BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Spiritual 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/45704/3/Bab 2.pdf ·...
-
Upload
nguyenhanh -
Category
Documents
-
view
220 -
download
0
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Spiritual 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/45704/3/Bab 2.pdf ·...
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Spiritual
2.1.1 Pengertian Spiritual
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), spiritual artinya adalah yang
berhubungan dengan sifat kejiwaan (rohani dan batin). Spiritual merupakan kebangkitan
atau pencerahan dalam diri untuk mencapai tujuan dan makna dalam hidup serta bagian
paling pokok dari masalah kesehatan dan kesejahteraan seseorang (Hasan 2006, dalam
Pustakasari, 2014).
Spiritual adalah kebutuhan dasar dan pencapaian tertinggi seorang manusia dalam
kehidupannya tanpa memandang suku atau asal-usul. Kebutuhan dasar tersebut meliputi:
kebutuhan fisiologis, keamanan dan keselamatan, cinta kasih, dihargai dan aktualitas diri.
Aktualitas diri merupakan sebuah tahapan spiritual seseorang, dimana berlimpah dengan
kreativitas, intuisi, keceriaan, sukacita, kasih sayang, kedamaian, toleransi, kerendahatian
serta memiliki tujuan hidup yang jelas (Prijosaksono 2003, dalam Astaria, 2010).
Spiritual merupakan keyakinan dalam hubungannya dengan Tuhan YME
maupun Maha Pencipta (Hamid 1999, dalam Astaria, 2010). Spiritual juga bias disebut
sesuatu yang dirasakan diri sendiri dan hubungan dengan orang sekitar, yang terwujud
dalam sikap mengasihi orang lain, baik dan ramah kepada orang lain, menghormati setiap
orang agar orang disekitar merasa senang. Spiritual adalah semua yang mencakup
kehidupan, tidak hanya doa maupun mengenal dan mengakui TuhanNya (Nelson 2002
dalam Astaria, 2010).
13
Menurut Meckley, et al., (1992) dalam Astaria, (2010) spiritual suatu multi
dimensi yaitu dimensi eksitensi dan deminsi agama. Dimensi eksitensi yaitu fokus dalam
tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama yaitu dominan fokus pada
hubungan seseorang dengan TuhanNya. Spiritual sebagai konsep dua dimensi yaitu
dimensi vertical dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal berperan sebagai hubungan
dengan Tuhan yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal
berperan dalam hubungan diri sendiri dengan orang lain.
2.1.2 Dimensi Spiritual
Menurut Ginanjar, (2004) dalam Rani, (2011) mengatakan dimensi spiritualitas
ada 3 macam yaitu tanggung jawab, pemaaf, dan pengasih sedangkan dimensi spiritual itu
sendiri merupakan kekuatan dalam diri untuk tertimbulnya rasa kedamaian dan
kebahagiaan pada diri seseorang. Berikut definisi dimensi spiritualitas menurut Ginanjar,
2004 (dalam Rani, 2011), yaitu:
1. Tanggung jawab
Tanggung jawab yaitu kemampuan dalam menyelesaikan semua tugas sebagai
wujud ihsan kepada Al-Wakil. Sedangkan bertanggung adalah sikap dan kewajiban yang
mana dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan, Negara dan Tuhan.
2. Pemaaf
Pemaaf merupakan sikap menerima maaf dalam mengikhlaskan masalah sebagai
wujud ihsan pada Al-Ghafar atau orang yang rela memberi maaf kepada orang lain tanpa
sedikit ada rasa benci dan keinginan untuk membalas semua kesalahan-kesalahan yang
pernah mereka perbuat.
14
3. Pengasih
Pengasih merupakan unsur dorongan dalam menyayangi sesama manusia sebagai
wujud ihsan pada Ar-Rahman atau sebagai perwujudan rasa kasih sayang yang
diwujudkan dalam perlakuan dan sikap diri sendiri maupun ke sesama.
2.1.3 Tingkat Spiritual
Menurut Hasan, (2006) dalam Rani, (2011), tingkat spiritualitas manusia ada
tujuh tingkatan dari yang bersifat egoistik maupun yang suci secara spiritual, yang dinilai
bukan oleh manusia, namun langsung oleh Allah SWT, yaitu:
1. Nafs Ammarah
Pada tahap ini, orang yang nafsunya didominasi godaan yang mengarah pada
kejahatan. Pada tahap ini orang yang tidak dapat mengontrol dirinya dan tidak memiliki
moralitas atau rasa kasih. Dendam, kemarahan, ketamakan, gairah seksual, dan iri hati
adalah sifat seseorang yang muncul pada tahap ini. Pada tahap ini kesadaran dan akal
manusia dikalahkan oleh hawa nafsu.
2. Nafs Lawwamah
Orang yang berada pada tahap ini mulai memiliki kesadaran terhadap perilaku-
perilakunya dan dapat membedakan yang baik maupun benar, dan menyesali kesalahan-
kesalahannya. Akan tetapi masih belum ada kemampuan untuk mengubah gaya
hidupnya. Sebagai langkah awal, mencoba untuk mengikuti kewajiban agamanya, seperti
sholat, berpuasa, membayar zakat dan mencoba berperilaku baik. Nafsu manusia selalu
mengajak hal-hal dalam kejahatan maupun perilaku keji. Pada tahap ini, ada tiga hal yang
15
dapat menjadi bahaya, yaitu kemunafikan, kesombongan dan kemarahan. Mereka tidak
akan bisa bebas dari godaan setiap kali beraktifitas.
3. Nafs Mulhiman (The Inspireda Self)
Pada tahap ini, seseorang akan merasakan ketulusan dalam beribadah yang benar-
benar termotivasi dari cinta dan kasih sayang, serta adanya pengabdian dan nilai-nilai
moral. Tahap ini merupakan dari awal praktik sufisme seseorang, meskipun seseorang
belum tentu terbebas dari keinginan maupun ego pada tahap ini, namun pada tahap ini
motivasi dan pengalaman spiritual terdahulu dapat mengurangi untuk pertama kalinya.
Pada tahap ini adalah kelembutan, kasih sayang, kreativitas dan perilaku tindakan moral
merupakan perilaku yang umum. Secara keseluruhan orang yang berada pada tahap ini,
memiliki emosi yang matang dan menghargai serta dihargai orang.
4. Nafs Muthma’innah
Pada tahap ini, seseorang merasakan kedamaian dalam hidupnya serta pergolakan
pada tahap awal telah lewat. Kebutuhan dan ikatan lama sudah tidak dibutuhkan oleh
seseorang. Pada tahap ini kepentingan seseorang mulai lenyap membuat lebih dekat
dengan TuhanNya. Pada tingkat ini seseorang akan membuat pikirannya terbuka,
bersyukur, dapat dipercaya, dan penuh kasih sayang. Ketika seseorang menerima segala
kesulitan maupun cobaan dihadapi dengan kesabaran dan ketakwaan, maupun ketika
seseorang mendapatkan sebuah kenikmatan dapat dikatakan seseorang telah mencapai
tingkat jiwa yang tenang. Dari segi perkembangan tahap ini memasuki dalam periode
transisi. Seseorang sudah mulai dapat melepaskan semua belenggu dalam dirinya
sebelumnya dan telah mulai melakukan integrasi kembali pada semua aspek universal
kehidupan.
16
Seseorang telah merasakan kedamaian, kebahagiaan, kegembiraan dalam
beragama seperti diberi surga di atas dunia. Setiap kata-kata yang diucapkan bersumber
pada Al-Qur’an dan Hadist maupun kata-kata suci lainnya. Ibadah dan pengabdiannya
menghasilkan pada perkembangan spiritualnya.
5. Nafs Radhiyah
Pada tahap ini seseorang tidak hanya tenang dengan dirinya sendiri, namun juga
tetap bahagia dan tegar melewati keadaan sulit, musibah atau cobaan dalam
kehidupannya. Menyadari kesulitan yang datang dari Allah untuk memperkuat dan
memperkokoh imannya. Keadaan bahagia itu sendiri tidak bersifat hedonistik atau
materalistik, dan berbeda dengan hal yang biasa dialami seseorang yang berorientasi pada
hal yang sifatnya duniawi, pemenuhan kesenangan (pleasure principle) dan penghindaran
rasa sakit (paint principle). Ketika seseorang sampai pada tingkat mencintai dan bersyukur
kepada Allah berarti seseorang tersebut telah mencapai tahap perkembangan spiritual ini.
Namun hanya sedikit orang yang dapat mencapai tahap spiritual ini.
6. Nafs Mardhiyah
Pada tahap ini, ketika seseorang mengalami kesulitan akan merasakan
kebahagiaan, musibah atau cobaan dalam kehidupannya. Menyadari akan segala kesulitan
yang diberikan dari Allah untuk memperkuat imannya. Keadaan bahagia itu sendiri tidak
bersifat hedonistik atau materalistik, dan berbeda dengan hal yang biasa dialami oleh
seseorang yang berbeda dengan hal yang biasa dialami seseorang yang berorientasi pada
hal yang sifatnya duniawi, pemenuhan kesenangan (pleasure principle) dan penghindaran
rasa sakit (paint principle). Ketika seseorang sampai pada tingkat mencintai dan bersyukur
kepada Allah berarti seseorang tersebut telah mencapai tahap perkembangan spiritual ini.
17
Namun sedikit orang yang dapat mencapai tahap ini. dalam segala kejadian
maupun cobaan adalah atas tindakan Allah yang mencintai mereka dalam setiap situasi.
Ketakwaan, kepasrahan, kesabaran, kesyukuran, dan cinta kepada Allah SWT adalah
cobaan dari Allah untuk menanggapinya dengan cepat ketika hamba-Nya kembali
kepada-Nya.
7. Nafs Safiyah
Seseorang yang telah mencapai tahap akhir ini telah mengalami transedensi diri
yang utuh. Tidak ada nafas yang tersisa, hanya penyatuan dengan Allah. Pada tahap ini
seseorang telah menyadari Kebenaran, “Tidak Ada Tuhan Selain Allah”, dan hanya
keilahian yang ada, dan setiap indera manusia atau keterpisahan adalah ilusi semata.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa, dalam mengembangkan spiritual
seseorang untuk menempuh tahap-tahap perkembangan yaitu dengan suatu cara, sarana
atau siasat yang berdasarkan ajaran Islam.
2.1.4 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Spiritual
Menurut Taylor et al., (1997) dalam Astaria, (2010), ada beberapa faktor penting
yang dapat mempengaruhi spiritual seseorang, yaitu:
1. Tahap perkembangan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap anak-anak dengan empat agama yang
berbeda ditemukan bahwa mereka memiliki konsep spiritualitas yang berbeda menurut
usia, jenis kelamin, agama dan kepribadian anak.
18
2. Keluarga
Peran orang tua sangat penting dalam perkembangan spiritualitas seorang anak
karena orang tua sebagai role model. Keluarga juga sebagai orang terdekat di lingkungan
dan pengalaman pertama anak dalam mengerti dan menyimpulkan kehidupan di dunia,
maka pada umumnya pengalaman pertama anak selalu berhubungan dengan orang tua
ataupun saudaranya.
3. Latar belakang etnik budaya
Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial
budaya. Hal yang perlu diperhatikan adalah apapun tradisi agama atau system keagamaan
yang dianut individu, tetap saja pengalaman spiritual tiap individu berbeda dan
mengandung hal unik.
4. Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalaman hidup baik positif maupun negatif dapat mempengaruhi spiritualitas
seseorang. Selain itu juga dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan secara
spiritual kejadian atau pengalaman tersebut. Peristiwa dalam kehidupan sering dianggap
sebagai suatu ujian. Pada saat ini, kebutuhan spiritual akan meningkat yang memerlukan
kedalaman spiritual dan kemampuan koping untuk memenuhinya.
5. Krisis dan perubahan
Krisis dan perubahan dapat memperkuat kedalaman spiritual seseorang. Krisis
sering dialami ketika individu dihadapkan dengan hal sulit. Apabila klien mengalami
krisis, maka keyakinan spiritual dan keinginan untuk melakukan kegiatan spiritual
menjadi lebih tinggi.
19
6. Terpisah dari ikatan spiritual
Individu yang biasa melakukan kegiatan spiritual ataupun tidak dapat berkumpul
dengan orang terdekat biasanya akan mengalami terjadinya perubahan fungsi spiritual.
2.1.5 Indikator Tingkat Spiritual
Indikator spiritual menurut Burkhandt, (1993) dalam Nilamastuti, (2016)
meliputi:
1. Hubungan dengan diri sendiri
Hubungan diri sendiri merupakan kekuatan yang timbul dari diri seseorang untuk
membantu menyadari makna dan tujuan hidup, seperti meninjau pengalaman hidup
sebagai pengalaman positif, kepuasan hidup, optimis terhadap masa depan, dan tujuan
hidup yang jelas.
2. Hubungan dengan orang lain
Hubungan dengan orang lain terdapat hubungan harmonis dan tidak harmonis.
Keadaan harmonis sendiri meliputi pembagian waktu, pengetahuan dan sumber,
mengasuh anak, mengasuh orang tua dan mengasuh orang-orang yang sakit, serta
meyakini kehidupan dan kematian. Sedangkan kondisi yang tidak harmonis yaitu konflik
dengan orang lain. Hubungan dengan orang lain lahir dari kebutuhan akan keadilan dan
kebaikan, menghargai kelemahan dan kepekaan orang lain, rasa takut akan kesepian,
keinginan dihargai dan diperhatikan, dan lain sebagainya. Dengan demikian apabila
seseorang mengalami kekurangan ataupun mengalami stres, maka orang lain dapat
memberi bantuan psikologis dan sosial.
20
3. Hubungan dengan alam
Harmoni merupakan gambaran hubungan seseorang dengan alam yang meliputi
pengetahuan tentang tanaman, pohon, margasatwa, iklim dan berkomunikasi dengan
alam serta melindungi alam tersebut.
4. Hubungan dengan Tuhan
Hubungan dengan Tuhan meliputi agama dan luar agama. Keadaan ini
menyangkut sembahyang dan berdoa, keikutsertaan dalam kegiatan ibadah, perlengkapan
keagamaan, serta bersatu dengan alam. Disimpulkan bahwa ketika seseorang telah
terpenuhi kebutuhan spiritualnya, apabila sudah mampu merumuskan arti personal yang
positif tentang tujuan keberadaannya di dunia atau pada kehidupan, mengembangkan arti
suatu penderitaan serta meyakini hikmah dari satu kejadian atau penderitaan, menjalin
hubungan yang positif maupun dinamis, membina integritas personal dan merasa diri
sendiri berharga, merasakan kehidupan yang terarah dan melakukan hubungan antar
manusia yang positif.
2.1.6 Pengukuran Tingkat Spiritual
Alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat spiritual pada individu
adalah Daily Spiritual Experience Scale (DSES), untuk mengukur pengalaman spiritual yang
biasa dilakukan setiap hari. DSES terdiri dari 15 item, termasuk konstruksi seperti rasa
takut, rasa syukur, pengampunan, rasa persatuan dengan transenden, cinta kasih, dan
keinginan untuk kedekatan dengan Allah. Prosedur ini adalah untuk menghasilkan model
dua faktor: Faktor 1 ditetapkan sebagai hubungan vertikal (Tuhan atau Transenden),
yang terdiri dari 12 item (misalnya, Pertemuan pada agama atau spiritualitas). Faktor 2
21
dicirikan sebagai hubungan horizontal (manusia atau orang lain), yang terdiri dari tiga
item (misalnya, Saya merasa peduli tanpa pamrih pada orang lain). Skala diukur pada 6
jenis skala Likert: 6 = berkali-kali sehari, 5 = setiap hari, 4 = hampir setiap hari, 3 =
beberapa hari, 2 = sekali-sekali, dan 1 = tidak pernah atau hampir tidak pernah, dengan
skor: Rendah = 15-39, Sedang = 40-64, Tinggi = 65-90 (Underwood, 2002 dalam
Nilamastuti, 2016).
Kriteria tersebut menjelaskan apabila seseorang merasakan pengalaman spiritual
dengan skala seringkali (>1 kali/hari) dalam kehidupan sehari-harinya maka tingkat
spiritualitasnya tinggi dan juga begitu sebaliknya. Pengalaman spiritualitas yang dirasakan
seseorang setiap hari (1 kali/hari) dan hampir setiap hari (5-6 kali/minggu) maka sudah
jelas tingkat spiritualitasnya akan tinggi, jika pengalaman spiritualitas yang dirasaka
seseorang kadang-kadang (3-4 kali/minggu ) dan jarang ( 1 – 2 kali/minggu ) maka
tingkat spiritualitas dari seseorang tersebut sedang. Apabila seseorang mengalami
pengalaman spiritualitas hampir tidak pernah (< 1 kali/minggu) makan tingkat
spiritualitasnya rendah (Permatasari, 2017).
2.2 Konsep Kecemasan
2.2.1 Pengertian Kecemasan
Menurut Corey, (2003) dalam Kurniawati, (2008) menyatakan bahwa kecemasan
merupakan suatu keadaan tegang yang memotivasi kita untuk melakukan sesuatu.
Sedangkan Atkinson, 1991 (dalam Kurniawati, 2008) mengemukakan bahwa kecemasan
merupakan bentuk dari emosi yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan istilah-
22
istilah seperti kekhawatiran, keprihatinan dan rasa takut yang kadang-kadang dialami
dalam tingkat yang berbeda.
Kecemasan merupakan ketakutan yang tidak bisa diidentifikasi dengan satu sebab
khusus dan dalam banyak peristiwa mampu mempengaruhi wilayah-wilayah penting
dalam kehidupan seseorang (Kartini Kartono, 2003 dalam Pamungkas Dkk, 2013).
Wilayah-wilayah penting fisik, kognitif, afektif, dan psikomotorik. Secara keseluruhan
kecemasan yang tidak segera tereduksi akan mempengaruhi aktivitas individu serta
berkurangnya produktivitias.
Kecemasan adalah suatu kondisi emosi yang tidak menyenangkan dimana
individu merasa tidak nyaman, tegang, gelisah, dan bingung. Perasaan cemas yang dialami
dapat mengganggu individu dalam kegiatan sehari-hari. Salah satu bentuk kecemasan
menurut Nugraheni, 2005 (dalam Akbar, 2016) adalah the anxiety of fate and death atau ontic
anxiety yaitu kecemasan akan nasib dan kematian. Kematian merupakan suatu kenyataan
yang akan datang kapan saja dan terhadap semua makhluk yang ada di dunia ini tanpa
kecuali dan tak satu makhluk pun mampu menolaknya.
2.2.2 Faktor-faktor Penyebab Kecemasan
Ramaiah, (2003) dalam Kurniawati, (2008) menyebutkan bahwa ada empat faktor
utama yang mempengaruhi perkembangan pola dasar yang menunjukkan reaksi rasa
cemas, yaitu:
1. Lingkungan
Lingkungan mempengaruhi cara berpikir tentang diri sendiri dan orang lain. Hal
ini bisa disebabkan pengalaman seseorang dengan keluarga, dengan sahabat, dengan
23
rekan sekerja, dan lain-lain. Kecemasan akan timbul jika seseorang merasa tidak aman
terhadap lingkungannya.
2. Emosi yang ditekan
Kecemasan bisa terjadi jika seseorang tidak mampu menemukan alan keluar
untuk perasaan dalam hubungan personal. Terutama jika seseorang menekan rasa marah
atau frustrasi dalam jangka waktu yang lama sekali.
3. Sebab-sebab fisik
Pikiran dan tubuh senantiasa saling berinteraksi dan dapat menyebabkan
timbulnya kecemasan. Selama ditimpa kondisi-kondisi ini, perubahan-perubahan
perasaan lazim muncul, dan ini dapat menyebabkan timbulnya kecemasan.
4. Keturunan
Sekalipun gangguan emosi ada yang ditemukan dalam keluarga-keluarga tertentu,
ini bukan merupakan penyebab penting dari kecemasan.
2.2.3 Jenis-jenis Kecemasan
Menurut Budiraharjo, (1997) dalam Kurniawati, (2008), mengkategorikan
kecemasan menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Kecemasan Realitas (reality anxiety)
Kecemasan realitas (reality anxiety) adalah kecemasan terhadap bahaya-bahaya
yang datang dari luar, seperti kecemasan terhadap kegagalan perkawinan yang dialami
seseorang saat akan menikah.
Menurut Koeswara (1991:45) menyatakan bahwa, kecemasan realitas berlawanan
dengan kecemasan neurotik. Kecemasan realitas merupakan reaksi terhadap persepsi
24
bahaya eksternal, terhadap cidera yang diramalkan dan diketahui sebelumnya. Kecemasan
realitas merupakan wujud dari insting perlindungan diri.
2. Kecemasan Neurotik (Neurotic Anxiety)
Kecemasan Neurotik (Neurotic Anxiety) adalah kecemasan terhadap hal-hal yang
ada dalam bayangan seseorang karena pengalamannya. Misalkan seorang anak yang
merasa takut mencuri lagi karena pernah dikurung ibunya di tempat gelap.
Menurut Koeswara (1991:45) menyatakan bahwa, Kecemasan neurotik yaitu
kecemasan atau tidak terkendalinya naluri-naluri primitif oleh ego yang nantinya bisa
mendatangkan hukuman. Orang yang menderita kecemasan neurotik selalu
mengantisipasi hal-hal yang terburuk dari semua akibat yang mungkin ada, mengartikan
semua kesempatan yang muncul sebagai suatu pertanda buruk dan menganggap suatu
ketidakpastian sebagai hal yang buruk.
3. Kecemasan Moral (Moral Anxiety)
Kecemasan Moral (Moral Anxiety) adalah kecemasan yang muncul pada saat
seseorang melanggar nilai moral di masyarakat atau keluarga. Misalkan, seorang anak
merasa cemas setelah berbohong kepada ibunya.
Kartono (1981:117) menyatakan bahwa, kecemasan dibagi dalam dalam dua
kategori, yaitu:
a. Neurotis
Erat kaitannya dengan mekanisme pertahanan diri yang negatif. Faktor
penyebabnya adalah adanya perasaan beresalah dan berdosa serta mengalami konflik
emosional yang serius dan kronis berkesinambungan, frustrasi dan ketegangan batin.
25
b. Psikotis
Karena adanya perasaan bahwa hidupnya terancam dan kacau balau, adanya
kebingungan yang hebat disebabkan oleh depersonalisasi dan disorganisasi psikis.
Kecemasan digambarkan sebagai state anxiety atau trait anxiety menurut para ilmuan
(Spielberger, 1972 dalam Clerq, 1994) dapat dijabarkan sebagai berikut:
State anxiety adalah reaksi emosi sementara yang timbul pada situasi tertentu, yang
dirasakan sebagai suatu ancaman. Trait anxiety menunjuk pada ciri atau sifat seseorang
yang cukup stabil yang mengarahkan seseorang untuk menginterpretasikan suatu
keadaan sebagai ancaman yang disebut dengan anxiety proneness (kecenderungan akan
kecemasan). Orang tersebut cenderung untuk merasakan berbagai macam keadaan
sebagai keadaan yang membahayakan atau mengancam, dan cenderung untuk
menanggapi dengan reaksi kecemasan.
Berdasarkan teori-teori diatas, maka dapat disimpulkan bahwa macam-macam
kecemasan meliputi state & trait anxiety, sedangkan kecemasan dalam kaitan dengan
gangguan mental yaitu kecemasan neurotis dan psikotis, berdasarkan sumbernya yaitu
kecemasan realitas, neurotik, dan kecemasan moral.
2.2.4 Tingkat Kecemasan
Tingkat kecemasan menurut Stuart dan Sundeen, (1998) dalam Kurniawati,
(2008) dapat diuraikan sebagai berikut:
26
1. Kecemasan Ringan
Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan
seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan dapat
memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.
2. Kecemasan Sedang
Memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan
mengesampingkan yang lain. Sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif
namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.
3. Kecemasan Berat
Sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang cenderung untuk
memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spsesifik dan tidak dapat berfikir tentang hal
lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut
memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.
4. Tingkat panik dari kecemasan
Berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror. Panik melibatkan
disorganisasi kepribadian. Dengan panik, terjadi peningkatan aktivitas motorikdengan
menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang
menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional.
2.2.5 Cara mengatasi kecemasan
Ramaiah, 2003 (dalam Kurniawati, 2008) memaparkan beberapa pendekatan
untuk mengatasi kecemasan. Pendekatan-pendekatan ini mencakup:
27
1. Psikoterapi
Istilah ini digunakan untuk banyak sekali metode pengobatan gangguan kejiwaan
dan emosi, lebih banyak dengan teknik-teknik psikologi daripada melalui obat-obatan
atau pengobatan fisik. Ada dua jenis utama psikoterapi untuk mengatasi keadaan
kecemasan. Keadaan ini mencakup psikoterapi wawasan dalam dan psikoterapi
pendukung.
2. Terapi relaksasi
Teknik-teknik relaksasi dapat membantu menenangkan pikiran seseorang yang
mengalami kecemasan jika seseorang tersebut bersedia menerima anjuran dari dokter dan
menerapkannya.
3. Meditasi
Meditasi transcendental atau bentuk-bentuk sederhana lain dari meditasi yang tidak
berhubungan dengan ritus-ritus atau praktek keagamaan, mungkin sekali dapat
digunakan untuk mengurangi gejala-gejala kecemasan. Berbagai studi penelitian di dunia
menunjukkan bahwa meditasi membantu menjaga tingkat optimum fungsi tubuh yang
tidak kita kuasai (seperti jumlah denyut jantung dalam semenit, pernafasan, pencernaan
makanan, dan sebagaianya).
4. Obat-obatan
Obat-obatan yang digunakan biasanya adalah obat penenang atau antidepresan
untuk mengurangi gejala-gejala kecemasan ini. Obat penenang ialah obat untuk
menenangkan saraf atau rasa cemas tanpa berpengaruh pada kesadaran. Obat anti depresan
ialah obat yang menghilangkan depresi dengan menjaga keseimbangan bahan-bahan
kimia dalam system saraf.
28
2.2.6 Indikator Kecemasan
Templer, (1970) dalam Mumpuni, (2014) berpendapat bahwa terdapat keluhan
dan gejala umum dalam kecemasan dibagi menjadi 5 macam-macam indikator, yaitu:
1. Death Anxiety Secara Umum
Dalam indikator ini berjumlah 3 item pernyataan yang dikategorikan dan terdapat
pada item dengan nomor soal: 1, 5, dan 7.
2. Ketakutan Akan Sakit
Dalam indikator ini berjumlah 4 item pernyataan yang dikategorikan dan terdapat
pada item dengan nomor soal: 4, 6, 9, dan 11.
3. Pemikiran Mengenai Kematian
Dalam indikator ini berjumlah 3 item pernyataan yang dikategorikan dan terdapat
pada item dengan nomor soal: 3, 10, dan 14.
4. Bergantinya Waktu Dan Kehidupan yang singkat
Dalam indikator ini berjumlah 3 item pernyataan yang dikategorikan dan terdapat
pada item dengan nomor soal: 2, 8, dan 12.
5. Ketakutan Akan Masa Depan
Dalam indikator ini berjumlah 2 pernyataan yang dikategorikan dan terdapat
pada item dengan nomor soal: 13 dan 15.
Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat 5 indikator
kecemasan, yaitu death anxiety secara umum, ketakutan akan sakit, pemikiran mengenai
kematian, bergantinya waktu dan kehidupan yang singkat, dan ketakutan akan masa
depan.
29
2.2.7 Pengukuran Kecemasan
Penilaian untuk menentukan tingkat kecemasan pada lansia dapat menggunakan
alat ukur SDA (Scale Of Death Anxiety) yang telah dikemukakan oleh Templer, (1970)
dalam Saleem, (2015) yang berjudul Journal Death Anxiety Scale; Translation And Validation
In Patient With Cardiovascular Desease. Dalam Scale Of Death Anxiety, pengukuran
kecemasan di sajikan melalui lima sub komponen terdiri dari yaitu death anxiety secara
umum, ketakutan akan sakit, pemikiran mengenai kematian, bergantinya waktu dan
kehidupan yang singkat, dan ketakutan akan masa depan. SDA (Scale Of Death Anxiety)
terdiri dari 5 tanda dan gejala kecemasan yang terdiri dari: 3 pernyataan death anxiety
secara umum (pernyataan nomor 1, 5, dan 7), 4 gejala pernyataan ketakutan akan sakit
(pernyataan nomor 4, 6, 9, dan 11), 3 pernyataan pemikiran mengenai kematian
(pernyataan nomor 3, 10, 14), 3 pernyataan mengenai bergantinya waktu dan kehidupan
yang singkat (pernyataan nomor 2, 8, 12), dan 2 pernyataan ketakutan akan masa depan
(13 dan 15).
Menurut Saleem, (2015) skoring tingkat kecemasan menyatakan kepada individu
seberapa sering mengalami masing-masing gejala selama 1 minggu terakhir. Penilaian
menggunakan tipe skala likert 3 kriteria dengan rentang nilai 1-2 (sangat tidak setuju),
nilai 3-4 (setuju) dan nilai 5 (sangat setuju), adapun cara penilaiannya sebagai berikut:
- Nilai 1 = Sangat Tidak Setuju (STS)
- Nilai 3 = Netral (N)
- Nilai 5 = Sangat Setuju (SS)
30
Selanjutnya nilai masing-masing dari 15 pernyataan SDA (Scale Of Death Anxiety)
tersebut diklasifikasikan dalam rentang skor dari 0 sampai 75. Semakin tinggi skor
mengindikasinya semakin tinggi level kecemasan, yang dikategorikan sebagai berikuti:
- Skore <15-35 = kecemasan rendah
- Skore 36-55 = kecemasan sedang
- Skore 56-75 = kecemasan tinggi
2.2.8 Konsep Kematian Pada Lansia
Kecemasan sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya,
Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik. Kecemasan yang tersering pada
lansia adalah tentang kematiannya. Orang mungkin menghadapi pikiran kematian dengan
rasa putus asa dan kecemasan, bukan dengan ketenangan hati dan rasa integritas. Pada
orang lansia biasanya memiliki kecenderungan penyakit kronis (menahun/berlangsung
beberapa tahun) dan progresif (makin berat) sampai penderitanya mengalami kematian.
Kondisi ini dialami secara subjektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal.
Kecemasan merupakan respon emosional terhadap penilaian tersebut. Kapasitas dalam
cemas diperlukan untuk bertahan hidup, akan tetapi tingkat kecemasan yang parah tidak
searah dengan kehidupan (Stuart & Sundeen 2000 dalam Febrianita, 2017).
Kecemasan khususnya pada lansia semakin hari cenderung semakin meningkat
karena banyakanya faktor dari dalam tubuh lansia yang dapat mempengaruhi kecemasan
misalnya penurunan fungsi organ. Lansia yang berada di panti dapat mengalami
peningkatan kecemasan karena faktor lingkungan dan sosial dalam kehidupan sehari-hari
di panti (Junaidi & Noor, 2010).
31
2.3 Konsep Lansia
2.3.1 Pengertian Lansia
Lansia dalam ilmu psikologi yang dikenal dengan istilah lain seperti Old Age atau
Elderly. Lansia adalah istilah yang dipergunakan untuk menunjuk pada orang- orang yang
sudah menjadi tua. Dalam Psikologi Perkembangan masa tua atau lansia merupakan
suatu harapan terakhir dari rentang kehidupan manusia yang secara teoritis dimulai ketika
seseorang memasuki usia 60 tahun sampai dengan meninggal (Hurlock 1992, dalam
Rahmah, 2015).
Lansia adalah tahap dimana terjadi penuaan dan penurunan, yang penurunannya
lebih jelas dan lebih dapat diperhatikan daripada tahap usia bayi. Penuaan merupakan
perubahan kumulatif pada makhluk hidup. Pada manusia, penuaan dihubungkan dengan
perubahan degenerative pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf
dan jaringan tubuh lainnya. Dengan kemampuan yang terbatas, mereka lebih rentan
terhadap berbagai penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan dewasa
lainnya (Hasan, 2006 dalam Rahmah, 2015).
Lansia (lanjut usia) merupakan seseorang yang karena usianya mengalami
perubahan biologis, fisis, kejiwaan dan sosial (UU No. 23 Tahun 1992 tentang
kesehatan). Pengertian dan pengelolaan lansia menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang lansia sebagai berikut, yaitu:
1. Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas.
2. Lansia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan.
3. Dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.
32
4. Lansia tak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga
hidupnya tergantung pada bantuan orang lain.
Menurut WHO (World Health Organizier), lansia meliputi dari usia pertengahan
yaitu: usia 46-59 tahun, usia lanjut (Elderly) yakni antara usia 60 -74 tahun, Tua (Old) yaitu
antara 75- 90 tahun, dan usia sangat tua (Very old) yaitu usia diatas 90 tahun (Setiabudhi
1999, dalam Rahmah ST, 2015), sedangkan menurut DepKes RI tahun 1999, umur lansia
terbagi 3 yaitu:
1. Usia pra senelis atau Virilitas adalah seseorang yang berusia 45-49 tahun.
2. Usia lanjut adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
3. Usia lanjut resiko tinggi adalah seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih atau
dengan masalah kesehatan.
2.3.2 Batasan Penduduk Lansia
Menurut Notoadmodjo, (2007) dalam Karomah, (2016) batasan penduduk lansia
dapat dilihat dari aspek-aspek biologi, ekonomi, sosial dan batasan umur, yaitu:
1. Aspek biologi
Penduduk lansia ditinjau dari aspek biologi adalah penduduk yang telah
menjalani proses penuaan. Proses penuaan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan
tahap-tahap menurunnya berbagai fungsi organ tubuh yang ditandai dengan semakin
rentannya tubuh terhadap serangan berbagai penyakit yang dapat menyebabkan kematian
misalnya pada sistem kardiovaskuler pembuluh darah, pernafasaan, pencernaan,
endokrin dan lain sebagainya (Hawari, 2007). Hal ini disebabkan seiring meningkatnya
usia sehingga terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan serta sistem organ
33
(Notoatmodjo, 2007). Perubahan biologis yang terjadi antara lain adalah kekuatan fisik
berkurang, merasa cepat capek, dan stamina menurun, sikap tubuh yang semula tegap
menjadi bungkuk, kulit mengerut dan menjadi keriput, rambut memutih dan
pertumbuhan berkurang, gigi mulai tanggal satu persatu, perubahan pada mata,
berkurangnya pendengaran, daya cium dan melemahnya indera perasa serta terjadinya
pengapuran pada tulang (Bustan, 2000).
2. Aspek ekonomi
Posisi ekonomi secara keseluruhan dari pra lansia menunjukkkan peningkatan
yang signifikan sejak tahun 1970. Namun, lansia memiliki status ekonomi yang lebih
rendah dari orang-orang dewasa dibawah usia 65 tahun (McKenzie, 2006). Penduduk
yang tergolong lansia dipandang sebagai beban daripada potensi sumber daya bagi
pembangunan. Lansia dianggap warga yang tidak produktif dan perlu ditopang oleh
generasi yang lebih muda. Bagi lansia yang masih bekerja, produktivitasnya sudah
menurun dan pendapatannya lebih rendah dibandingkan pekerja usia produktif. Akan
tetapi, tidak semua penduduk yang termasuk dalam kelompok lansia ini memiliki kualitas
dan produktivitas rendah (Notoatmodjo, 2007).
3. Aspek sosial
Penduduk lansia merupakan kelompok tersendiri. Di negara barat, penduduk
lansia menduduki strata sosial dibawah kaum muda.Pada masyarakat tradisional di Asia
seperti Indonesia, penduduk lansia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus
dihormati oleh masyarakat yang usianya lebih muda (Notoatmodjo, 2007). Perubahan
status sosial usia lanjut pasti akan membawa akibat bagi yang bersangkutan dan perlu
dihadapi dengan persiapan yang baik dalam menghadapi perubahan tersebut. Aspek
34
sosial tidak dapat diabaikan dan sebaiknya diketahui oleh lansia sedini mungkin sehingga
dapat mempersiapkan diri sebaik mungkin (Depkes RI, 2000).
4. Aspek umur
Pendekatan umur atau usia adalah yang paling memungkinkan untuk
mendefinisikan penduduk lansia. Berdasarkan atas Undang-undang No. 13 tahun 1998
dalam Notoatmodjo (2007) batasan usia lanjut adalah 60 tahun. Namun Departemen
Kesehatan RI (2000) membuat pengelompokkan masa lansia seperti dibawah ini:
a. Kelompok usiaprasenilis/virilitas, adalah kelompok yang berusia 45-59 tahun.
b. Kelompok usia lanjut adalah kelompok yang berusia 60 tahun atau lebih.
c. Kelompok usia lanjut dengan risiko tinggi adalah kelompok yang berusia 70 tahun
atau lebih, atau kelompok yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
Sedangkan menurut Organisasi Kesehatan dunia (WHO) usia lanjut meliputi:
a. Usia pertengahan (middle age) adalah kelompok usia 45 – 59 tahun.
b. Usia lanjut (elderly) adalah kelompok usia antara 60-74 tahun.
c. Usia lanjut tua (old) adalah kelompok usia anatara 75-90 tahun.
d. Usia sangat tua (very old) adalah kelompok usia diatas 90 tahun.
2.3.3 Hak Dan Kewajiban Lansia
Lansia merupakan warga Negara yang memiliki hak yang sama dengan Negara
lainnya. Disebutkan dalam UU nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia
menyatakan bahwa lansia mempunyai hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
35
Sesuai dengan UU No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia,
sebagaimana penjelasan pada pasal 5 ayat 2 bahwa, sebagai penghormatan dan
penghargaan kepada lansia diberikan hak untuk meningkatkan kesejahteraan sosial yang
meliputi:
1. Pelayanan keagamaan dan mental spiritual.
2. Pelayanan kesehatan.
3. Pelayanan kesempatan kerja.
4. Pelayanan pendidikan dan pelatihan.
5. Kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana umum.
6. Kemudahan dalam layanan dan bantuan hokum.
7. Perlindungan sosial.
8. Bantuan sosial.
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 selain hak lansia memiliki
kewajiban yang telah disebutkan dalam dimana lansia mempunyai kewajiban yang sama
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan peran dan
fungsinya, lansia berkewajiban untuk, yaitu:
1. Membimbing dan memberi nasihat secara arif dan bijaksana berdasarkanpengetahuan
dan pengalamannya, terutama di lngkungan keluarganya dalam rangka menjaga
martabat dan meningkatkan kesejahteraannya.
2. Mengamankan dan mentransformasikan ilmu pengetahuan, keahlian, keterampilan,
kemampuan, dan pengalaman yang dimilikinya kepada generasi penerus.
3. Memberikan keteladanan dalam segala aspek kehidupan kepada generasi penerus.
36
2.4 Konsep kehilangan Dan berduka
2.4.1 Pengertian Kehilangan Dan Berduka
Kehilangan adalah suatu keadaan individu mengalami kehilangan sesuatu yang
sebelumnya ada dan dimiliki. Kehilangan merupakan sesuatu yang sulit dihindari (Stuart,
2005 dalam Yusuf, 2014), seperti kehilangan harta, kesehatan, orang yang dicintai, dan
kesempatan. Berduka adalah reaksi terhadap kehilangan, yaitu respons emosional normal
dan merupakan suatu proses untuk memecahkan masalah. Seorang individu harus
diberikan kesempatan untuk menemukan koping yang efektif dalam melalui proses
berduka, sehingga mampu menerima kenyataan kehilangan yang menyebabkan berduka
dan merupakan bagian dari proses kehidupan. Kehilangan dapat terjadi terhadap objek
yang bersifat aktual, dipersepsikan, atau sesuatu yang diantisipasi. Jika diperhatikan dari
objek yang hilang, dapat merupakan objek eksternal, orang yang berarti, lingkungan,
aspek diri, atau aspek kehidupan. Berbagai hal yang mungkin dirasakan hilang ketika
seseorang mengalami sakit apalagi sakit kronis antara lain sebagai berikut.
Berduka merupakan respons terhadap kehilangan. Berduka dikarakteristikkan
sebagai berikut.
1. Berduka menunjukkan suatu reaksi syok dan ketidakyakinan.
2. Berduka menunjukkan perasaan sedih dan hampa bila mengingat kembali kejadian
kehilangan.
3. Berduka menunjukkan perasaan tidak nyaman, sering disertai dengan menangis,
keluhan sesak pada dada, tercekik, dan nafas pendek.
4. Mengenang orang yang telah pergi secara terus-menerus.
5. Mengalami perasaan berduka.
37
6. Mudah tersinggung dan marah.
2.4.2 Tahapan Proses Kehilangan Dan Berduka
Kehilangan meliputi fase akut dan jangka panjang, yaitu:
1. Fase akut
Berlangsung selama 4 sampai 8 minggu setelah kematian, yang terdiri atas tiga
proses, yaitu syok dan tidak percaya, perkembangan kesadaran, serta restitusi.
a. Syok dan tidak percaya Respons awal berupa penyangkalan, secara emosional tidak
dapat menerima pedihnya kehilangan. Akan tetapi, proses ini sesungguhnya memang
dibutuhkan untuk menoleransi ketidakmampuan menghadapi kepedihan dan secara
perlahan untuk menerima kenyataan kematian.
b. Perkembangan kesadaran Gejala yang muncul adalah kemarahan dengan menyalahkan
orang lain, perasaan bersalah dengan menyalahkan diri sendiri melalui berbagai cara,
dan menangis untuk menurunkan tekanan dalam perasaan yang dalam.
c. Restitusi Merupakan proses yang formal dan ritual bersama teman dan keluarga
membantu menurunkan sisa perasaan tidak menerima kenyataan kehilangan.
2. Fase jangka panjang
a. Berlangsung selama satu sampai dua tahun atau lebih lama.
b. Reaksi berduka yang tidak terselesaikan akan menjadi penyakit yang tersembunyi dan
termanifestasi dalam berbagai gejala fisik. Pada beberapa individu berkembang
menjadi keinginan bunuh diri, sedangkan yang lainnya mengabaikan diri dengan
menolak makan dan menggunakan alkohol.
38
Menurut Schulz (1978) dalam Yusuf, (2014), proses berduka meliputi tiga
tahapan, yaitu fase awal, pertengahan, dan pemulihan.
1. Fase awal
Pada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak percaya,
perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut berlangsung selama
beberapa hari, kemudian individu kembali pada perasaan berduka berlebihan.
Selanjutnya, individu merasakan konflik dan mengekspresikannya dengan menangis dan
ketakutan. Fase ini akan berlangsung selama beberapa minggu.
2. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya perilaku
obsesif. Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-ulang peristiwa kehilangan yang
terjadi.
3. Fase pemulihan
Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu memutuskan
untuk tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk melanjutkan kehidupan. Pada fase
ini individu sudah mulai berpartisipasi kembali dalam kegiatan sosial.
2.4.3 Bentuk Kehilangan
1. Kehilangan orang bermakna, misalnya seseorang yang dicintai meninggal atau
dipenjara.
2. Kehilangan kesehatan bio-psiko-sosial, misalnya menderita suatu penyakit, amputasi
bagian tubuh, kehilangan pendapatan, kehilangan perasaan tentang diri, kehilangan
pekerjaan, kehilangan kedudukan, dan kehilangan kemampuan seksual.
39
3. Kehilangan milik pribadi, misalnya benda yang berharga, uang, atau perhiasan.
2.5 Konsep Hubungan Tingkat Spiritual Terhadap Kecemasan Menghadapi
Kematian Pada Lansia
Spiritual sangat mempengaruhi tingkat kecemasan menghadapi kematian, apabila
spiritualnya baik sesuai dengan nilai agama dan adat istiadat maka tingkat kecemasan
menghadapi kematian akan rendah. Hal ini didukung oleh pendapat Afandy (2008) yang
menyatakan bahwa spiritualitas memiliki pengaruh terhadap kecemasan menghadapi
kematian. Semakin baik spiritualitasnya maka semakin rendah tingkat kecemasan
menghadapi kematian (Nasution, 2009).
Dalam spiritualitas, yang penting adalah membangun kebaikan antara manusia
dengan manusia dan manusia dengan Tuhan. Lebih jauh, spiritualitas sangat penting
karena dapat mempengaruhi tingkat kecemasan menghadapi kematian yang akan
dihadapi sewaktu-waktu bagi lansia yang merupakan tahap akhir siklus hidup manusia.
Penyebab sumber tingkat kecemasan menghadapi kematian adalah kurangnya lansia
mendekatkan diri kepada Tuhan dan membatasi pergaulan dengan individu lain dan lebih
mementingkan mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Oleh karena itu
penelitian tentang tingkat kecemasan menghadapi kematian akan bermanfaat bagi
keluarga dengan lansia dan lansia itu sendiri untuk meningkatkan spiritualitas dengan
cara mendekatkan diri kepada Tuhan dan bergaul dengan individu lain (Nasution, 2009).
Koefisien nilai π hitung memiliki arah positif yang berarti bahwa semakin baik
spiritualitas lansia, maka tingkat kecemasan menghadapi kematian lansia di UPT
Pelayanan Sosial Tresna Werdha Blitar akan semakin rendah. Spiritualitas akan
40
berpengaruh terhadap tingkat kecemasan menghadapi kematian, spiritualitas yang baik
akan menjadikan tingkat kecemasan menghadapi kematian akan semakin rendah. Karena
memiliki kepercayaan dan kepasrahan kepada Allah bahwa hidup dan matiku hanya
untuk Allah sehingga berdampak pada kesiapan lansia menghadapi kematian yang datang
sewaktu-waktu. Tetapi untuk lansia yang tingkat kecemasan menghadapi kematian berat
akan berdampak pada rasa belum siap, cemas, atau depresi untuk menghadapi kematian
yang sewaktu-waktu akan datang. Kesadaran akan kematian datang seiring dengan
bertambahnya usia seseorang.
Bertambahnya usia merupakan proses menua yang paling krusial berada pada
tahap lansia. Lanjut usia dipandang sebagai masa di mana seseorang mengalami
degenerasi biologi disertai penderitaan dengan berbagai penyakit, yang mana hal tersebut
akan memunculkan suatu kesadaran dalam diri lansia mengenai kematian. Kesadaran
akan kematian menciptakan perasaan takut dan cemas pada diri lansia. Orang yang cemas
memiliki perbedaan pada kecakapan psikologi dan spiritual mereka (Khavari, 2009).
Banyak orang takut dan menyangkal akan datangnya kematian. Ketakutan akan
datangnya kematian yang dialami lansia lebih ditekankan pada ketakutan akan
ketidakpastian penyebab kematian, kehidupan setelah kematian dan bagaimana
kematiannya tersebut terjadi (Zohar dan Marshlml, 2010).
Selain itu menurut Setyawan (2013) faktor yang mempengaruhi seberapa baik
seseorang mengatasi perasaan atau memahami bahwa mereka akan menghadapi kematian
adalah fisolofi atau kepercayaan dan kemampuannya dalam mengatasi masalah, yang
mana hal itu merupakan salah satu indikator seseorang yang memiliki spiritualitas tinggi.
Suatu pemahaman akan kematian yang cerdas secara spiritualitas mampu memandang
41
seluruh konteks keberadaan yang lebih luas dan menganggap kematian tidak lain dari
suat bagian dari proses yang berkelanjutan (Zohar dan Marshlml, 2010).
Lansia yang spiritualitasnya tinggi menganggap kematian bukanlah akhir dari
kehidupan dan bukanlah suat ancaman baginya, akan tetapi kematian adalah suat
pendorong bagi dirinya untuk menjalani hidup lebih baik (Afandy, 2008). Dengan adanya
kematian manusia merasa memiliki batas untuk mengaktualisasikan dirinya, sehingga
muncul rasa ingin segera memenuhi kebutuhan akan harga dirinya sebelum kematian
dating (Hidayat, 2008). Kematian lebih diterima secara positif, karena lansia yang
memiliki spiritualitas tinggi mampu menyikapi dan menanggapi penderitaan yang
menimpa secara positif, selain itu kematian dianggap hanyalah salah satu proses
kehidupan yang harus dilalui untuk menuju kehidupan yang selanjutnya (Hawari, 2011).
Lansia yang mampu memiliki spiritualitas tinggi mampu menghadapi kenyataan
akan kematian dan tetap berperan aktif dalam menjalankan tanggung jawab di kehidupan
ini. Lansia pasrah terhadap ketentuan akan kematian, akan tetapi kepasrahan tersebut
tersebut tetap diiringi dengan usaha pemanfaatan kehidupan untuk menjadi lebih baik
menjelang kematian (Kusumawati, 2010). Selain itu lansia mampu merumuskan arti dan
tujuan keberadaannya di dunia yang sementara ini. Mampu membina integritas personal
serta mampu mengembangkan hubungan antara manusia yang positif, sehingga dengan
adanya hubungan tersebut lansia dapat terbuka dan bertukar pikiran dengan lansia yang
lain mengenai pengalaman hidup atau permasalahan yang dihadapi (Nasution, 2009).