BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tapak Dara (Catharanthus roseus 2.pdf · mempunyai mekanisme kerja yang...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tapak Dara (Catharanthus roseus 2.pdf · mempunyai mekanisme kerja yang...
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tapak Dara (Catharanthus roseus)
Pengobatan dengan cara tradisional sebagai alternatif untuk mendapatkan
kesembuhan telah banyak digunakan. Penggunaan bahan alam sebagai obat
tradisional di Indonesia telah dilakukan sejak dahulu, dimana pengetahuan dan
keterampilan pengguanaanya diwariskan secara turun temurun. World Health
Organization merekomendasikan penggunaan obat tradisional termasuk herbal
dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit,
terutama untuk penyakit kronis dan kanker. World Health Organization juga
mendukung upaya-upaya dalam peningkatan keamanan dan khasiat obat
tradisional (Sari dan Lusia, 2006).
Tapak dara merupakan tumbuhan yang berasal dari Amerika Tengah dan
umumnya ditanam sebagai tanaman hias. Tumbuhan ini dapat tumbuh dengan
baik di daratan rendah hingga daratan dengan ketinggian hingga 800 meter di atas
permukaan air laut. Tumbuhan tapak dara dapat dikenali dari bunganya yang
muncul dari ketiak daun. Warna bun ga tumbuhan ini ada yang berwarna putih
dan ada yang berwarna merah muda. Tumbuhan tapak dara dikenal dengan
berbagai nama. Berbagai nama tapak dara menurut, yaitu: Indonesia: Tapak dara,
rutu-rutu, kembang serdadu, Inggris: Madagascar periwinkle, rose periwinkle,
Melayu: Kemunting cina, Vietnam: Hoa hai dang, Filipina: Tsitsirika, Cina :
Chang chun hua (Dalimartha, 1999; Plantamor, 2008).
7
Tapak dara (Catharantus roseus) banyak dipelihara sebagai tanaman hias,
tanaman ini sering dibedakan menurut jenis bunganya, yaitu bunga warna putih
dan merah. Tanaman ini merupakan tanaman semak tegak yang dapat mencapai
ketinggian batang sampai 100 cm yang biasa tumbuh subur di pedesaan beriklim
tropis. Ciri-ciri tanaman ini yaitu memiliki batang yang berbentuk bulat dengan
diameter berukuran kecil, berkayu, beruas dan bercabang. Daunnya berbentuk
bulat telur, berwarna hijau dan diklasifikasikan berdaun tunggal. Bunganya
menyerupai terompet dengan permukaan berbulu halus. Tanaman ini juga
memiliki rumah biji yang berbentuk silindris menggantung pada batang.
Penyebaran tanaman ini melalui biji (Ahira, 2011).
Gambar 2.1 Tapak Dara (Catharanthus roseus)
Sumber : Arsip Pribadi, 2013
8
Klasifikasi tanaman tapak dara, yaitu (Plantamor, 2008) :
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Asteridae
Ordo : Gentianales
Famili : Apocynaceae
Genus : Catharanthus
Spesies : Catharanthus roseus
Tumbuhan tapak dara memiliki berbagai khasiat obat, diantaranya sebagai
penenang (sedatif), menghentikan perdarahan (hemostatis), menetralkan panas
Gambar 2.3 Daun Tapak Dara Kering Sumber : Arsip Pribadi, 2013
Gambar 2.2 Daun Tapak Dara Sumber : Arsip Pribadi, 2013
9
dan racun. Jus tapak dara dilaporkan dapat menurunkan kadar glukosa darah
normal alloxan kelinci diabetes (Nammi et al., 2003).
2.1.1 Kandungan Senyawa Bioaktif dalam Tapak Dara
Tapak dara mengandung berbagai zat kimia aktif. Hasil analisa fitokimia
ekstrak daun tapak dara (Catharantus roseus) menunjukkan adanya kandungan
tanin, triterpenoid, alkaloid, dan flavonoid. Alkaloid dan flavonoid merupakan
senyawa aktif yang telah diteliti memiliki aktivasi hipoglikemik (Ivorra et al.,
1989). Flavonoid dapat menghambat kerja enzim α-glukosidase dalam luteolin
(Kim dan Sura, 2000). Sementara tanin dapat berfungsi sebagai antimikroba untuk
bakteri dan virus (Hara et al.,1993).
Alkaloid adalah kelompok besar senyawa organik alami dalam hampir
semua jenis tumbuhan. Alkaloid memiliki berbagai efek farmakologi seperti
antikanker, antiinflamasi dan antimikroba. Flavonoid adalah kelompok senyawa
fenol yang terbesar ditemukan di alam.
Tanin adalah senyawa fenol yang terdapat luas dalam tumbuhan
berpembuluh, dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Menurut
batasannya, tanin dapat bereaksi dengan protein yang tidak larut dalam air
(Harborne, 1987).
Tapak dara mengandung berbagai senyawa bioaktif, diantaranya 4
senyawa bioaktif yang telah banyak dimanfaatkan untuk penyembuhan penyakit.
Berikut merupakan senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman tapak dara
(Dalimartha, 2007):
10
1. Vinblasine, ternyata bisa dimanfaatkan dalam pengobatan penyakit
leukemia.
2. Vincristine, disamping dipakai dalam pengobatan leukemia, juga kanker
payudara, dan tumor ganas.
3. Vindesine, dipakai dalam pengobatan leukemia pada anak-anak, dan
penderita tumor pigmen.
4. Vinorelbine, seringkali digunakan sebagai bahan pengobatan untuk
mencegah pembelahan kelenjar.
2.2 Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus (DM) berasal dari bahasa Yunani dari kata ”diabainein”
yang berarti tembusan atau pancuran air. Mellitus berasal dari bahasa latin yang
berarti rasa manis. Jadi secara sederhana keadaan ini menunjukan tentang kondisi
tubuh penderita yaitu adanya cairan manis yang mengalir terus. Penyakit ini
ditandai dengan hiperglikemik (peningkatan kadar gula darah) yang secara terus
menerus dan bervariasi, terutama setelah makan (Maulana, 2008).
Diabetes mellitus merupakan penyakit kelainan metabolisme yang
disebabkan oleh kurangnya hormon insulin. Hormon insulin dihasilkan oleh
sekelompok sel β pulau langerhans pankreas dan sangat berperan dalam
metabolisme glukosa dalam sel tubuh. Kadar glukosa yang tinggi dalam tubuh
tidak bisa diserap semua dan tidak mengalami metabolisme dalam sel. Akibatnya
seseorang akan kekurangan energi sehingga mudah lelah dan berat badan akan
terus turun. Kadar glukosa yang berlebih akan dikeluarkan melalui ginjal bersama
11
urine. Gula memiliki sifat menarik air sehingga menyebabkan seseorang banyak
mengeluarkan urine dan selalu merasa haus (Maulana, 2008).
2.2.1 Klasifikasi Diabetes Mellitus
Klasifikasi Diabetes Mellitus berdasarkan etiologinya (American Diabetes
Association, 2004)
A. Diabetes Mellitus (DM) Tipe 1
Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang penderitanya jarang atau sedikit
populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita
diabetes. Gangguan produksi insulin pada DM tipe 1 umumnya terjadi karena
kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi autoimun
(Muchid et al., 2005).
Sebagaimana diketahui, pada pulau langerhans kelenjar pankreas terdapat
beberapa tipe sel menurut (Muchid et al. 2005), yaitu:
1. Sel alpha (α), memproduksi glukagon.
2. Sel beta (β), memproduksi insulin.
3. Sel delta (δ), memproduksi somatostatin.
4. Sel pp (polipeptida pankreas), memproduksi hormon pankreatik
polipeptida.
Namun demikian, nampaknya serangan autoimun secara selektif menghancurkan
sel-sel β.
12
Destruksi autoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas
langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang
menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM tipe 1. Selain defisiensi
insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM tipe 1 juga menjadi
tidak normal.
Pada penderita DM tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh
sel-sel α pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemik akan menurunkan
sekresi glukagon. Namun pada penderita DM tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi
glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Salah satu
manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM tipe 1 mengalami
ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan
terapi somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi
penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu masalah
dalam jangka panjang pada penderita DM tipe 1 adalah rusaknya kemampuan
tubuh untuk mensekresi glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang berakibat fatal pada penderita
DM tipe 1 yang sedang mendapat terapi insulin (Muchid et al., 2005).
B. Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2
Diabetes tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak
penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1. Penderita DM tipe 2 mencapai 90-
95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia diatas 45
tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM tipe 2 dikalangan remaja dan anak-anak
13
populasinya meningkat. Etiologi DM tipe 2 merupakan multifaktor yang belum
sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan
cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain: obesitas, diet
tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan (Muchid et al., 2005).
Obesitas dan kegemukan merupakan salah satu faktor predisposisi utama.
Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukan bahwa ada hubungan antara
gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gen-gen yang
merupakan faktor pradisposisi untuk DM tipe 2. Berbeda dengan DM tipe 1, pada
penderita DM tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya dapat
dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa
yang juga tinggi. Pada awal patofisiologi DM tipe 2 bukan disebabkan oleh
kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak
mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai
“Resistensi Insulin”. Selain resistensi insulin, pada penderita DM tipe 2 dapat juga
timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan.
Namun demikian, tidak terjadi kerusakan sel-sel β Langerhans secara autoimun
sebagaimana yang terjadi pada DM tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi
insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab
itu dalam penangananya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin
(Muchid et al., 2005).
Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama
sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang
ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua
14
terjadi sekitar 20 menit. Pada awal perkembangan DM tipe 2, sel-sel β
menunjukan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin
gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik,
pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM tipe 2 akan mengalami
kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif yang seringkali akan
mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan
insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukan bahwa pada penderita DM tipe
2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan
defisiensi insulin (Muchid et al., 2005).
2.2.2 Gejala Diabetes Mellitus
Gejala klinis yang menyertai penderita DM antara lain poliuria (sering
kencing), polidipsia (banyak minum), dan poliphagia (banyak makan). Badan
terlihat kurus karena terjadi penurunan berat badan (Smith and Jones, 1961).
Kehilangan jaringan lemak akibat lipolisis menyebabkan hiperlipidemia sehingga
pembuangan lemak terjadi secara cepat (Underwood, 1987). Selain itu sering pula
muncul keluhan penglihatan yang kabur, koordinasi gerak anggota tubuh
terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, dan timbul gatal-gatal (Muchid et
al., 2005). Pada DM tipe 1 gejala klinis umumnya adalah poliuria, polidipsia,
poliphagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah, iritabilitas, dan gatal-gatal
pada kulit (Muchid et al., 2005). Pada DM tipe 2 gejala umumnya hampir tidak
ada. DM tipe 2 sering kali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai
beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi
15
sudah terjadi. Penderita DM tipe 2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar
sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk, umumnya menderita hipertensi,
hiperlipidemia, obesitas dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf
(Muchid et al., 2005).
2.2.3 Obat Antidiabetes
Pemberian obat antidiabetes secara oral merupakan cara yang umum untuk
pengobatan DM tipe 2. Obat antiabetes oral diberikan pada penderita jika diet dan
olah raga gagal menurunkan kadar gula darah (Floris, 2005). Terdapat beberapa
jenis obat antidiabetes oral yang tersedia secara komersial glibenclamide,
glipizide dan glimepiridae (Gambar 2.2).
Menurut Hongxiang et al., (2009), mekanisme kerja obat hipoglikemik
oral ada 3, antara lain sebagai berikut:
1. Peningkatan sekresi insulin : Sulfonylureas (glibenclamide, gliclazide,
glipizide, glimepiride).
Sulfonylureas awalnya dikembangkan pada tahun 1920 dan sangat
diperlukan dalam mengatasi DM tipe 2 (Bosenberg, 2008). Obat golongan
ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel β
Langherhans di pankreas. Obat ini hanya efektif pada penderita diabetes
tipe 2 yang tidak begitu berat, yang sel-sel betanya masih bekerja cukup
baik (Tjay dan Rahadja, 2002). Pemberian insulin dan sulfonylureas yang
berlebihan akan menyebabkan hipoglikemia yang signifikan.
16
Gambar 2.4 Mekanisme Obat Anti Diabetes (Nadjeb, 2010)
Sumber : http://www.nadjeeb.wordpress.com/2010
2. Sensitiser insulin : Biguanides (metformin), Thiazolidinediones
(pioglitazone, rosiglitazone)
Sensitiser insulin bekerja melalui peningkatan sensitivitas otot dan
jaringan lain terhadap insulin (Thiazolidinediones), serta penurunan
glukoneogenesis oleh hati (biguanides) (Jalarad et al., 2008). Biguanides
mempunyai mekanisme kerja yang berlainan dengan derivat sulfonylurea,
obat-obat tersebut kerjanya tidak melalui perangsangan sekresi insulin
tetapi langsung terhadap organ sasaran (Ganiswarna et al., 2004).
Golongan ini obat Thiazolidinedione dapat digunakan sebagai monoterapi
17
pada obesitas maupun non-obesitas pasien yang telah gagal (Bosenberg,
2008).
3. Inhibitor α-glukosidase : akarbose dan miglitol
Inhibitor α-glukosidase menghambat aktivitas α-glukosidase yang
berada di usus. Akarbose dan miglitol adalah penghambat kompetitif α-
glukosidase yang mengurangi penyerapan amilum dan disakarida.
Akarbose merupakan oligosakarida yang menunda pemecahan karbohidrat
(Narkhede et al., 2011) dan diperkenalkan ke pasar pada awal 1990-an
(Bosenberg, 2008). Secara klinis akarbose digunakan pada penderita DM
tipe 2 (Chiasson, et al., 2003). Penguraian disakarida dan oligosakarida
dicegah (Bosenberg, 2008), dengan demikian glukosa dilepaskan lebih
lambat dan asorbsinya ke dalam darah juga kurang cepat, lebih rendah dan
merata, sehingga memuncaknya kadar gula darah bisa dihindari (Tjay dan
Rahadja, 2007). Efek sampingnya antara lain perut kembung dan diare
(Dipiro et al., 2005).
Dari sekian banyak obat antidiabetik yang banyak digunakan oleh
masyarakat adalah glibenclamide. Glibenclamid merupakan obat hipoglikemik
oral derivat sulfonylurea yang bekerja menstimulasi sel-sel β pulau langerhans
pankreas sehingga sekresi insulin dapat ditingkatkan. Glibenclamide umumnya
memiliki efek samping yang rendah yang bersifat ringan, diantaranya dapat
menyebabkan gangguan pada saluran cerna, gangguan hati, jaundice kolestasis,
hepatitis dan kontraindikasi bagi penderita kerusakan hati dan infusiensi ginjal
(Hardjasaputra et al., 2002).
18
2.3 Metabolisme Glukosa
Metabolisme merupakan proses yang berlangsung dalam organisme terdiri
dari dua proses kimia yaitu proses perombakan molekul dan pembentukan
molekul (Aryulina et al., 2004). Glukosa merupakan zat terpenting yang berasal
dari semua karbohidrat baik itu monosakarida, disakarida maupun polisakarida
yang mana akan di konversi menjadi glukosa dalam hati, dan di dalam hati dan
otot juga tersimpan dalam bentuk glikogen selain itu di dalam plasma darah juga
tersimpan yaitu dalam bentuk glukosa darah yang akan berperan sebagai bahan
bakar untuk proses metabolisme juga sebagai energi utama bagi kerja otak dan
tubuh (Irwan, 2006).
Metabolisme glukosa terjadi akibat adanya proses yang sangat kompleks,
yang dipengaruhi serta di regulasi oleh diet dan hormon terutama insulin dan
glukagon (Murray et al., 2007).
Glukosa yang masuk ke dalam sel akan mengalami proses glikolisis.
Glikolisis merupakan jalur metabolisme utama bagi glukosa dan monosakarida
lainnya. Glikolisis adalah penguraian glukosa menjadi acetil-KoA. Selanjutnya
acetil-KoA masuk ke dalam siklus krebs yang dirangkai dengan rantai transportasi
elektron. Proses metabolisme glukosa sempurna akan menghasilkan air, karbon
dioksida dan Adenosin Triposphat (ATP).
2.4 α-Glukosidase
α-glukosidase adalah enzim yang bertanggung jawab terhadap proses
memecahnya karbohidrat menjadi glukosa. Enzim ini merupakan enzim utama
19
untuk memecah karbohidrat dari oligosakarida menjadi monosakarida dalam usus
(Lee et al., 2007); Narkhede et. al., 2011).
Karbohidrat akan dicerna oleh enzim di dalam mulut dan usus menjadi
gula yang lebih sederhana, yang kemudian akan diserap ke dalam tubuh dan
meningkatkan kadar glukosa darah. Proses pencerna karbohidrat tersebut
menyebabkan pankreas melepaskan α-glukosidase ke dalam usus yang akan
mencerna karbohidrat menjadi oligosakarida yang kemudian akan diubah lagi
menjadi glukosa oleh α-glukosidase yang dikeluarkan oleh sel-sel halus yang
kemudian diserap ke dalam tubuh dengan dihambatnya kerja α-glukosidase, kadar
glukosa dalam darah dapat dikembalikan dalam batas normal (Bosenberg, 2008).