Bab II Tinjauan Pustaka 1
Transcript of Bab II Tinjauan Pustaka 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Susu Formula
2.1.1 Pengertian
Susu adalah cairan yang dihasilkan oleh kelenjar (mammae) baik dari
binatang maupun seorang ibu. Menurut Roesli (2004), susu formula adalah cairan
yang berisi zat yang mati didalamnya,tidak ada sel yang hidup seperti sel darah
putih, zat pembunuh bakteri, antibodi, serta tidak mengandung enzim maupun
hormon yang mengandung faktor pertumbuhan. Raspy (2007) juga berpendapat
bahwa susu formula adalah cairan atau bubuk dengan formula tertentu yang
diberikan pada bayi dan anak-anak yang berfungsi sebagai pengganti ASI.
2.1.2 Jenis-jenis susu formula
Di Indonesia telah beredar berbagai macam susu formula dengan berbagai
merk dagang. Kurniasih (2008) membagi susu formula menjadi dua, yaitu :
1. Susu formula menurut bahan dasar
Susu formula ini dapat dibedakan menjadi :
a. Susu formula berbahan dasar sapi
Umumnya susu formula untuk bayi yang beredar di pasaran berasal dari
susu sapi. Susu sapi adalah salah satu susu pilihan untuk bayi yang tidak
memiliki riwayat alergi dalam keluarga.
b. Susu formula berbahan dasar soya atau kedelai
Susu yang berasal dari sari kedelai ini diperuntukkan bagi bayi yang
memiliki alergi terhadap protein susu sapi tetapi tidak alergi terhadap
protein soya. Fungsinya sama dengan susu sapi yang protein susunya telah
terhidrolisis dengan sempurna sehingga dapat digunakan sebagai
pencegahan alergi tersier.
c. Susu formula hidrolisa atau elemental
Susu formula jenis ini kandungan lemaknya sudah diperkecil. Selain itu
kandungan protein kaseinnya sudah dipecah menjadi asam amino.
Biasanya pada kemasan tertuliskan HA atau hipoalergenic.
5
6
d. Susu formula khusus
Susu formula khusus ini disediaka bagi bayi yang memiliki problem
dengan saluran pencernaannya. Pemberian susu formula khusus ini
biasanya atas pengawasan dan petunjuk dokter.
e. Susu formula rendah laktosa
Susu formula rendah laktosa adalah susu sapi yang bebas dari kandungan
laktosa (low lactose atau free lactose). Sebagai penggantinya, susu formula
jenis ini akan menambahkan kandungan gula jagung. Susu ini cocok
untuk bayi yang tidak mampu mencerna laktosa (intoleransi laktosa)
karena gula darahnya tidak memilii enzim untuk mengolah laktosa.
2. Susu formula menurut usia bayi
Menurut Kurniasih (2008), susu formula ini dibagi sebagai berikut:
a. Susu formula adaptasi
Susu formula ini khusus untuk bayi usia dibawah 6 bulan dan disarankan
mempunyai kandungan sebagai berikut:
1. Lemak, kadar lemak yang terkandung antara 2,7-41g setiap 100ml
atau, dari jumlah ini 3-6% kandungan energinya harus terdiri dari
asam linoleik.
2. Protein, kadarnya berkisar antara 1,2-1,9g/100ml dan komposisi asam
aminonya harus identik dengan protein dalam ASI.
3. Karbohidrat, kandungannya antara 5,4-8,2g/100ml dan dianjurkan
terdiri atas laktosa dan glukosa.
4. Mineral, terdiri dari Na, K, Ca, P, Mg, dan Cl dengan komposisi
sekitar 0,25-0,34g/100ml.
5. Vitamin, harus ditambahkan pada pembuatan susu formula.
6. Energi, harus disesuaikan dengan ASI yang jumlahnya sekitar 72 Kkal
b. Susu formula awal lengkap
Susu ini memiliki susunan gizi yang lengkap untuk BBL sampai usia 6
bulan. Walaupun demikian, susu ini sedikit berbeda dengan dari formula
adptasi. Susu formula ini mempunyai kadar protein tinggi, tidak
disesuaikan dengan kandungan dalam ASI dan juga kandungan mineralnya
7
lebih tinggi. Keuntungan susu formula ini adalah harganya yang jauh
lebih murah daripada susu formula adaptasi.
c. Formula lanjutan
Susu formula ini khusus untuk bayi usia 6 bulan lebih karena mengandung
protein yang lebih tinggi dari susu adaptasi maupun awal lengkap. Kadar
mineral, karbohidrat, lemak dan energinya juga lebih tinggi karena untuk
mengimbangi kebutuhan tumbuh kembang anak.
Berikut ini adalah tabel ringkasan perbedaan antara ASI, susu sapi dan
susu formula:
Tabel 2.1 Ringkasan Perbedaan antara ASI, susu sapi dan susu formula
Porperti ASI Susu Sapi Susu formula
Kontaminasi bakteri
Tidak ada Mungkin ada Mungkin ada bila dicampurkan
Faktor anti infeksi Ada Tidak ada Tidak adaFaktor pertumbuhan
Ada Tidak ada Tidak ada
Protein Jumlah sesuai dan mudah dicerna Kasein : Whey (40:60)Whey: alfa
Terlalu banyak dan sukar dicerna Kasein : Whey (80:20) Whey: Betalaktoglobulin
Sebagian diperbaiki. Disesuaikan dengan ASI
Lemak Cukup mengandung asam lemak esensial (ALE), DHA dan AAMengandung Lipase
Kurang ALE
Tidak ada Lipase
Kurang ALE Tidak ada DHA dan AA
Tidak ada Lipase
Zat Besi Jumlah kecil tapi mudah dicerna
Jumlah lebih banyak tapi tidak diserap dengan baik
Ditambahkan ekstra tidak diserap dengan baik
Vitamin Cukup Tidak cukup Vit A dan Vit C
Vitamin ditambahkan
Air Cukup Perlu tambahan Mungkin perlu tambahan
(sumber: Suradi, R, dan H.K.P. 2007. Bahan Bacaan Manajemen Laktasi, Jakarta: Perinasia).
8
Keterangan :
Susu formula yang dimaksud dalam tabel adalah susu formula selain yang
berbahan dasar susu sapi, terdiri dari susu formula berbahan dasar kedelai dan
susu formula hidrolisa.
2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian susu formula
Menurut Roesli (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian susu
formula yaitu:
1. ASI tidak cukup
Alasan ini merupakan alasan utama bagi ibu tidak memberikan ASI
secara eksklusif. Walaupun banyak ibu yang merasa ASInya
kurang,tetapi hanya sedikit (2-5%) yang secara biologis memang
kurang produksi ASInya. Selebihnya ibu dapat menghasilkan ASI
yang cukup untuk bayinya.
2. Ibu bekerja dengan cuti hamil 3 bulan
Bekerja bukan alasan untuk tidak memberikan ASI, karena waktu ibu
bekerja, bayi dapat diberi ASI perah yang diperoleh sehari
sebelumnya.
3. Takut ditinggal suami
Alasan ini karena mitos yang salah, yaitu menyusui akan mengubah
bentuk payudara menjadi jelek. Sebenarnya yang mengubah bentuk
payudara adalah waktu kehamilan bukan menyusui.
4. Bayi akan tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri dan manja.
Pendapat bahwa bayi akan tumbuh menjadi anak karena terlalu sering
didekap dan dibelai adalah tidak benar. Justru anak akan tumbuh
menjadi kurang mandiri, manja, dan agresif karena kurang
diperhatikan oleh orang tua dan keluarga.
5. Susu formula lebih praktis
Pendapat ini tidak benar, karena untuk membuat susu formula
diperlukan api atau listrik untuk memasak air, peralatan yang harus
steril, dan waktu untuk mendinginkan susu formula. Sementara ASI
siap pakai dengan suhu yang tepat setiap saat serta tidak memerlukan
api, listrik, dan perlengkapan yang harus steril.
9
6. Takut badan gemuk
Pendapat bahwa ibu menyusui akan sulit menurunkan berat badan
adalah tidak benar. Didapatkan bukti bahwa menyusui akan
menurunkan berat badan lebih cepat daripada ibu yang tidak
menyusui. Timbunan lemak yang terjadi sewaktu hamil akan
dipergunakan untuk proses menyusui, sedangkan wanita yang tidak
menyusui akan lebih sulit untuk menghilangkan timbunan lemak
tersebut.
Kurniasih (2008) menambahkan bahwa alasan ibu memberikan susu
formula yaitu:
a. Stress sehingga menghambat produksi ASI
b. Puting susu ibu masuk kedalam sehingga bayi kesulitan untuk menghisap
ASI
c. Ibu menderita sakit tertentu semisal kanker atau jantung sehingga harus
mengkonsumsi obat-obatan yang dikhawatirkan dapat mengganggu
pertumbuhan sel-sel bayi
d. Kurang percaya diri
e. Ibu kecanduan narkotika dan zat adiktif lainya (NAPZA)
2.1.4 Dampak pemberian susu formula
Berbagai dampak negatif yang terjadi pada bayi akibat dari pemberian
susu formula, antara lain:
1. Gangguan saluran pencernaan (muntah, diare)
Judarwanto (2007) menjelaskan bahwa anak yang sering mendapatkan
susu formula lebih sering muntah/gumoh, kembung, “cegukan”, sering
buang angin, sering rewel, gelisah terutama malam hari. Sering buang air
besar (>3 kali perhari), tidak BAB setiap hari, feses berwarna hijau, hitam,
berbau, sangat keras, cair atau berdarah, hernia umbilikalis (pusar
menonjol), inguinalis (benjolan diselakangan, daerah buah zakar atau
pusar) karena sering ngeden sehingga tekanan dalam perut meningkat.
Gangguan ini merupakan biasanya reaksi bayi pada saat saluran
pencernaan beradaptasi terhadap susu formula (Raizah, 2008)
10
2. Infeksi saluran pernafasan
Bila gangguan saluran pencernaan terjadi dalam jangka panjang dapat
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang sehingga mudah terserang
infeksi terutama ISPA (batuk, pilek, panas, tonsillitis/amandel) berulang
dan kadang setiap bulan atau lebih (Judarwanto, 2007).
3. Meningkatkan resiko serangan asma
Para peneliti telah mengevaluasi terhadap efek perlindungan dari
pemberian ASI, bahwa pemberian ASI melindungi terhadap asma dan
penyakit alergi lain. Sebaliknya, pemberian susu formula dapat
meningkatkan resiko tersebut (Oddy dkk (2003) dalam Roesli, 2008).
4. Menurunkan perkembangan kecerdasan kognitif
Menurut penelitian Smith dkk (2003) dalam Roesli (2008),bayi yang tidak
diberi ASI ternyata mempunyai skor lebih rendah dalam semua fungsi
intelektual, kemampuan verbal, dan kemampuan visual motorik
dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI.
5. Meningkatkan resiko kegemukan (obesitas)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Amstrong dkk (2002) dalam
Roesli (2008) membuktikan bahwa kegemukan jauh lebih tinggi pada
anak-anak yang diberi susu formula. Kries (1999) dalam Roesli (2008)
menambahkan bahwa kejadian obesitas mencapai 4,5%-40% lebih tinggi
pada anak yang tidak pernah diberikan ASI.
6. Meningkatkan resiko penyakit jantung dan pembuluh darah
Anak yang mendapat susu formula tekanan darahnya lebih tinggi daripada
anak yang mendapat ASI. Para peneliti menyimpulkan bahwa pemberian
ASI pada anak yang lahir prematur dapat menurunkan darah pada tahun
berikutnya (Singhal dkk (2001) dalam Roesli, 2008).
7. Meningkatkan resiko infeksi yang berasal dari susu formula yang tercemar
Dari kasus merebaknya wabah Enterobacteri zakazakii di Amerika
Serikat, dilaporkan kematian bayi berusia 20 hari yang mengalami demam,
takikardia, menurunnya aliran darah, dan kejang pada usia 11 hari. Kuman
ditemukan pada susu formula tercemar yang dipakai unit perawatan
intensif neonatal tersebut (Weir (2002) dalam Roesli, 2008).
11
8. Meningkatkan kurang gizi
Pemberian susu formula yang encer untuk menghemat pengeluaran dapat
mengakibatkan kekurangan gizi karena asupan kurang pada bayi. Secara
tidak langsung, kurang gizi juga akan terjadi jika anak sering sakit,
terutama diare, dan radang pernafasan (Roesli, 2008).
9. Meningkatkan resiko kematian
Menurut Chen dkk (2004) dalam Roesli (2008), bayi yang tidak pernah
mendapat ASI berisiko meninggal 25% lebih tinggi dalam periode sesudah
kelahiran daripada bayi yang mendapat ASI. Pemberian ASI yang lebih
lama akan menurunkan resiko mortalitas bayi.
10. Meningkatkan kejadian karies gigi susu
Sukrosa merupakan sejenis karbohidrat dalam susu yang dapat
mamberikan rasa manis dan sumber energi cepat untuk tubuh (dapat
meningkatkan gula darahdalam waktu singkat). Konsumsi sukrosa dalam
jumlah berlebihan dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan karies
gigi.
Kebiasaan anak minum susu formula dengan menggunakan botol saat
menjelang tidur dapat menyebabkan karies gigi. Laktosa dan sukrosa
dalam sisa susu yang tergenang dalam mulut sepanjang malam akan
mengalami proses hidrolisa oleh bakteri plak menjadi asam (Retno, 2001).
Jika makanan yang dimakan mengandung gula, pH mulut akan turun
dalam waktu 2,5 menit dan tetap rendah selama 1 jam. Bila gula yang
mengandung sukrosa dikonsumsi 3 kali sehari, artinya pH mulut selama 3
jam akan berada dibawah 5,5. Demineralisasi ini tidak terjadi di
permukaan, melainkan subsurface/lapisan di bawah permukaan gigi.
Proses demineralisasi yang terjadi selama periode waktu ini sudah cukup
untuk mengikis lapisan email (Nita,2007).
2.2 Konsep Karies Gigi
2.2.1 Pengertian
Karies berasal dari kata “ker” yang dalam bahasa Yunani artinya
kematian,sedangkan dalam bahasa Latin artinya kehancuran. Karies gigi
12
merupakan pembentukan lubang pada permukaan gigi yang disebabkan oleh
kuman (Srigupta, 2004). Sedangkan menurut Koswara (2006) karies gigi adalah
penyakit keropos yang dimulai pada lokasi tertentu pada bagian gigi, dan diikuti
proses kerusakan atau pembusukan gigi secara cepat. Karies gigi dimulai dengan
terjadinya pengikisan mineral-mineral dari permukaan atau enamel gigi oleh asam
organik hasil fermentasi karbohidrat makanan terutama gula pasir dan pati-patian
yang tertinggal melekat pada bagian-bagian dan sela-sela gigi oleh bakteri asam
laktat.
2.2.2 Pertumbuhan gigi
Benih gigi susu sebenarnya sudah terbentuk sejak bayi masih dalam
kandungan, yaitu sejak janin berusia 4 minggu. Bahkan, gigi permanen yang akan
menggantikan gigi susu juga telah terbentuk. Gigi tumbuh dari epitel tulang
rahang. Mula-mula yang tumbuh adalah mahkota gigi berwarna putih dengan
lapisan luar emailnya, lalu berlanjut ke bawah berupa dentin, diteruskan dengan
pulpa gigi yang menjadi tempat syaraf dan pembuluh darah, yang paling akhir
adalah akar gigi (Rosseno, 2008).
Erupsi atau keluarnya akar gigi pertama biasanya terjadi pada usia 6-8
bulan setelah kelahiran. Namun ada kalanya erupsi gigi terjadi saat anak berusia 9
bulan (Machfoedz, 2006). Erupsi ini tidak terjadi sekaligus, akan tetapi satu
persatu atau sepasang. Ketika berusia 1 tahun, biasanya anak punya 6-8 gigi susu.
Pertumbuhan gigi susu ini akan berhenti pada usia 2-3 tahun dengan jumlah gigi
20 buah. Kemudian satu persatu akan tanggal dan digantikan oleh gigi permanen
saat anak menginjak usia 5-6 tahun (Rosseno, 2008).
13
Urutan pertumbuhan gigi susu yaitu:
Tabel 2.2 Urutan Pertumbuhan Gigi SusuNo Jenis Gigi Susu Tumbuh Umur1
2
Gigi rahang atas: a. Gigi seri pertama b. Gigi seri keduac. Gigi taring d. Gigi geraham pertamae. Gigi geraham keduaGigi rahang bawah: a. Gigi seri pertama b. Gigi seri kedua c. Gigi taring d. Gigi geraham pertama e. Gigi geraham kedua
7-8 bulan8-9 bulan
16-18 bulan12-14 bulan20-30 bulan
6-7 bulan8-9 bulan
14-16 bulan 12-14 bulan20-30 bulan
(sumber: Machfoedz, I. 2006. Menjaga Kesehatan Gigi dan Mulut Anak-Anak dan Ibu hamil. Yogyakarta: Fitramaya).
2.2.3 Manifestasi klinis
Tanda awal dari lesi karies adalah sebuah daerah yang tampak berkapur di
permukaan gigi yang menandakan adanya demineralisasi. Daerah ini dapat
menjadi tampak coklat dan membentuk lubang. Proses sebelum ini dapat kembali
ke asal (reversible),namun ketika lubang sudah terbentuk maka struktur yang
rusak tidak dapat diregenerasi. Sebuah lesi tampak coklat dan mengkilat dapat
menandakan karies. Daerah coklat pucat menandakan adanya karies yang aktif.
Bila email dan dentin sudah mulai rusak, maka lubang akan semakin tampak.
Daerah yang terkena akan berubah warna dan menjadi lunak ketika disentuh
(Kuntari, 2008).
2.2.4 Karies botol susu
Karies susu botol yang sering disebut Nursing Bottle Caries, Nursing
Bottle Mounth, Baby Bottle Caries, dan Early Childhood Caries (ECC) adalah
karies dengan pola yang khas dan sering terlihat pada anak usia kurang atau sama
dengan 6 tahun yang mempunyai kebiasaan minum ASI, susu botol atau cairan
yang manis sampai tertidur dan dihisap terus menerus sepanjang hari, atau yang
berlangsung 2-4 kali selama beberapa jam sampai tertidur dan kadang-kadang
sepanjang malam (Wei (1988) dalam Chemiawan dkk, 2004). Keadaan karies
susu botol ini mempunyai pola yang khas yaitu gigi pertama yang terkena adalah
14
gigi insitif lateral atas, permukaan labial, lingual, mesial dan distal. Kemudian
permukaan oklusal gigi molar satu atas dan satu bawah, serta gigi kanan bawah.
Bila kebiasaan pemberian makanan anak sampai tertidur berlangsung dalam
jangka waktu yang lama, maka akan terjadi keadaan lebih lanjut yaitu karies akan
tampak pada permukaan oklusal molar dua atas serta bawah, dan yang terakhir
adalah gigi insitif bawah (Susilowati, 2008).
2.2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi karies gigi
Menurut Ruslawati (2001), penyebab karies gigi meliputi faktor internal
dan eksternal, yaitu:
1) Faktor internal
Merupakan faktor yang langsung berhubungan dengan karies gigi, yaitu:
a. Host, meliputi gigi dan saliva
Komposisi gigi terdiri dari email dan dentin. Dentin adalah lapisan di
bawah email. Struktur email gigi sangat menentukan proses terjadinya karies.
Gigi selalu dibasahi saliva secara normal. Pada proses pencernaan di
dalam mulut terjadi kontak antara makanan, saliva dan gigi. Fungsi saliva adalah
sebagai pelicin, pelindung, buffer, pembersih, dan anti bakteri. Jumlah dan isi
saliva, derajat keasaman, kekentalan, dan kemampuan buffer berpengaruh pada
karies. Saliva mampu meremineralisasi karies dini karena mengandung ion Ca,
dan P. Saliva juga mempengaruhi pH dan komposisi mikroorganisme dalam plak
(Mansjoer, 2001).
b. Agent (Bakteri/Mikroorganisme)
Mansjoer (2001) mengatakan ada 3 bakteri yang sering mengakibatkan
karies yaitu:
1) Lactobacillus, bakteri ini populasinya dipengaruhi oleh kebiasaan
makan. Bakteri ini hanya dianggap faktor pembantu karies.
2) Streptococcus, bakteri kokus gram positif ini jumlahnya terbanyak
dalam mulut dan merupakan penyebab utama karie gigi karena
bakteri ini mampu memproduksi senyawa glukan (mutan) dalam
jumlah yang besar dari sukrosa dengan pertolongan enzim, salah
satu spesiesnya yaitu Streptococcus mutans.
15
3) Actinomyces, semua spesies ini memfermentasikan glukosa,
terutama membentuk asam laktat, asetat, dan asam format.
c. Environment (substrat)
Substrat adalah campuran makanan halus dan minuman yang dimakan
sehari-hari yang menempel di permukaan gigi. Substrat ini dapat berasal dari jus,
susu formula, larutan, dan makanan manis lainnya.
d. Time/waktu
Bakteri dan substrat membutuhkan waktu lama untuk demineralisasi dan
progesi karies. Waktu merupakan kecepatan terbentuknya karies serta lama dan
frekuensi substrat menempel di permukaan gigi. Adanya kemampuan saliva untuk
meremineralisasi selama proses karies, menandakan bahwa proses tersebut terdiri
atas periode perusakan dan perbaikan yang silih berganti. Sehingga bila saliva
berada dalam lingkungan gigi, maka karies tidak akan menghancurkan gigi dalam
hitungan hari atau minggu, melainkan dalam bulan atau tahun.
2) Faktor eksternal
Selain faktor internal (faktor langsung) yang berhubungan dengan
karies gigi, terdapat faktor-faktor eksternal (faktor tidak langsung) yang disebut
faktor resiko luar, yang merupakan faktor predisposisi dan faktor penghambat
terjadinya karies. Faktor-faktor tersebut yaitu:
a. Usia
Sejalan dengan pertambahan usia seseorang, jumlah karies akan
bertambah. Hal ini karena faktor resiko terjadinya karies akan lebih lama
berpengaruh terhadap gigi.
b. Jenis kelamin
Prevalensi karies gigi tetap pada wanita lebih tinggi dibanding pria. Hal ini
karena erupsi gigi anak perempuan lebih cepat dibanding anak laki-laki,
sehingga gigi anak perempuan akan lebih lama berhubungan dengan faktor
resiko terjadinya karies.
c. Suku bangsa
Beberapa penelitian menunjukkan ada perbedaan pendapat tentang
hubungan suu bangsa dengan prevalensi karies gigi. Hal ini karena
perbedaan keadaan social ekonomi, pendidikan, makanan, cara
16
pencegahan karies dan jangkauan pelayanan kesehatan gigi yang berada
disetiap suku tersebut.
d. Letak geografis
Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan ini kemungkinan karena
perbedaan lama dan intensitas cahaya matahari, suhu, cuaca, air, keadaan
tanah dan jarak dari laut. Telah dibuktikan bahwa kandungan fluor sekitar
1 ppm air akan berpengaruh terhadap penurunan karies.
e. Kultur sosial penduduk
Faktor yang dapat mempengaruhi adalah pendidikan dan penghasilan yang
berhubungan dengan diet, kebiasaan merawat gigi dan lain-lain.
f. Kesadaran, sikap, dan perilaku individu terhadap pemeliharaan kesehatan
gigi.
2.2.6 Dampak karies gigi
Jika gigi yang mengalami karies dibiarkan tidak dirawat, maka dapat
menimbulkan rasa sakit/nyeri pada kavitas, demam, proses mengunyah makanan
akan terganggu sehingga anak menjadi kehilangan selera makan dan akhirnya
menjadi kurus. Kehilangan gigi yang terlalu dini, kemungkinan besar ke depannya
anak akan membutuhkan perawatan orthodonsia (braket). Gigi susu yang
berlubang dapat menyebabkan gigi tersebut goyang dan tanggal premature atau
terpaksa dicabut sebelum waktunya. Jika terjadi abses atau infeksi di sekitar gigi
yang mengalami karies, maka dapat berpengaruh terhadap proses tumbuh
kembang gigi permanennya (Susanto, 2007).
Menurut Paramitha (2000), kelainan dan gangguan pertumbuhan gigi akan
mengakibatkan terjadinya gangguan pada fungsi estetika mulut. Penampilan
wajah anak akan terganggu sehingga mengurangi daya tarik. Bila kelainan gigi ini
dibiarkan terus, maka secara tidak langsung akan mengakibatkan kegunaan
fungsional terganggu.
2.2.7 Pencegahan
Pencegahan terhadap karies gigi harus dilakukan secepatnya. Menurut
Kuntari (2008) cara yang dapat dilakukan untuk mencegah karies gigi yaitu:
1. Setelah diberi makan, bersihkan gusi anak dengan kain/lap bersih.
17
2. Jangan biarkan anak tertidur sambil minum melalui botol yang berisi susu
formula, jus buah atau larutan manis lainnya, berikan botol hanya ketika
makan saja.
3. Jika anak membutuhkan botol untuk pemberian makanan yang regular
pada malam hari atau hingga tidur,beri anak botol bersih yang
direkomendasikan oleh dokter gigi.
4. Hindari mengisi botol minum anak dengan larutan manis seperti air gula
dan soft drink.
5. Ajari anak minum susu dangan gelas/cangkir.
6. Jika air yang akan diberikan kepada anak tidak mengandung fluor,
tanyakan pada dokter gigi apa yang sebaiknya diberikan pada anak.
7. Ketika anak menginjak usia 2 tahun,ajari anak menyikat gigi 1-2 kali
sehari setelah sarapan dan sebelum tidur.
8. Mulailah berkunjung ke dokter gigi sejak tahun pertama kelahiran.
2.3 Konsep Anak Prasekolah
2.3.1 Pengertian
Anak prasekolah adalah anak-anak yang berusia berkisar 4-6 tahun.
(Soetjiningsih, 1995).
Dimana pada usia tersebut anak mengalami proses tumbuh kembang, baik
dari fisik, mental dan sosial. Proses tumbuh kembang sangat terkait dengan faktor
kesehatan, dengan kata lain hanya pada anak yang sehat dapat diharapkan terjadi
proses tumbuh kembang yang optimal (Kurnia, 2008).
2.3.2 Arti penting masa kanak-kanak (usia prasekolah)
Perkembangan manusia pada masa ini berlangsung secara
berkesinambungan. Pematangan fisiknya mengikuti proses perkembangan yang
berurutan. Masa-masa usia emas ini adalah masa penting dalam rentang
perkembangan hidup manusia karena sebagian besar corak kepribadian seseorang
ditentukan pada masa kanak-kanak. Bagaimana orang dewasa berpikir, melihat
masalah, mengalami konflik, dan menyelesaikan konflik memiliki hubungan erat
dengan perkembangan kepribadiannya di masa kanak-kanak (Kurnia, 2008).
18
2.3.3 Tumbung kembang anak prasekolah
Istilah tumbuh kembang sebenarnya mencakup dua peristiwa yang sifatnya
berbeda, tetapi saling berkaitan dan sulit dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan
perkembangan. Pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam
besar,jumlah, atau ukuran, yang bisa diukur dengan ukuran berat dan ukuran
panjang, sedangkan perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam
struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dari seluruh
bagian tubuh sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya.Termasuk juga
perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil berinteraksi
dengan lingkungannya. Apabila anak usia prasekolah tidak mendapatkan asupan
gizi yang memadai, maka ketika anak beranjak dewasa, perkembangan otak dan
fisiknya akan mengalami hambatan. Berbagai gangguan dan hambatan dalam
tumbuh kembang anak, yaitu kurang tidur, lingkungan yang tidak sehat, kurang
perhatian dan kasih sayang orang tua (Kurnia, 2008).
Gizi adalah faktor yang ikut menentukan pertumbuhan anak. Semakin
beragam menu harian yang diterima anak usia prasekolah, semakin terpenuhi pada
kecukupan seluruh zat gizi yang dibutuhkan tubuh anak. Peran susu pertumbuhan
dibutuhkan untuk membantu memenuhi kecukupan protein, mineral, dan elemen
khususnya kalsium. Memilih susu pertumbuhan yang memenuhi syarat akan
menunjang tumbuh kembang optimal anak (Juwardanto, 2007).
2.4 Hubungan Lama Pemberian Susu Formula dengan Karies Gigi
Anak usia prasekolah umumnya masih banyak yang mengkonsumsi susu
formula, khususnya menggunakan botol. Pemberian susu ini cenderung dibiarkan
sampai anak tertidur dalam keadaan menghisap botol yang berisi susu atau kadang
air gula sehingga susu atau cairan manis tersebut menggenang di sekitar maksila
bagian depan. Kebiasaan minum ini bisa mengakibatkan karies gigi pada anak
yang sering disebut dengan Nursing Bottle Caries, Nursing Bottle Mounth, Baby
Bottle Caries, dan Early Childhood Caries (ECC) (Susilowati, 2008).
Lubang gigi ini disebabkan oleh beberapa tipe dari bakteri penghasil asam
yang dapat merusak karena reaksi fermentasi karbohidrat termasuk sukrosa,
19
fruktosa, dan glukosa. Laktosa dan sukrosa dalam sisa susu yang tergenang di
mulut sepanjang malam, akan mengalami proses hidrolisa oleh bakteri plak
menjadi asam (Retno, 2001). Gula pasir/sukrosa merupakan makanan penyebab
utama karies dentin. Sedangkan gula laktosa dalam ASI tidak semanis gula pada
sukrosa, fruktosa, dan glukosa. Tingkat kemanisan laktosa hanya seperenam
kemanisan glukosa, itulah sebabnya bayi yang diberi ASI tidak mengalami karies
gigi (Marimbi, 2010).
Bakteri yang sering muncul dalam plak adalah Streptococcus, dengan
salah satu spesiesnya yaitu Streptococcus mutans. Bakteri Streptococcus berada
dalam mulut secara anaerobic melalui enzim yang diproduksi mampu mencerna
atau menghidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Dari hasil metabolisme
jenis gula tersebut, terbentuklah polimer rantai panjang dari glukosa dan fruktosa.
Dari situlah kemudian berkembang menjadi noda pada permukan gigi. Noda-noda
tersebut bersifat gel yang lengket sekali (Koswara, 2006). Streptococcus mutans
berkembang dengan subur jika ada kombinasi gula, sedikit air ludah dan tingkat
keasaman (pH rendah) dalam air ludah. Sebagian dari populasi ini sekitar 20%
diperkirakan semakin bertambah banyak dalam suasana sangat asam yang
dihasilkan bakteri (Nita, 2007).
Proses pengeroposan gigi sendiri disebabkan oleh pengaruh asam laktat,
yaitu produksi hasil sampingan dari metabolisir fruktosa. Bayi dan anak kecil
yang dibiasakan minum susu formula/cairan manis dalam botol sambil tidur lebih
memungkinkan terjadi laju penyedotan isi botol lebih cepat dari laju penelanan,
sehingga sering susu berada di dalam mulut terlalu lama (Koswara, 2006). Asam
yang diproduksi tersebut mempengaruhi mineral gigi sehingga menjadi sensitive
pada pH rendah. Ketika itu, proses demineralisasi menjadi lebih cepat karena
menyebabkan lebih banyak mineral gigi yang luluh dan membuat lubang pada
gigi (Kuntari, 2008). Permukaan gigi tampak utuh, tetapi sebenarnya lapisan di
bawahnya telah larut. Demineralisasi awal tampak seperti bercak putih di gigi dan
lama-lama menjadi kecoklatan (Nita, 2007).
Aliran saliva di dalam rongga mulut sebenarnya dapat membantu
membersihkan asam yang menempel pada permukaan gigi. Namun ketika anak
tertidur, aliran saliva secara signifikan akan berkurang dan kondisi ini akan diikuti
20
oleh tergenangnya asam yang dihasilkan oleh fermentasi gula yang terdapat pada
susu formula/larutan manis yang mengandung gula di dalam rongga mulut
sehingga akan mempercepat terbentuknya karies gigi. Dan jika gigi dibiarkan
tidak dirawat, maka lubang akan berkembang (Kuntari, 2008).
Hasil penelitian Drg. Yuke Yulianingsih Heriandi, MS, Universitas
Trisakti tahun 2005 menunjukkan terdapat pertumbuhan karies gigi yang lebih
tinggi yaitu rata-rata 39,622% pada anak balita yang mengkonsumsi makanan
kariogenik, karena makanan kariogenik mengandung sukrosa 4,4 kali lebih
banyak daripada makanan non-kariogenik. Dari hasil penelitian yang terdahulu
yang berjudul hubungan lama pemberian susu botol dengan kejadian karies gigi
pada anak TK Arafat, Semanggi, Surakarta yang dilakukan oleh Ida Ayu Komang
Ari Purnamaastuti tahun 2006 menunjukkan bahwa pemberian susu formula lebih
dini akan mengakibatkan angka kejadian keparahan karies gigi yang lebih tinggi
juga.
Salah satu keburukan mengkonsumsi susu formula terutama bila anak
sudah balita dan pemberian susu telah dilakukan lebih dari 1 tahun adalah
kemungkinan terjadinya karies susu botol. Memperpanjang waktu susu formula
yang melebihi masa peralihan pemberian makanan cair ke makanan padat, akan
menyebabkan karies lebih dini. Pemberian makanan pendamping ASI sebaiknya
dimulai saat bayi berusia 6 bulan yang berupa makanan padat/semi padat.
Kepadatan makanan yang diberikan pada bayi meningkat secara bertahap sampai
mendekati usia 1 tahun (Kuntari, 2008).