BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro 2.1 ... · 3,5 m, biasanya beroda lebih dari...
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Transportasi Makro
Secara umum sistem transportasi dapat dibagi menjadi beberapa subsistem
transportasi yang lebih kecil (mikro), dimana yang satu dengan yang lain saling
terkait dan saling mempengaruhi. Subsistem tersebut adalah sebagai berikut,
yaitu:
2.1.1 Sistem Kegiatan atau Permintaan Transportasi (Transport Demand)
Merupakan pola kegiatan tata guna lahan (land use) yang terdiri dari sistem
kegiatan sosial, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya. Sistem kegiatan dengan
tipe kegiatan dan intensitas kegiatan tertentu akan memproduksi perjalanan (trip
production) dan juga akan menarik perjalanan (trip attraction). Perjalanan
merupakan alat untuk pemudahan kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh tata
guna lahan tersebut.
2.1.2 Bangkitan Perjalanan (Trip Generation)
Bangkitan perjalanan adalah banyaknya kendaraan atau orang yang
bepergian, yang timbul oleh suatu zona atau daerah per satuan waktu. Jumlah lalu
lintas tergantung pada kegiatan kota, karena penyebab lalu lintas ialah adanya
jarak antara barang dan kebutuhannya. Setiap perjalanan pasti mempunyai asal
yaitu zona yang menghasilkan pelakunya, dan tujuan yaitu zona yang menarik
pelaku perjalanan dari tempat tinggal dan diakhiri di tempat tujuan.
Pemodelan bangkitan perjalanan digunakan untuk memperkirakan jumlah
perjalanan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan. Hasil dari
perhitungan bangkitan dan tarikan perjalanan berupa jumlah kendaraan/jam.
Sehingga dapat dihitung pula jumlah orang atau kendaraan yang keluar atau
masuk dari suatu tempat. Dari kegiatan tertentu dalam suatu hari untuk
mendapatkan bangkitan dan tarikan perjalanan tertentu. Bangkitan dan tarikan
perjalanan dapat digambarkan pada Gambar 2.1
5
Trip Production Trip Attraction
Gambar 2.1 Bangkitan perjalanan Sumber: Tamin (2000)
Hasil keluaran dari perhitungan bangkitan perjalanan berupa jumlah
kendaraan, orang atau angkutan penumpang persatuan waktu. Bangkitan dan
tarikan perjalanan dipengaruhi oleh dua aspek tata guna lahan yaitu : jenis tata
guna lahan dan jumlah aktivitas (intensitas) pada tata guna tersebut.
Bangkitan perjalanan bertujuan untuk mendapatkan jumlah perjalanan
yang masuk di suatu zona ( Trip Attraction ) dan yang meninggalkan suatu zona
(Trip Production). Kedua hal tersebut dianalisis secara terpisah. Jadi tujuan
perencanaan bangkitan adalah untuk mengetahui besarnya bangkitan perjalanan
pada masa sekarang yang dapat bermaanfaat untuk memprediksi perjalanan di
masa yang akan datang.
2.1.3 Distribusi Perjalanan (Trip Distribution)
Distribusi perjalanan dari suatu tata guna lahan yang lain terjadi karena suatu tata
guna lahan tidak dapat memenuhi semua kebutuhan penduduknya. Besarnya
distribusi perjalan dari suatu tata guna lahan ke tata guna lahan lain dipengaruhi
oleh adanya pemisah jarak yang menimbulkan hambatan perjalanan (trip
impedance) yang direpresentasikan dengan nilai jarak, waktu dan biaya, serta
besarnya kemungkinan untuk dapat memenuhi kebutuhan perjalan tersebut
2.2 Pengertian Jalan
Jalan adalah ruang lalu lintas tempat kendaraan dan orang bergerak untuk
berpindah tempat. Jalan sebagaimana didefinisikan atau diperuntukkan bagi lalu
D
O
6
lintas umum (Warpani, 2002). Jalan adalah salah satu elemen lalu-lintas yang
merupakan prasarana transportasi selain kendaraan (sarana) dan pemakai jalan.
Jalan merupakan suatu lintasan yang digunakan untuk melewatkan arus lalu lintas
dari suatu tempat asal ke tempat tujuan, sedangkan jaringan jalan merupakan
kumpulan ruas-ruas jalan yang diikat dalam suatu simpul yang disebut
persimpangan. Jaringan jalan mempunyai dua elemen, yaitu ruas jalan (link) dan
simpul (node)
2.2.1 Klasifikasi Jalan
Berdasarkan Wewenang Pembinaannya klasifikasi jalan dapat dibedakn
menjadi sebagai berikut :
a. Jalan Nasional, jalan dibawah pembinaan Menteri PU atau pejabat
yang ditunjuk.
b. Jalan Provinsi, Jalan dibawah pembinaan Pemda TK. I atau
instansi yang ditunjuk.
c. Jalan Kabupaten, Jalan dibawah pembinaan Pemda TK. II
Kabupaten atau instansi yang ditunjuk.
d. Jalan Kotamadya, Jalan dibawah pembinaan Pemda TK. II
Kotamadya atau instansi yang ditunjuk.
e. Jalan Desa, Jalan dibawah pembinaan desa atau kelurahan.
2.2.2 Ukuran Kinerja Ruas Jalan
Kinerja adalah ukuran kuantitatif yang menerangkan kondisi operasional
dari fasilitas lalu lintas seperti yang dinilai oleh pembina jalan (Departemen PU,
1997). Dalam Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997), ukuran kinerja ruas jalan
berupa kapasitas, derajat kejenuhan dan kecepatan arus bebas. Dalam jaringan
jalan biasanya dibedakan atas kelas/klasifikasi jalan, yaitu Jalan Antar Kota dan
Jalan Perkotaan.
7
1. Arus dan Komposisi Lalu Lintas
Arus lalu lintas adalah jumlah kendaraan bermotor yang melalui titik pada
jalan persatuan waktu, dinyatakan dengan kend/jam, smp/jam, LHRT (lalu
lintas rata-rata tahunan) (Departemen PU, 1997). Nilai arus lalu lintas (Q)
mencerminkan komposisi lalu lintas, dengan menyatakan arus dalam
satuan mobil penumpang (smp) dengan menggunakan ekivalensi mobil
penumpang (emp) yang diturunkan secara empiris untuk tipe kendaraan
berikut :
a. Kendaraan ringan (LV) : Kendaraan bermotor dua as beroda empat
dengan jarak as 2,3-3,0 m (termasuk mobil penumpang, opelet,
mikrobis, pick up, dan truk kecil).
b. Kendaraan berat (HV) : Kendaraan bermotor dengan jarak as lebih dari
3,5 m, biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bus, truk 2 as, truk 3 as
dan truk kombinasi).
c. Sepeda motor (MC) : Kendaraan bermotor beroda dua atau tiga
(termasuk sepeda motor dan kendaraan beroda tiga).
Nilai ekivalensi mobil penumpang (emp) ditampilkan pada Tabel 2.1 dan
Tabel 2.2 berikut :
Tabel 2.1 Nilai konversi klasifikasi kendaraan
Tipe Jalan :
Tak terbagi
Arus lalu-lintas
Total dua arah
(kend/jam)
emp
HV
MC
Lebar jalur lalu-lintas Wc (m)
6 6
Dua-lajur tak-terbagi
(2/2 UD) 0
1800
1,3
1,2
0,50
0,35
0,4
0,25
Empat-lajur tak-terbagi
(4/2 UD) 0
3700
1,3
1,2
0,40
0,25
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
8
Tabel 2.2 Emp untuk jalan perkotaan terbagi dan satu arah
Tipe jalan : Arus lalu lintas emp
Jalan satu arah dan per lajur
HV MC
jalan terbagi (kend/jam)
Dua-lajur satu-arah (2/1) dan 0 1,3 0,40
Empat-lajur terbagi (4/2D) ≥ 1050 1,2 0,25
Tiga-lajur satu-arah (3/1) dan 0 1,3 0,40
Enam-lajur terbagi (6/2D) ≥ 1100 1,2 0,25
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
2. Kapasitas Jalan
Kapasitas jalan didefinisikan sebagai arus maksimum yang melewati
suatu titik di jalan yang dapat dipertahankan per satuan jam pada kondisi
tertentu. Kapasitas dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp/jam),
dengan rumus sebagai berikut :
C = Co x FCw x FCsp xFCsf x FCcs (2 .1)
Dimana :
C : Kapasitas (smp/jam)
Co : Kapasitas Dasar (smp/jam)
FCw : Faktor penyesuaian lebar jalan
FCsp : Faktor penyesuaian pemisahan arah (hanya untuk
jalan tak terbagi)
FCsf : Faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu
jalan/kereb
9
FCcs : Faktor Penyesuaian ukuran kota
a. Kapasitas Dasar (Co)
Kapasitas dasar jalan lebih dari empat jalur (banyak jalur) dapat
ditentukan dengan menggunakan kapasitas per jalur yang ditampilkan
pada Tabel 2.3.
b. Faktor Penyesuaian Lebar Jalur Lalu Lintas (FCw)
Penentuan penyesuaian untuk lebar jalur lalu lintas faktor penyesuaian
lebar jalan (FCw), berdasarkan lebar jalur lalu lintas efektif (Wc).
Faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan lebih dari empat lajur dapat
ditentukan dengan menggunakan nilai per lajur yang diberikan untuk
jalan empat-lajur, yang dapat dilihat pada Tabel 2.4.
c. Faktor Penyesuaian Pemisahan Arah (FCsp)
Untuk mentukan faktor penyesuaian pemisahan arah (FCsp) untuk jalan
dua-jalur dua-arah (2/2) dan empat-jalur dua-arah (4/2) tak terbagi
dapat dilihat pada Tabel 2.5.
d. Faktor Penyesuaian Hambatan Samping (FCsf)
Didalam menentukan faktor penyesuaian untuk hambatan samping
(FCsf) dapat dibagi sebagai berikut :
1. Jalan dengan Bahu
Faktor penyesuaian kapasitas untuk hambatan samping
berdasarkan lebar bahu efektif (Ws) dan kelas hambatan samping
(SFC) pada jalan perkotaan dengan bahu. Faktor penyesuaian
kapasitas untuk pengaruh hambatan samping dengan bahu (FCsf)
pada jalan perkotaan dapat dilihat pada Tabel 2.6.
2. Jalan dengan kereb
Faktor Penyesuaian kapasitas untuk hambatan samping (FCsf)
berdasarkan jarak antara kereb dan penghalang pada trotoar (Wg)
dan kelas hambatan samping (SFC) dapat dilihat pada Tabel 2.7.
e. Faktor Penyesuaian Untuk Ukuran Kota (FCcs)
Faktor penyesuaian untuk ukuran kota didasarkan pada jumlah
penduduk (juta) yang dapat dilihat pada Tabel 2.9.
10
Tabel 2.3 Kapasitas dasar (Co)
Tipe Jalan Kapasitas Dasar (smp/jam) Catatan
Empat-lajur terbagi atau jalan
satu arah 1650
Per lajur
Empat-lajur tak-terbagi 1500 Per lajur
Dua-lajur tak-terbagi 2900 Total dua arah
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997 )
Tabel 2.4 Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas (FCw)
Tipe Jalan Lebar Jalur Lalu Lintas (Wc) (m) FCw
Empat-lajur terbagi Per lajur
atau jalan satu arah 3,00 0,92
3,25 0,96
3,50 1,00
3,75 1,04
4,00 1,08
Empat-lajur-tak-terbagi Per lajur
3,00 0,91
3,25 0,95
3,50 1,00
3,75 1,05
4,00 1,09
Dua-lajur tak-terbagi Total dua arah
5 0,56
6 0,87
7 1,00
8 1,14
9 1,25
10 1,29
11 1,34
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
Tabel 2.5 Faktor penyesuaian pemisahan arah (FCsp)
50-50 55-45 60-40 65-35 70-30
Dua-lajur (2/2) 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88
Empat-lajur (4/2) 1,00 0,985 0,97 0,955 0,94
FCsp
Pemisahan Arah SP %
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
11
Untuk jalan terbagi dan jalan satu arah, faktor penyesuaian
kapasitas untuk pemisahan arah tidak dapat ditetapkan dan nilai 1,0
yang sebaiknya digunakan.
Tabel 2.6 Faktor penyesuaian kapasitas untuk pengaruh hambatan
samping dan lebar bahu (FCsf) pada jalan perkotaan
≤ 0,5 1,0 1,5 ≥ 2,0
Empat-lajur VL 0,96 0,98 1,01 1,03
terbagi L 0,94 0,97 1,00 1,02
atau jalan M 0,92 0,95 0,98 1,00
satu-arah H 0,88 0,92 0,95 0,98
4/2 D VH 0,84 0,88 0,92 0,96
Empat-lajur VL 0,96 0,99 1,01 1,03
tak-terbagi L 0,94 0,97 1,00 1,02
4/2 UD M 0,92 0,95 0,98 1,00
H 0,87 0,91 0,94 0,98
VH 0,80 0,86 0,90 0,95
Dua-lajur VL 0,94 0,96 0,99 1,01
tak-terbagi L 0,92 0,94 0,97 1,00
2/2 UD M 0,89 0,92 0,95 0,98
H 0,82 0,86 0,90 0,95
VH 0,73 0,79 0,85 0,91
Tipe Jalan
Kelas
Hambatan
Samping
Faktor Penyesuaian Hamabatan Samping
dan Lebar Bahu Jalan FCsf
Lebar bahu efektif Ws
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
Tabel 2.7 Faktor penyesuaian kapasitas untuk pengaruh hambatan
samping dan jarak kereb-penghalang (FCsf) jalan
perkotaan
0,5 1,0 1,5 2,0
Empat-lajur VL 0,95 0,97 0,99 1,01
terbagi L 0,94 0,96 0,98 1,00
atau jalan M 0,91 0,93 0,95 0,98
satu-arah H 0,86 0,89 0,92 0,95
4/2 D VH 0,81 0,85 0,88 0,92
Empat-lajur VL 0,95 0,97 0,99 1,01
tak-terbagi L 0,93 0,95 0,97 1,00
4/2 UD M 0,90 0,92 0,95 0,97
H 0,84 0,87 0,90 0,93
VH 0,77 0,81 0,85 0,90
Dua-lajur VL 0,93 0,95 0,97 0,99
tak-terbagi L 0,90 0,92 0,95 0,97
2/2 UD M 0,86 0,88 0,91 0,94
H 0,78 0,81 0,84 0,88
VH 0,68 0,72 0,77 0,82
Tipe JalanKelas Hambatan
Samping (SFC)
Faktor Penyesuaian Hamabtan Samping
dan Jarak Kereb-Penghalang FCsf
Jarak Kereb-Penghalang Wg
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
12
Tabel 2.8 Penentuan kelas hambatan samping
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
Tabel 2.9 Faktor penyesuaian kapasitas untuk ukuran kota (FCcs)
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
3. Derajat Kejenuhan
Derajat Kejenuhan (DS) didefinisikan sebagai rasio arus terhadap
kapasitas, digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan tingkat kinerja
segmen jalan. Nilai DS menunjukkan apakah segmen jalan tersebut
mempunyai masalah kapasitas atau tidak.
C
QDS (2.2)
Dimana :
DS = Derajat Kejenuhan
Q = Volume lalu lintas (smp/jam)
C = Kapasitas (smp/jam)
Kondisi Khusus
Jumlah berbobot
kejadian per 200
meter per-jam
(dua sisi)
Kelas hambatan samping
Pemukiman hampir tidak ada kegiatan
Pemukiman, beberapa angkutan umum, dll
Daerah industri dengan toko-toko di pinggir jalan
Daerah niaga dengan aktifitas sisi jalan yang tinggi
Daerah niaga dengan aktifitas pasar sisi jalan yang
tinggi
< 100
100-299
300-499
500-899
>900
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
VL
L
M
H
VH
Ukuran kota (Jumlah Penduduk/Juta) Faktor Penyesuaian Untuk Ukuran Kota
< 0,1
0,1 – 0,5
0,5 – 1,0
1,0 – 3,0
>3,0
0,86
0,90
0,94
1,00
1,04
13
4. Kecepatan
Klasifikasi utama yang sering digunakan dalam analisis kecepatan
adalah :
1. Kecepatan Titik/Sesaat (Sort Speed) : Kecepatan yang diukur pada saat
kendaraan melintasi suatu titik di jalan.
2. Kecepatan Perjalanan (Journey Speed) : Kecepatan efektif kendaraan
yang sedang dalam perjalanan antara dua titik pengamatan dibagi
dengan lama waktu perjalanan kendaraan yang diamati.
3. Kecepatan bergerak (Running Speed) : Kecepatan suatu potongan jalan
tertentu dibagi waktu bergerak.
4. Kecepatan rata-rata waktu (Time Mean Speed) : Kecepatan rata-rata
dari semua kendaraan yang melintasi suatu titik di jalan selama periode
waktu tertentu.
5. Kecepatan Rata-rata Ruang (Space Mean Speed) : Kecepatan rata-rata
dari semua kendaraan yang menempati suatu potongan jalan selama
periode tertentu.
Manual menggunakan kecepatan tempuh sebagai ukuran utama kinerja
segmen jalan, karena mudah dimengerti dan diukur, dan merupakan
masukan yang penting untuk biaya pemakai jalan dalam analisa ekonomi.
Kecepatan tempuh didefinisikan dalam manual ini sebagai kecepatan rata-
rata ruang dari kendaraan ringan (LV) sepanjang segmen jalan :
Vs = L /
T (2.3)
Dimana :
Vs = Kecepatan rata-rata ruang LV (km/jam)
L = Panjang segmen (m)
T = Waktu tempuh rata-rata LV sepanjang segmen (jam)
a. Kecepatan Arus Bebas
Kecepatan arus bebas merupakan kecepatan pada tingkat arus nol,
yaitu kecepatan yang akan dipilih pengemudi jika mengendarai
kendaraan bermotor tanpa dipengaruhi oleh kendaraan bermotor
14
lain di jalan. Persamaan untuk kecepatan arus bebas mempunyai
bentuk umum sebagai berikut :
FV = (FVo + FVw) x FFVsf x FFVcs (2.4)
Dimana :
FV = Kecepatan arus bebas kendaraan ringan pada kondisi
lapangan (km/jam)
FVw = Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk lebar
jalur lalu-lintas diperoleh dari Tabel 2.10
FFVsf = Faktor penyesuaian hambatan samping dan lebar bahu
atau jarak kerb penghalang. Nilai faktor penyesuaian
kecepatan arus bebas untuk hambatan samping
diperoleh berdasarkan nilai lebar bahu efektif (Ws)
yang dimasukkan dalam Tabel 2.11 khusus untuk
jalan dengan bahu, sedangkan Tabel 2.12 untuk jalan
dengan kerb, dengan kelas hambatan samping yang
diperoleh dari Tabel 2.8.
FFVcs = Faktor penyesuaian kecepatan untuk ukuran kota.
Untuk menentukan faktor penyesuaian kecepatan
arus bebas untuk ukuran kota diperoleh dari Tabel
2.13.
FVo = Kecepatan arus bebas dasar diperoleh dari Tabel 2.14
Tabel 2.10 Penyesuaian kecepatan arus bebas untuk lebar jalur lalu-
lintas
Tipe Jalan Lebar Jalur Lalu-lintas Efektif (Wc) (m) FVw (km/jam)
Per lajur
Empat-lajur 3 -4
terbagi atau 3.25 -2
jalan satu arah 3.5 0
3.75 2
4 4
15
Tabel 2.10 (lanjutan)
Empat-lajur Per lajur
Tak terbagi 3 -4
3.25 -2
3.5 0
3.75 2
4 4
Dua-lajur Total
Tak-terbagi 5 -9.5
6 -3
7 0
8 3
9 4
10 6
11 7
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
Tabel 2.11 Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk hambatan
samping (FFVsf)
Tipe jalan Kelas hambatan
samping
Faktor Penyesuaian untuk hambatan samping dan
lebar bahu (FCsf)
Lebar bahu efektif (ws)
≤ 1 1.5 ≥
4/2 D VL 1.02 1.03 1.03 1.04
atau jalan L 0.98 1 1.02 1.03
satu-arah M 0.94 0.97 1 1.02
H 0.89 0.93 0.96 0.99
VH 0.84 0.88 0.92 0.96
4/2 UD VL 1.02 1.03 1.03 1.04
L 0.98 1 1.02 1.03
M 0.93 0.96 0.99 1.02
H 0.87 0.91 0.94 0.98
VH 0.8 0.86 0.9 0.95
2/2 UD VL 1 1.01 1.01 1.01
L 0.96 0.98 0.99 1
M 0.9 0.93 0.96 0.99
H 0.82 0.86 0.9 0.95
VH 0.73 0.79 0.85 0.91
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
16
Tabel 2.12 Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk hambatan
samping (FFVsf)
Tipe jalan Kelas hambatan
samping
Faktor Penyesuaian untuk hambatan samping dan
jarak kerb penghalang (FCsf)
Lebar bahu efektif (ws)
≤ 1 1.5 ≥
4/2 D VL 1.00 1.01 1.01 1.02
atau jalan L 0.97 0.98 0.99 1.00
satu-arah M 0.93 0.95 0.97 1.99
H 0.87 0.90 0.93 0.96
VH 0.81 0.85 0.88 0.92
4/2 UD VL 1.00 1.01 1.01 1.02
L 0.96 0.98 0.99 1.00
M 0.91 0.93 0.96 0.98
H 0.84 0.87 0.90 0.94
VH 0.77 0.81 0.90 0.90
2/2 UD VL 0.98 0.99 0.99 1.00
L 0.93 0.95 0.96 0.98
M 0.87 0.89 0.92 0.95
H 0.78 0.81 0.84 0.88
VH 0.63 0.79 0.77 0.82
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
Tabel 2.13 Faktor penyesuaian kapasitas untuk ukuran kota (FFVcs)
Ukuran kota
(Jumlah Penduduk/Juta) Faktor Penyesuaian Untuk Ukuran
Kota
< 0,1
0,1 – 0,5
0,5 – 1,0
1,0 – 3,0
>3,0
0,90
0,93
0,95
1,00
1,03
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
17
Tabel 2.14 Kecepatan arus bebas dasar (FVo)
Tipe jalan
Kecepatan arus bebas dasar (Fvo)
Kendaraan
ringan (LV)
Kendaraan
berat (HV)
Sepeda
motor
(MC)
Semua
kendaraan
Enam-lajur terbagi (6/2 D)
atau
Tiga-lajur satu arah (3/1)
61
52
48
57
Empat-lajur terbagi (4/2D)
atau
Dua-lajur satu-arah (2/1)
57 50 47 55
Empat-lajur
tak terbagi (4/2 UD)
53 46 43 51
Dua-lajur
Tak-terbagi (2/2 UD)
44 40 40
42
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
b. Hubungan Antara Kecepatan Dengan Arus
Prinsip dasar analisis kapasitas segmen jalan adalah kecepatan
akan berkurang jika arus bertambah. Pengurangan kecepatan akibat
penambahan arus adalah kecil pada arus yang lebih tinggi. Di dekat
kapasitas, pertambahan arus yang sedikit akan menghasilkan
pengurangan kecepatan besar, hal ini dapat dilihat pada Gambar
2.2 dan 2.3. Hubungan ini telah ditentukan secara kuantitatif untuk
kondisi standar untuk tiap tipe jalan. Setiap kondisi standar
mempunyai standar dan karakteristik lingkungan tertentu. Jika
karakteristik jalan lebih baik dari kondisi standar (misal lebar jalur
lebih lebar dari jalur normal), kapasitas menjadi lebih tinggi dan
kurve bergeser kesebelah kanan, dengan kecepatan lebih tinggi
pada arus tertentu. Jika karakteristik jalan lebih buruk dari kondisi
standar (misal hambatan samping tinggi) kurve bergeser kekiri,
kapasitas menjadi berkurang dan kecepatan pada arus tertentu lebih
rendah.
18
Gambar 2.2 Bentuk umum hubungan kecepatan dan arus
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
Gambar 2.3 Hubungan kecepatan dan arus pada kondisi standar dan non standar
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
5. Tingkat Pelayanan Jalan
Tingkat pelayanan (Level of Service) adalah ukuran kualitas perjalanan
yang dinyatakan dengan huruf A sampai dengan huruf F (TRB, 1985).
Departemen Pekerjaan Umum (1997) tidak menyatakan dengan tegas
tingkat pelayanan pada jalan dan persimpangan, kecuali persimpangan
yang dikendalikan dengan traffic light.
Klasifikasi tingkat pelayanan jalan menurut Highway Capacity
Manual/HCM (TRB,1985) adalah sebagai berikut :
Kecepatan arus bebas
Kec. (km/jam)
Kapasitas
Arus (smp/jam)
Kondisi lebih baik
Kondisi Standar
Kondisi lebih buruk
Kec. (km/jam)
Arus (smp/jam)
19
1. Tingkat Pelayanan A
Pada tingkat pelayanan A, kendaraan tidak mengalami hambatan
berarti dan pengendara cukup bebas memilih kecepatan yang
diinginkan.
2. Tingkat Pelayanan B
Dengan bertambahnya arus lalu lintas dan menimbulkan sedikit
hambatan bagi pengemudi kendaraan.
3. Tingkat Pelayanan C
Akibat bertambahnya arus lalu lintas hambatan terus bertambah dan
menimbulkan tundaan/kemacetan masih dalam batas-batas yang
diterima oleh pengemudi.
4. Tingkat Pelayanan D
Terus bertambahnya arus lalu lintas, hambatan semakin besar dan
tundaan semakin meningkat dan kejadian bergerak (go) dan berhenti
(stop) sudah dialami oleh pengemudi.
5. Tingkat Pelayanan E
Pada tingkat pelayanan E atau pada titik kapasitas, dimana demand
sama dengan kapasitas atau dengan kata lain V/C ratio = 1, terjadi
tundaan dan kajian bergerak (go) dan berhenti (stop) dialami oleh
pengemudi.
6. Tingkat Pelayanan F
Tingkat pelayanan F termasuk kategori oversaturated (kelewat jenuh),
hambatan yang sangat besar dan tundaan meningkat, serta kejadian
stop-go membesar. Jika arus bertambah maka kecepatan kendaraan
sama dengan nol (berhenti total).
Departemen Pekerjaan Umum (1997), tidak dengan tegas meyatakan
tingkat pelayanan jalan, secara implisit kinerja jalan diukur dari V/C ratio, akan
tetapi tidak dengan jelas mengklasifikasikan tingkat pelayanan setiap kategori V/C
rasio. Departemen Pekerjaan Umum (1997) hanya merekomendasikan V/C ratio
yang masih diterima adalah < 0,8. Adapun tingkat pelayanan jalan dan ratio nilai
20
V/C dapat dilihat pada Tabel 2.21, sedangkan gambar 2.5 dan 2.6 menampilkan
hubungan antara V/C ratio dengan kecepatan.
Tabel 2.15 Hubungan V/C Ratio dengan Tingkat Pelayanan
Tingkat
Pelayanan
Kondisi Lapangan Ratio V/C
A Arus bebas dengan kecepatan tinggi, pengemudi
dapat memilih kecepatan yang diinginkan tanpa
tundaan
0,00 - 0,19
B Arus stabil, kecepatan mulai dibatasi oleh kondisi
lalu lintas, pengemudi memiliki kebebasan yang
cukup untuk memilih kecepatan
0,20 - 0,44
C Arus stabil, tetapi kecepatan dan gerak kendaraan
dibatasi oleh kondisi lalu lintas, pengemudi dibatasi
dlm memilih kecepatan.
0,45 - 0,74
D Volume lalu lintas mendekati tidak stabil, kecepatan
masih dikendalikan oleh kondisi lalu lintas, rasio
V/C masih biasa ditoleransi.
0,75 - 0,84
E Volume lalu lintas mendekati kapasitas, arus tidak
stabil, kecepatan terkadang terhenti. 0,85 - 1,00
F Arus lalu lintas macet, kecepatan rendah, antrian
panjang serta hambatan/tundaan besar. -
Sumber: TRB (1985)
Dimana : V = Volume (smp/jam)
C = Kapasitas (smp/jam)
21
Gambar 2.4 Kecepatan sebagai fungsi dari DS untuk jalan 2/2 UD
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
Gambar 2.5 Kecepatan sebagai fungsi dari DS untuk jalan banyak lajur dan satu
arah Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
22
Gambar 2.6 Hubungan umum antara kecepatan, tingkat pelayanan dan rasio
volume terhadap kapasitas jalan Sumber: Tamin (2000)
2.3 Penententuan Sampel
1. Teknik Sampling
Sampel adalah sebagian dari populasi yang ingin diteliti dengan
menggunakan prosedur tertentu, yang ciri-ciri dan keberadaannya
diharapkan mampu mewakili atau menggambarkan ciri-ciri dan
keberadaan populasi yang sebenarnya (Sugiarto dkk, 2003).
Banyaknya anggota suatu sampel disebut ukuran sampel, sedangkan
suatu nilai yang menggambarkan ciri sampel disebut statistik (karena
statistik diperoleh dari sampel, maka dengan adanya perbedaan sampel
yang diambil, nilai statistik yang diperoleh dapat berubah juga
sehingga dengan demikian bervariasi atau berubah-ubah atau
merupakan ciri statistik). Pengambilan sampel (sampling) adalah suatu
proses yang dilakukan untuk memilih dan mengambil sampel secara
benar dari suatu populasi sehingga dapat digunakan sebagai wakil
yang sahih (dapat mewakili) bagi populasi tersebut.
Adapun jenis teknik sampling dapat diuraikan sebagai berikut :
23
A. Probability Sampling (Metode Acak)
Dalam probability sampling, pemilihan sampel tidak dilakukan secara
subyektif, dalam arti sampel yang dipilih tidak didasarkan semata-mata
pada keinginan peneliti sehingga setiap anggota populasi memiliki
kesempatan yang sama (acak) untuk terpilih sebagai sampel. Beberapa
jenis probability sampling (metode acak) adalah sebagai berikut :
a. Metode Pengambilan Sampel Acak Sederhana (Simple Random
Sampling)
Adalah metode yang digunakan untuk memilih sampel dari
populasi dengan cara sedemikian rupa sehingga setiap anggota
populasi mempunyai peluang yang sama besar untuk diambil
sebagai sampel. Ini berarti semua anggota populasi menjadi
anggota dari kerangka sampel.
b. Metode Pengambilan Sampel Acak Sistematis (Systematic Random
Sampling)
Adalah metode untuk mengambil sampel secara sistematis dengan
interval (jarak) tertentu dari suatu kerangka sampel yang telah
diurutkan. Dengan demikian tersedianya suatu populasi sasaran
yang tersusun (ordered population target) merupakan prasyarat
penting bagi dimungkinkannya pelaksanan pengambilan sampel
dengan metode acak sistematis.
c. Metode Pengambilan Sampel Acak Terstratifikasi (Stratified
Random Sampling)
Adalah metode pemilihan sampel dengan cara membagi populasi
ke dalam kelompok-kelompok yang homogen yang disebut strata
dan kemudian sampel diambil secara acak dari setiap strata
tersebut.
d. Metode Pengambilan Sampel Bloking (Cluster Sampling)
Adalah metode yang digunakan untuk memilih sampel yang
berupa kelompok dari beberapa kelompok (groups atau cluster)
dimana setiap kelompok terdiri atas beberapa unit yang lebih kecil
(elements). Jumlah elements dari masing-masing kelompok (size of
24
the clusters) bisa sama maupun berbeda. Kelompok-kelompok
(groups) tersebut dapat dipilih baik dengan menggunakan metode
acak sederhana maupun acak sistematis dengan pangacakan pada
kelompok pertamanya saja.
B. Non Probability Sampling (Metode Tak Acak)
Non Probability Sampling (penarikan sampel secara tak acak)
dikembangkan untuk menjawab kesulitan yang ditimbulkan dalam
menerapkan metode acak, terutama dalam kaitannya dengan
pengurangan biaya permasalahan yang mungkin timbul dalam
pembuatan kerangka sampel. Hal ini dapat dimungkinkan karena
kerangka sampel tidak diperlukan dalam pengambilan sampel secara
non probability. Akan tetapi, ketepatan dari informasi yang dapat
diperoleh juga akan terpengaruh. Hasil dari non probabilty sampling
ini seringkali mengandung bias dan ketidaktentuan yang bisa berakibat
lebih buruk. Permasalahan yang muncul ini dapat dihilangkan dengan
hanya menambah ukuran sampelnya. Alasan inilah yang
mengakibatkan keengganan para statistikawan untuk menggunakan
metode ini. Beberapa prosedur non probability sampling yang sering
digunakan adalah sebagai berikut :
a. Sampling Kemudahan (Convenience Sampling)
Pada pengambilan sampel dengan cara ini, sampel diambil
berdasarkan pada ketersediaan elemen dan kemudahan untuk
mendapatkannya. Dengan kata lain sampel diambil atau terpilih
karena sampel tersebut ada pada tempat dan waktu yang tepat.
Penarikan sampel dengan cara ini nyaris tidak dapat diandalkan,
tetapi biasanya paling murah dan cepat dilakukan karena peneliti
memiliki kebebasan untuk memilih siapa saja yang mereka temui.
b. Sampling Pertimbangan (Judgment Sampling)
Pada sampling pertimbangan, sampel yang diambil berdasarkan
pada kriteria-kriteria yang telah dirumuskan terlebih dahulu oleh
peneliti. Dalam perumusan kriterianya, subyektifitas dan
pengalaman dari peneliti sangat berperan. Sampling pertimbangan
25
pada umumnya lebih cocok dipakai pada tahap awal suatu studi
eksploratif. Dalam hal ini, sampel yang diambil dari anggota
polpulasi dipilih sekehendak hati oleh peneliti menurut
pertimbangan dan intuisinya. Apabila dalam hal ini subyektifitas
dan intuisi dari peneliti tersebut benar, maka sampel yang dipilih
oleh peneliti tersebut akan dapat mencerminkan karakteristik
populasi.
c. Quota Sampling
Pada dasarnya, quota sampling ini sama dengan judgment
sampling. Quota sampling ini dapat dikatakan sebagai judgment
sampling dua tahap. Tahap pertama adalah tahap dimana peneliti
merumuskan kategori kontrol atau quota dari populasi yang akan
diteliti seperti jenis kelamin, usia, ras yang terdefinisikan dengan
baik sebagai basis dari keputusan pemilihan sampel. Tahap kedua
dalah penentuan bagaimana sampel akan diambil, dapat secara
convenience atau judgment tergantung pada situasi dan kondisi
pada saat akan dilakukan penelitian dan apa yang akan diteliti
serta kemampuan dari peneliti sendiri. Perbedaan antara judgment
sampling dan quota sampling terletak pada adanya suatu batasan
pada quota sampling bahwa sampel yang diambil harus sejumlah
tertentu yang dijatah (quotum) dari setiap subgroup yang telah
ditentukan dari suatu populasi.
d. Snowball Sampling
Snowball Sampling ini sangat tepat digunakan apabila populasinya
sangat spesifik. Cara pengambilan sampel dengan teknik ini
dilakukan secara berantai, mulai dari ukuran sampel yang kecil.
Semakin lama menjadi semakin besar seperti halnya bola salju
yang menggelinding menuruni lereng gunung.
2. Penentuan Jumlah Sampel
Sampel yang diambil agar dapat mewakili kondisi seluruh populasi
pada dasarnya dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu :
26
a. Tingkat variabilitas dari parameter yang ditinjau dari seluruh
populasi yang ada.
b. Tingkat ketelitian yang dibutuhkan untuk mengukur parameter
yang dimaksud.
c. Besarnya populasi dari parameter yang akan disurvei.
Langkah-langkah untuk menentukan jumlah sampel yang representatif,
yaitu :
a. Melakukan survei pendahuluan untuk memeriksa apakah metode
sudah sesuai untuk data yang dibutuhkan serta formulir apakah
sudah lengkap.
b. Berdasarkan besaran parameter tersebut dapat dihitung.
a. Rata-rata (mean) sampel n
Xi
X
n
i
1 (2.5)
Dimana :
X = nilai rata-rata
Xi = nilai data sampel
n = jumlah sampel
b. Standar deviasi Sd =
1
1
2
n
XXin
i ; (n ≤30) (2.6)
Standar deviasi Sd =
n
XXin
i
1
2
; (n >30) (2.7)
Dalam pengambilan sampel tingkat ketelitian yang diinginkan sebesar
95% yang berarti bahwa besarnya tingkat kesalahan yang ditoleransi tidak
lebih dari 5%, dengan kondisi seperti ini maka besarnya standard error
yang dapat diterima yang ditunjukkan dalam tabel distribusi normal adalah
1,96 dari acceptable sampling error. Pada tingkat ketelitian 95% maka
besarnya acceptable sampling error (Se) adalah 5% dari sample mean,
sehingga :
27
Se=0,05 x mean parameter (2.8)
Dengan demikian demikian besarnya acceptable sampling error adalah
Se (X)=96,1
Se (2.9)
Berdasarkan hasil perhitungan-perhitungan diatas, maka besarnya jumlah
sampel yang representatif (n’) dihitung dengan rumus :
n’ =2
2
se
sd (2.10)
Dimana :
n’ = jumlah sampel yang representatif
Sd2 = standar deviasi kuadrat
(Se(X))2 = acceptable sampling error dikuadratkan
Untuk populasi yang jumlahnya hingga
n = n’ (2.11)
1+n N
Dimana :
n = jumlah sampel minimal
N = jumlah populasi