BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Kinerja Ruas Jalan
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Kinerja Ruas Jalan
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Analisis Kinerja Ruas Jalan
Analisis kinerja ruas jalan dapat diartikan sebagai aktivitas pengamatan
tentang pelayanan sistem pergerakan arus lalu lintas pada suatu ruas jalan
Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI 1997), kinerja ruas jalan
disebut juga sebagai pelayanan jalan, secara umum dinyatakan dalam kecepatan,
waktu tempuh, kebebasan bergerak, interupsi lalu lintas, kenyamanan, dan
keselamatan. Pergerakan lalu lintas ini dapat diakibatkan oleh bangkitan lalu
lintas baru, lalu lintas yang beralih, dan kendaraaan keluar masuk dari dan atau ke
lahan tersebut. Setiap ruang kegiatan akan membangkitkan pergerakan dan
menarik pergerakan yang intensitasnya tergantung pada jenis tata guna lahan
tersebut. Bila terdapat pembangunan dan pengembangan kawasan baru seperti
pusat perbelanjaan, maka akan timbul tambahan bangkitan dan tarikan lalu lintas
baru akibat kegiatan tambahan di dalam dan sekitar kawasan tersebut. Oleh karena
itu, pembangunan suatu kawasan dan pengembangannya akan memberikan
pengaruh langsung terhadap sistem jaringan jalan.
Keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas, dan
gangguan angkutan jalan adalah akibat dari terjadinya rencana pembangunan
pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur, sehingga wajib dilakukan analisis
terhadap kinerja ruas jalan dan dampak lalu lintasnya, (Peraturan Menteri
Perhubungan no.75 tahun 2015). Dampak tersebut bisa bersifat positif jika
perjalanan menjadi lebih pendek dan lebih cepat, tetapi juga bisa bersifat negatif
jika perjalanan menjadi bertambah lama dan terjadi penurunan tingkat pelayanan
jalan. Analisis dampak lalu dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap konstruksi dan
pasca konstruksi, (Murwono (2003).
7
2.1.1 Fenomena Dampak Lalu Lintas terhadap Kinerja Ruas Jalan
Lebih lanjut, dikatakan oleh (Murwono (2003), bahwa dampak lalu lintas
terhadap kinerja ruas jalan bisa terjadi pada dua tahap yang berbeda, yaitu:
1. Tahap Konstruksi
Dampak lalu lintas yang terjadi akibat pergerakan angkutan material
dan mobilisasi alat berat yang menuju maupun keluar dadi lokasi
konstruksi.
2. Tahap Pasca Konstruksi
Dampak lalu lintas yang terjadi akibat pergerakan bangkitan lalu lintas
para pengguna lalu lintas, pengunjung, pegawai di daerah konstruksi
yang telah beroperasi, juga disebabkan oleh bangkitan lokasi parkir di
daerah sekitar.
2.1.2.1 Kawasan Wajib Melakukan Andalalin sesuai Kriteria Pengembangan
Berikut adalah kriteria untuk pengembangan kawasan yang wajib
melakukan andalalin (Analisis Dampak Lalu Lintas). Apabila suatu kawasan
pengembangan memiliki satu saja diantara kriteria yang disebutkan maka wajib
dilakukan Andalalin (Peraturan Menteri Perhubungan no.7 tahun 2015):
1. Perencanaan pengembangan kawasan tersebut aksesnya langsung ke
jalan arteri.
2. Apabila Perencanaan pengembangan kawasan tidak mengakses jalan
arteri, maka berlaku demikian:
3. Apabila skala kegiatan atau usaha apangan pengembangan kawasan
lebih besar atau sama dengan dari ukuran minimal maka
pengembangan kawasan yang ditetapkan dijelaskan pada gambar 2.2;
4. Pengembangan kawasan tersebut diperkirakan dapat berakibat pada
bangkitan perjalanan yang besar dari 1000 perjalanan/ orang/ jam.
5. Adanya beberapa rencana Pengembangan kawasan yang mengakses
satu ruas atau ruas jalan yang sama, sehingga secara kumulatif
memenuhi kriteria wajib Andalalin.
8
6. Pengembangan kawasan yang aksesnya langsung menuju suatu ruas
jalan dengan nilai derajat kejenuhannya (DS) lebih dari atau sama
dengan 0,8 atau apabila persimpangan yang ada di dekat area tersebut
memiliki nila derajat kejenuhan lebih atau sama dengan 0,8 .
2.1.2.2 Permodelan Bangkitan dan Tarikan Pergerakan
Pada tahap bangkitan pergerakan tujuan dasarnya adalah untuk
menghasilkan desain hubungan antara tolak ukur tata guna lahan dengan jumlah
pergerakan yang dapat terjadi ketika akan menuju suatu zona atau jumlah
pergerakan yang mungkin timbul saat meninggalkan suatu zona.
Permodelan pergerakan ini digunakan untuk memperkirakan seberapa
besar bangkitan yang akan terjadi di suatu tempat akibat adanya suatu
infrastruktur baru. Untuk mengetahui besarnya bangkitan dan tarikan perjalanan,
dapat dilakukan survei asal tujuan berupa wawancara keluarga dengan sampling,
(Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia no. 75 Tahun 2015),
kategori dalam melaksanakan survei asal tujuan , antara lain:
1. Klasifikasi Pergerakan
a. Berdasarkan Tujuan Pergerakan
Menurut (Tamin, 2003) Setiap orang memiliki tujuan pergerakan
yang berbeda-beda sesuai basisnya masing-masing, ada beberapa
tujuan pada proses pergerakan transportasi yang paling sering
digunakan, yaitu:
1. Pergerakan menuju tempat kerja
2. Pergerakan menuju sekolah
3. Pergerakan menuju tempat atau pusat perbelanjaan
4. Pergerakan yang diperuntukkan kegiatan sosial
5. Dan Lain-lain
b. Berdasarkan Waktu
Bangkitan dan tarikan pada pergerakan yang terjadi juga dapat
dipengaruhi oleh waktu, berikut penjelasannya (Tamin, 2003):
1. Pada jam sibuk
9
Jam sibuk terjadi sekitar pukul 7 sampai jam 9 pagi, hal ini
disebabkan oleh volume pergerakan yang terjadi, dibuktikan oleh
kebiasan ke tempat kerja dan sekolah terjadi sekitar jam tersebut,
sehingga timbul pergerakan yang besar.
2. Pada jam tidak sibuk
Terjadi sekitar pukul 10 sampai jam 12 siang, pergerakan
sekitar jam tersebut lebih sedikit dibanding pada saat jam sibuk.
Hal ini disebabkan oleh aktivitas yang menimbulkan pergerakan
transportasi sudah minim keberadaannya.
c. Berdasarkan Jenis Orang
Klasifikasi cukup penting dilakukan karena perilaku pergerakan
seseorang sangat dipengaruhi oleh aspek sosial dan ekonomi seperti
menurut (Tamin, 2003), dibawah ini:
1. Tingkat pendapatan
2. Tingkat kepemilikan kendaraan, dimana semakin banyak
kendaraan yang dimiliki tiap rumah tangga cenderung lebih
banyak melakukan pergerakan.
2. Konsep Perencanaan Transportasi
Menurut (Tamin, 2003), konsep perencanaan yang biasa digunakan
pada sistem transportasi di Indonesia dijelaskan melalu 4 tahap
permodelan, antara lain:
a. Bangkitan dan tarikan pergerakan (Trip Generation)
Menurut (Tamin, 2003), tahapan permodelan memperkirakan
jumlah pergerakan yang berasal dari suatu zona menuju zona lainnya
seperti pada (Gambar 2.1), bangkitan ini mencakup lalu lintas yang
meninggalkan suatu lokasi dan lalu lintas yang menuju suatu lokasi
dan tergantung pada 2 aspek, yaitu:
1. Tipe tata guna lahan
Tiap-tiap tata guna lahan memiliki karakteristik bangkitan
yang berbeda (jumlah arus lalu lintas, jenis lalu lintas).
10
2. Jumlah aktivitas
semakin tinggi tingkat lahan yang dipergunakan maka
semakin bangkitan pergerakan yang dihasilkan.
Gambar 2. 1 Bangkitan dan Tarikan
Sumber: wells (1975) dalam Tamin (2003)
b. Distribusi pergerakan lalu lintas (Trip Distribution)
Tahap permodelan memperkirakan pergerakan yang tersebar dan
meninggalkan suatu zona atau menuju suatu zona lainnya. Tahap 2 ini
menentukan apakah tipe penghubung tersebut terpusat satu jalur atau
menyebar.
Tata guna tanah cenderung menarik lalu lintas dari tempat yang
lebih dekat dibandingkan dengan tempat yang jauh. Biasanya
dipresentasikan dengan gariskeinginan atau matriks asal tujuan,
(Tamin, 2003), secara grafik dijelaskan pada gambar 2.3.
Gambar 2. 2 Garis keinginan (Desire Line)
Sumber: wells (1975) dalam Tamin (2008)
11
c. Pemilihan moda (Modal Choice)
Dengan adanya bangkitan dan pemilihan tipe distribusi, tahapan
model transportasi yang selanjutnya adalah memilih proses interaksi
dari production dan attraction itu dilakukan. Pemilihan moda
transportasi bergantung dari tingkat ekonomi dari pemilik wilayah tata
guna lahan dan biaya transportasi dari moda angkutan. Orang dengan
perekonomian yang tinggi cenderung memilih mode angkutan pribadi
dibandingkan mode angkutan umum. Jika terdapat lebih dari satu
moda angkutan, moda yang dipilih biasanya yang rutenya terpendek,
tercepat atau termurah, atau kombinasi dari ketiganya, (Tamin, 2003).
d. Pembebanan pada lalu lintas
Pada tahapan ini, yang perlu dilakukan adalah pengaturan arus lalu
lintas. Jika suatu jalur memiliki beban volume yang cenderung padat,
maka bisa kepadatan dapat dikurangi dengan cara mengalihkannya ke
jalur lain. Pemilihan rute baru harus tetap memperhitungkan
alternative yang efektif dan efisien atau terpendek, cepat, dan murah.
Volume lalu lintas pada setiap rute adalah hasil akhir dari tahap ini,
(Tamin, 2003).
2.1.2.3 Penetapan Kelas Andalalin
1. Klasifikasi pengembangan kawasan
Informasi mengenai prakiraan bangkitan perjalanan yang akan
ditimbulkan pada rencana kawasan, Menurut (MKJI 1997),
diklasifikasikan menjadi:
a. Pengembangan kawasan skala kecil, dengan hasil berupa
bangkitan perjalanan kurang dari 500 perjalan tiap orang/jam.
b. Pengembangan kawasan skala tengah, menghasilkan bangkitan
perjalanan antara 500 perjalanan orang/jam sampai dengan 1000
perjalanan orang/jam;
12
c. Pengembangan kawasan skala besar, diperkirakan akan terjadi
bangkitan perjalanan lebih dari 1000 perjalanan setiap orang/jam;
d. Pengembangan kawasan skala tengah atau pengembangan
kawasan skala besar yang dilakukan melalui beberapa tahap
khusus dengan tempo pelaksanaan pembangunan dilakukan
dalam waktu beberapa tahun.
2. Klasifikasi andalalin
Berdasarkan (MKJI 1997) Setiap kelas pengembangan kawasan yang
disampaikan dalam Tabel 2.1 Klasifikasi Pengembangan Kawasan,
nantinya akan menghasilkan jumlah skala dampak lalu lintas jalan yang
berbeda, sehingga cakupan wilayah studi dan lama waktu tinjauan yang
berbeda adalah variabel yang juga dibutuhkan.
13
Tabel 2. 1 Klasifikasi Andalalin Untuk Setiap Kelas Pengembangan Kawasan
14
(Tabel C-1:1,MKJI 1997)
2.1.2.4 Pengumpulan Data Wilayah Studi
Data yang diperlukan dalam proses pelaksanaan andalalin adalah data tata
guna lahan, data lalu lintas, data prasarana jalan, dan data sistem transportasi.
Dalam Tabel 2.2 terdapat daftar-daftar data yang harus dikumpulkan untuk setiap
kelas andalalin.
Data tersebut harus diperoleh dari sumber data sekunder yang dapat
dipertanggungjawabkan. Di dalam laporan andalalin penting untuk mencantukan
sumber data sekunder yang diperoleh, dengan menyertakan metode dan tahun
pengambilan data.
Jika data tingkat pertumbuhan lalu lintas tidak bisa diperoleh dari sumber
data sekunder, maka tingkat pertumbuhan lalu lintas dapat diperkirakan dari
tingkat pertumbuhan penduduk atau pertumbuhan jumlah kendaraan di wilayah
yang di analisis.(Tamin, 2003).
2.1.2.5 Prakiraan Lalu Lintas
Tujuan prakiraan lalu lintas adalah untuk menemukan informasi tentang
perubahan pada kondisi lalu lintas di wilayah studi pada tahun tinjauan sebagai
dasar dalam melakukan evaluasi dampak lalu lintas jalan.
Prakiraan lalu lintas diusahakan informasi mengenai prakiraan bangkitan
perjalanan yang akan ditimbulkan, menggunakan metode-metode yang memadai,
dengan memperhatikan tingkat keakuratan hasil. Oleh karena itu, penggunaan
setiap metode di dalam prakiraan lalu lintas harus didahului oleh proses kalibrasi
dan validasi dengan menggunakan uji statistik yang umum digunakan dalam
kajian transportasi, (Tamin, 2003).
Secara umum terdapat 4 tahapan kegiatan yang harus dilalui di dalam
melakukan prakiraan lalu lintas, antara lain:
a. Tahap penetapan sistem zona;
b. Tahap bangkitan perjalanan;
15
c. Tahap distribusi perjalanan;
d. Tahap pembebanan lalu lintas.
a. Tahap penetapan sistem zona
Menurut (Tamin, 2003), setiap perjalanan manusia atau moda
transportasi di wilayah studi, harus menetapkan lokasi atau zona yang
menjadi asal dan tujuannya. Secara umum zona asal dan tujuan dapat
dikelompokkan sebagai:
a. Zona internal, berarti zona-zona asal atau tujuan dengan perjalanan
yang berada di dalam suatu wilayah studi, termasuk zona dari
pengembangan kawasan yang telah direncanakan;
b. Zona eksternal, berarti zona-zona asal atau tujuan dengan
perjalanan yang berada di luar wilayah studi yang dianalisis.
Untuk memudahkan proses pengumpulan data pada tahap prakiraan
lalu lintas lanjutan, maka penetapan sistem zona internal perlu
diperhatikan pola pembagian ruang yang ada, misalnya dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) atau Rencana Detail Tata Ruang (RDTR),
informasi tersebut dapat didapatkan melalui data pembagian wilayah
administrasi dan sistem zona yang pernah digunakan pada studi terdahulu.
Penetapan zona-zona eksternal didasarkan pada representasi arah lalu
lintas utama dari wilayah luar kota lainnya yang menuju ke wilayah studi
analisis, sehingga lokasi dan jumlah zona eksternal dapat ditetapkan sesuai
dengan lokasi dan jumlah jalan arteri dan atau jumlah jalan kolektor yang
berbatasan dengan wilayah studi analisis.
2.1.2.6 Penyusunan Penanganan
Apabila dampak lalu lintas pada ruas jalan yang dihasilkan oleh rencana
pengembangan kawasan telah melebihi kriteria yang ditetapkan pada Tabel 2.4,
maka dilakukan penyusunan ulang terhadap langkah-langkah penanganan
terhadap masalah yang perlu ditangani.
Pada dasarnya penanganan masalah dampak lalu lintas pada ruas jalan dari
setiap kasus per kasus, bergantung pada karakteristik wilayah dan tingkat
16
kesulitan permasalahan yang tangani. Oleh karena itu diharuskan untuk
menelusuri lebih lanjut beberapa alternatif penanganan yang dapat dilakukan
dengan mempertimbangkan efektivitasnya dalam menyelesaikan masalah tersebut
dan konsekuensi biayanya.
Berikut ini disampaikan oleh (Tamin, 2003), beberapa alternatif
penanganan masalah yang bisa dilakukan untuk tiap elemen dampak lalu lintas.
a. Penanganan masalah lalu lintas kendaraan di ruas jalan
Permasalahan lalu lintas kendaraan di ruas jalan pada dasarnya
disebabkan oleh kapasitas ruas jalan yang tidak ideal dalam melayani
volume lalu lintas. Penanganan yang tepat dan terkait adalah dengan
meningkatkan kapasitas ruas jalan, dengan usaha dalam mengatur
manajemen lalu lintas, perbaikan geometrik, dan melakukan pelebaran
ruas jalan tersebut.
b. Penanganan masalah lalu lintas kendaraan pada persimpangan jalan
Permasalahan pada persimpangan jalan berasal dari menurutnya
tingkat pelayanan suatu persimpangan jalan dalam melewatkan volume
kendaraan tertentu. Penanganan yang tepat dalam kasus ini adalah
menambah kapasitas persimpangan jalan, antara lain dengan melakukan
usaha mengatur manajemen lalu lintas, merencanakan perbaikan
geometrik, dan pembangunan persimpangan tidak sebidang.
c. Penanganan masalah lalu lintas bagi pejalan kaki
Penanganan masalah untuk pejalan berkaitan dengan ketersediaan
fasilitas bagi pejalan kaki, seperti jalur pejalan kaki dan sarana
penyeberangan, baik yang ada di permukaan tanah, di bawah permukaan
tanah maupun di atas permukaan tanah. Berjalan kaki biasanya dilakukan
sebelum ataupun sesudah pelayanan angkutan umum yang tersedia
digunakan, sehingga sarana pemberhentian angkutan umum perlu
diperhatikan sebagai bagian dari ketersediaan dan kelayakan pelayanan
transportasi bagi pejalan kaki.
17
2.2 Kapasitas Jalan
2.2.1 Definisi Kapasitas Ruas Jalan
Kapasitas jalan adalah kemampuan suatu ruas jalan dalam menampung arus
atau volume lalu lintas yang ideal dalam satuan waktu tertentu, dinyatakan dalam
jumlah kendaraan yang melewati potongan jalan tertentu dalam satu jam
(kend/jam), atau mempertimbangkan berbagai jenis kendaraan yang melalui jalan
digunakan satuan mobil penumpang sebagai satuan kendaraan dalam perhitungan
kapasitas maka menggunakan satuan mobil penumpang per jam atau (smp)/jam,
(Oglesby dan Hicks, 1993).
Saat arus tidak terlalu besar dapat menyebabkan kecepatan menjadi
meningkat sebab arus lalu lintas menjadi bebas gangguan, pengguna jalan menjadi
bebas tanpa hambatan dan gangguan dari pengguna jalan lain. Semakin
banyaknya volume pengguna jalan atau kendaraan yang melewati suatu ruas jalan,
maka kecepatan menjadi menurun bahkan bisa sampai berhenti total, hal ini
disebabkan oleh volume arus kendaraan yang meningkat, Setelah kapasitas arus
berkurang terus dalam kondisi arus yang dipaksakan hingga saat
kondisi macet total, arus tidak bergerak dan kepadatan tinggi menjadi tinggi,
(Oglesby dan Hicks, 1993).
2.2.2 Kapasitas Ruas Jalan
Jalan sekitar pintu keluar tol Malang- Pandaan merupakan jalan luar kota,
dimana kapasitas ruas jalan dapat dihitung dengan persamaan dasar sebagai
berikut (MKJI tahun 1997):
C = Co x FCW x FCSP x FCSF
Dimana:
C = Kapasitas (smp/jam)
Co = Kapasitas dasar (smp/jam), biasanya digunakan angka 2300
smp/jam
FCW = Faktor penyesuaian lebar jalan
FCSP = Faktor penyesuaian pemisahan arah (hanya utk jalan tak terbagi)
18
FCSF = Faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan/kereb
Dengan diketahuinya nilai kapasitas ruas jalan maka dapat
digunakan untuk mengetahui tingkat pelayanan jalan tersebut. Kemudian
untuk mengetahui kapasitas dasar (Co) dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2. 2 Kapasitas dasar jalan luar kota 4 lajur 2 arah
Tipe jalan/tipe alinyemen Kapasitas dasar total kedua arah
(smp/jam)
Empat lajur terbagi
-datar
-bukit
-gunung
Empat lajur tak terbagi
-datar
-bukit
-gunung
1900
1850
1800
1700
1650
1600
(Tabel C-1:1,MKJI 1997)
Tabel 2. 3 Kapasitas dasar jalan luar kota 2 lajur 2 arah
Tipe jalan/tipe alinyemen Kapasitas dasar total kedua
arah (smp/jam)
Dua lajur tak terbagi
-datar
-bukit
-gunung
3100
3000
2900
(Tabel C-1:2,MKJI 1997)
Menentukan faktor penyesuaian (FCW) akibat lebar jalur lalu lintas dapat
menggunakan tabel 2.4 berdasarkan pada lebar efektif jalur lalulintas (WC).
Faktor penyesuaian kapasitas jalan dengan lebih enam lajur dapat ditentukan
dengan menggunakan angka-angka per-jalur yang diberikan untuk jalan empat
dan enam lajur dalam tabel 2.4.
19
Tabel 2. 4 Faktor penyesuaian kapasitas akibat lebar jalur lalulintas
Tipe jalan Lebar efektif (m) FCw
4 lajur berpembatas median
atau jalan satu arah
per lajur
3,00
3,25
3,50
3,75
4,00
0,92
0,96
1,00
1,04
1,08
4 lajur tanpa pembatas
Median
per lajur
3,00
3,25
3,50
3,75
4,00
0,91
0,95
1,00
1,05
1,09
2 lajur tanpa pembatas
Median
dua arah
5
6
7
8
9
10
11
0,56
0,87
1,00
1,14
1,25
1,29
1,34
(Tabel C-2:1,MKJI 1997)
Faktor penyesuaian kapasitas (FCSP) akibat terjadinya pemisahaan
atau pemecahan arah. Di tabel 2.5 dijelaskan berdasar pada data masukan
untuk kondisi lalu lintas yang terjadi, untuk jalan terbagi, faktor
penyesuaian kapasitas akibat pemisahan arah tidak dapat diterapkan dan
nilai 1,0 harus dimasukan.
Tabel 2. 5 Faktor penyesuaian kapasitas akibat pemisahan arah
Pembagian arah (%−%) 50−50 55-45 60-40 65-35 70-30
FCsp
2-lajur 2-arah tanpa
pembatas median
(2/2 UD)
1,00 0,97 0,94 0,91 0,88
4-lajur 2-arah tanpa
pembatas median
(4/2 UD)
1,00 0,985 0,97 0,955 0,94
(Tabel C-3:1,MKJI 1997)
20
Faktor terakhir yang digunakan untuk menganalisis suatu kapasitas
jalan adalah faktor penyesuaian kapasitas akibat hambatan samping (FCSF).
Faktor tersebut berdasarkan pada lebar efektif bahu WS. Faktor
penyesuaian kapasitas untuk 6 lajur dapat ditentukan dengan
menggunakan nilai FCSF untuk jalan 4 lajur yang diberikan pada tabel 2.9.
Tabel tersebut disesuaikan dengan rumusan dibawah ini:
FC6SF = 1 – 0,8 x (1-FC4FS)
Dimana :
FC6SF = Faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan 6 lajur
FC4FS = Faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan 4 lajur
Tabel 2. 6 Faktor penyesuaian kapasitas akibat hambatan samping
Tipe jalan
Kelas
gangguan
samping
Faktor koreksi akibat gangguan
samping dan lebar bahu jalan
Lebar bahu jalan efektif
≤ 0,5 1,0 1,5 ≥2,0
4-lajur 2-arah
Berpembatas median
(4/2 D)
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
0,96
0,94
0,92
0,88
0,84
0,98
0,97
0,95
0,92
0,88
1,01
1,00
0,98
0,95
0,92
1,03
1,02
1,00
0,98
0,96
4-lajur 2-arah
Non pembatas median
(4/2 UD)
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
0,96
0,94
0,92
0,87
0,80
0,99
0,97
0,95
0,91
0,86
1,01
1,00
0,98
0,94
0,90
1,03
1,02
1,00
0,98
0,95
2-lajur 2-arah
Non pembatas median
(2/2UD) atau jalan satu
Arah
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
0,94
0,92
0,89
0,82
0,73
0,96
0,94
0,92
0,86
0,79
0,99
0,97
0,95
0,90
0,85
1,01
1,00
0,98
0,95
0,91
(Tabel C-4:1,MKJI 1997)
2.2.2 Tingkat Pelayanan Jalan
Tingkat pelayanan jalan (level of service) adalah batas atau tingkat dari
pelayanan suatu jalan yang menggambarkan kualitas suatu jalan serta batas
pengoperasian suatu jalan.Pada umumnya ada 6 tingkatan pelayanan jalan seperti
pada tabel 2.7.
21
Tabel 2. 7 Tingkat pelayanan jalan
(Dinas Perhubungan, 2000)
2.2.3 Derajat Kejenuhan
Kinerja ruas jalan adalah ukuran dan indikator untuk mengetahui
kemampuan suatu jalan tertentu dalam melayani kendaraan yang melewatinya.
Tingkat pelayanan yang semakin buruk akan menyebabkan terjadinya kemacetan
di ruas jalan tersebut. Pelayanan jalan berhubungan dengan derajat kejenuhan,
yaitu rasio arus terhadap kapasitas.
Nilai derajat kejenuhan akan digunakan untuk menentukan indeks tingkat
pelayanan jalan. Rumus derajat kejenuhan ditentukan dengan persamaan berikut:
Keterangan:
DS = Derajat Kejenuhan
V = Arus lalu lintas (smp/jam)
C = Kapasitas (smp/jam)
Tingkat
Pelayanan v/c Rasio Karakteristik
A < 0,60 Arus bebas, volume rendah dan kecepatan tinggi,
pengemudi dapat memilih kecepatan yang dikehendaki.
B 0,60 < V/C < 0,70
Arus stabil, kecepatan sedikit terbatas oleh lalu lintas,
pengemudi masih dapat bebas dalam memilih
kecepatannya.
C 0,70 < V/C < 0,80 Arus stabil, kecepatan dapat dikontrol oleh lalu lintas.
D 0,80 < V/C < 0,90 Arus mulai tidak stabil, kecepatan rendah dan berbeda –
beda, volume mendekati kapasitas.
E 0,90 < V/C < 1,0 Arus tidak stabil, kecepatan rendah dan berbeda – beda,
volume mendekati kapasitas.
F > 1,0
Arus yang terhambat, kecepatan rendah, volume diatas
kapasitas, sering terjadi kemacetan pada waktu yang
cukup lama.
DS = V/C
22
2.3 Kinerja Simpang Bersinyal
Kinerja simpang bersinyal dapat dinyatakan dalam dalam kapasitas, arus
jenuh, derajat kejenuhan dan tundaan.
2.3.1 Pengertian Simpang
Menurut Hobbs (1995), persimpangan jalan merupakan transportasi yang
terbentuk dari beberapa pendekat dimana arus kendaraan dari beberapa pendekat
tersebut bertemu dan memencar meninggalkan persimpangan.
Menurut Abubakar, dkk., (1995), persimpangan adalah simpul pada
jaringan jalan yaitu jalan-jalan bertemu dan lintasan kendaraan berpotongan. Lalu
lintas pada masing-masing kaki persimpangan menggunakan ruang jalan pada
persimpangan secara bersama-sama dengan lalu lintas lainnya.
Menurut Morlok (1988), jenis simpang berdasarkan pada cara
pengaturannya dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu:
1. Simpang bersinyal, yaitu simpang yang terdapat sinyal lalu lintas
yang mewajibkan pemakai jalan untuk mematuhi sinyal tersebut, dengan
sinyal warna hijau hal tersebut berarti diperbolehkan untuk jalan, dan
sinyal merah yang berarti harus berhenti. Biasanya terdapat timer
sehingga bisa mengetahui berapa lama sinyal hijau sebelum berganti
menjadi sinyal merah.
2. Simpang tak bersinyal, yaitu simpang yang tidak memiliki sinyal
lalu lintas, pemakai jalan harus bisa memperkirakan apakah sudah cukup
aman untuk melewati simpang tersebut atau harus berhenti dahulu.
2.3.2 Kapasitas Simpang Bersinyal
Pada MKJI (1997) dijelaskan bahwa kapasitas adalah arus lalu lintas yang
dapat dipertahankan tiap satuan waktu dan dinyatakan dalam smp/jam. Untuk
menghitung kapasitas simpang dapat digunakan rumus sebagai berikut:
C=S X g/c
23
Keterangan:
C = kapasitas (smp/jam)
S = arus jenuh (smp/jam hijau)
g = waktu hijau (det)
c = waktu siklus (det)
2.3.3 Arus Jenuh pada Simpang Bersinyal
Menurut (MKJI 1997), arus jenuh adalah besarnya antrian keberangkatan
kendaraan dalam suatu kondisi yang telah ditentukan. Berikut adalah rumus yang
digunakan untuk menghitung nilai arus jenuh:
Keterangan:
S0 = arus jenuh (smp/jam hijau)
FCS = faktor koreksi ukuran kota
FSF = faktor penyesuaian hambatan samping
FP = faktor penyesuaian parkir tepi jalan
FG = faktor penyesuaian akibat gradien jalan
FRT = faktor koreksi belok kanan
FLT = faktor koreksi belok
2.3.4 Tundaan
Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997) tundaan adalah waktu
tempuh tambahan yang diperlukan transportasi untuk dapat melewati suatu
simpang. Tundaan terjadi karena terdapat kondisi lalu lintas yang sepi pada
simpang bersinyal, untuk mendapatkan nilai tundaan rata-rata dapat digunakan
rumus berikut:
Keterangan:
Dj = tundaan rata – rata untuk pendekat j (det/smp)
DTj = tundaan lalu – lintas rata – rata untuk pendekat j(det/smp)
DGj = tundaan geometri rata – rata untuk pendekat j (det/smp)
S = S0 x FCS x FSF x FP x FG x FRT x FLT
Dj= DTj + DGj
24
2.4. Simpang Tak Bersinyal
2.4.1 Kapasitas
Kapasitas adalah kondisi ketika arus lalu lintas dapat dipertahankan, dinyatakan
dalam nilai simpang persatuan waktu (smp/jam), (MKJI) 1997. Untuk menghitung
kapasitas simpang tak bersinyal dapat digunakan rumus 2-9 sebagai berikut.
C = C0 x FW x FM x FCS x FRSU x FLT x FRT x FMI (2-9)
dengan:
C = kapasitas (smp/jam)
C0 = kapasitas dasar (smp/ jam)
FW = faktor penyesuaian lebar pendekat
FM = faktor penyesuaian median jalan
FCS = faktor penyesuaian ukuran kota
FRSU = faktor penyesuaian kendaraan tak bermotor
FLT = faktor penyesuaian belok kiri
FRT = faktor penyesuaian belok kanan
FMI = faktor penyesuaian arus jalan minor
2.4.2 Derajat Kejenuhan
Derajat kejenuhan adalah rasio arus terhadap kapasitas. Derajat kejenuhan dapat
digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan tingkat kinerja jalan (MKJI) 1997.
Untuk menghitung derajat kejenuhan simpang tak bersinyal digunakan rumus 2-10
sebagai berikut.
Ds = Q / C (2-10)
dengan:
Ds = derajat kejenuhan
Q = volume lalu lintas (smp/ jam)
C = kapasitas (smp/jam)
25
2.4.3 Tundaan
Tundaan adalah waktu tempuh ekstra yang diperlukan untuk dapat melewati
suatu persimpangan jalan. Tundaan terdiri dari dua aspek. Aspek tundaan lalu
lintas dan tundaan geometri.
Untuk menghitung tundaan rata – rata yang terjadi pada simpang tak
bersinyal digunakan rumus 2-11 menurut (MKJI1997), sebagai berikut:
DG = (1-Ds) x (PT x 6 + (1 – PT) x 3) + Ds x 4 (2-11)
dengan:
DG = tundaan (detik/ smp)
Ds = derajat kejenuhan
PT = rasio berbelok terhadap arus total
6 = tundaan geometrik normal (kendaraan belok yang tak terganggu)
(detik/smp)
4 = tundaan geometrik normal untuk kendaraan yang terganggu
(detik/ smp)