BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka II..pdf · dalam pengambilan keputusan dalam paruman ......

23
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Ada beberapa kajian lain yang berkaitan dengan penelitian Partisipasi Perempuan Dalam Proses Pembuatan Pararem di Desa Pakraman Panjer, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, antara lain yaitu yang pertama penelitian mengenai Peranan Organisasi PKK Untuk Menggerakan Partisipasi Perempuan Dalam Pembangunan Masyarakat Di Desa Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan yang ditulis oleh Drs, I Wayan Landrawan,M.Si, Ni Made Dewi Riyani dan Ratna Artha Windari, S.H. dalam penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui fungsi dan peran organisasi PKK untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di Desa Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, (2) hambatan PKK dalam menjalankan fungsi dan perannya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di Desa Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, (3) upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan PKK dalam melaksanakan perannya di Desa Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian deskriptif kualitatif dengan penentuan subyek penelitian menggunakan teknik purposive sampling sehingga yang menjadi subjek penelitian yaitu Kepala Desa, anggota-anggota organisasi PKK, dan warga masyarakat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data yakni metode wawancara, observasi dan metode pencatatan dokumen.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka II..pdf · dalam pengambilan keputusan dalam paruman ......

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka

Ada beberapa kajian lain yang berkaitan dengan penelitian Partisipasi

Perempuan Dalam Proses Pembuatan Pararem di Desa Pakraman Panjer,

Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, antara lain yaitu yang pertama

penelitian mengenai Peranan Organisasi PKK Untuk Menggerakan Partisipasi

Perempuan Dalam Pembangunan Masyarakat Di Desa Baturiti, Kecamatan

Baturiti, Kabupaten Tabanan yang ditulis oleh Drs, I Wayan Landrawan,M.Si, Ni

Made Dewi Riyani dan Ratna Artha Windari, S.H. dalam penelitian ini bertujuan

untuk (1) mengetahui fungsi dan peran organisasi PKK untuk meningkatkan

partisipasi masyarakat di Desa Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan,

(2) hambatan PKK dalam menjalankan fungsi dan perannya untuk meningkatkan

partisipasi masyarakat di Desa Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan,

(3) upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan PKK dalam melaksanakan

perannya di Desa Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian deskriptif kualitatif

dengan penentuan subyek penelitian menggunakan teknik purposive sampling

sehingga yang menjadi subjek penelitian yaitu Kepala Desa, anggota-anggota

organisasi PKK, dan warga masyarakat. Metode yang digunakan dalam penelitian

ini menggunakan metode pengumpulan data yakni metode wawancara, observasi

dan metode pencatatan dokumen.

12

Dari penelitian tersebut didapatkan organisasi PKK di di Desa Baturiti,

Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan memiliki fungsi dan peran yang penting

dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan sudah berjalan

akan tetapi belum maksimal. Hambatan yang dialami oleh organisasi ini yaitu

berasal dari dalam organisasi yaitu kurangnya koordinasi antara ketua, pengurus,

dan anggota organisasi PKK, serta kurangnya partisipasi masyarakat dalam

mendukung pelaksanaan program yang telah dirancang. Upaya yang dapat

dilakukan yaitu meningkatkan koordinasi antara ketua PKK, anggota organisasi

PKK desa dan masyarakat yang ada di Desa Baturiti.

Yang kedua penelitian tentang Peran Perempuan Dalam Formulasi

Kebijakan Pada Pemerintah Nagari (Dinamika Budaya Matrilineal di Nagari

Mungo, Kecamatan Luak, Kabupaten Lima Puluh, Kota Sumatra Barat yang ditulis

oleh Roza Leismana (2005). Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

bagaimana peran perempuan dalam proses formulasi kebijakan di Nagari Mungo

dan faktor-faktor yang mempengaruhi peran perempuan tersebut.

Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dengan pendekatan

kualitatif. Penelitian ini menekankan pada penelitian lapangan, penggambaran dan

interpretasi dari data, fakta dan informasi yang berkaitan dengan masalah peran

perempuan dalam formulasi kebijakan di Nagari Mungo. Hasil penelitian

menunjukan bahwa peran perempuan dalam proses formulasi kebijakan di Nagari

Mungo terbatas pada tahap perumusan masalah, sedangkan tahap penyusunan

agenda kegiatan, pemilihan alternatif dan penetapan kebijakan belum memberikan

peluang bagi perempuan untuk berpartisipasi secara lebih luas.

13

Hal ini terlihat dalam proses formulasi Peraturan Nagari (Perna) Mungo

yang telah berlaku saat ini. Faktor yang mempengaruhi keterlibatan perempuan

dalam proses formulasi kebijakan adalah faktor budaya lokal, akses bagi

perempuan (ke informasi dan ke pendidikan) dan struktur kelembagaan. Diantara

ketiga faktor yang paling mempengaruhi adalah faktor budaya lokal karena

terjadinya pergeseran budaya matrilineal ke matrilineal yang lebih cenderung ke

arah patriarkhi. Rekomendasi yang disarankan adalah memberikan kesempatan

kepada perempuan baik secara kualitas maupun kuantitas dalam proses kebijakan

public melalui pembagian dominasi antara laki-laki dan perempuan agar memiliki

kemampuan dalam menyadari posisi masing-masing dalam tataran seimbang.

Yang ketiga penelitian yang memaparkan mengenai Upaya-upaya Untuk

Mengimplementasikan Konvensi Wanita Kedalam Awig-awig Desa Pakraman

yang disusun oleh A.A. Ketut Sudiana (2008). Penelitian ini memaparkan tentang

membuat awig-awig yang responsif gender, terutama menyangkut hak bagi

perempuan (karma istri) untuk meraih peluang dalam kepemimpinan adat

(khususnya dalam komponen kepengurusan prajuru desa) dan dapat ikut serta

dalam pengambilan keputusan dalam paruman (rapat adat).

Hasil dalam penelitian ini yaitu dengan melakukan pembaharuan awig-awig

yang mengarah pada pengembangan hukum ada yang responsif gender. Dengan

merevitalisasi terhadap nilai-nilai budaya dan norma keagamaan yang tidak sesuai

dengan kenyataan perkembangan hidup masyarakat yang terkandung dalam awig-

awig desa Pakraman. Dengan berpedoman pada perkembangan hukum yang

14

berlaku dan berkaitan dengan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) seperti konvensi

wanita.

Terhadap pembaharuan yang diharapkan dari mengimplementasikan

konvensi wanita kedalam awig-awig dapat ditempuh dengan melakukan nguwah-

nguwahin awig-awig. Dalam melakukan nguwah-nguwahin awig-awig dapat

merujuk pada asas peraturan perundang-undangan yang ditransformasikan kedalam

awig-awig sebagai pintu masuk hak asasi perempuan sebagai manusia.

Persamaan dari ketiga penelitian ini adalah sama-sama ingin adanya

kesetaraan dan keadilan gender dalam tataran pemerintah daerah khususnya di desa.

Selanjutnya yang menjadi perbedaan dari ketiga penelitian ini adalah yang pertama

lebih menekankan pada peran organisasi PKK dalam meningkatkan partisipasi

masyarakat dalam pembangunan desa. yang kedua lebih menekankan pada peran

perempuan dalam formulasi kebijkan dan diharapkan adanya kesadaran akan posisi

masing-masing dalam tataran seimbang. Sedangkan ketiga lebih menekankan pada

implementasi konvensi wanita kedalam awig-awig desa pakraman dan

mengharapkan dilakukannya pembaharuan awig-awig yang mengarah pada

pengembangan hukum adat yang responsif gender.

2.2 Kerangka Konsep

Pada sebuah karya ilmiah untuk mendapatkan intisari atau pokok topik dari

sebuah karya ilmiah tentunya sangat memerlukan sebuah kerangka konsep.

Kerangka konsep merupakan suatu rangkaian dari objek penelitian yang menitik

beratkan pada intisari atau ide pokok dari sebuah penelitian. Kerangka konsep

15

dalam penelitian ini adalah partisipasi perempuan dalam proses pembuatan awig-

awig Desa Pakraman Panjer.

2.2.1 Konsep Partisipasi

Partisipasi dalam pembangunan ataupun dalam pengambilan keputusan

sangatlah penting, terutama bagi masyarakat yang ada di dalamnya. Masyarakat

harus mengetahui keputusan seperti apa yang diambil dan direalisasikan walau

peran tersebut dilakukan oleh pemerintah. Namun hal tersebut tidak lepas dari peran

masyarakat sebagai pihak yang akan merasakan dampak dari keputusan yang

diambil.

Partisipasi berasal dari bahasa inggris yaitu “Participation” adalah

pengambilan bagian atau pengikutsertaan. Menurut Ndraha (1990), yang diacu

dalam Lugiarti (2004), menyatakan partisipasi masyarakat dalam proses

pembangunan dapat dipilah meliputi : (1) Partisipasi dalam atau melalui kontak

dengan pihak lain sebagai awal perubahan sosial, (2) Partisipasi dalam

memperhatikan atau menyerap dan memberikan tanggapan terhadap informasi,

baik dalam arti menerima, menerima dengan syarat, maupun dalam arti

menolaknya, (3) Partisipasi dalam perencanaan termasuk pengambilan keputusan,

(4) Partisipasi dalam pelaksanaan oprasional, (5) Partisipasi dalam menerima,

memelihara, dan mengembangkan hasil pembangunan, yaitu keterlibatan

masyarakat dalam menilai tingkat pelaksanaan pembangunan.

Menurut Adjid (1985), mengartikan partisipasi sebagai kemampuan

masyarakat untuk bertindak dalam keberhasilan yang teratur untuk menanggapi

kondisi lingkungan, sehingga masyarakat tersebut dapat bertindak sesuai dengan

16

logika yang dikandung oleh kondisi suatu lingkungan. Menurut Cohen dan Uphoff

(1977), partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan

pembuatan keputusan tentang apa yang dilakukan, dalam pelaksanaan program dan

pengambilan keputusan untuk berkontribusi sumberdaya atau bekerjasama dalam

organisasi atau kegiatan khusus, berbagi manfaat dari program pembangunan dan

evaluasi program pembangunan.

Pengertian partisipasi menurut GBHN (1993) adalah peran serta masyarakat

yang meliputi :

1. Peran serta dalam memikul beban pembangunan, baik beban fisik

seperti biaya, tenaga, waktu, dan lain-lain, maupun berbagai sarana

penunjang atau beban non fisik seperti tanggapan, saran, pendapat, dan

pemikiran.

2. Peran serta dalam bertanggungjawab atas pelaksanaan pembangunan,

yaitu pertanggungjawaban administrasi dan kontrol sosial.

3. Peran serta masyarakat dalam menerima kembali hasil-hasil

pembangunan yaitu penilaian sosial terhadap manfaat pembangunan,

penggunaan hasil pembangunan, perawatan serta memelihara hasil

pembangunan.

Pengertian partisipasi diatas memiliki persamaan yaitu adanya keterlibatan

langsung masyarakat dalam merencanakan, pengambilan keputusan, dan

pelaksanaan dari hasil keputusan. Maka pengertian partisipasi menurut Adjid

(1985), Cohen dan Uphoff (1977) merupakan partisipasi yang bersifat

transformasional, yaitu ketika terjadinya partisipasi pada dirinya sendiri dipandang

17

sebagai tujuan dan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi,

misalnya menjadi lebih swadaya atau berkelanjutan. Untuk pengertian partisipasi

menurut GBHN bersifat instrumental, yaitu partisipasi dilihat sebagai suatu cara

atau alat untuk mencapai sasaran tertentu, yaitu perwujudan pembangunan

nasional.

Jadi dari beberapa pengertian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

partisipasi adalah suatu keterlibatan mental dan emosi serta fisik peserta dalam

memberikan respon terhadap kegiatan yang melaksanakan dalam proses belajar

mengajar serta mendukung pencapaian tujuan dan bertanggungjawab atas

keterlibatannya yang bersifat transformasional dan instrumental untuk mencapai

tujuan yang lebih tinggi.

Menurut Soetrisno (1995) bahwa secara umum, ada dua jenis definisi

partisipasi yang beredar di masyarakat, yaitu :

1. Partisipasi rakyat dalam pembangunan sebagai dukungan rakyat

terhadap rencana atau proyek yang dirancang dan ditentukan tujuannya

oleh perencanaan. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam

definisi ini pun diukur dengan kemauan rakyat ikut menanggung biaya

pembangunan, baik berupa uang maupun tenaga dalam melaksanakan

pembangunan.

2. Partisipasi rakyat dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat

antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan,

melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah

dicapai. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam

18

pembangunan tidak hanya dengan kemauan rakyat untuk menanggung

biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat ikut

menentukan arah dan tujuan pembangunan. Ukuran lain yang dapat

digunakan adalah ada tidaknya kemauan rakyat untuk secara mandiri

melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan.

Hal ini sesuai dengan pendapat Adi (2001), dalam perkembangan pemikiran

tentang partisipasi masyarakat dalam upaya pengembangan suatu komunitas, tidak

cukup hanya melihat partisipasi masyarakat hanya pada tahap perencanaan dan

pelaksanaan. Partisipasi masyarakat hendaknya pula meliputi hal-hal yang tidak

diarahkan, sehingga partisipasi masyarakat meliputi proses-proses :

a. Tahap assessment

Dilakukan dengan mengidentifikasi masalah dan sumberdaya yang dimiliki.

Untuk ini, masyarakat dilibatkan secara aktif melihat permasalahan yang

sedang terjadi, sehingga hal tersebut merupakan pandangan mereka sendiri.

b. Tahap Perencanaan

Dilakukan dengan melibatkan warga untuk berpikir tentang masalah yang

mereka hadapi dan cara mengatasinya dengan memikirkan beberapa

alternatif program.

c. Tahap pelaksanaan

Dilakukan dengan melaksanakan program yang sudah direncanakan dengan

baik agar tidak melenceng dengan pelaksanaannya di lapangan.

d. Tahap evaluasi

19

Dilakukan dengan adanya pengawasan dari masyarakat dan petugas

terhadap program yang sedang berjalan.

a. Unsur-unsur partisipasi menurut Keith Davis (Sastropoetro, 1988) ada tiga

unsur penting partisipasi yaitu :

1. Unsur pertama, bahwa partisipasi sesungguhnya merupakan suatu

keterlibatan mental dan perasaan dan tidak hanya keterlibatan secara

jasmaniah atau fisik.

2. Unsur kedua adalah kesediaan memberi sesuatu atau sumbangan kepada

usaha mencapai tujuan kelompok. Ini berarti bahwa terdapat rasa senang,

kesukarelaan untuk membantu kelompok.

3. Unsur ketiga adalah unsur tanggung jawab. Unsur tersebut merupakan segi

yang menonjol dari rasa menjadi anggota.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi

Ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi partisipasi masyarakat dalam

suatu program, sifat faktor-faktor tersebut dapat mendukung suatu keberhasilan

program namun ada juga yang sifatnya dapat menghambat keberhasilan program.

Faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang dalam berpartisipasi, yaitu:

1. Usia

Faktor usia merupakan faktor yang memengaruhi sikap seseorang terhadap

kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang ada. Mereka dari kelompok usia

menengah ke atas dengan keterikatan moral kepada nilai dan norma

masyarakat yang lebih baik cenderung lebih banyak yang berpartisipasi

daripada mereka yang dari kelompok usia lainnya.

20

2. Jenis kelamin

Nilai yang cukup lama dominan dalam kultur berbagai bangsa mengatakan

bahwa pada dasarnya tempat perempuan adalah “di dapur” yang berarti

bahwa dalam banyak masyarakat peranan perempuan yang terutama adalah

mengurus rumah tangga, akan tetapi semakin lama nilai peran perempuan

tersebut telah bergeser dengan adanya gerakan emansipasi dan pendidikan

perempuan yang semakin baik.

3. Pendidikan

Dikatakan sebagai salah satu syarat mutlak untuk berpartisipasi. Pendidikan

dianggap dapat memengaruhi sikap hidup seseorang terhadap

lingkungannya, suatu sikap yang diperlukan bagi peningkatan kesejahteraan

seluruh masyarakat.

4. Pekerjaan dan penghasilan

Hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena pekerjaan seseorang

akan menentukan berapa penghasilan yang akan diperolehnya. Pekerjaan

dan penghasilan yang baik dan mencukupi kebutuhan sehari-hari dapat

mendorong seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan

masyarakat. Pengertiannya bahwa untuk berpartisipasi dalam suatu

kegiatan, harus didukung oleh suasana yang mapan perekonomian.

21

5. Lamanya tinggal

Lamanya seseorang tinggal dalam sebuah lingkungan tertentu dan

pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan tersebut akan berpengaruh

pada partisipasi seseorang. Semakin lama ia tinggal dalam sebuah

lingkungan tertentu, maka rasa memiliki terhadap lingkungan cenderung

lebih terlihat dalam partisipasinya yang besar dalam setiap kegiatan

lingkungan tersebut.

Ada beberapa partisipasi yang dapat diberikan masyarakat dalam

pembangunan desa yang lebih baik, yaitu partisipasi uang, partisipasi tenaga,

partisipasi keterampilan, partisipasi buah pemikiran, partisipasi sosial, partisipasi

pengambilan keputusan dan partisipasi representatif.

Dengan berbagai bentuk partisipasi yang telah disebutkan diatas, maka

bentuk partisipasi dapat dikelompokan menjadi 2 jenis, yaitu bentuk partisipasi

yang diberikan dalam bentuk nyata (memiliki wujud) dan bentuk partisipasi yang

diberikan dalam bentuk tidak nyata (abstrak). Bentuk partisipasi yang nyata

misalnya uang, tenaga, dan keterampilan, sedangkan bentuk partisipasi yang tidak

nyata misalnya partisipasi buah pemikiran, partisipasi sosial, partisipasi

pengambailan keputusan, dan partisipasi representatif.

2.2.2 Konsep Perempuan

Kata wanita dalam etimologi Jawa itu berasal dari ‘wani ditoto’ alias berani

diatur. Menurut Old Javanese-English Dictionary (Zoetmulder, 1982),

kata wanita berarti ‘yang diinginkan’. Arti kata perempuan dari bahasa asalnya,

Sansekerta, berasal dari kata per-empu-an. Per itu berarti makhluk, Empu berasal

22

dari kata Sansekerta yang berarti mulia, berilmu tinggi, pembuat suatu karya agung.

Leluhur bangsa ini pun sudah memberikan makna dalam kata perempuan sebagai

bentuk penghormatan tinggi kepada kaum wanita.

Perempuan mempunyai sikap pembawaan yang kalem, perasaan perempuan

lebih cepat menangis dan bahkan pingsan apabila menghadapi persoalan berat.

Sementara menurut Windia (2009) ada dua hal yang digunakan untuk

menggambarkan perempuan bali : pertama semangat kerjanya yang hebat dan yang

kedua kedudukannya terhadap warisan yang lemah, bahkan dianggap tidak berhak

terhadap warisan.

Menurut Sunasri (2003) perempuan Bali adalah perempuan yang kawin

dengan laki-laki Bali yang sama-sama beragama Hindu dan akibat dari perkawinan

tersebut mereka menjadi anggota karma istri di banjar atau desa adat. Perempuan

Bali memiliki watak pekerja keras dan mau belajar untuk menjaga tradisi yang ada.

Dalam mengarungi jalan hidup yang sangat luas dan kompleks itu perempuan Bali

dikenal sebagai orang yang sangat suka dan kuat bekerja sehingga kegiatanya

menjadi sangat padat dan kompleks.

Selama ini kaum perempuan selalu dihubungkan dengan urusan domestik,

yakni melahirkan anak, mengurus anak, mengerjakan urusan rumah tangga. Dengan

kondisi seperti ini, perempuan harus menyadari bahwa disadari atau tidak

masyarakat menghargai perempuan mempunyai peranan besar dalam kehidupan

manusia. Kehidupan ini dilakukan oleh perempuan dan laki-laki, hanya siapa yang

lebih dominan tergantung situasi masing-masing.

23

Dominasi inilah yang sering menjadi penghalang keberasilan seseorang

karena mereka yang mempunyai kedudukan yang kurang dominan merasa

fungsinya diambil alih. Kelihatanya masyarakat lebih menitikberatkan besarnya

peranan laki-laki dalam masyarakat, sehingga perempuan hanya melakukan tugas

rumah tangga. Dengan masuknya emansipasi ala Barat ke Bali yang menekankan

pengertian hak dan kewajiban dan berusaha mensejahterakan perempuan dan laki-

laki.

Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan pada level kebijakan-

kebijakan publik secara kuantitas masih dirasa kurang, sementara proporsi jumlah

perempuan lebih besar dari pria. Dengan demikian, secara kuantitas pula

perempuan yang lebih banyak “menikmati” produk dari kebijakan publik yang

lebih banyak dibuat oleh kalangan pria. Perebutan posisi perempuan dalam

pengambilan kebijakan publik merupakan tuntutan yang wajar karena perempuan

adalah sasaran kebijakan publik yang tidak memiliki daya tawar sehingga

mengakibatkan terjadinya banyak produk yang tidak ramah gender. Penyebabnya

tak lain karena secara internal, individu yang membuat produk kebijakan adalah

kaum pria yang relatif mengetahui kebutuhan-kebutuhan sesama, namun tidak

sebaliknya kepada para kaum perempuan.

Perjuangan kesetaraan gender telah memasuki babak baru. Bila pada pemilu

2004 lalu fokus perjuangan gerakan perempuan terletak pada perjuangan merebut

kuota 30 persen dari proporsi keterwakilan perempuan dalam lembaga parlemen.

Maka agenda yang tak kalah penting adalah perjuangan proporsional perempuan

dalam pengambilan kebijakan publik. Meski perjuangan perebutan kuota 30 persen

24

dalam parlemen tidak sepenuhnya berhasil, namun setidaknya agenda tersebut telah

berhasil menjadi wacana aktual dan mengemuka menjadi isu strategis.

Selama ini, wacana gender hanya menjadi isu dalam diskusi-diskusi internal

gerakan perempuan yang tidak mampu menarik simpati publik. Namun wacana

kuota 30 persen sungguh berbeda karena disamping merupakan sebuah tuntutan

hati nurani perempuan juga disebabkan oleh amanah undang-undang. Kelemahan

mendasar dari undang-undang tersebut karena tidak disertai sanksi bagi partai yang

tidak ramah gender.

Untuk memenuhi amanah undang-undang tersebut sebagai sekedar pemuas

konstituen, partai-partai lebih banyak yang mencantumkan para calon legislatif

perempuan pada urutan bawah. Akibatnya sangat jelas pada kedudukan perempuan

dalam legisltaif yang tidak proporsional sesuai kuota yang diharapkan. Angka

proporsi antara pria dan perempuan dalam parlemen tidak jauh beda dengan jumlah

pada periode-periode sebelumnya. Ketimpangan masih terasa dalam keterwakilan

sehingga tetap akan melanggengkan dominasi pria dalam pengambilan kebijakan

publik.

2.2.3 Konsep Pararem Desa Pakraman

Organisasi masyarakat tradisional Bali yang sekarang dikenal dengan istilah

desa pakraman disebut banua, wanua. Sekitar tahun 1910 (sesudah perang Puputan

Badung, 1906, dan Puputan Klungkung, 1908), pemerintah Hindia Belanda mulai

menata desa di Bali, sesuai dengan struktur dan administrasi pemerintah kolonial

Belanda. Beberapa desa digabung menjadi satu, untuk memudahkan dalam

menjalankan roda pemerintah jajahan. Akibatnya, di Bali ada dua desa, yaitu desa

25

yang telah ada dan desa baru, yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda.

Desa yang telah ada ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan desa adat,

sedangkan desa yang baru yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda, dikenal

dengan sebutan desa dinas.

Desa Adat mengurus masalah adat Bali dan agama Hindu di wilayahnya,

sedangkan desa dinas bertugas mengurus kepentingan pemerintah kolonial

Belanda. Keberadaan dua desa di Bali beserta tugas-tugas yang dilaksanakan oleh

masing-masing desa, tetap dipertahankan. Inilah yang menyebabkan, sampai

sekarang di Bali ada dua desa, yaitu desa adat dan desa dinas. Tahun 2001 istilah

desa adat diganti menjadi desa pakraman, berdasarkan Perda Provinsi Bali No 3

Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.

Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali

yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat

umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan

Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak

mengurus rumah tangganya sendiri. Banjar pakraman adalah kelompok masyarakat

yang merupakan bagian desa pakrarnan.

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa desa pakraman merupakan

organisasi masyarakat Hindu Bali yang berdasarkan kesatuan wilayah tempat

tinggal bersama dan spiritual keagamaan yang paling mendasar bagi pola hubungan

dan pola interaksi sosial masyarakat Bali. Sebuah desa pakraman, terdiri dan tiga

unsur, yaitu:

26

1. Unsur parahyangan (berupa pura atau tempat suci agama Hindu);

2. Unsur pawongan (warga desa yang beragama Hindu);

3. Unsur palemahan (wilayah desa yang berupa karang ayahan desa dan

karang guna kaya).

Pasal 5 Perda Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 Desa Pakraman mempunyai

tugas sebagai berikut:

a. mengayomi krama desa;

b. mengatur krama desa;

c. Membuat awig-awig atau pararem mengatur pengelolaan harta kekayaan

desa;

d. Bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan disegala bidang

terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan;

e. Membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka

memperkaya, melestarikan, dan rnengembangkan kebudayaan nasional

pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya berdasarkan

paras-paros, sagilik-saguluk, salunglung-sabayantaka (musyawarah-

mufakat);

Pasal 6 Perda Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 Desa pakraman mempunyai

wewenang sebagai berikut:

a. menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya

dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar-krama desa sesuai

dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat;

27

b. turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan

yang ada di wilayahnya, terutama yang berkaitan dengan tri hita karana;

c. melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakraman.

Pararem yang hidup dalam masyarakat tidak hanya membedakan hak dan

kewajiban melainkan juga memberikan sanksi-sanksi adat baik berupa sanksi

denda, sanksi fisik, maupun sanksi psikologi dan yang bersifat sprirtual, sehingga

cukup dirasakan sebagai derita oleh pelanggarnya. Sanksi Adat adalah berupa

reaksi dari desa pakraman untuk mengembalikan keseimbangan magis yang

terganggu. Jenis-jenis sanksi adat yang diatur dalam awig-awig maupun pararem

antara lain (Sirtha, 2008) :

a. Mengaksama (minta maaf),

b. Dedosaan (denda uang),

c. Kerampang (disita harta bendanya),

d. Kasepekang (tidak diajak bicara) dalam waktu tertentu,

e. Kaselong (diusir dari desanya),

f. Upacara Prayascita (upacara bersih desa)

Pararem merupakan sebuah cerminan dimana hukum adat itu bersifat

dinamis. Pararem merupakan bukti hukum adat tumbuh mengikuti perubahan

masyarakat melalui putusan-putusan dalam sebuah paruman atau rapat adat. Hasil

keputusan inilah kemudian yang dikenal dengan istilah pararem. Sebelumnya

sangat sulit untuk mencari referensi atau literatur yang memuat mengenai pararem.

Dalam beberapa buku dan literatur ada disebutkan mengenai pararem, namun tidak

dijelaskan tentang pengertiannya secara jelas.

28

Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 Tentang

Perubahan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa

Pakraman dan Lembaga Adat, menjelaskan pengertian pararem adalah hasil

keputusan paruman desa atau banjar yang berisi ketentuan pelaksanaan awig-awig

desa pakraman dan atau yang menyangkut hal prinsip diluar pelaksanaan awig-awig

desa pakraman yang berlaku.

Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa pararem timbul akibat dari

sebuah fenomena atau gejala yang dianggap dapat mengganggu keseimbangan

kehidupan masyarakat dimana didalam awig-awig hal tersebut tidak diatur, atau

sudah diatur namun isinya masih ambigu atau belum prinsip mengarah kepada

gejala sosial yang dimaksud atau memang perlu peremajaan aturan dari isi awig-

awig tersebut agar sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat untuk itu

dibuatlah aturan tambahan diluar awig-awig yang isinya adalah hasil musyawarah

bersama didalam paruman (rapat) desa.

Pararem dibentuk melalui suatu proses berdasarkan suatu keputusan dari

prajuru (pejabat) desa dalam paruman untuk mempertahankan hukum atau

menyelesaikan perselisihan (Sirtha, 2008). Hal itulah pararem dapat dikatakan

sebagai implementasi dari sila keempat Pancasila yakni “Kerakyatan yang dipimpin

oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.

Desa adat yang sekarang disebut Desa Pakraman berdasarkan Perda No. 3

Tahun 2001, yang kemudian disempurnakan menjadi Perda No.3 Tahun 2003, yang

mengharuskan desa pakraman menyuratkan awig-awignya yang sebelumnya tidak

tertulis tetapi ditaati oleh krama desa sebagai hukum adat yang bertujuan mencapai

29

Tri Sukerta yaitu sukerta tata parhyangan, sukerta tata pawongan dan sukerta tata

palemahan, yang merupakan perwujudan falsafah Tri Hita Karana yaitu hubungan

manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, hubungan manusia dengan

sesamanya dan hubungan manusia dengan palemahan atau lingkungan.

Desa pakraman telah memiliki awig-awig baik tertulis maupun belum tertulis

yang menjadi landasan hukum adat mengatur dan membina krama-nya dalam

pakraman supaya hidup saling asah, saling asuh dan asih, salunglung sabayantaka,

paras paros sarpanaya. Dalam penerapan awig-awig dimaksud dibuat pararem yang

terdiri atas panyacah awig, pararem pengele, pararem penepas wicara dan wiweka

(kebijakan) prajuru di luar awig dan pararem untuk melaksanakan kebijakan-

kebijakan pemerintah selaku guru wisesa dalam meningkatkan kemakmuran dan

kesejahteraan masyarakat sebagai perwujudan melaksanakan dharma agama dan

dharma negara. Faktor inilah yang dapat mengangkat Bali terkenal di seluruh dunia

dengan berbagai julukan dan ditetapkan sebagai tujuan wisata utama.

2.3 Landasan Teori

2.3.1 Teori Governance

Teori yang digunakan untuk membedah masalah dalam penelitian ini

menggunakan teori Governance. Secara umum istilah “Governance” menunjukkan

suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-

sumber sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi

juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyat.

Kemampuan suatu negara mencapai tujuan negara sangat tergantung pada

kualitas tata kepemerintahan di mana pemerintah melakukan interaksi dengan

30

sektor swasta dan masyarakat (Thoha ; 2000). Sedangkan menurut Widodo (2001)

menyimpulkan “that governance system are participatory, implying that all

members of governance institutions have a voice in influencing decision making”.

Lembaga Administrasi Negara (2000) medefinisikan governance sebagai

penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta

efisien dan efektif dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif di

antara domain-domain negara, sector swasta dan masyarakat (society). Pada tataran

ini, governance berorientasi pada 2 (dua) hal pokok, yakni : Pertama, orientasi ideal

negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional.

Pada tataran ini, governance mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan

bernegara dengan elemen-elemen konstituennya, seperti legitimacy, accountability,

scuring of human right, autonomy and devolution of power dan assurance of

civilian control; Kedua, pemerintahan yang berfungsi secara ideal yaitu secara

efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Dalam

konteks ini, governance tergantung pada pada sejauh mana struktur serta

mekanisme politik dan administratif berfungsi secara efektif dan efisien.

United Nations (Keban; 2000) merumuskan indikator governance yang

meliputi : (1) kemampuan, yaitu kemampuan yang cukup untuk melaksanakan

kebijakan dan fungsi-fungsi pemerintah, termasuk sistem administrasi publik

efektif dan responsif; (2) akuntabilitas dalam kegiatan pemerintah dan transparan

dalam pengambilan keputusan; (3) partisipasi dalam proses demokrasi, dengan

memanfaatkan sumber informasi dari publik dan dari swasta ; (4) perhatian

31

terhadap pemerataan dan kemiskinan; dan (5) komitmen terhadap kebijakan

ekonomi yang berorientasi kepada pasar.

United Nations Development Programme (UNDP) mendefinisikan

governance sebagai “the exercise of political, economic, and administrative

authority to manage a nation’s affair at all levels”. Menurut definisi ini, governance

mempunyai tiga kaki (three legs), yaitu economic, political, dan administrative.

Oleh karena itu institusi dari governance meliputi tiga domain, yaitu state (negara

atau pemerintahan), private sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan civil

society (masyarakat sipil), yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya

masing-masing.

Dari ketiga kaki tersebut lebih ditekankan pada organisasi masyarakat sipil

(civil society) yaitu terwujudnya pembangunan manusia yang berkelanjutan tidak

tergantung kepada berfungsinya negara atau sektor swasta dengan baik, namun juga

pada kondisi masyarakat sipil yang mampu memfasilitasi interaksi sosial politik

dan mampu memobilisasi berbagai kelompok di dalam masyarakat untuk terlibat

dalam aktivitas sosial, ekonomi, dan politik. Organisasi masyarakat sipil juga dapat

menyalurkan partisipasi publik dlam aktivitas sosial dan ekonomi

danmengorganisasikan publik untuk mempengaruhi kebijakan publik. Mereka juga

beperan penting dampak potensial dari ketidakstabilan ekonomi, menciptakan

mekanisme alokasi manfaat sosial dan menyalurkan suara kelompok masyarakat

miskin dalam membuat kebijakan publik dan pemerintah.

UNDP memformulasikan ciri-ciri sekaligus sebagai prinsip utama untuk

mewujudkan Governance :

32

1. Participation, keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan, baik

secara langsung maupun secara tidak langsung melalui lembaga perwakilan

yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas

dasar kebebasan berasosiasi dan bicara serta berpartisipasi secara

konstruktif.

2. Role Of Law, kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang

bulu.

3. Transparency, adanya keterbukaan yang dibangun atas dasar kebebasan

memperoleh insformasi

4. Responsiveness, lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam

memberikan pelayanan.

5. Consensus Orientation, berorientasi pada kepentingan masyarakat yang

lebih luas.

6. Equity, setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk

memperoleh kesejahteraan dan keadilan.

7. Efficiency and Effectiveness, pengelolaan sumber daya publik dilakukan

secara berdaya guna dan berhasil guna.

8. Accountability, pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas

yang dilakukan.

9. Strategy vision, penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat harus

memiliki visi jauh kedepan (Mardiasmo: 2002).

33

2.4 Kerangka Berpikir

(Gambar 2.4 Kerangka Berpikir)

Partisipasi Perempuan

Kesimpulan Saran

Perda Provinsi Bali No 3 Tahun 2001

Otonomi Daerah

Pararem Desa Pakraman