BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan...

50
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori Landasan teori sangat mutlak diperlukan dalam sebuah penelitian karena didalam kerangka teori penelitian akan mempunyai dasar yang jelas untuk menganalisa dan menjelaskan kearah manakah permasalahan yang sedang diteliti. 2.1.1. Filosofis Bank Pembiayaan Rakyat Syariah 1. Pengertian Bank Syari'ah Pengertian bank menurut UU No 7 tahun 1992 adalah badan usaha yang menghimpun dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Istilah Bank dalam literatur Islam tidak dikenal. Suatu lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali ke masyarakat, dalam literature islam dikenal dengan istilah baitul mal atau baitul tamwil. Istilah lain yang digunakan untuk sebutan Bank Islam adalah Bank Syari'ah. Secara akademik istilah Islam dan syariah berbeda, namun secara teknis untuk penyebutan bank Islam dan Bank Syari'ah mempunyai pengertian yang sama. Dalam UU No. 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa Bank Umum merupakan bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syari'ah yang dalam

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan...

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

Landasan teori sangat mutlak diperlukan dalam sebuah penelitian

karena didalam kerangka teori penelitian akan mempunyai dasar yang jelas

untuk menganalisa dan menjelaskan kearah manakah permasalahan yang

sedang diteliti.

2.1.1. Filosofis Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

1. Pengertian Bank Syari'ah

Pengertian bank menurut UU No 7 tahun 1992 adalah badan

usaha yang menghimpun dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan

menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf

hidup rakyat banyak. Istilah Bank dalam literatur Islam tidak dikenal.

Suatu lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dan

menyalurkan kembali ke masyarakat, dalam literature islam dikenal

dengan istilah baitul mal atau baitul tamwil. Istilah lain yang

digunakan untuk sebutan Bank Islam adalah Bank Syari'ah. Secara

akademik istilah Islam dan syariah berbeda, namun secara teknis untuk

penyebutan bank Islam dan Bank Syari'ah mempunyai pengertian yang

sama. Dalam UU No. 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa Bank Umum

merupakan bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara

konvensional atau berdasarkan prinsip syari'ah yang dalam

2

kegiatannya memberikan jasa dalam lalu litas pembayaran. Lebih

lanjut dijelaskan bahwa prinsip syari'ah adalah aturan perjanjian

berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk

menyimpannya, pembiayaan atau kegiatan lainnya yang dinyatakan

sesuai dengan syari'ah. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, Bank

Syari’ah berarti bank yang tata cara operasionalnya didasari dengan

tatacara Islam mengacu kepada ketentuan Al-Quran dan Al-Hadis.

2. Tujuan Perbankan Syari'ah

Ada beberapa tujuan dari perbankan Islam. Diantara para

ilmuwan dan para professional Muslim berbeda pendapat mengenai

tujuan tersebut. Menurut Handbook of Islamic Banking, perbankan

Islam ialah menyediakan fasilitas keuangan dengan cara

mengupayakan instrument-instrumen keuangan (Finansial Instrumen)

yang sesuai denga ketentuan dan norma syari'ah. Menurut Handbook

of Islamic Banking, bank Islam berbeda dengan bank konvensional

dilihat dari segi partisipasinya yang aktif dalam proses pengembangan

sosial ekonomi negara-negara Islam yang dikemukakan dalam buku

itu, perbankan Islam bukan ditujukan terutama untuk memaksimalkan

keuntungannya sebagaimana halnya sistem perbankan yang berdsarkan

bunga, melainkan untuk memberikan keuntungan sosial ekonomi bagi

orang-orang muslim. Dalam buku yang berjudul Toward a Just

Monetary System, Muhammad Umar Kapra mengemukakan bahwa

3

suatu dimensi kesejahteraan sosial dapat dikenal pada suatu

pembiayaan bank. Pembiayaan bank Islam harus disediakan untuk

meningkatkan kesempatan kerja dan kesejahteraan ekonomi sesuai

dengan nilai-nilai Islam. Usaha yang sungguh-sungguh yang harus

dilakukan untuk memastikan bahwa pembiayaan yang dilakukan bank-

bank Islam tidak akan meningkatkan konsentrasi kekayaan atau

meningkatkan konsumsi meskipun sistem Islam telah memiliki

pencegahan untuk menangani masalah ini. Pembiayaan tersebut harus

dapat dinikmati oleh pengusaha sebanyak-banyaknya yang bergerak

dibidang industri pertanian dan perdagangan untuk menunjang

kesempatan kerja dan menunjang produksi dan distribusi barang-

barang dan jasa-jasa untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun

ekspor.

Para banker Muslim beranggapan bahwa peranan bank Islam

semata-mata komersial berdasarkan pada instrumen-instrumen

keuangan yang bebas bunga dan ditunjukkan untuk menghasilkan

keuangan finansial. Dengan kata lain para banker muslim tidak

beranggapan bahwa suatu bank Islam adalah suatu lembaga sosial,

dalam suatu wawancara yang dilakukan oleh Kazarian, Dr Abdul

Halim Ismail, manajer bank Islam Malaysia Berhaj, mengemukakan,

“sebagaimana bisnis muslim yang patuh, tujuan saya sebagai manajer

dari bank tersebut (Bank Malaysia Berhaj) adalah semata-mata

4

mengupayakan setinggi mungkin keuntungan tanpa menggunakan

instrumen-instrumen yang berdasarkan bunga”.

3. Ciri Bank Syari'ah

Bank Syari'ah mempunyai ciri yang berbeda dengan bank

konvensional. cirri-ciri ini bersifat Universal dan kualitatif, artinya

Bank Syari'ah beroperasi dimana harus memenuhi ciri-ciri tersebut.

a. Beban biaya yang telah disepakati pada waktu akad perjanjian

diwujudkan dalam bentuk jumlah nominal yang besarnya tidak

kaku dan dapat ditawar dalam batas yang wajar.

b. Penggunaan prosentasi dalam hal kewajiban untuk melakukan

pembayaran selalu dihindarkan. Karena prosentase bersifat melekat

pada sisa hutang meskipun hutang beda batas waktu perjanjian

telah berakhir.

c. Didalam kontrak pembiayaan proyek bank tidak menetapkan

perhitungan berdasarkan keuntungan yang pasti (Fiset Return)

yang ditetapkan dimuka. Bank Syari'ah menerapkan system

berdasarkan atas modal untuk jenis kontarak al mudharabah dan al

musyarakah dengan system bagi hasil (Profit and losery) yang

tergantung pada besarnya keuntungan. Sedangkan penetapan

keuntungan dimuka ditetapkan pada kontrak jual beli melalui

pembiayaan pemilikan barang (al murabahah dan al bai’u

5

bithaman ajil, sewa guna usaha (al ijarah), serta kemungkinan rugi

dari kontrak tersebut amat sedikit.

d. Pengarahan dana masyarakat dalam bentuk deposito atau tabungan

oleh penyimpan dianggap sebagai titipan (al-wadi’ah) sedangkan

bagi bank dianggap sebagai titipan yang diamanatkan sebagai

pernyataan dana pada proyek yang dibiayai oleh bank sesuai

dengan prinsip-prinsip syari'ah hingga kepada penyimpan tidak

dijanjikan imbalan yang pasti (fixed return). Bentuk yang lain yaitu

giro dianggap sebagai titipan murni (al-wadiah) karena sewaktu-

waktu dapat ditarik kembali dan dapat dikenai biaya penitipan.

e. Bank Syari'ah tidak menerapkan jual beli atau sewa-menyewa uang

dari mata uang yang sama dan transaksinya itu dapat menghasilkan

keuntungan. Jadi mata uang itu dalam memberikan pinjaman pada

umumnya tidak dalam bentuk tunai melainkan dalam bentuk

pembiayaan pengadaan barang selama pembiayaan, barang tersebut

milik bank.

f. Adanya dewan syari'ah yang bertugas mengawasi bank dari sudut

syari'ah.

g. Bank Syari'ah selalu menggunakan istilah-istilah dari bahasa arab

dimana istilah tersebut tercantum dalam fiqih Islam

h. Adanya produk khusus yaitu pembiayaan tanpa beban murni yang

bersifat social, dimana nasabah tidak berkewajiban untuk

mengembalikan pembiayaan (al-qordul hasal).

6

i. Fungsi lembaga bank juga mempunyai fungsi amanah yang artinya

berkewajiban menjaga dan bertanggung jawab atas keamanan dana

yang telah dititipkan dan siap sewaktu-waktu apabila dana ditarik

kembali sesuai dengan perjanjian.

Selain karakteristik diatas, Bank Syari'ah mempunyai ciri-ciri

sebagai berikut:

1) Dalam Bank Syari'ah hubungan bank dengan nasabah adalah

hubungan kontrak (akad) antara investor pemilik dana

(shohibul maal) dengan investor pengelola dana (mudharib)

bekerja sama untuk melakukan kerjasama untuk yang produktif

dan sebagai keuntungan dibagi secara adil (mutual invesment

relationship). Dengan demikian dapat terhindar dari hubungan

eskploitatif antara bank dengan nasabah atau sebaliknya antara

nasabah dengan bank.

2) Adanya larangan-larangan kegiatan usaha tertentu oleh Bank

Syari'ah yang bertujuan untuk menciptakan kegiatan

perekonomian yang produktif (larangan menumpuk harta benda

(sumber daya alam) yang dikuasai sebagian kecil masyarakat

dan tidak produktif, menciptakan perekonomian yang adil

(konsep usaha bagi hasil dan bagi resiko) serta menjaga

lingkungan dan menjunjung tinggi moral (larangan untuk

7

proyek yang merusak lingkungan dan tidak sesuai dengan nilai

moral seperti minuman keras, sarana judi dan lain-lain.

3) Kegiatan uasaha Bank Syari'ah lebih variatif dibanding bank

konvensional, yaitu bagi hasil sistem jual beli, sistem sewa beli

serta menyediakan jasa lain sepanjang tidak bertentangan

dengan nilai dan prinsip-prinsip syari’ah.

4. Landasan PT. BPRS

Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) berlandaskan prinsip

syariah Islam, keimanan, keterpaduan, kekeluargaan atau koperasi,

kebersamaan, kemandirian dan profesionalisme. Dengan demikian,

keberadaan BPRS menjadi organisasi yang sah dan legal, sebagai

lembaga keuangan syariah, BPRS harus berpegang teguh pada prinsip-

prinsip syariah.

Keimanan menjadi landasan atas keyakinan untuk mau tumbuh

dan berkembang. Keterpaduan mengisyaratkan adanya harapan untuk

mencapai sukses di dunia dan akhirat juga keterpaduan antara sisi maal

dan tamwil (sosial dan bisnis). Kekeluargaan dan kebersamaan berarti

upaya untuk mencapai kesuksesan tersebut diraih secara bersama.

Kemandirian berarti BPRS tidak dapat hidup hanya bergantung pada

uluran tangan pemerintah, tetapi harus berkembang dari meningkatnya

8

partisipasi anggota dan masyarakat, untuk itulah pola pengelolaannya

harus profesional.

Landasan Syariah BPRS adalah sebagai berikut:

a. Al-Qur'an

Al-Baqoroh: 282

" Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah

tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu

menuliskannya."

b. Al-Hadist

Salah satu hadist Rasulullah saw, menegaskan bahwa:

" Kaum muslimin (dalam kebebasan) sesuai dengan syarat dan

kesepakatan mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang

halal atau menghalalkan yang haram."(at-Tirmidzi)

Islam mendorong penganutnya berjuang untuk

mendapatkan harta dengan berbagai cara, asalkan sesuai dengan

syariat Islam yaitu harta yang halal lagi baik, tidak menggunakan

cara batil, tidak berlebih-lebihan atau melampaui batas, tidak

menzalimi maupun dizalimi, menjauhkan diri dari riba, maisir

(perjudian), gharar (ketidakjelasan) serta tidak melupakan

tanggung jawab sosial berupa zakat, infak, shadaqah.

9

5. Ciri-Ciri Utama PT. BPRS

Ciri-ciri utama BPRS adalah sebagai berikut:

a. Beroperasi bisnis, mencari laba bersama, meningkatkan

pemanfaatan ekonomi paling banyak untuk anggota dan

masyarakat;

b. Bukan lembaga sosial, tetapi bermanfaat untuk mengefektifkan

pengumpulan dan penyaluran dana zakat, infaq dan sedekah bagi

kesejahteraan orang banyak;

c. Ditumbuhkan dari bawah berlandaskan peran serta masyarakat di

sekitarnya;

d. Milik bersama masyarakat bahwa bersama dengan orang kaya

disekitar PT. BPRS, bukan milik perseorangan atau orang dari luar

masyarakat. Atas dasarnya ini PT.BPRS tidak dapat berbadan

hukum perseroan.

6. Ciri-Ciri Khusus PT. BPRS

Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) merupakan lembaga

milik masyarakat, sehingga keberadaannya akan selalu dikontrol dan

diawasi oleh masyarakat. Laba atau keuntungan yang diperoleh BPRS

juga akan didistribusikan kepada masyarakat, sehingga maju

mundurnya BPRS sangat dipengaruhi oleh masyarakat di sekitar BPRS

berada. Selanjutnya BPRS memiliki ciri khusus sebagai berikut:

10

a. Staf dan karyawan BPRS bertindak proaktif, tidak menunggu tetapi

merebut bola, baik untuk menghimpun dana anggota maupun

untuk pembiayaan;

b. Kantor dibuka dalam waktu tertentu yang ditetapkan sesuai

kebutuhan pasar;

c. BPRS mengadakan pendampingan usaha anggota;

d. Manajemen BPRS adalah profesional Islami;

1) Administrasi keuangan berdasarkan standar akuntansi

keuangan Indonesia yang disesuaikan dengan prinsip akuntansi

syariat;

2) Setiap bulan BPRS akan menerbitkan laporan keuangan dan

penjelasan dari sisi laporan tersebut;

3) Setiap bulan buku yang ditetapkan, maksimal sampai bulan

Maret tahun berikutnya, BPRS akan menyelenggarakan

Musyawarah Anggota Tahunan. Forum ini merupakan forum

permusyawaratan tertinggi;

4) Aktif menjemput bola, berprakarsa, kreatif-inovatif,

menemukan masalah dan memecahkannya secara bijak dan

memberikan kemenangan kepada semua pihak (win-win

solution);

5) Berfikir, bersikap dan bertindak "Ahsanu 'Amala" atau service

excellence;

6) Berorientasi kepada pasar bukan pada produk.

11

2.1.2. Pengertian Bagi Hasil

Sistem perekonomian Islam merupakan masalah yang berkaitan

dengan pembagian hasil usaha harus ditentukan pada awal terjadinya

kontrak kerja sama (akad), yang ditentukan adalah porsi masing-masing

pihak, misalkan 35:65 yang berarti bahwa atas hasil usaha yang diperoleh

akan didistribusikan sebesar 35% bagi pemilik dana (shahibul maal) dan

65% bagi pengelola dana (mudharib).

Bagi Hasil adalah bentuk return (perolehan kembaliannya) dari

kontrak investasi, dari waktu ke waktu, tidak pasti dan tidak tetap. Besar-

kecilnya perolehan kembali itu bergantung pada hasil usaha yang benar-

benar terjadi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem bagi hasil

merupakan salah satu praktik perbankan syariah.

Metode bagi hasil terdiri dari dua sistem:

a. Bagi untung (Profit Sharing) adalah bagi hasil yang dihitung dari

pendapatan setelah dikurangi biaya pengelolaan dana. Dalam sistem

syariah pola ini dapat digunakan untuk keperluan distribusi hasil usaha

lembaga keuangan syariah;

b. Bagi hasil (Revenue Sharing) adalah bagi hasil yang dihitung dari total

pendapatan pengelolaan dana. Dalam sistem syariah pola ini dapat

digunakan untuk keperluan distribusi hasil usaha lembaga keuangan

syariah.

Aplikasi perbankan syariah pada umumnya, bank dapat

menggunakan sistem profit sharing maupun revenue sharing tergantung

12

kepada kebijakan masing-masing bank untuk memilih salah satu dari

sistem yang ada. Bank bank syariah yang ada di Indonesia saat ini

semuanya menggunakan perhitungan bagi hasil atas dasar revenue sharing

untuk mendistribusikan bagi hasil kepada para pemilik dana (deposan).

Suatu bank menggunakan sistem profit sharing di mana bagi hasil

dihitung dari pendapatan netto setelah dikurangi biaya bank, maka

kemungkinan yang akan terjadi adalah bagi hasil yang akan diterima oleh

para shahibul maal (pemilik dana) akan semakin kecil, tentunya akan

mempunyai dampak yang cukup signifikan apabila ternyata secara umum

tingkat suku bunga pasar lebih tinggi. Kondisi ini akan mempengaruhi

keinginan masyarakat untuk menginvestasikan dananya pada bank syariah

yang berdampak menurunnya jumlah dana pihak ketiga secara

keseluruhan, tetapi apabila bank tetap ingin mempertahankan sistem profit

sharing tersebut dalam perhitungan bagi hasil mereka, maka jalan

satusatunya untuk menghindari resiko-resiko tersebut di atas, dengan cara

bank harus mengalokasikan sebagian dari porsi bagi hasil yang mereka

terima untuk subsidi terhadap bagi hasil yang akan dibagikan kepada

nasabah pemilik dana.

Suatu bank yang menggunakan sistem bagi hasil berdasarkan

revenue sharing yaitu bagi hasil yang akan didistribusikan dihitung dari

total pendapatan bank sebelum dikurangi dengan biaya bank, maka

kemungkinan yang akan terjadi adalah tingkat bagi hasil yang diterima

oleh pemilik dana akan lebih besar dibandingkan dengan tingkat suku

13

bunga pasar yang berlaku. Kondisi ini akan mempengaruhi para pemilik

dana untuk mengarahkan investasinya kepada bank syariah yang nyatanya

justru mampu memberikan hasil yang optimal, sehingga akan berdampak

kepada peningkatan total dana pihak ketiga pada bank syariah.

Pertumbuhan dana pihak ketiga dengan cepat harus mampu diimbangi

dengan penyalurannya dalam berbagai bentuk produk aset yang menarik,

layak dan mampu memberikan tingkat profitabilitas yang maksimal bagi

pemilik dana.

Prinsip revenue sharing diterapkan berdasarkan pendapat dari

Syafi'i yang mengatakan bahwa mudharib tidak boleh menggunakan harta

mudharabah sebagai biaya baik dalam keadaan menetap maupun

bepergian (diperjalanan) karena mudharib telah mendapatkan bagian

keuntungan maka ia tidak berhak mendapatkan sesuatu (nafkah) dari harta

itu yang pada akhirnya ia akan mendapat yang lebih besar dari bagian

shahibul maal. Sedangkan, untuk profit sharing diterapkan berdasarkan

pendapat dari Abu hanifah, Malik, Zaidiyah yang mengatakan bahwa

mudharib dapat membelanjakan harta mudharabah hanya bila

perdagangannya itu diperjalanan saja baik itu berupa biaya makan, minum,

pakaian dan sebagainya. Hambali mengatakan bahwa mudharib boleh

menafkahkan sebagian dari harta mudharabah baik dalam keadaan

menetap atau bepergian dengan ijin shahibul maal, tetapi besarnya nafkah

yang boleh digunakan adalah nafkah yang telah dikenal (menurut

kebiasaan) para pedagang dan tidak boros.(wiroso. 2005:118)

14

Prinsip pembagian hasil usaha ada 2 yaitu:

a. Distribusi Hasil Usaha Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil (Revenue

Sharing)

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam distribusi hasil

usaha berdasarkan prinsip bagi hasil (revenue sharing) adalah sebagai

berikut:

1) Pendapatan Operasi Utama (angka 1)

Pendapatan operasi utama bank syariah adalah pendapatan dari

penyaluran dana pada investasi yanng dibenarkan syariah yaitu

pendapatan penyaluran dana prinsip jual beli, bagi hasil dan prinsip

ijaroh. Besarnya pendapatan yang dibagikan dalam perhitungan

distribusi hasil usaha dengan prinsip bagi hasil (revenue sharing)

ini adalah pendapatan (revenue) dari pengelolaan dana

(penyaluran) sebesar porsi dana mudharabah (investasi tidak

terikat) yang dihimpun tanpa adanya pengurangan beban-beban

yang dikeluarkan oleh bank syariah.

2) Hak pihak ketiga atas bagi hasil investasi tidak terikat (angka 2)

Hak pihak ketiga atas bagi hasil investasi tidak terikat merupakan

porsi bagi hasil dari hasil usaha (pendapatan) yang diserahkan oleh

bank syariah kepada pemilik dana mudharabah mutlaqah

(investasi tidak terikat). Penentuannya dilakukan dalam

perhitungan distribusi hasil usaha yang sering disebut dengan profit

distribution.

15

3) Pendapatan operasi lainnya (angka 3)

Praktik dalam penyaluran dana bank syariah mengenakan fee

administrasi atas penyaluran tersebut yang besarnya disepakati

antara bank sebagai pemilik dana dan debitur sebagai pengelola

dana (mudharib). Pendapatan operasi lain yang diperoleh bank

syariah adalah pendapatan atas kegiatan usaha bank syariah dalam

memberikan layanan jasa keuangan dan kegiatan lain yang berbasis

imbalan seperti pendapatan fee inkaso, fee transfer, dan fee

kegiatan yang berbasis imbalan lainnya.

4) Beban Operasi (angka 4)

Pembagian hasil usaha dengan prinsip bagi hasil (revenue sharing)

semua beban yang dikeluarkan oleh bank syariah sebagai

mudharib, baik beban untuk kepentingan bank syariah sendiri

maupun untuk kepentingan pengelolaan dana mudharabah, seperti

beban tenaga kerja, beban umum dan administrasi, beban operasi

lainnya ditanggung oleh bank syariah sebagai mudharib.

b. Distribusi Hasil Usaha Berdasarkan Prinsip Bagi Untung (Profit

Sharing)

Penerapan distribusi hasil usaha dengan prinsip bagi untung

(profit sharing) bukanlah hal yang mudah, karena pihak deposan harus

siap menerima bagian kerugian apabila dalam pengelolaan dana

mudharabah mengalami kerugian yang bukan akibat dari kelalaian

16

mudharib sehingga uang yang diinvestasikan pada bank syariah

menjadi berkurang. Di lain pihak, bank syariah sendiri harus secara

jujur dan transparan menyampaikan beban-beban yang akan

ditanggung dalam pengelolaan dana mudharabah, seperti membuat

dan menentukan dengan tegas dan jelas beban yang akan dibebankan

dalam pengelolaan dana mudharabah baik beban langsung maupun

beban tidak langsung. Apabila bank syariah menerapkan pembagian

hasil usaha berdasarkan prinsip bagi untung (profit sharing), bank

syariah harus membuat dua laporan laba rugi yang terpisah, yaitu

laporan laba rugi bank sebagai institusi keuangan syariah dan laporan

pengelolaan dana mudharabah dimana bank sebagai mudharib.

1) Laporan hasil usaha mudharabah (bank sebagai mudharib)

Laporan hasil usaha mudharabah ini dibuat sebagai

pertanggungjawaban bank syariah dalam mengelola dana

mudharabah mutlaqah yang telah dipercayakan shahibul maal

(deposan) kepada bank syariah sebagai mudharib. Ada beberapa

hal yang perlu diperhatikan dalam laporan ini yaitu:

a. Pendapatan operasi utama (angka1)

Pendapatan operasi utama perhitungannya sama dengan

perhitungan distribusi hasil usaha yang mempergunakan prinsip

revenue sharing. Besarnya pendapatan yang dibagikan dalam

pembagian hasil usaha pada prinsip bagi untung (profit

sharing) ini adalah pendapatan dari pengelolaan dana

17

(penyaluran) sebesar porsi dari dana mudharabah (investasi

tidak terikat) yang dihimpun.

b. Beban mudharabah (angka 2)

Bank syariah harus dapat memisahkan beban yang menjadi

tanggungan bank syariah sendiri dan beban yang dibebankan

pada pengelolaan dana mudharabah. Bank syariah harus

menetapkan dengan tegas dan jelas beban-beban yang akan

dipergunakan sebagai pengurang pendapatan pengelolaan dana

mudharabah, baik beban tenaga kerja, beban umum dan

administrasi, maupun beban-beban lainnya untuk disampaikan

kepada shahibul maal sehingga mengetahuinya. Apabila bank

syariah telah mengakui beban-beban sebagai pengurang

pengelola dana mudharabah tidak diperkenankan diakui

sebagai beban bank syariah sebagai pengelola institusi

keuangan syariah sehingga jika terjadi pengembalian beban

harus diakui sebagai pendapatan pengelolaan dana

mudharabah, bukan sebagai pendapatan bank syariah selaku

institusi keuangan syariah.

c. Laba atau rugi mudharabah (angka 3)

Pendapatan operasi utama dikurangi dengan beban

mudharabah inilah yang akan menghasilkan laba atau rugi.

18

2) Laporan laba rugi bank syariah (bank sebagai institusi keuangan

syariah)

Data-data yang ada pada laporan ini adalah data-data untuk

kepentingan bank syariah sendiri dalam mengelola institusi

keuangan syariah, khususnya beban-beban yang dikeluarkan oleh

bank syariah dan data-data yang telah diperhitungkan dalam

pembuatan laporan pengelolaan dana mudharabah. Dalam laporan

laba rugi ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:

a) Pendapatan bank sebagai mudharib

Pendapatan yang ada dalam laporan ini adalah bagian

pendapatan atas pengelolaan dana mudharabah yang diperoleh

bank syariah dan pendapatan penyaluran yang menjadi milik

bank syariah sendiri.

b) Pendapatan operasi lainnya (angka 3)

Pendapatan operasi ini adalah pendapatan yang sama dengan

pendapatan operasi lainnya dalam prinsip bagi hasil.

c) Beban operasi

Beban-beban dalam laporan ini adalah beban-beban yang

dikeluarkan oleh bank syariah sebagai institusi keuangan

syariah sendiri tidak ada kaitannya dengan pengelolaan dana

mudharabah, baik beban tenaga kerja, beban umum dan

administrasi serta beban-beban lainnya.

19

Penentuan beban-beban ini merupakan unsur distribusi

hasil usaha apabila bank syariah mempergunakan prinsip

distribusi hasil usaha adalah pembagian laba (profit sharing),

karena dalam prinsip ini hasil usaha yang akan dibagikan antara

mudharib dan shahibul maal merupakan keuntungan yang

diperoleh yaitu pendapatan pengelolaan dana mudharabah

dikurangi dengan beban-beban yang dikeluarkan sehubungan

dengan pengelolaan dana mudharabah.

Apabila bank syariah mempergunakan prinsip profit

sharing maka bank syariah harus dapat membedakan dengan

jelas, transparan dan adil terhadap beban-beban yang

merupakan pengurang dari pendapatan pengelolaan dana

mudharabah (yang disebut dengan dana mudharabah) dan

beban-beban yang merupakan pengeluaran bank syariah

sebagai institusi keuangan (yang disebut dengan beban

lembaga keuangan syariah). Semua beban dana mudharabah

yang dikeluarkan sehubungan dengan pengelolaan dana

mudharabah tersebut termasuk beban tenaga kerja, beban

umum dan administrasi serta beban-beban lainnya. Sedangkan

apabila bank syariah mempergunakan prinsip distribusi hasil

usaha dengan pembagian hasil (revenue sharing) maka semua

beban yang dikeluarkan oleh bank syariah menjadi tanggungan

20

Prinsip revenue sharingLaporan laba rugi(Bank sbg LKS)

(1) Pendapatanoperasi Utama

(2) Hak Pihak ke 3atas bagi hasil ITT

(3) PendapatanOperasi Lainnya

(5) Laba / Rugi

(4) Beban Operasi(Tenaga kerja,Adm, Opr Lainnya)

(3) Laba / RugiMudharabah

(2) Beban MudharabahBeban Tenaga KerjaBeban AdministrasiBeban PenyusutanBeban Oprasional Lainnya

(1) Pendapatan Operasi UtamaBagi Hasil (Prinsip Bagi

Hasil)Margin (prinsip jual beli)Pendapatan neto sewaLainnya (SWBI, IMA dsb)

Prinsip Profit SharingLaporan Hasil UsahaMudharabah(Bank sbg Mudharib)

=

Perhitungan

Pembagian hasilusaha

Shahibulmaal

bank syariah sendiri sehingga tidak diperhitungkan dalam

unsur distribusi hasil usaha.

Gambar 1

Prinsip Pembagian Hasil Usaha

Revenue Sharing

(-/-)

(+/+) (-/-)

(-/-)

=

=

Sumber : Wiroso, 2005, hal. 119

21

1. Landasan Syariah

a. Al-Qur'an

QS al-Baqarah: 282

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak

secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu

menuliskannya…”

QS. Al-Maidah: 1

“Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu…”

b. Al-Hadist

Hadist riwayat Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf:

“Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin kecuali

perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang

haram dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syaratmereka kecuali

syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang

haram.”

Hadits nabi riwayat Ibnu Majah dari ’Ubadah bin Shamit, riwayat

Ahmad dari Ibnu Abbas dan Malik dari Yahya:

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula

membahayakan orang lain.”

c. Kaidah Fiqih:

1“Pada dasarnya, segala bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali

ada dalil yang mengharamkannya.”

2“Dimana terdapat kemaslahatan, disana terdapat hukum Allah.”

22

2. Teori Bagi Hasil

Bagi hasil menurut terminologi asing (Inggris) dikenal dengan

profit sharing. Profit sharing dalam kamus ekonomi diartikan dengan

pembagian laba. Secara definitif profit sharing diartikan: ”distribusi

beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan”

(Muhammad. 2004:18). Hal itu dapat berbentuk suatu bonus uang tunai

tahunan yang didasarkan pada laba yang diperoleh pada tahun-tahun

sebelumnya, atau dapat berbentuk pembayaran mingguan atau bulanan.

Mekanisme lembaga keuangan syariah pada pendapatan bagi hasil

ini berlaku untuk produk penyertaan atau bentuk bisnis korporasi

(kerjasama). Pihak-pihak yang terlibat dalam kepentingan bisnis yang

disebutkan tadi harus melakukan transparasi dan kemitraan secara baik dan

ideal. Sebab semua pengeluaran dan pemasukan rutin yang berkaitan

dengan bisnis penyertaan, bukan untuk kepentingan pribadi yang

menjalankan proyek.

Keuntungan yang dibagi hasilkan harus dibagi secara proporsional

antara shahibul maal dengan mudharib. Dengan demikian, semua

pengeluaran rutin yang berkaitan dengan bisnis mudharabah, dapat

dimasukkan ke dalam biaya operasional. Keuntungan bersih harus dibagi

antara shahibul maal dan mudharib sesuai dengan proporsi yang

disepakati sebelumnya dan secara eksplisit disebutkan dalam perjanjian

awal. Tidak ada pembagian laba sampai semua kerugian telah ditutup dan

ekuiti shahibul maal telah dibayar kembali. Jika ada pembagian

23

keuntungan sebelum habis masa perjanjian akan dianggap sebagai

pembagian keuntungan dimuka.

Kerja sama para pihak dengan sistem bagi hasil harus dilaksanakan

dengan transparan dan adil. Hal ini disebabkan untuk mengetahui tingkat

bagi hasil pada periode tertentu itu tidak dapat dijalankan kecuali harus

ada laporan keuangan atau pengakuan yang terpercaya. Pada tahap

perjanjian kerja sama ini disetujui oleh para pihak, maka semua aspek

yang berkaitan dengan usaha harus disepakati dalam kontrak, agar antar

pihak dapat saling mengingatkan. (Muhammad Ridwan, Manajemen

BMT. 2004:120)

3. Konsep Bagi Hasil

Konsep bagi hasil adalah sebagai berikut:

a. Pemilik dana akan menginvestasikan dananya melalui lembaga

keuangan syariah yang bertindak sebagai pengelola;

b. Pengelola atau lembaga keuangan syariah akan mengelola dana

tersebut dalam sistem pool of fund selanjutnya akan menginvestasikan

dana tersebut ke dalam proyek atau usaha yang layak dan

menguntungkan serta memenuhi aspek syariah;

c. Kedua belah pihak menandatangani akad yang berisi ruang lingkup

kerja sama, nominal, nisbah dan jangka waktu berlakunya kesepakatan

tersebut.

24

4. Nisbah Keuntungan Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil

Hal-hal yang berkaitan dengan nisbah bagi hasil yaitu:

a. Prosentase

Nisbah keuntungan harus didasarkan dalam bentuk prosentase

antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal

rupiah tertentu. Nisbah keuntungan itu misalnya 50:50, 70:30, 60:40,

atau 99:1. Jadi nisbah keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan,

bukan berdasarkan porsi setoran modal. Nisbah keuntungan tidak

boleh dinyatakan dalam bentuk nominal rupiah tertentu, misalnya

shahib almaal mendapat Rp 50.000,00 dan mudharib mendapat Rp

50.000,00.(Karim.:189)

b. Bagi Untung dan Bagi Rugi

Ketentuan diatas itu merupakan konsekuensi logis dari

karakteristik akad mudharabah itu sendiri, yang tergolong ke dalam

kontrak investasi (natural uncertainty contracts). Dalam kontrak ini,

return dan timing cash flow kita tergantung kepada kinerja sektor

riilnya. Bila laba bisnisnya besar, kedua belah pihak mendapat bagian

yang besar pula. Bila laba bisnisnya kecil, mereka mendapat bagian

yang kecil juga. Filosofi ini hanya dapat berjalan jika nisbah laba

ditentukan dalam bentuk prosentase, bukan dalam bentuk nominal

rupiah tertentu.

25

Bila dalam akad mudharabah ini mendapatkan kerugian,

pembagian kerugian itu bukan didasarkan atas nisbah, tetapi

berdasarkan porsi modal masing-masing pihak. Itulah alasan mengapa

nisbahnya disebut sebagai nisbah keuntungan, bukan nisbah saja,

karena nisbah 50:50, atau 99:1 itu hanya diterapkan bila bisnisnya

untung. Bila bisnisnya rugi, kerugiannya itu harus dibagi berdasarkan

porsi masing-masing pihak, bukan berdasarkan nisbah. Hal ini karena

ada perbedaan kemampuan untuk mengabsorpsi atau menanggung

kerugian di antara kedua belah pihak. Bila untung, tidak ada masalah

untuk menikmati untung. Karena sebesar apa pun keuntungan yang

terjadi, kedua belah pihak akan selalu dapat menikmati keuntungan itu.

Lain halnya kalau bisnisnya merugi. Kemampuan shahib al-maal

untuk menanggung kerugian finansial tidak sama dengan kemampuan

mudharib. Dengan demikian, karena kerugian dibagi berdasarkan

proporsi modal (finansial) shahib al-maal dalam kontrak ini adalah

100%, maka kerugian (finansial) ditanggung 100% pula oleh shahib

al-maal. Di lain pihak, karena proporsi modal (finansial) mudharib

dalam kontrak ini adalah 0%, andaikata terjadi kerugian, mudharib

akan menanggung kerugian (finansial) sebesar 0% pula.

Apabila bisnis rugi, sesungguhnya mudharib akan menanggung

kerugian hilangnya kerja, usaha dan waktu yang telah ia curahkan

untuk menjalankan bisnis itu. Kedua belah pihak sama-sama

menanggung kerugian, tetapi bentuk kerugian yang ditanggung oleh

26

keduanya berbeda, sesuai dengan objek mudharabah yang

dikonstribusikannya. Bila yang dikontribusikan adalah uang, risikonya

adalah hilangnya uang tersebut. Sedangkan yang dikontribusikan

adalah kerja, risikonya adalah hilangnya kerja, usaha dan waktunya,

sehingga tidak mendapatkan hasil apapun atas jerih payahnya selama

berbisnis.

c. Jaminan

Ketentuan pembagian kerugian bila kerugian yang terjadi

hanya murni diakibatkan oleh risiko bisnis (business risk), bukan

karena risiko karakter buruk mudharib (character risk). Bila kerugian

terjadi karena karakter buruk, misalnya karena mudharib lalai dan atau

melanggar persyaratan-persyaratan kontrak mudharabah, maka shahib

al-maal tidak perlu menanggung kerugian seperti ini.

"Para fuqaha berpendapat bahwa pada prinsipnya tidak perlu

dan tidak boleh mensyaratkan agunan sebagai jaminan, sebagaimana

dalam akad syirkah lainnya. Jelas hal ini konteksnya adalah business

risk."

Sedangkan untuk character risk, mudharib pada hakikatnya

menjadi wakil dari shahibul maal dalam mengelola dana dengan seizin

shahibul maal, sehingga wajib baginya berlaku amanah. Jika mudharib

melakukan keteledoran, kelalaian, kecerobohan dalam merawat dan

menjaga dana, yaitu melakukan pelanggaran, kesalahan, dan kelewatan

27

dalam perilakunya yang tidak termasuk dalam bisnis mudharabah

yang disepakati, atau ia keluar dari ketentuan yang disepakati,

mudharib tersebut harus menanggung kerugian mudharabah sebesar

bagian kelalaiannya sebagai sanksi dan tanggungjawabnya. Ia telah

menimbulkan kerugian karena kelalaian dan perilaku zalim karena ia

telah memperlakukan harta orang lain yang dipercayakan kepadanya di

luar ketentuan yang disepakati. Mudharib tidak pula berhak untuk

menentukan sendiri mengambil bagian dari keuntungan tanpa

kehadiran atau sepengetahuan shahibul maal sehingga shahibul maal

dirugikan. Jelas hal ini konteksnya adalah character risk.

Pihak mudharib yang lalai atau menyalahi kontrak ini, maka

shahib al-maal dibolehkan meminta jaminan tertentu kepada

mudharib. Jaminan ini akan disita oleh shahib al-maal jika ternyata

timbul kerugian karena mudharib melakukan kesalahan, yakni lalai

dan ingkar janji. Kerugian yang timbul disebabkan karena faktor resiko

bisnis, jaminan mudharib tidak dapat disita oleh shahib al-maal. Cara

penyelesaiannya adalah jika salah satu pihak tidak menunaikan

kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua pihak, maka

penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah

tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

28

d. Menentukan Besarnya Nisbah

Besarnya nisbah ditentukan berdasarkan kesepakatan masing-

masing pihak yang berkontrak. Jadi, angka besaran nisbah ini muncul

sebagai hasil tawar-menawar antara shahib al-maal dengan mudharib.

Dengan demikian, angka nisbah ini bervariasi, bisa 50:50, 60:40,

70:30, 80:20, bahkan 99:1. Namun para ahli fiqih sepakat bahwa

nisbah 100:0 tidak diperbolehkan.

e. Cara Menyelesaikan Kerugian

Jika terjadi kerugian, cara menyelesaikannya adalah diambil

terlebih dahulu dari keuntungan, karena keuntungan merupakan

pelindung modal. Kemudian bila kerugian melebihi keuntungan, baru

diambil dari pokok modal.

5. Investasi Berdasarkan Bagi Hasil

Inti mekanisme investasi bagi hasil pada dasarnya adalah

terletak pada kerjasama yang baik antara shahibul maal dengan

mudharib. Kerjasama atau partnership merupakan karakter dalam

masyarakat ekonomi Islam. Kerjasama ekonomi harus dilakukan

dalam semua bentuk kegiatan ekonomi, yaitu: produksi, distribusi

barang maupun jasa. Salah satu bentuk kerjasama dalam bisnis atau

ekonomi Islam adalah qirad atau mudharabah. Qirad atau

mudharabah adalah kerjasama antara pemilik modal atau uang dengan

29

pengusaha pemilik keahlian atau ketrampilan atau tenaga dalam

pelaksanaan unit-unit ekonomi atau proyek usaha. Melalui

mudharabah kedua belah pihak yang bermitra tidak akan

mendapatkan bunga, tetapi mendapatkan bagi hasil atau profit dan loss

sharing dari proyek ekonomi yang disepakati bersama.

6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Bagi Hasil

Faktor-faktor yang mempengaruhi bagi hasil ada 2 yaitu:

a. Faktor Langsung

Faktor-faktor langsung yang mempengaruhi perhitungan bagi hasil

adalah investment rate, jumlah dana yang tersedia dan nisbah bagi

hasil (profit sharing ratio), penjelasannya adalah sebagai berikut:

1) Investment rate merupakan prosentase aktual dana yang

diinvestasikan dari total dana. Jika bank menentukan investment

rate sebesar 80%, hal ini berarti 20% dari total dana dialokasikan

untuk memenuhi likuiditas;

2) Jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan merupakan jumlah

dana dari berbagai sumber dana yang tersedia untuk diinvestasikan.

Dana tersebut dapat dihitung dengan menggunakan salah satu

metode yaitu rata-rata saldo minimum bulanan dan ratarata total

saldo harian. Invesment rate dikalikan dengan jumlah dana yang

tersedia untuk diinvestasikan, akan menghasilkan jumlah dana

aktual yang digunakan;

30

3) Nisbah (profit sharing ratio)

Salah satu ciri mudharabah adalah nisbah yang harus ditentukan

dan disetujui pada awal perjanjian. Nisbah antara satu BPRS dan

BPRS lainnya dapat berbeda. Nisbah juga dapat berbeda dari

waktu ke waktu dalam satu BPRS, misalnya pembiayaan

mudharabah 5 bulan, 6 bulan, 10 bulan 12 bulan hingga sampai 48

bulan. Nisbah juga dapat berbeda antara satu account dan account

lainnya sesuai dengan besarnya dana dan jatuh temponya.

b. Faktor Tidak Langsung

Faktor-faktor tidak langsung yang mempengaruhi perhitungan bagi

hasil:

1) Penentuan butir-butir pendapatan dan biaya mudharabah

a. Shahibul Maal dan Mudharib akan melakukan share baik

dalam pendapatan maupun biaya. Pendapatan yang

dibagihasilkan merupakan pendapatan yang diterima setelah

dikurangi biaya-biaya;

b. Jika semua biaya ditanggung bank, hal ini disebut revenue

sharing.

2) Kebijakan akunting (prinsip dan metode akunting)

Bagi hasil secara tidak langsung dipengaruhi oleh berjalannya

aktivitas yang diterapkan, terutama sehubungan dengan pengakuan

pendapatan dan biaya.

31

7. Komponen Bagi Hasil Pembiayaan Mudharabah

Beberapa hal yang terkait dengan perhitungan bagi hasil

pembiayaan mudharabah adalah sebagai berikut:

a. Saldo pembiayaan;

b. Jangka waktu pengembalian;

c. Sistem pengembalian, apakah mengangsur atau ditangguhkan;

d. Hasil yang diharapkan oleh PT. BPRS;

e. Nisbah bagi hasil;

f. Proyeksi pendapatan dari calon peminjam. Berdasarkan pengalaman

usaha sebelumnya, proyeksi ini lebih mudah diketahui;

g. Realisasi pendapatan yang sesungguhnya. Berdasarkan laporan

keuangan peminjam, besar kecilnya laba aktual menjadi dasar dalam

pengambilan tingkat bagi hasil;

h. Tingkat persaingan harga, baik dengan lembaga keuangan sejenis

maupun dengan lembaga konvensional.

2.1.3. Konsep Pendapatan dan Biaya dalam Bagi Hasil

1. Pengertian Pendapatan dan Biaya

a. Pendapatan

Pendapatan adalah kenaikan kotor dalam aset atau penurunan dalam

liabilitas atau gabungan dari keduanya selama periode yang dipilih oleh

pernyataan pendapatan yang berakibat dari investasi yang halal,

32

perdagangan, memberikan jasa, atau aktivitas lain yang bertujuan

meraih keuntungan, seperti manajemen rekening investasi terbatas;

b. Biaya

Biaya adalah penurunan kotor dalam aset atau kenaikan dalam liabilitas

atau gabungan dari keduanya selama periode yang dipilih oleh

pernyataan pendapatan yang berakibat dari investasi yang halal,

perdagangan, atau aktivitas; termasuk pemberian jasa.

2. Metode Penerimaan Pendapatan Bagi Hasil

Pendapatan bagi hasil adalah pendapatan yang diperoleh oleh bank

bagi hasil yang berasal dari mudharabah dan musyarakah. Ditinjau dari

cara menentukan jumlah rupiah pembayaran angsuran dan pokok

pembiayaan terdapat dua metode yaitu:

a. Bagi hasil netto adalah bagi hasil yang didasarkan pada pendapatan

dari usaha atau proyek yang dikurangi dengan biaya-biaya yang

timbul. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa yang dibagihasilkan

adalah laba dari sebuah usaha atau proyek. Contoh: bila dari sebuah

proyek atau usaha dihasilkan penjualan sebesar Rp 2.000.000,00 dan

biaya-biaya usaha Rp 500.000,00, maka yang dibagihasilkan sebesar

Rp 1.500.000,00. Ini disebut metode profit sharing;

b. Bagi hasil brutto adalah bagi hasil yang didasarkan pada pendapatan

usaha atau proyek yang tidak dikurangi dengan biaya-biaya yang

timbul. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa yang dibagihasilkan

33

adalah pendapatan dari sebuah usaha atau proyek. Contoh: bila dari

sebuah proyek atau usaha dihasilkan penjualan sebesar Rp

2.000.000,00 dan biaya-biaya usaha sebesar Rp 500.000,00, maka

yang dibagihasilkan adalah sebesar penjualan yaitu Rp 2.000.000,00.

Ini disebut metode revenue sharing.

Ditinjau dari cara pembayaran nasabah kepada bank maka

terdapat dua metode penerimaan pendapatan bagi hasil pada

pembiayaan mudharabah yaitu:

a. Bagi hasil dibayarkan terpisah dengan angsuran pokok pinjaman,

pada cara ini maka pendapatan bagi hasil yang diterima oleh bank

bagi hasil merupakan pembayaran terpisah dari pembayaran

angsuran pokok pembiayaan;

b. Bagi hasil dibayarkan tidak terpisah dengan angsuran pokok

pinjaman, pada cara ini maka pendapatan bagi hasil yang diterima

merupakan pembayaran bersamaan dengan pembayaran angsuran

pokok pembiayaan. Sebelum menyetujui sebuah usulan

pembiayaan yang diajukan oleh nasabah maka bank bagi hasil akan

membuat proyeksi pembayaran terlebih dahulu.

3. Sistem Pencatatan dan Pelaporan (Akuntansi) Keuangan

Sistem pencatatan dan pelaporan (akuntansi) keuangan, ada dua sistem

yaitu:

34

a. Accrual basis adalah sistem penentuan biaya dan pendapatan yang

mengakui seluruh pendapatan dan biaya pada tahun buku tertentu

meskipun realisasinya baru terjadi dalam buku selanjutnya.

b. Cash basis adalah pencatatan pendapatan dan pengeluaran yang

dilakukan saat penerimaan atau pengeluaran tunai tanpa

memperhatikan tanggal transaksinya.

2.1.4. Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil (Mudharabah)

1. Pengertian Pembiayaan

Berdasarkan UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan Bab I pasal

I No.12, yang dimaksud pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah

Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu

berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain

yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau

tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi

hasil.

Kata mewajibkan pada Undang-Undang di atas maksudnya adalah

pihak yang dibiayai mewajibkan untuk mengembalikan uang pinjamannya,

kecuali apabila terjadi resiko bisnis dalam mudharabah, maka tidak

mewajibkan untuk mengembalikan uang pinjamannya.

35

2. Pengertian Akad Mudharabah

Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau

berjalan. Maksud dari kata memukul atau berjalan dalam hal ini adalah

proses seseorang memukulkan kakinya dalam melaksanakan usaha.

Secara teknis, mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara

dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh

(100%) modalnya sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib).

Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang

dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh

pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola.

Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si

pengelola, maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian

tersebut.

Sedangkan menurut para ulama, istilah syarikah mudharabah

memiliki pengertian yaitu pihak pemodal (investor) menyerahkan

sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk diperdagangkan. Pemodal

berhak mendapat bagian tertentu dari keuntungan.

Mudharabah adalah akad yang telah dikenal oleh umat muslim

sejak zaman nabi, bahwa telah dipraktikkan oleh bangsa Arab sebelum

turunnya Islam. Ketika Nabi Muhammad SAW. berprofesi sebagai

pedagang, ia melakukan akad mudharabah dengan Khadijah. Dengan

demikian, ditinjau dari segi hukum Islam, maka praktik mudharabah ini

dibolehkan, baik menurut Al-Qur'an, Sunnah, maupun Ijma'.

36

Praktik mudharabah antara Khadijah dengan nabi, saat itu

Khadijah mempercayakan barang dagangannya untuk dijual oleh Nabi

Muhammad Saw. keluar negeri. Dalam kasus ini, Khadijah berperan

sebagai pemilik modal (shahib al-maal) sedangkan Nabi Muhammad

SAW. berperan sebagai pelaksana usaha (mudharib). Bentuk kontrak

antara dua pihak dimana satu pihak berperan sebagai pemilik modal dan

mempercayakan sejumlah modalnya untuk dikelola oleh pihak kedua,

yakni si pelaksana usaha, dengan tujuan untuk mendapatkan untung

disebut akad mudharabah. Jadi akad mudharabah adalah persetujuan

kongsi antara harta dari salah satu pihak dengan kerja dari pihak lain.

3. Landasan Syariah

Secara umum, landasan dasar syariah al-mudharabah lebih

mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam

ayatayat dan hadits berikut ini:

a) Al-Qur'an

Al-Muzzammil: 20

"….dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian

karunia Allah …."

Makna dari surat al-Muzzammil : 20 adalah adanya kata yadhribun

yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan

suatu perjalanan usaha.

37

Al-Jumu’ah: 10

"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu dimuka

bumi dan carilah karunia Allah …." (QS. Al-Jumu’ah:10)

Al-Baqoroh: 198

"Tidak ada dosa bagi kamu untuk mencari Karunia (rezeki hasil

perniagaan) dari Tuhan-mu…."(QS. Al-Baqoroh:198)

Surat al-Jumu'ah:10 dan al-Baqarah: 198 sama-sama mendorong kaum

muslimin untuk melakukan upaya perjalanan usaha.

b) Al-Hadits

"Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul

Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara

mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi

lautan, menuruni lembah yang berbahaya atau membeli ternak. Jika

menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggungjawab

atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut pada

Rasulullah Saw dan Rasulullah pun membolehkannya." (HR.

Thabrani)

c) Ijma'

Imam Zailai dalam kitabnya Nasbu ar-Rayah (4/13) telah menyatakan

bahwa para sahabat telah berkonsensus akan legitimasi pengolahan

38

harta anak yatim secara mudharabah. Kesepakatan para sahabat ini

sejalan dengan spirit hadis yang dikutip oleh Abu Ubaid dalam

kitabnya al-Amwal (454)

“Rasulullah saw. telah berkhotbah di depan kaumnya seraya berkata

wahai para wali yatim, bergegaslah untuk menginvestasikan harta

amanah yang ada di tanganmu janganlah didiamkan sehingga

termakan oleh zakat”.

Indikasi dari hadis ini adalah menginvestasikan harta anak

yatim secara mudharabah sudah dianjurkan, apalagi mudharabah

dalam harta sendiri. Adapun pengertian zakat disini, seandainya harta

tersebut diinvestasikan, maka zakatnya akan diambil dari return on

investment (keuntungan) bukan dari modal. Dengan demikian harta

amanat tersebut akan senantiasa berkembang, bukan berkurang.

d) Qiyas

Mudharabah di qiyaskan kepada al-musaqah (menyuruh

seseorang untuk mengelola kebun). Selain di antara manusia, ada yang

miskin dan ada pula yang kaya. Di satu sisi, banyak orang kaya yang

tidak dapat mengusahakan hartanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang

miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan

demikian, adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi

kebutuhan kedua golongan di atas, yakni untuk kemaslahatan manusia

dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.

39

4. Rukun dan Syarat Mudharabah

Ada beberapa rukun dan syarat dalam pembiayaan mudharabah yaitu:

a. Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha)

Akad mudharabah, harus ada minimal dua pelaku. Pihak

pertama bertindak sebagai pemilik modal (shahibul maal), pihak kedua

sebagai pelaksana usaha (mudharib). Syarat keduanya adalah pemodal

dan pengelola harus mampu melakukan transaksi dan sah secara

hukum.

b. Objek mudharabah (modal dan kerja)

Objek merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan

oleh para pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai objek

mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya

sebagai objek mudharabah. Modal yang diserahkan berbentuk uang.

Sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian,

ketrampilan, selling skill, management skill dan lain-lain.

Syarat objek mudharabah adalah:

1) Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya (mata uang);

2) Modal harus tunai.

Para fuqaha tidak membolehkan modal mudharabah

berbentuk barang. Ia harus uang tunai karena barang tidak dapat

dipastikan taksiran harganya dan mengakibatkan ketidakpastian

(gharar) besarnya modal mudharabah. Para fuqaha telah sepakat

40

tidak bolehnya mudharabah dengan hutang. Tanpa adanya setoran

modal, berarti shahibul maal tidak memberikan kontribusi apapun

padahal mudharib telah bekerja. Para ulama Syafi'i dan Maliki

melarang hal itu karena merusak sahnya akad.

c. Persetujuan kedua belah pihak (ijab-qabul)

"Persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi dari

prinsip 'an-taraadhim minkum (sama-sama rela)”. Kedua belah pihak

harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad

mudharabah. Si pemilik dana setuju dengan perannya untuk

mengkontribusikan dana dan si pelaksana usaha pun setuju dengan

perannya untuk mengkontribusikan kerja.

Syaratnya adalah melafazkan ijab dari yang punya modal dan qabul

dari yang menjalankannya.

d. Nisbah Keuntungan

"Nisbah adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang

tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang

berhak diterima oleh kedua pihak yang bermudharabah." Mudharib

mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al-maal

mendapat imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan

inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah

pihak mengenai cara pembagian keuntungan.

41

Syaratnya adalah:

1) Keuntungan harus dibagi untuk kedua pihak;

2) Proporsi keuntungan masing-masing pihak harus diketahui pada

waktu kontrak dan proporsi tersebut harus dari keuntungan;

3) Nisbah keuntungan dapat disepakati untuk ditinjau dari waktu ke

waktu;

4) Kedua belah pihak juga harus menyepakati biaya-biaya apa saja

yang ditanggung pemodal dan pengelola.

5. Perkara yang Membatalkan Mudharabah

Mudharabah dianggap batal pada hal berikut:

a. Pembatalan, larangan berusaha dan pemecatan;

b. Salah seorang aqid meninggal dunia;

c. Salah seorang aqid gila;

d. Pemilik modal murtad;

e. Modal rusak di tangan pengusaha.

6. Jenis-Jenis Mudharabah

Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis:

a. Mudharabah Muthlaqah

"Mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahibul

maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi

oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis." Dalam

42

pembahasan fiqih ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan

ungkapan if'al ma syi'ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul maal ke

mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar. Jenis usaha disini

mempunyai syarat yaitu aman, halal dan menguntungkan.

b. Mudharabah Muqayyadah

Mudharabah muqayyadah atau istilah lainnya restricted

mudharabah atau specified mudharabah adalah mudharib dibatasi

dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya

pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si

shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha.

7. Terjadinya Kerugian

Kerugian dalam mudharabah adalah ketidak mampuan nasabah

dalam membayar cicilan pokok senilai pembiayaan yang telah diterimanya

atau jumlah seluruh cicilan lebih kecil dari pembiayaan yang telah

diterimanya. Kerugian ditanggung oleh bank syariah, kecuali akibat:

a. nasabah melanggar syarat yang telah disepakati;

b. nasabah lalai dalam menjalankan modalnya.

Kemungkinan bank menderita kerugian dari berbagai operasinya

menyalurkan dananya kepada masyarakat, apabila terdapat banyak sekali

nasabah yang tidak memenuhi kewajibannya. Namun, apabila bank Islam

dikelola secara profesional kemungkinan terjadinya kerugian sangat kecil,

43

karena kerugian disalah satu portofolio akan dapat ditutupi dengan 64

keuntungan pada portofolio lain, dalam hal ini semuanya terhimpun dalam

pot dana (pool of fund).

Cara mengurangi risiko kerugian yang dihadapi nasabah atau

mengurangi jumlah nasabah yang tidak memenuhi kewajibannya, maka

diperlukan peningkatan profesionalisme para pengelola bank Islam

terutama dalam menilai kelayakan proyek dan karakter nasabah. Proyek

proyek yang besar dianjurkan memakai akuntan public untuk menilai

laporan keuangan proyek.

8. Teknik Mudharabah dalam Perbankan

Teknik mudharabah dalam perbankan sebagai berikut:

1. Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola

modal, harus diserahkan tunai, dapat berupa uang. Apabila modal

diserahkan secara bertahap harus jelas tahapannya dan disepakati

bersama;

2. Hasil pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat

diperhitungkan dengan dua cara:

1) Perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing);

2) Perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing);

3. Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap

bulan atau waktu yang telah disepakati. Bank selaku pemilik modal

menanggung seluruh kerugian kecuali akibat kelalaian dan

44

penyimpangan pihak nasabah, seperti penyelewengan, kecurangan dan

penyalahgunaan dana;

4. Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak

berhak mencampuri urusan pekerjaan atau usaha nasabah;

5. Jika nasabah cidera janji dengan sengaja, misalnya tidak mau

membayar kewajiban atau menunda pembayaran kewajiban dapat

dikenakan sanksi administrasi.

9. Manfaat Mudharabah

Manfaat mudharabah adalah sebagai berikut:

a. Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan

usaha nasabah meningkat;

b. Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah

pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan atau

hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative

spread;

c. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow atau

arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah;

d. Bank akan lebih selektif dan hati-hati mencari usaha yang benar-benar

aman, halal dan menguntungkan karena keuntungan yang konkrit dan

benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan;

e. Prinsip bagi hasil dalam mudharabah ini berbeda dengan prinsip

bunga tetap.

45

Gambar 2

Skema Mudharabah

Keahlian/ ModalKeterampilan 100%

Nisbah Nisban PengembalianX % Y % Modal Pokok

2.1.5. Pengakuan Laba atau Rugi Mudharabah

Apabila pembiayaan mudharabah melewati satu periode pelaporan:

1) Laba pembiayaan mudharabah diakui dalam periode terjadinya hak

bagi hasil sesuai nisbah yang disepakati;

2) Rugi yang terjadi diakui dalam periode terjadinya rugi tersebut dan

mengurangi saldo pembiayaan mudharabah.

Pengakuan laba atau rugi mudharabah dalam praktik dapat diketahui

berdasarkan laporan bagi hasil dari pengelola dana yang diterima oleh

Perjanjian Bagi

Hasil

Laba

Rugi

Proyek/ Usaha

Nasabah

(Mudharib)

BPRS PNM BINAMA(Shahibul maal)

MODAL

46

bank. Bagi hasil mudharabah dapat dilakukan dengan menggunakan dua

metode, yaitu bagi laba (profit sharing) atau bagi pendapatan (revenue

sharing). Bagi laba, dihitung dari pendapatan setelah dikurangi beban

yang berkaitan dengan pengelolaan dana mudharabah. Sedangkan bagi

pendapatan, dihitung dari total pendapatan pengelolaan mudharabah.

Rugi pembiayaan mudharabah yang diakibatkan penghentian

mudharabah sebelum masa akad berakhir diakui sebagai pengurang

pembiayaan mudharabah. Rugi pengelolaan yang timbul akibat kelalaian

atau kesalahan pengelola dana dibebankan pada pengelola dana.

Bagian laba bank yang tidak dibayarkan oleh pengelola dana pada

saat mudharabah selesai atau dihentikan sebelum masanya berakhir diakui

sebagai piutang jatuh tempo kepada pengelola dana.

2.2. Penelitian Terdahulu

1. Penelitian terdahulu peneliti mengambil refrensi dari mahasiswa

Fakultas Ekonomi Universitasa Negeri Malang. Taufan Al-Amin

Jurusan Manajemen Konsentrasi Manajemen Keuangan angkatan 2001

dalam skripsinya tentang Bank Syariah yang berjudul ”PENGARUH

FATWA MUI TENTANG KEHARAMAN BUNGA BANK

TERHADAP MINAT MASYARAKAT UNTUK MENGALIHKAN

DANANYA KE BANK SYARIAH” menyimpulkan bahwa tidak

terdapat pengaruh yang signifikan antara fatwa MUI tentang bunga

bank haram yang dikeluarkan pada tahun 2003 dengan minat

47

masyarakat untuk menabung di bank syariah. Penelitian tersebut

dilakukan pada tahun 2005. Alasan masyarakat tidak begitu

terpengaruh dengan adanya fatwa tersebut adalah karena mereka

bersikap rasional dan lebih banyak menggunakan pertimbangan pribadi

daripada pendapat orang lain maupun lembaga.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Umi Fauziyah, Sekolah Tinggi Agama

Islam Negri (STAIN) Surakarta 2006, dalam penelitiannya yang

berjudul “ANALISIS METODE PERHITUNGAN BAGI HASIL

PADA PEMBIAYAAN MUDHARABAH BERDASARKAN

FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL (DSN) di BMT KHONSA

CILACAP” menyimpulkan bahwa BMT KHONSA sebaiknya tetap

menggunakan metode revenue sharing dalam pembiayaan

mudharabahnya, karena metode revenue sharing ini sudah sesuai

dengan Fatwa DSN No.15/DSNMUI/IX/2000.

3. Penelitian yang dikaji oleh Ismul Ashari, Institut Agama Islam Negeri

Sumatra Utara-Medan 2009, dalam penelitiannya yang berjudul

“ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PENENTUAN NISBAH BAGI HASIL SISTEM PEMBIAYAAN

MUDHARABAH PERBANKAN SYARIAH

(Studi Kasus Pada PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. Cabang

Medan)” menyimpulkan bahwa Penentuan nisbah bagi hasil sistem

48

pembiayaan mudharabah pada perbankan syariah dipengaruhi oleh

faktor-faktor nominal pembiayaan, waktu berlakunya pembiayaan dan

jenis usaha yang akan terkait dengan prospek dan resiko usaha

tersebut.

4. Penelitian terdahulu yang diteliti juga oleh Fariq Falahi mahasiswa

Fakultas Syariah jurusan Ekonomi Islam Institut Agama Islam Negeri

Walisongo Semarang 2010 yang judul penelitiannya adalah

“IMPLEMENTASI AKAD MUDHARABAH SERTA

DAMPAKNYA TERHADAP PRODUK PENGHIMPUNAN DANA

DI BANK SYARIAH MANDIRI KUDUS”. Menyatakan bahwa

penerapan akad Mudharabah terhadap produk penghimpunan dana di

bank syariah mandiri kudus adalah menggunakan metode revenue

sharing.

2.3. Kerangka Berfikir

Salah satu pendapatan utama BPRS adalah dari produk

pembiayaan mudharabah. Produk ini menggunakan prinsip bagi hasil,

yang di tentukan berdasarkan kesepakatan dan menggunakan prosentase

keuntungan tertentu. Metode perhitungan bagi hasil yang digunakan

adalah revenue sharing sesuai yang ditentukan Fatwa Dewan Syariah

Nasional. Revenue sharing merupakan suatu metode perhitungan bagi

hasil yang dihitung dari total pendapatan.

49

Hal-hal yang mempengaruhi bagi hasil adalah saldo pembiayaan,

jangka waktu pengembalian, sistem pengembalian, hasil yang diharapkan

oleh BPRS, nisbah bagi hasil, proyeksi pendapatan dari calon peminjam,

realisasi pendapatan yang sesungguhnya, tingkat persaingan harga, baik

dengan lembaga keuangan sejenis maupun dengan lembaga

konvensional.

Mengingat hal tersebut apabila saldo pembiayaan tinggi, nisbah

bagi hasil tinggi, maka tingkat keuntungan yang diperoleh BPRS akan

tinggi pula. Sedangkan jangka waktu pembiayaan terkait dengan jumlah

angsuran bagi hasil yang akan diterima setiap bulan. Apabila jangka

waktu pendek, maka angsuran yang diperoleh akan besar. Apabila jangka

waktu pembiayaan panjang, maka angsuran bagi hasil yang diterima akan

cenderung kecil. Kalau angsuran pokok tergantung dari saldo

pembiayaan. Apabila angsuran pokok besar, maka saldo pembiayaan

sedikit atau cepat lunas. Apabila angsuran pokok kecil, maka saldo

pembiayaan besar atau pelunasannya lama.

50

Saldo Pembiayaan

Jangka Waktu Pengembalian

Tingkat Persaingan Harga

Sistem Pengembalian

Hasil yang diharapkan

Nisbah Bagi Hasil

Proyeksi Pendapatan

FATWA DSN

Bagi hasil yang di peroleholeh BPRS

Gambar 3

Kerangka berfikir

Saldo pembiayaan, jangka waktu pengembalian, sistem

pengembalian, hasil yang diharapkan oleh BPRS, nisbah bagi hasil,

proyeksi pendapatan dari calon peminjam dan tingkat persaingan harga

akan berpengaruh secara signifikan terhadap bagi hasil yang diterima oleh

BPRS. Metode yang digunakan BPRS PNM BINAMA diharapkan sesuai

dengan Fatwa DSN, maka bagi hasil yang diperoleh BPRS juga

diharapkan sesuai dengan Fatwa DSN, sehingga tidak ada pihak yang

merasa dirugikan.