BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Pertanian Sebagai … II skripsi... · seperti batang pisang,...

24
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak Limbah tanaman pangan adalah bagian tanaman pangan yang tersedia dan dapat dimanfaatkan sebagai pakan setelah produk utama dipanen. Produksi limbah tanaman pangan di suatu wilayah dapat diperkirakan berdasarkan luas lahan panen dari tanaman pangan tersebut (Jayasurya, 2002). Djayanegara dan Sitorus (1983) menyatakan bahwa sebagian besar limbah pertanian dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak, namun sampai saat ini pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak belum optimal. Hambatan yang sering dialami adalah kualitas yang rendah, serat kasar tinggi, kurang disukai ternak, konversinya tidak mudah dan produksinya berfluktuasi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, sentuhan teknologi sangat diperlukan sehingga limbah dapat diubah menjadi pakan bergizi dan sumber energi bagi ternak (Sarwono dan Arianto, 2006). Kandungan nutrien dari limbah dan gulma tanaman pangan untuk pakan ternak seperti batang pisang, eceng gondok, daun apu sangat baik diberikan kepada ternak. Namun di dalam penyusunan ransum untuk ternak nonruminansia khusunya itik belum dapat memenuhi kebutuhan yang optimal bagi ternak, dikarenakan limbah maupun gulma tanaman pangan mempunyai kualitas yang tidak seimbang bahkan rendah diakibatkan adanya kandungan serat kasar yang tinggi dan senyawa seperti lignin, silika, kutin, theobromine, tannin, kafein, asam sianida, keratin, dan lain- lain. Serta kandungan mineral (terutama Ca, P, Mg, Cu, Zn, Co, Mn, Fe, dab S) dan vitamin (vitamin A dan E) rendah, dimana kesemuanya merupakan senyawa anti

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Pertanian Sebagai … II skripsi... · seperti batang pisang,...

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak

Limbah tanaman pangan adalah bagian tanaman pangan yang tersedia dan

dapat dimanfaatkan sebagai pakan setelah produk utama dipanen. Produksi limbah

tanaman pangan di suatu wilayah dapat diperkirakan berdasarkan luas lahan panen

dari tanaman pangan tersebut (Jayasurya, 2002). Djayanegara dan Sitorus (1983)

menyatakan bahwa sebagian besar limbah pertanian dapat dimanfaatkan sebagai

makanan ternak, namun sampai saat ini pemanfaatan limbah pertanian sebagai

pakan ternak belum optimal. Hambatan yang sering dialami adalah kualitas yang

rendah, serat kasar tinggi, kurang disukai ternak, konversinya tidak mudah dan

produksinya berfluktuasi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, sentuhan

teknologi sangat diperlukan sehingga limbah dapat diubah menjadi pakan bergizi

dan sumber energi bagi ternak (Sarwono dan Arianto, 2006).

Kandungan nutrien dari limbah dan gulma tanaman pangan untuk pakan ternak

seperti batang pisang, eceng gondok, daun apu sangat baik diberikan kepada ternak.

Namun di dalam penyusunan ransum untuk ternak nonruminansia khusunya itik

belum dapat memenuhi kebutuhan yang optimal bagi ternak, dikarenakan limbah

maupun gulma tanaman pangan mempunyai kualitas yang tidak seimbang bahkan

rendah diakibatkan adanya kandungan serat kasar yang tinggi dan senyawa seperti

lignin, silika, kutin, theobromine, tannin, kafein, asam sianida, keratin, dan lain-

lain. Serta kandungan mineral (terutama Ca, P, Mg, Cu, Zn, Co, Mn, Fe, dab S) dan

vitamin (vitamin A dan E) rendah, dimana kesemuanya merupakan senyawa anti

nutrisi sehingga harus diolah terlebih dahlu sebelum diberikan kepada ternak non

ruminansia (Wijana, 2008)

2.2 Lignoselulosa Sebagai Faktor Pembatas Penggunaan Limbah Dan Gulma

Tanaman Pangan

Pemanfaatan sumber daya asal limbah dalam pengembangan usaha

pertanian terintegrasi baik limbah pertanian sebagai pakan ternak, maupun limbah

peternakan sebagai pupuk organik, biourine, biogas maupun biofestisida

merupakan kunci keberhasilan program usaha pertanian terintegrasi. Pemanfaatan

berbagai jenis limbah akan mengurangi biaya operasional usaha/produksi,

mengurangi resiko terjadinya pencemaran lingkungan (Hegarty, 2001) serta

meningkatkan penghasilan/laba usaha tani.

Namun pemanfaatan limbah baik limbah pertanian sebagai pakan ternak,

maupun limbah peternakan (feses dan urine) sebagai pupuk organik, biourine,

biofestisida maupun biogas sering menghadapi kendala terkait terutama dalam

proses degradasi bahan asal limbah tersebut. Tingginya kandungan serat kasar

terutama senyawa lignoselulosa merupakan faktor pembatas utama pemanfaatan

sumber daya alam asal limbah tersebut sebagai produk yang bermanfaat (Bidura,

2007). Dibawah disajikan kandungan lignoselulosa dari beberapa bahan asal

limbah.

Tabel 2.1 Kandungan senyawa lignoselulosa beberapa sumber daya alam

No Bahan Limbah1 Komposisi Lignoselulosa (%)

Selulosa Hemiselulosa Lignin

1 Jerami Padi 32,1 24 18

2 Jerami gandum 30 50 15

3 Tongkol jagung 45 35 15

4 Kulit Kacang Tanah 25-30 25-30 30-40

5 Biji Kapas 80-95 5-20 0

6 Baggas Tebu 33,4 30 18,9

7 Limbah kertas 60-70 10-20 5-10

8 Rumput-Rumputan 25-40 25-50 10-30

9 Dedaunan 15-20 80-85 0

10 Feses Sapi 15 - 20 20-25 5-10

Sumber: 1)Howard et al., 2003,

Lignoselulosa merupakan komponen utama tanaman (komponen dinding

sel) yang menggambarkan jumlah sumber bahan organik yang dapat diperbaharui.

Lignoselulosa terdiri dari polimer selulosa, hemiselulosa, lignin dan beberapa

bahan ekstraktif lain yang berikatan secara kompak dan menjadi pembangun

dinding sel tanaman. Susunan dinding sel tanaman terdiri dari lamela tengah (M),

dinding primer (P) serta dinding sekunder (S) yang terbentuk selama pertumbuhan

dan pendewasaan sel yang terdiri dari lamela transisi (S1), dinding sekunder utama

(S2) dan dinding sekunder bagian dalam (S3) (Gambar 2.1).

Gambar 2.1. Konfigurasi dinding sel tanaman (Perez et al., 2002)

Dinding primer mempunyai ketebalam 0.1-0.2µm dan mengandung

jaringan mikrofibril selulosa yang mengelilingi dinding sekunder yang relatif lebih

tebal (Chahal dan Chahal 1998). Selulosa pada setiap lapisan dinding sekunder

terbentuk sebagai lembaran tipis yang tersusun oleh rantai panjang residu ß-D-

glukopiranosa yang berikatan melalui ikatan ß-1,4 glukosida yang disebut serat

dasar (elementary fiber). Sejumlah serat dasar jika terjalin secara lateral akan

membentuk mikrofibril. Mikrofibril mempunyai struktur dan orientasi yang

berbeda pada setiap lapisan dinding sel (Perez et al. 2002). Lapisan dinding

sekunder terluar (S1) mempunyai struktur serat menyilang, lapisan S2 mempunyai

mikrofibril yang paralel terhadap poros lumen dan lapisan S3 mempunyai

mikrofibril yang berbentuk heliks. Mikrofibril dikelilingi oleh hemiselulosa dan

lignin. Bagian antara dua dinding sel disebut lamela tengan (M) dan diisi dengan

hemiselulosa dan lignin. Hemiselulosa dihubungkan oleh ikatan kovalen dengan

lignin. Selulosa secara alami terproteksi dari degradasi dengan adanya

hemiselulosa dan lignin.

Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman dan di

alam hampir tidak pernah dijumpai dalam keadaan murni, tetapi berikatan dengan

senyawa/komponen lain yaitu lignin dan hemiselulosa membentuk senyawa

lignoselulosa (Howard, 2003). Dinding sel tanaman muda terdiri dari selulosa,

hemiselulosa dan pektin. Seiring dengan perkembangan dan umur tanaman, lignin

menjadi bagian dari dinding sel (Perez, 2002). Lignin secara fisik dan kimia

merupakan penyebab utama ketidakmampuan ternak mendegradasi bahan pakan.

Secara kimia, lignin berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa membentuk ikatan

kovalen yang kompak dan kuat (Gambar 2.2), sedangkan secara fisik, lignin

bertindak sebagai penghalang proses perombakan dinding sel oleh mikroba rumen.

Struktur berkristal serta adanya lignin dan hemiselulosa disekeliling selulosa

merupakan hambatan utama dalam menghidrolisis selulosa. Kristalisasi selulosa

dan pengerasan fibril selulosa oleh lignin membentuk suatu senyawa lignoselulosa

yang keras (Gambar 2.3).

Gambar 2.2. Hubungan antara lignin, selulosa dan hemiselulosa pada

senyawa lignoselulosa

Gambar 2.3. Tipe ikatan antara lignin dan polisakarida.

A= Bensil ester, B=Bensil ether, C=Fenil Glikosida

Efisiensi pemanfaatan selulosa sebagai sumber energi bagi ruminansia

sangat tergantung pada kemampuan ternak untuk memutus ikatan yang

memproteksi selulosa dari serangan enzim selulase. Selulosa dan hemiselulosa pada

lignoselulosa tidak dapat dihidrolisis oleh enzim selulase dan hemiselulase kecuali

lignin yang ada pada bahan pakan limbah tersebut dilarutkan, dihilangkan atau

dikembangkan terlebih dahulu (Perez, 2002).

2.2.1 Selulosa sebagai faktor pembatas penggunaan limbah

Selulosa adalah zat penyusun tanaman yang terdapat pada struktur sel.

Kadar selulosa dan hemiselulosa pada tanaman pakan yang muda mencapai 40%

dari bahan kering. Bila hijauan makin tua proporsi selulosa dan hemiselulosa makin

bertambah (Tillman et al., 1998). Sellulosa merupakan suatu polisakarida yang

mempunyai formula umum seperti pati (C6H1005)n. Sebagain besar sellulosa

terdapat pada dinding sel dan bagian-bagian berkayu dari tumbuhan-tumbuhan.

Selulosa tidak dapat dicerna oleh hewan non-ruminansia kecuali non-

ruminansia herbivora yang mempunyai mikroba pencerna sellulosa dalam

sekumnya. Hewan ruminansia rnempunyai mikroba pencerna sellulosa didalam

rumenretikulumnya sehingga sellulosa dapat dimanfaatkan dengan baik

(Anggorodi, 1994). Komponen utama dari serat kasar yang merupakan penyusun

dinding sel tanaman terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin (Church dan

Pond, 1988). Selulosa merupakan substansi yang tidak larut dalam air yang terdapat

di dalam dinding sel tanaman terutama dari bagian batang, tangkai dan semua

bagian yang mengandung kayu. Selulosa merupakan homopolisakarida yang

mempunyai molekul berbentuk linear, tidak bercabang dan tersusun atas 10.000

sampai 15.000 unit glukosa yang dihubungkan dengan ikatan â-1,4 glikosidik

(Nelson dan Michael, 2000). Polisakarida (selulosa maupun hemiselulosa) agar

dapat digunakan sebagai sumber energi harus dirombak terlebih dahulu menjadi

senyawa sederhana. Selulosa sebagai fraksi serat kasar akan didegradasi oleh

bakteri selulolitik selama proses fermentasi menjadi monomernya yang dapat

digunakan sebagai sumber energi. Waktu yang diperlukan mikrobia beradaptasi

dengan substrat memperlihatkan kecenderungan dengan urutan selulosa lebih

rendah dan hemiselulosa (Prayitno, 1997).

Smith dan Aidoo (1988), menyatakan bahwa selulosa terdapat hampir di

semua material berkayu. Kandungan selulosa dalam bahan berkayu ini dapat

mencapai 30-45% bahkan dapat mencapai 70-90% pada kapas. Kandungan selulosa

tersebut bervariasi tergantung dari jenis dan bagian tanaman tersebut. Selulosa dan

hemiselulosa juga merupakan penyusun jaringan tumbuhan yang tersusun dari gula

yang berbeda. Selulosa adalah polimer liner yang tersusun dari D-glukosa yang

diikat oleh β-1,4 glikosida membentuk celobiosa (Sanchez, 2009). Senyawa ini

didegradasi oleh enzim mikroba menjadi oligosakarida kemudian menjadi glukosa.

Pemecahan selulosa merupakan pemecahan polimer anhidrosa menjadi molekul-

molekul yang lebih kecil. Melalui hidrolisis tersebut dihasilkan oligosakarida,

trisakarida dan disakarida seperti selotriosa, selobiosa serta monomer-monomer

glukosa atau pemecahan lainnya (alkohol, aldiehid, asam-asam dan keton) dan pada

akhirnya menghasilkan CO2 dan air (Hardjo et al, 1989).

2.2.2 Hemiselulosa sebagai faktor pembatas penggunaan limbah

Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan berat

molekul rendah. Komposisi hemiselulosa 15-30% dari berat kering bahan

lignoselulosa (Perez et al., 2002). Hemiselulosa relatif lebih mudah dihidrolisis

dengan asam menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa, galaktosa,

xilosa dan arabinosa (Gambar 2.4). Hemiselulosa mengikat lembaran serat selulosa

membentuk mikrofibril yang meningkatkan stabilitas dinding sel. Hemiselulosa

juga berikatan silang dengan lignin membentuk jaringan kompleks dan memberikan

struktur yang kuat.

Gambar 2.4. Bangun molekul hemiselulosa

Morrison (1986) mendapatkan bahwa hemiselulosa lebih erat terikat dengan

lignin dibandingkan dengan selulosa, sehingga selulosa lebih mudah dicerna

dibandingkan dengan hemiselulosa. Jung (1989) melaporkan bahwa perubahan

kecernaan selulosa dan hemiselulosa diakibatkan oleh keberadaan lignin yang

berubah-ubah. Dikatakan pula bahwa kandungan lignin pada rumput lebih tinggi

dibandingkan dengan legum.

Hemiselulosa rantainya pendek dibandingkan selulosa dan merupakan

polimer campuran dari berbagal senyawa gula, seperti xilosa, arabinosa, dan

galaktosa. Selulosa alami umumnya kuat dan tidak mudah dihidrolisis karena rantai

glukosanya dilapisi oleh hemiselulosa dan di dalam jaringan kayu selulosa

terbenam dalam lignin membentuk bahan yang kita kenal sebagai lignoselulosa.

2.2.3 Lignin sebagai faktor pembatas penggunaan limbah

Lignin adalah salah satu komponen penyusun tanaman yang bersama

dengan sellulosa dan bahan-bahan serat Iainnya membentuk bagian struktural dan

sel tumbuhan. Pada batang tanaman, lignin berfungsi sebagai bahan pengikat

komponen penyusun Iainnya, sehingga suatu pohon bisa berdiri tegak. Kalau

dianologikan dengan bangunan, lignin dan serat-serat tanaman itu mirip seperti

beton dengan batang-batang besi penguat di dalamnya, yang memegang serat serat

yang berfungsi seperti batang besi, sehingga membentuk struktur yang kuat.

Berbeda dengan sellulosa yang terutama terbentuk dari gugus karbohidrat, lignin

terbentuk dan gugus aromatik yang saling dihubungkan dengan rantai alifatik, yang

terdiri dari 2-3 karbon. Pada proses pirolisa lignin, dihasilkan senyawa kimia

aromatis yang berupa fenol, terutama kresol (Young, 1986).

Lignin merupakan polimer dengan struktur aromatik yang terbentuk melalui

unit-unit penilpropan yang berhubungan secara bersama oleh beberapa jenis ikatan

yang berbeda (Perez et al. 2002). Lignin sulit didegradasi karena strukturnya yang

kompleks dan heterogen yang berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam

jaringan tanaman. Lebih dari 30 persen tanaman tersusun atas lignin yang

memberikan bentuk yang kokoh dan memberikan proteksi terhadap serangga dan

patogen. Disamping memberikan bentuk yang kokoh terhadap tanaman, lignin juga

membentuk ikatan yang kuat dengan polisakarida yang melindungi polisakarida

dari degradasi mikroba dan membentuk struktur lignoselulosa. Lignin terutama

terkonsentrasi pada lamela tengah dan lapisan S2 dinding sel yang terbentuk selama

proses lignifikasi jaringan tanaman. Lignin tidak hanya mengeraskan mikrofibril

selulosa, juga berikatan secara fisik dan kimia dengan hemiselulosa. Lignin yang

melindungi selulosa bersifat tahan terhadap hidrolisis karena adanya ikatan arilalkil

dan ikatan eter (Gambar 2.6).

Para Kumaril Alkohol Koniferil Alkohol Sinapil Alkohol Model Kerangka C

Gambar 2.5 Satuan penyusun lignin (Steffen, 2003)

Gambar 2.6. Bangun struktur lignin

Pembentukan lignin terjadi secara intensif setelah proses penebalan dinding

sel terhenti. Pembentukan dimulai dari dinding primer dan dilanjutkan ke dinding

sekunder. Faktor lignin dalam membatasi fermeabilitas dinding sel tanaman dapat

dibedakan menjadi efek kimia dan efek fisik. Efek kimia, yaitu hubungan lignin-

karbohidrat dan asetilisasi hemiselulosa. Lignin secara fisik membungkus

mikrofibril dalam suatu matriks hidrofobik dan terikat secara kovalen dengan

hemiselulosa. Hubungan antara lignin karbohidrat tersebut berperan dalam

mencegah hidrolisis polimer selulosa. Kadar lignin akan bertambah dengan

bertambahnya umur tanaman. Tanaman pakan mengandung selulosa 20-30%,

hemisellulosa 14-20% dan pektin kurang dari 10% serta lignin 2-12% (Young,

1986).

2.3 Degradasi Senyawa Ligoselulosa

Lignoselulosa merupakan senyawa yang terdiri dari selulosa, hemiselosa

dan lignin. Degradasi lignoselulosa secara sempurna dapat menyediakan nutrien

yang optimal untuk ternak (Perez et al ,2002). Degradasi lignoselulosa terdiri dari

degradasi senyawa selulosa, degradasi senyawa hemiselulosa, degradasi senyawa

lignin.

2.3.1 Degradasi senyawa selulosa

Degradasi selulosa merupakan proses pemecahan polimer hidroglukosa

menjadi molekul yang lebih sederhana. Proses ini menghasilkan oligo, tri atau

disakarida seperti selobiosa, selotriosa, monomer glukosa, CO2 dan H2O. Degradasi

selulosa dapat dilakukan secara biologis (aktivitas enzim mikroba), fisik maupun

kemis (Tillman, 1987). Sejumlah mikroba mampu menghidrolisis selulosa sampai

taraf tertentu (Mudita et al.,2014).

Selolusa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman, dibangun

oleh unit-unit D-glukosa dengan ikatan 1,4. Ikatan-ikatan ini membentuk

mikrofibril selulosa yang tidak larut dalam air. Bagian selulosa yang mudah

dihidrolisis disebut bagian amorf selulosa. Selulosa merupakan subtansi yang

utama dalam proses enzimatis Kecepatan degradasi enzimatis juga dipengaruhi

oleh struktur selulosa. Degradasi selulosa berlangsung melalui hidrolisis rantai

polisakarida menjadi molekul sederhana, yang menghasilkan oligosakarida maupun

monomer glukosa atau produk degradasi sepe rti asam - asam organik maupun

alkohol (Fadilah, 2012).

Selulosa alami merupakan kristalin dan mempunyai struktur yang

kompleks. molekul selulosa dibangun dari unit-unit β glukosa. Dua molekul β -

glukosa dikombinasikan melalui pertalian 1.4 yang menghasilkan β-cellobiose.

Molekul selulosa merupakan polimer linier sederhana dari 1000 -10.000 unit

sellobiose yang berikatan melalui ikatan 1,4-β glukosidik (Nurmayani, 2007)

Aktivitas mikrobia selulolitik dalam mendegradasi selulosa dilakukan

secara ekstraseluler melalui dua sistem, yaitu: 1) Sistem hidrolitik, melalui produksi

enzim hidrolase yang merombak selulosa dan hemiselulosa, dan 2) Sistem oksidatif

dan sekresi lignase ekstraseluler melalui depolimerisasi lignin (Peres et al., 2002).

Lynd et al (2002) dan Beauchemin et al. (2003) disitasi oleh Mudita et al,(2014)

menyebutkan perombakan secara enzimatis berlangsung karena adanya kompleks

enzim selulase yang bersifat spesifik untuk menghidrolisis ikatan β -1,4-glikosidik,

rantai selulosa dan derivatnya melalui beberapa tahapan. Tahap pertama adalah

menguraikan polimer selulosa secara random oleh enzim

carboxymethilcelulase/CMC-ase atau endo β-1,4 glukanase dengan cara memecah

ikatan hidrogen yang ada di dalam struktur kristalin selulosa (ikatan internal α-1,4-

glukosida) sehingga terbentuk rantai-rantai individu selulosa (oligodekstrin). Tahap

kedua adalah penguraian selulosa dari ujung pereduksi dan non pereduksi oleh

eksoglukanase (selodektrinase dan selobiohydrolase) melalui pemotongan ujung-

ujung rantai individu selulosa (ujung pereduksi dan non-pereduksi) sehingga

menghasilkan disakarida dan tetrasakarida (misal selobiosa). Tahap ketiga

(terakhir) adalah tahap penguraian selobiosa menjadi glukosa oleh enzim β-

glukosidase/glukohydrolase..

Reaksi degradasi selulosa menurunkan kadar karbon dan sebaliknya sintesa

komponen-komponen sel akan meningkatkan kadar karbon (Djuarnani, 2004).

Selulosa sebagai senyawa paling banyak di bumi tersusun atas 8 000 - 12 000 unit

glukosa yang dihubungkan oleh ikatan 1,4-β-glukosida. Ikatan l,4-β- glukosida

pada serat selulosa dapat dipecah menjadi monomer glukosa oleh

selulase (Fikrinda, 2000)

Gambar 2.7 Struktur kimia selulosa (Taylor, 1978)

Gambar 2.8 Mekanisme degradari selulosa oleh enzim selulase

Proses perombakan secara enzimatis terjadi dengan adanya enzim selulase

sebagai agen perombak yang bersi fat spesifik untuk menghidrolisis ikatan 1,4-β-

glukosidik dan rantai selulosa dan derivatnya. Kompleks enzim selulase umumnya

terdiri dari tiga unit enzim utama yaitu Endo β-(1,4)-glucanase (cx) yang berperan

terutama pada bagian amorf pada rantai selulosa, membelah selulosa dan

menghasilkan sedikit oligosakarida dengan ujung rantaiyang bebas, Ekso β-(1,4)-

glucanase (cl) atau cellobiosehydrolase yang ber peran pada pemecahan dibagian

kristal rantai selulosa,membelah sellobiose dari ujung rantai yang tidak tereduksi

dan β-glukosidase merupakan unit enzim yang penting untuk menghasilkan produk

glukosa dari pemecahan selobiosa (Nurmayani, 2007)

2.3.2 Degradasi senyawa hemiselulosa

Degradasi hemiselulosa merupakan hasil dari aktivitas komplek enzim

hemiselulase terdiri dari endo-β-1,4-xylanase, ekso-β-1,4-xylosidase, endo-

arabinase, α-L-arabinofuranosidase, endo- β-1,4-mananase, dan ekso- β-1,4-

mannosidase. Komponen utama dari hemiselulosa adalah xilan dan mannan.

Degradasi sempurna dari xilan membutuhkan enzim-enzim yang bekerja secara

sinergis, seperti endo-1,4-β-xilanase, 1,4-β-xilosidase, α-glukuronidase, α-L-

arabinofuranosidase, asetil, furoloil, p-kumaril-esterase dan asetil-esterase

(Coughlan and Hazlewood, 1993; Olempska-Beer, 2004). Enzim endo-1,4-β-

xilanase bertugas menghidrolisis ikatan β-1,4 dalam rantai silan menghasilkan

silooligomer pendek yang selanjutnya akan dihidrolisis menjadi unit silosa tunggal

oleh β-silosidase. Enzim α-D-glukorosidase menghidrolisis ikatan α-1,2-glikosidik

dari asam 4-O-metil-D-glukoronik rantai samping silan. Asetil esterase

menghidrolisis substitusi asetil pada silosa dan feruloil esterase yang

menghidrolisis ikatan ester antara substitusi arabinosa dan asam ferulik. Feruloil

esterase dapat melepaskan hemiselulosa dari lignin dan sehingga lebih mudah

didegradasi oleh hemiselulase lain. Sedangkan degradasi sempurna dari mannan

membutuhkan adanya kompleks enzim mananase yang terdiri dari; endo-β-D-

mananase, ekso-β-D-mananase, α-D-manosidase, dan D-glukosidase (Howard,

2003). β-D-mananase menghidrolisis bagian tengah rantai manan, galaktomanan

dan glukomanan, sedangkan β-D-glukosidase menghidrolisisi rantai sampingnya.

Aktivitas hidrolisis dari kompleks enzim tergantung pada tipe enzim dan struktur

manan sebagai substrat.

Hemiselulase dihasilkan oleh berbagai mikrobia seperti Trichoderma,

Aspergillus, Bacillus sp, Aeromonascaviae, Neurospora sitophila, Cryptococcus,

Penicillium, Aureobasidium, Fusarium, Chaetomium, Phanerochaete, Rhizomucor,

Humicola, Talaromyces, Clostridium sp, dan lain-lain yang dapat diisolasi dari

berbagai sumber seperti sel tubuh hewan (seperti rayang, keong, siput), rumen,

maupun sampah/limbah organik (Ohara et al., 1998; Chandel et al., 2007). Hasil

penelitian Lee et al. (1985) menunjukkan Clostridium acetobutylicum strain ATCC

824 menghasilkan xylanase, xilopiranosidase, dan arabinofuranosidase,

sedangkan strain NRRL B527 menghasilkan xilanase terbanyak. Bacillus sp dan B.

pumilus PU 4-2 yang diisolasi dari perut rayap C. formosanus dan usus rayap

Termitidae dapat menghasilkan enzim silanase. Hasil penelitian Purwadaria et al.

(2004) menunjukkan B. pumilus PU 4-2 menghasilkan xilanase dengan aktivitas 3,0

U/ml dengan masa inkubasi optimum 36 jam dan aktivitas spesifik 67,5 U/mg.

Beberapa jenis bakteri rumen, kolon dan caecum ruminansia (F.

succinogenes, B. fibrisolvens, R. Albus) dan fungi rumen mampu menghasilkan

enzim silanase. Akin dan Borneman (1990) menyebutkan jamur rumen mampu

menghasilkan enzim silanase lebih tinggi daripada jamur anaerob lainnya, namun

produksi silanase tersebut dipengaruhi oleh keberadaan gula, jika terdapat gula

maka produksi silanase akan terhambat. Beberapa jenis jamur seperti Trichoderma

reesei dan Penicillium chrysoporium menghasilkan β-xylosidase yang mempunyai

ukuran lebih besar namun kurang populer dibandingkan endosilanase lainnya.

Endosilanase dan endoglukanase dari jamur rumen Neocllimastix frontalis

mempunyai aktivitas lebih tinggi dibandingkan endosilanase dan endoglukanase

dari jamur anaerobik lainnya. Peres et al. (2002) juga mengungkapkan silanase

bakteri pada umumnya lebih stabil pada pengaruh temperatur dari pada jamur.

Enzim silanase termofilik dapat dihasilkan oleh kelompok bakteri Actinomycetes

dan Thermonospora. Enzim silanase Actinobacteria bekerja aktif pada kisaran pH

6,0 – 7,0, sedangkan silanase jamur bekerja optimal pada pH 4,5 – 5,5. Jamur lain

juga mampu menghasilkan silanase. Aspergillus niger yang ditumbuhkan pada

media 50% dedak padi mampu menghasilkan enzim xylanase ekstraseluler

(Riyanto et al., 2000). Penicillium oxalicum juga dapat menghasilkan silanase yang

mampu aktif pada suhu tinggi dan pH basa (Muthezilan et al., 2007).

2.3.3 Degradasi senyawa lignin

Ikatan lignin pada pinsipnya tidak berikatan linear tetapi merupakan

senyawa kompleks. Lignin merupakan senyawa polimer yang sulit didegradasi dan

hanya sedikit mikroorganisme yang mampu mendegradasi lignin secara efektif.

Degradasi lignin membutuhkan enzim ekstraseluler yang tidak spesifik karena

lignin mempunyai struktur acak dengan berat molekul tinggi. Degradasi lignin dari

komplek lignoselulolitik merupakan respon dari aktivitas tiga (3) kelompok utama

enzim ekstraseluler yaitu lignin-peroksidase/Li-P, mangan-peroksidase/Mn-P, dan

lakase/Lac (Perez et al., 2002).

Lignin Peroksidase (EC 1.11.1.14, Li-P, Ligninase) merupakan enzim

lignolitik pertama yang berhasil ditemukan (Hammel, 1997) yang diisolasi dari

beberapa kapang pelapuk putih (white rot fungus) dari kelas Basidiomycetes,

seperti P. chrysosporium, Phlebia radiata, T. versicolor. Enzim Li-P bertugas

mengkatalisis oksidasi sebuah elektron dari cincin aromatik lignin dan akhirnya

membentuk kation-kation radikal. Senyawa radikal ini secara spontan atau bertahap

melepaskan ikatan antar molekul dan beberapa diantaranya melepaskan inti pada

cincin aromatik (Perez, 2002). Oksidasi substruktur lignin yang dikatalisis oleh Li-

P dimulai dengan pemisahan satu elektron cincin aromatik substrat donor dan

menghasilkan radikal kation aril yang kemudian mengalami berbagai reaksi

postenzymatic. Li-P memotong ikatan Cα-Cβ molekul lignin. Pemotongan ikatan

pada Cα-Cβ merupakan jalur utama perombakan lignin (Hammel, 1997).

Disamping itu, Li-P juga merupakan oksidan yang kuat yang mempunyai

kemampuan mengoksidasi senyawa fenolik, amina, eter aromatik, dan senyawa

aromatik polisiklik. Li-P adalah enzim peroksidase ekstraseluler yang mengandung

heme yang aktivitasnya bergantung pada H2O2, yang mempunyai potensial redoks

yang sangat besar dan pH optimum yang rendah (Gold dan Alic, 1993).

Enzim Mangan-Peroksidase/Mn-P (EC. 1.11.1.13, Mn-P) ditemukan tidak

lama setelah ditemukannya Li-P dari Phanerochaete chrysosporium oleh Kuwahara

Tahun 1984 (Suparjo, 2008). Enzim Mn-P merupakan heme peroksidase

ekstraseluler yang membutuhkan Mn2+ sebagai substrat pereduksinya (Steffen,

2003). Enzim Mn-P mengoksidasi Mn2+ menjadi Mn3+ dan H2O2 sebagai katalis

untuk menghasilkan gugus peroksida (Camarero et al., 1994). Mn3+ yang dihasilkan

dapat berdifusi ke dalam substrat dan mengaktifkan proses oksidasi. Hal ini

didukung pula oleh aktivitas kation radikal dari veratril alkohol dan enzim

penghasil H2O2. Proses ini diakhiri dengan bergabungnya O2 ke dalam struktur

lignin (De Jong et al., 1994). Radikal fenoksil yang dihasilkan lebih lanjut bereaksi

yang akhirnya melepaskan CO2 (Suparjo, 2008).

Enzim Lakase/Lac berperanan mengoksidasi gugus fenol menjadi kuinon

(Arora dan Sandhu, 1985). Ishihara (1980) menyatakan lakase adalah enzim

pengoksidasi melalui proses demitilasi yang mengubah gugus metoksi menjadi

methanol. Disamping itu terdapat kelompok enzim fenoloksidase (lakase dan

tirosinase) yang mengoksidasi gugus δ dan p-fenol serta gugus amina menjadi

kuinon dan memberi perubahan warna terhadap substansi fenolik 1-naftol dan p-

kresol (Crawford, 1981). Perez et al., 2002 menyatakan laccase mereduksi O2

menjadi H2O dalam substrat fenolik melalui reaksi satu elektron membentuk radikal

bebas. Dengan adanya elektron seperti ABTS (2.2-azinobis/3-ethylbenzthiozoline-

6-sulphonate) atau HBT (Hydroxybenzotriazole), laccase mampu mengoksidasi

senyawa nonfenolik tertentu dan veratryl alkohol. Berat molekul laccase

basidiomycetes bervariasi antara 50 – 70 kDA (Suparjo, 2008).

Lignin merupakan senyawa aromatik yang sulit didegradasi, hanya sedikit

organisme yang telah diketahui mampu mendegradasi lignin secara baik. Mikrobia

eukariotik seperti jamur di alam merupakan perombak lignin paling efisien dan

berperanan penting dalam siklus karbon. Beberapa mikrobia prokariotik seperti

bakteri mempunyai kemampuan mendegradasi lignin. Bakteri dari genus

Aeromonas, Bacillus, Flavobacterium, Pseudomonas maupun Streptomyces

memiliki kemampuan enzimatis dalam menggunakan senyawa aromatik cincin

(aromatic ring) dan rantai samping yang ada pada lignin (Hernandes et al., 1994).

Disamping itu bakteri berperanan dalam perombakan lebih lanjut senyawa

intermediet hasil degradasi jamur (Ruttiman et al., 1991). Marti ni et al. (2003)

mengungkapkan bakteri dari genus Micrococcus (isolat SPH-9) dan Bacillus (isolat

SPH-10) yang diisolasi dari sampah domestik mampu mendegradasi lignin (lindi

hitam) masing-masing sebesar 75% dan 78%. Prihantini et al. (2011)

mengungkapkan isolat bakteri TLiD dan BOpR mampu mendegradasi lignin dan

organochlorin (lignolitik) jerami padi sampai 100% pada fermentasi hari ke-7.

2.4 Cacing Tanah Sebagai Sumber Inokulan Pendegradasi Lignoselulosa

Cacing Tanah adalah hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai

tulang belakang (invertebrata) dan digolongkan kedalam filum Annelida karena

seluruh tubuhnya tersusun atas beberapa segmen (ruas) yang berbentuk seperti

cincin (Khairuman & Khairul, 2009). Cacing tanah mengandung yaitu lemak,

kalsium, fosfor, serat kasar dan kandungan protein yang ada di tubuhnya sangat

tinggi dan banyak, setidaknya terdiri atas 9 macam asam amino esensial yaitu

arginin, fenilalanin, histidin, isoleusin, leusin, lisin, methionin, threonin, valin dan

4 macam asam amino nonesensial yang terdiri dari sistin, glisin, serin, tirosin.

Banyaknya asam amino esensial yang terkandung memberikan indikasi bahwa

cacing tanah juga mengandung berbagai jenis enzim yang sangat berguna

(Palungkun, 2010).

Fuji et al. (2012) menambahkan bahwa bakteri selulolitik yang dominan

pada cacing tanah Amynthun heteropoda dan Eisenia fetida adalah Burkholderia

spp, Enterobacter Herbaspiririllum dan Pseidomonas, sedangkan fungi selulolitik

yang dominan adalah Penicillium, Fusarium dan Staphylotrichum. Owa et al.

(2013) juga melaporkan bahwa saluran pencernaan cacing tanah Libyodrilus

violaceus berhasil diisolasi bakteri Acinobacter sp., Alcaligans faecalis, Bacillus

sp., B. brevis, B.cereus, B lalerosporus, B. lichenoform, Corynebacterium sp., E.

cloacae, Erwinia salicie, Flavobacterium sp., F, aquartile, Kiebsiella sp.,

Micrococcus inteus, M. varians, Proteus rennvi, P. vulgaris, dan Pseudomonas sp.

Peranan inokulan dalam upaya menurunkan kandungan serat kasar dan

senyawa anti nutrisi pada bahan pakan penyususn ransum komplit, pemanfaatan

teknologi biofermentasi merupakan salah satu strategi yang dapat dilakukan

(Suharto,2004). Fermentasi merupakan proses perubahan kimia pada substrat

sebagai hasil mikroorganisme dengan menghasilkan produk tertentu. Selama proses

fermentasi terjadi perubahan pH, kelembaban, aroma dan perubahan kompisisi zat

makanan seperti protein, lemak, serat kasar, karbohidrat, vitamin dan mineral

(Bidura, 2007). Terjadinya fermentasi tergantung pada jenis substrat, mikroba yang

bekerja dalam proses fermentasi dan kondisi lingkungan yang mempengaruhi

pertumbuhan dan metabolisme mikroba yang bersangkutan. Mikroba yang

berperan dalam proses fermentasi umumnya dari kapang, khamir dan bakteri

(Wardani, 2014).

Pemanfaatan cacing tanah dalam produksi inokulan telah menunjukkan

bahwa penggunaan 0,1–0,4% cacing tanah (Lubricus rubellus) mampu

menghasilkan inokulan dengan kandungan nutrien dan populasi mikroba yang

cukup tinggi (Putra, 2015). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bioinokulan yang

diproduksi dengan memanfaatkan cacing tanah dengan level 1-4% mampu

menghasilkan bioinokulan dengan kandungan Fosfor/P, Kalsium/Ca, Zinc/Zn,

Belerang/S, dan Protein terlarut yang berbeda tidak nyata (P>0,05) yaitu masing-

masing sebesar 132,21 – 151,29 mg/l, 1155,83 – 1281 mg/l, 7,29 – 7,76 mg/l,

227,33 – 236,00 mg/l, 4,03 – 4,39% dan 0,77 – 0,84% (Tabel 2.2)

Tabel 2.2 Kandungan nutrien bioinokulan konsorsium mikroba cacing tanah

Bioinokulan1

Kandungan Nutrien Bioinokulan

P Ca Zn S Protein

terlarut

mg/l mg/l mg/l mg/l %

BC 1 132,21a2 1275,00a 7,29a 227,33a 4,03a

BC 2 149,95ab 1281,25a 7,51a 232,67a 4,34a

BC 3 151,29b 1242,50a 7,76a 232,67a 4,39a

BC 4 132,47ab 1155,83a 7,57a 236,00a 4,17a

SEM3 4,60 96,97 0,22 6,30 0,14

Sumber : Putra, 2015

Keterangan: Hasil analisis Lab. Analitik UNUD

1) Perlakuan yang diberikan

BC1 = Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,1 mg/l

BC2 = Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,2 mg/l

BC3 =Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,3 mg/l

BC4 = Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,4 mg/l

2) Hurup yang sama pada kolom sama, berbeda tidak nyata (P>0,05)

3) SEM = Standard Error of The Treatment Means

Dihasilkannya kandungan mineral seperti Ca, P, S dan Zn yang tinggi serta

protein terlarut yang juga tinggi dari keempat bioinokulan (Tabel 2.2), selain

disebabkan oleh bahan penyusun medium juga merupakan sumbangan dari mikroba

inokulan. Hal ini mengingat sel tubuh mikroba tersusun atas berbagai protein/asam

amino terutama asam amino mengandung sulfur (metionin, sistein dan sistin) serta

berbagai mineral pembangun tubuh (Ca, P, dan S) serta mineral fungsional seperti

Zn sehingga kandungan nutrien bioinokulan menjadi tinggi.

Tabel 2.3 Populasi mikroba dan derajat keasaman bioinokulan konsorsium

mikroba cacing tanah

PERLAKUAN /

JENIS

BIOINOKULAN

POPULASI MIKROBA

pH Total

bakteri

Bakteri

Selulolitik

Bakteri

Amilolitik

Bakteri

Proteolitik

Total

Fungi

x109sel/ml x108sel/ml x108sel/ml x108sel/ml x104sel/ml

BC 1 7,77a 1,18a 6,60a 4,03a 2,92a 3,81a

BC 2 8,85a 1,35a 6,87a 4,67a 2,99a 3,64a

BC 3 8,88a 1,73a 7,37a 4,83a 3,23a 3,53a

BC 4 9,40a 1,76a 6,73a 4,97a 3,52a 3,64a

SEM 0,66 0,17 0,92 1,29 0,61 00,09

Sumber : Putra, 2015

Keterangan: Hasil analisis Lab. Nutrisi dan Makanan ternak Fakultas Peternakan

UNUD

1) Perlakuan yang diberikan (Jenis Bioinokulan yang diproduksi)

BC1 = Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,1 mg/l

BC2 = Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,2 mg/l

BC3 =Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,3 mg/l

BC4 = Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,4 mg/l

2) Hurup yang sama pada kolom sama, berbeda tidak nyata (P>0,05)

3) SEM = Standard Error of The Treatment Means

Pemanfaatan cacing tanah sebagai sumber konsorsium mikroba mampu

menghasilkan bioinokulan dengan populasi mikroba baik bakteri maupun fungi

yang cukup tinggi dan dengan derajat keasaman yang cukup rendah (Tabel 2.3).

Penggunaan cacing tanah sebanyak 0,1–0,4% (10 – 40 ml larutan cacing tanah 10%

dalam 1 liter bioinokulan) mampu menghasilkan bioinokulan dengan kandungan

total bakteri 7,77 – 9,40 x 109 koloni/ml, bakteri selulolitik 1,18 – 1,76 x 108

koloni/ml, bakteri amilolitik 6,60 – 7,37 x 108 koloni/ml, bakteri proteolitik 4,03 –

4,97 x 108 koloni/ml dan total fungi 2,92 – 3,52 x 108 koloni/ml serta dengan derajat

keasaman (pH) 3,53 – 3,81 (Tabel 2.3).

Berbagai hasil penelitian telah menunjukkan bahwa semakin tinggi populasi

mikroba akan meningkatkan kemampuan degradasi lignoselulosa dari inokulan

bersangkutan (Mudita et al., “Unpublished”;). Mudita et al. (2012) menunjukkan

bahwa inokulan yang diproduksi dari 2% cairan rumen dan 0,2% rayap dengan

populasi bakteri selulolitik tertinggi yaitu 6,33 – 8,00 x 109 kol/ml mempunyai

kemampuan degradasi substrat kaya selulosa yang lebih tinggi dibandingkan

dengan inokulan yang mempunyai populasi mikroba yang lebih rendah.

Tabel 2.4 Pengaruh perlakuan terhadap populasi bakteri bioinokulan

Perlakuan2

Populasi Bakteri (...x 109 koloni/ml)1

Total Bakteri

(x 109 koloni/ml)

Bakteri Selulolitik

(x 109 koloni/ml)

Bakteri Silanolitik

(x 109 koloni/ml)

BR1E1 11,96a 6,33a 4,87a

BR2E1 13,27bc 6,65a 6,01a

BR1E2 12,94ab 6,43a 5,56a

BR2E2 14,01bc 7,00a 6,39a

BR1E3 13,70bc 7,03a 6,59a

BR2E3 14,23c 8,00a 6,91a

SEM4 0,34 0,75 0,53

Sumber : Mudita et al. (2012) Keterangan:

1) Hasil Analisis Lab. Biofarmaka Fakultas Farmasi Unhas

2) Perlakuan yang diberikan, yaitu:

BR1E1 yaitu bioinokulan yang diproduksi dari 10% cairan rumen dan 0,1% rayap

BR2E1 yaitu bioinokulan yang diproduksi dari 20% cairan rumen dan 0,1% rayap

BR1E2 yaitu bioinokulan yang diproduksi dari 10% cairan rumen dan 0,2% rayap

BR2E2 yaitu bioinokulan yang diproduksi dari 20% cairan rumen dan 0,2% rayap

BR1E3 yaitu bioinokulan yang diproduksi dari 10% cairan rumen dan 0,3% rayap

BR2E3 yaitu bioinokulan yang diproduksi dari 20% cairan rumen dan 0,3% rayap

3) Notasi berbeda pada kolom sama menunjukkan nilai berbeda nyata (P<0,05)

4) SEM = Standard Error of the Treatment Mean.