BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2 - UMM
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2 - UMM
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum
Embung adalah cekungan yang digunakan untuk mengatur, menampung
suplai aliran air hujan serta untuk tempat penyimpanan air yang kemudian akan
digunakan untuk irigasi ataupun suplai kebutuhan air baku untuk masyarakat.
2.2 Analisa Hidrologi
2.2.1 Analisa Curah Hujan Area
2.2.1.1 Ketersediaan Data
Dibutuhkan data curah hujan yang diperoleh dari stasiun hujan terdekat di
sekitar lokasi rencana embung Tapa Lubuk. Stasiun hujan tersebut adalah stasiun
hujan Lolak, Moayat, dan Pusian.
a. Rata-rata Hitung (Arithmatic Average or Mean)
Rata-rata hitung dari hasil pengukuran variat dengan nilai X1, X2, X3,…., Xn
ialah hasil penjumlahan nilai-nilai tersebut dibagi dengan jumlah pengukuran
sebesar n. Bila rata-rata hitung dinyatakan sebagai �̅�, maka nilai yang diberikan
adalah:
Atau dapat ditulis sebagai :
Keterangan :
�̅� : rata-rata hitung curah hujan daerah (mm)
n : jumlah data / jumlah titik pengamatan
𝑋𝑖 : curah hujan ditiap titik pengamatan (mm)
5
2.2.1.2 Pengujian Data
Sebelum data hujan digunakan dalam analisis hidrologi, terlebih dahulu
dilakukan analisa statistik terhadap data hujan. Analisa statistik yang digunakan
untuk memastikan bahwa data hujan tersebut layak digunakan untuk analisa
selanjutnya.
a. Uji Konsistensi Metode Rescaled Adjusted Partial Sums (RAPS)
Uji konsistensi dimaksudkan untuk mengetahui kebenaran data
lapangan yang dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu spesifikasi alat penakar
berubah, tempat alat pengukur dipindah, perubahan lingkungan disekitar alat
penakar.
Jika hasil pengujian trnyata data tersebut konsisten berarti tidak terjadi
perubahan lingkungan dan cara penakaran, dan sebaliknya apabila data tersebut
tidak konsisten berarti terjadi perubahan lingkungan dan cara penakaran.
Metode RAPS ini ditunjukkan dengan nilai komulatif
penyimpangannya terhadap nilai rata-rata dengan persamaan berikut :
S
SS k
k
*
**
S = √∑(Yi− Y̅)2
N
Ni=1
dengan k = 1,2,3,...n.
dimana :
*
kS = nilai kumulatif penyimpangannya terhadap nilai rata-rata
Yi = nilai data Y ke-i
Y̅ = nilai Y rata-rata
N = jumlah data Y
Sk∗∗ = Rescaled Adjusted Partial Sums (RAPS)
S = deviasi standart seri data Y
Setelah nilai Sk∗∗ didapat untuk setiap k, selanjutnya tentukan nilai Q dan R
dengan rumus :
6
**
0max k
nkSQ
atau nilai range
**k
nk
**k
nkSminSmaxR
00
b. Uji Stasioner
Deret berkala umumnya dibedakan menjadi dua tipe yaitu stasioner dan
tidak stasioner.
Deret berkala disebut stasioner apabila nilai dari parameter statistiknya
(rata-rata dan varian) relatif tidak berubah dari bagian periode/runtun waktu
yang ada. Jika ditemukan salah satu parameter statistiknya berubah dari bagian
periode/runtun waktu yang ada maka deret berkala tersebut disebut tidak
stasioner. Deret berkala tidak stasioner menunjukkan bahwa datanya tidak
homogen/tidak sama jenis.
Apabila data deret berkala tidak menunjukkan adanya trend, maka
dilanjutkan uji stasioner dengan tujuan menguji kestabilan nilai varian dan rata-
rata dari deret berkala.
Pengujian nilai varian dari deret berkala dapat dilakukan dengan uji-F
(Fisher test) dengan bentuk persamaan :
1
1
1222
2211
NS.N
NS.NF
dengan:
F = nilai hitung uji F
N1 = jumlah data kelompok 1
N2 = jumlah data kelompok 2
S1 = standar deviasi data kelompok 1
S2 = standar deviasi data kelompok 2
dengan derajat bebas (dk):
dk1 = N1 – 1
dk2 = N2 – 1
Hipotesa nol untuk parameter statistik data adalah stasioner, sebaliknya
hipotesa tidak sama dengan satu untuk parameter statistik data tidak stasioner.
7
Untuk hasil pengujian hipotesa nol ditolak, berarti nilai varian tidak stabil atau
tidak homogen. Deret berkala yang nilai variannya tidak homogen berarti deret
berkala tidak stasioner dan tidak perlu melakukan pengujian lanjutan. Nilai F
kritis untuk level of significant 5% dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Sedangkan stabilitas nila rata-rata data deret berkala diuji dengan uji-t
(student test) dengan persamaan sebagai berikut :
2
1
21
21
11
NN
XXt
2
1
21
222
211
2
NN
SNSN
dengan:
t = nilai hitung uji t
N1 = jumlah data kelompok 1
N2 = jumlah data kelompok 2
1X = nilai rata-rata data kelompok 1
2X = nilai rata-rata data kelompok 2
S1 = standar deviasi data kelompok 1
S2 = standar deviasi data kelompok 2
Dengan derajat bebas dk = N1 + N2 – 2
8
Tabel 2.1. Nilai F kritis Untuk Level of Significant 5%
dk2 dk1
9 10 12 15 20
10 3,00 2,98 2,91 2,85 2,77
11 2,87 2,85 2,79 2,72 2,65
12 2,77 2,75 2,69 2,62 2,54
13 2,69 2,67 2,60 2,53 2,46
14 2,62 2,6 2,53 2,46 2,39
15 2,55 2,53 2,46 2,39 2,32
Sumber : Soewarno,1995,Hidrologi:Aplikasi Metode Statistik untuk
Analisa Data,Jilid 2
2.2.1.3 Analisa Frekuensi
Hujan rancangan adalah berapa besarnya kedalaman hujan di suatu titik
yang akan digunakan sebagai dasar perancangan bangunan keairan, atau hyetograf
berupa distribusi hujan sebagai fungsi waktu selama hujan deras (Triatmodjo, 2009
dalam Hidrologi Terapan).
Metode yang biasa digunakan untuk perhitungan curah hujan rancangan
adalah Metode E.J. Gumbel, Log Pearson Tipe III, Normal dan Log Normal. Jenis
distribusi frekuensi tersebut masing-masing mempunyai sifat yang khas. Untuk
menentukan metode mana yang sesuai, perlu dilakukan uji pemilihan distribusi
frekuensi terlebih dahulu.
a. Parameter Statistik (Pengukuran Dispersi)
Besarnya dispersi dapat dilakukan pengukuran dispersi yakni melalui
perhitungan parameter statistik untuk (𝑋𝑖 − �̅�), (𝑋𝑖 − �̅�)2, (𝑋𝑖 − �̅�)3, (𝑋𝑖 − �̅�)4
terlebih dahulu.
Dimana :
𝑋𝑖 : Besarnya curah hujan daerah (mm)
�̅� : Rata-rata curah hujan maksimum daerah (mm)
Untuk menentukan distribusi frekuensi mana yang akan digunakan, maka
terlebih dahulu harus dihitung besarnya parameter statistik yaitu:
9
Sd atau deviasi standart (Standart Deviation)
dimana :
Sd : Deviasi standar
X : Nilai rata-rata
X i : Nilai varian ke-i
n : Jumlah data
Cs atau koefisien kepencengan (Coefficien of Skewness)
dimana :
Cs : koefisien kepencengan (skewness)
n : jumlah data
X : nilai varian ke 1
X : nilai rata-rata
S : standar deviasi
Ck atau koefisien kepuncakan (Coefficien of Kurtosis)
dimana :
Ck : koefisien kepuncakan (kurtosis)
n : jumlah data
X : nilai varian ke 1
X : nilai rata-rata
S : standar deviasi
10
Cv atau koefisien vareasi (Coefficien of Vareation)
dimana :
Cv : koefisien variasi
n : jumlah data
X : nilai varian ke 1
X : nilai rata-rata
S : standar deviasi
Tabel 2.2. Parameter Statistik Untuk Menentukan Jenis Distribusi
b. Analisa Distribusi Frekuensi
Analisa Distribusi Frekuensi yang digunakan memakai model matematika
dari persamaan empiris distribusi peluang kontinyu, metode yang biasa digunakan
adalah Metode E.J. Gumbel, Log Pearson Type III, Normal dan Log Normal.
Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:
Metode Gumbel Tipe I
Metode distribusi Gumbel Tipe I umumnya digunakan untuk analisis
data maksimum, misal untuk analisis frekuensi banjir (Soewarno, jilid I, 1995).
Persamaan Gumbel :
11
dimana :
Xt : Nilai variat yang diharapkan terjadi
X : Harga rerata curah hujan
Sd : Standard deviasi
YT : Nilai reduksi variat dari variable yang diharapkan terjadi pada
periode ulang tertentu
= - Ln - Ln (T - 1)/T
Yn : Nilai rata-rata dari reduksi variat (mean of reduced variate),
nilainya tergantung dari jumlah data (n)
Sn : Deviasi standar dari reduksi variat (standart deviation of reduced
variate), nilainya tergantung dari jumlah data (n)
Metode Log Pearson Tipe III
Metode distribusi Log Pearson Tipe III banyak dihgunakan dalam
analisis hidrologi, terutama dalam analisis hidrologi, terutama dalam analisis
data maksimum (banjir) dan minimum (debit minimum) dengan nilai ekstrem.
Bentuk distribusi Log Pearson Tipe III merupakan hasil transformasi dari
distribusi Pearson Tipe III dengan menggantikan variat menjadi nilai
logaritmik (Soewarno, jilid I, 1995).
Persamaan yang digunakan sebagai berikut:
12
di mana:
X : curah hujan (mm)
X Log : rerata log X
SLog X : diviasi standart dari log X
Cs : koefisien kemencengan dari log X
K : faktor frekuensi (lihat Tabel)
13
T
(th
)1,
0101
1,05
261,
1111
1,25
25
1020
2550
100
200
1000
Cs:
P(%
)99
9590
8050
2010
54
21
0,5
0,1
0-2
,326
-1,6
45-1
,202
-0,8
420,
000
0,84
21,
282
1,59
51,
751
2,05
42,
326
2,57
63,
090
-0,1
-2,4
00-1
,673
-1,2
92-0
,336
0,01
70,
846
1,27
01,
567
1,71
62,
000
2,25
22,
482
2,95
0
-0,2
-2,4
72-1
,700
-1,3
01-0
,830
0,03
30,
850
1,25
81,
539
1,68
01,
945
2,17
82,
308
2,81
0
-0,3
-2,5
44-1
,726
-1,3
09-0
,824
0,05
00,
853
1,24
51,
510
1,64
31,
890
2,10
42,
291
2,67
0
-0,4
-2,6
15-1
,750
-1,3
17-0
,816
0,06
60,
855
1,23
11,
481
1,60
61,
834
2,02
92,
201
2,53
0
-0,5
-2,6
06-1
,774
-1,3
23-0
,808
0,08
30,
856
1,21
61,
450
1,56
71,
777
1,95
52,
108
2,40
0
-0,6
-2,7
55-1
,797
-1,3
20-0
,880
0,09
90,
857
1,20
01,
419
1,52
81,
720
1,88
02,
016
2,27
0
-0,7
-2,8
24-1
,019
-1,3
33-0
,790
0,11
60,
857
1,18
31,
386
1,48
81,
663
1,80
61,
926
2,14
0
-0,8
-2,0
21-1
,039
-1,3
36-0
,780
0,13
20,
856
1,16
61,
354
1,44
81,
606
1,73
31,
837
2,02
0
-0,9
-2,0
57-1
,050
-1,3
39-0
,769
0,14
00,
854
1,14
71,
320
1,40
71,
549
1,66
01,
749
1,90
0
-1,0
-3,0
22-1
,077
-1,3
40-0
,758
0,16
40,
852
1,17
01,
301
1,36
61,
492
1,50
81,
664
1,79
0
T (
th)
1,0
10
11
,05
26
1,1
11
11
,25
25
10
20
25
50
10
02
00
10
00
Cs:
P(%
)9
99
59
08
05
02
01
05
42
10
,50
,1
0,0
-2,3
26
-1,6
45
-1,2
82
-0,8
42
0,0
00
0,8
42
1,2
82
1,5
95
1,7
51
2,0
45
2,3
76
2,5
76
3,0
90
0,1
-2,2
52
-1,6
16
-1,2
70
-0,0
85
0,0
17
0,8
36
1,2
97
1,6
22
1,7
85
2,1
07
2,4
00
2,6
70
3,2
30
0,2
-2,1
70
-1,5
38
-1,2
58
-0,8
50
0,0
33
0,8
30
1,3
01
1,6
46
1,8
18
2,1
59
2,4
72
2,7
63
3,3
80
0,3
-2,1
30
-1,5
55
-1,2
45
-0,8
53
0,0
50
0,8
24
1,3
09
1,6
69
1,8
49
2,2
11
2,5
44
2,8
56
3,5
20
0,4
-2,0
29
-1,5
24
-1,2
31
-0,8
55
0,0
66
0,8
16
1,3
17
1,6
92
1,8
80
2,2
61
2,6
15
2,9
47
3,6
70
0,5
-1,9
55
-1,4
91
-1,2
16
-0,8
56
0,0
83
0,8
08
1,3
23
1,7
14
1,9
10
2,3
11
2,6
06
3,0
41
3,8
10
0,6
-1,8
80
-1,4
58
-1,2
00
-0,8
57
0,0
79
0,8
00
1,3
28
1,7
35
1,9
39
2,3
59
2,7
55
3,1
32
3,9
60
0,7
-1,8
06
-1,4
23
-1,1
83
-0,8
57
0,1
16
0,7
90
1,3
33
1,7
56
1,9
67
2,4
07
2,8
24
3,2
23
4,1
00
0,8
-1,7
33
-1,3
88
-1,1
66
-0,8
56
0,1
32
0,7
80
1,3
36
1,7
74
1,9
93
2,4
53
2,8
91
3,3
12
4,2
40
0,9
-1,6
60
-1,3
53
-1,1
47
-0,8
54
0,1
48
0,7
69
1,3
39
1,7
92
2,0
18
2,4
98
2,9
57
3,4
01
4,3
90
1,0
-1,5
88
-1,3
17
-1,1
28
-0,8
52
0,1
64
0,7
58
1,3
40
1,8
09
2,0
43
2,5
42
3,0
22
3,4
89
4,5
30
2,0
-0,9
90
-0,9
49
-0,8
95
-0,7
77
-0,3
07
0,6
09
1,3
20
1,8
24
2,2
19
2,9
12
3,6
05
4,9
70
5,1
90
2,5
-0,7
99
-0,7
90
-0,7
71
-0,7
11
-0,3
60
0,5
18
1,2
50
1,9
19
2,2
62
3,0
48
3,8
45
4,6
52
6,6
00
3,0
-0,6
67
-0,6
65
-0,6
6-0
,63
6-0
,39
60
,42
01
,18
01
,92
52
,27
83
,15
24
,05
14
,29
87
,25
0
Ta
bel I
II–
20
. F
ak
tor
Fre
ku
en
si
un
tuk
Dis
trib
usi
Lo
g P
ea
rso
n T
yp
e I
II K
oe
fisie
n A
sim
etr
i, C
s N
eg
ati
p
Ta
bel
III–
21
. F
ak
tor
Fre
ku
en
si
un
tuk
Dis
trib
usi
Lo
g P
ea
rso
n T
yp
e I
II K
oe
fisie
n A
sim
etr
i, C
s P
osit
if
Tab
el 2.3
Fak
tor
Fre
kuen
si u
ntu
k D
istr
ibu
si L
og P
ears
on T
ipe
III
Ko
efis
ien A
sim
etri
, C
s N
egat
if
Tab
el 2.4
Fak
tor
Fre
kuen
si u
ntu
k D
istr
ibu
si L
og P
ears
on T
ipe
III
Ko
efis
ien A
sim
etri
, C
s P
osi
tif
14
Metode Normal
Distribusi normal banyak digunakan dalam analisis hidrologi, misal
dalam analisis frekuensi curah hujan, analisis statistik dari distribusi rata-rata
curah hujan tahunan, debit rata-rata tahunan dan sebagainya. Distribusi normal
atau kurva normal disebut pula distribusi Gauss.
Persamaan yang digunakan sebagai berikut:
dimana :
Xt : Variate yang diekstrapolasikan yaitu besarnya curah hujan
rancangan untuk periode ulang tertentu.
X : Harga rerata curah hujan
Sd : Standard deviasi
K : Faktor frekuensi yang merupakan fungsi dari periode ulang (return
period) dan tipe distribusi frekuensi (Variabel Reduksi Gauss)
Tabel 2.5. Nilai Variabel Reduksi Gauss
15
Metode Log Normal
Persamaan yang digunakan sebagai berikut:
1)(n
)LogX(LogX
S
LogXn
1LogX
K.SLogXXLog
n
1i
2i
LogX
n
1i
i
LogX
di mana:
X : curah hujan (mm)
X Log : rerata log X
K : Faktor frekuensi yang merupakan fungsi dari periode ulang (return
period) dan tipe distribusi frekuensi (Variabel Reduksi Gauss)
2.2.1.4 Uji Kecocokan Sebaran
Untuk menentukan kecocokan (the goodness of fit test) distribusi frekuensi
dari sampel data terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan dapat
menggambarkan/mewakili distribusi frekuensi tersebut diperlukan pengujian
parameter. Pengujian parameter yang akan disajikan dalam sub bab ini adalah :
a. Chi-Kuadrat (chi square)
Uji Chi-Kuadrat dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan
distribusi peluang yang telah dipilih dapat mewakili dari distribusi statistik sampel
data yang dianalisis. Pengambilan keputusan uji ini menggunakan parameter 𝑥2,
oleh karena itu disebut dengan uji Chi-Kuadrat.
Parameter 𝑥2 dapat dihitung dengan rumus :
Keterangan :
𝑥ℎ2 : parameter chi-kuadrat terhitung
G : jumlah sub kelompok
Oi : jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok ke i
Ei : jumlah nilai teoritis pada sub kelompok ke i
16
b. Smirnov – Kolmogorov
Uji kecocokan Smirnov – Kolmogorov, sering juga disebut uji kecocokan
non parametrik (non parametric test), karena pengujiannya tidak menggunakan
fungsi distribusi tertentu (Soewarno, 2014).
Rumus yang digunakan adalah :
D = maksimum XPXP ,,
Dengan:
2.2.2 Intensitas Curah Hujan
Apabila akan membuat perencanaan bangunan air, pertama-tama yang harus
ditentukan adalah berapa besar debit yang harus diperhitungkan, atau biasa disebut
debit (banjir) perencanaan (CD. Soemarto, 1987).
Perhitungan Intensitas Curah Hujan ini menggunakan Metode Dr. Moonobe
dengan persamaan :
dimana :
I : intensitas hujan (mm/jam)
R24 : curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)
t : waktu / durasi curah hujan (jam)
17
2.3 Debit Banjir Rencana
2.3.1 Hidrograf Banjir Satuan Sintetik Nakayasu
Nakayasu dari Jepang , telah menyelidiki hidrograf satuan pada beberapa
sungai di Jepang.
Rumus tersebut adalah sebagai berikut :
Tp = tg + 0,8 Tr
tg = 0,4 + 0,058 L untuk L > 15 km
tg = 0,21 L0,7 untuk L < 15 km
T0,3 = α tg
tr = 0,5 tg sampai tg
Dimana :
Qp : debit puncak banjir (m³/detik)
A : luas DAS (km2)
Re : curah hujan efektif (1 mm)
Tp : tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam)
T 3,0 : waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit puncak sampai
menjadi 30% dari debit puncak (jam).
tg : waktu konsentrasi (jam)
Tr : satuan waktu dari curah hujan (jam)
α : koefisien karakteristik DAS biasanya diambil 2
L : panjang sungai utama (km)
a. Pada kurva naik (0 < t < Tp)
Q= xQpTp
t4,2
b. Pada kurva turun (Tp < t < Tp + T 0.3)
xQpT
TptQ
3,0
3,0
18
c. Pada kurva turun (Tp+T0.3 < t < Tp +T 0.3+1.5 T 0.3)
xQpT
TTptQ
3,0
3,0
5,1
5,03,0
d. Pada kurva turun (t > Tp +T0.3+1.5T 0.3)
xQpT
TTptQ
3,0
3,0
2
5,13,0
Sumber : (Bambang Triatmodjo, 2014)
2.4 Debit Andalan
Debit andalan adalah besarnya debit yang tersedia untuk memenuhi
kebutuhan air dengan resiko kegagalan yang telah diperhitungkan. Dalam
perencanaan proyek - proyek penyediaan air terlebihdahulu harus dicari debit
andalan (dependable discharge), yang tujuannya adalah untuk menentukan debit
perencanaan yang diharapkan selalu tersedia di sungai (Soemarto, 1987).
2.4.1 Metode NRECA
Untuk memperkirakan ketersediaan debit, dalam studi ini digunakan model
matetamtik hubungan hujan-limpasan dengan metode NRECA.
Metode ini dikembangkan untuk menganalisis debit air berdasarkan curah
hujan yang bertujuan untuk pembangkit listrik. Metode ini diperkenalkan (NRECA)
sehingga metode ini disebut metode National Rural Electric Cooperative
Association (NRECA).
Gambar 2.1 Diagram Alir Analisis Metode NRECA
Langkah Perhitungan Metode NRECA
(1). Nama bulan Januari sampai Desember
19
(2). Periode dan jumlah hari
(3). Nilai hujan tengah bulanan(Rb)
(4). Nilai penguapan peluh potensial (PET)
(5). Nilai tampungan kelengasan awal (Wo). Nilai ini harus dicoba-coba di bulan
Januari.
(6). Ratio tampungan tanah (soil storage ratio-Wi) dihitung dengan rumus :
Nomenal
WW O
I
Nominal = 100 + 0.2 Ra
Ra = hujan tahunan (mm)
(7). Ratio Rb / PET = kolom (3) : kolom (4)
(8). Ratio AET/PET
AET = Penguapan peluh actual yang dapat diperoleh dengan Gambar 6.2
nilainya tergantung dari ratio Rb/PET. (kolom 7) dan Wi (kolom 5)
Gambar 2.2 Rasio AET/PET
(9). AET = (AET/PET) x PET x Koefisien reduksi
= kolom (8) x kolom(4) x koefisien reduksi
(10). Neraca air = Rb – AET = kolom(3) – kolom(9)
(11). Ratio kelebihan kelengasan (excess moisture) yang dapat diperoleh sebagai
berikut :
(i). Bila neraca air (kolom 10) positif, maka ratio tersebut dapat diperoleh
dari Gambar 6.3 dengan memasukkan nilai tampungan kelengasan tanah
(Wi) dikolom 5.
(ii). Bila neraca air negatif, ratio = 0
20
Gambar 2.3 Rasio Kelebihan Kelengasan Tanah
(12). Kelebihan kelengasan
= ratio kelengasan x neraca air
= kolom (11) x kolom (10)
(13). Perubahan tampungan
= Neraca – kelebihan kelengasan
= kolom(10) – kolom(12)
(14). Tampungan air tanah = P1 x kelebihan kelengasan
= P1 x kolom (12)
P1 = Parameter yang menggambarkan karakteristik tanah permukaan
(kedalaman 0 – 2 m), nilainya 0,1 – 0,5 tergantung pada sifat lulus air
lahan
P1 = 0,1 bila bersifat kedap air
P1 = 0,5 bila bersifat lulus air
(15). Tampungan air tanah awal yang harus dicoba - coba
(16). Tampungan air tanah akhir
= tampungan air tanah + tampungan air tanah awal
= kolom(14) + kolom(15)
(17). Aliran air tanah = P2 x tampungan air tanah akhir
= P2 x kolom (16)
P2 = parameter seperti P1 tetapi untuk lapisan tanah dalam (kedalaman 2–10
m )
P2 = 0,9 bila bersifat kedap air
P2 = 0,5 bila bersifat lulus air
21
(18). Larian langsung
= kelebihan kelengasan – tampungan air tanah
= kolom(12) – kolom(14)
(19). Aliran Total = larian langsung + aliran air tanah
= kolom(17) + kolom(18) , dalam mm/0,5 bulan
(20). Dalam m3/0,5 bulan = kolom (19) dalam mm x 10 x luas daerah tadah hujan
(Ha)
Untuk perhitungan bulan berikutnya diperlukan nilai tampungan kelengasan
(kolom 5) untuk bulan berikutnya dan tampungan air tanah (kolom 14) bulan
berikutnya yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut :
Tampungan kelengasan = tampungan kelengasan bulan berikutnya +
perubahan tampungan = kolom (5) + kolom (13), semuanya dari bulan
sebelumnya.
Tampungan air tanah = tampunan air tanah bulan sebelumnya – aliran air tanah
= kolom (16) – kolom (17), semuanya dari bulan sebelumnya.
2.5 Analisa Kebutuhan Air
2.5.1 Kebutuhan Air Irigasi
Kebutuhan air irigasi sebagian besar dicukupi dari air permukaan.
Kebutuhan air irigasi dipengaruhi berbagai faktor seperti klimatologi, kondisi tanah,
koefisien tanaman, pola tanam, pasokan air yang diberikan, luas daerah irigasi,
efisiensi irigasi, penggunaan kembali air drainase untuk irigasi, dan lain-lain
(Bambang Triatmodjo, 2013).
Berbagai kondisi lapangan yang berhubungan dengan kebutuhan air untuk
pertanian bervariasi terhadap waktu dan ruang seperti dinyatakan dalam faktor-
faktor berikut (Bambang Triatmodjo, 2013) :
1. Jenis dan verietas tanaman yang ditanam petani.
2. Veriasi koefisien tanaman, tergantung pada jenis dan tahap pertumbuhan dari
tanaman.
3. Kapan dimulainya persiapan pengolahan lahan (golongan).
4. Jadwal tanam yang dipakai oleh petani, termasuk di dalamnya pasok air
sehubungan dengan persiapan lahan, pembibitan dan pemupukan.
22
5. Status sistem irigasi dan efisiensi irigasinya.
6. Jenis tanah dan faktor agro-klimatologi.
Kebutuhan air irigasi dihitung dengan persamaan :
𝐾𝐴𝐼 = (𝐸𝑡𝑐+𝐼𝑅+𝑊𝐿𝑅+𝑃−𝑅𝑒)
𝐼𝐸 𝑋 𝐴
dengan :
KAI : kebutuhan air irigasi (l/dt)
Etc : kebutuhan air konsumtif (mm/hr)
IR : kebutuhan air irigasi ditingkat persawahan (mm/hr)
WLR : kebutuhan air untuk mengganti lapisan air (mm/hr)
P : perkolasi (mm/hr)
Re : hujan efektif (mm/hr)
IE : efisiensi irigasi (%)
A : Luas areal irigasi
(Bambang Triatmodjo, 2013)
Kebutuhan air konsumtif (Etc)
𝐸𝑡𝑐 = 𝐸𝑡𝑜 𝑋 𝑘𝑐
dengan :
Etc : kebutuhan air konsumtif (mm/hr)
Eto : evapotranspirasi (mm/hr)
kc : koefisien tanaman
(Bambang Triatmodjo, 2013)
Kebutuhan air untuk penyiapan lahan (IR)
𝐼𝑅 = 𝑀 (𝑒𝑘
𝑒𝑘−1)
dengan :
IR : kebutuhan air irigasi ditingkat persawahan (mm/hr)
M : kebutuhan air untuk mengganti kehilangan air akibat evaporasi dan
perkolasi di sawah yang telah dijenuhkan.
= Eo + P (mm/hr)
P : perkolasi (mm/hr)
23
Eo : evaporasi air terbuka (= 1.1 x Eto) (mm/hr)
k = M (T/S)
e : koefisien
(Bambang Triatmodjo, 2013)
Kebutuhan air untuk mengganti lapisan air (WLR)
Kebutuhan air untuk mengganti lapisan ditetapkan bedasarkan Standar
Perencanaan Irigasi 1986, KP-01. Besar kebutuhan air untuk penggantian
lapisan air adalah 50 mm/bulan (atau 3,3 mm/hari selama 15 hari) selama
sebulan dan dua bulan setelah transplantasi (Bambang Triatmodjo, 2013).
Perkolasi (P)
Laju perkolasi sangat tergantung pada sifat tanah, dan sifat tanah
umumnya tergantung pada kegiatan pemanfaatan lahan atau pengolahan tanah
berkisar antara 1 – 3 mm/hr (Bambang Triatmodjo, 2013).
Curah hujan efektif (Re)
𝑅𝑒 = 0,7 𝑋 1
15 (𝑅80)
dengan :
Re : curah hujan efektif (mm/hr)
R80 : curah hujan kemungkinan tidak terpenuhi sebesar 20% (mm)
R80 didapat dari urutan data dengan rumus Harza :
𝑚 = 𝑛
5+ 1
dengan :
m : rangking dari urutan terkecil
n : jumlah tahun pengamatan
(Bambang Triatmodjo, 2013)
Efisiensi Irigasi (EI)
Efisiensi irigasi didasarkan asumsi bahwa sebagian dari jumlah air
yang diambil akan hilang, baik di saluran maupun di petak sawah. Kehilangan
ini disebabkan oleh kegiatan eksploitasi, evaporasi dan rembesan (Bambang
Triatmodjo, 2013).
24
Luas areal irigasi (A)
Luas areal irigasi adalah luas sawah yang akan diairi. Data ini dapat
diperoleh dari Dinas Pengairan berupa peta dan luas daerah irigasi (Bambang
Triatmodjo, 2013).
2.5.2 Kebutuhan Air Baku
Untuk merencanakan kebutuhan air baku terlebih dahulu harus
ditinjau jumlah penduduk yang ada pada saat ini serta proyeksi jumlah
penduduk pada masa mendatang. Hasil dari analisa perkembangan penduduk
akan digunakan sebagai dasar dalam perhitungan kebutuhan air baku.
Beberapa faktor yang mempengaruhi proyeksi penduduk adalah :
- Jumlah penduduk dalam satu wilayah
- Laju pertumbuhan penduduk
- Kurun waktu proyeksi
Proyeksi jumlah Penduduk untuk masa yang akan datang dihitung
berdasarkan persamaan eksponensial dirumuskan sebagai berikut :
rnPo.ePn
dimana :
Pn : jumlah penduduk pada tahun n (jiwa)
Po : jumlah penduduk pada tahun awal dasar (jiwa)
r : angka pertumbuhan penduduk (%)
n : periode waktu (tahun)
e : bilangan logaritma natural yang besarnya sama dengan 2,71828
25
Tabel 2.6. Kriteria Kebutuhan Air Berdasarkan Pedoman Cipta Karya
2.6 Neraca Air atau Simulasi Tampungan Embung
Neraca air digunakan untuk mengecek apakah air yang tersedia cukup untuk
memenuhi kebutuhan air irigasi dan air minum. Hasil dari perhitungan neraca air
yakni:
Pola tanam akhir yang akan dipakai untuk jaringan irigasi yang sedang
direncanakan.
Pola distribusi air minum.
Keandalan tampungan embung.
2.7 Penelusuran Banjir
Penelusuran banjir bertujuan untuk mengetahui karakteristik hidrograf
outflow yang sangat diperlukan dalam pengendalian banjir. Perubahan antara inflow
(I) dan outflow (O) dipengaruhi oleh faktor tampungan atau penampang sungai yang
tidak seragam atau akibat meander sungai (CD. Soemarto, 1986).
I > O tampungan embung naik, elevasi muka air embung naik.
I < O tampungan embung turun, elevasi muka air embung turun.
Pada penelusuran banjir berlaku persamaan kontinuitas
I – O = ∆ 𝑆
Dimana :
∆ 𝑆 = Perubahan tampungan air di embung
>1000 500-1000 100-500 20-100 <20
A. RUMAH TANGGA
1 Konsumsi Unit Sambungan Rumah (SR) lt/org/hr 170-190 150-170 130-150 100-130 90-100
2 Konsumsi Unit Hidran Umum (HU) lt/org/hr 30 30 30 30 30
3 Prosentase Konsumsi Unit Non Rumah Tangga % 35-40 30-35 25-30 20-25 10-20
Thd. Rumah Tangga
4 Prosentase Kehilangan Air Terhadap Hari Maksimum % 15-20 15-20 15-20 15-20 15-20
5 Faktor Hari Maksimum *) 1,1 1,1 1,1 1,1 1,1
6 Faktor Jam Puncak *) 1,5-1,75 1,5-1,76 1,5-1,77 1,5-1,78 1,5-1,79 1,5-1,80
7 Jumlah Jiwa per SR orang 5 5 5 5 5
8 Jumlah Jiwa per HU orang 100 100 100 100 100
9 Sisa Tekanan Minimal di Titik Kritis Jaringan Distribusi mka 20 20 15 10 10
10 Jam Operasi jam 24 24 24 24 24
11 Volume Reservoir % 12-15 12-15 12-15 12-15 12-15
(% Dari Kebutuhan Jam Puncak)
12 SR : HU % 80:20 80:20 80:20 80:20 80:20
B. NON RUMAH TANGGA
1 Konsumsi Kawasan Industri lt/det/ha 0,2 - 0,8
2 Konsumsi Kawasan Pariwisata lt/det/ha 0,1 - 0,3
NoKatagori Kota Berdasarkan Jumlah Penduduk (Jiwa X 1000)
SatuanUraian
26
2.8 Desain Embung
2.8.1 Pemilihan lokasi embung
Embung adalah suatu bangunan yang berfungsi untuk menampung
kelebihan air pada saat debit tinggi dan melepaskannya pada saat dibutuhkan.
Embung merupakan salah satu bagian dari proyek secara keseluruhan maka
letaknya juga dipengaruhi olehbangunanbangunan lain seperti bangunan pelimpah,
bangunan penyadap, bangunan pengeluaran, bangunan untuk pembelokan sungai
dan lain-lain (Soedibyo, 2003).
Untuk menentukan lokasi dan denah embung harus memperhatikan
beberapa faktor yaitu (Soedibyo, 2003) :
1. Tempat embung merupakan cekungan yang cukup untuk menampung air,
terutama pada lokasi yang keadaan geotekniknya tidak lulus air, sehingga
kehilangan airnya hanya sedikit.
2. Lokasinya terletak di daerah manfaat yang memerlukan air sehingga jaringan
distribusinya tidak begitu panjang dan tidak banyak kehilangan energi.
3. Lokasi embung terletak di dekat jalan, sehingga jalan masuk (access road) tidak
begitu panjang dan lebih mudah ditempuh.
Sedangkan faktor yang menentukan didalam pemilihan tipe embung adalah
(Soedibyo, 2003) :
Tujuan pembangunan proyek
Keadaan klimatologi setempat
Keadaan hidrologi setempat
Keadaan di daerah genangan
Keadaan geologi setempat
Tersedianya bahan bangunan
Hubungan dengan bangunan pelengkap
Keperluan untuk pengoperasian embung
Keadaan lingkungan setempat
Biaya proyek
27
2.8.2 Rencana Tubuh Embung
a. Lebar puncak
Lebar puncak tubuh embung diambil sebagai berikut:
Tabel 2.7 Lebar Puncak Tubuh Embung
(Departemen Pekerjaan Umum, 1997)
b. Kemiringan lereng urugan
Tabel 2.8 Kemiringan Lereng Urugan Untuk Tinggi Maksimum 10,00 M
(Departemen Pekerjaan Umum, 1997)
c. Tinggi jagaan
Tinggi jagaan adalah jarak vertikal antara muka air kolam pada waktu
banjir desain (50 tahunan) dan puncak tubuh embung. Besar tinggi jagaan
tergantung dari tipe tubuh embung dan diambil seperti tabel berikut (Departemen
Pekerjaan Umum, 1997) :
Tabel 2.9 Tinggi Jagaan Embung
(Departemen Pekerjaan Umum, 1997)
28
d. Tinggi tubuh embung
Tinggi tubuh embung sebesar tinggi muka air kolam pada kondisi penuh
(= kapasitas tampungan desain) ditambah tinggi tampungan banjir dan tinggi
jagaan.
Dimana :
Hd = Tinggi tubuh embung desain (m)
Hk = Tinggi muka air kolam pada kondisi penuh (m)
Hb = Tinggi tampungan banjir (m)
Hf = Tinggi jagaan (m)
e. Rencana Teknis Bangunan Pelimpah (Spillway)
Type bangunan pelimpah (spillway)
Direncanakan menggunakan tipe Ogee untuk bangunan pelimpah
pada embung. Berbagai tipe mercu Ogee. Persamaan lengkung spillway
bagian downstream bendungan adalah sebagai berikut ( KP- 02, 1986) :
Dimana :
X dan Y = Koordinat-koordinat permukaan hilir
Ho = Tinggi energi rencana di atas mercu
k dan n = parameter
Tabel 2.10 Harga K dan n
( KP-02, 1986, hal 47)
29
Gambar 2.4 Bentuk – Bentuk Mercu Ogee (KP – 02, 1986)
Perhitungan hidraulis pelimpah (spillway)
Bangunan pelimpah (spillway) yakni bangunan dengan seluruh
komponennya berfungsi untuk mengalirkan air banjir yang masuk ke dalam
waduk agar tidak membahayakan keamanan. Salah satu tipe bangunan
pelimpah pada bendungan tipe urugan yakni :
- Saluran pengarah
Saluran pengarah berfungsi sebagai penuntun dan pengarah
aliran agar aliran dalam kondisi hidrolika yang baik.
Gambar 2.5 Saluran Pengarah (Sosrodarsono dan Takeda, 1977)
Harga h dapat dicari dengan rumus (Sosrodarsono dan Takeda, 1977) :
Dimana :
Q = Debit (m3/dt)
C = Koefisien limpasan (2,0 – 2,1)
30
B = Panjang pelimpah (m)
H = Tinggi air diatas mercu pelimpah (m)
- Perhitungan hidraulis peredam energi
Bangunan peredam energi digunakan untuk peredam energi
pencegah gerusan (Sosrodarsono dan Takeda, 1977) .
Dalam perencanaan ini menggunakan peredam energi tipe
USBR yang memiliki 4 tipe antara lain :
1. Kolam olakan datar tipe I
Kolam olakan tipe I digunakan untuk mengalirkan debit yang
relatif kecil dan bilangan Froude < 1,7. Seperti yang terlihat pada
gambar 2.6
Gambar 2.6 Bentuk Kolam Olakan Datar Tipe I (Sosrodarsono dan Takeda, 1977:218 )
2. Kolam olakan datar tipe II
Kolam olakan tipe II digunakan untuk aliran dengan tekanan
hydrostatis yang tinggi dan debit yang besar ( q > 45 m3/dt/m,
tekanan hydrostatis > 60 m dan bilangan Froude > 4,5 )
Gambar 2.7 Bentuk Kolam Olakan Datar Type II (Sosrodarsono dan Takeda, 1977:218 )
31
3. Kolam olakan datar type III
Kolam olakan tipe III digunakan untuk aliran dengan tekanan
hydrostatis yang rendah dan debit yang agak kecil ( q < 18,5 m3/dt/m,
V < 18 m3/det, bilangan Froude > 4,5 )
Gambar 2.8 Bentuk Kolam Olakan Datar Type III (Sosrodarsono dan Takeda, 1977:218 )
4. Kolam olakan datar type IV
Kolam olakan tipe IV Froude antara 2,5 s/d 4,5.
Gambar 2.9 Bentuk Kolam Olakan Datar Type IV (Sosrodarsono dan Takeda, 1977:219 )
Untuk menentukan jenis kolam olakan yang akan digunakan,
digunakan bilangan Froude sebagai patokan. Sehinngga, dapat
dihitung dengan rumus berikut (Suyono S. 1977 ; hal 220) :
D1g
V=Fr
.
1
Dimana:
Fr = Bilangan Froude
V1 = Kecepatan aliran pada penampang 1 (m/dtk)
32
D1 = Kedalaman air di bagian hulu kolam olak (m)
g = Percepatan gravitasi (9,8 m/dtk2)
Kedalaman air pada bagian hilir kolam olakan dapat
diperoleh dari rumus berikut (Suyono S. 1977 ; hal 220) :
1812
1 2
1
2 FD
D
Dimana :
D1 dan D2 = kedalaman air (m)
Untuk mengetahui nilai panjang kolam olakan digunakan
grafik hubungan antara bilangan Froude dengan 2D
L (L adalah
panjang kolam olakan) sebagai berikut :
Gambar 2.10 Grafik hubungan antara bilangan Froude dengan nilai 2D
L
(Sosrodarsono dan Takeda, 1977:222)
2.8.3 Analisa Stabilitas Embung
Berat sendiri tubuh embung
Berat sendiri bangunan tergantung pada bahan yang dipakai
untuk bangunan tersebut.
V = A x γb x B
dimana:
V = gaya vertikal karena berat sendiri (kN)
A = luas penampang bangunan (m2)
33
γb = berat jenis bahan (kN/m3) (beton bertulang = 24, kgN/m3)
B = lebar bangunan (m)
Reaksi Pondasi
Reaksi pondasi boleh diandaikan berbentuk trapezium dan tersebar
secara linear
Gambar 2.11 Unsur-unsur persamaan distribusi tekanan pada pondasi
Tekanan vertical pondasi adalah:
dimana:
p = tekanan vertikal pondasi (kN)
∑(W) = jumlah gaya vertikal, termasuk tekanan ke atas kecuali
reaksi pondasi (kN)
A = luas dasar pondasi (m2)
E = eksentrisitas pembebanan, atau jarak dari pusat gravitasi
dasar sampai titik potong resultan dengan dasar
I = momen kelembaman dasar sekitar pusat gravitasi
m = jarak dari titik pusat luas dasar sampai ke titik tekanan
dikehendaki
Untuk dasar segi empat dengan panjang ℓ dan unit lebar 1,0 m, I = ℓ3/12
A = 1.
34
Rumus menjadi :
m = ½ ℓ
Sedangkan tekanan vertikal maksimum pondasi pada ujung bangunan :
P’ = ∑W
L(1 +
6 𝑙
L)
Sedangkan tekanan vertikal minimum pondasi pada ujung bangunan :
P’ = ∑W
L(1 −
6 𝑙
L)
Stabilitas
a. Tinjauan terhadap guling
Agar konstruksi aman terhadap bahaya guling, maka resultan
semua gaya yang bekerja pada bagian bangunan di atas bidang
horisontal, termasuk gaya angkat, harus memotong bidang ini pada
teras. Tidak boleh ada tarikan pada bidang geser manapun (KP-02).
Menggunakan rumus :
Fs = ∑Mv
∑M𝐻
Fs > 1,1 untuk kondisi gempa
Fs > 1,5 untuk kondisi normal
dimana:
Fs = faktor keamanan
∑M𝑉 = momen vertikal semua gaya terhadap titik guling
∑M𝐻 = momen horizontal semua gaya terhadap titik guling
Harga untuk beton adalah sekitar 4,0 N/mm2 atau 40 kgf/cm2.
Tiap bagian bangunan diandaikan berdiri sendiri dan tidak mungkin
ada distribusi gaya-gaya melalui momen lentur (bending moment).
Oleh sebab itu, tebal lantai kolam olak dihitung sebagai
berikut :
dx ≥ S 𝑃𝑥−𝑊𝑥
𝜏
dimana:
dx = tebal lantai pada titik x (m)
35
Px = gaya angkat pada titik x (kg/m2)
Wx = kedalaman air pada titik x (m)
𝜏 = berat jenis bahan (kg/m2)
S = faktor keamanan (= 1,5 untuk kondisi normal, 1,25 untuk
kondisi ekstrem)
Gambar 2.12 Tebal lantai kolam olak
b. Tinjauan terhadap geser
Tangen θ, sudut antara garis vertikal dan resultante semua
gaya, termasuk gaya angkat, yang bekerja pada bendung di atas
semua bidanghorisontal, harus kurang dari koefisien gesekan yang
diizinkan pada bidang tersebut
dimana:
∑(H) = keseluruhan gaya horizontal yang bekerja pada
bangunan (kN)
∑(V-U) = keseluruhan gaya vertical (V), dikurangi gaya
tekan ke atas yang bekerja pada bangunan (Kn)
θ = sudut resutan semua gaya, terhadap garis vertical,
(º)
f = koefisien gesekan
S = factor keamanan (= 2 untuk kondisi normal, 1,25
untuk kondisi ekstrem)
36
Tabel 2.11 Harga-harga perkiraan untuk koefisien gesekan
Sumber : KP – 02
Kondisi pembebanan ekstrem dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Tak ada aliran di atas mercu selama gempa, atau
Banjir rencana maksimum
Apabila, untuk bangunan-bangunan yang terbuat dari beton,
harga yang aman untuk faktor gelincir yang hanya didasarkan pada
gesekan saja ternyata melampaui, maka bangunan bisa dianggap
aman jika faktor keamanan dari rumus itu yang mencakup geser
sama dengan atau lebih besar dari harga-harga faktor keamanan yang
sudah ditentukan.
dimana:
c = satuan kekuatan geser bahan (Kn/m2)
A = luas dasar yang dipertimbangkan (m)
Harga-harga faktor keamanan jika geser juga dicakup, sama
dengan harga-harga yang mencakup gesekan saja, yakni 2,0 untuk
kondisi normal dan 1,25 untuk kondisi ekstrim.
c. Stabilitas terhadap daya dukung tanah
- Daya dukung tanah ijin ( Suyono, 1997):
Po = γ . Df
qu = ((𝐶. 𝑁𝐶) + (𝛾. 𝐷𝑓. 𝑁𝑞) + (1
2. 𝛾. 𝐵. 𝑁𝛾))
37
- Kapasitas dukung ultimate (netto) :
qun = qu – Po
- Tekanan Pondasi (netto) :
qn = qbs – Po
- Faktor aman (Fs) :
Fs = qun / qn
- Kapasitas daya dukung ijin :
qa = qu / Fs
e = 1
2 . 𝐵 − (
∑ 𝑀
qbs)
eijin = 1/6 . B
e > eijin
σmaks = 2.𝑞𝑏𝑠
3 . (𝐵
2 − 𝑒)
< qa