BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/42100/3/jiptummpp-gdl-ikafilanas-48957-3-babii.pdf ·...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/42100/3/jiptummpp-gdl-ikafilanas-48957-3-babii.pdf ·...
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Kepatuhan Pengobatan
2.1.1 Definisi Kepatuhan Pengobatan
Menurut KBBI (2016) definisi dari kepatuhan adalah sifat patuh atau
ketaatan. Berdasarkan pengertian tersebut maka, kepatuhan pengobatan adalah
seberapa jauh perilaku minum obat, mengikuti diet, dan/atau melaksanakan
perubahan gaya hidup sesorang, sesuai dengan rekomendasi yang telah disepakati dari
penyedia pelayanan kesehatan (Fincham, 2007). Kepatuhan terhadap pengobatan
dapat juga didefinisikan sebagai proses ketika pasien mengambil obat mereka seperti
yang telah diresepkan sesuai dengan tiga fase kuantitatif yaitu inisiasi, implementasi
dan penghentian (Holmes, et al. 2014).
Minum obat dengan benar juga melibatkan lebih dari sekedar membaca
“petunjuk pada botol”. Kepatuhan yang tepat untuk rejimen pengobatan melibatkan
6 faktor kunci meliputi: (a) minum obat yang tepat; (b) minum dosis obat dengan
tepat; (c) minum obat pada waktu yang tepat; (d) mengikuti jadwal yang tepat; (e)
minum obat pada kondisi yang tepat, misalnya, obat harus diminum pada saat perut
kosong; (f) minum obat dengan tindakan pencegahan yang tepat misalnya,
simvastatin tidak harus diminum dengan jus jeruk (Tanna, 2016).
2.1.2 Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Pengobatan
Ketidakpatuhan dalam pengobatan dapat terjadi karena ketidaksengajaan
misalnya, lupa untuk mengambil dosis obat dan terkadang dapat terjadi karena
13
disengaja misalnya, sengaja melewatkan dosis karena mencoba untuk menghindari
efek samping atau karena kekhawatiran mengenai biaya obat yang harus ditebus. Hal
ini dapat didefinisikan dari beberapa pola perilaku, termasuk kegagalan untuk
mengikuti instruksi sehari-hari (contohnya, minum terlalu sedikit atau terlalu banyak
dosis, atau minum obat dengan menggunankan makanan yang tidak seharusnya
diminum bersama dengan obat) dan gagal untuk mengumpulkan resep berikutnya
seperti yang telah diarahkan petugas kesehatan (Holmes, et al. 2013).
Menurut Tanna (2016) dalam jangka waktu yang lebih luas, faktor tersebut
termasuk ke dalam kategori faktor pasien, faktor pengobatan dan faktor sistem
perawatan kesehatan, sehingga dapat menimpa aspek sosial dan administrasi farmasi
dan obat-obatan. Lebih lanjut, Tanna (2016) menguraikan faktor-faktor yang
mempengaruhi kepatuhan pengobatan, yaitu:
1. Faktor Pasien
Beberapa faktor yang berhubungan dengan pasien merupakan penentu dari
kepatuhan pengobatan. Faktor ini dapat dibagi lagi menjadi faktor demografi, sosial
budaya, dan faktor perilaku meliputi: (a) Faktor fisik termasuk tunanetra, gangguan
pendengaran, dan gangguan mobilitas; (b) Kurang pemahaman mengenai penyakit
yang diderita; (c) Kebiasaan/kondisi psikologis; (d) Budaya, agama, dan etnik; (e)
Status sosioekonomi; dan (f) Asuransi kesehatan.
2. Faktor Pengobatan
Faktor pengobatan juga berpengaruh terhadap kepatuhan pengobatan pasien,
diantaranya yaitu: (a) Kompleksitas rejimen pengobatan; (b) Polifarmasi; (c) Efek
samping yang dirasakan; (d) Kurangnya manfaat pengobatan; dan (e) Lamanya
pengobatan yang harus dijalani.
14
3. Faktor Sistem Perawatan Kesehata n
Sistem perawatan kesehatan merupakan faktor penting dalam tingkat
kepatuhan pengobatan pasien. Faktor yang mempengaruhi yaitu: (a) hubungan
antara petugas kesehatan dengan pasien; (b) biaya pengobatan yang sangat mahal; (c)
akses menuju tempat kesehatan yang buruk; (d) buruknya informasi yang diberikan
oleh petugas kesehatan.
Hanya beberapa faktor yang memiliki pengaruh yang sesuai pada kepatuhan
pengobatan yaitu: orang yang tergolong etnik minoritas, pengangguran dan
kekurangan biaya untuk pengobatan. Mereka menunjukkan efek negatif terhadap
kepatuhan pengobatan, yang mengindikasikan lebih lanjut bahwa aspek-aspek sosial
dilibatkan dalam hal ini. Dilihat dari taraf kompleksitasnya, tidak mengherankan
bahwa beberapa pedoman praktik untuk meningkatkan kepatuhan telah diterbitkan
secara global (Mathes, et al. 2014).
2.1.3 Pengukuran Kepatuhan Pengobatan
Tidak ada standar terbaik untuk mengukur perilaku kepatuhan, karena tidak
ada metode tunggal, yang cukup handal dan akurat. Metode yang paling umum
digunakan adalah pengukuran subjektif tradisional (dilaporkan sendiri oleh pasien,
wawancara dengan pasien, menggunakan penyedia layanan kesehatan atau keputusan
pengasuh sebagai laporan wakil), dan pengukuran secara objektif (pengukuran fisik
misalnya penghitungan jumlah tablet pada akhir pengobatan, meninjau pola
pemenuhan/pengambilan ulang resep, pengukuran menggunakan alat elektronik,
hasil ukur klinis, dan mengukur kadar obat dalam darah dan urin (Fincham, 2007 :
28). Salah satu alat ukur yang sering digunakan untuk mengukur kepatuhan yaitu
15
kuisioner 8 item Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8) yang telah divalidasi
untuk digunakan dibeberapa negara pada pasien hipertensi (Plakas, et al. 2016).
Akuransi kepatuhan dilaporkan terganggu disebabkan oleh daya ingat pasien,
dan bias presentasi diri/desirabilitas sosial. Daya ingat bias terjadi ketika responden
tidak dapat mengingat secara pasti detail dari kepatuhan ataiu ketidakakuratan daya
ingat tingkat kepatuhan mereka selama periode waktu tertentu. Bias presentasi diri
atau disiritabilitas sosial terjadi ketika pasien sengaja membesar-besarkan tingkat
kepatuhan dalam upaya untuk menghindari dipandang negatif. Perangkat tekonologi
(seperti pengobatan elektonik Medication Event Monitoring System [MEMS] dapat
digunakan untuk mencatat waktu dan tanggal ketika kotak obat dibuka) untuk
meningkatkan kepatuhan dalam membatasi penggunaan obat mereka secara luas
(Fincham, 2007 : 28).
2.2 Konsep Pengambilan Keputusan Etis
2.2.1 Definisi Pengambilan Keputusan dan etis
Pengambilan keputusan adalah pemilihan diantara alternatif-alternatif
mengenai sesuatu cara bertindak─adalah inti dari perencanaan. Suatu rencana dapat
dikatakan tidak ada, jika tidak ada keputusan suatu sumber yang dapat dipercaya,
petunjuk atau reputasi yang telah dibuat (Laudon, 2008 : 148).
Menurut KBBI (2016) kata etis (atau etika) berasal dari kata ethos (Bahasa
Yunani) yang berarti berhubungan (sesuai) dengan asas perilaku yang disepakati
secara umum. Etika biasanya berkaitan erat dengan kata moral yang merupakan
istilah dari bahasa latin, yaitu mos dan dalam bentuk jamaknya mores yang berarti juga
16
adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik,
dan menghindari hal-hal atau tindakan-tindakan yang buruk.
Pengambilan keputusan etis biasanya memeriksa tiga prespektif yaitu : etika
kepatuhan; etika pelayanan; dan etika alasan. Etika kepatuhan terlihat tidak hanya
pada kode/aturan hukum, tetapi juga semangat atau nilai-nilai moral dibalik itu. Etika
pelayanan melibatkan kecerdasan emosional dan empati dalam membuat keputusan
dari prespektif orang lain, akhirnya etika alasan melibatkan otak rasional kita
(Kahneman, 2011).
2.2.2 Model Pengambilan Keputusan Etis
Menurut Kaplan (2012) beberapa model pengambilan keputusan etis yang
sering digunakan yaitu:
a. Model AAA
Model America Accounting Association menyediakan kerangka kerja
dimana keputusan etis dapat dibuat. Tujuh pertanyaan yang digunakan dalam
model ini adalah:
1. Membangun fakta-fakta dari kasus: Langkah ini berarti bahwa ketika
proses pengambilan keputusan dimulai, tidak ada ambiguitas tentang apa
yang sedang dipertimbangkan.
2. Mengidentifikasi isu-isu etis dalam kasus: Meliputi mempertimbangkan
fakta-fakta dari kasus dan bertanya apa masalah etika yang dipertaruhkan.
3. Identifikasi norma-norma, prinsip, dan nilai-nilai yang berkaitan dengan
kasus: Melibatkan penempatan keputusan sosial, etika, dan dalam beberapa
kasus, konteks perilaku profesional. Dalam konteks yang terakhir ini, kode
17
etik profesi atau tuntutan sosial dari profesi yang diambil menjadi norma,
prinsip, dan nilai-nilai.
4. Mengidentifikasi setiap program alternatif: Melibatkan pernyataan masing-
masing, tanpa mempertimbangkan norma-norma, prinsip, dan nilai-nilai
yang diidentifikasi pada langkah 3, dalam rangka untuk memastikan bahwa
setiap hasil dipertimbangkan, akan tetapi cocok atau tidak hasil yang
mungkin akan muncul .
5. Pencocokan norma, prinsip, dan nilai-nilai untuk pilihan: Norma-norma,
prinsip, dan nilai-nilai yang diidentifikasi dilangkah 3 secara keseluruhan
pada pilihan yang diidentifikasi pada Langkah 4. Bila ini dilakukan,
dimungkinkan untuk melihat opsi sesuai dengan norma-norma dan yang
tidak sesuai dengan norma-norma.
6. Konsekuensi dari hasil yang dipertimbangkan: Sekali lagi, tujuan dari
model ini adalah untuk membuat implikasi dari setiap hasil ambigu
sehingga keputusan akhir dibuat dalam pengetahuan penuh dan pengakuan
masing-masing.
7. Keputusan tersebut diambil.
b. Model 5 pertanyaan Tucker
Tucker menyediakan model 5 pertanyaan terhadap keputusan etis
yang dapat diuji. Oleh karena itu digunakan setelah model AAA yang
ditunjukkan di atas untuk memastikan bahwa keputusan dicapai adalah
'benar'. 5 pertanyaan tersebut yaitu, apakah keputusan: (1) Menguntungkan?;
(2) Legal?; (3) Adil?; (4) Tepat?; (5) Berkelanjutan?.
18
2.2.3 Tahap Pengambilan Keputusan Etis
Pengambilan keputusan etis melibatkan proses empat tahapan dan
dipengaruhi oleh faktor individu dan situasional. Empat tahap pengambilan
keputusan etis dapat diringkas sebagai berikut:
..............................................................EtikaPengambilan Keputusan............................................→
Sumber : Kaplan (2012).
Gambar 2.2.3 Tahap Pengambilan Keputusan Etis
2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Etis
Menurut Kaplan (2012) Keputusan etis yang sebenarnya dilakukan tergantung
pada:
a. Faktor individu: karakteristik unik dari individu membuat keputusan seperti
usia, jenis kelamin, dan pengalaman yang diperoleh selama hidup. Faktor
individu menjadi lebih penting dalam keputusan tingkat yang lebih tinggi.
Pembuat keputusan membuat keputusan etis karena mereka sendiri percaya
bahwa ini adalah tindakan yang tepat (Kaplan, 2012).
b. Faktor-faktor situasional: faktor-faktor tertentu di daerah keputusan yang
menyebabkan seorang individu untuk membuat keputusan etis atau tidak etis.
Tahap
Mengenali Masalah
Moral
Terlibat dalam
Perilaku Moral
Membentuk
Tujuan Moral
Membuat
Penilaian Moral
Membiarkan penyakit
bersarang di tubuh itu
tidak baik
Patuh
terhadap
pengobatan
Memutuskan
untuk berobat
ke rumah sakit
Sadarilah bahwa
menjaga kesehatan
adalah kewajiban
19
Faktor-faktor situasional tampak lebih penting pada keputusan tingkat yang
lebih rendah. Dibidang ini, pembuat keputusan muncul untuk membuat
keputusan berdasarkan apa yang diharapkan dari mereka dalam situasi itu,
bukan pada nilai-nilai dan keyakinan mereka sendiri (Kaplan, 2012).
2.2.5 Proses Pengambilan Keputusan Etis
Proses pembuatan keputusan bukan merupakan tindakan tunggal yang
terisolasi, melainkan merupakan tahapan berbentuk anyaman yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya (Helena, 2014). Menurut Helena (2014) proses
pengambilan keputusan meliputi tujuh langkah yaitu:
a. Menetapkan tujuan dan sasaran: Sebelum memulai proses pengambilan
keputusan, tujuan dan sasaran keputusan harus ditetapkan terlebih dahulu. Apa
hasil yang harus dicapai dan apa ukuran pencapaian hasil tersebut.
b. Identifikasi persoalan: Persoalan-persoalan diseputar pengambilan keputusan
harus diidentifikasikan dan diberi batasan agar jelas. Mengidentifikasikan dan
memberi batasan persoalan ini harus tepat pada inti persoalannya, sehingga
memerlukan upaya penggalian.
c. Mengembangkan alternatif: Tahap ini berisi pengnidentifikasian berbagai
alternatif yang memungkinkan untuk pengambilan keputusan yang ada. Selama
alternatif itu ada hubungannya, walaupun sedikit, harus ditampung dalam tahap
ini.
d. Menentukan alternatif: Dalam tahap ini mulai berlangsung analisis tehadap
berbagai alternatif yang sudah dikemukakan pada tahapan sebelumnya. Pada
tahap ini juga disusun juga kriteria tentang alternatif yang sesuai dengan tujuan
20
dan sasaran pengambilan keputusan. Hasil tahap ini mungkin masih merupakan
beberapa alternatif yang dipandang layak untuk dilaksanakan.
e. Memilih alternatif: Beberapa alternatif yang layak tersebut di atas harus dipilih
satu alternatif yang terbaik. Pemilihan alternatif harus harus mempertimbangkan
ketersediaan sumberdaya, keefektifan alternatif dalam memecahkan persoalan,
kemampuan alternatif untuk mencapai tujuan dan sasaran, dan daya saing
alternatif pada masa yang akan datang.
f. Menerapkan keputusan: Keputusan yang baik harus dilaksanakan. Keputusan itu
sendiri merupakan abstraksi, sedangkan baik tidaknya baru dapat dilihat dari
pelaksanaannya.
g. Pengendalian dan evaluasi: Pelaksanaan keputusan perlu pengendalian dan
evaluasi untuk menjaga agar pelaksanaan keputusan tersebut sesuai dengan yang
sudah diputuskan (Helena, 2014).
2.2.6 Kedudukan Etika dalam Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan etis merupakan salah satu proses dari pengambilan
keputusan, yang didalamnya terdapat ilmu, kedudukan, dan etika. Proses ini
mencakup arah pemecahan masalah, situasi dari permasalahan dan/dilema yang dapat
dicapai. Jadi proses pengambilan keputusan merupakan hal yang sama dan ditemukan
diberbagai situai yang bermasalah, dengan demikian situasi sangat tergantung dari
norma yang diacu masyarakat seperti etika, interaksi sosial, dan situasional kotekstual
(Sumijatun, 2009).
21
2.3 Konsep Hipertensi
2.3.1 Pengertian Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan sistolik dan diastolik dengan konsisten
diatas 140/90 mmHg, dan tingginya tergantung umur individu yang terkena. Tekanan
darah berfluktuasi dalam batas-batas tertentu, tergantung posisi tubuh, umur dan
tingkat stres yang dialami (Baredero, 2008).
2.3.2 Klasifikasi Hipertensi
Berdasarkan penyebabnya, ada dua macam hipertensi, yaitu hipertensi primer
(esensial) dan sekunder. Sembilan puluh persen dari semua kasus hipertensi adalah
hipertensi primer. Sebagian besar kasus hipertensi tidak diketahui penyebabnya dan
disebut hipertensi primer. Apabila penyebab hipertensi dapat diketahui dengan jelas,
disebut hipertensi sekunder (Corwin, 2009 : 548).
a. Hipertensi Primer
Tipe ini terjadi pada sebagian besar kasus tekanan darah tinggi─sekitar 95%.
Penyebabnya tidak diketahui, walaupun dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya
hidup seperti kurang aktifitas dan pola makan yang salah (Palmer, 2007).
b. Hipertensi Sekunder
Salah satu contoh hipertensi sekunder adalah hipertensi vaskular renal, yang
terjadi akibat stenosis arteri renalis. Kelainan ini dapat bersifat konginetal atau
akibat aterosklerosis. Stenosis arteri renalis menurunkan aliran darah ke ginjal
sehingga terjadi pengaktifan baroseptor ginjal, perangsangan pelepasan renin, dan
pembentukan angiotensin II. Angiotensi II secara langsung meningkatkan
tekanan darah dengan meningkatkan TPR, dan secara tidak langsung dengan
22
meningkatkan sintesis aldosteron dan reabsorbsi natrium, apabila dapat dilakukan
pada perbaikan stenosis, atau apabila ginjal yang terkena diangkat, tekanan darah
akan kembali normal (Corwin, 2009 : 548).
Penyebab lain dari hipertensi sekunder adalah feokromositoma, yaitu tumor
penghasil epinefrin di kelenjar adrenal, yang menyebabkan peningkat kecepatan
denyut jantung dan volume sekuncup, dan penyakit chusing, yang menyebabkan
peningkatan volume sekuncup akibat retensi garam dan peningkatan TPR karena
hipersensitifitas sistem saraf simpatis. Aldosteronisme primer (peningkatan
aldosteron tanpa diketahui penyebabnya) dan hipertensi yang berkaitan dengan
kontrasepsi oral juga dianggap sebagai hipertensi sekunder (Corwin, 2009 : 549)
Menurut Baredero (2008) berdasarkan peningkatan tekanan darah, hipertensi
dibagi menjadi 4 yaitu:
Tabel 2.3.2 Klasifikasi Hipertensi
No Tingkat Sistolik Diastolik
1. Hipertensi tingkat 1 140-159 mmHg 90-99 mmHg
2. Hipertensi tingkat 2 160-179 mmHg 100-109 mmHg
3. Hipertensi tingkat 3 180-209 mmHg 110-119 mmHg
4. Hipertensi tingkat 4 > 210 mmHg >120 mmHg Sumber : Baredero (2008).
Menuruut Bel, et al. (2015) berdasarkan populasi penderita hipertensi batasan
tekanan darah normal dibagi menjadi 4 yaitu:
Tabel 2.3.3 Batasan Tekanan Darah Normal
Populasi Batasan Tekanan Darah Normal
Usia <60 tahun <140/90 mmHg
Usia >60 tahun <150/90 mmHg
Penyakit gagal ginjal kronis <140/90 mmHg
Diabetes <140/90 mmHg Sumber: Bell, et al. (2015)
23
2.3.3 Faktor Risiko Hipertensi
Ada berbagai faktor yang dapat meningkatkan resiko seseorang untuk terkena
penyakit hipertensi misalnya, kondisi kesehatan, gaya hidup dan riwayat keluarga.
Faktor risiko hipertensi dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Faktor risiko yang dapat dirubah, meliputi: obesitas, kurang berolahraga, stres,
merokok, mengkonsumsi makanan berkadar garam tinggi, kurang mengkonsumsi
buah dan sayur segar dan terlalu banyak minum alkohol.
2. Faktor risiko yang tidak dapat dirubah, meliputi: usia tua (tekanan darah
cenderung meningkat seiring bertambahnya usia), riwayat tekanan darah tinggi
dalam keluarga (seseorang cenderung menyandang tekanan darah tinggi apabila
kedua orang tua menyandang hipertensi), etnis (tekanan darah tinggi lebih sering
terjadi pada orang berkulit hitam), gender (tekanan darah tinggi sedikit lebih
sering terjadi pada pria daripada wanita) (Bell, et al. 2015).
2.3.4 Penyebab Hipertensi
Karena tekanan darah bergantung pada kecepatan denyut jantung, volume
sekuncup, dan TPR (Total Peripheral Resistance), peningkatan salah satu dari ketiga
variabel yang tidak dapat di kompensasi dapat menyebabkan hipertensi. Peningkatan
denyut jantung dapat terjadi akibat rangsangan saraf simpatis atau hormonal yang
abnormal pada nodus SA. Peningkatan denyut jantung yang kronis seringkali
menyertai kondisi hipertiroidisme. Akan tetapi, peningkatan denyut jantung biasanya
dikompensasi dengan penurunan volume sekuncup atau TPR, sehingga tidak
mengakibatkan hipertensi (Corwin, 2009 : 462).
24
2.3.5 Manifestasi Klinis Hipertensi
Hipertensi dikenal dengan sebutan “Silent Killer” karena hipertensi tidak
menunjukkan tanda dan gejala, dan banyak orang yang tidak mengetahui bahwa
mereka menderita penyakit ini. Bahkan ketika tekanan darah yang sangat tinggi,
sebagian besar orang tidak memiliki tanda-tanda atau gejala seperti sakit kepala,
muntah, pusing dan lebih sering mimisan (Bell, et al. 2013).
Menurut Palmer (2007) bila tekanan darah tidak terkontrol dan menjadi
sangat tinggi (keadaan ini disebut hipertensi berat atau hipertensi maligna) yang
diderita bertahun-tahun, maka mungkin akan timbul gejala seperti: (a) sakit kepala
saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah akibat peningkatan tekanan
darah intrakranium (b) penglihatan kabur akibat kerusakan hipertensif pada retina; (c)
cara berjalan yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat; (d) nokturia
yang disebabkan peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus; (e) edema
dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler.
2.3.6 Komplikasi Hipertensi
Menurut Corwin (2009) komplikasi yang diakibatkan oleh penyakit hipertensi
yaitu:
a. Stroke dapat terjadi akibat hemoragi tekanan darah di otak, atau akibat embolus
yang terlepas dari pembuluh selain otak yang terpajan tinggi. Stroke dapat terjadi
pada hipertensi kronis apabila arteri yang memperdarahi otak mengalami
hipertrofi dan penebalan, sehingga aliran darah ke area otak yang diperdarahi
kurang. Artero otak yang mengalami aterosklerosis dapat melemah sehingga
meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma.
25
b. Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang atreosklerotik tidak dapat
menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang
menghambat aliran darah melewati pembuluh darah. Pada hipertensi kronis dan
hipertrofi ventrikel, kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat
dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian
juga, hipertrofi ventrikel dapat menyebabkan perubahan waktu hantaran listrik
melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan
risiko pembentukan bekuan.
c. Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekana tinggi pada
kapiler glomerulus ginjal. Dengan rusaknya glomerulus, aliran darah ke unit
fungsional ginjal, yaitu nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi
hipoksisk dan kematian. Dengan rusaknya membran gromelurus, protein akan
keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang dan
menyebabkan edema, yang sering dijumpai pada hipertensi kronis.
d. Ensefalopati (kerusakan otak) dapat terjadi, terutama pada hipertensi maligna
(hipertensi yang meningkat cepat dan berbahaya). Tekanan yang sangat tinggi
pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong
cairan keruang intersisial di seluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron disekitar
kolaps dan terjadi koma serta kematian.
e. Kejang dapat terjadi pada wanita preeklamsi. Bayi yang lahir mungkin memiliki
berat lahir kecil masa kehamilan akibat perfusi placenta yang tidak adekuat,
kemudian dapat mengalami hipoksia dan asidosis jika ibu mengalami kejang
selama atau sebelum proses persalinan.
26
2.3.7 Penatalaksanaan Hipertensi
Menurut Palmer (2007) untuk mengobati hipertensi, dapat dilakukan dengan
menurunkan kecepatan denyut jantung, volume sekuncup, atau TPR. Intervensi
farmakologis dan non farmakologis dapat membantu individu mengurangi tekanan
darahnya. Lebih lanjut, Palmer (2007) menjelaskan beberapa intervensi yang dapat
digunakan untuk menangani hipertensi, yakni:
1. Pada sebagian orang, penurunan berat badan dapat mengurangi tekanan darah,
kemungkinan dapet mengurangi beban kerja jantung sehingga kecepatan denyut
jantung dan volume sekuncup juga berkurang.
2. Olahraga, terutama bila disertai penurunan berat badan dapat menurunkan
tekanan darah dengan menurunkan kecepatan denyut jantung istirahat dan
mungkin TPR. Olahraga meningkatkan kadar HDL, yang dapat mengurangi
terbentuknya aterosklerosis akibat hipertensi.
3. Teknik relaksasi dapat mengurangi denyut jantung dan TPR dengan cara
menghambat respon stres saraf simpatis.
4. Berhenti merokok penting untuk mengurangi efek jangka panjang hipertensi
karena asap rokok diketahui menurunkan aliran darah keberbagai organ dan
dapat meningkatkan kerja jantung.
5. Diuretik bekerja melalui berbagai mekanisme untuk mengurangi curah jantung
dengan mendorong ginjal meningkatkan ekskresi garam dan airnya. Sebagian
diuretik (tiazid) juga dapat menurunkan TPR.
6. Penyekat saluran kalsium menurunkan kontraksi otot polos jantung atau arteri
dengan menginterfensi influks kalsium yang dibutuhkan untuk kontraksi.
Sebagian penyekat saluran kalsium bersifat lebih spesifik untuk saluran lambat
kalsium otot jantung. Sebagian yang lain lebih spesifik untuk saluran kalsium otot
27
polos vaskular. Dengan demikian, berbagai penyakit kalsium memiliki
kemampuan yang berbeda-beda dalam menurunkan kecepatan denyut jantung,
volume sekuncup, dan TPR.
7. Penghambat enzim pengubah angiotensin II atau inhibitor ACE berfungsi untuk
menurunkan angiotensin II dengan menghambat enzim yang diperlukan untuk
mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Kondisi ini menurunkan tekanan
darah secara langsung dengan menurunkan TPR, dan secara tidak langsung
menurunkan sekresi aldosteron, yang akhirnya meningkatkan pengeluaran
natrium pada urin kemudian menurunkan volume plasma dan curah jantung.
Inhibitor ACE juga menurunkan tekanan darah dengan efek bradikinin yang
memanjang, yang normalnya memecah enzim. Inhibitor ACE
dikontraindikasikan untuk kehamilan.
8. Antagonis (penyekat) reseptor beta (β-blocker), terutama penyekat selektif, bekerja
pada reseptor beta di jantung untuk menurunkan kecepatan denyut dan curah
jantung.
9. Antagonis reseptor alfa (α-blocker) menghambat reseptor alfa di otot polos
vaskular yang secara normal berespon terhadap rangsangan simpatis dengan
rangsangan vasokonstriksi. Hal ini akan menurunkan TPR.
10. Vasodilator arteriol langsung dapat digunakan untuk menurunkan TPR.
Menurut JNC-8 (2014 dalam Bell, 2015) uji klinis membuktikan bahwa obat
antihipertensi harus diindikasikan kepada pasien yang berusia <60 tahun apabila
tekanan darah sistoliknya menunjukkan ≥140 mmHg dan tekanan diastolik
menunjukkan ≥90 mmHg meskipun menggunakan terapi non-farmakologi. Jika
pasien berumur 60 tahun atau lebih, terapi antihipertensi harus diindikasikan apabila
tekanan darah sistolik ≥150 mmHg dan tekanan darah diastoliknya ≥90 mmHg.
28
Semua pasien hipertensi harus diberikan pengetahuan tentang modifikasi gaya
hidup untuk menurunkan tekanan darahnya. Penelitian telah menunjukkan bahwa
masyarakat yang mengkonsumsi tinggi natrium (lebih dari 2,3 gram per hari) sebagian
besar merupakan pasien yang didiagnosis hipertensi. Pengkonsumsian sodium yang
tingi dapat meningkatkan volume di aliran darah sehingga dapat meningkatkan
tekanan darah yang memompa ke seluruh tubuh. AHA (American Heart Association)
merekomendasikan untuk membatasi penggunaan sodium kurang dari 1,5 gram/hari.
2.4 Konsep Keberhasilan Terapi Pengobatan
2.4.1 Definisi Keberhasilan Terapi Pengobatan
Menurut KBBI (2016) Terapi adalah usaha untuk memulihkan kesehatan
orang yang sedang sakit; pengobatan penyakit; perawatan penyakit, sehingga definisi
dari keberhasilan terapi pengobatan adalah keadaan dimana seseorang telah berhasil
dalam memulihkan kesehatannya melalui serangkaian pengobatan.
2.4.2 Keberhasilan Terapi Pengobatan Menurut JNC-8
Tekanan darah tinggi atau hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah yang
≥140/90 mmHg. Menurut JNC-8 yang telah diperbarui tahun 2014, disebutkan
bahwa pengobatan tekanan darah tinggi dikatakan berhasil jika: (a) Pada pasien
berusia < 60 tahun, memiliki tekanan darah <140/90 mmHg; (b) Pada pasien berusia
>60 tahun, memiliki tekanan darah <150/90 mmHg; (c) Pada pasien dengan
penyakit ginjal kronis, memiliki tekanan darah <140/90 mmHg; dan (d) Pada pasien
diabetes memiliki tekanan darah <140/90 mmHg. Keberhasilan terapi dalam
mengatasi hipertensi tidak hanya dengan terapi farmakologi, tetapi juga dengan terapi
29
nonfarmakologi salah satunya adalah membatasi penggunaan sodium sesuai dengan
rekomendasi AHA (American Heart Associatiion) yaitu kurang dari 1500 mg (1,5 gram)
per-hari, sehingga dapat menurunkan tekanan darah.
2.4.3 Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Terapi Pengobatan
Lynch (2012) mengemukakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi
keberhasilan dari suatu terapi, yaitu:
a. Kedekatan antara terapis dan individu
Kedekatan antara terapis dengan individu merupakan hal yang
penting untuk meraih kesuksesan di dalam terapi. Terapis harus mampu
menunjukkan beberapa karakteristik yang mampu meningkatkan raport
dalam terapi seperti tertarik pada masalah individu, tenang, hangat, dan penuh
penghargaan terhadap individu. Kedekatan antara terapis dan individu
biasanya dapat dibentuk dalam waktu yang cukup cepat yaitu 2-4 sesi atau
bahkan 10 menit saja, tergantung dari bagaimana pembawaan terapis saat
pertama kali bertemu dengan individu.
b. Motivasi subjek
Motivasi individu dalam mengikuti terapi adalah kunci utama yang
menentukan keberhasilan dari suatu terapi. Motivasi subjek dapat terlihat dari
kehadiran subjek dalam seluruh sesi terapi dan kemampuan subjek untuk
selalu bersikap kooperatif.
c. Kemampuan subjek mempelajari perilaku baru
Subjek yang berhasil meraih kesuksesan adalah subjek yang merasa
kondisinya lebih baik setelah mengikuti terapi. Hal ini ditunjukkan dengan
30
kesediaan dan kemampuan subjek untuk mempelajari perilaku baru seperti
meningkatnya rasa percaya diri, ataupun berkurangnya gejala-gejala yang
sebelumnya dimiliki.
2.4.4 Terapi Pengobatan Untuk Hipertensi
Menurut Palmer (2007) obat antihipertensi dapat dibedakan menjadi
beberapa kategori (kelas) berdasarkan perbedaan cara kerjanya dalam tubuh. Ada
beberapa obat yang diresepkan pada keadaan-keadaan khusus, namun kategori obat
utama yang sering digunakan adalah sebagai berikut:
1. Diuretik (misalnya Chlortalidobe [Hygroton®], bendroflumethiazide
[Aprinox®]), dapat menurunkan tekanan darah dengan bekerja pada ginjal.
Diuretik menyebabkan ginjal mengeluarkan kelebihan dalam darah melalui urin.
Hal ini mengurangi volume cairan dalam sirkulasi dan kemudian menurunkan
tekanan darah.
2. Alfa-bloker (misalnya doxazosin [Candura®], terazosin [Hytrin®]), menurunkan
tekanan darah dengan memblokade reseptor pada otot yang melapisi pembuluh
darah. Jika reseptor tersebut di blokade, pembuluh darah akan melebar
(berdilatasi) sehinga darah mengalir dengan lebih lancar dan tekanan darah
menurun.
3. Beta-bloker (misalnya atenolol [Tenormin®], bisoprolol [Concor®, Emcor®]),
menurunkan tekanan darah dengan memperlambat denyut dan mengurangi
kekuatan kontraksi jantung, sehingga tekanan yang disebabkan oleh pompa
jantung juga berkurang. Beta-bloker juga memperlebar (mendilatasi) pembuluh
31
darah dengan mempengaruhi hormon renin yang mempengaruhi resistensi
sistemik, sehingga jantung dapat bekerja lebih ringan.
4. Inhibitor ACE (angiotensin-Converting -Enzim) (Misalnya Captopril [Capoten®],
ramipril [Triatec®], perindopril [Coversyl®]), menurunkan tekanan darah dengan
memblokade hormon angiotensin II yang menyebabkan konstriksi pembulh
darah, dengan demikian obat ini dapat memperlebar pembuluh darah dan dapat
mengurangi tekanan darah.
5. Bloker reseptor angiotensin (angiotensin reseptor blocker, ARB) (misalnya losartan
[Cozaar®], irbesartan [Aprovel®]), bekerja dengan cara yang sama seperti
inhibitor ACE yaitu dengan memblokade efek konstriksi dari angiotensin II.
berbeda dengan inhibitor ACE yang memblokade pengikatan angiotensin ke
reseptor spesifiknya, bukan mengurangi produksi angiotensin. Oleh karena
angiotensin tidak dapat mengkontriksi pembuluh darah, maka pembuluh darah
akan melebar dan tekanan darah dalam sistem sirkulasi berkurang.
2.5 Hubungan Tingkat Kepatuhan dan Pengambilan Keputusan Etis
dengan Keberhasilan Terapi Pengobatan
Pada pasien hipertensi, kepatuhan terhadap rekomendasi pengobatan
memiliki dampak yang besar pada keberhasilan terapi pengobatan. Kepatuhan yang
tinggi, berkaitan dengan terkontrolnya tekanan darah dengan baik dan mengurangi
komplikasi hipertensi. Salah satu faktor yang mendasari tingkat kepatuhan dan
pengambilan keputusan etis pasien yaitu komunikasi yang efektif antara petugas
kesehatan dengan pasien. Dengan demikian, petugas kesehatan berperan penting
dalam peningkatan kepatuhan pengobatan yaitu dengan cara mempromosikan
32
keterlibatan pasien dalam pengambilan keputusan medis. Oleh karena pendekatan
berpusat pada pasien, maka petugas kesehatan juga harus mempertimbangkan
keyakinan budaya dan perilaku pasien. Misalnya budaya yang umum dimiliki oleh
banyak pasien adalah lebih menyukai obat herbal, maka petugas kesehatan harus
dapat meyakinkan pasien misalnya obat untuk diabates yaitu metformin berasal dari
kata lilac Perancis sehingga pasien dapat lebih menerima pengobatan yang akan
dijalainya (Brown, 2011).