BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian...
-
Upload
duongkhanh -
Category
Documents
-
view
225 -
download
0
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian...
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terkait
Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya antara lain:
1. Adrianto (2009), meneliti studi analisa perbandingan penambahan material
limbah (fly ash) dan bahan kimia (wetfix-be) pada campuran beraspal untuk
meningkatkan stabilitas. Penelitian ini membandingkan campuran beraspal
menggunakan fly ash batu bara dan campuran beraspal menggunakan wetfix-
be, terkait dengan stabilitas yang dihasilkan tentunya menggunakan kadar
aspal dan kadar material tambahan yang berbeda-beda.
2. Wardoyo (2003), meneliti pengaruh bahan tambah gilsonite pada Aspahlt
Concrete Wearing Course (AC-WC) terhadap nilai properties marshall dan
modulus kekauan, yang menyatakan penambahan bahan gilsonite
menghasilkan penurunan nilai penetrasi, peningkatan stabilitas campuran AC-
WC, dan pada temperatur 200oC memenuhi batas untuk kondisi perilaku
elastik (dalam Sih Rianung, 2007).
3. Himawan & Adi (2005), meneliti pengaruh lateks roadcell terhadap kinerja
lapis aspal beton (laston). Penelitian ini membahas campuran laston dengan
penambahan 4% lateks terhadap berat aspal dan 0,3% roadcell-50 terhadap
berat campuran. Lateks didapat dari penyadapan karet alam yang mengandung
30% karet kering, yang diistilahkan Kandungan Karet Kering (KKK).
Roadcell-50 adalah bahan tambah produksi dalam negeri yang dibuat dari
bubur kayu (pulp) dan mengandung 90% serat selalosa. Untuk tujuan
perbandingan, maka pada penelitian dibuat empat jenis laston. Campuran
pertama adalah laston dengan tanpa penambahan bahan aditif (0% Lateks dan
0% Roadcell-50). Campuran kedua adalah laston dengan penambahan lateks
dan tanpa penambahan Roadcell (lateks 4% dan 0% roadcell- 50), campuran
ketiga adalah laston dengan penambahan roadcell dan tampa penabahan
lateks (lateks 0% dan 0,3% roadcell-50), dan jenis campuran ke empat adalah
2
4. laston dengan penambahan lateks dan roadcell sekaligus (4% lateks dan 0,3%
roadcell-50). Dalam penelitian menunjukan bahwa penambahan lateks dan
roadcell ke dalam aspal mempengaruhi karateristik fisik aspal itu sendiri.
Penambahan roadcell berpengaruh terhadap pengurangan nilai penetrasi aspal,
sedangkan penambahan lateks berpengaruh pada peningkatan penetrasi pada
suhu rendah dan penurunan penetrasi pada suhu tinggi.
2.2 Beton Aspal Campuran Panas
Beton aspal adalah jenis perkerasan jalan yang terdiri dari campuran agregat
dan aspal, dengan atau tanpa bahan penambah. Material-material pembentuk
beton aspal dicampur di instalasi pencampuran pada suhu tertentu, kemudian
diangkut ke lokasi, dihamparkan dan dipadatkan. Suhu pencampuran ditentukan
berdasarkan jenis aspal yang akan digunakan. Jika digunakan semen aspal, maka
suhu pencampuran umumnya antara 145o-155
oC, sehingga disebut campuran
aspal campuran panas (Sukirman, 2003).
Campuran beraspal panas terdiri atas beberapa bahan dan setiap bahan yang
diproduksi dan dihampar ditempat kerja memiliki variabilitas berbeda tergantung
pada banyak faktor. Pada umumnya hasil proses pencampuran dan pelaksanaan
dilapangan terjadi perbedaan kala dibandingkan dengan rencana. Perbedaan atau
keragaman ini berpengaruh sekali terhadap kinerja jalan. Namun demikian,
perbedaan atau keragaman dari hasil konstruksi tersebut masih dapat diterima
asalkan sesuai dengan toleransi yang ditetapkan pada spesifikasi.
Pada rentang suhu 85 - 150oC, aspal cukup encer dan dapat berperilaku
seolah pelumas di antara kerikil atau agregat dalam campuran hot mix. Jadi,
adonan atau campuran aspal panas dan kerikil atau agregat dibuat pada rentang
suhu ini. Campuran ini segera dituangkan ke permukaan jalan yang hendak
dilapisi untuk selanjutnya dipadatkan. Pemadatan harus diselesaikan sebelum
aspal mendingin di bawah 85oC.
Pemadatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kontak antar agregat dan
aspal, mengoptimumkan lubang-lubang udara dalam badan jalan, dan
memuluskan permukaan jalan.
3
Peningkatan kontak antara agregat dan aspal akan meningkatkan kestabilan
dan kekuatan badan jalan. Lubang udara dalam badan jalan harus optimum:
karena kalau terlalu banyak lubang udara akan menyediakan tempat merembesnya
air dan mengurangi kekuatan ikatan, sementara kalau tidak ada lubang udara sama
sekali jalan akan mudah pecah akibat sukarnya badan jalan memuai.
2.3 Karakteristik Beton Aspal
Campuran beton aspal harus memiliki beberapa karakteristik adalah
stabilitas, keawetan atau durabilitas, kelenturan atau fleksibilitas, ketahanan
terhadap kelelehan, kekesatan permukaan atau tahanan geser, kedap air, dan
kemudahan pelaksanaan (Sukirman, 2003).
2.3.1 Stabilitas
Stabilitas adalah kemampuan perkerasan jalan menerima beban lalu lintas
tanpa terjadi perubahan bentuk tetap seperti gelombang, alur, dan bleeding.
Kebutuhan akan stabilitas sebanding dengan fungsi jalan, dan beban lalu lintas
yang akan dilayani. Jalan yang melayani volume lalu lintas tinggi dan dominan
terdiri dari kenderaan berat, membutuhkan perkerasan jalan dengan stabilitas
tinggi. Sebaiknya perkerasan jalan, yang diperuntukkan untuk melayani lalu
luntas kenderaan ringan tentu tidak perlu mempunyai nilai stabilitas yang tinggi.
2.3.2 Keawetan atau Durabilitas
Keawetan atau durabilitas adalah kemampuan beton aspal menerima repetisi
beban lalu lintas seperti kenderaan dan gesekan antara roda kenderaan dan
permukaan jalan, serta menahan keausan akibat pengaruh cuaca dan iklim, seperti
udara, air, atau perubahan temperatur. Durabilitas beton aspal dipengaruhi oleh
tebalnya film atau selimut aspal, banyaknya pori dalam campuran, kepadatan dan
kedap airnya campuran. Selimut aspal yang tebal akan membungkus agregat
secara baik, beton aspal akan lebih kedap air, sehingga kemampuannya menahan
keausan semakin baik. Tetapi semakin tebal selimut aspal, maka semakin mudah
menjadi bleeding yang mengakibatkan jalan semakin licin. Besarnya pori yang
tersisa dalam campuran setelah pemadatan, mengakibatkan durabilitas beton
4
aspal menurun. Semakin besar pori yang tersisa semakin tidak kedap air dan
semakin banyak udara di dalam beton aspal, yang menyebabkan semakin
mudahnya selimut aspal beroksidasi dengan udara dan menjadi getas, dan
durabilitasnya menurun.
2.3.3 Kelenturan atau Fleksibilitas
Kelenturan atau fleksibilitas adalah kemampuan beton aspal untuk
menyesuaikan diri akibat penurunan (konsolidasi/settlement) dan pergerakan dari
pondasi atau tanah dasar, tanpa terjadi retak. Penurunan terjadi akibat dari repitisi
beban lalu lintas, ataupun penurunan akibat berat sendiri tanah timbunan yang
dibuat di atas tanah asli.
2.3.4 Keawetan Terhadap Kelelehan
Keawetan terhadap kelelehan adalah kemampuan beton aspal menerima
lendutan berulang akibat repetisi beban, tanpa terjadinya kelelahan berupa alur
dan retak. Hal ini tercapai jika mempergunakan kadar aspal yang tinggi.
2.3.5 Kekesatan/Tahanan Geser (Skid Resistance)
Kekesatan/tahanan geser (skid resistance) adalah kemampuan permukaan
beton aspal terutama pada kondisi basah, memberikan gaya gesek pada roda
kendaraan sehingga kendaraan tidak tergelincir, ataupun slip. Faktor-faktor untuk
mendapatkan kekesatan jalan sama dengan untuk mendapatkan stabilitas yang
tinggi, yaitu kekasaran permukaan dari butir-butir agregat, luas bidang kontak
antar butir atau bentuk butir, gradasi agregat, kepadatan campuran, dan tebal film
aspal. Ukuran maksimum butir agregat ikut menentukan kekesatan permukaan.
Dalam hal ini agregat yang digunakan tidak saja harus mempunyai permukaan
yang kasar, tetapi juga mempunyai daya tahan untuk permukaannya tidak mudah
menjadi licin akibat repetisi kendaraan.
2.3.6 Kedap Air (Impermeabilitas)
Kedap air (impermeabilitas) adalah kemampuan beton aspal untuk tidak
dapat dimasuki air ataupun udara ke dalam lapisan beton aspal. Air atau udara
5
dapat mengakibatkan percepatan proses penuaan aspal, dan pengelupasan film/
selimut aspal dari permukaan agregat. Jumlah pori yang tersisa setelah beton aspal
didapatkan dapat menjadi indicator kekedapan air campuran. Tingkat
impermebilitas beton aspal berbanding terbalik dengan tingkat durabilitasnya.
2.3.7 Mudah dilaksanakan (Workability)
Mudah dilaksanakan (workability) adalah kemampuan campuran beton aspal
untuk mudah dihamparkan dan didapatkan. Tingkat kemudahan dalam
pelaksanaan, menentukan tingkat efisiensi pekerjaan. Faktor yang mempengaruhi
tingkat kemudahan dalam proses penghamparan dan pemadatan adalah viskositas
aspal, kepekaan aspal terhadap perubahan temperatur, dan gradasi serta kondisi
agregat. Revisi atau koreksi terhadap rancangan campuran dapat dilakukan jika
ditemukan kesukaran dalam pelaksanaan.
Ketujuh sifat campuran beton aspal ini tak mungkin dapat dipengaruhi
sekaligus oleh satu jenis campuran. Sifat-sifat beton aspal mana yang dominan
lebih diinginkan, akan menentukan jenis beton aspal yang dipilih. Hal ini sangat
perlu diperhatikan ketika merancang tebal perkerasan jalan. Jalan yang melayani
lalu lintas ringan, seperti mobil penumpang, sepantasnya lebih memilih jenis
beton aspal yang mempunyai sifat durabilitas dan fleksibilitas yang tinggi, dari
pada memilih jenis beton aspal dengan stabilitas tinggi.
2.4 Lapis Aspal Beton (Asphalt Concrete, AC)
Laston adalah suatu lapisan pada konstruksi jalan yang terdiri dari campuran
aspal keras dan agregat yang mempunyai gradasi menerus, dicampur pada suhu
tertentu. Material-material pembentuk beton aspal yang telah dicampur ditempat
instalasi pencampur, kemudian diangkut ke lokasi, dihamparkan dan dipadatkan.
Suhu pencampuran ditentukan berdasarkan jenis aspal yang akan digunakan. Jika
semen aspal, maka pencampuran umumnya antara 145-150°C, sehingga disebut
beton aspal campuran panas. Campuran ini dikenal dengan hotmix (Sukirman,
2003).
Material utama penyusun suatu campuran aspal sebenarnya hanya dua
macam, yaitu agregat dan aspal. Namun dalam pemakaiannya aspal dan agregat
6
bisa menjadi bermacam-macam, tergantung kepada metode dan kepentingan yang
dituju pada penyusunan suatu perkerasan.
Salah satu produk campuran aspal yang kini banyak digunakan adalah AC-
WC/Lapis Aus Aspal Beton. AC-WC adalah salah satu dari tiga macam campuran
lapis aspal beton yaitu AC-WC, AC-BC dan AC-Base. Ketiga jenis Laston
tersebut merupakan konsep spesifikasi campuran beraspal yang telah
disempurnakan oleh Bina Marga bersama-sama dengan Pusat Litbang Jalan.
Dalam perencanaan spesifikasi baru tersebut menggunakan pendekatan kepadatan
mutlak.
Penggunaan AC-WC yaitu untuk lapis permukaan (paling atas) dalam
perkerasan dan mempunyai tekstur yang paling halus dibandingkan dengan jenis
laston lainnya. Pada campuran laston yang bergradasi menerus tersebut
mempunyai sedikit rongga dalam struktur agregatnya dibandingkan dengan
campuran bergradasi senjang. Hal tersebut menyebabkan campuran AC-WC lebih
peka terhadap variasi dalam proporsi campuran.
Gradasi agregat gabungan untuk campuran AC-WC yang mempunyai gradasi
menerus tersebut ditunjukkan dalam persen berat agregat, harus memenuhi batas-
batas dan harus berada di luar daerah larangan (restriction zone) yang terdapat dalam
Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Ketentuan Sifat-sifat Campuran Laston (AC) (Dirjen Bina Marga
2010)
Sifat-sifat Campuran
Laston
Lapis Aus Lapis Antara Pondasi
Halus Kasar Halus Kasar Halus Kasar
Kadar aspal efektif (%) 5,1 4.3 4,3 4,0 4,0 3,5
Penyerapan aspal (%) Maks. 1,2
Jumlah tumbukan per bidang 75 112 (1)
Rongga dalam campuran (%) (2)
Min. 3,5
Maks. 5,0
Rongga dalam Agregat (VMA) (%) Min. 15 14 13
Rongga Terisi Aspal (%) Min. 65 63 60
Stabilitas Marshall (kg) Min. 800 1800 (1)
Maks. - -
Pelelehan (mm) Min. 3 4,5 (1)
Marshall Quotient (kg/mm) Min. 250 300
7
Sifat-sifat Campuran
Laston
Lapis Aus Lapis Antara Pondasi
Halus Kasar Halus Kasar Halus Kasar
Rongga dalam campuran (%) pada
Kepadatan membal (refusal)(4)
Min. 2,5
2.5 Material
2.5.1 Aspal
Aspal merupakan bahan pengikat agregat yang memiliki warna coklat gelap
bahkan sampai hitam dan padat, agak padat atau cair yang terdiri dari unsure
utama bitumen yang berasal dari hasil reduksi penyulingan minyak (crude oil).
Dalam perkerasan jalan aspal memiliki fungsi untuk mengikat butiran agregat,
melindungi masuknya air kedalam pori-pori agregat, dan memberikan semacam
pelindung pada batuan.
Pada temperatur ruang aspal bersifat thermoplastis, sehingga aspal akan
mencair jika dipanaskan sampai pada temperatur tertentu dan kembali membeku
jika temperatur turun. Bersama agregat, aspal merupakan material pembentuk
campuran perkerasan jalan.
Berdasarkan tempat diperolehnya, aspal dibedakan atas aspal alam dan aspal
minyak. Aspal alam yaitu aspal yang didapat di suatu tempat di alam, dan dapat
digunakan sebagaimana diperolehnya atau dengan sedikit pengolahan. Aspal
minyak adalah aspal yang merupakan residu pengilangan minyak bumi.
Jenis aspal yang umum digunakan pada campuran aspal panas adalah aspal
minyak. Aspal minyak dapat dibedakan atas aspal keras (aspal semen), aspal
dingin/cair dan aspal emulsi.
Aspal keras/aspal semen, AC dikategorikan berdasarkan nilai penetrasinya
seperti AC pen 40/50, yaitu AC dengan penetrasi 40 – 50, AC pen 60/70, yaitu
penetrasi 60 – 70, AC pen 85/100, yaitu AC penetrasi 85 – 100.
Sifat-sifat fisik aspal sebagai bahan pengikat sering dikarakterisasi sesuai
dengan sifat-sifat fisiknya. Sifat-sifat fisik aspal secara langsung menggambarkan
bagaimana aspal tersebut berkontribusi terhadap kualitas perkerasan aspal
campuran panas. Pengujian fisik aspal yang paling awal adalah pengujian yang
diturunkan secara empiris seperti pengujian penetrasi, pengujian viskositas aspal
8
yang merupakan cara untuk menggambarkan sifat-sifat fisik aspal sebagai bahan
pengikat. Hubungan sifat-sifat fisik aspal hasil pengujian dan di lapangan
terkadang tidak memuaskan.
Bentuk lain dari sifat-sifat fisik aspal adalah keawetan aspal dalam
hubungannya dengan usia atau masa layan perkerasan. Aspal secara umum,
seiring dengan bertambahnya waktu aspal akan mengalami peningkatan viskositas
yang membuat aspal cenderung keras dan rapuh.
Aspal yang cenderung keras dan rapuh dapat disebabkan oleh beberapa
faktor seperti:
1. Proses oksidasi yaitu adanya reaksi antara aspal dengan oksigen di
udara.
2. Penguapan, yaitu penguapan bahan-bahan pembentuk aspal yang terjadi
selama proses produksi campuran aspal panas.
Penentuan kadar aspal rencana (Pb) dapat tentukan dengan menggunakan
Persamaan 2.1.
Pb = 0,035(%CA) + 0,045(%FA) + 0,18(%Ff) + konstanta ............................ .(2.1)
dengan:
Pb : kadar aspal rencana awal( % ),
Ca : agregat kasar( % ),
Fa : agregat halus( % ),
Ff : bahan pengisi( % ).
Nilai konstanta sekitar 0,5-1,0 untuk AC dan HRS.
Ketentuan-ketentuan untuk aspal panas dapat dilihat pada Tabel 2.2
Tabel 2.2. Ketentuan-ketentuan untuk Aspal Keras (Dirjen Bina Marga 2010)
No Jenis Pengujian Metoda Pengujian
Tipe I
Aspal
Pen.
60-70
Tipe II Aspal yang Dimodifikasi
A (1)
B C
Asbuton yg
diproses
Elastomer
Alam
(Latex)
Elastom
er
Sintetis
a. Penetrasi pada 25C (dmm) SNI 06-2456-1991 60-70 40-55 50-70 Min.40
b. Viskositas 135C (cSt) SNI 06-6441-2000 385 385 – 2000 < 2000(5)
< 3000(5)
9
No Jenis Pengujian Metoda Pengujian
Tipe I
Aspal
Pen.
60-70
Tipe II Aspal yang Dimodifikasi
A (1)
B C
Asbuton yg
diproses
Elastomer
Alam
(Latex)
Elastom
er
Sintetis
c. Titik Lembek (C)
SNI 06-2434-1991 >48 - - >54
d. Indeks Penetrasi 4)
- > -1,0 ≥ - 0,5 > 0.0 > 0,4
e. Duktilitas pada 25C, (cm) SNI-06-2432-1991 >100 > 100 > 100 > 100
f. Titik Nyala (C) SNI-06-2433-1991 >232 >232 >232 >232
g. Kelarutan dlm Toluene (%) ASTM D5546 >99 > 90(1)
>99 >99
h. Berat Jenis SNI-06-2441-1991 >1,0 >1,0 >1,0 >1,0
i. Stabilitas Penyimpanan
(C) ASTM D 5976 part 6.1 - <2,2 <2,2 <2,2
Pengujian Residu hasil TFOT atau RTFOT :
- j. Berat yang Hilang (%) SNI 06-2441-1991 < 0.8
2) < 0.8
2) < 0.8
3) < 0.8
3)
k. Penetrasi pada 25C (%) SNI 06-2456-1991 > 54 > 54 > 54 ≥54
l. Indeks Penetrasi 4)
- > -1,0 > 0,0 > 0,0 > 0,4
m. Keelastisan setelah
Pengembalian (%)
AASHTO T 301-98 - - > 45 > 60
n. Duktilitas pada 25C (cm) SNI 062432-1991 > 100 > 50 > 50 -
o. Partikel yang lebih halus
dari 150 micron (m) (%)
Min. 95(1)
Min. 95(1)
Min.
95(1)
2.5.2 Agregat
Agregat merupakan batuan yang menjadi komponen utama dari lapisan
perkerasan jalan. Kekuatan suatu truktur perkerasan jalan ditentukan oleh sifat
dan bentuk dari agregat yang menyusunnya.
Agregat yang bias digunakan pada perkerasan jalan ada yang diperoleh
langsung dari alam dan ada juga yang diperoleh dari hasil pengolahan dengan
menggunakan mesin (Ghoffar H. A., 2010).
Pembagian agregat berdasarkan ukuran butiran:
1. Agregat Kasar, adalah agregat dengan ukuran butiran lebih besar dari saringan
No. 8 (2,36 mm).
2. Agregat Halus, adalah agregat dengan ukuran butiran lebih halus darisaringan
No.8 (2,36 mm).
3. Bahan Pengisi (filler), adalah bagian dari agregat halus yang minimum 75%
lolos saringan no. 200 (0,075 mm).
10
1. Ketentuan agregat kasar
Fraksi agregat kasar disiapkan dalam ukuran nominal sesuai dengan jenis
campuran yang direncanakan seperti ditunjukan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Persyaratan agregat kasar (Dirjen Bina Marga 2010)
Pengujian Standar Nilai
Kekekalan bentuk agregat terhadap larutan
natrium dan magnesium SNI 03-3407-1994 Maks 12 %
Abrasi
dengan
mesin Los
Angeles
Campuran AC bergradasi
kasar
SNI 2417:2008
Maks 30 %
semua jenis campuran aspal
bergradasi lain Maks 40 %
Kelekatan agregat terhadap aspal SNI 03-2439-1991 Min 95 %
Angularitas SNI 03-6877-2002 95/90
Partikel pipih ASTM D-4791 Maks 25 %
Partikel lonjong ASTM D-4791 Maks 10 %
Material lolos saringan no. 200 SNI 03-4142-1996 Maks 1 %
Catatan :
95/90 menunjukan bahwa 95 % agregat kasar mempunyai muka bidang pecah
satu atau lebih dan 90 % agrregat kasar mempunyai muka bidang pecah dua atau
lebih
2. Ketentuan agregat halus
Agregat halus harus memenuhi ketentuan sebagaimana ditunjukkan pada
Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Persyaratan agregat Halus (Dirjen Bina Marga 2010)
Pengujian Standar Nilai
Nilai Setara Pasir SNI 03-4428-1997
Min 50% untuk SS, HRS dan AC
bergradasi Halus Min 70% untuk
AC bergradasi kasar
Material Lolos Ayakan
No. 200 SNI 03-4428-1997 Maks. 8%
Kadar lempung SNI 3423 : 2008 Maks. 1%
Angularitas (kedalaman
dari permukaan < 10 cm) AASHTO TP-33 atau ASTM
C1252-93
Min. 45
Angularitas (kedalaman
dari permukaan >10 cm) Min. 40
11
3. Ketentuan Bahan Pengisi (Filler)
Bahan pengisi harus bebas dari semua bahan yang tidak dikehendaki. Bahan
pengisi yang ditambahakan harus kering dan bebas dari gumpalan-gumpalan
serta mempunyai ketentuan seperti ditunjukkan dalam Tabel 2.5.
Tabel 2.5. Persyaratan Bahan Pengisi (Filler) (Dirjen Bina Marga 2010)
Pengujian Standar Nilai
Lolos saringan N0.200
SNI 03 M-02-1994-03
Min 75%
Bebas dari bahan organik Maks 4%
2.6 Bahan Tambah Aditif (Wetfix-BE)
Campuran beraspal dapat dimodifikasi dengan menambahkan beberapa
macam zat tambahan, mulai dari aditif bahan kimia, bahan alam, dan sisa limbah.
Bahan aditif yang mengandung unsure amino dapat memperbesar daya lekat
aspal terhadap batuan sebab berfungsi menarik air dari permukaan batuan. Ikatan
amino terdiri dari ikatan rantai karbon. Kelompok amino bereaksi dengan
permukaan batuan, air dan bagian aspal yang bersifat hydrophobic. Hydrophobic
adalah sifat dari benda yang menolak air misalnya oli, bubuk blak karbon. Reaksi
amino terhadap aspal menyebabkan rantai hydrocarbon yang panjang berfungsi
sebagai jembatan antara permukaan.
Salah satu bahan aditif yaitu Wetfix-BE yang berfungsi untuk merubah sifat
aspal dan agregat, meningkatkan daya lekat dan ikatan, serta mengurangi efek
negative dari air dan kelembaban. Dengan demikian dapat menghasilkan
permukaan berdaya lekat tinggi.
Bahan aditif aspal Wetfix-BE yang digunakan untuk kelengketan dan anti
pengelupasan (stripping) harus ditambahkan kedalam bahan aspal dengan
memperhatikan presentasi dan waktu pencampuran sampai homogeny. Untuk
campuran beraspal panas (hot-mix) diperlukan dosis campuran bahan aditif Witfix-
BE + 0,3 % terhadap kadar aspal sebab Wetfix-BE merupakan bahan kimia yang
sangat sensitive sehingga dalam penggunaannya campuran beraspal sangat
sedikit, tapi dapat menghasilkan stabilitas yang cukup baik.
12
Berdasarkan hasil pengukuran spectra infra merah Wetfix-BE di
Laboratorium Departemen Kimia – Institut Teknologi Bandung, dan gugus fungsi
yang terdapat dalam bahan aditif tersebut adalah N, CHsp2 dan C-H alipatik.
Proses pengukuran dilakukan tanpa dan dengan pemanasan pada 100oC selama 10
menit, tidak terjadi perubahan spectra infra merah secara signifikan, yang
menyatakan aditif aspal Wetfix-BE cukup stabil, adapun manfaat Wetfix-BE adalah
1. Meningkatkan pelapisan aspal dengan agregat waktu dalam keadaan basah.
2. Sebagai modifier aspal untuk meningkatkan ikatan atau bonding agregat dan
aspal.
3. Pemeliharaan rutin menjadi berkurang
4. Anti penuaan, serta memperpanjang umur jalan 3-4 tahun.
5. Jalan selalu terpelihara dan nyaman.
Spesifikasi Wetfix-BE dapat dilihat dalam Tabel 2.6.
Tabel 2.6. Spesifikasi Wetfix-BE (Akzo Nobel, Asphal Applications)
Parameter Batas Metode
Asam nilai <10 mg KOH / g VE/2.013
Jumlah amina nomor 160-185 mg HCl / g VE/2.018
Kimia dan Data Fisik Khas Nilai
Penampilan coklat, cairan kental pada 20 ° C
pH 11 (5% dalam air)
Kepadatan 980 kg / m³ pada 20 ° C
Titik nyala > 218 ° C
Titik lebur <-20 ° C
Kelekatan 800 mPa.s pada 20 ° C
Kelarutan Khas Nilai
Etanol larut
Air emulsifialbe
Kemasan dan Penyimpanan
Penyimpanan dan Penanganan Produk ini stabil selama minimal dua tahun
dalam wadah aslinya tertutup pada suhu kamar
13
Gradasi agregat gabungan disiapkan dalam ukuran nominal sesuai dengan jenis campuran yang direncanakan seperti ditunjukan
pada Tabel 2.7.
Tabel 2.7.Amplop Gradasi Agregat Gabungan Untuk Campuran Aspal (Dirjen Bina Marga 2010)
Ukuran
Ayakan
(mm)
% Berat Yang Lolos terhadap Total Agregat dalam Campuran
Latasir (SS) Lataston (HRS) Laston (AC)
Gradasi Senjang3
Gradasi Semi
Senjang 2
Gradasi Halus Gradasi Kasar1
Kelas A Kelas B WC Base WC Base WC BC Base WC BC Base
37,5 100 100
25 100 90 - 100 100 90 - 100
19 100 100 100 100 100 100 100 90 - 100 73 - 90 100 90 - 100 73 - 90
12,5 90 - 100 90 - 100 87 - 100 90 - 100 90 - 100 74 - 90 61 - 79 90 - 100 71 - 90 55 - 76
9,5 90 - 100 75 - 85 65 - 90 55 - 88 55 - 70 72 - 90 64 – 82 47 - 67 72 - 90 58 – 80 45 - 66
4,75 54 - 69 47 - 64 39,5 - 50 43 - 63 37 - 56 28 - 39,5
2,36 75 - 100 50 – 723 35 - 55
3 50 – 62 32 - 44 39,1 - 53 34,6 - 49 30,8 - 37 28 - 39,1 23 - 34,6 19 - 26,8
1,18 31,6 - 40 28,3 - 38 24,1 - 28 19 - 25,6 15 - 22,3 12 - 18,1
0,600 35 - 60 15 - 35 20 – 45 15 - 35 23,1 - 30 20,7- 28 17,6 - 22 13 - 19,1 10 - 16,7 7 - 13,6
0,300 15 – 35 5 - 35 15,5 - 22 13,7- 20 11,4 - 16 9 - 15,5 7 - 13,7 5 - 11,4
0,150 9 - 15 4 - 13 4 - 10 6 - 13 5 – 11 4,5 - 9
0,075 10 - 15 8 – 13 6 - 10 2 - 9 6 – 10 4 - 8 4 - 10 4 - 8 3 - 6 4 - 10 4 - 8 3 - 7
Catatan:
1. Laston (AC) bergradasi kasar dapat digunakan pada daerah yang mengalami deformasi yang lebih tinggi dari biasanya seperti pada daerah pengunungan, gerbang tol atau
pada dekat lampu lalu lintas.
2. Lataston (HRS) bergradasi semi senjang sebagai pengganti Lataston bergradasi senjang dapat digunakan pada daerah dimana pasir halus yang diperlukan untuk membuat
gradasi yang benar-benar senjang tidak dapat diperoleh.
3. Untuk HRS-WC dan HRS-Base yang benar-benar senjang, paling sedikit 80% agregat lolos ayakan No.8 (2,36 mm) harus lolos ayakan No.30 (0,600 mm). Lihat Tabel
6.3.2.4 sebagai contoh batas-batas “Bahan Bergradasi Senjang” di mana bahan yang lolos No. 8 (2,36 mm) dan tertahan pada ayakan No.30 (0,600 mm).
14
2.7 Marshall Test
Kinerja beton aspal padat ditentukan melalui pengujian banda uji yang
meliputi :
1. Penentuan berat volume benda uji.
2. Pengujian nilai stabilitas adalah kemampuan maksimum beton aspal padat
menerima baban sampai terjadi kelelehan plastis.
3. Pengujian kelelehan (flow) adalah besarnya perubahan bentuk plastis dari
beton aspal padat akibat adanya beban sampai batas keruntuhan.
4. Perhitungan Kuosien Marshall adalah perbandingan antara nilai stabilitas dan
flow.
5. Perhitungan berbagai jenis volume pori dalam beton aspal padat (VIM, VMA,
dan VFA)
6. Perhitungan tebal selimut atau film aspal.
Pengujian kinerja beton aspal dapat dilakukan melalui pengujian Marshall,
yang dikembangkan pertama kali oleh Bruce Marshall dan dilanjutkan oleh U.S.
corps Engineer.
Alat Marshall merupakan alat tekan yang dilengkapi dengan proving ring
(cincin penguji) berkapasitas 22,2 KN (= 5000 lbf) dan flowmeter. Proving ring
digunakan untuk mengukur nilai stabilitas, dan flowmeter untuk mengukur
kelelehan plastis atau flow. Prosedur pengujian Marshall mengikuti SNI 06-2489-
1991, atau AASTHO T 245-90, atau ASTM D 1559-76.
Jadi keenam butir pengujian yang umumnya dilakukan untuk menentukan
kinerja beton aspal, terlihat bahwa hanya nilai stabilitas dan flow yang ditentukan
dengan mempergunakan alat Marshall, sedangkan parameter lainnya ditentukan
melalui penimbangan benda uji, dan perhitungan. Walaupun demikian, secara
umum telah dikenali bahwa pengujian Marshall meliputi keenam butir di atas.
(Sukirman, 2003).
15
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini bertempat di Laboratorium Transportasi Universitas
Negeri Gorontalo.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Tahapan persiapan alat dan bahan dilakukan untuk persiapan/pengadaan alat
dan bahan perlengkapan untuk pengujian, adapun alat dan bahan tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Alat pemeriksaan fisik agregat, terdiri dari: satu set saringan agregat standard
dan mesin pengguncang saringan (sieve shaker), mesin los angeles, alat uji
agregat terhadap tumbukan (impact value), alat ukur berat jenis, alat ukur
kepipihan dan kelonjongan.
2. Alat pemeriksaan fisik aspal, terdiri dari: alat ukur berat jenis, alat ukur
penetrasi, alat ukur daktilitas, alat ukur titik nyala dan titik bakar, dan alat
ukur titik lembek.
3. Peralatan pembuatan benda uji/marshall, terdiri dari:
a. Cetakan benda uji/briket berbentuk slinder, ukuran 101,6 mm (4 inci) dan
tinggi 75 mm (3 inci).
b. Marshall hammer ukuran diameter 98,4 mm, berat 4,5 kg (10 lbs) dengan
tinggi jatuh 457 mm (18 inci).
c. Extruder untuk melepas benda uji dari cetakan setelah dipadatkan.
d. Timbangan kapasitas 6 kg dengan ketelitian 0,01 gr.
e. Thermometer, pan pencampur, sendok pengaduk, spatula, pemanas aspal
dan agregat (kompor gas) dll.
4. Waterbath immersion dengan kedalaman 150 mm (6 inci) dilengkapi dengan
pengatur suhu minimum 20˚C berkapasitas 2500 kg (5500 lbs),
16
cincin penguji (profing ring) untuk mengukur nilai stabilitas dan flowmeter
untuk mengukur kelelehan plastis dengan ketelitian 0,0025 cm.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini, terdiri dari:
1. Batuh pecah (Course agregat dan Medium Agregat), berasal dari Stone
Crusser produksi PT. Sinar Karya Cahaya.
2. Bahan pengisi (filler), berasal dari Stone Crusser produksi PT. Sinar Karya
Cahaya.
3. Aspal, digunakan adalah aspal AC 60/70 Produksi Pertamina.
4. Bahan aditif Wetfix-Be diproduksi PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia
(Persero) Cabang Banjarmasin dan diperoleh dari PT. Sinar Karya.
3.3 Metode Pengumpulan Data
3.3.1 Studi Pendahuluan
Studi pendahuluan yaitu tahapan pengumpulan referensi–referensi yang
relevan yang kemudian akan digunakan sebagai dasar dalam penelitian serta
menentukan lokasi pengambilan material dan tempat penelitian.
3.3.2 Pengujian Bahan
Pengujian bahan dilakukan untuk meneliti bahan yang akan digunakan pada
campuran apakah memenuhi persyaratan, pengujian bahan yang terdiri dari aspal,
agregat kasar, agregat halus, bahan pengisi (filler).
1. Pengujian Aspal
Meskipun penggunaan jumlah aspal kecil namun sangat mempengaruhi dalam
menyatukan suatu komponen campuran. Pada penelitian ini menggunakan
aspal pertamina pen 60/70. Jenis pengujian yang dilakukan antara lain titik
lembek, titik nyala dan titik bakar, penetrasi aspal, daktilitas, berat jenis aspal
dan berat jenis aspal + aditif. Adapun standar pengujiannya ditunjukkan dalam
Tabel 2.2.
17
2. Pengujian Agregat Kasar
Berikut adalah spesifikasi pengujian agregat kasar:
a. Fraksi agregat kasar untuk rancangan adalah yang tertahan saringan No.8
(2,36 mm) dan haruslah bersih, keras, awet dan bebas dari lempung atau
bahan yang tidak dikehendaki lainnya dan memenuhi ketentuan yang
diberikan dalam Tabel 2.3.
b. Fraksi agregat kasar harus batu pecah atau kerikil pecah dan harus
disiapkan dalam ukuran nominal. Ukuran maksimum (maximum size)
agregat adalah satu saringan yang lebih besar dari ukuran nominal
maksimum (nominal maximum size). Ukuran nominal maksimum adalah
satu saringan yang lebih kecil dari saringan pertama (teratas) dengan
bahan tertahan kurang dari 10%.
c. Agregat kasar harus mempunyai angularitas seperti yang disyaratkan
dalam Tabel 2.3 Angularitas agregat kasar didefinisikan sebagai persen
terhadap berat agregat yanglebih besar dari saringan No.8 (2,36 mm)
dengan muka bidang pecah satu atau lebih.
d. Agregat kasar untuk latasir kelas A dan kelas B boleh dari kerikil yang
bersih.
e. Fraksi agregat kasar harus ditumpuk terpisah dan harus dipasok ke AMP
dengan melalui pemasok penampung dingin (cold bin feeds) sedemikian
rupa sehingga gradasi gabungan agregat dapat dikendalikan dengan baik.
f. Batas-batas yang ditentukan dalam Tabel 2.3 untuk partikel kepipihan dan
kelonjongan dapat dinaikkan oleh Direksi Pekerjaan bilamana agregat
tersebut memenuhi semua ketentuan lainnya dan semua upaya yang dapat
dipertanggungjawabkan telah dilakukan untuk memperoleh bentuk partikel
agregat yang baik.
g. Pembatasan lolos saringan No.200 (0,075 mm) < 1%, pada saringan kering
karena agregat kasar yang dilekati lumpur tidak dapat dipisahkan pada
waktu pengeringan sehingga tidak dapat dilekati aspal.
Standar uji agregat untuk kasar adalah:
a. Penyerapan air
18
b. Berat jenis
c. Abrasi dengan mesin los angeles
d. Kelekatan agregat terhadap aspal
e. Partikel pipih
f. Partikel lonjong
3. Pengujian Agregat Halus
Berikut adalah spesifikasi pengujian agregat halus:
a. Agregat halus dari sumber bahan manapun, harus terdiri dari pasir atau
penyaringan batu pecah dan terdiri dari bahan yang lolos saringan No.8
(2,36 mm) sesuai SNI 03-6819-2002.
b. Fraksi agregat kasar, agregat halus pecah mesin dan pasir harus ditumpuk
terpisah.
c. Pasir boleh digunakan dalam campuran aspal. Persentase maksimum yang
disarankan untuk laston (AC) adalah 10%.
d. Agregat halus harus merupakan bahan yang bersih, keras, bebas dari
lempung, atau bahan yang tidak dikehendaki lainnya. Agregat halus harus
diperoleh dari batu yang memenuhi ketentuan mutu. Agar dapat memenuhi
ketentuan mutu, batu pecah halus harus diproduksi dari batu yang bersih.
e. Agregat halus dan pasir harus ditumpuk terpisah dan harus dipasok ke
AMP dengan menggunakan pemasok penampung dingin (cold bin feeds).
yang terpisah sedemikian rupa sehingga rasio agregat pecah halus dan
pasir dapat dikontrol dengan baik.
f. Agregat halus harus memenuhi ketentuan sebagaimana ditunjukkan dalam
Tabel 2.4.
Standar uji agregat untuk kasar adalah:
a. Penyerapan air
b. Berat jenis
c. Nilai setara pasir
19
4. Pengujian Bahan Pengisi (filler)
Berikut adalah spesifikasi pengujian Filler:
a. Bahan pengisi (filler) harus bebas dari bahan yang tidak dikehendaki.
Ketentuan bahan pengisi ditunjukkan dalam Tabel 2.3.
b. Debu batu (stone dust) dan bahan pengisi yang ditambahkan harus kering
dan bebas dari gumpalan-gumpalan dan bila diuji dengan penyaringan
sesuai SNI 03-4142-1996 harus mengandung bahan yang lolos saringan
No.200 (0,075 mm) tidak kurang dari 75 % dari yang lolos saringan No.30
(0,600 mm) dan mempunyai sifat non plastis.
5. Campuran Aspal (Mix Design)
a. Tahap persiapan. Pada tahap ini melakukan persiapan untuk semua alat
dan bahan yang terkait dengan penelitian.
b. Pemeriksaan bahan. Pada tahap ini dilakukan pengujian terhadap material
penyusun, untuk mengetahui sifat dan karakteristik material yang akan
digunakant. Pengujian ini meliputi pengujian agregat kasar, agregat halus,
bahan pengisi (filler) serta aspal.
c. Mengumpulkan data hasil pengujian bahan yaitu agregat kasar, agregat
halus, bahan pengisi (filler) serta aspal.
d. Menyiapkan data gradasi agregat kasar, agregat halus bahan pengisi
(filler).
e. Rencana proporsi agregat tanpa menggunakan aditif Wetfix-BE campuran
sesuai Tabel 2.7.
f. Perhitungan perkiraan awal kadar aspal optimum (Pb) menggunakan
Persamaan 2.1.
Pb = 0,035(%CA) + 0,045(%FA) + 0,18(%FF) + K
Dengan:
Pb : kadar aspal optimum ( % ),
CA : agregat kasar ( % ),
FA : agregat halus ( % ),
FF : filler ( % ),
20
K : konstanta (kira-kira 0,5 - 1,0).
g. Membuat perkiraan Nilai Pb sampai terdekat 0,5% pada hasil perhitungan.
g. Membuat benda uji (mix design) atau briket beton aspal. Terlebih dahulu
disiapkan agregat dan aspal sesuai jumlah benda uji yang akan dibuat.
Untuk mendapatkan kadar aspal optimum umumnya dibuat 25 buah benda
uji dengan 5 variasi kadar aspal yang masing-masing berbeda 0,5%. Jika
kadar aspal tengah adalah a %, maka benda uji dibuat untuk kadar aspal
(a-1)%, (a-0,5)%, a %, (a+0,5)%, (a+1)%. Masing-masing kadar aspal
dibuat dalam 5 variasi.
i. Melakukan pengujian berat jenis. Benda uji terlebih dahulu ditimbang
dalam keadaan kering, ditimbang dalam air dan dalam keadaan SSD atau
kering permukaan. Melakukan perendaman terhadap benda uji di dalam
water bath dengan suhu 60°C selama 30 menit.
j. Melakukan pengujian Marshall untuk menetukan kepadatan, stabilitas,
kelelehan, hasil bagi Marshall, VIM, VMA,VFB. Prosedur pengujian
Marshall mengikuti SNI 06-2489-1991, atau AASHTO T 245-90, atau
ASTM D 1559-76.
k. Hitung rongga diantara VIM, VMA,VFA
l. Gambar Grafik hubungan antara Kadar Aspal dengan parameter Marshall
meliputi kepadatan, stabilitas, kelelehan, hasil bagi Marshall, VIM,
VMA,VFB.
m. Menentukan kadar aspal optimum (KAO).
n. Membuat campuran aspal pada Kadar Aspal Optimum (KOA) dengan
pemakain aditif Wetfix-BE.
o. Melakukan pengujian Marshall, untuk menetukan kepadatan, stabilitas,
kelelehan, hasil bagi Marshall, VIM, VMA,VFA. Prosedur pengujian
Marshall mengikuti SNI 06-2489-1991, atau AASHTO T 245-90, atau
ASTM D 1559-76.
p. Menganalisis data dari hasil pengujian yang telah dilakukan.
21
3.4 Metode Analisis Data
Metode Analisis data dilakukan dengan Metode Bina Marga menggunakan
spesifikasi AC-WC dengan Metode Pengujian Marshall, Pengujian Marshall
meliputi : analisa void yang terdiri dari VMA (Void Material Aggregate), VIM
(Void in the Mix) dan VFB (Void Filled with Bitumen), dan MQ (Marshall
Quotient).
Menganalisa data dari pencatatan dan perhitungan-perhitungan dari
pengujian yang telah dilakukan dengan menggunakan Metode Marshall Test,
kemudian membuat kesimpulan dan saran dari hasil penelitian.
Dasar-dasar perhitungan yang digunakan dalam metode Marshall Test
adalah sebagai berikut:
1. Berat Jenis Bulk dan Apparent Total Agregat
Agregat total terdiri atas fraksi-fraksi agregat kasar, agregat halus dan bahan
pengisi/filler yang masing-masing mempunyai berat jenis yang berbeda, baik
berat jenis kering (bulk spesific gravity) dan berat jenis semu (apparent
grafity). Setelah didapatkan kedua macam berat jenis pada masing-masing
agregat pada pengujian material agregat maka berat jenis dari total agregat
tersebut dapat dihitung dalam persamaan berikut :
a. Berat Jenis Kering
dengan:
Gsbtot agregat : Berat jenis kering agregat (gr),
Gsb1, Gsb2, …Gsbn : Berat jenis kering dari masing-masing
agregat 1,2,..n (gr),
P1,P2,….Pn : Berat dari masing-masing agregat (gr).
b. Berat Jenis Semu
22
dengan:
Gsbtot agregat : Berat jenis kering agregat gabungan
(gr/cc),
Gsb1, Gsb2, …Gsbn : Berat jenis kering dari masing-masing
agregat 1,2,3..n (gr/cc),
P1,P2,….Pn : Prosentase berat dari masing-masing
agregat (%).
2. Berat Jenis Efektif Agregat
Berat jenis maksimum campuran (Gmm) diukur dengan AASHTO T.209-90,
maka berat jenis efektif campuran (Gse), kecuali rongga udara dalam partikel
agregat yang menyerap aspal dapat dihitung dengan rumus berikut yang
biasanya digunakan berdasarkan hasil pengujian kepadatan maksimum
teoritis.
dengan:
Gse : Berat jenis efektif (gr/cc),
Gmm : Berat jenis campuran maksimum teoritis setelah pemadatan
(gr),
Pmm : Persen berat total campuran (%),
Pb : Prosentase kadar aspal terhadap total campuran (%),
Ps : Kadar agregat, persen terhadap berat total campuran (%),
Gb : Berat jenis aspal.
Berat jenis efektif total agregat dapat ditentukan dengan menggunakan
persamaan dibawah ini :
dengan:
Gse : Berat jenis efektif/ efektive spesific gravity (gram),
23
Gsb : Berat jenis kering agregat / bulk spesific gravity (gram),
Gsa : Berat jenis semu agregat / apparent spesific gravity (gram).
3. Berat Jenis Maksimum Campuran
Berat jenis maksimum campuran, Gmm pada masing-masing kadar aspal
diperlukan untuk menghitung kadar rongga masing-masing kadar aspal. Berat
jenis maksimum dapat ditentukan dengan AASHTO T.209-90. Ketelitian hasil
uji terbaik adalah bila kadar aspal campuran mendekati kadar aspal optimum.
Sebaliknya pengujian berat jenis maksimum dilakukan dengan benda uji
sebanyak minimum dua buah (duplikat) atau tiga buah (triplikat).
Selanjutnya Berat Jenis Maksimum (Gmm) campuran untuk masing-masing
kadar aspal dapt dihitung menggunakan berat jenis efektif (Gse) rata-rata
sebagai berikut:
dengan:
Gmm : Berat jenis maksimum campuran (gram),
Pmm : Persen berat total campuran (%),
Ps : Kadar agregat, persen terhadap berat total campuran (%),
Pb : Prosentase kadar aspal terhadap total campuran (%),
Gse : Berat jenis efektif/ efektive spesific gravity (gram),
Gb : Berat jenis aspal (gram).
4. Berat Jenis Bulk Campuran Padat
Perhitungan berat jenis bulk campuran setelah pemadatan (Gmb) dinyatakan
dengan persamaan sebagai berikut :
dengan:
Gmb : Berat jenis campuran setelah pemadatan (gram).
Vbulk : Volume campuran setelah pemadatan (gram),
24
Wa : Berat di udara (gram).
5. Penyerapan Aspal
Penyerapan aspal dinyatakan dalam persen terhadap berat agregat total, tidak
terhadap berat campuran. Perhitungan penyerapan aspal (Pba) adalah sebagai
berikut:
dengan:
Pba : Penyerapan aspal, persen total agregat (%),
Gsb : Berat jenis bulk agregat (gram),
Gse : Berat jenis efektif agregat (gram),
Gb : Berat jenis aspal (gram).
6. Kadar Aspal Efektif
Kadar aspal efektif (Pbe) campuran beraspal adalah kadar aspal total dikurangi
jumlah aspal yang terserap oleh partikel agregat. Kadar aspal efektif ini akan
menyelimuti permukaan agregat bagian luar yang pada akhirnya akan
menentukan kinerja perkerasan beraspal. Rumus Kadar aspal efektif adalah :
dengan:
Pbe : Kadar aspal efektif, persen total campuran (%),
Pb : Kadar aspal, persen total campuran (%),
Pba : Penyerapan aspal, persen total agregat (%),
Ps : Kadar agregat, persen terhadap berat total campuran (%).
7. Rongga di antara mineral agregat (Void in the Mineral Aggregat/VMA)
Rongga antar mineral agregat (VMA) adalah ruang rongga diantara partikel
agregat pada suatu perkerasan, termasuk rongga udara dan volume aspal
25
efektif (tidak termasuk volume aspal yang diserap agregat). VMA dihitung
berdasarkan berat jenis bulk (Gsb) agregat dan dinyatakan sebagai persen
volume bulk campuran yang dipadatkan. VMA dapat dihitung pula terhadap
berat campuran total atau terhadap berat agregat total. Perhitungan VMA
terhadap campuran adalah dengan rumus berikut:
a. Terhadap Berat Campuran Total
dengan:
VMA : Rongga udara pada mineral agregat, prosentase dari
volume total (%),
Gmb : Berat jenis campuran setelah pemadatan (gr),
Gsb : Berat jenis bulk agregat (gr),
Ps : Kadar agregat, persen terhadap berat total campuran (%).
b. Terhadap Berat Agregat Total
dengan:
VMA : Rongga udara pada mineral agregat, prosentase dari
volume total (%),
Gmb : Berat jenis campuran setelah pemadatan (gr/cc),
Gsb : Berat jenis bulk agregat (gr),
Pb : Kadar aspal, persen total campuran (%).
8. Rongga dalam Caampuran (Void in the Campacted Mixture/VIM)
Rongga udara dalam campuran (Va) atau VIM dalam campuran perkerasan
beraspal terdiri atas ruang udara diantara partikel agregat yang terselimuti aspal.
Volume rongga udara dalam campuran dapat ditentukan dengan rumus berikut:
26
dengan:
VIM : Rongga udara pada campuran setelah pemadatan, prosentase
dari volume total (%),
Gmb : Berat jenis campuran setelah pemadatan (gram),
Gmm : Berat jenis campuran maksimum teoritis setelah pemadatan
(gram).
9. Rongga udara yang terisi aspal (Voids Filled with Bitumen/VFB)
Rongga terisi aspal (VFB) adalah persen rongga yang terdapat diantara
partikel agregat (VMA) yang terisi oleh aspal, tidak termasuk aspal yang
diserap oleh agregat. Rumus adalah sebagai berikut:
dengan:
VFB : Rongga udara yang terisi aspal, prosentase dari VMA (%),
VMA : Rongga udara pada mineral agregat, prosentase dari volume
total (%),
VIM : Rongga udara pada campuran setelah pemadatan, prosentase
dari volume total (%).
10. Stabilitas
Nilai stabilitas diperoleh berdasarkan nilai masing-masing yang ditunjukkan
oleh jarum dial. Untuk nilai stabilitas, nilai yang ditunjukkan pada jarum dial
perlu dikonversikan terhadap alat Marshall. Selain itu pada umumnya alat
Marshall yang digunakan bersatuan Lbf (pound force), sehingga harus
disesuaikan satuannya terhadap satuan kilogram. Selanjutnya nilai tersebut
juga harus disesuaikan dengan angka koreksi terhadap ketebalan atau volume
benda uji.
27
11. Flow
Seperti halnya cara memperoleh nilai stabilitas seperti di atas Nilai flow
berdasarkan nilai masing-masing yang ditunjukkan oleh jarum dial. Hanya
saja untuk alat uji jarum dial flow biasanya sudah dalam satuan mm
(milimeter), sehingga tidak perlu dikonversikan lebih lanjut.
12. Hasil bagi Marshall
Hasil bagi marshall / Marshall Quotient (MQ) merupakan hasil pembagian
dari stabilitas dengan kelelehan. Sifat Marshall tersebut dapat dihitung dengan
menggunakan rumus berikut:
dengan:
MQ : Marshall Quotient (kg/mm),
MS : Marshall Stabilit (kg),
MF : Flow Marshall (mm).
28
3.5 Tahapan Penelitian
Langkah-langkah penelitian dapat dilihat seperti Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Bagan Alir Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Kesimpulan dan Saran
Pembuatan 5 Buah Benda Uji tanpa Aditif & 5
Buah Benda Uji dengan Aditif Wetfix-Be 0.3%
Uji Marshall pada KAO
Selesai
Penentuan KAO
Uji Marshall
Pembuatan 25 Buah Benda Uji dengan Variasi Kadar
Aspal (5%; 5.5%; 6%; 6.5%; 7%)
Perkiraan Kadar Aspal Rencana
Pb = 0.035 (%CA) + 0.045 (%FA) + 0.18 (%FF) + K
Rancangan Proporsi Agregat
Memenuhi Spesifikasi Tidak
Aspal Pen 60/70 Agregat Kasar & Sedang
Abu-batu
Mulai
Persiapan Alat dan Bahan
Pengujian Material
29
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Agregat
Penelitian ini menggunakan agregat dari AMP Sinar Karya Cahaya yang
berlokasi di Kecamatan Bongomeme. Agregat dari lokasi ini kemudian diuji di
Laboratorium Transportasi Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo, dengan
pengujian agregat kasar dan halus berupa berat jenis dan penyerapan agregat
kasar, berat jenis dan penyerapan agregat halus, abrasi. Adapun hasil pengujian
agregat untuk agregat kasar, agregat halus dan filler dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Hasil Pemeriksaan Agregat dari AMP Sinar Karya Cahaya
(Laboratorium Transportasi FT-UNG, 2013)
Jenis Pengujian
Course
Agregat
(CA)
Medium
Agregat
(MA)
Fine
Agregat
(FA
Spesifikasi*)
Agregat Halus
Nilai Setara Pasir - - Min 50%
Berat Jenis Bulk
-
-
-
-
-
-
-
-
2.76
Min 2,50 Berat Jenis SSD
- - 2.78
Berat Jenis Semu
-
2.79
2.83
0.75
-
2.79
2.83
0.75
2.83
Penyerapan (%) - - 1.00 Maks. 3%
Agregat Kasar
Berat Jenis Bulk
2.77 2.79 -
-
-
-
Min 2,50
Berat Jenis SSD
2.79 2.81 -
Berat Jenis Semu
2.83 2.84 -
-
-
-
Penyerapan (%) 0.75 0.66 - Maks. 3%
Agregat kasar lolos saringan
no. 200 (%)
0.06 0.04 - Maks. 1
Agregat halus lolos saringan
no. 200 (%) - - 8.63
Maks. 10
Abrasi (%) 21.04 22.40 - Maks. 40
30
Berdasarkan Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa agregat yang digunakan
memenuhi spesifikasi Bina Marga. Hasil pengujian analisa saringan terhadap
agregat dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan grafik gradasi Course Agregat (CA).
Seperti ditunjukan dalam Gambar 4.1.
1. Hasil pengujian Course Agregat
Tabel 4.2. Hasil Analisa Saringan Course Agregat (CA) AMP Sinar
Karya Cahaya (Laboratorium Transportasi FT-UNG, 2013)
Gambar 4.1 Gradasi Course Agregat (CA)
Nomor
Saringan
Bukaan
(mm)
% Lolos % Rata – rata
Lolos Sampel 1 Sampel 2
3/4" 19.10 100 100 100
1/2" 12.70 19.69 22.33 21.01
3/8" 9.50 3.81 2.38 3.09
No. 4 4.75 0.69 0.18 0.43
No. 8 2.36 0.30 0.14 0.22
No. 16 1.18 0.28 0.14 0.21
No. 30 0.60 0.26 0.13 0.19
No. 50 0.30 0.23 0.11 0.17
No. 100 0.15 0.20 0.11 0.15
No. 200 0.07 0.11 0.01 0.06
Pan 0.00 0.00 0.00 0.00
3/4" 1/2" 3/8" #8 #16Ya #30 #50 #200
31
2. Hasil pengujian Medium Agregat
Hasil pengujian analisa saringan Medium Agregat (MA) dapat dilihat pada
Tabel 4.3 dan grafik gradasi Medium Agregat (MA), seperti ditunjukan dalam
Gambar 4.2.
Tabel 4.3. Hasil Analisa Saringan Medium Agregat (MA) AMP Sinar
Karya Cahaya (Laboratorium Transportasi FT-UNG, 2013)
Gambar 4.2. Gradasi Medium Agregat (MA)
Nomor
Saringan
Bukaan
(mm)
% Lolos % Rata – rata
Lolos Sampel 1 Sampel 2
3/4" 19.10 100 100 100
1/2" 12.70 95.80 96.62 96.21
3/8" 9.50 60.62 58.79 59.71
No. 4 4.75 23.58 19.48 21.53
No. 8 2.36 2.18 1.47 1.82
No. 16 1.18 1.50 0.92 1.21
No. 30 0.60 1.26 0.73 0.99
No. 50 0.30 1.03 0.60 0.82
No. 100 0.15 0.85 0.57 0.71
No. 200 0.07 0.06 0.01 0.04
Pan 0.00 0.00 0.00 0.00
3/4" 1/2" 3/8" #8 #16 #30 #50 #200 #100 #4
32
3. Hasil pengujian Abu-Batu
Hasil pengujian analisa saringan abu-batu (FA) dapat dilihat pada Tabel 4.4
dan grafik gradasi abu-batu (FA), seperti ditunjukan dalam Gambar 4.3.
Tabel 4.4. Hasil Analisa Saringan Abu-Batu (FA) AMP Sinar Karya
Cahaya (Laboratorium Transportasi FT-UNG,2013)
Gambar 4.3. Gradasi Abu-Batu (FA)
Nomor
Saringan
Bukaan
(mm)
% Lolos % Rata – rata
Lolos Sampel 1 Sampel 2
3/4" 19.10 100 100 100
1/2" 12.70 100 100 100
3/8" 9.50 100 100 100
No. 4 4.75 99.93 99.95 99.94
No. 8 2.36 86.93 88.00 87.47
No. 16 1.18 66.82 68.92 67.87
No. 30 0.60 44.77 46.73 45.75
No. 50 0.30 26.42 27.50 26.96
No. 100 0.15 16.02 16.39 16.21
No. 200 0.07 8.74 8.51 8.63
Pan 0.00 0.00 0.00 0.00
3/4" 1/2" 3/8" #8 #16 #30 #50 #200
33
4. Penentuan Kadar Aspal Rencana
Penentuan awal kadar aspal rencana dapat diperoleh dengan menggunakan
Persamaan 2.1.
Pb = 0,035(%CA) + 0,045(%FA) + 0,18(%FF) + K
Jadi nilai dari kadar aspal rencana yang diperoleh dengan menggunakan rumus
di atas adalah 5,75 %. Nilai konstanta sekitar 0,5 – 1 untuk AC
Tabel 4.5. Campuran Aspal Asphalt Concrete - Wearing Course (AC-WC)
Uraian Data Sieve Size
Inch 3/4" 1/2" 3/8" #4 #8 #16 #30 #50 #100 #200
mm 19.0
0 12.50 9.50 4.75 2.36 1.18 0.60 0.30 0.15 0.07
Spesifikasi Gradasi
Max 100 100 90 69 53 40 30 22 15 10
Min 100 90 74 54 39.1 31.6 23.1 15.5 9 4
Fuller 100.
0 82.8 73.2 53.6 39.1 28.6 21.1 15.5 11.3 8.0
Data Gradasi Agregat
Course Agregat (CA) 100 21.01 3.09 0.43 0.22 0.21 0.19 0.17 0.15 0.06
Medium Agregat (MA) 100 96.21 59.71 21.53 1.82 1.21 0.99 0.82 0.71 0.04
Fine Agregat (FA) 100 100 100 99.94 87.47 67.87 45.75 26.96 16.21 8.63
Kombinasi Agregat
Course Agregat (CA) 10% 10 2.10 0.31 0.04 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.01
Medium Agregat (MA) 33% 33 31.75 19.70 7.10 0.60 0.40 0.33 0.27 0.23 0.01
Fine Agregat (FA) 57% 57 57.00 57.00 56.96 49.86 38.69 26.08 15.37 9.24 4.92
Total Campuran 100% 100 90.85 77.01 64.11 50.48 39.11 26.43 15.65 9.49 4.94
34
4.2 Aspal
Aspal yang digunakan adalah jenis aspal penetrasi 60/70 produksi
Pertamina. Untuk hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6. Hasil Pengujian Aspal
No Uraian Metoda Pengujian Spesifikasi Hasil
1 Berat Jenis SNI-06-2441-1991 > 1 1.04
2 Penetrasi (25oC / 5 detik) SNI 06-2456-1991 60-70 65
3 Titik Lembek SNI 06-2434-1991 > 48 59.5
4 Titik Nyala SNI-06-2433-1991 > 232 280oC
5 Daktilitas SNI-06-2432-1991 > 100 107.5
Berdasarkan hasil pengujian dapat dilihat bahwa nilai–nilai karakteristik
aspal telah memenuhi spesifikasi Bina Marga.
4.3 Pengujian Marshall
Pengujian marshall dapat dilakukan setelah seluruh persyaratan material,
berat jenis, penyerapan aspal dan perkiraan kadar aspal rencana telah terpenuhi.
Pengujian marshall pada campuran hot mix dilakukan untuk memperoleh
nilai karakteristik marshall yang meliputi kepadatan, rongga udara di dalam
campuran (VIM), rongga dalam mineral agregat (VMA), stabilitas, flow dan
angka perbandingan marshall Quotient (MQ). Hasil pengujiannya dapat dilihat
pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7. Hasil Pengujian Marshall
Kadar
Aspal
Karakteristik Marshall
Kepadatan VIM Stabilitas VMA Flow MQ VFA TFA
5.0 2.441 5.532 1918.488 16.258 4.280 439.456 67.971 7.39
5.5 2.454 4.289 2082.168 16.257 3.060 667.105 75.167 8.24
6.0 2.444 3.956 1913.604 17.054 3.240 579.038 78.092 9.11
6.5 2.436 3.543 1551.990 17.773 4.100 371.112 81.123 9.98
7.0 2.430 3.010 1448.436 18.385 4.220 336.501 84.462 10.86
35
4.3.1 Hasil Pengujian Marshall untuk Campuran AC-WC tanpa
menggunakan aditif Wetfix-Be
Hasil pengujian marshall yang terdapat pada Tabel 4.7. juga dapat ditampilkan
secara grafis sebagai hubungan antara campuran AC-WC serta sifat-sifat campuran
Marshall untuk setiap variasi kadar aspal. Hubungan tersebut dapat dinyatakan
sebagai berikut:
1. Hubungan antara nilai rongga dalam campuran (VIM) dengan variasi kadar
aspal pada benda uji campuran AC-WC.
Gambar 4.4. Hubungan antara Nilai Rongga dalam Campuran (Vim) dengan
Variasi Kadar Aspal pada Benda Uji Campuran AC-WC.
Prosentase yang terlalu tinggi dari yang disyaratkan yaitu batas minimum 3,5%
dan batas maksimum 5,5% akan menimbulkan kekurangan rongga udara di dalam
campuran sehingga mengakibatkan kadar aspal yang berlebihan di luar
perencanaan. Berdasarkan Gambar 4.5 terlihat bahwa benda uji pada kadar
aspal 5%, 5,5%, 6% dan 6,5% nilai VIM memenuhi batas minimum dan
maksimum yang telah disyaratkan pada spesifikasi Bina Marga. Tapi untuk
kadar aspal 7% nilai VIM memiliki rentang yang terkecil dibandingkan sifat-
sifat marshall yang lain terletak di bawah batas minimum yang telah
disyaratkan direncanakan.
Max
Min
36
2. Hubungan antara nilai kepadatan (density) dengan variasi kadar aspal pada
benda uji campuran AC-WC.
Gambar 4.5. Hubungan antara Nilai Kepadatan (Density) dengan Variasi
Kadar Aspal pada Benda Uji Campuran AC-WC
Menurut trendline pada Gambar 4.5 di atas terlihat nilai kepadatan yang tidak
jauh berbeda. Nilai kepadatan tertinggi terdapat pada campuran dengan kadar
aspal 5,5% walaupun perbedaan itu relative sedikit.
3. Hubungan antara nilai stabilitas dengan variasi kadar aspal pada benda uji
campuran AC-WC.
Gambar 4.6. Hubungan antara Nilai Stabilitas dengan Variasi Kadar Aspal
pada Benda Uji Campuran AC-WC
Berdasarkan trendline pada Gambar 4.6. di atas terlihat nilai stabilitas yang
tinggi terdapat pada campuran dengan kadar aspal 5,5% namun perbedaan
nilai stabilitas pada setiap kadar aspal rencana tidak terlalu besar dan secara
37
keseluruhan kadar aspal rencana memenuhi ketentuan yang disyaratkan yaitu
batas minimum 800 kg.
4. Hubungan antara nilai rongga dalam agregat (VMA) dengan variasi kadar
aspal pada benda uji campuran AC-WC.
Gambar 4.7. Hubungan antara Nilai Rongga dalam Agregat (VMA) dengan
Variasi Kadar Aspal pada Benda Uji Campuran AC-WC.
Berdasarkan Gambar 4.7 di atas terlihat seluruh nilai VMA yang diperoleh
oleh setiap kadar aspal rencana memenuhi ketentuan yang disyaratkan yaitu
batas minimum 15%. Terjadi peningkatan nilai VMA pada setiap kenaikan 0,5%
kadar aspal rencana.
5. Hubungan antara nilai kelelehan (flow) dengan variasi kadar aspal pada benda
uji campuran AC-WC.
Gambar 4.8. Hubungan antara Nilai Flow dengan Variasi Kadar Aspal pada
Benda Uji Campuran AC-WC
Min
Min
38
Pada pengujian marshall yang ditunjukan pada Gambar 4.8 di atas terhadap
kadar aspal rencana, kadar aspal 5% memiliki nilai flow terendah dan
merupakan nilai terkecil pada angka kelelehan di mana syarat batas minimum
sebesar 3 mm, namun masih masuk dalam ketentuan yang disyaratkan.
6. Hubungan antara nilai MQ dengan variasi kadar aspal pada benda uji
campuran AC-WC.
Gambar 4.9. Hubungan Antara Nilai Marshall Quotient (MQ) dengan
Variasi Kadar Aspal pada Benda Uji Campuran AC-WC
Berdasarkan Gambar 4.9 dapat dilihat bahwa pada setiap kenaikan 0,5% dari
kadar aspal rencana 5% mengalami peningkatan nilai MQ dan mengalami
penurunan kembali pada kadar aspal rencana 6%, 6,5% dan 7%. Nilai MQ
dalam campuran mencapai nilai tertinggi pada kadar aspal 5,5% sehingga
trendline yang dihasilkan membentuk parabola terbalik. Gambar 4.9
menunjukkan bahwa semua nilai MQ diatas memenuhi ketentuan yang
disyaratkan pada spesifikasi umum Bina Marga yaitu batas minimum 250
kg/mm.
Min
39
7. Hubungan antara nilai rongga terisi aspal (VFA) dengan variasi kadar aspal
pada benda uji campuran AC-WC.
Gambar 4.10. Hubungan Antara Nilai Rongga Terisi Aspal (VFA) dengan
Variasi Kadar Aspal pada Benda Uji Campuran AC-WC
Berdasarkan Gambar 4.10 dapat lihat bahwa kadar aspal rencana pada setiap
penambah 0,5% disetiap kadar aspal, maka terjadi peningkatan secara terus
menerus dan mencapai nilai tertinggi pada kadar aspal 7%. Seluruh campuran
kadar aspal rencana yang ditunjukkan pada Gambar 4.10 memenuhi ketentuan
yang disyaratkan yaitu minimum 65% sesuai spesifikasi umum Bina Marga.
8. Hubungan antara nilai Thick Film of Asphalt (TFA) dengan variasi kadar
aspal pada benda uji campuran AC-WC.
Gambar 4.11. Hubungan Antara Nilai TFA dengan Variasi Kadar Aspal
pada Benda Uji Campuran AC-WC
Berdasarkan Gambar 4.11 dapat dilihat bahwa kadar aspal rencana pada setiap
penambah 0,5% disetiap kadar aspal, maka terjadi peningkatan secara terus
menerus dan mencapai nilai tertinggi pada kadar aspal 7%.
Min
40
4.3.2 Penentuan Kadar Aspal Optimum (KAO) pada Campuran AC-WC
Penentuan KAO dilakukan dengan metode Narrow Range berdasarkan
beberapa parameter nilai kepadatan (density), stabilitas, flow, VMA, VIM, VFB,
BFT, dan MQ. Dapat juga dilakukan dengan cara memasukan semua hasil uji
Marshall kedalam bentuk grafik batang dengan, setelah itu dipilih rentang untuk
kadar aspal yang memenuhi syarat Marshall. Kemudian nilai kadar aspal
optimum yang digunakan adalah 5.75%, dengan mengambil nilai tengah dari
rentang kadar aspal yang telah memenuhi Spesifikasi Umum Bina Marga.
Penentuan kadar aspal optimum (KAO) dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8. Kadar Aspal Optimum pada Campuran AC-WC
Parameter Spesifikasi Kadar Aspal (%)
5% 5,5% 6% 6,5% 7%
Kepadatan -
VIM 3,5% - 5%
VMA > 14
Stabilitas ≥ 800 kg
Flow ≥ 3 mm
VFB ≥ 63%
BFT -
MQ ≥ 250 kg/mm
KAO = (5% + 5,5% + 6% + 6,5%) / 4
= 5,75%
5,57%
41
4.3.3 Perbandingan Hasil Pengujian Marshall pada Kadar Aspal Optimum
(KAO) pada Campuran AC-WC yang Menggunakan Aditif Wetfix-Be
dan Tanpa Menggunakan Aditif Wetfix-Be dengan Campuran
Sifat-sifat marshall pada kondisi kadar aspal optimum pada dasarnya adalah
sama dengan uji marshall pada kondisi kadar aspal rencana yaitu tidak ada
perbedaan pada pengujian masing-masing jenis campuran. Perbedaannya hanya
pada penambahan bahan aditif Wetfix-BE.
Pengaruh Wetfix-BE sebagai bahan tambah pada campuran AC-WC adalah
dari bau benda uji terdapat bau yang berbeda dari benda uji tanpa menggunakan
bahan tambah aditif (Wetfix-BE). Hasil uji marshall dengan penambahan aditif
(Wetfix-BE) maupun tanpa penambahan aditif dapat dipresentasikan pada Tabel
4.9. sampai dengan Tabel 4.10.
Tabel 4.9. Pengujian Marshall tanpa Variasi Wetfix-BE pada KAO
KAO Karakteristik Marshall
Kepadatan VIM Stabilitas VMA Flow MQ VFA TFA
5,75 2,435 4,367 2082,993 17,133 3,240 630,293 75,920 8,88
Tabel 4.10. Pengujian Marshall dengan Variasi Wetfix-BE pada KAO
KAO Karakteristik Marshall
Kepadatan VIM Stabilitas VMA Flow MQ VFA TFA
5,75 2,444 4,002 2180,145 16,817 3,260 655,643 77,547 8,69
1. Kepadatan
Kepadatan merupakan tingkat kerapatan suatu campuran setelah
campuran dipadatkan. Semakin tinggi nilai kepadatan suatu campuran
menunjukan bahwa kerapatannya semakin baik. Nilai kepadatan dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti gradasi campuran, jenis dan kualitas
agregat penyusun, faktor pemadatan baik jumlah pemadatan maupun
temperatur pemadatan, penggunaan kadar aspal dan penambahan bahan aditif
dalam campuran. Campuran dengan nilai kepadatan yang tinggi akan mampu
menahan beban yang lebih besar dibandingkan dengan campuran yang
42
memiliki nilai kepadatan yang rendah, karena butiran agregat mempunyai
bidang kontak yang luas sehingga gaya gesek (friction) antar butiran agregat
menjadi besar. Selain itu kepadatan juga mempengaruhi kekedapan campuran,
semakin kedap terhadap udara dan air.
Berdasarkan Tabel 4.9 dan Tabel 4.10 campuran pada KAO yang
menggunakan atau tanpa menggunakan bahan tambah aditif Wetfix-BE
terdapat perbedaan kepadatan. Campuran yang menggunakan bahan aditif
Wetfix-BE adalah 2,444 gr/cm3 terjadi kenaikan nilai kepadatan dari nilai yang
dihasilkan oleh campuran yang tidak menggunakan bahan aditif Wetfix-BE
adalah 2,435 gr/cm3.
Perbandingan nilai kepadatan pada KAO di atas dapat dilihat juga pada
Gambar 4.12.
Gambar 4.12. Perbandingan Nilai Kepadatan
2. VIM
VIM merupakan persentase rongga yang terdapat dalam total campuran.
Nilai VIM berpengaruh terhadap keawetan lapis perkerasan, semakin tinggi
nilai VIM menunjukkan semakin besar rongga dalam campuran sehingga
campuran bersifat porous. Hal ini bisa mengakibatkan campuran menjadi
kurang rapat sehingga air dan udara mudah masuk pada rongga-rongga dalam
campuran yang menyakibatkan aspal mudah teroksidasi sehingga lekatan antar
43
butiran agregat berkurang sehingga terjadi pelepasan butiran (revelling) dan
pengelupasan permukaan (stripping) pada lapis perkerasan.
Nilai VIM yang terlalu rendah akan menyebabkan bleeding karena suhu
yang tinggi, maka viskositas aspal menurun sesuai sifat termoplastisnya. Pada
saat itu apabila lapis perkerasan menerima beban lalu lintas maka aspal akan
terdesak keluar permukaan karena tidak cukupnya rongga bagi aspal untuk
melakukan penetrasi dalam lapis perkerasan. Nilai VIM yang lebih dari
ketentuan akan mengakibatkan berkurangnya keawetan lapis perkerasan,
karena rongga yang terlalu besar akan mudah terjadi oksidasi.
Berdasarkan data pada Tabel 4.9 dan Tabel 4.10 serta Gambar 4.13
untuk campuran yang tidak menggunakan bahan aditif Wetfix-BE terhadap
VIM menghasilkan perilaku campuran yang cenderung lebih tinggi yaitu
4,367 %. Untuk campuran yang menggunakan bahan aditif Wetfix-BE lebih
rendah nilainya dan mempuyai perilaku yang cenderung turun yakni 4,002 %.
Tapi kedua percobaan ini memenuhi spesifikasi Bina Marga.
Gambar 4.13. Perbandingan Nilai VIM
3. VMA
VMA adalah pori yang ada diantara butir agregat didalam campuran
aspal panas yang sudah dipadatkan termasuk ruang yang terisi aspal. VMA
digunakan sebagai ruang untuk menampung aspal dan rongga udara yang
44
diperlukan dalam campuran beraspal panas, besarnya nilai VMA dipengaruhi
oleh kadar aspal, gradasi bahan susun, jumlah tumbukan dan temperatur
pemadatan. Kuantitas rongga udara berpengaruh terhadap kinerja suatu
campuran karena jika VMA terlalu kecil maka campuran bisa mengalami
masalah durabilitas dan jika VMA terlalu besar maka campuran bisa
memperlihatkan masalah stabilitas dan tidak ekonomis untuk diproduksi.
Nilai VMA dipengaruhi oleh faktor pemadatan, yaitu jumlah dan
temperature pemadatan, gradasi agregat dan kadar aspal. Nilai VMA ini
berpengaruh pada sifat kekedapan campuran terhadap air dan udara serta sifat
elastis campuran.
Hasil penelitian pengaruh aditif Wetfix-BE sebagai bahan tambah pada
KAO terhadap VMA seperti ditunjukan pada Tabel 4.9 dan Tabel 4.10 serta
Gambar 4.14 Untuk campuran yang tidak menggunakan bahan aditif Wetfix-
BE persentase nilai VMA cenderung lebih tinggi yaitu 17,135% dibandingkan
dengan campuran yang menggunakan bahan aditif Wetfix-BE menghasilkan
presentasi nilai lebih rendah yaitu 16,817%. Namun kedua hasil percobaan ini
memenuhi spesifikasi Bina Marga.
Gambar 4.14. Perbandingan Nilai VMA
45
4. Stabilitas
Stabilitas merupakan kemampuan lapis keras untuk menahan deformasi
akibat beban lalu lintas yang bekerja diatasnya tanpa mengalami perubahan
bentuk tetap seperti gelombang (wash boarding) dan alur (rutting). Nilai
stabilitas dipengaruhi oleh bentuk, kualitas, tekstur permukaan dan gradasi
agregat yaitu gesekan antar butiran agregat (internal friction) dan penguncian
antar agregat (interlocking), daya lekat (cohesion) dan kadar aspal dalam
campuran.
Penggunaan aspal dalam campuran akan menentukan nilai stabilitas
campuran tersebut. Seiring dengan penambahan aspal, nilai stabilitas akan
meningkat hingga batas maksimum. Penambahan aspal dan aditif di atas batas
maksimum justru akan menurunkan stabilitas campuran itu sendiri sehingga
lapis perkerasan menjadi kaku dan bersifat getas. Nilai stabilitas berpengaruh
pada fleksibilitas lapis perkerasan yang dihasilkan.
Peningkatan nilai stabilitas Marshall terhadap campuran terjadi pada
campuran yang menggunakan bahan aditif Wetfix-BE yaitu 2082,993kg dari
nilai stabilitas campuran yang tidak menggunakan bahan aditif Wetfix-BE
yaitu 2180,145kg. Terjadi penurunan pada presentasi nilai stabilitas pada
campuran yang tidak menggunakan bahan aditif Wetfix-BE. Presentase nilai
stabilitas dapat dilihat pada Tabel 4.9 dan Tabel 4.10 serta Gambar 4.15.
46
Gambar 4.15. Perbandingan Nilai Stabilitas
5. Flow
Flow adalah besarnya penurunan campuran benda uji akibat suatu beban
sampai batas runtuh yang dinyatakan dalam satuan mm. Flow merupakan
indikator kelenturan campuran beraspal panas dalam menahan beban lalu
lintas. Nilai flow menyatakan besarnya deformasi bahan susun benda uji.
Deformasi yang terjadi erat kaitannya dengan sifat-sifat marshall yang lain
seperti stabilitas, VIM dan VFA. Nilai VIM yang besar menyebabkan
berkurangnya interlocking resistance campuran dan dapat berakibat timbulnya
deformasi. Nilai VFA yang berlebihan juga menyebabkan aspal dalam
campuran berubah konsistensinya menjadi pelicin antar batuan. Nilai flow
dipengaruhi oleh kadar dan viskositas aspal, gradasi agregat jumlah dan
temperatur pemadatan.
Campuran yang memiliki angka kelelehan rendah dengan stabilitas
tinggi cenderung menjadi kaku dan getas. Sedangkan campuran yang memiliki
angka kelelehan tinggi dan stabilitas rendah cenderung plastis dan mudah
berubah bentuk apabila mendapat beban lalu lintas. Kerapatan campuran yang
baik, kadar aspal yang cukup dan stabilitas yang baik akan memberikan
pengaruh penurunan nilai flow.
Nilai flow yang rendah akan mengakibatkan campuran menjadi kaku
sehingga lapis perkerasan menjadi mudah retak, sedangkan campuran dengan
nilai flow tinggi akan menghasilkan lapis perkerasan yang plastis sehingga
perkerasan akan mudah mengalami perubahan bentuk seperti gelombang
(washboarding) dan alur (rutting).
Pada uji kelelehan (flow) yang telah dilakukan untuk campuran yang
menggunakan bahan tambah aditif Wetfix-BE memiliki nilai kelelehan lebih
tinggi. Sedangkan campuran yang tidak menggunakan bahan tambah aditif
Wetfix-BE memiliki nilai kelelehan lebih rendah dibanding dengan yang
menggunakan aditif. Nilai kelelehan dapat terlihat pada Tabel 4.9 sampai
Tabel 4.10 dan Gambar 4.16.
47
Gambar 4.16. Perbandingan Nilai flow
6. MQ
MQ merupakan hasil bagi antara stabilitas dan flow yang
mengindikasikan pendekatan terhadap kekakuan dan fleksibilitas dari suatu
campuran beraspal panas. Besarnya nilai MQ tergantung dari besarnya nilai
stabilitas yang dipengaruhi oleh gesekan antar butiran dan saling mengunci
antar butiran yang terjadi antara partikel agregat dan kohesi campuran bahan
susun, serta nilai flow yang dipengaruhi oleh viskositas, kadar aspal, gradasi
bahan susun, dan jumlah tumbukan.
Campuran yang memiliki nilai MQ yang rendah, maka campuran
beraspal panas akan semakin fleksibel, cenderung menjadi plastis dan lentur
sehingga mudah mengalami perubahan bentuk pada saat menerima beban lalu
lintas yang tinggi. sedangkan campuran yang memiliki MQ tinggi campuran
beraspal panas akan kaku dan kurang lentur.
Berdasarkan Tabel 4.9 dan Tabel 4.10 serta Gambar 4.17. dapat dilihat
bahwa campuran yang menggunakan bahan tambah aditif Wetfix-BE memiliki
nilai MQ lebih tinggi dibandingkan dengan campuran yang tidak
menggunakan aditif Wetfix-BE.
48
Gambar 4.17. Perbandingan Nilai Marshall Quotient
7. VFA
VFA adalah volume rongga yang dapat terisi oleh aspal. VFA juga
bagian dari VMA yang terisi oleh aspal tetapi tidak termasuk aspal yang
terabsorbsi oleh masing-masing butir agregat. Nilai VFA berpengaruh pada
sifat kekedapan campuran terhadap air dan udara serta sifat elastisitas
campuran. Dengan kata lain VFA menentukan stabilitas, fleksibilitas dan
durabilitas. Semakin tinggi nilai VFA berarti semakin banyak rongga dalam
campuran yang terisi aspal sehingga kekedapan campuran terhadap air dan
udara juga semakin tinggi, tetapi nilai VFA yang terlalu tinggi akan
menyebabkan bleeding.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan untuk campuran yang
menggunakan bahan aditif Wetfix-BE terhadap VFA seperti dalam Tabel 4.9
dan Tabel 4.10 serta Gambar 4.18 menghasilkan pengaruh perilaku untuk
campuran yang tidak menggunakan aditif prosentase VFA mengalami
penurunan dibandingkan dengan campuran yang menggunakan bahan aditif
Wetfix-BE lebih tinggi nilainya dan mempuyai perilaku yang cenderung naik.
49
Gambar 4.18. Perbandingan Nilai VFA
8. TFA
Berdasarkan Gambar 4.19 dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan nilai
TFA pada campuran yang menggunakan bahan aditif Wetfix-BE dibandingkan
dengan campuran murni atau tidak menggunakan bahan tambah aditif Wetfix-
BE.
Gambar 4.19. Perbandingan Nilai TFA
50
Hasil perbandingan karakteristik marshall ditunjukkan pada Tabel 4.11.
Tabel 4.11. Perbandingan Sifat-sifat Marshall
No. Sifat-sifat Marshall Sampel Prosentase
Spesifikasi Tanpa Aditif Menggunakan Aditif naik/turun
1 Kepadatan 2,435 2,444 0,382 % -
2 VIM 4,367 4,002 - 8,364 % Min 3,5% – Max 5,5%
3 VMA 17,133 16,817 - 1,847 % Min 15%
4 Stabilitas 2080,993 2180,145 4,664 % Min 800 Kg
5 Flow 3,240 3,260 0,617 % Min 3 mm
6 Marshall Quotient 630,293 655,643 4,002 % Min 250
7 VFA 75,920 77,547 2,143 % Min 65
8 TFA 8,69 8,88 2,276 % -
51
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dapat
disimpulkan bahwa:
1. Pengaruh yang terjadi akibat penambahan aditif Wetfix-BE pada Aspal Pen
60/70 dengan kadar aspal optimum (KAO) 5,75% untuk variasi bahan tambah
0,3%, terhadap stabilitas pada campuran AC-WC terjadi peningkatan nilai
stabilitas untuk campuran yang menggunakan aditif Wetfix-BE, jika
dibandingkan dengan campuran yang tidak menggunakan aditif Wetfix-BE.
2. Sifat-sifat marshall yang meliputi Kepadatan, VMA,VFB,VIM, stabilitas, flow
dan MQ pada pengujian marshall sebelum dan sesudah ditambahkan bahan
aditif Wetfix-BE dengan variasi bahan tambah 0,3% pada kadar aspal optimum
(KAO) berakibat pada nilai kepadatannya bertambah dari 2,444 gr/cm3
menjadi 2,455 gr/cm3; diikuti juga dengan nilai stabilitas dari 1885,770 kg
menjadi 2005,476 kg; MQ dari 570,615 kg/mm menjadi 599,437 kg/mm; flow
dari 3,240 mm menjadi 3,280 mm; dan VFA juga meningkat dari 78,092%
menjadi 80,039%; namun pada sifat marshall yaitu VIM, dan VMA
mengalami penurunan yang masing-masing VMA dari 17,054% menjadi
16,688%; VIM dari 3,956% menjadi 3,532%.
5.2 Saran
1. Pada lalu lintas dengan beban kendaraan berat sebaiknya menggunakan
campuran Asphalt Concrete – Wearing Course dengan penambahan bahan
aditif Wetfix-BE yang mana lebih bisa menahan stabilitas yang tinggi
dibandingkan dengan campuran yang tidak menggunakan bahan aditif Wetfix-
BE.
2. Untuk mengetahui lebih jauh kinerja dari aditif Wetfix-BE, perlu dilakukan
penelitian dengan variasi kadar aspal dan variasi persentase kadar Wetfix-BE.
52
3. Guna pengembangan penelitian ini lebih lanjut perlu dilakukan pengujian
laboratorium terhadap pengaruh Wetfix-BE sebagai bahan tambah ditinjau dari
sifat - sifat kimianya.
4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi seluruh pihak
yang terkait khususnya pemerintah Provinsi Gorontalo demi mengatasi
permasalahan kerusakan-kerusakan pada perkerasan jalan beraspal yang
sering terjadi.
53
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto, M. (2010). Studi Analisa Pebandingan Material Limbah (Fly Ash) dan
Bahan Kimia (Wetfix-BE) pada Campuran Beraspal untuk Meningkatkan
Stabilitas. jakarta: Skripsi Program Sarjana Universitas Bina Nusantara.
Asphalt Applications. Retrieved Oktober Senin, 2012, from
http://sc.akzonobel.com/en/asphalt/Pages/product-
detail.aspx?prodID=8557.
Asriyanto. (2010). Metode Kontruksi Proyek Jalan. Jakarta: Universitas Indonesia
(UI-Press).
Basuku, R., & Machsus. (2007). Penambahan Gilsonite Resin pada Aspal Prima
55 untuk Meningkatkan Kualitas Perkerasan Hot Mix. Aplikasi ISSN.
1907-753X. volume 3. No 1, 16.
Bina Marga. (1999). Pedoman Perencanaan Campuran Beraspal Panas dengan
Pendekatan Kepadatan Mutlak.
Bina Marga. (2010). Spesifikasi Umum Pekerjaan Konstruksi Jalan dan
Jembatan. Jakarta: Dept. PU.
Dokumen Pelelangan Nasional Penyediaan Pekerjaan Konstruksi (Pemborongan)
untuk Kontrak Harga Satuan. (2010). Republik Indonesia Kementerian
Pekerjaan Umum Dirjen Bina Marga.
Hardiyatmo, H. C. (2007). Pemeliharaan Jalan Raya. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Hidayat. (2011). Menyusun Skripsi dan Tesis. Bandung: Cetakan Pertama
Informatika.
Kadir, Y. (2003). Pengaruh Jenis Filler Terhadap Campuran Hot Rolled Sheet
(HRS). Malang: Universitas Brawijaya.
Mashuri, & Batti, J. F. (2011). Pemanfaatan Material Limbah pada Campuran
Beton Aspal Campuran Panas. Mektek. Tahun XIII No.3, 204-205.
Muliadi. (2010). Tinjauan Teknis dan Ekonomis Gilsonite Sebagai Bahan
Additive Campuran Aspal Beton. Adiwidia. edisi juli, 41.
54
Mulyono, A. T. (2007). Model Monitoring dan Evaluasi Pemberlakuan Standar
Mutu Perkerasan Jalan Berbasis Pendekatan Sistemik. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Putrowijoyo, R. (2006). Kajian Laboratorium Sifat Marshall dan Durabilitas
Asphalt Concrete - Wearing Course (AC-WC) dengan Membandingkan
Penggunaan antara Semen Portland dan Abu Batu Sebagai Filler.
Semarang: Universitas Diponegoro.
Rianung, S. (2007). . Kajian Laboratorium Pengaruh Bahan Tambah
Gondorukem pada Asphalt Concrete-Binder Course (AC-BC) terhadap
Nilai Propertis Marshall dan Durabilitas. Semarang: Tesis Program
Sarjana Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
Roberts, F. L., Kandhal, P. S., Brown, E. R., Lee, D. Y., & Kennedy, T. W.
(1991). Hot Mix Aspalt Materials, Mixture Design and Contruction.
Lanham. Maryland: Napa Education Foundation. First Edition.
Saodang, H. (2005). Kontruksi Jalan Raya. Bandung: Cetakan 1. Nova.
Sukirman, S. (1999). Perkerasan Lentur Jalan Raya. Bandung: Nova.
Sukirman, S. (2003). Beton Aspal Campuran Panas. Jakarta: Edisi Pertama.
Granit.
The Asphalt Institute. Asphalt Plant Manual. Second Edition. Manual Series No. 3
(MS-3).
The Asphalt Institute. Spesification and Construction Methods For Asphalt
Concrete and Other Plant-Mix Types . Third Edition. Spesification Series
No 1 (SS-1).
55
LAMPIRAN