BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencanarepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28074/3/Chapter...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencanarepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28074/3/Chapter...
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bencana
Bencana (disaster) merupakan fenomena yang terjadi karena komponen-
komponen pemicu (trigger), ancaman (hazard), dan kerentanan (vulnerability)
bekerja bersama secara sistematis, sehingga menyebabkan terjadinya risiko (risk)
pada komunitas (BNPB, 2005 : 10)
Tingkat kerentanan adalah suatu hal penting untuk diketahui sebagai salah
satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana, karena bencana baru akan
terjadi bila ’bahaya’ terjadi pada ’kondisi yang rentan’, seperti yang dikemukan
Awatona (1997 : 1-2)”.........Natural disasters are the interaction between natural
hazards and vulnerable condition”. Tingkat kerentanan dapat ditinjau dari kerentanan
fisik (infrastruktur), sosial kependudukan, dan ekonomi.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dilihat dari waktu
terjadinya ancaman dapat muncul secara tiba-tiba dan tidak terduga (shocks);
ancaman berangsur, terduga dan dapat dicermati (trends); serta ancaman musiman
yang datang setiap periode waktu tertentu (seasonality). Ancaman yang muncul
secara tiba-tiba akan menimbulkan bencana tiba-tiba (missal tumpahan limbah,
kebocoran nuklir); ancaman yang berangsur dan musiman akan menyebabkan
bencana yang berangsur (banjir kiriman, kekeringan,degradasi lingkungan akibat
Universitas Sumatera Utara
polusi, pestisida dan pupuk kimia) dan musiman (gerakan tanah/tanah longsor,
kekeringan, banjir pasang surut, banjir hujan).
Selanjutnya status ancaman ini sangat tergantung dari kapasitas individu
maupun komunitas dalam menguasai sistem peringatan dini (early warning system).
Artinya, ancaman yang dimaknai shocks oleh satu individu atau komunitas,
merupakan trends untuk individu atau komunitas lain yang mempunyai sistem
peringatan dini yang lebih baik. Sebaliknya, ancaman yang dimaknai trends oleh satu
individu atau komunitas, merupakan shocks untuk individu atau komunitas lain yang
mempunyai sistem peringatan dini yang buruk. Ancaman gerakan tanah/tanah longsor
akan dipahami sebagai sesuatu yang mendadak oleh masyarakat yang tidak
memahami penanggulangan bencana, tetapi akan dipahami sebagai sesuatu yang
berangsur oleh masyarakat yang paham penanggulangan bencana.
Seterusnya, bencana akan mereduksi kapasitas komunitas dalam menguasai
maupun mengakses aset penghidupan (livelihoodassets). Dibeberapa peristiwa
bencana seluruh kapasitas dan aset tersebut hilang sama sekali. Reduksi kapasitas itu
pula yang memungkinkan bencana cenderung akan hadir berulang disuatu kawasan
dan komunitas. Menurut konsep sustainable livelihood ada lima aset penghidupan
yang dimiliki oleh setiap individu atau unit sosial yang lebih tinggi didalam upayanya
mengembangkan kehidupannya yaitu: (1) humanecapital, yakni modal yang dimiliki
manusia; (2) social capital, adalah kekayaan sosial yang dimiliki komunitas; (3)
natural capital : adalah persediaan sumber daya alam; (4) physical capital adalah
Universitas Sumatera Utara
infrastruktur dasar dan memproduksi barang–barang yang dibutuhkan; serta (5)
financial capital, yaitu sumber-sumber keuangan yang digunakan oleh masyarakat
untuk mencapai tujuan-tujuan kehidupannya.
Menurut sosiolog Prof. Dr. Heru Nugroho (2008:24), setiap individu,
komunitas maupun unit sosial yang lebih besar mengembangkan kapasitas sistem
penyesuaian dalam merespons ancaman. Renspons itu bersifat jangka pendek yang
disebut mekanisme penyesuaian (coping mechanism) atau yang lebih jangka panjang
yang dikenal sebagai mekanisme adaptasi (adaptatif mechanism). Mekanisme dalam
menghadapi perubahan dalam jangka pendek terutama bertujuan untuk mengakses
kebutuhan hidup dasar: keamanam, sandang, pangan, sedangkan jangka panjang
bertujuan untuk memperkuat sumber–sumber kehidupannya. Prinsip kehati-hatian
dimulai dari mencermati setiap bagian kegiatan yang berpotensi menjadi ancaman
terhadap keberadaan aset penghidupan dan jiwa manusia. Ancaman tersebut
perlahan-lahan maupun tiba-tiba akan berpotensi menjadi sebuah bencana, sehingga
menyebabkan hilangnya jiwa manusia, harta benda dan lingkungan. Kejadian ini
terjadi di luar kemampuan adaptasi masyarakat dengan sumber-dayanya. Berkenaan
dengan hal tersebut maka perlu dipahami potensi risiko yang mungkin muncul, yaitu
besarnya kerugian atau kemungkinan hilangnya (jiwa, korban, kerusakan dan
kerugian ekonomi) yang disebabkan oleh ancaman tertentu di suatu daerah pada suatu
waktu tertentu. Risiko biasanya dihitung secara matematis, merupakan probabilitas
dari dampak atau konsekuensi suatu ancaman. Jika potensi risiko pada pelaksanaan
Universitas Sumatera Utara
kegiatan jauh lebih besar dari manfaatnya, maka kehati–hatian perlu dilipat-
gandakan. Upaya mengurangi kerentanan (vulnerability) yang melekat, yaitu
sekumpulan kondisi yang mengarah dan menimbulkan konsekuensi (fisik,
sosial,ekonomi dan perilaku) yang berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya
pencegahan dan penanggulangan bencana, misalnya: menebang, penambangan batu,
membakar .
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, siklus penanggulangan
bencana yang perlu dilakukan secara utuh. Upaya pencegahan (prevention) terhadap
munculnya dampak adalah perlakuan utama. Untuk mencegah banjir maka perlu
mendorong usaha masyarakat membuat sumur resapan, dan sebaliknya mencegah
penebangan. Agar tidak terjadi jebolnya tanggul, maka perlu disusun save procedure
dan kontrol terhadap kepatuhan perlakuan. Walaupun pencegahan sudah dilakukan,
sementara peluang adanya kejadian masih ada, maka perlu dilakukan upaya-upaya
mitigasi (mitigation), yaitu upaya-upaya untuk meminimalkan dampak yang
ditimbulkan oleh bencana. Ada 2 bentuk mitigasi, yaitu mitigasi struktural berupa
pembuatan infrastruktur pendorong minimalisasi dampak, serta mitigasi non
struktural berupa penyusuan peraturan-peraturan, pengelolaan tata ruang dan
pelatihan. Usaha-usaha di atas perlu didukung dengan upaya kesiap siagaan
(preparedness), yaitu melakukan upaya untuk mengantisipasi bencana, melalui
pengorganisasian langkah-langkah yang tepat, efektif dan siap siaga. Misalnya:
penyiapan sarana komunikasi, pos komando dan penyiapan lokasi evakuasi. Di dalam
Universitas Sumatera Utara
usaha kesiapsiagaan ini juga dilakukan penguatan sistem peringatan dini
(earlywarning system), yaitu upaya untuk memberikan tanda peringatan bahwa
bencana kemungkinan akan segera terjadi. Upaya ini misalnya dengan membuat
perangkat yang akan menginformasikan ke masyarakat apabila terjadi kenaikan
kandungan unsure yang tidak diinginkan di sungai atau sumur di sekitar sumber
ancaman. Pemberian peringatan dini harus (1) menjangkau dan dipahami masyarakat
(accesible), (2) segera (immediate), (3) tidak membingungkan (coherent), dan (4)
bersifat resmi (official). Pada akhirnya jika bencana dari sumber ancaman terpaksa
harus terjadi, maka tindakan tanggap darurat (response), yaitu upaya yang dilakukan
segera pada saat kejadian bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan
dan mengurangi dampak lebih besar, terutama berupa penyelamatan korban dan harta
benda. Secara sinergis juga diperlukan bantuan darurat (relief), yaitu upaya
memberikan bantuan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar berupa: pangan,
sandang, tempat tinggal sementara, kesehatan, sanitasi dan air bersih. Agar dampak
tidak berkepanjangan maka proses pemulihan (recovery) kondisi lingkungan dan
masyarakat yang terkena dampak/bencana, dengan memfungsikan kembali prasarana
dan sarana pada keadaan semula. Upaya yang dilakukan bukan sekedar memperbaiki
prasarana dan pelayanan dasar (jalan, listrik, air bersih, pasar puskesmas, dll) tetapi
termasuk fungsi-fungsi ekologis. Upaya tersebut, dalam jangka pendek umumnya
terdiri dari usaha rehabilitasi (rehabilitation), yaitu upaya untuk membantu
masyarakat memperbaiki rumahnya, fasilitas umum dan fasilitas sosial penting, dan
Universitas Sumatera Utara
menghidupkan kembali roda perekonomian dan fungsi ekologis setelah bencana
terjadi. Penyelesaian masalah lingkungan sejauh ini hanya melakukan tindakan fisik
ini, yang umumnya belum menyentuh rehabilitasi fungsi ekologis. Selanjutnya
rekonstruksi (reconstruction) merupakan upaya jangka menengah dan jangka panjang
guna perbaikan fisik, sosial dan ekonomi untuk mengembalikan kehidupan
masyarakat pada kondisi yang sama atau lebih baik dari sebelumnya.
2.2. Manajemen Bencana
Banyaknya peristiwa bencana yang terjadi di Indonesia dan menimbulkan
korban jiwa serta kerugian harta benda yang besar, telah membuka mata kita bersama
bahwa manajemen bencana di negara kita masih sangat jauh dari yang kita harapkan.
Selama ini, manajemen bencana dianggap bukan prioritas dan hanya datang sewaktu-
waktu saja, padahal kita hidup di wilayah yang rawan terhadap ancaman bencana.
Oleh karena itu pemahaman tentang manajemen bencana perlu dimengerti dan
dikuasai oleh seluruh kalangan, baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta.
Manajemen bencana merupakan seluruh kegiatan yang meliputi aspek
perencanaan dan penanggulangan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah terjadi
bencana yang dikenal sebagai Siklus Manajemen Bencana (seperti terlihat dalam
Gambar Siklus Manajemen Bencana), yang bertujuan untuk (1) mencegah kehilangan
jiwa; (2) mengurangi penderitaan manusia; (3) memberi informasi masyarakat dan
pihak berwenang mengenai risiko, serta (4) mengurangi kerusakan infrastruktur
utama, harta benda dan kehilangan sumber ekonomis.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Siklus Manajemen Bencana
Secara umum kegiatan manajemen bencana dapat dibagi dalam kedalam tiga kegiatan
utama, yaitu:
1. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, serta peringatan dini;
2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat
untuk meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan search and
rescue (SAR), bantuan darurat dan pengungsian;
3. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi,
dan rekonstruksi.
Universitas Sumatera Utara
Kegiatan pada tahap pra bencana ini selama ini banyak dilupakan, padahal
justru kegiatan pada tahap pra bencana ini sangatlah penting karena apa yang sudah
dipersiapkan pada tahap ini merupakan modal dalam menghadapi bencana dan pasca
bencana. Sedikit sekali pemerintah bersama masyarakat maupun swasta memikirkan
tentang langkah-langkah atau kegiatan-kegiatan apa yang perlu dilakukan didalam
menghadapi bencana atau bagaimana memperkecil dampak bencana.
Kegiatan saat terjadi bencana yang dilakukan segera pada saat kejadian
bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa
penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian, akan mendapatkan
perhatian penuh baik dari pemerintah bersama swasta maupun masyarakatnya. Pada
saat terjadinya bencana biasanya begitu banyak pihak yang menaruh perhatian dan
mengulurkan tangan memberikan bantuan tenaga, moril material. Banyaknya bantuan
yang datang sebenarnya merupakan sebuah keuntungan yang harus dikelola dengan
baik, agar setiap bantuan yang masuk dapat tepat guna, tepat sasaran, tepat manfaat,
dan terjadi efisiensi.
Kegiatan pada tahap pasca bencana, terjadi proses perbaikan kondisi
masyarakat yang terkena bencana, dengan memfungsikan kembali prasarana dan
sarana pada keadaan semula. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah bahwa
rehabilitasi dan rekonstruksi yang akan dilaksanakan harus memenuhi kaidah-kaidah
kebencanaan serta tidak hanya melakukan rehabilitasi fisik saja, tetapi juga perlu
Universitas Sumatera Utara
diperhatikan juga rehabilitasi psikis yang terjadi seperti ketakutan, trauma atau
depresi.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa titik lemah dalam Siklus Manajemen
Bencana adalah pada tahapan sebelum/pra bencana, sehingga hal inilah yang perlu
diperbaiki dan ditingkatkan untuk menghindari atau meminimalisasi dampak bencana
yang terjadi.
2.2.1. Mitigasi Bencana
Kegiatan-kegiatan pada tahap pra bencana erat kaitannya dengan istilah
mitigasi bencana yang merupakan upaya untuk meminimalkan dampak yang
ditimbulkan oleh bencana. Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan
pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko-resiko dampak dari suatu
bencana yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan
tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang.
Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan
memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti
membuat kode bangunan, desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta
memperkokoh struktur ataupun membangun struktur bangunan penahan longsor,
penahan dinding pantai, dan lain-lain. Selain itu upaya mitigasi juga dapat dilakukan
dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti menghindari wilayah bencana
dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui melalui
Universitas Sumatera Utara
perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan masyarakat dan
pemerintah daerah.
2.2.2. Mitigasi Bencana yang Efektif Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu penilaian
bahaya, peringatan dan persiapan.
1. Penilaian bahaya (hazard assestment); diperlukan untuk mengidentifikasi populasi
dan aset yang terancam, serta tingkat ancaman. Penilaian ini memerlukan
pengetahuan tentang karakteristik sumber bencana, probabilitas kejadian bencana,
serta data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini menghasilkan Peta Potensi
Bencana yang sangat penting untuk merancang kedua unsur mitigasi lainnya;
2. Peringatan (warning); diperlukan untuk memberi peringatan kepada masyarakat
tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya tsunami yang diakibatkan
oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan gunung berapi, dsb). Sistem
peringatan didasarkan pada data bencana yang terjadi sebagai peringatan dini
serta menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk memberikan pesan kepada
pihak yang berwenang maupun masyarakat. Peringatan terhadap bencana yang
akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan dipercaya.
3. Persiapan (preparedness). Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi
sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan pengetahuan
tentang daerah yang kemungkinan terkena bencana dan pengetahuan tentang
sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus melakukan evakuasi dan kapan
Universitas Sumatera Utara
saatnya kembali ketika situasi telah aman. Tingkat kepedulian masyarakat dan
pemerintah daerah dan pemahamannya sangat penting pada tahapan ini untuk
dapat menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak
akibat bencana. Selain itu jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang
yang menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya
bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha keteknikan untuk membangun
struktur yang aman terhadap bencana dan melindungi struktur akan bencana
(mitigasi struktur).
2.2.3. Mitigasi Bencana Berbasis Masyarakat
Penguatan kelembagaan, baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta
merupakan faktor kunci dalam upaya mitigasi bencana. Penguatan kelembagaan
dalam bentuk dalam kesiapsiagaan, sistem peringatan dini, tindakan gawat darurat,
manajemen barak dan evakuasi bencana bertujuan mewujudkan masyarakat yang
berdaya sehingga dapat meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana.
Perwujudan Masyarakat atau komunitas yang berdaya dalam menghadapi bencana
dapat diwujudkan melalui Siklus Pengurangan Risiko Berbasis
Masyarakat/Komunitas berikut:
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Siklus Pengurangan Risiko Berbasis Masyarakat/Komunitas
Sementara itu upaya untuk memperkuat pemerintah daerah dalam kegiatan
sebelum/pra bencana dapat dilakukan melalui perkuatan unit/lembaga yang telah ada
dan pelatihan kepada aparatnya serta melakukan koordinasi dengan lembaga antar
daerah maupun dengan tingkat nasional, mengingat bencana tidak mengenal wilayah
administrasi, sehingga setiap daerah memiliki rencana penanggulangan bencana yang
potensial di wilayahnya.
Hal yang perlu dipersiapkan, diperhatikan dan dilakukan bersama-sama oleh
pemerintahan, swasta maupun masyarakat dalam mitigasi bencana, antara lain:
1. Kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan kebencanaan atau mendukung
usaha preventif kebencanaan seperti kebijakan tataguna tanah agar tidak
membangun di lokasi yang rawan bencana;
Universitas Sumatera Utara
2. Kelembagaan pemerintah yang menangani kebencanaan, yang kegiatannya mulai
dari identifikasi daerah rawan bencana, penghitungan perkiraan dampak yang
ditimbulkan oleh bencana, perencanaan penanggulangan bencana, hingga
penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang sifatnya preventif kebencanaan;
3. Indentifikasi lembaga-lembaga yang muncul dari inisiatif masyarakat yang
sifatnya menangani kebencanaan, agar dapat terwujud koordinasi kerja yang baik;
4. Pelaksanaan program atau tindakan ril dari pemerintah yang merupakan
pelaksanaan dari kebijakan yang ada, yang bersifat preventif kebencanaan;
5. Meningkatkan pengetahuan pada masyarakat tentang ciri-ciri alam setempat yang
memberikan indikasi akan adanya ancaman bencana.
2.2.4. Kebijakan Dan Strategi Mitigasi Bencana
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 tahun 2006 tanggal 18
Oktober 2006 perihal Pedoman Umum Mitigasi Bencana berbagai kebijakan yang
perlu ditempuh dalam mitigasi bencana antara lain :
a. Dalam setiap upaya mitigasi bencana perlu membangun persepsi yang sama bagi
semua pihak jajaran aparat pemerintah maupun segenap unsur masyarakat yang
ketentutan langkahnya diatur dalam pedoman umum, petunjuk pelaksanaan dan
prosedur tetap yang dikeluarkan oleh instansi yang bersangkutan sesuai dengan
bidang tugas masing-masing.
b. Pelaksanaan mitigasi bencana dilaksanakan secara terpadu, terkoordinir yang
melibatkan seluruh potensi pemerintah dan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
c. Upaya preventiv harus diutamakan agar kerusakan dan korban jiwa dapat
diminimalkan.
d. Penggalangan kekuatan melalui kerjasama dengan semua pihak, melalui
pemberdayaan masyarakat serta kampanye.
Selanjutnya untuk melaksanakan kebijakan dikembangkan beberapa strategi
sebagai berikut :
a. Pemetaan;
b. Pemantauan;
c. Penyebaran Informasi;
d. Sosialisasi dan Penyuluhan;
e. Pelatihan/Pendidikan;
f. Peringatan Dini
2.2.5. Langkah-Langkah yang Dilakukan Dalam Mitigasi Bencana Banjir Secara lebih rinci upaya pengurangan bencana banjir antara lain :
1. Pengawasan penggunaan lahan dan perencanaan lokasi untuk menempatkan
fasilitas vital yang rentan terhadap banjir pada daerah yang aman
2. Penyesuaian desain bangunan di daerah banjir harus tahan terhadap banjir dan
dibuat bertingkat.
3. Pembangunan infrastruktur harus kedap air
Universitas Sumatera Utara
4. Pembangunan tembok penahan dan tanggul disepanjang sungai, tembok laut
sepanjang pantai yang rawan badai atau tsunami akan sangat membantu untuk
mengurangi bencana banjir.
5. Pengaturan kecepatan aliran air permukaan dan daerah hulu sangat membantu
mengurangi terjadinya bencana banjir. Beberapa upaya yang perlu dilakukan
untuk mengatur kecepatan air masuk kedalam sistem pengaliran diantaranya
adalah dengan pembangunan bendungan/waduk , reboisasi dan pembangunan
sistem peresapan.
6. Pengerukan sungai, pembuatan sudetan sungai baik secara saluran terbuka
maupun dengan pipa atau terowongan dapat membantu mengurangi resiko banjir.
7. Pembuatan tembok penahan dan tembok pemecah ombak untuk mengurangi
energi ombak jika terjadi badai atau tsunami untuk daerah pantai.
8. Memperhatikan karakteristik geografi pantai dan bangunan pemecahan
gelombang untuk daerah teluk.
9. Pembersihan sedimen
10. Pembangunan pembuatan saluran drainse
11. Peningkatan kewaspadaan di daerah dataran banjir
12. Desain bangunan rumah tahan banjir (material tahan air, fondasi kuat)
13. Pelatihan pertanian yang sesuai dengan kondisi daerah banjir
14. meningkatkan kewaspadaan terhadap penggundulan hutan.
Universitas Sumatera Utara
15. Pelatihan tentang kewaspadaanbanjir seperti cara penyimpanan/pergudangan
perbekalan, tempat istirahat/tidur di tempat yang aman (daerah yang tinggi)
16. Persiapan evakuasi bencana banjir seperti perahu dan alat-alat penyelamatan
lainnya.
2.3. Risiko Bencana
Menurut BAKORNAS PB (Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana di
Indonesia, 2006), dalam pengelolaan bencana (disaster managemen), risiko bencana
adalah interaksi antara kerentanan daerah dengan ancaman bahaya yang ada.
Sedangkan tingkat kerentanan daerah dapat dikurangi, sehingga kemampuan dalam
menghadapai ancaman tersebut semakin meningkat. Besarnya risiko bencana dapat
dinyatakan dalam bersarnya kerugian yang terjadi (harta, jiwa, cedera) untuk suatu
besaran kejadian tertentu. Risiko bencana pada suatu daerah bergantung kepada
beberapa faktor berikut:
- Alam/geografi/geologi (kemungkinan terjadinya fenomena bahaya)
- Kerentanan masyarakat terhadap fenomena (kondisi dan banyaknya bangunan)
- Kerentanan fisik daerah (kondisi dan banyaknya bangunan)
- Konteks strategis daerah
- Kesiapan masyarakat setempat untuk tanggap darurat dan membangun kembali,
dan faktor lain.
Universitas Sumatera Utara
Secara umum risiko dapat dirumuskan sebagai berikut:
Risiko bencana = bahaya x kerentanan
Bahaya suatu kejadian atau peristiwa yang mempunyai potensi dapat
menimbulkan kerusakan, kehilangan jiwa atau kerusakan lingkungan.
Kerentanan suatu kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor atau proses-
proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang mengakibatkan peningkatan
kerawanan masyarakat dalam menghadapi bahaya.
Kemampuan penguasaan sumberdaya, cara, dan kekuatan yang dimiliki
masyarakat yangt memungkinkan mereka untuk mempertahankan dan
mempersiapkan diri untuk mencegah, menanggulangi, meredam serta dengan cepat
memulihkan diri dari akibat bencana.
Dengan demikian maka semakin tinggi bahaya, kerentanan dan ketidak
mampuan, maka semakin besar pula risiko bencana yang dihadapi. Hal ini dapat
digambarkan sebagaimana Gambar 1 dan Gambar 2. Apa yang bisa dilakukan
masyarakat dalam mengurangi risiko bencana?
Kemampuan
1. Mengenali potensi bencana yang merupakan ancaman.
2. Mengurangi dampak bencana (mitigasi bencana)
3. Membuat action plan, termasuk: rute evakuasi, earthquake drills and family
education.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3. Upaya Pengurangan Risiko Bencana
Bencana
Kerentanan Bahaya Gambar 1: Semakin tinggi tingkat kerentanan, semakin besar risiko bencana
Bencana
Bahaya Kerentanan
Gambar 2 : Semakin rendah tingkat kerentanan, semakin kecil risiko bencana
.
Sumber : Kebijakan pengurangan risiko bencana di Indonesia, BAKORNAS PB, Bahan Penyuluhan dan asistensi mitigasi bencana, 2006
1. Beberapa dampak-mungkin untuk dicegah.
2. Dampak lainnya-akan tetap muncul tetapi dapat diredam/dikurangi dengan
beberapa tindakan mitigasi (usaha-usaha untuk pengurangan dampak dari
suatu bencana pada suatu masyarakat)
Bidang kegiatan pengurangan risiko bencana adalah dengan melakukan
berbagai cara antara lain:
1. Identifikasi dan pengkajian risiko
a. Analisis kerentanan dan kemampuan
b. Analisis dan pemantauan ancaman
Universitas Sumatera Utara
c. Identifikasi risiko dan kajian dampak
d. Peringatan dini
2. Pengurangan risiko
a. Manajemen lingkungan
b. Pembangunan sosial dan ekonomi
c. Upaya fisik dan teknik
d. Jejaring dan kemitraan
3. Penanggulangan dampak risiko/ kedaruratan
a. Kesiapan, perencanaan kontijensi.
b. Penanggulangan kedaruratan.
c. Pemulihan
2.4. Pengurangan Risiko Bencana
Menurut BAKORNAS PB (Panduan Pengenalan Karakteristik Bencana dan
Upaya Mitigasinya di Indonesia, 2006), salah satu pengertian paling sederhana
tentang bancana adalah adanya kerugian pada hidup dan kehidupan suatu masyarakat
sebagai dampak dari suatu kejadian yang disebabkan gejala alam ataupun ulah
manusia. Kalau bencana diartikan seperti ini, maka tujuan utama dari penanganan
bencana adalah untuk mencegah atau mengurang kerugian yang dihadapi masyarakat.
Pertanyaan sentral berikutnya adalah strategi apa yang dapat digunakan untuk
mencapai tujuan tersebut? Strategi pertama adalah dengan mencegah kejadiannya,
Universitas Sumatera Utara
yaitu dengan sama sekali menghilangkan atau secara signifikan mengurangi
kemungkinan dan peluang terjadinya fenomena yang bepotensi merugikan tersebut.
Kalau ini tidak dapat dicapai, maka strategi kedua adalah dengan melakukan berbagai
cara untuk mengurangi besarnya dan keganasan kejadian tersebut dengan mengubah
karakteristik ancamannya, meramalkan atau mendeteksi potensi kejadian, atau
mengubah sesuai unsur-unsur struktural dan nonstruktural dari masyarakat. Jika
kejadian memang tidak dapat dihindarkan atau dikurangi, maka strategi ketiga adalah
dengan mampersiapkan pemerintah dan masyarakat untuk menghindari atau
merespon kejadian tersebut secara efektif sehingga kerugian dapat dikurangi. Strategi
yang keempat adalah dengan secepatnya memulihkan masyarakat korban bencana
dan membangun kembali sembari menguatkan mereka untuk menghadapi
kemungkinan bencana masa depan. Jadi strategi penanganan bencana jelas-jelas
bukan dan tidak terbatas pada respon kedaruratan saja.
Selama ini penanganan bencana difokuskan pada saat kejadian bencana
melalui pemberian bantuan darurat (relief) berupa : pangan, penampungan, dan
kesehatan. Tujuan utama penanganan seperti ini adalah untuk meringankan
penderitaan korban, kerusakan ketika terjadi bencana, dan segera mempercepat
pemulihan(recovery).
Dari respon darurat ke manajemen risiko : pergeseran ini mendorong
perubahan radikal cara pandang. Tadinya, penanganan bencana dipandang sebagai
rangkaian tindakan khusus terbatas pada keadaan darurat, dilakukan oleh para pakar
Universitas Sumatera Utara
saja, kompleks dan mahal, serta cepat. Sekarang, penanganan bencana harus dilihat
sebagai suatu paket kegiatan baik ada kedaruratan ataupun tidak.Titik beratnya bukan
lagi bagaimana merespon kedaruratan melainkan bagaimana melakukan manajemen
risiko sehingga dampak merugikan dari suatu kejadian dapat dikurangi atau
dihilangkan sama sekali. Aspek- aspek penanganan bencana harus dipadukan dalam
keseharian aspek-aspek pembangunan dan hajat pemerintahan justru pada saat
keadaan normal. Dengan demikian, penanganan bencana membuka diri terhadap
peran serta masyarakat dan dunia usaha pada berbagai tahap penanganan bencana.
Kemudian perubahan paradigma penanganan bencana mulai bergeser ke arah
pengurangan risiko bencana yaitu kombinasi dari sudut pandang teknis dan ilmiah
terhadap kondisi sosial, ekonomi dan politis, dan menganalisis risiko bencana,
ancaman, kerentanan dan kemampuan masyarakat. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan kemampuan untuk mengelola dan mengurangi risiko, dan juga
mengurangi terjadinya bencana. Kegiatannya dilakukan besama oleh semua para
pihak (stakeholder) dengan pemberdayaan masyarakat.
Pendekatan ini menekankan pada bahaya dan kerentanan, serta kemampuan
masyarakat dalam menghadapi bahaya dan risiko, gejala alam dapat menjadi bahaya,
jika mengancam manusia dan harta benda. Bahaya akan berubah menjadi bencana
jika bertemu dengan kerentanan dan ketidakmampuan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Fokus utama dalam pengurangan risiko bencana adalah:
1. Pengaturan legalitas bagaimana pengurangan risiko bencana menjadi prioritas
nasional. Memperkuat kerjasama dan koordinasi antar lembaga dalam membagi
tanggung jawab.
2. Perumusan kebijakan pengurangan risiko bencana terintegrasi kedalam perumusan
kebijakan pembangunan.
3. Perencanaan dan pembangunan
a. Pengurangan risiko bencana menjadi rencana strategi instansi pusat ke daerah
b. Mekanisme untuk menjamin bahwa bencana tidak akan merusak proyek
pembangunan.
c. Dan proyek pembangunan tidak meningkatkan risiko bencana kepada
masyarakat.
d. Mekanisme koordinasi instansi atau lembaga terlibat dalam pengurangan
risiko bencana.
4. Dukungan pelaksanaan
a. Pengurangan risiko bencana menjadi strategi dari instansi atau lembaga dalam
pembangunan.
b. Sasaran yang dituju mengenal ancaman akan ancaman risiko yang dihadapi
serta cara mengatasinya.
c. Adanya pengaturan kerjasama, kemitraan, dan koalisi untuk melaksanakan
pengurangan risiko bencana.
Universitas Sumatera Utara
2.5. Upaya Pengurangan Risiko Bencana
Menurut Yanuarko, (Profil PUM, Majalah Direktorat Jenderal Pemerintahan
Umum, 2007), upaya pengurangan bencana harus ditingkatkan. Konferensi
pengurangan risiko bencana sedunia (World Conference for Disaster
Reduction/WCDR) di Kobe, Jepang, pada tanggal 18-25 Januari 2005 dan konferensi
asia (Asian Conference fot Disaster Reduction/ACDR) di Beijing, China, pada tanggal
27-29 September 2005 tentang pengurangan risiko bencana adalah dasar tekad dan
program kerja masyarakat sedunia dalam mengurangi risiko bencana, yang
melahirkan Hyogo Framework for Action/HFA (Kerangka Kerja Aksi Hyogo
2005-2015) yaitu membangun ketahanan bangsa dan komunitas terhadap
bencana (Building the Resilience of nation and communities to disasters).
Hasil ini memahami bahwa sasaran pembangunan tidak akan tercapai tanpa
pertimbangan risiko bencana dan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak dapat
dicapai kalau pengurangan risiko bencana tidak diarusutamakan kedalam kebijakan,
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Jelasnya, perspektif pengurangan risiko
bencana harus dipadukan kedalam perencanaan pembangunan setiap negara dan
dalam strategi pelaksanaannya yang terkait. Pada pelaksaannya, hal ini sudah
didukung perangkat teknologi yang sudah ada dalam kemampuan untuk mengambil
tindakan proaktif untuk mengurangi risiko kerugian akibat bencana sebelum terjadi.
Selanjutnya bencana yang terjadi secara berulang-ulang menjadi suatu
tantangan bagi pembangunan disetiap negara. Dampak bencana semakin meningkat,
Universitas Sumatera Utara
bantuan terhadap keadaan darurat juga semakin bertambah, juga semakin mengurangi
sumber daya untuk biaya pembangunan. Demikian pula secara sosial dan ekonomi,
penduduk semakin terpuruk dan terpinggirkan kedalam kemiskinan, ketergantungan
akan sumber daya alam akan semakin meningkat, sehingga berdampak pada
degradasi lingkungan, yang pada akhirnya semakin meningkatkan kerentanan
terhadap risiko bencana. Dengan demikian pengurangan risiko bencana harus menjadi
suatu bagian tak terpisahkan dari pembangunan berkelanjutan.
2.6. Seputar Partisipasi Komunitas
Menurut Nugroho (2008:25), komunitas merupakan sebuah istilah yang
digunakan secara luas. Satu konsep umum mengenai komunitas adalah bahwa suatu
komunitas adalah harmonis, mempunyai satu keselarasan minat dan aspirasi, dan
terikat oleh nilai-nilai dan tujuan yang sama. Definisi ini menunjukkan bahwa
komunitas bersifat homogen. Dalam kenyataannya, suatu komunitas dapat dibedakan
secara sosial dan beragam. Gender, kelas, kasta, kekayaan, usia, etnis, agama, bahasa,
dan aspek-aspek lain membedakan dan saling melengkapi dalam komunitas.
Kepercayaan, minat, dan nilai-nilai anggota komunitas dapat bertentangan satu sama
lain. Oleh karena itu, sebuah komunitas tidak perlu homogen.
Meskipun demikian, mereka yang tinggal dalam sebuah komunitas
mempunyai kerentanan dan kapasitas yang berbeda-beda, misalnya laki-laki dan
perempuan. Ada yang mungkin lebih rentan atau lebih mampu dari yang lain.
Universitas Sumatera Utara
Partisipasi komunitas merupakan suatu proses untuk memberikan wewenang lebih
luas kepada komunitas untuk secara bersama-sama memecahkan berbagai persoalan.
Pembagian kewenangan ini dilakukan berdasarkan tingkat keikutsertaan komunitas
dalam kegiatan tersebut.
Selanjutnya partisipasi komunitas bertujuan untuk mencari jawaban atas
masalah dengan cara lebih baik, dengan memberi peran komunitas untuk memberikan
kontribusi sehingga implementasi kegiatan berjalan lebih efektif, efesien, dan
berkelanjutan. Partisipasi komunitas dilakukan mulai dari tahapan kegiatan
pembuatan konsep, konstruksi, operasional-pemeliharaan, serta evaluasi dan
pengawasan. Tingkat partisipasi komunitas dalam kegiatan penanggulangan bencana
terdiri dari 7 (tujuh) tingkatan yang didasarkan pada mekanisme interaksinya, yaitu:
(1) penolakan; (2) berbagi informasi; (3) konsultasi tanpa komentar; (4) consensus
dan pengambilan kesepakatan bersama; (5) kolaborasi; (6) berbagi penguatan dan
risiko; dan (7) pemberdayaan dan kemitraan. Lebih lanjut tingkat partisipasi ini dapat
diperkuat dari kecenderungan partisipasi yang bermakna ”untuk” komunitas, menjadi
”bersama” komunitas, dan akhirnya ”oleh” komunitas.
Seterusnya, ada berbagai pemangku-kepentingan (stakeholder) dan aktor
dalam proses pengelolaan risiko bencana oleh komunitas. Pemangku-kepentingan
pengelolaan bencana secara umum dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (i) penerima
manfaat, komunitas yang mendapat manfaat/dampak secara langsung maupun tidak
langsung, (ii) intermediari, kelompok komunitas, lembaga atau perseorangan yang
Universitas Sumatera Utara
dapat memberikan pertimbangan atau fasilitasi dalam pengelolaan bencana antara
lain: konsultan, pakar, LSM, dan profesional di bidang kebencanaan, dan (iii)
pembuat kebijakan, lembaga/institusi yang berwenang membuat keputusan dan
landasan hukum seperti lembaga pemerintahan dan dewan kebencanaan.
Kemudian penentuan dan pemilahan pemangku kepentingan dilakukan
melalui 4 (empat) tahap proses yaitu: (a) identifikasi pemangku-kepentingan ; (b)
penilaian ketertarikan pemangku-kepentingan terhadap kegiatan penanggulangan
bencana ; (c) penilaian tingkat pengaruh dan kepentingan setiap pemangku-
kepentingan ; dan (d) perumusan rencana strategi partisipasi stakeholder dalam
penanggulangan bencana pada setiap fase kegiatan. Semua proses dilakukan dengan
cara mempromosikan kegiatan pembelajaran dan meningkatkan potensi komunitas
untuk secara aktif berpartisipasi, serta menyediakan kesempatan untuk ikut bagian
dan memiliki kewenangan dalam proses pengambilan keputusan dan alokasi sumber
daya dalam kegiatan penanggulangan bencana.
Selanjutnya peran komunitas dalam proses pembangunan adalah penting
karena dalam kenyataannya tidak seorang pun yang dapat memahami kesempatan dan
hambatan di tingkat lokal selain komunitas setempat itu sendiri, dan tidak seorang
pun lebih tertarik untuk memahami urusan setempat selain komunitas yang
keberlanjutan hidup dan kesejahteraannya dipertaruhkan. Oleh karena komunitas
tempatan harus dilibatkan dalam identifikasi dan pemecahan masalah yang berkaitan
Universitas Sumatera Utara
dengan kerentanan terhadap bencana dan informasi harus diperoleh dengan cara dan
bahasa yang dapat dipahami oleh komunitas.
Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa kebanyakan pengelolaan
risiko bencana dan program pengelolaan yang bersifat topdown gagal untuk
mencakup kebutuhan setempat khusus dari komunitas yang rentan, mengabaikan
potensi sumber daya dan kapasitas setempat, dan mungkin dalam beberapa kasus
bahkan meningkatkan ketergantungan sekaligus kerentanan komunitas dan sebagai
hasilnya, para praktisi pengelolaan risiko bencana telah menghasilkan suatu
kesepakatan umum untuk lebih memberikan penekanan pada program-program
pengelolaan risiko bencana oleh komunitas. Ini berarti bahwa komunitas yang rentan
itu sendiri yang akan dilibatkan dalam perencanaan pelaksanaan tindakan-tindakan
pengelolaan risiko bencana bersama dengan semua entitas tingkat lokal, propinsi, dan
nasional dalam bentuk kerja sama.
Tujuan penanggulangan risiko bencana oleh komunitas adalah mengurangi
kerentanan dan memperkuat kapasitas komunitas untuk menghadapi risiko bencana
yang mereka hadapi. Keterlibatan langsung komunitas dalam melaksanakan tindakan-
tindakan peredaman risiko di tingkat lokal adalah suatu keharusan. Beberapa penulis
membedakan antara keikutsertaan komunitas dengan keterlibatan komunitas.
Keikutsertaan dan keterlibatan komunitas digunakan secara bergantian, yang berarti
bahwa komunitas bertanggungjawab untuk semua tahapan program termasuk
Universitas Sumatera Utara
perencanaan dan pelaksanaan. Pada akhirnya, ujung dari partisipasi komunitas ini
adalah mewujudkan penanggulangan bencana oleh komunitas itu sendiri.
Pengalaman dalam pelaksanaan penanggulangan bencana yang berorientasi
pada pemberdayaan dan kemandirian komunitas akan merujuk pada: (1) melakukan
upaya pengurangan risiko bencana bersama komunitas di kawasan rawan bencana,
agar selanjutnya komunitas mampu mengelola risiko bencana secara mandiri, (2)
menghindari munculnya kerentanan baru & ketergantungan komunitas di kawasan
rawan bencana pada pihak luar, (3) penanggulangan risiko bencana merupakan
bagian tak terpisahkan dari proses pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam
untuk pemberlanjutan kehidupan komunitas di kawasan rawan bencana, (4)
pendekatan multisektor, multi disiplin, dan multibudaya.
Lebih lanjut penanggulangan risiko bencana berbasis komunitas dapat
mengacu kepada hal-hal penting berikut: (1) Fokus perhatian dalam pengelolaan
risiko bencana adalah komunitas setempat. (2) Peredaman risiko bencana adalah
tujuannya. Strategi utama adalah untuk meningkatkan kapasitas dan sumber daya
kelompok-kelompok yang paling rentan dan mengurangi kerentanan mereka untuk
mencegah terjadinya bencana di kemudian hari. (3) Pengakuan adanya hubungan
antara pengelolaan risiko bencana dan proses pembangunan. Pendekatan ini
beranggapan bahwa menangani penyebab mendasar bencana, misalnya kemiskinan,
diskriminasi dan marginalisasi, penyelenggaraan pemerintahan yang lemah dan
pengelolaan politik dan ekonomi yang buruk, akan berperan dalam perbaikan
Universitas Sumatera Utara
menyeluruh kualitas hidup dan lingkungan. (4) Komunitas adalah sumber daya kunci
dalam pengelolaan risiko bencana. Komunitas adalah aktor utama dan juga penerima
manfaat utama dalam proses pengelolaan risiko bencana. (5) Penerapan pendekatan
multi-sektor dan multi-disipliner; menyatukan begitu banyak komunitas lokal dan
bahkan pemangku kepentingan pengelolaan risiko bencana untuk memperluas basis
sumber dayanya. (6) Merupakan kerangka kerja yang berkembang dan dinamis.
Pelajaran yang dipetik dari prakek-praktek yang telah ada terus
mengembangkan teori. Pembagian pengalaman, metodologi dan alat-alat oleh
komunitas dan para praktisi terus berlangsung untuk memperkaya praktek. (7)
Mengakui bahwa berbagai komunitas yang berbeda memiliki persepsi yang berbeda
tentang risiko. Terutama laki-laki dan perempuan yang mungkin mempunyai
pemahaman dan pengalaman yang berbeda dalam menangani risiko juga mempunyai
persepsi yang berbeda tentang risiko dan oleh karena itu mungkin mempunyai
pandangan yang berbeda tentang bagaimana meredam risiko. Adalah penting untuk
mengenali perbedaan-perbedaan tersebut. (8) Berbagai anggota komunitas dan
kelompok dalam komunitas mempunyai kerentanan dan kapasitas yang berbeda.
Individu, keluarga, dan kelompok yang berbeda dalam komunitas mempunyai
kerentanan dan kapasitas yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut ditentukan oleh
usia, jender, kelas, pekerjaan (sumber penghidupan), etnisitas, bahasa, agama dan
lokasi fisik.
Universitas Sumatera Utara
2.7. Proses Penanggulangan Risiko Bencana oleh Masyarakat (Komunitas)
Seperti telah dikemukakan di atas, penanggulangan risiko bencana oleh
komunitas merupakan proses untuk mendorong komunitas di kawasan rawan bencana
mampu secara mandiri menangani ancaman yang ada di lingkungannya dan
kerentanan yang ada pada dirinya. Oleh karena itu komunitas yang menghadapi risiko
perlu terlibat secara aktif dalam identifikasi, analisis, tindakan, pemantauan dan
evaluasi risiko bencana untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas
mereka. Ini berarti bahwa komunitas menjadi pusat pengambilan keputusan dan
pelaksanaan aktivitas-aktivitas pengelolaan risiko bencana.
Berdasarkan pengalaman bekerja bersama komunitas menurut Nugroho,
terdapat kecenderungan dalam proses penanggulangan risiko bencana oleh komunitas
ini. Walaupun tidak secara linier dan berurutan, beberapa tahapan tersebut di bawah
ini dapat digunakan sebagai acuan bagi “orang luar” yang akan mendorong
terwujudnya penanggulangan risiko bencana oleh komunitas.
1. Melakukan mobilisasi untuk memahami konteks dilakukan untuk lebih
memungkinkan masalah untuk ditangani melalui intervensi yang tepat.melakukan
kegiatan-kegiatan untuk secara bersama-sama menggeluti konteks risiko bencana
melalui pelatihan, berbagi pengalaman dan lainnya: manajemen bencana &
kedaruratan, penanganan penderita gawat darurat, pengamatan & pemantauan
ancaman, advokasi kebijakan, ekonomi mikro dan lainnya.
Universitas Sumatera Utara
2. Penjajakan situasi dan kondisi masyarakat. Penjajakan dilakukan untuk prediksi
kebutuhan untuk penanggulangan bencana. Hal ini perlu dilakukan agar terjadi
kesesuaian antara kebutuhan dan ketersediaan sumberdaya. Analisis situasi ini
dapat mulai dengan menyusun profil masyarakat untuk memahami risiko bencana
melalui riset partisipatif tentang: informasi histories kebencanaan, ciri-ciri
geoklimat, fisik, keruangan, tatanan sosiopolitik, dan budaya, kegiatan-kegiatan
ekonomik serta kelompok-kelompok rentan.
3. Penjajakan yang menyeluruh mengenai keterpaparan komunitas terhadap bahaya
dan analisis mengenai kerentanan mereka serta kapasitas mereka merupakan
dasar dalam semua aktivitas, proyek dan program untuk meredam
risiko bencana. Penjajakan risiko bencana merupakan proses partisipatif dalam
menentukan sifat, cakupan, dan besarnya dampak negatif dari ancaman terhadap
komunitas dan rumah tangga di dalamnya dalam suatu periode waktu yang dapat
diramalkan. Penjajakan risiko bencana komunitas juga memfasilitasi suatu proses
menentukan dampak negatif yang mungkin atau cenderung terjadi (kerusakan dan
kerugian) pada aset penghidupan yang berisiko. Pengkajian bersama tingkat risiko
di masyarakat meliputi: persepsi masyarakat atas risiko, pemetaan bahaya,
kerentanan dan kapasitas, identifikasi risiko, evaluasi dan penilaian risiko, potensi
sumber daya yang tersedia dan mobilisasi sumberdaya, analisis dan pelaporan
bersama ke komunitas.
Universitas Sumatera Utara
4. Tindakan perencanaan program dan memformulasikan rencana dilakukan
berdasarkan hasil analisis risiko. Perencanaan ini meliputi memformulasikan
tujuan (meningkatkan kapasitas & mengurangi kerentanan untuk meningkatkan
kemampuan mencegah, memitigasi dan menyiapkan diri), manfaat dan hasil
(mengurangi risiko), merencanakan kegiatan penting, mengidentifikasikan dan
mencari dukungan finansial, memformulasikan rencana kegiatan.
5. Tahapan ini hampir selalu ditempatkan sebagai puncak upaya peredaman risiko
bencana. Tahapan ini adalah menjalankan kesepakatan perencanaan yang telah
diformulasikan yang dianggap mampu meredam risiko. Dalam tahapan ini
terdapat serangkaian kegiatan yang terdiri dari: pengorganisasian pelaksana
kegiatan, memobilisasi sumberdaya, melaksanakan kegiatan-kegiatan yang telah
direncanakan, melakukan pemantauan kegiatan dan menggunakan hasil
pemantauan untuk memperbaiki rencana peredaman risiko yang dilaksanakan.
6. Penilaian dan memberikan umpan balik cenderung jarang dilakukan. Menilai hasil
kegiatan yang disesuaikan dengan hasil yang diharapkan untuk meredam bencana
diharapkan dapat digunakan untuk sejak dini mengetahui efektifitas usaha yang
telah dilakuakan. Untuk selanjutnya menggunakan hasil evaluasi untuk
pemberdayaan komunitas lain dalam meningkatkan kemampuan peredaman
bencana.
7. Di sisi lain, dilakukan mendokumentasikan proses pembelajaran dan
penyebarluasan praktekpraktek sukses ke masyarakat dan wilayah lain menjadi
Universitas Sumatera Utara
proses penting agar sebanyak mungkin mengurangi tumpang tindih tindakan
dalam peredaman risiko bencana yang sama. Penyebarluasan ini bukan hanya dari
sisi geografis, tetapi sekaligus penyebarluasan secara sektoral yang sekaligus juga
mengupayakan pengintegrasian usaha-usaha peredaman risiko bencana pada
aspek pembangunan dan perikehidupan lainnya dan untuk pembudayaan usaha-
usaha peredaman risiko bencana.
8. Akhir dari proses ini adalah melengkapi kelembagaan peredaman bencana yang
bertumpu pada komunitas (mendorong pembentukan organisasi rakyat dalam
penanggulangan risiko bencana) untuk menjaga keberlanjutan, penyebarluasan
dan pengintegrasian. Pada tahap in pula dibangun mekanisme konsultatif antara
organisasi rakyat dengan factor lain. Hal ini penting dilakukan karena proses
intervensi peredaman risiko bencana yang melibatkan pihak lain pada umumnya
bersifat ”sebagaian” dari upaya peredaman seluruh risiko. Dalam posisi ini
tentunya komunitas secara mandiri yang harus melanjutkan upaya-upaya
peredaman tersebut. Pelembagaan ini pada dasarnya merupakan sebuah pemastian
bahwa upaya peredaman risiko bencana tidak berhenti.
2.8. Strategi Penerapan Penanggulangan Risiko Bencana oleh Masyarakat
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, sejak UU Nomor 22
Tahun 1999 (tentang pemerintahan daerah) dan UU Nomor 25 Tahun 1999 (tentang
perimbangan keuangan pusat dan daerah) ditetapkan. Perbincangan tentang kebijakan
Universitas Sumatera Utara
pembangunan hanya terbatas mengenai pemanfaatan sumberdaya alam daerah untuk
kepentingan ekonomi sesaat. Sasarannya: menggenjot Pendapatan Asli Daerah
(PAD). Belum terlihat usaha-usaha menerapkan otonomi daerah untuk menangani
kawasan-kawasan rawan bencana, atau sebaliknya membuat strategi penanggulangan
bencana dalam konteks otonomi daerah. Hal ini berdampak saat otonomi daerah
diberlakukan, penanggulangan bencana terkesan lamban. Benarkah ada “saling
ketidak pedulian” antara pusat dan daerah? Di satu sisi, daerah perlu bantuan
mendesak; di sisi lain, pemerintah pusat menyatakan tidak ada dana khusus untuk
penanggulangan bencana. Dan begitu pula antara masyarakat dengan pemerintah di
daerahnya. Ini merupakan tantangan tersendiri buat otonomi daerah.
Dimana penanggulangan bencana yang berbasis pada kemampuan
masyarakat di kawasan rawan bencana merupakan jawaban atas kelemahan-
kelemahan tersebut. Penanggulangan ini dilakukan dengan asas pemberdayaan yang
memposisikan masyarakat selaku stakeholder internal tempatan sebagai subyek.
Dengan segala keterbatasan yang ada, maka masyarakat diberdayakan untuk mampu
membangun dan mengelola sistem penanggulangan bencana di daerahnya.
Sementara, kita para stakeholder eksternal, yang bukan masyarakat tempatan, dengan
penuh kesadaran menjadi pendukung.
Seterusnya dalam perpektif penanggulangan bencana berbasis komunitas,
bencana alam dan lingkungan sebagai fenomena sosial tidak akan muncul begitu saja,
tetapi sangat berhubungan dengan kapasitas komunitas. Bencana cenderung terjadi
Universitas Sumatera Utara
pada komunitas yang rentan, dan akan membuat komunitas semakin rentan.
Kerentanan komunitas diawali oleh kondisi-kondisi lingkungan fisik, sosial, dan
ekonomi yang tidak aman yang melekat padanya. Kondisi tidak aman tersebut terjadi
oleh tekanan-tekanan dinamik, baik internal maupun eksternal. Dinamika-dinamika
internal tersebut bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi karena terdapat akar
permasalahan yang menyertainya, baik secara internal maupun eksternal.
Selanjutnya di beberapa wilayah, kerentanan tersebut disebabkan oleh (1)
didominasi oleh posisi dan tidak aman, (2) meningkatnya aktifitas pembangunan
yang tidak selaras dengan alam dan lingkungan, (3) organisasi sosial di dalam
penanggulangan bencana yang belum terbangun dan mempunyai kapasitas yang
rendah, (4) institusi penanggulangan bencana di tingkat lokal yang tidak aktif dan
mempunyai kapasitas yang lemah dalam penanggulangan bencana. Seluruh kondisi
tersebut merupakan hasil proses dinamis; antara lain (1) kebijakan pembangunan
regional tidak selaras alam dan lingkungan, (2) komunitas seluruh waktunya
digunakan untuk kepentingan ekonomi instan, dalam keterbatasan waktu, uang dan
pikiran untuk pemberdayaan, (3) pertumbuhan populasi yang tinggi, dan terbatasnya
dukungan untuk penanggulangan bencana. Pada akhirnya akar permasalahannya
adalah (1) tidak ada hukum positif dalam penanggulangan bencana, (2)
penanggulangan bencana dipahami sepotong-sepotong, dan (3) kebijakan bias dalam
perpektif penanggulangan bencana.
Universitas Sumatera Utara
Penanggulangan bencana secara menyeluruh, baik melalui pengurangan
dampak maupun menghilangkan penyebab bencana, bukan pekerjaan yang sederhana.
Para pelaku perlu melakukan transformasi penanggulangan bencana secara
menyeluruh dan sinergis, baik secara structural maupun proses. Individu, keluarga,
komunitas dan unit sosial yang lebih tinggi, maupun pemerintah daerah dan pusat
perlu melakukan transfor-masi perilaku, kebijakan, hukum dan institusi.
Direkomendasikan para pihak melakukan penanggulangan bencana dengan
mereduksi kerentanan dan kondisi tidak aman, tekanan-tekanan dinamis dan akar
permasalahan.
Mengacu pada kerentanan dapat dengan cara (1) meningkatkan kapasitas
individu, keluarga dan komunitas dalam melakukan penyesuaian dan adaptasi
terhadap tipologi kawasan yang rendah dan cekung, (2) membangun praktek
penanggulangan bencana secara terprogram, menyeluruh, multi pihak dan berbasis
pada kebutuhan, (3) meningkatkan keanekaragaaman aset dan sumberdaya
masyarakat, (4) membangun organisasi masyarakat di bidang penanggulangan
bencana, (5) membangun keanekaragaman produksi dan sumber pendapatan
masyarakat, (6) membangun institusi penanggulangan bencana di tingkat lokal.
Mengacu pada faktor-faktor penekan dinamis yang ada, maka reduksi faktor
penekan dapat dengan cara (1) membangun kebijakan dan praktek pengaturan
kelahiran, (2) membangun kebijakan dan praktek pengelolaan sumberdaya yang peka
lingkungan, tidak berorientasi sesaat, adil dan mutualis. (3) membangun kebijakan
Universitas Sumatera Utara
dan praktek pengelolaan tata ruang yang peka permasalahan lingkungan, holistik, dan
tidak berorientasi sesaat (4) memperkuat hubungan antar keluarga, dan unit sosial di
atasnya (5) membangun kebijakan, praktek dan institusi penanggulangan bencana
secara utuh di tingkat pemerintah daerah.
2.9. Peran Penganggaran
Pada kondisi kita saat ini yang terbiasa dengan mekanisme “top-down”,
proses partisipasi alias “bottom-up” tidak akan mudah muncul dengan sendirinya.
Pemerintah sebagai pemilik mandat utama dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana perlu mendorong proses tersebut, dan memperbesar ruang peran masyarakat.
Karena penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dengan penyelenggaraan pembangunan, maka mekanisme musyawarah
perencanaan pembangunan desa sampai tingkat kabupaten misalnya, dapat digunakan
sebagai salah satu mekanisme perencanaan dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana.
Tidak cukup ruang peran dalam partisipasi, tetapi perlu alokasi dana yang
cukup untuk memperbesar peran tersebut. Misalnya melalui alokasi dana desa (ADD)
yang memadai bagi desa kawasan rawan bencana maupun SKPD-SKPD yang
berhubungan erat dengan penyelenggaraaan penanggulangan bencana. SKPD
pertanian, kehutanan, pendidikan, kepemudaan dan olahraga adalah contoh-contoh
SKPD yang dapat digunakan untuk memperbesar peran tersebut. Partisipasi
Universitas Sumatera Utara
masyarakat dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana juga dapat dilakukan
dengan memperbesar pos-pos anggaran yang dimungkinkan digunakan untuk itu,
misalnya melalui pos kegiatan kepemudaan dan olahraga. Tentu sangat tidak adil
apabila dana kegiatan keolahragaan di suatu kabupaten yang rawan bencana
mencapai 10 milyar, sementara dana untuk kegiatan kepemudaan hanya 1 milyar.
Padahal jelas-jelas partisipasi pemuda untuk penyelenggaraan penanggulangan
bencana hanya dapat digunakan melalui kegiatan kepemudaan, baik Pramuka, Karang
Taruna, Palang Merah Indonesia dan lainnya. Bukan memalui kegiatan olahraga.
Mengapa dana olahraga besar? Ah, rupanya alokasi yang besar itu diperlukan karena
kita harus membayar pemain asing untuk sepakbola. Hati kita yang dapat menjawab:
itu sesat pikir atau tidak?
Universitas Sumatera Utara