan pada layanan Spa dari

berbagai jenis layanan yang ada kedalam 5 layanan Spa yang dianggap paling

dominan dan dilakukan adalah sebagai berikut;

1. Day Spa, menyediakan berbagai layanan Spa yang tidak lebih dari 1 hari dan

tanpa ada akomodasi.

2. Hotel and Resort Spa, menyediakan fasilitas Spa dengan tambahan komponen

akomodasi hotel dan resort dan pilihan menu makanan, yang bisa dilakukan

dalam beberapa hari.

3. Destination Spa, Spa yang berfokus pada peningkatan gaya hidup dan perbaikan

kesehatan dan kebugaran fisik, program edukasi dan fasilitas penginapan yang

terletak pada daerah terpencil selama beberapa hari.

4. Natural Bathing Spa, bisnis Spa yang beroperasi pada lokasi yang tradisional dan

natural dengan menawarkan pemandian secara alami dengan menggunakan

kolam air atau lumpur dengan berbagai layanan Spa dan biasanya terdapat

fasilitas akomodasi.

5. Related Spa, bisnis yang menggabungkan prinsip-prinsip Spa menjadi filosofi

dan praktek mereka dengan sedikit fasilitas terapi dengan menggunakan air, dan

sedikit fasilitas untuk tamu, seperti salon Spa , Spa gigi dan Spa kuku.

Dalam perkembanganya Spa bermunculan pada destinasi wisata

menawarkan beragam program bagi yang membutuhkan kesegaran, tenaga serta

semangat yang baru. Bahkan dengan kemajuan teknologi dan kebutuhan manusia,

Spa modern tidak lagi sekedar kegiatan berendam di air panas atau pijat tradisional.

Spa kini telah menjadi pendekatan holistik atau sarana yang bertujuan untuk

menyelaraskan kehidupan manusia melalui terapi alternatif secara tiga dimensi yaitu

tubuh, pikiran dan emosi dengan fokus pada proses penyembuhan (healing) melalui

panca indra fisik manusia, yaitu melalui penglihatan, indra penciuman, rasa,

sentuhan, dan pendengaran, Thaiways, 2007 (dalam Boonyarit dan Phetvaroon;

2011). Dalam perkembangan ini pula, produk Spa yang mendominasi diantaranya

perawatan wajah, mandi sauna atau uap dan full body massage dengan fasilitas

diantaranya sauna atau steam room (ruang uap), bathtubs (bak mandi), Jacuzzis

(kolam dengan pusaran air), dan mineral/thermal pool (Holzner, 2010).

Spa tourism yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah produk Spa

dengan kategori Day Spa dan Hotel and resort Spa yang ada di kawasan pariwisata

Ubud sebagai salah satu destinasi wisata wellness yang berdasarkan atas modalitas

yang dimiliki Ubud. Pemilihan atas kedua kategori tersebut dengan pertimbangan

bahwa dua kategori Spa tersebut sebagai produk pariwisata wellness yang telah

berkembang pesat di kawasan wisata Ubud, Gianyar.

2.2.6. Produk Wisata

Produk wisata adalah semua bentuk pelayanan yang dinikmati wisatawan

dari mereka berangkat meninggalkan tempat tinggalnya hingga mereka kembali

pulang (Yoeti; 2005).

Produk wisata merupakan sesuatu yang dapat ditawarkan kepada wisatawan

untuk mengunjungi sebuah daerah tujuan wisata. Produk wisata dapat berupa alam,

budaya serta hasil kerajinan masyarakat. Secara mendetail, lebih lanjut dalam Dian

Permana (2013) memaparkan ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli

mengenai definisi produk pariwisata dari berbagai sudut pandang secara holistik,

diantaranya :

a. Menurut Gooddall (1991), produk wisata dimulai dari ketersediaan sumber

yang berwujud (tangible) hingga tidak berwujud (intangible) dan secara

totalitas cenderung kepada kategori jasa yang tidak berwujud (intangible).

b. Menurut Burns and Holden (1989) produk wisata dinyatakan sebagai segala

sesuatu yang dapat dijual dan diproduksi dengan menggabungkan faktor

produksi, konsumen yang tertarik pada tempat-tempat yang menarik,

kebudayaan asli dan festival-festival kebudayaan.

c. Menurut Kotler dan Amstrong (1989) yaitu sebagai sesuatu yang ditawarkan

kepada konsumen atau pangsa pasar untuk memuaskan kemauan dan

keinginan termasuk di dalam objek fisik, layanan, Sumber daya manusia yang

terlibat di dalam organisasi dan terobosan atau ide-ide baru.

d. Suwantoro (1997), berpendapat produk wisata merupakan keseluruhan

pelayanan yang diperoleh dan dirasakan atau dinikmati wisatawan semenjak

mereka meninggalkan tempat tinggalnya, sampai ke daerah tujuan wisata yang

telah dipilihnya dan kembali ke rumah dimana mereka berangkat semula.

e. Medlik dan Middleton, 1973 (dalam Smith; 1994) mengkonseptualisasikan

produk pariwisata sebagai sebuah kemasan kegiatan, layanan dan manfaat

yang merupakan keseluruhan pengalaman pariwisata. Kemasan ini terdiri dari

lima komponen diantaranya; (1) atraksi di destinasi, (2) fasilitas yang ada di

destinasi, (3) aksesibilitas, (4) citra, dan (5) harga.

f. Middleton, 1989 (dalam Smith; 1994) juga mengamati bahwa istilah

"produk wisata", digunakan pada dua tingkat yang berbeda. Salah satunya

adalah tingkat "khusus", yaitu bahwa suatu produk yang ditawarkan oleh

bisnis tunggal secara terpisah seperti tur wisata atau kursi penerbangan.

Sedangkan tingkat "total", merupakan produk yang berisikan pengalaman

lengkap wisatawan dari waktu meninggalkan rumah hingga waktu kembali

g. Normann, 1984 (dalam Smith; 1994) menyajikan model sederhana yang

terdiri dari layanan inti dan jasa sekunder untuk menggambarkan produk

wisata dengan memberikan contoh pada industri penerbangan, Normann

mengamati bahwa penerbangan dari daerah asal ke tujuan adalah layanan inti

dari sebuah maskapai penerbangan, sementara pemesanan, check-in,

penanganan bagasi, membersihkan pesawat, kenyamanan, hingga sikap

umum staf merupakan layanan sekunder.

Banyak pengertian yang mendefinisikan produk wisata secara terpadu dengan

memperhatikan dan mempertimbangkan komponen-komponen yang menyertainnya.

Dari beberapa definisi di atas, suatu produk wisata tidak hanya terbatas dilihat dari

komponen objek wisata, fasilitas, ataupun transportasi saja, melainkan pendekatan

produk wisata juga erat berkaitan dengan semua bentuk pelayanan yang dinikmati

oleh wisatawan ketika meninggalkan tempat asal, semua pelayanan yang dinikmati

oleh wisatawan ketika berada di daerah tujuan wisata dan hingga kembali ke daerah

asal mereka secara tangible dan intangible dengan maksud memenuhi dan

memuaskan segala kemauan dan keinginan wisatawan. Dalam penelitian ini, produk

wisata yang dimaksud ialah salah satu produk wisata wellness yaitu produk Spa yang

ditawarkan oleh masing-masing usaha Spa di sepanjang kawasan wisata Ubud,

Gianyar.

2.2.7. Wisatawan

Dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan

dikatakan “Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata”. Definisi wisatawan ini

juga ditetapkan berdasarkan rekomendasi International Union of Office Travel

Organization (IUOTO) dan World Tourism Organization (WTO). Wisatawan adalah

seseorang atau sekelompok orang yang melakukan perjalanan ke sebuah atau

beberapa negara di luar tempat tinggal biasanya atau keluar dari lingkungan tempat

tinggalnya untuk periode kurang dari 12 bulan dan memiliki tujuan untuk melakukan

berbagai aktivitas wisata.

Menurut IUOTO (International Union of Official Travel Organization),

dalam Pitana dan Gayatri (2005) menggunakan batasan mengenai wisatawan secara

umum disebut pengunjung (visitor) yaitu setiap orang yang datang ke suatu negara

atau tempat tinggal lain dan biasanya dengan maksud apapun kecuali untuk

melakukan pekerjaan yang menerima upah.

Berdasarkan sifat perjalanannya ada beberapa jenis wisatawan. Ada istilah

wisatawan asing (foreign tourist) yang biasa disebut “wisatawan mancanegara”

(wisman), ada istilah “domestic foreign tourist” (wisman domestik), ”domestic

tourist” (wisatawan nusantara) dan “Indigenous Foreign Tourist” (wisman

pribumi), ”transit tourist” (wisatawan transit atau singgah). Selain itu, ada juga

“local tourist” (wisatawan lokal), sebagai satu pembanding dari wisatawan

nusantara atau domestik (domestic tourist).

Jika wisatawan mancanegara adalah orang asing yang melakukan perjalanan

wisata, datang memasuki suatu negara lain yang bukan merupakan negara di mana

biasanya tinggal, maka wisatawan mancanegara domestik adalah orang asing yang

berdiam atau bertempat tinggal di suatu negara karena tugas, dan melakukan

perjalanan wisata di wilayah negara di mana ia tinggal. Ini kebalikan dari wisatawan

mancanegara pribumi yakni warga negara suatu negara tertentu yang karena tugasnya

atau jabatannya berada di luar negeri, dan pulang ke negara asalnya dan melakukan

perjalanan wisata di wilayah negaranya sendiri. Sedangkan wisatawan transit adalah

wisatawan yang sedang melakukan perjalanan ke suatu negara tertentu, yang

terpaksa mampir atau singgah pada suatu bandar udara atau pelabuhan laut dan atau

stasiun bukan atas kemauannya sendiri. Wisatawan domestik dapat disebut sebagai

wisatawan yang melakukan perjalanan wisata dalam batas wilayah negaranya sendiri.

Wisatawan ini melakukan perjalanan wisata minimal 24 jam dan tidak dimaksudkan

untuk tinggal menetap di daerah yang dituju.

2.3. Hipotesis

Pengetahuan merupakan domain yang penting dalam membentuk tindakan

seseorang. Dewi dan Wawan, 2010 (dalam Martiani; 2012) menyatakan bahwa

Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek, yaitu aspek

positif dan negatif. Kedua aspek ini yang akan menentukan sikap seseorang, semakin

banyak aspek positif dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin

positif terhadap objek tertentu dan mengambil keputusan terhadap objek tersebut.

Pengetahuan konsumen akan mempengaruhi keputusan pembelian (Yunita;

2014). Ketika konsumen memiliki pengetahuan lebih banyak, maka konsumen akan

lebih baik dalam mengambil keputusan, konsumen akan lebih efisien dan lebih tepat

dalam mengolah informasi dan mampu me-recall informasi dengan lebih baik,

semua itu dampak dari pengetahuan yang dimiliki oleh konsumen yang akan

berpengaruh besar terhadap tindakannya dalam pengambilan keputusan. Penelitian

Budiarti (2010) menyatakan bahwa pengaruh pengetahuan konsumen terhadap

keputusan pembelian. Dalam penelitian tersebut menyakinkan bahwa ada pengaruh

positif dan signifikan atas pengetahuan konsumen terhadap keputusan pembelian

secara parsial.

H1 : Ada pengaruh positif dan signifikan pengetahuan wisatawan terhadap

keputusan pembelian produk Spa di kawasan wisata Ubud.

Sikap adalah kecendrungan individu untuk memahami, merasakan, bereaksi,

dan berprilaku terhadap suatu produk tertentu yang merupakan hasil dari interaksi

komponen kognitif, afektif, dan konatif. Wee, et al., 1995 (dalam Hendro Trisdiarto;

2012) tegas menyatakan bahwa Sikap sangat berperan penting terhadap keputusan

pembelian wisatawan serta bertahan terhadap produk tersebut (retention). Adanya

sikap yang lebih positif dari konsumen terhadap produk maka akan meningkatkan

pembelian terhadap produk tersebut. Sama halnya dengan semakin negatifnya sikap

konsumen terhadap produk, maka akan kecil kemungkinan bagi konsumen tersebut

untuk melakukan pembelian.

Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2008) dan Garry (2011) yang

membahas variabel sikap konsumen sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi

konsumen secara positif dalam pengambilan keputusan pembelian atas suatu produk.

Diperkuat kembali oleh penelitian Nguyen dan Gizaw (2014) yang membahas

faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian konsumen, bahwa ada 5

faktor yang teridentifikasi mampu mempengaruhi keputusan pembelian, dan salah

satu diantaranya adalah sikap konsumen.

H2 : Ada pengaruh positif dan signifikan sikap wisatawan terhadap keputusan

pembelian produk Spa di kawasan wisata Ubud.

Mowen dan Minor (2002), pada hierarki pengambilan keputusan pembelian

ada yang disebut dengan keterlibatan tinggi (high involvement hierarchy),

menunjukan bahwa pengetahuan dan sikap ada pada hierarki dengan keterlibatan

tinggi, karena konsumen cenderung terlibat dalam pencarian informasi yang

ekstensif tentang alternatif produk yang selanjutnya membentuk kepercayaan besar

terhadap objek, kemudian mengembangkan afeksi (perasaan) terhadap objek, dan

akhirnya muncul keinginan berprilaku relatif terhadap objek tersebut yaitu pembelian

produk atau jasa. Singkatnya, apabila konsumen sangat terlibat dalam keputusan

pembelian tertentu, mereka melakukan aktivitas penyelesaian masalah yang luas dan

bergeser melalui hierarki proses pembelajaran (pengetahuan) – formasi sikap – dan

kemudian Prilaku.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Setiadi, 2003 (dalam Yunita;

2014) bahwa pengambilan keputusan konsumen (consumer decision making) adalah

proses pengintegrasian yang mengkombinasikan pengetahuan dan sikap untuk

mengevaluasi dua atau lebih prilaku alternatif dan memilih salah satu diantaranya.

H3 : Ada pengaruh positif dan signifikan pengetahuan dan sikap wisatawan

secara simultan terhadap keputusan pembelian produk Spa di kawasan

wisata Ubud.

Penelitian yang dilakukan oleh Kweek, et al. (2010) menjelaskan

Pengalaman konsumen akan mempengaruhi prilaku konsumen berikutnya dalam

pembelian. Menurut Sukmadinata (2007) pengalaman merupakan salah satu faktor

yang mempengaruhi pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Disebutkan bahwa

pengalaman merupakan pengetahuan melalui kontak nyata dengan produk oleh

karenanya orang yang berpengalaman mudah menerima informasi dari lingkungan

sekitar, sehingga akan lebih baik dalam mengambil keputusan. Ketika konsumen

telah memiliki pengalaman konsumsi atas suatu produk, itu akan mempengaruhi

tingkat pengetahuan atas produk tersebut, karena semakin banyak pengalaman

seseorang terhadap produk maka pengetahuan orang tersebut akan lebih baik tentang

produk (Dwiastuti, 2012).

Mowen dan Minor (2002) juga menyebutkan, pengalaman berpengaruh

terhadap pembentukan sikap konsumen. Pengalaman yang positif dan cenderung

puas akan berdampak pada sikap yang positif dan mengarah pada pembelian ulang

dan begitu juga ketika pengalaman konsumen bersifat negatif setelah mengkonsumsi

produk, maka akan berdampak negatif pada sikap.

Bernnet, et al.; 2004 telah melakukan penelitian dan menunjukan bahwa

fungsi dari pengalaman sebagai variabel yang memoderasi hubungan keterlibatan

dan kepuasan terhadap loyalitas merek, demikian dengan penelitian yang dilakukan

oleh Paterson, et al.; 1995 yang juga menemukan bahwa variabel pengalaman

sebagai variabel moderasi terhadap kepuasan pelanggan (customer). Dengan

demikian didasari oleh penemuan pada penelitian-penelitian tersebut dengan

menjadikan pengalaman sebagai variabel moderasi yang akan memperkuat ataupun

memperlemah hubungan atau pengaruh antara independen pada dependen. Sehingga

dalam penelitian ini pula memfungsikan pengalaman sebagai variabel pemoderasi

yang diperkirakan akan menjadi variabel yang akan memperkuat hubungan

pengetahuan dan sikap terhadap keputusan pembelian produk wisata Spa di kawasan

wisata Ubud.

H4 : Ada pengaruh positif dan signifikan pengalaman wisatawan sebagai

pemoderasi dalam memperkuat pengaruh pengetahuan wisatawan terhadap

keputusan pembelian produk Spa di kawasan wisata Ubud

H5 : Ada pengaruh positif dan signifikan pengalaman wisatawan sebagai

pemoderasi dalam memperkuat pengaruh sikap wisatawan terhadap

keputusan pembelian produk Spa di kawasan wisata Ubud.

Keputusan Pembelian (Y)

Pengetahuan Produk

Pengetahuan Pembelian

Pengetahuan Pemakaian

Kepercayaan

Kesukaan

Tindakan

Sikap (X2)

Gambar 2.2

Kerangka Pemikiran

H1

H2

H3

Pengalaman (Z)

H4 H5

Pengetahuan (X1) Kemantapan produk

Merasakan manfaat

Rekomendasi

Membeli ulang

Frekuensi pembelian

Mengenal produk

Kepuasan Rasa senang