Pathfinder Simulation Sebagai Dasar Pembanding Waktu Real ...
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Telaah Hasil Penelitian … II.pdf · Telaah hasil penelitian...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Telaah Hasil Penelitian … II.pdf · Telaah hasil penelitian...
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Telaah Hasil Penelitian Sebelumnya
Telaah hasil penelitian sebelumnya berfungsi sebagai bahan pembanding
yang mampu memberikan gambaran mengenai arah penelitian dan batasan hasil
yang ingin diperoleh. Terdapat tiga penelitian yang dipergunakan sebagai bahan
pembanding yang sesuai dengan penelitian yang akan dibuat.
Penelitian yang digunakan sebagai pembanding pertama adalah penelitian
yang dibuat oleh Halim (2012) yang berjudul “Pengaruh Pelatihan Terhadap
Produktivitas Kerja Karyawan Collage Restaurant di Hotel Pullman Jakarta
Central Park.” Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian tersebut adalah: untuk
mengetahui pengaruh pelatihan secara simultan dan parsial terhadap kinerja
karyawan Collage Restaurant di Hotel Pullman Jakarta. Metode penelitian yang
dipergunakan adalah metode deskriptif-asosiatif dengan pendekatan kuantitatif.
Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis regresi linear
sederhana dengan mempergunakan teknik sampel jenuh atau sensus dengan
jumlah sampel sebanyak 31 orang. Variabel penelitian adalah pelatihan dan
produktivitas kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelatihan (training)
memiliki pengaruh signifikan sebesar 70,5 persen terhadap produktivitas kerja
karyawan
14
Pada penelitian yang dibuat oleh Rispati dkk (2013) yang berjudul
“Pengaruh Pelatihan Kerja dan Motivasi Terhadap Kinerja Karyawan (studi kasus
pada karyawan hotel Grasia Semarang.” Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh pelatihan kerja, dan motivasi secara simultan maupun
parsial terhadap kinerja karyawan hotel Grasia Semarang. Teknik penentuan
sampel dilakukan secara jenuh atau sensus dengan jumlah sampel sebanyak 80
orang. Teknik analisis data menggunakan metode uji regresi sederhana dan
berganda. Variabel penelitian adalah pelatihan kerja, motivasi dan kinerja
karyawan. Hasil penelitian adalah bahwa pelatihan kerja mempunyai pengaruh
paling besar terhadap kinerja karyawan yaitu 10,1 persen dibanding motivasi yang
hanya sebesar 5 persen. Secara bersama-sama pelatihan kerja dan motivasi
mempunyai pengaruh terhadap kinerja karyawan sebesar 13,3 persen.
Penelitian Permitasari dengan yang berjudul “Pengaruh Dimensi Pelatihan
Terhadap Kinerja Karyawan Pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Magetan”
(tahun 2012). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelatihan yang
terdiri dari lima dimensi, yaitu : (1). Materi pelatihan, (2). Sarana pelatihan, (3).
Instruktur pelatihan, (4). Metode pelatihan, dan (5). Peserta pelatihan terhadap
kinerja karyawan pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Magetan. Metode
penelitian menggunakan teknik analisis regresi linear berganda. Penelitian ini
menggunakan populasi sebesar 30 orang karyawan Badan Pusat Statistik
Kabupaten Magetan. Hasil penelitian dengan menggunakan analisis regresi linier
berganda menunjukkan bahwa dimensi materi pelatihan (X1), sarana pelatihan
(X2), instruktur pelatihan (X3), metode pelatihan (X4), dan peserta pelatihan (X5)
berpengaruh secara simultan terhadap kinerja karyawan (Y). Dimensi materi
15
pelatihan (X1) mempunyai pengaruh dominan terhadap kinerja karyawan karena
mempunyai nilai koefisien beta yang paling tinggi. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa dimensi pelatihan yaitu, materi pelatihan, sarana pelatihan,
instruktur pelatihan, metode pelatihan, dan peserta pelatihan mempunyai pengaruh
secara simultan terhadap kinerja karyawan. Dimensi materi pelatihan (X1), sarana
pelatihan (X2), metode pelatihan (X4) dan peserta pelatihan (X5) masing masing
berpengaruh terhadap kinerja karyawan (Y), sedangkan instruktur pelatihan (X3)
terbukti tidak berpengaruh terhadap kinerja karyawan (Y).
Persamaan ketiga penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah
menggunakan variabel pelatihan sebagai variabel bebas dan mempergunakan
variabel kinerja karyawan sebagai variabel terikat. Perbedaannya adalah variabel
pelatihan dibagi menjadi enam aspek yaitu, materi, metode, instruktur, tujuan,
lingkungan penunjang dan peserta pelatihan, sebagai variabel bebas yang akan
diuji pengaruhnya terhadap varibel kinerja sebagai variabel terikat. Manfaat
tinjauan penelitian sebelumnya adalah, variabel yang sudah dipergunakan untuk
penelitian sebelumnya dapat diaplikasikan kembali pada penelitian ini dengan
metode analisis data dan variabel lain yang mempengaruhi. Teknik analisis data
yang dipergunakan adalah teknik analisis regresi berganda dengan jumlah
responden sebanyak 108 orang yang dipilih dengan metode undian dengan
melakukan pembagian kuota sebanyak 50% terhadap masing-masing departemen.
Penelitian dilakukan di Mercure Resort Sanur, Denpasar Bali pada tahun 2015.
Berdasarkan pada telaah penelitian sebelumnya, dapat dilihat perbedaan maupun
persamaan terhadap penelitian sekarang. Lebih jelas persamaan dan perbedaan
tersebut terdapat pada Tabel 2.1.
16
Tabel 2. 1
Persamaan dan Perbedaan Penelitian Sebelumnya Dengan Penelitian Sekarang
NO Persamaan/Perbedaan
Peneliti/Tahun Tujuan Metode Hasil Variabel
1 Halim (2012) Untuk mengetahui
pengaruh pelatihan secara
simultan dan parsial
terhadap produktivitas
kerja
Analisis Regresi
Linear Sederhana
Pelatihan memiliki pengaruh
signifikan sebesar 70,5 persen
terhadap produktivitas kerja
karyawan
Pelatihan (X)
Produktifitas
Kerja (Y)
2 Rispati dkk
(2013)
Untuk mengetahui
pengaruh pelatihan kerja,
dan motivasi secara
simultan maupun parsial
terhadap kinerja karyawan
Analisis Regresi
Liniear Sederhana dan
Berganda
Pelatihan kerja mempunyai
pengaruh paling besar terhadap
kinerja karyawan yaitu 10,1
persen dibanding motivasi
yang hanya sebesar 5 persen.
Secara bersama-sama pelatihan
kerja dan motivasi mempunyai
pengaruh terhadap kinerja
karyawan sebesar 13,3 persen.
Pelatihan Kerja
(X1), Motivasi
Kerja (X2),
Kinerja (Y)
3 Permitasari
(2012).
Untuk mengetahui
pengaruh pelatihan secara
simultan dan parsial
terhadap kinerja.
Analisis Regresi
Linier Berganda
Semua dimesi pelatihan
berpengaruh secara simultan,
instruktur pelatihan tidak
berpengaruh terhadap kinerja
dan materi pelatihan memiliki
pengaruh dominan terhadap
kinerja
Materi pelatihan
(X1), Sarana
pelatihan (X2),
Metode pelatihan
(X4), Peserta
pelatihan (X5)
masing kinerja
karyawan (Y).
3 Sekarang (2015) Untuk mengetahui
pengaruh pelatihan secara
simultan dan parsial
terhadap kinerja
Analisis Linier
Sederhana dan
Berganda
Hasil belum ditemukan. Materi pelatihan
(X1), Metode
Pelatihan (X2),
Instruktur
17
karyawan, dan mengetahui
variabel pelatihan yang
mendominasi kinerja
karyawan
Pelatihan (X3),
Tujuan Pelatihan
(X4), Lingkungan
penunjang
Pelatihan
(X5).Peserta
Pelatihan (X6),
Kinerja (Y).
Sumber: Hasil Modifikasi, 2015.
Berdasarkan Tabel 2.1, dapat dilihat bahwa terdapat persamaan tujuan antara penelitian sebelumnya dengan penelitian sekarang
yaitu untuk menemukan pengaruh pelatihan secara simultan dan parsial terhadap kinerja. Perbedaan terlihat pada variabel X yang
dipergunakan. Pada peneilitian sekarang terdapat enam buah variabel X yang terdiri dari X1), Metode Pelatihan (X2), Instruktur
Pelatihan (X3), Tujuan Pelatihan (X4), Lingkungan penunjang Pelatihan (X5). Dan Peserta Pelatihan (X6).
18
2.2 Deskripsi Konsep
2.2.1 Tinjauan Tentang Pelatihan
Pengertian training yang disampaikan oleh Hayes dan Jack (2009: 71)
adalah sebagai berikut: “The process of developing a staff member’s knowledge,
skills, and attitudes necessary to perform tasks required for a position.” Apabila
diterjemahkan secara bebas kedalam Bahasa Indonesia adalah, pelatihan
merupakan proses untuk mengembangkan pengetahuan, keahlian, dan sikap
seorang karyawan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas-tugas untuk suatu
posisi (jabatan).
Menurut Ruky (2001: 163) pelatihan didefinisikan sebagai “usaha untuk
meningkatkan atau memperbaiki kinerja karyawan dalam pekerjaannya sekarang
dan dalam pekerjaan lain yang terkait dengan yang sekarang dijabatnya, baik
secara individu maupun sebagai bagian dari sebuah team kerja.”. Rivai (2014:
226) menyatakan “pelatihan adalah secara sistematis mengubah tingkah laku
karyawan untuk mencapai tujuan organisasi.”
Selain itu Soeprihanto (2000:17) menyatakan pelatihan adalah “kegiatan
untuk memperbaiki kemampuan karyawan dengan cara meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan operasional dalam menjalankan suatu pekerjaan.”
Pelatihan menurut Dessler (2004:216) adalah “proses mengajarkan
karyawan baru atau yang ada sekarang, keterampilan dasar yang mereka butuhkan
untuk menjalankan pekerjaan mereka.” Pelatihan merupakan salah satu usaha
dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia dalam dunia kerja. Karyawan
baru atau pun yang sudah bekerja perlu mengikuti pelatihan karena adanya
19
tuntutan pekerjaan yang dapat berubah akibat perubahan lingkungan kerja,
strategi, dan lain sebagainya.
Berdasarkan pengertian pelatihan tersebut maka dapat ditarik simpulan
bahwa pelatihan merupakan aktivitas perusahaan yang bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan seluruh karyawan pada perusahaan sehingga dapat
melakukan pekerjaan sesuai standar dan mencapai tujuan perusahaan secara
efektif dan efisien.
Banyak orang yang keliru dalam memahami antara pelatihan dan
pengembangan (development). Menurut Ruky (2001: 164) pengembangan
merujuk pada penyediaan kesempatan belajar kepada karyawan untuk membantu
mereka tumbuh dan berkembang. Dalam konteks pengembangan tersebut, dapat
ditarik suatu pemahaman bahwa seorang karyawan tidak perlu diberikan pelatihan
apabila memiliki potensi dan sudah memiliki keahlian dalam satu bidang. Karena
pelatihan merupakan fase dimana seorang karyawan mendapatkan suatu keahlian
agar dapat menyelesaikan pekerjaan.
Pelatihan berbeda dengan pendidikan. Pada penelitian yang dibuat oleh
Sleight (1993: 1), menyatakan bahwa pelatihan (training) mengajarkan bagaimana
melakukan suatu hal secara spesifik seperti menjalankan mesin, atau membuat
kaos, sedangkan pendidikan merupakan instruksi pada pengetahuan umum dalam
masyarakat seperti mempelajari sejarah kemasyarakatan, atau pengetahuan dalam
matematika. Sehingga pelatihan bersifat teknis dan menjawab pertanyaan
“bagaimana caranya untuk mengerjakan satu hal.”
20
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelatihan.
Faktor-faktor yang menunjang pelatihan kearah keberhasilan menurut Rivai
(20014: 173), antara lain: materi, metode, instruktur, tujuan, lingkungan
penunjang dan peserta. Menurut Hasibuan (2005: 75-76) keefektifan pelatihan
dipengaruhi beberapa faktor yaitu sarana pelatihan, pelatih, materi pelatihan,
metode pelatihan, dan peserta.
Bangun (2012: 205) menyatakan, untuk mencapai hasil pelatihan yang
efektif, perlu diperhatikan konsep pembelajaran dalam perancangan pelatihan.
Terdapat tiga faktor penting yang perlu diperhatikan dalam merancang pelatihan
antara lain, kesiapan peserta pelatihan, kemampuan pelatih, dan materi pelatihan.
Berdasarkan pendapat ahli tersebut dapat ditarik simpulan bahwa terdapat
beberapa faktor yang menunjang pelatihan kearah keberhasilan yaitu: materi,
metode, instruktur, tujuan, lingkungan penunjang dan peserta pelatihan.
Pada dasarnya, setiap kegiatan terarah tentu harus memiliki sasaran yang
jelas, memuat hasil yang ingin dicapai dalam melaksanakan kegiatan tersebut,
demikian pula dengan program pelatihan. Menurut Rivai (2014: 166), kegiatan
pelatihan pada dasarnya dilaksanakan untuk menghasilkan perubahan tingkah laku
dari orang-orang yang mengikuti pelatihan. Perubahan tingkah laku yang
dimaksud disini dapat berupa bertambahnya pengetahuan, keahlian, keterampilan,
dan perubahan sikap serta perilaku. Oleh karena itu, sasaran pelatihan dapat
dikatergorikan kedalam beberapa tipe tingkah laku yang diinginkan, antara lain:
21
1) Kategori psikomotorik, meliputi pengontrolan otot-otot sehingga orang dapat
melakukan gerakan yang tepat. Sasarannya adalah agar orang tersebut
memiliki keterampilan fisik tertentu.
2) Kategori afektif, meliputi perasaan, nilai dan sikap. Sasaran pelatihan dalam
kategori ini adalah untuk membuat orang mempunyai sikap tertentu.
3) Kategori kognitif, meiliputi proses intelektual seperti mengingat, memahami,
dan menganalisis. Sasaran pelatihan pada kategori ini adalah untuk membuat
orang mempunyai pengetahuan dan keterampilan berfikir.
Mangkunegara (2006: 67) menyebutkan tujuan pelatihan dan
pengembangan antara lain:
1) Meningkatkan penghayatan jiwa dan ideologi
2) Meningkatkan produktivitas kerja
3) Meningkatkan kualitas kerja
4) Meningkatkan ketetapan perencanaan sumberdaya manusia
5) Meningkatkan sikap moral dan semangat kerja
6) Meningkatkan rangsangan agar pegawai mampu berprestasi secara maksimal
7) Meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja
8) Menghindari keusangan (obsolence)
9) Meningkatkan perkembangan karyawan
Umar (2004: 21) berpendapat bahwa program pelatihan bertujuan untuk
memperbaiki penguasaan berbagai keterampilan dan teknik pelaksanaan kerja
untuk kebutuhan sekarang. Berdasarkan pendapat ahli tersebut, maka dapat ditarik
simpulan bahwa tujuan dari kegiatan pelatihan adalah untuk meningkatkan
22
keterampilan kerja dan merubah perilaku karyawan yang disebabkan oleh
peningkatan ilmu pengetahuan.
2.2.2 Tinjauan Tentang Materi Pelatihan
Menurut Siagian (2008: 190), pelatihan akan berlangsung dengan baik
apabila perencanaan pelatihan dilakukan dengan baik pula. Materi pelatihan
merupakan hal penting yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan pelatihan.
Materi pelatihan harus disiapkan dan disesuaikan dengan kebuthan pelatihan.
Mangkunegara (2006: 46) mengemukakan bahwa “materi pelatihan
Sumber Daya Manusia merupakan materi atau kurikulum yang sesuai dengan
tujuan pelatihan Sumber Daya Manusia yang hendak dicapai oleh perusahaan dan
materi pelatihan pun harus update agar peserta dapat memahami masalah yang
terjadi pada kondisi yang sekarang.”
Antariksa (2015: 2) menyatakan, secara sederhana proses penyusunan
materi pelatihan yang efektif dapat dilakukan mengikuti poin-poin berikut ini:
1) Lakukan pengamatan terlebih dahulu terhadap karyawan atau target pelatihan,
untuk menentukan kebutuhan training. Ketahui hal-hal yang menjadi
permasalahan dalam kinerja mereka. Langkah ini dapat dilakukan dengan
penilaian terhadap pekerjaan karyawan sehari-hari atau melakukan konsultasi
langsung dengan mereka.
2) Buat materi singkat dan jelas yang isinya disesuaikan dengan kondisi kerja
karyawan serta kebutuhan perusahaan. Teori tersebut tidak seharusnya berupa
konsep abstrak karena harus bisa langsung diterapkan setelah training selesai.
Oleh karena itu, materi yang disampaikan juga sebaiknya dibuat semudah
mungkin untuk dipahami oleh semua peserta.
23
3) Masukkan ekspetasi-ekspetasi tertentu dari perusahaan terhadap karyawannya
dalam materi. Misalnya tentang keahlian khusus yang harus dikuasai oleh
karyawan perusahaan tersebut. Maka, materi yang disampaikan juga
mengandung pengetahuan yang sesuai.
4) Susun bahan pelatihan yang relevan dengan tujuan kegiatan serta tuntutan
perusahaan agar tidak ada waktu yang terbuang sia-sia.
5) Selain penyusunan materi pelatihan yang dilakukan sedemikian rupa agar
efektif dan benar-benar bermanfaat, faktor keberhasilan dari program training
tersebut juga ditentukan dari metode penyampaian.
Bangun (2012: 205) menyatakan, materi pelatihan sangat menentukan
dalam memperoleh keberhasilan pada proses pelatihan. Materi pelatihan yang
disampaikan harus sesuai dengan persyaratan pekerjaan. Perusahaan membuat
materi pelatihan yang dapat disampaikan oleh pelatih dan mudah untuk dipahami
peserta latihan. Berdasarkan pendapat ahli tersebut, maka dapat ditarik simpulan
bahwa materi pelatihan adalah kurikulum yang sesuai dengan tujuan pelatihan.
2.2.3 Tinjauan Tentang Metode Pelatihan
Hayes dan Jack (2009: 92), membagi metode pelatihan menjadi dua
yaitu individual training methods, dan group training methods yang masing-
masing bagian memiliki sub bagian sebagai berikut:
24
1) Individual training methods
Metode pelatihan individual training methods terdiri dari 7 jenis pelatihan
yaitu on job training, self-study, pengalaman kerja terstruktur, cross
training, pengayaan pekerjaan, perluasan pekerjaan, rotasi pekerjaan.
(1). On job training
Merupakan sebuah teknik pelatihan (satu per satu) antara seorang trainer
yang berpengetahuan dan memiliki keahlian, mengajarkan seorang
karyawan yang kurang berpengalaman mengenai bagaimana caranya
untuk melakukan suatu tugas sesuai dengan jabatannya.
(2). Self-study
Seorang anggota pelatihan dapat mendaftarkan dirinya untuk mengikuti
pendidikan yang diberikan oleh institusi atau asosiasi profesional.
(3). Pengalaman kerja terstruktur
Seorang karyawan bisa ditetapkan untuk menangani proyek yang spesifik
dengan ditemani oleh seorang pemandu atau oleh seorang karyawan yang
lebih berpengalaman untuk melatih dan juga membantu karyawan.
(4). Pelatihan silang (Cross training)
Metode pelatihan ini mengandung aktifitas umum yang mengizinkan
karyawan untuk mempelajari tugas dan tanggungjawab pada posisi
(jabatan) yang berbeda.
(5). Pengayaan pekerjaan (Job enrichment)
Metode ini terjadi ketika seorang anggota pelatihan mempelajari tugas-
tugas yang biasa dikerjakan pada level organisasi yang lebih tinggi.
Terkadang metode ini disebut ekspansi pekerjaan secara vertikal.
25
(6). Perluasan pekerjaan
Kesempatan pelatihan ini terjadi ketika ada tambahan pekerjaan yang
merupakan bagian dari sebuah jabatan pada satu level organisasi
ditambahkan ke posisi lain pada level yang sama.
(7). Rotasi pekerjaan
Jenis pelatihan ini melibatkan seseorang yang ditugaskan sementara ke
tugas yang berbeda untuk menyediakan varian kerja atau pengalaman.
2) Group Training
Sebuah metode pelatihan yang melibatkan lebih dari satu orang anggota
pelatihan dengan materi yang sama pada waktu yang bersamaan. Dua jenis
pelatihan yang terkenal adalah:
(1). Lecture.
Sebuah presentasi lisan atau pidato yang dibuat oleh pelatih (trainer),
untuk menginstruksikan sebuah kelompok anggota pelatihan. Pelatih
berbicara dan mempergunakan peralatan audiovisual atau handout untuk
memfasilitasi kegiatan pelatihan. Kegiatan tanya jawab juga termasuk
didalamnya.
(2). Demonstrasi
Pelatih menunjukkan anggota pelatihan bagaimana melakukan sebuah
pekerjaan atau tugas. Anggota pelatihan dapat melihat dan mendengar
bagaimana sesuatu diselesaikan, seringnya dilakukan pada lingkungan
kerja yang nyata. Untuk membuat group training dibutuhkan ruang
pertemuan dan peralatan audiovisual untuk mendukung proses pelatihan.
26
Menurut Rachmawati (2008: 114), ada dua metode yang digunakan
perusahaan untuk pelatihan, yaitu:
1) On the job training
Pelatihan pada karyawan untuk mempelajari bidang pekerjaannya sambil
sambil benar-benar mengerjakannya. Beberapa bentuk pelatihan on the job
training yaitu:
(1). Couching/understudy
Bentuk pelatihan dan pengembangan ini dilakukan di tempat kerja oleh
atasan atau karyawan yang berpengalaman. Metode ini dilakukan dengan
pelatihan secara informal dan tidak terencana dalam melakukan pekerjaan
seperti menyelesaikan masalah, partisipasi dengan tim, kekompakan,
pembagian pekerjaan, dan hubungan dengan atasan atau teman kerja.
(2). Pelatihan magang (Apprenticeship training)
Pelatihan yang mengkombinasikan antara pelajaran di kelas dengan
praktik ditempat kerja setelah beberapa teori diberikan pada karyawan.
Karyawan akan dibimbing untuk mempraktikkan dan mengaplikasikan
semua prinsip belajar pada keadaan pekerjaan sesungguhnya.
2) Off the job training
Pelatihan yang menggunakan situasi di luar pekerjaan. Dipergunakan apabila
banyak pekerja yang harus dilatih dengan cepat seperti halnya dalam
penguasaan pekerjaan. Beberapa bentuk pelatihan off the job training, yaitu:
27
(1). Lecture
Teknik seperti kuliah dengan presentasi atau ceramah yang diberikan
penyelia/pengajar pada kelompok karyawan. Dilanjutkan dengan
komunikasi dua arah dan diskusi. Hal ini digunakan untuk memberikan
pengetahuan umum pada peserta.
(2). Presentasi dengan video
Teknik ini menggunakan media video, film, atau televisi sebagai sarana
presentasi tentang pengetahuan atau bagaimana melakukan suatu pekerjaan.
Metode ini dipakai apabila peserta cukup banyak dan masalah yang
dikemukakan cukup kompleks.
(3). Vesibule training
Pelatihan dilakukan di tempat yang dibuat seperti tempat kerja yang
sesungguhnya dan dilengkapi fasilitas peralatan yang sama dengan
pekerjaan sesungguhnya.
(4). Bermain peran (Role playing)
Teknik pelatihan ini dilakukan seperti simulasi dimana peserta
memerankan jabatan atau posisi tertentu untuk bertindak dalam situasi yang
khusus.
(5). Studi kasus
Teknik ini dilakukan dengan memberikan sebuah atau beberapa kasus
manajemen untuk dipecahkan dan didiskusikan di kelompok atau tim
dimana masing-masing tim akan saling berinteraksi dengan anggota tim
yang lain.
28
(6). Self-study
Merupakan teknik pembelajaran sendiri oleh peserta di mana peserta
dituntut untuk proaktif melalui media bacaan, materi, video, dan kaset.
(7). Program pembelajaran
Pembelajaran ini seperti self-study, tapi kemudian peserta diharuskan
membuat rangkaian pertanyaan dan jawaban dalam materi sehingga dalam
pertemuan selanjutnya rangkaian pertanyaan tadi dapat disampaikan pada
penyelia atau pengajar untuk diberikan umpan balik.
(8). Laboratory training
Latihan untuk meningkatkan kemampuan melalui berbagai pengalaman,
perasaan, pandangan, dan perilaku di antara para peserta.
(9). Action learning
Teknik ini dilakukan dengan membentuk kelompok atau tim kecil dengan
memecahkan permasalahan dan dibantu oleh seorang ahli bisnis dari dalam
perusahaan atau luar perusahaan.
Menurut Sastrohadiwiryo (2005: 214), “metode pelatihan didefinisikan
sebagai cara tertentu untuk melaksanakan tugas dengan memberikan
pertimbangan yang cukup kepada tujuan, fasilitas yang tersedia, dan jumlah
penggunaan uang, waktu dan kegiatan.” Sangat langka ditemui metode pelatihan
yang dapat diterapkan dalam berbagai kondisi. Metode pelatihan yang biasa
dianut manajemen yaitu, pelatihan di tempat kerja, kuliah dan konferensi, studi
kasus, permainan peran, seminar dan lokakarya, symposium, kursus
korespondensi, diskusi kelompok, permainan manajemen, dan kombinasi.
29
Bernandin dan Russell (dalam Gomes 2003: 207) membagi metode
pelatihan menjadi dua kategori yaitu:
1) Informational methods, yang biasanya menggunakan pendekatan satu arah,
melalui mana informasi-informasi disampaikan kepada para peserta oleh para
pelatih. Metode jenis ini dipakai untuk mengajarkan hal-hal faktual,
keterampilan, atau sikap tertentu. Para peserta biasanya tidak diberi
kesempatan untuk mempraktekkan atau untuk melibatkan diri dalam hal-hal
yang diajarkan selama pelatihan.
2) Experential methods, adalah metode yang mengutamakan komunikasi yang
luwes, fleksibel, dan lebih dinamis, baik dengan instruktur, dengan sesama
peserta, dan langsung mempergunakan alat-alat yang tersedia. Metode ini
biasanya dipergunakan untuk mengajarkan pengetahuan dan keterampilan,
serta kemampuan-kemampuan baik yang bersifat software maupun yang
hardware (fisik).
Gomes (2003: 208) menyatakan, terlepas dari metode yang ada, apapun
bentuk metode yang dipilih, harus memenuhi prinsip-prinsip seperti:
(1). Memotivasi para peserta pelatihan untuk belajar keterampilan yang baru
(2). Memperhatikan keterampilan-keterampilan yang diinginkan untuk dipelajari
(3). Harus konsisten dengan isi (misalnya, menggunakan pendekatan interaktif
untuk mengajarkan keterampilan-keterampilan interpersonal)
(4). Memungkinkan partisipasi aktif
(5). Memberikan kesempatan mengenai performansi selama pelatihan
(6). Mendorong adanya pemindahan yang positif dari pelatihan ke pekerjaan
(7). Harus efektif dari segi biaya.
30
Berdasarkan metode pelatihan yang sudah disampaikan oleh ahli tersebut,
maka dapat ditarik simpulan bahwa tidak ada metode pelatihan yang paling baik.
Setiap metode pelatihan memiliki kelemahan dan kekurangan, sehingga
manajemen dapat mengkombinasikan satu metode dengan metode lainnya agar
dapat saling menutupi kekurangan. Metode melakukan pelatihan terdiri dari
berbagai macam jenis tergantung dari materi yang diberikan, waktu dan tempat
antara pelatih dan anggotanya, biaya, dan pertimbangan lain yang dilakukan oleh
manajer atau supervisor. Metode pelatihan yang biasa dilakukan di Mercure
Resort Sanur adalah On The Job Training, Cross Training, Lecture, Role Playing,
dan Studi Kasus.
Kegiatan pelatihan kerja tidak dapat berlangsung dengan baik apabila
tidak ditunjang dengan lingkungan yang memungkinkan untuk dilaksanakannya
pelatihan. Lingkungan yang menunjang pelatihan akan membawa dampak pada
peningkatan kualitas pelatihan, karena lingkungan pelatihan sebagai sumber
informasi ditempat untuk melakukan aktivitas, maka lingkungan pelatihan yang
baik harus dicapai agar karyawan merasa betah dan nyaman ketika mengikuti atau
melakukan pelatihan. Lingkungan kerja, biasanya langsung dijadikan sebagai
lingkungan pelatihan karyawan sehingga indikator lingkungan kerja dapat pula
dijadikan indikator lingkungan yang menunjang pelatihan.
Menurut Desler (2004: 21) lingkungan kerja dapat diukur dengan
indikator-indikator sebagai berikut:
1) Fasilitas dan peralatan
2) Keamanan dan kebersihan
3) Pertukaran udara
31
4) Penerangan
5) Kebisingan.
Nitisemito (2001: 102) menyatakan, “lingkungan kerja sebagai segala
sesuatu yang ada di sekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam
menjalankan tugas-tugas yang diemban misalnya dengan adanya air conditioner
(AC), penerangan yang memadai, dan sebagainya.” Menurut Mardiana (2005:
78), “lingkungan kerja adalah lingkungan dimana pegawai melakukan
pekerjaannya sehari-hari.”
Berdasarkan pendapat ahli tersebut maka dapat ditarik simpulan bahwa
lingkungan pendukung pelatihan merupakan lingkungan kerja yang dipergunakan
pegawai melakukan pekerjaannya sehari-hari.
2.2.4 Tinjauan Tentang Kemampuan Instruktur atau Pelatih
Pelatih dapat berupa individu atau kelompok yang memberikan beragam
pelatihan seperti yang diungkapkan oleh Hasibuan (2005:73), bahwa “pelatih atau
instruktur yaitu seseorang atau tim yang memberikan latihan kepada karyawan.
Pelatih (trainer) memberikan peranan penting terhadap kemajuan kemampuan
para karyawan yang akan dikembangkan.
Analoui (2004: 61) menguraikan pula tentang daftar kemampuan yang
perlu dimiliki seorang trainer agar pelatihan lebih efektif, yaitu:
1) Pengetahuan yang up-to-date dan kemampuan teknikal dan sosial
2) Menguasai cara pembelajaran yang sesuai
3) Dapat beradaptasi dengan kebutuhan peserta dan lingkungan budaya organisasi
32
4) Kepekaan atas aspek diluar organisasi seperti politik atau kondisi sosial
ekonomi
5) Perhatian atas kualitas dan kuantitas materi yang akan ditransfer.
Menurut Poon Teng Fatt (2003: 64) “trainer yang baik adalah trainer yang
dapat menciptakan suasana pembelajaran kondusif sehingga peserta termotivasi
untuk menyerap informasi yang disampaikan oleh trainer tersebut.” Hasibuan
(2005:74) selanjutnya menerangkan mengenai syarat-syarat pelatih sebagai
komunikator dalam pelatihan harus memiliki kemampuan sebagai berikut:
1) Kemampuan Mengajar (Teaching Skills)
2) Kemampuan Berkomunikasi (Communication Skills)
3) Kemampuan Mengelola Wewenang (Personality Authority)
4) Kemampuan Sosial (Social Skills)
5) Kompetensi Teknik (Technical Competent)
6) Stabilitas Emosi.
Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, maka indikator trainer atau
pelatih dapat dilihat di bawah ini:
1) Pendidikan trainer atau instruktur pelatihan
2) Komunikatif yang dibangun oleh trainer dalam proses pelatihan
3) Personality atau karakter yang dimiliki oleh seorang trainer
4) Humanis dalam kegiatan pelatihan.
Bangun (2012: 205) menyatakan, kemampuan pelatih sangat besar
pengaruhnya dalam mencapai keberhasilan pelatihan. Seorang pelatih dituntut
untuk dapat menguasai materi pelatihan semaksimal mungkin agar peserta latihan
33
dapat memperoleh pengetahuan dan materi yang disampaikan. Pelatih harus
dibekali dengan pengetahuan yang sesuai dengan materi pelatihan.
Berdasarkan pendapat ahli tersebut, maka dapat ditarik simpulan bahwa
pelatih/instruktur merupakan seseorang yang memiliki kesiapan untuk menyajikan
pelatihan secara keseluruhan dengan baik.
2.2.5 Tinjauan Tentang Peserta Pelatihan
Penting untuk memperhitungkan tipe pekerja dan jenis pekerja yang akan
dilatih. Umumnya perusahaan memprioritaskan dan mewajibkan setiap karyawan
yang baru bergabung pada suatu perusahaan, untuk mengikuti pelatihan dasar
(orientasi) di perusahaan barunya. Tujuannya adalah membantu karyawan baru
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi ketika pertama kali bergabung
dengan organisasi. Para pegawai yang sudah berpengalaman pun selalu
memerlukan peningkatan pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan karena selalu
ada cara yang lebih baik untuk meningkatkan produktivitas kerja. Satu hal yang
sangat krusial dalam suatu pelatihan adalah menentukan siapa yang menjadi
peserta pelatihan tersebut.
Menurut Papu (2002: 1), “peserta yang dimaksudkan dalam konteks ini
adalah mencakup partisipan dan juga trainer/facilitator dari pelatihan tersebut.
Hal ini dikategorikan sebagai hal yang krusial adalah karena peserta akan sangat
menentukan format pelatihan.” Selain itu para partisipan adalah individu-individu
yang akan membawa apa yang diperoleh dalam pelatihan ke dalam pekerjaan
mereka sehari-hari sehingga akan memiliki dampak pada perusahaan. Dengan
mengetahui peserta pelatihan perancang program pelatihan dapat menentukan
34
format metode pelatihan secara tepat. Selain itu, dengan mengetahui siapa peserta
pelatihan, maka perancang program pelatihan akan dapat menggali lebih jauh
berbagai informasi seperti:
(1) Persyaratan pendidikan minimal (pendidikan, pengalaman dan ketrampilan)
yang harus dipenuhi oleh partisipan untuk dapat mengikuti pelatihan.
(2) Dasar-dasar pengetahuan dan ketrampilan yang telah dimiliki partisipan,
termasuk pelatihan yang pernah diikuti sebelumnya.
(3) Persyaratan yang harus dipenuhi oleh trainer/facilitator untuk dapat
menyelenggarakan pelatihan.
(4) Data demography para partisipan pelatihan.
Bangun (2012: 205) berpendapat bahwa para peserta pelatihan yang siap
berarti mereka mempunyai keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan, ada
motivasi, dan efektivitas diri. Beberapa persyaratan yang mereka harus miliki
adalah kemampuan mental dan fisik dalam mengikuti pelatihan. Agar pelaksanaan
kegiatan pelatihan efektif, mereka harus mempunyai motivasi belajar. Para peserta
latihan mempunyai keinginan yang tinggi untuk dapat berhasil dalam melakukan
pekerjaannya. Hal penting lain yang perlu dilakukan adalah efektifitas diri.
Keberhasilan dalam kegiatan pelatihan perlu dilihat bagaimana kesiapan para
peserta latihan berkeinginan untuk berhasil mempelajari seluruh isi program
pelatihan dengan baik.
Berdasarkan pendapat ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa peserta
pelatihan adalah karyawan suatu organisasi yang ambil bagian pada kegiatan
pelatihan yang juga memang peranan penting dalam kegiatan pelatihan.
35
2.2.6 Tinjauan Tentang Kinerja
Menurut Rivai (2014:309), “kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi
dan kemampuan.” Rivai mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja karyawan atau pegawai, yaitu: kuantitas input, kualitas output, jangka
waktu output, kehadiran tempat kerja, dan sikap kooperatif. Cushway (2002: 198)
menyatakan, “kinerja adalah menilai bagaimana seseorang telah bekerja
dibandingkan dengan target yang ditentukan.”
Pengertian kinerja menurut Mangkunegara (2006:67), “kinerja berasal dari
kata Job Performance atau Actual Performance (prestasi kerja atau prestasi
sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang). Kinerja adalah hasil secara kualitas
dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya
sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya.”
Menurut Mathis dan Jackson (2009: 378) mengemukakan bahwa “kinerja
(performance) pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh
karyawan.” Kinerja karyawan yang umum untuk kebanyakan pekerjaan meliputi
elemen kuantitas dari hasil, kualitas dari hasil, ketepatan waktu dari hasil,
kehadiran, kemampuan bekerja sama.
Simanjuntak (2005: 1) menyatakan, “kinerja adalah tingkat pencapaian
hasil atas pelaksanaan tugas tertentu.” Simanjuntak juga mengartikan kinerja
individu sebagai tingkat pencapaian atau hasil kerja seseorang dari sasaran yang
harus dicapai atau tugas yang harus dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu.
Berdasarkan definisi mengenai kinerja atau performance menurut ahli
tersebut, maka ditarik simpulan bahwa kinerja merupakan hasil atau pencapaian
atas pelaksanaan suatu tugas dengan memperhatikan waktu, kualitas, dan
kuantitas atas pekerjaan.
36
Menurut Mathis dan Jackson (2009: 380) faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja individu tenaga kerja, yaitu:
1) Kemampuan mereka
2) Motivasi
3) Dukungan yang diterima
4) Keberadaan pekerjaan yang mereka lakukan
5) Hubungan mereka dengan organisasi.
Mangkunegara (2006:67) merumuskan faktor-faktor yang memperngaruhi
kinerja sebagai berikut:
Human Performance = Ability + Motivation
Motivation = Attitude + Situation
Ability = Knowledge + Skill
1) Faktor Kemampuan
Secara psikologis, kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan
potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge + skill). Artinya, pegawai
yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) rata-rata (110-120) dengan
pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan
pekerjaan sehari-sehari, maka ia akan mudah mencapai kinerja yang
diharapkan.
2) Faktor Motivasi
Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang pegawai dalam menghadapi
situasi (situation) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang mengerakkan diri
pegawai yang terarah untuk mencapai organisasi (tujuan kerja). Sikap mental
merupakan kondisi mental yang mendorong diri pegawai untuk berusaha
37
mencapai prestasi kerja secara maksimal. Seorang pegawai harus siap mental,
mampu secara fisik, memahami tujuan utama dan target kerja yang akan
dicapai, mampu memanfaatkan dan menciptakan situasi kerja.
Menurut Mc.Cleland (dalam Mangkunegara, 2006: 67), berpendapat
bahwa “ada hubungan yang positif antara motif berprestasi dengan pencapaian
kerja”. Motif berprestasi adalah suatu dorongan dalam diri seseorang untuk
melakukan suatu kegiatan atau tugas dengan sebaik-baiknya agar mampu
mencapai kinerja dengan predikat terpuji. Selanjutnya Mc.Clelland,
mengemukakan enam karakteristik dari seseorang yang memiliki motif yang
tinggi yaitu:
1) Memiliki tanggung jawab yang tinggi.
2) Berani mengambil risiko.
3) Memiliki tujuan yang realistis.
4) Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk merealisasi
tujuan.
5) Memanfaatkan umpan balik yang kongkrit dalam seluruh kegiatan kerja yang
dilakukan.
6) Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah diprogramkan.
Nitisemito (2001: 109) menjabarkan terdapat berbagai faktor kinerja
karyawan, antara lain:
1) Jumlah dan komposisi dari kompensasi yang diberikan
2) Penempatan kerja yang tepat
3) Pelatihan dan promosi
38
4) Rasa aman di masa depan (dengan adanya pesangon dan sebagainya)
5) Hubungan dengan rekan kerja
6) Hubungan dengan pemimpin
Hasibuan (2005: 94) mengungkapkan bahwa “Kinerja merupakan
gabungan tiga faktor penting, yaitu kemampuan dan minat seorang pekerja,
kemampuan dan penerimaan atas penjelasan delegasi tugas dan peran serta tingkat
motivasi kerja.”
Berdasarkan pandangan Henry Simamora (dalam Mangkuenegara 2010:
14) kinerja (performance) di pengaruhi oleh tiga faktor yaitu:
1) Faktor individual yang terdiri dari kemampuan dan keahlian, latar belakang,
demografi
2) Faktor psikologis, terdiri dari persepsi attitude (sikap), personality,
pembelajaran, motivasi
3) Faktor organisasi, terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, penghargaan,
struktur job design (disain pekerjaan).
Penilaian kinerja (Performance appraisal) pada dasarnya merupakan
faktor kunci guna mengembangkan suatu organisasi secara efektif dan efisien,
karena adanya kebijakan atau program yang lebih baik atas sumber daya manusia
yang ada dalam organisasi.
Sofyandi (2008: 122) mengemukakan bahwa, “penilaian kinerja adalah
penilaian tentang prestasi kerja karyawan dan akuntabilitasnya.” Dalam
persaingan global, perusahaan-perusahaan menuntut kinerja yang tinggi. Seiring
dengan itu, karyawan membutuhkan umpan balik atas kinerja mereka sebagai
39
pedoman perilakunya di masa datang. Penilaian kinerja pada prinsipnya
mencakup baik aspek kualitatif maupun kuantitatif dari pelaksanaan pekerjaan.
Menurut Simamora (2004: 338), “peliaian kinerja adalah proses yang
dipakai oleh organisasi untuk mengevaluasi pelaksanaan kerja individu
karyawan.” Wahyudi (2002: 101) menyatakan bahwa “penilaian kinerja adalah
suatu evaluasi yang dilakukan secara periodik dan sistematis tentang prestasi kerja
atau jabatan seorang tenaga kerja, termasuk potensi pengembangannya.
Menurut Furtwengler (2002: 173) penilaian kinerja merupakan proses
berkesinambungan yang mencakup:
1) Evaluasi terhadap kinerja saat ini.
2) Sasaran untuk meningkatkan kinerja.
3) Definisi penghargaan atas pencapaian sasaran di masa mendatang.
4) Sistem umpan balik yang memungkinkan pemimpin dan karyawan memantau
kinerjanya.
5) Pertemuan secara periodik antara pemimpin dengan karyawan untuk
membahas kemajuan karyawan terhadap sasarannya.
6) Tindakan koreksi ketika karyawan tersebut berusaha mencapai sasarannya.
Simpulan yang dapat ditarik untuk merangkum pendapat ahli tersebut
adalah penilaian kinerja merupakan sebuah proses evaluasi atas kualitas dan
kuantitas atas hasil pekerjaan pekerja yang dilakukan secara periodik.
Secara umun penilaian kinerja dilakukan untuk memberikan umpan balik
(feedback) atas pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja dalam rangka
meningkatkan atau memperbaiki hasil kerja pekerja. Secara khusus dilakukan
40
untuk kebutuhan promosi atau demosi karyawan, kenaikan gaji, atau kebutuhan
kegiatan pelatihan bagi karyawan.
Menurut Werther dan Davis (1996: 342) tujuan penilaian kinerja secara
lebih rinci dikemukakan sebagai berikut:
1) Perbaikan kinerja memberikan kesempatan kepada karyawan untuk
mengambil tindakan-tindakan perbaikan untuk meningkatkan kinerja melalui
feedback yang diberikan organisasi.
2) Penyesuaian gaji dapat dipakai sebagai informasi untuk mengkompensasi
karyawan secara layak sehingga dapat memotivasi mereka.
3) Keputusan untuk penempatan, yaitu dapat dilakukannya penempatan
karyawan sesuai dengan keahliannya.
4) Pelatihan dan pengembangan, yaitu melalui penilaian akan diketahui
kelemahan-kelemahan dari karyawan sehingga dapat dilakukan program
pelatihan dan pengembangan yang lebih efektif.
5) Perencanaan karier yaitu organisasi dapat memberikan bantuan perencanaan
karier bagi karyawan dan menyelaraskannya dengan kepentingan organisasi.
6) Mengidentifikasi kelemahan-kelemahan dalam proses penempatan, yaitu
kinerja yang tidak baik menunjukkan adanya kelemahan dalam penempatan
sehingga dapat dilakukan perbaikan.
7) Mengidentifikasi adanya kekurangan dalam desain pekerjaan, yaitu
kekurangan kinerja akan menunjukkan adanya kekurangan dalam perancangan
jabatan.
41
8) Meningkatkan adanya perlakuan kesempatan yang sama pada karyawan, yaitu
dengan dilakukannya penilaian yang obyektif berarti meningkatkan perlakuan
yang adil bagi karyawan.
9) Dapat membantu karyawan mengatasi masalah yang bersifat eksternal, yaitu
dengan penilaian kinerja atasan akan mengetahui apa yang menyebabkan
terjadinya kinerja yang jelek, sehingga atasan dapat membantu
menyelesaikannya.
Menurut Alwi (2001: 187) secara teoritis tujuan penilaian dikategorikan
sebagai suatu yang bersifat evaluation dan development.
Kategori evaluation harus menyelesaikan:
1) Hasil penilaian digunakan sebagai dasar pemberian kompensasi.
2) Hasil penilaian digunakan sebagai staffing decision.
3) Hasil penilaian digunakan sebagai dasar meengevaluasi sistem seleksi.
4) Sedangkan yang bersifat development penilai harus menyelesaikan:
5) Prestasi riil yang dicapai individu.
6) Kelemahan- kelemahan individu yang menghambat kinerja
7) Prestasi- pestasi yang dikembangkan.
Penilaian kinerja merupakan agenda tahunan yang dilakukan oleh
organisasi. Menurut Alwi (2001: 187) manfaat penilaian kinerja merupakan suatu
yang sangat bermanfaat bagi perencanaan kebijakan organisasi adapun secara
terperinci penilaian kinerja bagi organisasi adalah:
1) Penyesuaian-penyesuaian kompensasi.
2) Perbaikan kinerja.
3) Kebutuhan latihan dan pengembangan
42
4) Pengambilan keputusan dalam hal penempatan promosi, mutasi, pemecatan,
pemberhentian dan perencanaan tenaga kerja.
5) Untuk kepentingan penelitian karyawan.
6) Membantu diaknosis terhadap kesalahan desain karyawan
Berbagai metode penilaian kinerja dipraktekkan pada setiap organisasi.
Secara praktis banyak metode penilaian yang dilakukan, yang tentunya berbeda-
beda antara satu perusahaan dengan perusahaan lain. Berikut adalah beberapa
metode penilaian kinerja karyawan menurut Sofyandi (2008: 122):
1) Rating Scale
Rating scale adalah penilaian yang didasarkan pada suatu skala pada standar-
standar kerja. Penilaian ini dilakukan oleh seorang penilai yang biasanya
atasan langsung, yang dilakukan secara subyektif.
2) Checklist
Checklist adalah penilaian yang didasarkan pada suatu standar kinerja yang
sudah dideskripsikan terlebih dahulu, kemudian penilai memeriksa apakah
karyawan sudah memenuhi atau melakukannya.
3) Critical Incident Technique
Critical incident technique adalah penilaian yang didasarkan pada perilaku
khusus yang dilakukan di tempat kerja, baik perilaku yang baik maupun
perilaku yang tidak baik. Penilaian dilakukan melalui observasi langsung ke
tempat kerja, kemudian mencatat perilaku-perilaku kritis yang baik atau tidak
baik, dan mencatat tanggal dan waktu terjadinya perilaku tersebut.
43
4) Skala Penilaian Berjangkau Perilaku
Skala penilaian berjangkau Perilaku (behaviorally anchored rating scale)
adalah penilaian yang dilakukan dengan menspesifikasikan kinerja dalam
dimensi-dimensi tertentu
5) Observasi dan Tes Kinerja
Observasi dan tes kinerja adalah penilaian yang dilakukan melalui tes di
lapangan.
6) Metode Perbandingan Kelompok
Metode ini dilakukan dengan membandingkan seseorang karyawan dengan
rekan sekerjanya, yang dilakukan oleh atasan dengan beberapa teknik seperti
pemeringkatan (ranking method), pengelompokan pada klasifikasi yang sudah
ditentukan (force distribution), pemberian poin atau angka (point allocation
method), dan metode perbandingan dengan karyawan lain (paired
comparison).
7) Penilaian Diri Sendiri
Penilaian diri sendiri adalah penilaian karyawan untuk diri sendiri dengan
harapan karyawan tersebut dapat mengidentifikasi aspek-aspek perilaku kerja
yang perlu diperbaiki pada masa yang akan datang.
8) Management By Objective
Management by objective adalah sebuah program manajemen yang melibatkan
karyawan dalam pengambilan keputusan untuk menentukan sasaran-sasaran
yang dicapainya, yang dapat dilakukan melalui prosedur.
44
9) Penilaian Secara Psikologis
Penilaian secara psikologis adalah proses penilaian yang dilakukan para ahli
psikologi untuk mengetahui potensi seseorang yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan, seperti kemampuan intelektual, motivasi dll yang
bersifat psikologis.
10) Assessment Center
Assessment center atau pusat perhatian adalah penilaian yang dilakukan
melalui serangkaian teknik penilaian dan dilakukan oleh sejumlah penilai
untuk mengetahui potensi seseorang dalam melakukan tanggung jawab yang
lebih besar. Metode ini biasanya dilakukan di suatu tempat yang terpisah dari
tempat kerja dan membutuhkan waktu yang lama dan tentu saja biaya yang
besar.
Berdasarkan pengamatan, penilaian kinerja yang dilakukan di Mercure
Resort Sanur dilakukan dengan cara observasi dan tes kerja.
2.2.7 Tinjauan Tentang Karyawan
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (dalam KBBI versi online,
2015) mendefinisikan karyawan sebagai orang yang bekerja pada suatu lembaga
(kantor, perusahaan) dengan mendapat gaji (upah). Menurut Keputusan Menteri
No. 102 tahun 2004, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Hasibuan (2005: 50) berpendapat, “karyawan adalah orang penjual jasa
(pikiran atau tenaga) dan mendapat kompensasi yang besarnya telah ditetapkan
45
terlebih dahulu.” Menurut Subri (dalam Manullang, 2002), “karyawan adalah
penduduk dalam usia kerja (berusia 15-64 tahun) atau jumlah seluruh penduuk
dalam suatu negara yang memproduksi barang dan jasa jika ada permintaan
terhadap tenaga mereka, dan jika mereka mau berpartisipasi dalam aktivitas
tersebut.”
Berdasarkan definisi yang disampaikan oleh Hasibuan, Subri, Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, dan Keputusan Menteri, maka dapat
ditarik simpulan definisi dari karyawan adalah seseorang yang mampu
menghasilkan barang/jasa dengan balasan berupa kompensasi yang sudah
dibicarakan terlebih dahulu. Dalam penelitian ini, karyawan adalah seluruh
pekerja di Mercure Resort Sanur.
2.3 Hipotesis Penelitian
Menurut Kasmadi (2014: 53), hipotesis adalah istilah yang memungkinkan
pembuat penelitian menghubungkan teori dengan pengamatan, atau sebaliknya
pengamatan dengan teori.
Pendapat Rivai ( 2014: 163) bahwa pelatihan secara singkat didefinisikan
sebagai suatu kegiatan untuk meningkatkan kinerja saat ini dan kinerja di masa
mendatang. Penelitian yang dilakukan oleh Halim (2012), Rispati dkk (2013),
Permitasari (2012) menunjukan bahwa pelatihan memiliki pengaruh yang
signifikan dan merupakan variabel yang dominan mempengaruhi kinerja
karyawan. Berdasarkan pendapat ahli dan hasil penelitian sebelumnya, maka
46
hipotesis yang diajukan adalah, “bahwa pelatihan berpengaruh signifikan baik
parsial maupun simultan terhadap kinerja karyawan Mercure Resort Sanur.”