BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari...

24
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro Secara umum sistem transportasi dapat dibagi menjadi beberapa subsistem transportasi yang lebih kecil (mikro), dimana yang satu dengan yang lain saling terkait dan saling mempengaruhi. Subsistem tersebut adalah sebagai berikut, yaitu: 2.1.1 Sistem Kegiatan atau Permintaan Transportasi (Transport Demand) Merupakan pola kegiatan tata guna lahan (land use) yang terdiri dari sistem kegiatan sosial, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya. Sistem kegiatan dengan tipe kegiatan dan intensitas kegiatan tertentu akan memproduksi perjalanan (trip production) dan juga akan menarik perjalanan (trip attraction). Perjalanan merupakan alat untuk pemudahan kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh tata guna lahan tersebut. 2.1.2 Bangkitan Perjalanan (Trip Generation) Bangkitan perjalanan adalah banyaknya kendaraan atau orang yang bepergian, yang timbul oleh suatu zona atau daerah per satuan waktu. Jumlah lalu lintas tergantung pada kegiatan kota, karena penyebab lalu lintas ialah adanya jarak antara barang dan kebutuhannya. Setiap perjalanan pasti mempunyai asal yaitu zona yang menghasilkan pelakunya, dan tujuan yaitu zona yang menarik pelaku perjalanan dari tempat tinggal dan diakhiri di tempat tujuan. Pemodelan bangkitan perjalanan digunakan untuk memperkirakan jumlah perjalanan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan. Hasil dari perhitungan bangkitan dan tarikan perjalanan berupa jumlah kendaraan/jam. Sehingga dapat dihitung pula jumlah orang atau kendaraan yang keluar atau masuk dari suatu tempat. Dari kegiatan tertentu dalam suatu hari untuk mendapatkan bangkitan dan tarikan perjalanan tertentu. Bangkitan dan tarikan perjalanan dapat digambarkan pada Gambar 2.1

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi). c. Sepeda motor (MC)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Transportasi Makro

Secara umum sistem transportasi dapat dibagi menjadi beberapa subsistem

transportasi yang lebih kecil (mikro), dimana yang satu dengan yang lain saling

terkait dan saling mempengaruhi. Subsistem tersebut adalah sebagai berikut,

yaitu:

2.1.1 Sistem Kegiatan atau Permintaan Transportasi (Transport Demand)

Merupakan pola kegiatan tata guna lahan (land use) yang terdiri dari sistem

kegiatan sosial, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya. Sistem kegiatan dengan

tipe kegiatan dan intensitas kegiatan tertentu akan memproduksi perjalanan (trip

production) dan juga akan menarik perjalanan (trip attraction). Perjalanan

merupakan alat untuk pemudahan kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh tata

guna lahan tersebut.

2.1.2 Bangkitan Perjalanan (Trip Generation)

Bangkitan perjalanan adalah banyaknya kendaraan atau orang yang

bepergian, yang timbul oleh suatu zona atau daerah per satuan waktu. Jumlah lalu

lintas tergantung pada kegiatan kota, karena penyebab lalu lintas ialah adanya

jarak antara barang dan kebutuhannya. Setiap perjalanan pasti mempunyai asal

yaitu zona yang menghasilkan pelakunya, dan tujuan yaitu zona yang menarik

pelaku perjalanan dari tempat tinggal dan diakhiri di tempat tujuan.

Pemodelan bangkitan perjalanan digunakan untuk memperkirakan jumlah

perjalanan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan. Hasil dari

perhitungan bangkitan dan tarikan perjalanan berupa jumlah kendaraan/jam.

Sehingga dapat dihitung pula jumlah orang atau kendaraan yang keluar atau

masuk dari suatu tempat. Dari kegiatan tertentu dalam suatu hari untuk

mendapatkan bangkitan dan tarikan perjalanan tertentu. Bangkitan dan tarikan

perjalanan dapat digambarkan pada Gambar 2.1

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi). c. Sepeda motor (MC)

5

Trip Production Trip Attraction

Gambar 2.1 Bangkitan perjalanan Sumber: Tamin (2000)

Hasil keluaran dari perhitungan bangkitan perjalanan berupa jumlah

kendaraan, orang atau angkutan penumpang persatuan waktu. Bangkitan dan

tarikan perjalanan dipengaruhi oleh dua aspek tata guna lahan yaitu : jenis tata

guna lahan dan jumlah aktivitas (intensitas) pada tata guna tersebut.

Bangkitan perjalanan bertujuan untuk mendapatkan jumlah perjalanan

yang masuk di suatu zona ( Trip Attraction ) dan yang meninggalkan suatu zona

(Trip Production). Kedua hal tersebut dianalisis secara terpisah. Jadi tujuan

perencanaan bangkitan adalah untuk mengetahui besarnya bangkitan perjalanan

pada masa sekarang yang dapat bermaanfaat untuk memprediksi perjalanan di

masa yang akan datang.

2.1.3 Distribusi Perjalanan (Trip Distribution)

Distribusi perjalanan dari suatu tata guna lahan yang lain terjadi karena suatu tata

guna lahan tidak dapat memenuhi semua kebutuhan penduduknya. Besarnya

distribusi perjalan dari suatu tata guna lahan ke tata guna lahan lain dipengaruhi

oleh adanya pemisah jarak yang menimbulkan hambatan perjalanan (trip

impedance) yang direpresentasikan dengan nilai jarak, waktu dan biaya, serta

besarnya kemungkinan untuk dapat memenuhi kebutuhan perjalan tersebut

2.2 Pengertian Jalan

Jalan adalah ruang lalu lintas tempat kendaraan dan orang bergerak untuk

berpindah tempat. Jalan sebagaimana didefinisikan atau diperuntukkan bagi lalu

D

O

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi). c. Sepeda motor (MC)

6

lintas umum (Warpani, 2002). Jalan adalah salah satu elemen lalu-lintas yang

merupakan prasarana transportasi selain kendaraan (sarana) dan pemakai jalan.

Jalan merupakan suatu lintasan yang digunakan untuk melewatkan arus lalu lintas

dari suatu tempat asal ke tempat tujuan, sedangkan jaringan jalan merupakan

kumpulan ruas-ruas jalan yang diikat dalam suatu simpul yang disebut

persimpangan. Jaringan jalan mempunyai dua elemen, yaitu ruas jalan (link) dan

simpul (node)

2.2.1 Klasifikasi Jalan

Berdasarkan Wewenang Pembinaannya klasifikasi jalan dapat dibedakn

menjadi sebagai berikut :

a. Jalan Nasional, jalan dibawah pembinaan Menteri PU atau pejabat

yang ditunjuk.

b. Jalan Provinsi, Jalan dibawah pembinaan Pemda TK. I atau

instansi yang ditunjuk.

c. Jalan Kabupaten, Jalan dibawah pembinaan Pemda TK. II

Kabupaten atau instansi yang ditunjuk.

d. Jalan Kotamadya, Jalan dibawah pembinaan Pemda TK. II

Kotamadya atau instansi yang ditunjuk.

e. Jalan Desa, Jalan dibawah pembinaan desa atau kelurahan.

2.2.2 Ukuran Kinerja Ruas Jalan

Kinerja adalah ukuran kuantitatif yang menerangkan kondisi operasional

dari fasilitas lalu lintas seperti yang dinilai oleh pembina jalan (Departemen PU,

1997). Dalam Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997), ukuran kinerja ruas jalan

berupa kapasitas, derajat kejenuhan dan kecepatan arus bebas. Dalam jaringan

jalan biasanya dibedakan atas kelas/klasifikasi jalan, yaitu Jalan Antar Kota dan

Jalan Perkotaan.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi). c. Sepeda motor (MC)

7

1. Arus dan Komposisi Lalu Lintas

Arus lalu lintas adalah jumlah kendaraan bermotor yang melalui titik pada

jalan persatuan waktu, dinyatakan dengan kend/jam, smp/jam, LHRT (lalu

lintas rata-rata tahunan) (Departemen PU, 1997). Nilai arus lalu lintas (Q)

mencerminkan komposisi lalu lintas, dengan menyatakan arus dalam

satuan mobil penumpang (smp) dengan menggunakan ekivalensi mobil

penumpang (emp) yang diturunkan secara empiris untuk tipe kendaraan

berikut :

a. Kendaraan ringan (LV) : Kendaraan bermotor dua as beroda empat

dengan jarak as 2,3-3,0 m (termasuk mobil penumpang, opelet,

mikrobis, pick up, dan truk kecil).

b. Kendaraan berat (HV) : Kendaraan bermotor dengan jarak as lebih dari

3,5 m, biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as

dan truk kombinasi).

c. Sepeda motor (MC) : Kendaraan bermotor beroda dua atau tiga

(termasuk sepeda motor dan kendaraan beroda tiga).

Nilai ekivalensi mobil penumpang (emp) ditampilkan pada Tabel 2.1 dan

Tabel 2.2 berikut :

Tabel 2.1 Nilai konversi klasifikasi kendaraan

Tipe Jalan :

Tak terbagi

Arus lalu-lintas

Total dua arah

(kend/jam)

emp

HV

MC

Lebar jalur lalu-lintas Wc (m)

6 6

Dua-lajur tak-terbagi

(2/2 UD) 0

1800

1,3

1,2

0,50

0,35

0,4

0,25

Empat-lajur tak-terbagi

(4/2 UD) 0

3700

1,3

1,2

0,40

0,25

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi). c. Sepeda motor (MC)

8

Tabel 2.2 Emp untuk jalan perkotaan terbagi dan satu arah

Tipe jalan : Arus lalu lintas emp

Jalan satu arah dan per lajur

HV MC

jalan terbagi (kend/jam)

Dua-lajur satu-arah (2/1) dan 0 1,3 0,40

Empat-lajur terbagi (4/2D) ≥ 1050 1,2 0,25

Tiga-lajur satu-arah (3/1) dan 0 1,3 0,40

Enam-lajur terbagi (6/2D) ≥ 1100 1,2 0,25

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)

2. Kapasitas Jalan

Kapasitas jalan didefinisikan sebagai arus maksimum yang melewati

suatu titik di jalan yang dapat dipertahankan per satuan jam pada kondisi

tertentu. Kapasitas dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp/jam),

dengan rumus sebagai berikut :

C = Co x FCw x FCsp xFCsf x FCcs (2 .1)

Dimana :

C : Kapasitas (smp/jam)

Co : Kapasitas Dasar (smp/jam)

FCw : Faktor penyesuaian lebar jalan

FCsp : Faktor penyesuaian pemisahan arah (hanya untuk

jalan tak terbagi)

FCsf : Faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu

jalan/kereb

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi). c. Sepeda motor (MC)

9

FCcs : Faktor Penyesuaian ukuran kota

a. Kapasitas Dasar (Co)

Kapasitas dasar jalan lebih dari empat jalur (banyak jalur) dapat

ditentukan dengan menggunakan kapasitas per jalur yang ditampilkan

pada Tabel 2.3.

b. Faktor Penyesuaian Lebar Jalur Lalu Lintas (FCw)

Penentuan penyesuaian untuk lebar jalur lalu lintas faktor penyesuaian

lebar jalan (FCw), berdasarkan lebar jalur lalu lintas efektif (Wc).

Faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan lebih dari empat lajur dapat

ditentukan dengan menggunakan nilai per lajur yang diberikan untuk

jalan empat-lajur, yang dapat dilihat pada Tabel 2.4.

c. Faktor Penyesuaian Pemisahan Arah (FCsp)

Untuk mentukan faktor penyesuaian pemisahan arah (FCsp) untuk jalan

dua-jalur dua-arah (2/2) dan empat-jalur dua-arah (4/2) tak terbagi

dapat dilihat pada Tabel 2.5.

d. Faktor Penyesuaian Hambatan Samping (FCsf)

Didalam menentukan faktor penyesuaian untuk hambatan samping

(FCsf) dapat dibagi sebagai berikut :

1. Jalan dengan Bahu

Faktor penyesuaian kapasitas untuk hambatan samping

berdasarkan lebar bahu efektif (Ws) dan kelas hambatan samping

(SFC) pada jalan perkotaan dengan bahu. Faktor penyesuaian

kapasitas untuk pengaruh hambatan samping dengan bahu (FCsf)

pada jalan perkotaan dapat dilihat pada Tabel 2.6.

2. Jalan dengan kereb

Faktor Penyesuaian kapasitas untuk hambatan samping (FCsf)

berdasarkan jarak antara kereb dan penghalang pada trotoar (Wg)

dan kelas hambatan samping (SFC) dapat dilihat pada Tabel 2.7.

e. Faktor Penyesuaian Untuk Ukuran Kota (FCcs)

Faktor penyesuaian untuk ukuran kota didasarkan pada jumlah

penduduk (juta) yang dapat dilihat pada Tabel 2.9.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi). c. Sepeda motor (MC)

10

Tabel 2.3 Kapasitas dasar (Co)

Tipe Jalan Kapasitas Dasar (smp/jam) Catatan

Empat-lajur terbagi atau jalan

satu arah 1650

Per lajur

Empat-lajur tak-terbagi 1500 Per lajur

Dua-lajur tak-terbagi 2900 Total dua arah

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997 )

Tabel 2.4 Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas (FCw)

Tipe Jalan Lebar Jalur Lalu Lintas (Wc) (m) FCw

Empat-lajur terbagi Per lajur

atau jalan satu arah 3,00 0,92

3,25 0,96

3,50 1,00

3,75 1,04

4,00 1,08

Empat-lajur-tak-terbagi Per lajur

3,00 0,91

3,25 0,95

3,50 1,00

3,75 1,05

4,00 1,09

Dua-lajur tak-terbagi Total dua arah

5 0,56

6 0,87

7 1,00

8 1,14

9 1,25

10 1,29

11 1,34

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)

Tabel 2.5 Faktor penyesuaian pemisahan arah (FCsp)

50-50 55-45 60-40 65-35 70-30

Dua-lajur (2/2) 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88

Empat-lajur (4/2) 1,00 0,985 0,97 0,955 0,94

FCsp

Pemisahan Arah SP %

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi). c. Sepeda motor (MC)

11

Untuk jalan terbagi dan jalan satu arah, faktor penyesuaian

kapasitas untuk pemisahan arah tidak dapat ditetapkan dan nilai 1,0

yang sebaiknya digunakan.

Tabel 2.6 Faktor penyesuaian kapasitas untuk pengaruh hambatan

samping dan lebar bahu (FCsf) pada jalan perkotaan

≤ 0,5 1,0 1,5 ≥ 2,0

Empat-lajur VL 0,96 0,98 1,01 1,03

terbagi L 0,94 0,97 1,00 1,02

atau jalan M 0,92 0,95 0,98 1,00

satu-arah H 0,88 0,92 0,95 0,98

4/2 D VH 0,84 0,88 0,92 0,96

Empat-lajur VL 0,96 0,99 1,01 1,03

tak-terbagi L 0,94 0,97 1,00 1,02

4/2 UD M 0,92 0,95 0,98 1,00

H 0,87 0,91 0,94 0,98

VH 0,80 0,86 0,90 0,95

Dua-lajur VL 0,94 0,96 0,99 1,01

tak-terbagi L 0,92 0,94 0,97 1,00

2/2 UD M 0,89 0,92 0,95 0,98

H 0,82 0,86 0,90 0,95

VH 0,73 0,79 0,85 0,91

Tipe Jalan

Kelas

Hambatan

Samping

Faktor Penyesuaian Hamabatan Samping

dan Lebar Bahu Jalan FCsf

Lebar bahu efektif Ws

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)

Tabel 2.7 Faktor penyesuaian kapasitas untuk pengaruh hambatan

samping dan jarak kereb-penghalang (FCsf) jalan

perkotaan

0,5 1,0 1,5 2,0

Empat-lajur VL 0,95 0,97 0,99 1,01

terbagi L 0,94 0,96 0,98 1,00

atau jalan M 0,91 0,93 0,95 0,98

satu-arah H 0,86 0,89 0,92 0,95

4/2 D VH 0,81 0,85 0,88 0,92

Empat-lajur VL 0,95 0,97 0,99 1,01

tak-terbagi L 0,93 0,95 0,97 1,00

4/2 UD M 0,90 0,92 0,95 0,97

H 0,84 0,87 0,90 0,93

VH 0,77 0,81 0,85 0,90

Dua-lajur VL 0,93 0,95 0,97 0,99

tak-terbagi L 0,90 0,92 0,95 0,97

2/2 UD M 0,86 0,88 0,91 0,94

H 0,78 0,81 0,84 0,88

VH 0,68 0,72 0,77 0,82

Tipe JalanKelas Hambatan

Samping (SFC)

Faktor Penyesuaian Hamabtan Samping

dan Jarak Kereb-Penghalang FCsf

Jarak Kereb-Penghalang Wg

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi). c. Sepeda motor (MC)

12

Tabel 2.8 Penentuan kelas hambatan samping

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)

Tabel 2.9 Faktor penyesuaian kapasitas untuk ukuran kota (FCcs)

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)

3. Derajat Kejenuhan

Derajat Kejenuhan (DS) didefinisikan sebagai rasio arus terhadap

kapasitas, digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan tingkat kinerja

segmen jalan. Nilai DS menunjukkan apakah segmen jalan tersebut

mempunyai masalah kapasitas atau tidak.

C

QDS (2.2)

Dimana :

DS = Derajat Kejenuhan

Q = Volume lalu lintas (smp/jam)

C = Kapasitas (smp/jam)

Kondisi Khusus

Jumlah berbobot

kejadian per 200

meter per-jam

(dua sisi)

Kelas hambatan samping

Pemukiman hampir tidak ada kegiatan

Pemukiman, beberapa angkutan umum, dll

Daerah industri dengan toko-toko di pinggir jalan

Daerah niaga dengan aktifitas sisi jalan yang tinggi

Daerah niaga dengan aktifitas pasar sisi jalan yang

tinggi

< 100

100-299

300-499

500-899

>900

Sangat rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat tinggi

VL

L

M

H

VH

Ukuran kota (Jumlah Penduduk/Juta) Faktor Penyesuaian Untuk Ukuran Kota

< 0,1

0,1 – 0,5

0,5 – 1,0

1,0 – 3,0

>3,0

0,86

0,90

0,94

1,00

1,04

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi). c. Sepeda motor (MC)

13

4. Kecepatan

Klasifikasi utama yang sering digunakan dalam analisis kecepatan

adalah :

1. Kecepatan Titik/Sesaat (Sort Speed) : Kecepatan yang diukur pada saat

kendaraan melintasi suatu titik di jalan.

2. Kecepatan Perjalanan (Journey Speed) : Kecepatan efektif kendaraan

yang sedang dalam perjalanan antara dua titik pengamatan dibagi

dengan lama waktu perjalanan kendaraan yang diamati.

3. Kecepatan bergerak (Running Speed) : Kecepatan suatu potongan jalan

tertentu dibagi waktu bergerak.

4. Kecepatan rata-rata waktu (Time Mean Speed) : Kecepatan rata-rata

dari semua kendaraan yang melintasi suatu titik di jalan selama periode

waktu tertentu.

5. Kecepatan Rata-rata Ruang (Space Mean Speed) : Kecepatan rata-rata

dari semua kendaraan yang menempati suatu potongan jalan selama

periode tertentu.

Manual menggunakan kecepatan tempuh sebagai ukuran utama kinerja

segmen jalan, karena mudah dimengerti dan diukur, dan merupakan

masukan yang penting untuk biaya pemakai jalan dalam analisa ekonomi.

Kecepatan tempuh didefinisikan dalam manual ini sebagai kecepatan rata-

rata ruang dari kendaraan ringan (LV) sepanjang segmen jalan :

Vs = L /

T (2.3)

Dimana :

Vs = Kecepatan rata-rata ruang LV (km/jam)

L = Panjang segmen (m)

T = Waktu tempuh rata-rata LV sepanjang segmen (jam)

a. Kecepatan Arus Bebas

Kecepatan arus bebas merupakan kecepatan pada tingkat arus nol,

yaitu kecepatan yang akan dipilih pengemudi jika mengendarai

kendaraan bermotor tanpa dipengaruhi oleh kendaraan bermotor

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi). c. Sepeda motor (MC)

14

lain di jalan. Persamaan untuk kecepatan arus bebas mempunyai

bentuk umum sebagai berikut :

FV = (FVo + FVw) x FFVsf x FFVcs (2.4)

Dimana :

FV = Kecepatan arus bebas kendaraan ringan pada kondisi

lapangan (km/jam)

FVw = Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk lebar

jalur lalu-lintas diperoleh dari Tabel 2.10

FFVsf = Faktor penyesuaian hambatan samping dan lebar bahu

atau jarak kerb penghalang. Nilai faktor penyesuaian

kecepatan arus bebas untuk hambatan samping

diperoleh berdasarkan nilai lebar bahu efektif (Ws)

yang dimasukkan dalam Tabel 2.11 khusus untuk

jalan dengan bahu, sedangkan Tabel 2.12 untuk jalan

dengan kerb, dengan kelas hambatan samping yang

diperoleh dari Tabel 2.8.

FFVcs = Faktor penyesuaian kecepatan untuk ukuran kota.

Untuk menentukan faktor penyesuaian kecepatan

arus bebas untuk ukuran kota diperoleh dari Tabel

2.13.

FVo = Kecepatan arus bebas dasar diperoleh dari Tabel 2.14

Tabel 2.10 Penyesuaian kecepatan arus bebas untuk lebar jalur lalu-

lintas

Tipe Jalan Lebar Jalur Lalu-lintas Efektif (Wc) (m) FVw (km/jam)

Per lajur

Empat-lajur 3 -4

terbagi atau 3.25 -2

jalan satu arah 3.5 0

3.75 2

4 4

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi). c. Sepeda motor (MC)

15

Tabel 2.10 (lanjutan)

Empat-lajur Per lajur

Tak terbagi 3 -4

3.25 -2

3.5 0

3.75 2

4 4

Dua-lajur Total

Tak-terbagi 5 -9.5

6 -3

7 0

8 3

9 4

10 6

11 7

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)

Tabel 2.11 Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk hambatan

samping (FFVsf)

Tipe jalan Kelas hambatan

samping

Faktor Penyesuaian untuk hambatan samping dan

lebar bahu (FCsf)

Lebar bahu efektif (ws)

≤ 1 1.5 ≥

4/2 D VL 1.02 1.03 1.03 1.04

atau jalan L 0.98 1 1.02 1.03

satu-arah M 0.94 0.97 1 1.02

H 0.89 0.93 0.96 0.99

VH 0.84 0.88 0.92 0.96

4/2 UD VL 1.02 1.03 1.03 1.04

L 0.98 1 1.02 1.03

M 0.93 0.96 0.99 1.02

H 0.87 0.91 0.94 0.98

VH 0.8 0.86 0.9 0.95

2/2 UD VL 1 1.01 1.01 1.01

L 0.96 0.98 0.99 1

M 0.9 0.93 0.96 0.99

H 0.82 0.86 0.9 0.95

VH 0.73 0.79 0.85 0.91

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi). c. Sepeda motor (MC)

16

Tabel 2.12 Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk hambatan

samping (FFVsf)

Tipe jalan Kelas hambatan

samping

Faktor Penyesuaian untuk hambatan samping dan

jarak kerb penghalang (FCsf)

Lebar bahu efektif (ws)

≤ 1 1.5 ≥

4/2 D VL 1.00 1.01 1.01 1.02

atau jalan L 0.97 0.98 0.99 1.00

satu-arah M 0.93 0.95 0.97 1.99

H 0.87 0.90 0.93 0.96

VH 0.81 0.85 0.88 0.92

4/2 UD VL 1.00 1.01 1.01 1.02

L 0.96 0.98 0.99 1.00

M 0.91 0.93 0.96 0.98

H 0.84 0.87 0.90 0.94

VH 0.77 0.81 0.90 0.90

2/2 UD VL 0.98 0.99 0.99 1.00

L 0.93 0.95 0.96 0.98

M 0.87 0.89 0.92 0.95

H 0.78 0.81 0.84 0.88

VH 0.63 0.79 0.77 0.82

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)

Tabel 2.13 Faktor penyesuaian kapasitas untuk ukuran kota (FFVcs)

Ukuran kota

(Jumlah Penduduk/Juta) Faktor Penyesuaian Untuk Ukuran

Kota

< 0,1

0,1 – 0,5

0,5 – 1,0

1,0 – 3,0

>3,0

0,90

0,93

0,95

1,00

1,03

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi). c. Sepeda motor (MC)

17

Tabel 2.14 Kecepatan arus bebas dasar (FVo)

Tipe jalan

Kecepatan arus bebas dasar (Fvo)

Kendaraan

ringan (LV)

Kendaraan

berat (HV)

Sepeda

motor

(MC)

Semua

kendaraan

Enam-lajur terbagi (6/2 D)

atau

Tiga-lajur satu arah (3/1)

61

52

48

57

Empat-lajur terbagi (4/2D)

atau

Dua-lajur satu-arah (2/1)

57 50 47 55

Empat-lajur

tak terbagi (4/2 UD)

53 46 43 51

Dua-lajur

Tak-terbagi (2/2 UD)

44 40 40

42

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)

b. Hubungan Antara Kecepatan Dengan Arus

Prinsip dasar analisis kapasitas segmen jalan adalah kecepatan

akan berkurang jika arus bertambah. Pengurangan kecepatan akibat

penambahan arus adalah kecil pada arus yang lebih tinggi. Di dekat

kapasitas, pertambahan arus yang sedikit akan menghasilkan

pengurangan kecepatan besar, hal ini dapat dilihat pada Gambar

2.2 dan 2.3. Hubungan ini telah ditentukan secara kuantitatif untuk

kondisi standar untuk tiap tipe jalan. Setiap kondisi standar

mempunyai standar dan karakteristik lingkungan tertentu. Jika

karakteristik jalan lebih baik dari kondisi standar (misal lebar jalur

lebih lebar dari jalur normal), kapasitas menjadi lebih tinggi dan

kurve bergeser kesebelah kanan, dengan kecepatan lebih tinggi

pada arus tertentu. Jika karakteristik jalan lebih buruk dari kondisi

standar (misal hambatan samping tinggi) kurve bergeser kekiri,

kapasitas menjadi berkurang dan kecepatan pada arus tertentu lebih

rendah.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi). c. Sepeda motor (MC)

18

Gambar 2.2 Bentuk umum hubungan kecepatan dan arus

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)

Gambar 2.3 Hubungan kecepatan dan arus pada kondisi standar dan non standar

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)

5. Tingkat Pelayanan Jalan

Tingkat pelayanan (Level of Service) adalah ukuran kualitas perjalanan

yang dinyatakan dengan huruf A sampai dengan huruf F (TRB, 1985).

Departemen Pekerjaan Umum (1997) tidak menyatakan dengan tegas

tingkat pelayanan pada jalan dan persimpangan, kecuali persimpangan

yang dikendalikan dengan traffic light.

Klasifikasi tingkat pelayanan jalan menurut Highway Capacity

Manual/HCM (TRB,1985) adalah sebagai berikut :

Kecepatan arus bebas

Kec. (km/jam)

Kapasitas

Arus (smp/jam)

Kondisi lebih baik

Kondisi Standar

Kondisi lebih buruk

Kec. (km/jam)

Arus (smp/jam)

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi). c. Sepeda motor (MC)

19

1. Tingkat Pelayanan A

Pada tingkat pelayanan A, kendaraan tidak mengalami hambatan

berarti dan pengendara cukup bebas memilih kecepatan yang

diinginkan.

2. Tingkat Pelayanan B

Dengan bertambahnya arus lalu lintas dan menimbulkan sedikit

hambatan bagi pengemudi kendaraan.

3. Tingkat Pelayanan C

Akibat bertambahnya arus lalu lintas hambatan terus bertambah dan

menimbulkan tundaan/kemacetan masih dalam batas-batas yang

diterima oleh pengemudi.

4. Tingkat Pelayanan D

Terus bertambahnya arus lalu lintas, hambatan semakin besar dan

tundaan semakin meningkat dan kejadian bergerak (go) dan berhenti

(stop) sudah dialami oleh pengemudi.

5. Tingkat Pelayanan E

Pada tingkat pelayanan E atau pada titik kapasitas, dimana demand

sama dengan kapasitas atau dengan kata lain V/C ratio = 1, terjadi

tundaan dan kajian bergerak (go) dan berhenti (stop) dialami oleh

pengemudi.

6. Tingkat Pelayanan F

Tingkat pelayanan F termasuk kategori oversaturated (kelewat jenuh),

hambatan yang sangat besar dan tundaan meningkat, serta kejadian

stop-go membesar. Jika arus bertambah maka kecepatan kendaraan

sama dengan nol (berhenti total).

Departemen Pekerjaan Umum (1997), tidak dengan tegas meyatakan

tingkat pelayanan jalan, secara implisit kinerja jalan diukur dari V/C ratio, akan

tetapi tidak dengan jelas mengklasifikasikan tingkat pelayanan setiap kategori V/C

rasio. Departemen Pekerjaan Umum (1997) hanya merekomendasikan V/C ratio

yang masih diterima adalah < 0,8. Adapun tingkat pelayanan jalan dan ratio nilai

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi). c. Sepeda motor (MC)

20

V/C dapat dilihat pada Tabel 2.21, sedangkan gambar 2.5 dan 2.6 menampilkan

hubungan antara V/C ratio dengan kecepatan.

Tabel 2.15 Hubungan V/C Ratio dengan Tingkat Pelayanan

Tingkat

Pelayanan

Kondisi Lapangan Ratio V/C

A Arus bebas dengan kecepatan tinggi, pengemudi

dapat memilih kecepatan yang diinginkan tanpa

tundaan

0,00 - 0,19

B Arus stabil, kecepatan mulai dibatasi oleh kondisi

lalu lintas, pengemudi memiliki kebebasan yang

cukup untuk memilih kecepatan

0,20 - 0,44

C Arus stabil, tetapi kecepatan dan gerak kendaraan

dibatasi oleh kondisi lalu lintas, pengemudi dibatasi

dlm memilih kecepatan.

0,45 - 0,74

D Volume lalu lintas mendekati tidak stabil, kecepatan

masih dikendalikan oleh kondisi lalu lintas, rasio

V/C masih biasa ditoleransi.

0,75 - 0,84

E Volume lalu lintas mendekati kapasitas, arus tidak

stabil, kecepatan terkadang terhenti. 0,85 - 1,00

F Arus lalu lintas macet, kecepatan rendah, antrian

panjang serta hambatan/tundaan besar. -

Sumber: TRB (1985)

Dimana : V = Volume (smp/jam)

C = Kapasitas (smp/jam)

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi). c. Sepeda motor (MC)

21

Gambar 2.4 Kecepatan sebagai fungsi dari DS untuk jalan 2/2 UD

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)

Gambar 2.5 Kecepatan sebagai fungsi dari DS untuk jalan banyak lajur dan satu

arah Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi). c. Sepeda motor (MC)

22

Gambar 2.6 Hubungan umum antara kecepatan, tingkat pelayanan dan rasio

volume terhadap kapasitas jalan Sumber: Tamin (2000)

2.3 Penententuan Sampel

1. Teknik Sampling

Sampel adalah sebagian dari populasi yang ingin diteliti dengan

menggunakan prosedur tertentu, yang ciri-ciri dan keberadaannya

diharapkan mampu mewakili atau menggambarkan ciri-ciri dan

keberadaan populasi yang sebenarnya (Sugiarto dkk, 2003).

Banyaknya anggota suatu sampel disebut ukuran sampel, sedangkan

suatu nilai yang menggambarkan ciri sampel disebut statistik (karena

statistik diperoleh dari sampel, maka dengan adanya perbedaan sampel

yang diambil, nilai statistik yang diperoleh dapat berubah juga

sehingga dengan demikian bervariasi atau berubah-ubah atau

merupakan ciri statistik). Pengambilan sampel (sampling) adalah suatu

proses yang dilakukan untuk memilih dan mengambil sampel secara

benar dari suatu populasi sehingga dapat digunakan sebagai wakil

yang sahih (dapat mewakili) bagi populasi tersebut.

Adapun jenis teknik sampling dapat diuraikan sebagai berikut :

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi). c. Sepeda motor (MC)

23

A. Probability Sampling (Metode Acak)

Dalam probability sampling, pemilihan sampel tidak dilakukan secara

subyektif, dalam arti sampel yang dipilih tidak didasarkan semata-mata

pada keinginan peneliti sehingga setiap anggota populasi memiliki

kesempatan yang sama (acak) untuk terpilih sebagai sampel. Beberapa

jenis probability sampling (metode acak) adalah sebagai berikut :

a. Metode Pengambilan Sampel Acak Sederhana (Simple Random

Sampling)

Adalah metode yang digunakan untuk memilih sampel dari

populasi dengan cara sedemikian rupa sehingga setiap anggota

populasi mempunyai peluang yang sama besar untuk diambil

sebagai sampel. Ini berarti semua anggota populasi menjadi

anggota dari kerangka sampel.

b. Metode Pengambilan Sampel Acak Sistematis (Systematic Random

Sampling)

Adalah metode untuk mengambil sampel secara sistematis dengan

interval (jarak) tertentu dari suatu kerangka sampel yang telah

diurutkan. Dengan demikian tersedianya suatu populasi sasaran

yang tersusun (ordered population target) merupakan prasyarat

penting bagi dimungkinkannya pelaksanan pengambilan sampel

dengan metode acak sistematis.

c. Metode Pengambilan Sampel Acak Terstratifikasi (Stratified

Random Sampling)

Adalah metode pemilihan sampel dengan cara membagi populasi

ke dalam kelompok-kelompok yang homogen yang disebut strata

dan kemudian sampel diambil secara acak dari setiap strata

tersebut.

d. Metode Pengambilan Sampel Bloking (Cluster Sampling)

Adalah metode yang digunakan untuk memilih sampel yang

berupa kelompok dari beberapa kelompok (groups atau cluster)

dimana setiap kelompok terdiri atas beberapa unit yang lebih kecil

(elements). Jumlah elements dari masing-masing kelompok (size of

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi). c. Sepeda motor (MC)

24

the clusters) bisa sama maupun berbeda. Kelompok-kelompok

(groups) tersebut dapat dipilih baik dengan menggunakan metode

acak sederhana maupun acak sistematis dengan pangacakan pada

kelompok pertamanya saja.

B. Non Probability Sampling (Metode Tak Acak)

Non Probability Sampling (penarikan sampel secara tak acak)

dikembangkan untuk menjawab kesulitan yang ditimbulkan dalam

menerapkan metode acak, terutama dalam kaitannya dengan

pengurangan biaya permasalahan yang mungkin timbul dalam

pembuatan kerangka sampel. Hal ini dapat dimungkinkan karena

kerangka sampel tidak diperlukan dalam pengambilan sampel secara

non probability. Akan tetapi, ketepatan dari informasi yang dapat

diperoleh juga akan terpengaruh. Hasil dari non probabilty sampling

ini seringkali mengandung bias dan ketidaktentuan yang bisa berakibat

lebih buruk. Permasalahan yang muncul ini dapat dihilangkan dengan

hanya menambah ukuran sampelnya. Alasan inilah yang

mengakibatkan keengganan para statistikawan untuk menggunakan

metode ini. Beberapa prosedur non probability sampling yang sering

digunakan adalah sebagai berikut :

a. Sampling Kemudahan (Convenience Sampling)

Pada pengambilan sampel dengan cara ini, sampel diambil

berdasarkan pada ketersediaan elemen dan kemudahan untuk

mendapatkannya. Dengan kata lain sampel diambil atau terpilih

karena sampel tersebut ada pada tempat dan waktu yang tepat.

Penarikan sampel dengan cara ini nyaris tidak dapat diandalkan,

tetapi biasanya paling murah dan cepat dilakukan karena peneliti

memiliki kebebasan untuk memilih siapa saja yang mereka temui.

b. Sampling Pertimbangan (Judgment Sampling)

Pada sampling pertimbangan, sampel yang diambil berdasarkan

pada kriteria-kriteria yang telah dirumuskan terlebih dahulu oleh

peneliti. Dalam perumusan kriterianya, subyektifitas dan

pengalaman dari peneliti sangat berperan. Sampling pertimbangan

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi). c. Sepeda motor (MC)

25

pada umumnya lebih cocok dipakai pada tahap awal suatu studi

eksploratif. Dalam hal ini, sampel yang diambil dari anggota

polpulasi dipilih sekehendak hati oleh peneliti menurut

pertimbangan dan intuisinya. Apabila dalam hal ini subyektifitas

dan intuisi dari peneliti tersebut benar, maka sampel yang dipilih

oleh peneliti tersebut akan dapat mencerminkan karakteristik

populasi.

c. Quota Sampling

Pada dasarnya, quota sampling ini sama dengan judgment

sampling. Quota sampling ini dapat dikatakan sebagai judgment

sampling dua tahap. Tahap pertama adalah tahap dimana peneliti

merumuskan kategori kontrol atau quota dari populasi yang akan

diteliti seperti jenis kelamin, usia, ras yang terdefinisikan dengan

baik sebagai basis dari keputusan pemilihan sampel. Tahap kedua

dalah penentuan bagaimana sampel akan diambil, dapat secara

convenience atau judgment tergantung pada situasi dan kondisi

pada saat akan dilakukan penelitian dan apa yang akan diteliti

serta kemampuan dari peneliti sendiri. Perbedaan antara judgment

sampling dan quota sampling terletak pada adanya suatu batasan

pada quota sampling bahwa sampel yang diambil harus sejumlah

tertentu yang dijatah (quotum) dari setiap subgroup yang telah

ditentukan dari suatu populasi.

d. Snowball Sampling

Snowball Sampling ini sangat tepat digunakan apabila populasinya

sangat spesifik. Cara pengambilan sampel dengan teknik ini

dilakukan secara berantai, mulai dari ukuran sampel yang kecil.

Semakin lama menjadi semakin besar seperti halnya bola salju

yang menggelinding menuruni lereng gunung.

2. Penentuan Jumlah Sampel

Sampel yang diambil agar dapat mewakili kondisi seluruh populasi

pada dasarnya dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu :

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi). c. Sepeda motor (MC)

26

a. Tingkat variabilitas dari parameter yang ditinjau dari seluruh

populasi yang ada.

b. Tingkat ketelitian yang dibutuhkan untuk mengukur parameter

yang dimaksud.

c. Besarnya populasi dari parameter yang akan disurvei.

Langkah-langkah untuk menentukan jumlah sampel yang representatif,

yaitu :

a. Melakukan survei pendahuluan untuk memeriksa apakah metode

sudah sesuai untuk data yang dibutuhkan serta formulir apakah

sudah lengkap.

b. Berdasarkan besaran parameter tersebut dapat dihitung.

a. Rata-rata (mean) sampel n

Xi

X

n

i

1 (2.5)

Dimana :

X = nilai rata-rata

Xi = nilai data sampel

n = jumlah sampel

b. Standar deviasi Sd =

1

1

2

n

XXin

i ; (n ≤30) (2.6)

Standar deviasi Sd =

n

XXin

i

1

2

; (n >30) (2.7)

Dalam pengambilan sampel tingkat ketelitian yang diinginkan sebesar

95% yang berarti bahwa besarnya tingkat kesalahan yang ditoleransi tidak

lebih dari 5%, dengan kondisi seperti ini maka besarnya standard error

yang dapat diterima yang ditunjukkan dalam tabel distribusi normal adalah

1,96 dari acceptable sampling error. Pada tingkat ketelitian 95% maka

besarnya acceptable sampling error (Se) adalah 5% dari sample mean,

sehingga :

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as dan truk kombinasi). c. Sepeda motor (MC)

27

Se=0,05 x mean parameter (2.8)

Dengan demikian demikian besarnya acceptable sampling error adalah

Se (X)=96,1

Se (2.9)

Berdasarkan hasil perhitungan-perhitungan diatas, maka besarnya jumlah

sampel yang representatif (n’) dihitung dengan rumus :

n’ =2

2

se

sd (2.10)

Dimana :

n’ = jumlah sampel yang representatif

Sd2 = standar deviasi kuadrat

(Se(X))2 = acceptable sampling error dikuadratkan

Untuk populasi yang jumlahnya hingga

n = n’ (2.11)

1+n N

Dimana :

n = jumlah sampel minimal

N = jumlah populasi