BAB II TEORI RUJUKAN Pendahuluan · 2017. 10. 5. · TEORI RUJUKAN Pendahuluan Memperhatikan judul...

30
14 BAB II TEORI RUJUKAN Pendahuluan Memperhatikan judul tesis ini yaitu “Pendidikan Agama Kristen dalam Keluarga dengan Orang Tua Beda Agama di GKMI Salatiga”, maka ada beberapa unsur penting yang mendapatkan penekanan. Unsur-unsur yang dimaksud adalah Pendidikan Agama Kristen (PAK) dalam keluarga dan keluarga dengan orang tua beda agama. Oleh karena kedua unsur tersebut dalam konteks gereja yaitu GKMI Salatiga sebagai tempat penelitian, maka peneliti mengaitkannya dengan gereja. Dengan demikian sebagai landasan teori dalam tesis ini, peneliti memaparkan secara berturut-turut (1) Gereja dan relasinya dengan keluarga, (2) PAK dalam keluarga (3) Keluarga dengan orangtua beda agama, (4) Pendidikan Agama dalam keluarga beda agama. 2.1. Gereja dan relasinya dengan keluarga Gereja menurut kata aslinya ekklesia memiliki arti persekutuan orang- orang yang percaya kepada Yesus Kristus. Küng menjelaskan bahwa tidak ada gereja tanpa orang-orang percaya, atau dengan kata lain gereja ada karena adanya

Transcript of BAB II TEORI RUJUKAN Pendahuluan · 2017. 10. 5. · TEORI RUJUKAN Pendahuluan Memperhatikan judul...

  • 14

    BAB II

    TEORI RUJUKAN

    Pendahuluan

    Memperhatikan judul tesis ini yaitu “Pendidikan Agama Kristen dalam

    Keluarga dengan Orang Tua Beda Agama di GKMI Salatiga”, maka ada beberapa

    unsur penting yang mendapatkan penekanan. Unsur-unsur yang dimaksud adalah

    Pendidikan Agama Kristen (PAK) dalam keluarga dan keluarga dengan orang tua

    beda agama. Oleh karena kedua unsur tersebut dalam konteks gereja yaitu GKMI

    Salatiga sebagai tempat penelitian, maka peneliti mengaitkannya dengan gereja.

    Dengan demikian sebagai landasan teori dalam tesis ini, peneliti memaparkan

    secara berturut-turut (1) Gereja dan relasinya dengan keluarga, (2) PAK dalam

    keluarga (3) Keluarga dengan orangtua beda agama, (4) Pendidikan Agama dalam

    keluarga beda agama.

    2.1. Gereja dan relasinya dengan keluarga

    Gereja menurut kata aslinya ekklesia memiliki arti persekutuan orang-

    orang yang percaya kepada Yesus Kristus. Küng menjelaskan bahwa tidak ada

    gereja tanpa orang-orang percaya, atau dengan kata lain gereja ada karena adanya

  • 15

    orang-orang percaya.1 Dengan demikian gereja menjadi pusat iman dan

    pertumbuhan iman bagi orang-orang percaya yang ada di dalamnya.

    Dalam sejarah gereja, gereja telah ada dari dahulu hingga sekarang.

    Dijelaskan oleh Hadiwijono bahwa gereja lahir oleh karena adanya usaha dari

    orang-orang yang telah percaya menyampaikan Injil kepada orang-orang yang

    belum percaya.2 Sebagaimana disebutkan dalam “tridarma” gereja, meliputi

    koinonia (persekutuan), marturia (kesaksian), dan diakonia (pelayanan).3

    Koinonia atau persekutuan yang dimaksud adalah persekutuan orang-orang yang

    beriman kepada Allah, meliputi bersekutu dengan saudara seiman, bersekutu

    dengan umat beriman, bersekutu dengan semua orang dalam masyarakat dan

    bersekutu dengan alam. Marturia atau kesaksian, juga disebut mystagogia. 4

    Tugas tersebut adalah bina misteri iman dalam rangka menyiapkan diri untuk

    mengkomunikasikan iman. Dengan kata lain tugas gereja menghantar manusia

    untuk berjumpa dengan Allah, mengalami kasih Allah dan kemudian

    menyaksikannya kepada orang lain, sedangkan diakonia merupakan pelayanan

    gereja kepada sesama yang membutuhkan pertolongan, diakonia yang dimaksud

    meliputi diakonia karitatif (memberi bantuan secara insidental). Diakonia

    reformatif (memberi bantuan secara berkesinambungan yang mengarah pada

    1 Küng,Hans, The Church, Burns and Oates Limited, London, 1967, hal 3.

    2 Hadiwijono, H, Dr, Iman Kristen, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1986, hal.390.

    3 Singgih, Gerrit, Emanuel, Ph.D, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja, Menyongsong

    Abad ke-21, Yogyakarta, Kanisius, 1997, hal.26. 4 Tsalatsa, Yam’ah, dan, Patnaningsih, Agus, Sri, Pdt, dan, A. Van Kooij, Rijnardus, Dr, Prof,

    Menguak Fakta, Metana Karya Nyata, Sumbangan Teologi Praktis dalam Pencarian Model Pembangunan Jemaat Konstekstual, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2010, hal. 40.

  • 16

    perbaikan kehidupan orang yang dibantu), dan diakonia transformatif (bantuan

    yang mengarah pada perubahan struktural dalam masyarakat).

    Sehubungan dengan tugas marturia (kesaksian) yang di dalamnya

    melakukan pemberitaan Injil oleh gereja, maka gereja perlu memberdayakan

    setiap anggota untuk terlibat dalam pelaksanaannya. Dalam hal tersebut keluarga

    menjadi salah satu bagian utama dalam pemberitaan Injil yaitu dari orang tua

    (baca juga: orang dewasa) kepada anak-anak. Dalam upaya memperkenalkan Injil

    kepada anak-anak tersebut keluarga yang menjadi bagian dalam gereja

    melaksanakan tugas gereja.

    Pelaksanaan tugas pemberitaan Injil yang dilakukan oleh gereja dan

    keluarga bersifat saling mendukung. Seperti diungkapkan oleh Cooley bahwa

    gereja (kelompok keagamaan) adalah kelompok sekunder dalam proses sosial

    seseorang sedangkan keluarga adalah kelompok primer. Cooley menyebutkan

    dalam teorinya bahwa kelompok sosial terbagi menjadi dua, yaitu kelompok

    primer atau primary group dan kelompok sekunder atau secondary group.5

    Kelompok primer dicirikan adanya hubungan yang erat melalui seringnya anggota

    dalam kelompok ini bertatap muka dan bekerja sama. Ciri berikutnya adalah

    hubungan dalam kelompok primer berlangsung lama dan didasarkan atas

    kerukunan dan kasih antar anggotanya. Oleh karena itu kelompok primer menjadi

    dasar bentuk alami kehidupan sosial seseorang.6 Lebih lanjut Cooley memberikan

    5 Susanto, S, Astrid, Phil, Dr, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Binacipta, Bandung,

    1977, hal. 67. 6 Soemarjan, Selo,- Soemardi, Soelaeman, Setangkai Bunga Sosiologi, Fakulatas Ekonomi

    Universitas Indonesia, Djakarta, 1964, hal. 433.

  • 17

    contoh kelompok primer di antaranya keluarga dan tetangga. Seseorang memiliki

    kebiasaan perilaku bersumber dari proses sosialisasi dari keluarga dan tetangga,

    kebiasaan tersebut akan mempengaruhi pada waktu seseorang memiliki kelompok

    sosial lainnya.

    Adapun kelompok sekunder adalah kelompok yang anggotanya memiliki

    hubungan yang tidak terlalu erat, kontak secara langsung sedikit, terbatas dalam

    komunikasi dan cenderung resmi.7 Namun demikian, kelompok sekunder

    memiliki unsur obyektif dan lebih luas dibandingkan dengan kelompok primer.

    Contoh dari kelompok sekunder diantaranya negera dan kelompok-kelompok

    keagamaan. Memperhatikan sifat-sifat dari kelompok primer dan kelompok

    sekunder, kedua kelompok tersebut sejatinya saling mengisi dan dalam

    kenyataannya tidak dapat dipisahkan secara mutlak.8 Dari teori Cooley

    menunjukkan bahwa terkait dengan pemberitaan Injil kepada anak, gereja dalam

    hal ini sebagai kelompok sekunder dan keluarga sebagai kelompok primer.

    Namun demikian keduanya tidak dapat dipisahkan bahkan saling mengisi dan

    melengkapi satu dengan yang lain.

    Lebih jauh Westerhoff III menjelaskan analisisnya dari hasil penelitian

    kepada anak-anak dalam gereja dari keluarga yang berbeda-beda.9 Pertanyaan

    yang diajukan pada responden berhubungan dengan pemahaman anak tentang

    Tuhan dari pengalaman hidup mereka dari keluarga dan gereja. Ia memperoleh

    7 Susanto, S, Astrid, Phil, Dr, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Binacipta, Bandung, 1977,

    hal 67. 8 Soekanto, Soerjono, Sosiologi, Suatu Pengantar, CV. Rajawali, Jakarta, 1982, hal 128.

    9 Westerhoff III, H, John, and Gwen Kennedy Neville, Generation to Generation, Conversation on

    Religious Education and Culture, The Pilgrim Press, New York-Philadelphia, 1979, 109-118.

  • 18

    jawaban yang beragam dan semua jawaban dari responden sangat dipengaruhi

    pengalaman hidup mereka di keluarga dan gereja.

    Westerhoff III merumuskan pendekatan terkait dengan pendidikan iman

    bagi anak-anak seharusnya menggunakan keluarga dan gereja secara bersama-

    sama guna melakukan tugas tersebut. Hal itu disebabkan ia menyebutkan bahwa

    pendidikan iman tidak hanya persoalan ibadah di gereja melainkan cara pandang

    orang dewasa dan sistem nilai yang dilakukan dalam hidup sehari-hari. Orang tua

    menjadi sumber utama untuk melakukan affirmed (nilai-nilai apa yang

    diteguhkan) dan transmitted (pemahaman dan gaya hidup yang diturunkan),

    sedangkan gereja menjadi komunitas iman bagi keluarga untuk mensosialisasikan,

    mengevaluasi dan mereformasi pelayanan pendidikan iman dalam hidup dan

    tindakan bersama yang diteruskan oleh orang tua kepada anak-anak dalam

    keluarga.

    Dengan demikian gereja dan keluarga adalah dua institusi yang saling

    melengkapi dalam seluruh aspek spiritual seseorang. Oleh karena itu, keduanya

    bekerja sama dalam pelaksanaan PAK keluarga sebagaimana dipaparkan oleh

    Westerhoff III, sehingga anak-anak mendapatkan pengalaman yang lengkap

    dalam keimanan mereka.

    2.2. Gereja dan Relasinya dengan Lingkungan

    Keberadaan gereja tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Hal itu

    dikarenakan kelahiran gereja juga dari anggota-anggota masyarakat itu sendiri.

  • 19

    Mereka membentuk komunitas sesuai dengan agama yang dianutnya. Dalam hal

    inilah gereja memiliki tiga jenis hubungan.10

    Hubungan yang dimaksud adalah

    pertama, hubungan dengan orang-orang tak beriman dan atau di luar komunitas.

    Hubungan ini terkait dengan perutusan pemberitaan Injil kepada sesama.

    Hubungan kedua, hubungan dengan dalam komunitas itu sendiri, dalam hal ini

    untuk memperdalam iman dan kehidupan kerohaniannya. Hubungan yang ketiga,

    adalah hubungan dengan komunitas lain, komunitas lain yang dimaksud adalah

    gereja lain.

    Berdasarkan penjelasan di atas, maka hubungan gereja dengan masyarakat

    umumnya masuk dalam hubungan gereja dengan luar komunitas. Dalam

    hubungan tersebut meskipun dalam rangka pewartaan Injil, gereja dituntut

    memiliki pandangan yang terbuka mengenai hidup bermasyarakat dan tidak

    eksklusif. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia membuktikan bahwa orang-orang

    Kristen telah berperan besar dalam terbentuk negara dan masyarakat, namun

    terkait dengan peran gereja masih menjadi pergumulan hingga saat ini.11

    Oleh

    karena itu hubungan gereja dengan masyarakat terus diupayakan. Hal itu

    bertujuan agar gereja dapat berperan serta dalam masyarakat, khususnya masalah-

    masalah yang ada di dalam masyarakat, seperti ekonomi dan sosial. Sejauh ini

    dalam gereja telah mengembangkan pelayanan diakonia sebagai langkah kongkret

    untuk menjawab tantangan peran gereja dengan masyarakat di lingkungan sekitar.

    10

    Kiswara, c, sj, Gereja Memasyarakat, Belajar dari Kisah Para Rasul, Yogyakarta, Kanisius, 1988, hal 12-16. 11

    Wahono, Wismoady, S, Ph.D, Pro- Eksistensi, Kumpulan ulisan untuk Mengacu Kehidupan Bersama, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2001, hal. 55.

  • 20

    Pelayanan diakonia gereja seperti pemberian bantuan kebutuhan pokok kepada

    fakir miskin dan bantuan modal usaha.

    Salah satu persoalan terkait dengan gereja dan hubungannya dengan

    masyarakat di Indonesia adalah pluralitas. Hal itu dilatarbelakangi oleh konteks

    masyarakat Indonesia yang majemuk baik agama, budaya, suku, dan bahasa.

    Menghadapi prulalitas agama di masyarakat, gereja telah mengembangkan sebuah

    metode dalam rangka meningkatkan hubungan dan kerja sama dengan pemeluk

    agama lain. Metode tersebut adalah dialog, yaitu dialog antar umat beragama

    dalam masyarakat.12

    Dengan berdialog gereja dapat mengalami perjumpaan

    dengan agama lain di tengah masyarakat dan membangun hubungan yang

    bertanggunjawab.

    2.3. Pendidikan Agama Kristen dalam Keluarga

    Sebagai lembaga sosial terkecil merujuk pada pendapat Sudjana, keluarga

    memiliki enam fungsi yaitu fungsi biologis, edukatif, religius, protektif, sosialisasi

    anak, dan ekonomis.13

    Terkait dengan fungsi edukatif dan religius keluarga

    menyelenggarakan pendidikan agama. Miller menyebutkan pendidikan agama

    tidak hanya hal-hal yang berhubungan dengan ritual keagamaan terkait dengan

    kelahiran, ulangtahun, pernikahan dan kematian, lebih daripada itu agama

    menempatkan keluarga sebagai komunitas yang saling menopang di masa sulit

    12

    Knitter, F, Paul, Satu Bumi Banyak Agama, Dialog Multi-Agama dan Tanggunjawab Global, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2012, hal.143. 13

    Helmawati, Pendidikan Keluarga, Teoritis dan Praktis, PT.Remaja Rosdakarya, Bandung, 2014, hal.44.

  • 21

    dan menjadi sebuah sistem nilai yang memberi makna hidup.14

    Dengan demikian

    pendidikan agama menjadi hal utama dalam keluarga atau dengan kata lain

    keluarga menjadi tempat pertama bagi pendidikan agama, sehingga setiap anggota

    keluarga dapat memaknai agama bagi kehidupannya. Oleh karena itu, setiap

    keluarga mengupayakan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya.

    Dalam Pendidikan Agama Kristen (PAK) juga mencakup PAK keluarga.

    PAK keluarga yang dimaksud tidak hanya penerusan nilai-nilai, melainkan

    melibatkan pemikiran yang sadar, kritis, kreatif dan baru dalam PAK.15

    Oleh

    karena itu, orang tua sebagai pendidik memiliki tugas penting dalam PAK, terkait

    dengan hal itu orang tua perlu memiliki pemahaman PAK itu sendiri dan metode

    yang tepat guna melaksanakan PAK dalam keluarga. Untuk hal pertama tentang

    pemahaman PAK, penulis merujuk pada apa yang disampaikan oleh Groome 16

    bahwa PAK adalah sebagai berikut:

    1) Pendidikan bagi Kerajaan Allah. Kerajaan Allah yang dimaksud

    adalah simbol yang menggambarkan kehadiran Allah secara aktif yang

    berkuasa sepanjang sejarah. Dalam hal ini Kerajaan Allah yang

    dibicarakan ialah Kerajaan Allah masa lampau (yang telah hadir dalam

    Yesus Kristus), masa kini (ketika umat melaksakan kehendak Allah)

    dan masa yang akan datang (kesempurnaan yang akan dikerjakan

    14

    Elizabeth Miller dalam Lemanna, Ann, Mary, and Riedmann, Agnes, Marriages and Families, Making Choices in a Diverse Society, Thomson Higher Education, USA, 2009, hal. 70. 15

    Hadinoto, Atmadja, N.K, Dialog dan Edukasi, Keluarga Kristen dalam Masyarakat Indonesia, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000, hal. 272. 16

    Groome, H, Thomas, Pendidikan Agama Kristen- Berbagi Cerita dan Visi Kita, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2011, hal. 49-143.

  • 22

    Allah). Kerajaan Allah itu sendiri adalah pemberian Allah yang

    dipahami dalam iman Kristen hadir dalam Yesus Kristus yang disalib

    dan dibangkitkan. Orang-orang Kristen dipanggil melalui Yesus

    Kristus ke dalam hubungan dengan Allah dan satu sama lain sebagai

    anggota Kerajaan Allah. Dalam relasi itu kasih menjadi nilai dasarnya,

    selain itu ada pertobatan dari masing-masing individu yang membawa

    mereka hidup dalam nilai-nilai Kerajaan Allah (keadilan, kebenaran,

    damai dan kesetaraan) di tengah masyarakat. Terkait dengan hal itu

    komunitas Kristen (keluarga dan gereja) menjadi tanda kehadiran

    Kerajaan Allah dan mewartakannya.

    2) Pendidikan bagi Iman Kristen. Dalam hal ini PAK mempromosikan

    iman Kristen dan mensponsori orang-orang ke arah iman Kristen yang

    dewasa sebagai realitas hidup. Iman Kristen yang dimaksud adalah

    anugerah Allah yang menyentuh inti batiniah seseorang dan

    membimbingnya ke arah hubungan yang hidup dengan Allah di dalam

    Yesus Kristus. Dalam iman Kristen tersebut memiliki dimensi kognitif

    (kegiatan percaya), dimensi afektif (kegiatan mempercayakan),

    dimensi tingkah laku (kegiatan melakukan).

    3) Pendidikan bagi kebebasan manusia. Kebebasan yang dimaksud adalah

    kebebasan setiap individu dalam menentukan iman Kristen, artinya

    respon seseorang terhadap undangan Allah untuk memiliki iman

    Kristen yang hidup haruslah sebuah respon yang bebas. Namun

    demikian kebebasan tersebut memiliki konsekuensi yaitu

  • 23

    mengaktualisasikan diri sesuai yang diminta secara terus-menerus

    berkaitan dengan iman Kristen. Dalam iman Kristen itu sendiri

    kebebasan dipahami sebagai “kebebasan bagi” (Freedom for) dan

    “kebebasan dari” (Freedom from). “Kebebasan bagi” yang dimaksud

    adalah kebebasan untuk menjadi apa seseorang dipanggil, yaitu

    kebebasan menjadi satu dengan Allah yang diekspresikan dalam

    kebebasan bersekutu dengan orang lain dan kebebasan melayani orang

    lain. Sedangkan “kebebasan dari” adalah kebebasan dari dosa yang

    diperoleh dari Allah melalui penyelamatan di dalam Yesus Kristus.

    PAK yang mencakup tiga hal tersebut di atas, maka dalam pelaksanaan

    PAK keluarga orang tua tidak hanya mengajarkan secara lisan kepada anak

    tentang iman Kristen, tetapi juga memberikan contoh praktek iman dalam

    kegiatan sehari-hari di tengah keluarga.

    Terkait dengan pelaksanaan PAK keluarga, peneliti merujuk pada

    Hadinoto.17

    Ada dua metode yang menurutnya harus dilaksanakan secara

    bersamaan dalam pelaksanaan PAK keluarga. Kedua metode yang dimaksud

    adalah sosialisasi dan edukasi. Metode sosialisasi yang dimaksud adalah proses

    pendidikan yang berlaku secara wajar sehingga dengan sendirinya orang tua

    meneruskan pengetahuan, kebiasaan, nilai-nilai kepada anak-anak. Proses

    sosialisasi PAK dalam keluarga sebagai contoh; mengajak anak tiap hari Minggu

    ke gereja, mengajak anak berdoa dengan menutup mata dan melipat tangan.

    17

    Hadinoto, Admadja, Kristiana, Nieke, Dialog dan Edukasi, Keluarga Kristen dalam Masyarakat Indonesia, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000, hal. 182-191.

  • 24

    Dengan demikian anak secara wajar akan melakukan hal itu sebagai kebiasaan

    yang mereka terima dari orang tua. Hal itu seperti yang diungkapkan juga oleh

    Lickona dalam metodenya yaitu pemodelan (teladan).18

    Pemodelan yang yang

    dimaksud adalah orang tua tidak hanya membicarakan PAK dalam keluarga,

    tetapi lebih daripada itu mempraktekkan langsung dalam hidup sehari-hari.

    Dengan demikian anak melihat secara langsung dari contoh atau teladan. Pada

    akhirnya anak juga mempraktekkan hal tersebut secara sukarela dan sadar karena

    melihat bagaimana orang tuanya melakukan.

    Lebih lanjut Hadinoto menjelaskan metode sosialisasi dalam PAK

    keluarga yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

    1) Sebagai proses fungsional yaitu meneruskan nilai-nilai dan kebiasaa-

    kebiasaan dari orang tua kepada anak-anak, dari generasi kepada

    generasi seperti terjadi dalam masyarakat yang berlangsung dengan

    sendirinya, tanpa sadar dan sengaja.

    2) Sebagai upaya memberikan “identitas kelompok”. Identitas yang

    dimaksud adalah identitas anak sebagai anggota dari kelompok

    persekutuan Kristen.

    3) Sebagai “induksi alamiah iman Kristen” dari orang tua kepada anak-

    anak. Dalam hal ini Hadinoto merujuk pada teori Busnell yang

    menggambarkan keluarga sebagai kesatuan organik. Keluarga

    18

    Lickano, Thomas, dalam David Streight (editor), Parenting for Character, Five Experts, Five Practices, Council for Spiritual and Ethical Education (CSEE), Porland-Oregon, 2008, hal.35.

  • 25

    digambarkan seperti batang pohon mengalirkan makanan ke dahan dan

    daun, demikian iman Kristen yang dipercayai dan diamalkan orangtua

    mengalir ke dalam hidup anak-anak.

    4) Sebagai suatu interaksi sosial, yaitu interaksi diantara “anggota-

    anggota persekutuan orang percaya” dalam hal ini adalah keluarga.

    Dengan demikian dalam metode sosialisasi orang tua menjalankan

    fungsinya sebagaimana yang dilakukan oleh orang tua pada umumnya yaitu

    meneruskan nilai-nilai keagamaan sehingga anak menyadari identitasnya sebagai

    bagian dari kelompok persekutuan Kristen. Hal tersebut dilakukan oleh orang tua

    secara terus menerus melalui proses interaksi dalam keluarga.

    Berbeda dengan metode sosialisasi, metode edukasi lebih bersifat

    terencana dan disengaja yang mencakup tiga arti sebagai berikut:

    1) Emansipasi. Dalam PAK istilah “emansipasi” dipakai sebagai lawan

    dari sosialisasi. Jika proses sosialisasi membawa pemaksaan dan

    penyesuaian anak menurut model dari orang tua, maka emansipasi

    membawa pada subjektivitas dan kemandirian individu dari kelompok

    atau masyarakat. Dengan demikian PAK adalah seni dalam mencari

    perimbangan antara sosialisasi dan emansipasi.

    2) Intentional sosialisasi. Yaitu proses sosialisasi yang diusahakan secara

    sadar dan sengaja, dengan tidak hanya menggantungkan pada keadaan

    saja. Dalam hal ini Hadinoto merujuk pada yang dikemukakan oleh

    Schipper yaitu sosialisasi yang bermutu, di mana sosialisasi adalah

  • 26

    usaha sengaja, direncanakan dengan cermat melalui jalan menciptakan

    keluarga sebagai “persekutuan belajar-mengajar”, dan mempunyai

    tujuan yang jelas untuk meningkatkan segala sesuatu yang telah ada.

    3) Concientization. Hadinoto meminjam istilah dari Paulo Freire. Dalam

    metode ini PAK tidak hanya menuangkan ilmu pengetahuan

    keagamaan yang dipelajari, tetapi juga membuka kesadaran diri dan

    kesadaran akan lingkungan, sehingga anak mampu melihat hubungan

    yang satu dengan yang lain dan menganalisis situasi.

    Dengan demikian metode Edukasi berfungsi sebagai kritis, dialektis dari

    metode sosialisasi. Oleh karena itu jika metode tersebut digabungkan dalam PAK

    keluarga, maka keluarga mampu mengahsilkan sikap kritis dan terbuka terhadap

    iman Kristen yang diajarkan.

    Hadinoto juga menambahkan dari perspektif Alkitab terkait dengan PAK

    dalam keluarga yang dilakukan oleh orang tua. Menurutnya proses sosialisasi dan

    edukasi seperti dijelaskan di atas, dalam Alkitab dicerminkan melalui keluarga

    Yahudi (Perjanjian Lama) dan Yesus beserta murid-murid-Nya (Perjanjian Baru).

    Pendidikan Yahudi dimulai dari keluarga dengan tujuan melatih anak-anak

    melalui cerita-cerita tentang Allah dan sejarah keselamatan bangsa pilihan Allah

    sedemikian rupa, sehingga anak-anak Israel menghayati kisah tindakan

    penyelamatan Allah itu sebagai bagian kisah pengalaman mereka juga. Para orang

    tua melengkapi pengajarannya dengan Torah sebagai petunjuk yang harus mereka

    ajarkan kepada anak-anak. Dengan demikian pengajaran tidak hanya dalam

  • 27

    bentuk lisan, tetapi juga tulisan. Selain menerima pengajaran di rumah dari

    orangtuanya, anak-anak Yahudi juga dididik oleh orang tua melalui keikutsertaan

    mereka dalam ritual-ritual yang diselenggarakan.

    Dalam Perjanjian Baru, pendidikan berpusat pada diri dan pekerjaan

    Yesus. Yesus dipanggil sebagai guru, oleh karena itu pengajaran-Nya yang penuh

    kuasa yang disaksikan langsung oleh para imam dan ahli Taurat selain murid-

    muridNya. Dalam relasinya dengan murid-muridNya sangat jelas bahwa ia

    mengajar mereka. Yesus tidak bermaksud mendirikan sekolah ketika Ia bertindak

    sebagai guru terhadap para murid, melainkan hendak menjadikan murid-

    muridNya kelak menjadi rasul-rasul yang diutus ke dunia untuk memanggil

    orang-orang lain mengenal Yesus dan mengalami kuasa pembebasanNya. Oleh

    karena tujuan tersebut Yesus mengajar dan menjadi guru atas mereka.

    Dari kedua teologi tersebut Hadinoto hendak mengajak para pendidik

    dalam hal ini orang tua dalam pelaksanaan PAK keluarga bahwa mereka

    mendapat tugas yang sejak PL dan PB dikerjakan demi nilai-nilai kristiani yang

    diteruskan pada generasi selanjutnya. Oleh karena itu sekali lagi metode

    sosialisasi dan edukasi harus dikerjakan bersama agar terjadi proses belajar-

    mengajar iman Kristen dalam keluarga.

    Sebagaimana dalam setiap pendidikan memiliki sasaran didik, demikian

    pula PAK keluarga. Sasaran PAK keluarga adalah anak, oleh karena itu orang tua

    dalam pelaksanaan PAK dalam keluarga perlu memperhatikan perkembangan

    anak khususnya dalam perkembangan iman. Dalam hal ini penulis merujuk pada

  • 28

    teori yang dikemukakan oleh Fowler. Dalam teorinya Fowler menyebutkan ada

    tujuh tahapan iman dalam perkembangan iman seseorang.19

    Tahap-tahap yang

    dimaksud adalah sebagai berikut:

    1) Tahap pertama disebut kepercayaan Awal dan Elementer (Primal

    Faith) pada masa ini anak berusia 0-2 tahun. Tahap ini ditandai adanya

    cita rasa yang bersifat praverbal terhadap kondisi-kondisi eksistensi,

    yaitu rasa percaya dan setia yang elementer pada semua orang dan

    lingkungan yang secara langsung terlibat dalam pengasuhan, serta

    terdapat gambaran kenyataan yang paling akhir dan mendasar. Selama

    tahun pertama terjadi perkembangan keseluruhan interaksi timbal balik

    (mutual) yang lebih komplek dan mantap antara bayi dan pengasuh

    utama (ibu atau penggantinya). Berkat lingkungan pengasuhnya dan

    orang lain anak belajar membedakan kebaikan yang dirasakan sebagai

    hal yang dapat dipercaya, dan kejahatan yang harus dicurigai dan

    dihindari sebagai sumber bahaya dan ancaman. Berdasarkan perbedaan

    antara kedua perasaan dasar tersebut timbul “gambaran-gambaran

    elementer” (primal images) dan pola acuan imajinatif yang senantiasa

    memantau keseluruhan “diri-dunia” menurut sifat baik dan buruknya.

    Dalam konteks inilah primal faith dapat muncul yaitu seluruh rasa

    kepercayaan dan kesetiaan vital-somatik yang bersifat praverbal,

    prarefleksi dan prakonseptual terhadap lingkungan dan keseluruhan

    “diri-dunia”. Dengan demikian gambaran Allah atau simbol-simbol

    19

    Cremes, Agus, Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan menurut James W. Fowler, Sebuah Gagasan Baru dalam Psikoloi Agama, Yogyakarta, Kanisius, 1995, hal. 96-218.

  • 29

    kepercayaan diangkat dari seluruh gambaran bayi tentang ibu dan

    bapak, berdasarkan ingatan imajinatif akan irama kehadiran dan

    ketidakhadiran ibu, bapak, atau pengasuh lainnya yang saling

    bergantian.

    2) Tahap kedua disebut kepercayaan Intuitif-Proyektif (umur 2 sampai 6

    tahun). Pada tahap ini anak belajar menyusun dunia pengalaman dari

    sudut perasaan dan titik pandangannya berdasarkan daya imajinasi

    tanpa dihalangi oleh aturan-aturan pemikiran logis yang ketat. Oleh

    karena itu anak praoperasional mengikuti irama fantasinya sendiri.

    Dengan demikian anak belum mampu membedakan antara fakta dan

    fantasi, kenyataan dan mimpi. Cara pengertian perseptif-intutif yang

    diliputi oleh daya imajinatif, fantasi dan mimpi, sangat berpengaruh

    dan menciptakan suatu realitas psikis yang terasa lebih nyata dan hidup

    dibandingkan dengan kenyataan atau fakta-fakta yang objektif. Oleh

    karena itu simbol-simbol kepercayaan muncul dalam gambaran-

    gambaran dan tokoh-tokoh yang dilakonkan dalam cerita. Misalnya

    cerita khayal, cerita dongeng, mitos, upacara dan ibadat.

    3) Tahap ketiga adalah kepercayaan Mitis-Harfiah (umur 6-11 tahun).

    Berbagai pola sifat baru dapat ditemukan pada pola pengertian

    kepercayaan mitis-harfiah ini. Anak mulai berfikir secara “logis”, dan

    mengatur dunia dengan kategori-kategori baru, seperti kategori

    kausalitas, kategori ruang dan waktu. Anak menjadi sang empirikus

    kecil yang secara empiris dan logis berniat menyelidiki struktur dan

  • 30

    fungsi sebenarnya dari segala hal dan seluruh kenyataan. Anak

    mendasarkan pengetahuan kepercayaannya semata-mata pada autoritas

    orang tua, anggota keluarga, dan pribadi-pribadi lain yang dihargainya,

    serta pada autoritas yang berasal dari dunia pengalaman langsung dan

    dekat.

    4) Tahap keempat merupakan kepercayaan Sintetis-Konvensional (umur

    12 tahun sampai masa dewasa). Pada tahap ini muncul bermacam-

    macam kemampuan kognitif yang berpolakan operasi formal dini

    sehingga anak harus meninjau kembali pandangan hidupnya. Oleh

    karena itu fungsi dan tugas kepercayaan adalah mensintesiskan dan

    mengintegrasikan bermacam-macam bayangan diri serta

    menjadikannya satu kesatuan diri atau identitas diri yang koheren dan

    yang berfungsi baik. Dalam hal ini identitas diri dibangun berdasarkan

    rasa kesetiakawanan, kesetiaan, dan kepercayaan kepada orang lain.

    Pola kepercayaan ini juga disebut “konvensional”, sebab secara

    kognitif, afektif dan sosial, seorang remaja akan menyesuaikan diri

    (conform) dengan orang lain yang dianggap penting baginya dan

    dengan mayoritas orang. Bagi remaja, kriteria kebenaran adalah fakta

    bahwa segala nilai, norma, gambaran religius, dan keyakinan religius

    tersebut disahkan oleh konvensi dan konsensus umum antara para

    anggota kelompok yang bernilai baginya.

    5) Pada tahap kelima disebut kepercayaan Individuatif-Reflektif (umur 18

    tahun dan seterusnya). Pada tahap ini individu masuk dalam struktur

  • 31

    operasional formal secara penuh. Sebagai akibat dalam tahap ini,

    pertama, muncul suatu kesadaran jelas tentang identitas diri yang khas

    dan otonomi tersendiri, diperjuangkannya suatu jenis kemandirian

    baru, artinya terjadi kesadaran diri dan refleksi diri yang mendalam.

    Kedua, berkat daya operasional formal dan sikap refleksivitas dirinya

    yang tinggi, individu belajar mengajukan pertanyaan kritis mengenai

    seluruh nilai, pandangan hidup, keyakinan kepercayaan, dan komitmen

    yang tak diucapkan (tacit system) namun diterima sebagai yang benar

    dan sah secara konvensional-konsensus berdasarkan autoritas ekstern.

    Akibat ketiga, individu itu sendirilah yang harus memikul tugas

    menentukan pilihan dan menyingkirkan sekian banyak alternatif lain

    terkait komitmen dalam hidup dan kepercayaan yang terbuka baginya.

    Segala perubahan yang dijelaskan di atas mempunyai dampak terhadap

    perubahan gambaran tentang Allah. Allah tidak lagi dirasakan sebagai

    pribadi atau orang lain yang paling mengenal hati dan paling

    menentukan hidup seseorang, melainkan sebagai Pribadi yang dengan

    bebas dan dinamis mengundang setiap orang untuk bekerja sama

    dengan-Nya dan menjadi rekan kerja-Nya.

    6) Tahap enam adalah kepercayaan Konjungtif (umur minimal sekitar 35-

    40 tahun). Pada tahap ini timbul kesadaran baru dan pengakuan kritis

    terhadap prioritas, ketegangan, kedwiartian, dan multidimensionalitas

    yang dirasakan oleh pribadi dalam diri dan hidupnya. Kini kenyataan

    semakin komplek. Kebenaran tidak lagi dipandang sebagai hasil

  • 32

    penangkapan arti yang bersifat rasional, konseptual, dan jelas, tetapi

    merupakan hasil perpaduan dari berbagai pertentangan dan paradoks

    sehingga kompleksitas realitas sungguh diakui dan dihormati. Pada

    tahap ini diperjuangkan pula sifat terbuka terhadap kebenaran

    tradisional yang sebelumnya dianggap berlawanan dan asing terhadap

    kebenaran rasional karena merupakan hasil ciptaan pribadi. Oleh

    karena itu segala hal yang bersifat pertentangan dan kontradiksi, yang

    pada tahap sebelumnya dirasakan sebagai sungguh-sungguh terpisah

    dan tidak mungkin diperdamaikan, kini dipersatukan dalam suatu

    kesatuan utuh yang lebih tinggi dan melampaui segala pertentangan

    tanpa meniadakannya. Sehingga timbul keyakinan bahwa kebenaran

    hanya dapat ditemukan apabila dalam suatu dialog terbuka secara jujur

    kita mau melakukan konfrontasi dialektis antara visi, perspektif, atau

    pandangan yang diketengahkan oleh semua patner dialog. Dengan

    demikian sikap kritik diri dan transendensi diri harus selalu disertai

    kewaspadaan untuk mencegah berbagai bahaya fatal yang terdapat

    dalam setiap bentuk kepercayaan dan semua agama.

    7) Pada tahap tujuh disebut sebagai kepercayaan yang mengacu pada

    universalitas (sekitar 30 tahun dan seterusnya). Tahap kepercayaan ini

    ditunjukkan melalui tokoh-tokoh besar di sejarah agama. Pribadi

    semata-mata didorong oleh berbagai kabajikan ilahi, seperti cinta kasih

    inklusif dan keadilan universal serta penghargaan yang amat tinggi

    terhadap nilai hidup, kesatuan dan persatuan. Jika ada penderitaan

  • 33

    tidak bersifat balas dendam dan mental perombak tidak dipaksakan,

    tetapi nampak begitu spontan. Kini transendensi diri merupakan

    realisasi diri yang paling manusiawi, yaitu sebagai pembaktian diri

    tanpa syarat demi kepentingan orang lain dan keseluruhan kesatuan.

    Terdapat semangat cinta sejati, yang tidak mengingat kepentingan diri

    pribadi, mengorbankan seluruh tenaga dan hidupnya sendiri. Pribadi

    yang demikian oleh Fowler disebut sebagai universalizer yaitu gaya

    hidup yang jauh lebih manusiawi daripada semua orang lain. Hal itu

    didasarkan adanya rasa kesatuan dengan Allah dan sumber daya.

    Dengan demikian individu mampu merayakan dan mewujudkan

    dengan semangat nyata, dalam bentuk penghayatan religius dan mistik

    yang mendalam, keterlibatan etis yang inklusif, rasa tanggungjawab

    universal, serta keprihatianan kreatif dan konkret, yang semuanya

    menjadi batu bangunan bagi upaya mewujudkan “Kerajaan Allah”

    yang secara antisipatif ingin dikembangkan kini dan disini.

    Dari teori perkembangan iman sebagaimana dikemukakan oleh Fowler

    menuntut orang tua adalah orang yang telah mencapai tahapan dewasa sehingga

    mampu melaksanakan PAK keluarga sesuai dengan perkembangan anak. Dalam

    konteks keluarga dengan orang tua yang memiliki kepercayaan yang sama akan

    lebih terpahami, tetapi berbeda dengan keluarga beda agama. Sejauh ini belum

    ada peneliti belum menemukan adanya penelitian tentang PAK keluarga dalam

    keluarga dengan orangtua beda agama, namun demikian dalam penelitian lain

    pendidikan agama Islam dalam keluarga beda agama sudah banyak dilakukan.

  • 34

    Oleh karena itu peneliti dalam hal ini merujuk pada pendidikan multikultural yang

    akhir-akhir ini banyak dikembangkan oleh para ahli guna melengkapi PAK

    keluarga bagi keluarga dengan orang tua beda agama. Hal itu dikarenakan dalam

    keluarga tersebut orang tua memiliki agama yang berbeda sehingga terdapat lebih

    dari satu agama dalam satu keluarga. Pendidikan Multikultural pertama kali

    ditemukan oleh James Banks, Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan untuk

    people of color.20

    Artinya pendidikan multikultural hendak mengeksplorasi

    perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan). Berangkat dari temuan Banks

    para ahli pendidikan kemudian melakukan penelitian untuk mengembangkannya

    sesuai dengan konteks masing-masing. Dalam konteks pendidikan Kristen

    Kurniawati mendefinisikan pendidikan multikultural adalah suatu proses

    transformasi untuk membantu peserta didik agar cakap berpartisipasi penuh dalam

    kehidupan masyarakat sehubungan dengan kepelbagaian etnis, ras, budaya,

    agama, bahasa.21

    Lebih lanjut, secara khusus Pendidikan multikultural ini menurut

    Kurniawati dalam kaitannya dengan pendidikan Kristen memfokuskan pada

    kebutuhan akan perubahan dan transformasi sosial.22

    Adapun fungsi pendidikan

    multikultural adalah sebagai berikut:

    20

    Mahfud, Choirul, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006, hal.167. 21

    Kurniawati, Maryam, D.Min, Pendidikan Kristiani Multikultural, Tangerang, Bamboo Bridge Press, 2014, hal.100. 22

    Ibid, hal 102

  • 35

    1) Membantu peserta didik memperoleh pemahaman diri lebih luas

    dengan melihat dirinya dari sudut pandang suku, ras, agama dan

    budaya lain.

    2) Menolong peserta didik untuk mengenal, memahami dan menghargai

    suku, ras, agama, dan budaya di luar suku, ras, agama dan budayanya

    sendiri.

    3) Menolong peserta didik untuk mengembangkan kekhususannya dari

    suku, agama, ras dan budaya yang dimiliki.

    4) Menolong peserta didik untuk dapat berpartisipasi dengan penuh

    dalam kehidupan masyarakat yang multikultural.

    Dengan penggabungan antara PAK keluarga dan Pendidikan Multikultural

    maka PAK keluarga tidak hanya bertujuan untuk meneruskan nilai-nilai Kristen

    atau menjadikan anak beragama Kristen, tetapi anak mampu mengembangkan

    sikap toleransi terhadap anggota keluarga yang memiliki perbedaan agama. Dalam

    hal inilah taggungjawab pendidikan agama pada keluarga beda agama menjadi

    tanggungjawab bersama orang tua meskipun mereka berbeda agama.

    2.4. Keluarga dengan orang tua beda agama

    Dalam pelaksanaan PAK keluarga orang tua memiliki peranan penting.

    Oleh karena itu, dalam hal ini bagaimanakah agama ayah dan ibu dalam keluarga

    diperhatikan? Jika keluarga sebagai persekutuan iman Kristen sebagaimana yang

  • 36

    telah dijelaskan sebelumnya, hal itu merujuk pada orang tua yang sama-sama

    beragama Kristen. Dengan demikian orang tua yang memiliki agama berbeda

    tidak termasuk di dalamnya, tetapi karena salah satu dari orang tua (ayah atau ibu)

    beragama Kristen maka yang bersangkutan juga mempunyai tugas yang sama

    dalam pekabaran Injil melalui PAK keluarga. Oleh karena itu, perlu ada gambaran

    keluarga dengan orang tua beda agama.

    Penyebab yang paling umum adanya keluarga beda agama adalah

    perkawinan beda agama. Banyak penelitian bahwa terjadi peningkatan jumlah

    perkawinan beda agama di masyarakat Indonesia. Padahal Undang-Undang tidak

    mengaturnya. Bossard menjelaskan bahwa perkawinan beda agama disebabkan

    oleh karena beberapa faktor. Pertama adalah faktor sosial, semua agama memiliki

    aspek kehidupan sosial dan organisasi. Dalam hal ini keluarga dianggap sebagai

    lembaga yang memiliki otoritas dalam penyelenggaraan nilai-nilai keagamaan. Di

    India misalnya agama diidentifikasikan dengan sistem kasta dan melibatkan

    seluruh jajaran sosial. Sedangkan di Amerika tidak terlalu dipentingkan, hanya

    dikaitkan untuk menunjukkan latar belakang seseorang. Oleh karena itu, di

    Amerika jumlah keluarga dengan orang tua beda agama lebih banyak

    dibandingkan dengan di India. Di Indonesia sendiri dalam konteks negara yang

    multikulral, perkawinan beda agama cukup tinggi meskipun secara hukum belum

    diatur dalam Undang-undang.

    Faktor yang kedua, adalah sejarah. Perkawinan antar agama dalam sejarah

    telah dilarang seperti yang ditunjukkan dalam kitab Ulangan 1: 1-4, khususnya

  • 37

    ayat yang ke 3.23

    Perintah itu kemudian dilanjutkan oleh nabi-nabi dan gereja.

    Tetapi pada abad keduapuluh Draschler dalam penelitiannya di New York

    menyebutkan bahwa telah terjadi pernikahan beda agama yang cukup signifikan.

    Hal itu disebabkan oleh populasi penduduk Yahudi dan Kristen yang tidak

    berimbang. Oleh karena itu, terjadi sikap lunak baik dari pihak Kristen Katolik

    maupun Protestan meskipun tidak secara terbuka. Hal itu juga terjadi di Indonesia,

    di mana ada gereja-gereja yang mengijinkan anggotanya melakukan pernikahan

    beda agama.

    Dalam konteks Indonesia pasangan beda agama yang melakukan

    pernikahan dapat mengalami isolasi dari masyarakat. Terisolasinya pasangan beda

    agama terjadi karena beberapa alasan seperti yang diungkapkan oleh Ariarajah.24

    Ia menyebutkan ada tiga alasan pasangan semacam itu terisolasi. Pertama,

    khususnya dalam tradisi agama Kristen dan Islam, jika seseorang menikah dengan

    seorang beragama Buddha atau Hindu, maka dia dianggap “berkhianat” atau

    “kurang kristiani“ atau “kurang islami” dan dianggap “meninggalkan”

    persekutuan agamanya. Alasan kedua berhubungan dengan sikap pasangan itu

    sendiri. Setelah mendapatkan pertentangan dari orangtua dan saudara atas

    pernikahannya, maka setelah menikah mereka berusaha untuk mengatasi masalah

    23

    Ulangan 7: 1-4: ”Apabila TUHAN, Allahmu, telah membawa engkau ke dalam negeri, ke mana engkau masuk untuk mendudukinya, dan Ia telah menghalau banyak bangsa dari depanmu, yakni orang Het, orang Girgasi, orang Amori, orang Kanaan orang Feris, orang Hewi dan orang Yebus, tujuh bangsa, yang lebih banyak dan lebih kuat dari padamu, dan TUHAN Allahmu, telah menyerahkan mereka kepadamu, sehingga engkau memukul mereka kalah, maka haruslah engkau ........, janganlah engkau kawin mengawinkan dengan mereka: anakmu perempuan janganlah kauberikan kepada anak laki-laki mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan kauambil bagi anakmu laki-laki.....” 24

    Ariarajah, Wesley, S, Not Without My Neighbour, Tak Mungkin Tanpa Sesamaku, Jakarta BPK Gunung Mulia, 2008, hal. 94-95.

  • 38

    mereka sendiri tanpa melibatkan keluarga. Alasan ketiga para tokoh agama seperti

    Pendeta dalam agama Kristen segan untuk mengadakan kontak dengan pasangan

    yang menikah karena takut dituduh ikut campur, sehingga cenderung untuk

    menjaga jarak dengan keluarga dari pernikahan beda agama. Oleh karena itu,

    Ariarajah menegaskan keberhasilan keluarga beda agama bergantung sepenuhnya

    pada pasangan itu sendiri.25

    Keluarga dalam kondisi orang tua beda agama oleh beberapa penelitian

    menunjukkan adanya dampak terhadap anak-anak. Dampak-dampak tersebut

    diantaranya, persoalan interaksi dalam keluarga. Gambaran keluarga sebagai

    sebuah sistem yang didalamnya terdapat interaksi personal di antara anggota-

    anggotanya, sebagaimana ditunjukkan dalam gambar berikut 26

    :

    Gambar 1 : Interaksi dalam keluarga

    Interaksi yang kuat dalam keluarga memiliki pengaruh yang kuat dalam

    proses pendidikan dalam keluarga. Orang tua dalam hal ini ayah dan ibu memiliki

    25

    Ibid, hal.97. 26

    Havighurst, J, Robert, and Neugarten, L, Bernice, Society anda Education, ALLYN AND BACON, INC, Boston, 1959, hal. 82.

    Ayah

    Anak Anak

    Ibu

  • 39

    peran besar terjadinya interaksi yang kuat dalam keluarga, meskipun interaksi di

    antara mereka sendiri juga perlu diupayakan. Keberhasilan proses interaksi ayah

    dan ibu mempengaruhi interaksi mereka dengan anak-anak. Oleh karena itu jika

    terjadi persoalan pada interaksi orang tua berdampak pada anak, salah satu

    persoalannya adalah interaksi terkait adanya perbedaan agama. Dengan kata lain

    jika interaksi di antara orang tua tidak kuat karena agama yang berbeda, maka

    dapat melemahkan interaksi orang tua dengan anak yang secara langsung

    mempengaruhi perkembangan anak.27

    Dampak lain dari perbedaan agama di antara orang tua dalam keluarga

    adalah rendahnya kualitas agama anak-anak.28

    Hal itu disebabkan sikap orang tua

    yang kurang memberikan perhatian dan pembinaan agama terhadap anak-anak.

    Dampak berikutnya hasil penelitian menunjukkan juga terhadap pemilihan agama

    oleh anak di antara agama yang dianut oleh kedua orangtuanya, dalam hal ini

    pengaruh maternal lebih kuat sehingga anak lebih cenderung memilih agama

    ibu.29

    Pilihan anak tersebut karena ibu lebih memiliki hubungan yang dekat

    dengan anak atau karena waktu bersama dengan ibu lebih banyak dibandingkan

    dengan ayah.

    27

    Bossard, H.S, James, The Sociologi of Chid Development, Harper And Brothers, United State of America, 1954, hal. 390. 28

    Asrori, Mohib, Kritisi Jurnal Millah Keluarga Beda Agama Dalam Masyarakat Jawa Perkotaan, Sudi Kasus di Sinduadi Mlati Sleman Yogyakarta, www.gurutrenggalek.com/2010/01/kritisi-jurnal-millah-keluarga-beda.html?m=1, 29 Maret 2015. 29

    Asrori, Mohib, Kritisi Jurnal Millah Keluarga Beda Agama Dalam Masyarakat Jawa Perkotaan, Sudi Kasus di Sinduadi Mlati Sleman Yogyakarta, www.gurutrenggalek.com/2010/01/kritisi-jurnal-millah-keluarga-beda.html?m=1, 29 Maret 2015.

    http://www.gurutrenggalek.com/2010/01/kritisi-jurnal-millah-keluarga-beda.html?m=1http://www.gurutrenggalek.com/2010/01/kritisi-jurnal-millah-keluarga-beda.html?m=1http://www.gurutrenggalek.com/2010/01/kritisi-jurnal-millah-keluarga-beda.html?m=1http://www.gurutrenggalek.com/2010/01/kritisi-jurnal-millah-keluarga-beda.html?m=1

  • 40

    Dengan demikian keluarga dengan orangtua beda agama yang disebabkan

    oleh pernikahan beda agama dapat membawa dampak terhadap anak. Oleh karena

    itu orang tua dalam keluarga beda agama perlu memperhatikan dampak tersebut

    baik sebelum maupun setelah menikah.

    2.5. Pendidikan Agama dalam keluarga beda agama

    Pendidikan dalam keluarga tidak dapat dilepakan dari pendidikan agama

    karena keluarga juga memiliki fungsi religius. Dengan pendidikan agama yang

    dilaksanakan oleh keluarga Helmawati mengungkapkan bahwa agama selain

    dapat menghasilkan anak pada kedewasaan dalam menerapkan norma-norma

    agama dalam hidup sehari-hari, agama juga dapat membantu memecahkan

    persoalan-persoalan yang tidak terjawab oleh manusia itu sendiri.30

    Dengan

    demikian pendidikan agama dalam keluarga mengikat seluruh anggota keluarga,

    mereka malaksanakan norma-norma agama bersama dan menggunakan norma

    tersebut dalam mengatasi persoalan yang mereka hadapi dalam keluarga. Dalam

    hal tersebut orang tua sebagai orang lebih dewasa menjadi sumber pengajaran

    agama bagi anak-anak. Hal ini berlaku bagi setiap keluarga termasuk keluarga

    beda agama. Meskipun orang tua beda agama yang disebabkan oleh perkawinan

    beda agama, mereka tetap memiliki tanggungjawab dalam pendidikan agama.

    30

    Helmawati, Pendidikan Keluarga, Teoritis dan Praktis, PT.Remaja Rosdakarya, Bandung, 2014, hal.45.

  • 41

    Pendidikan agama dalam keluarga beda agama menurut penelitian

    Mustofiyah terdapat tiga variasi berdasarkan interaksi yang terjadi pada orang tua

    yang berbeda agama.31

    Tiga variasi tersebut, pertama, pasangan suami-istri kurang

    kuat dalam keagamaan. Bila hal itu yang terjadi maka pendidikan agama pada

    anak lebih ditentukan oleh lingkungan. Dalam hal ini lingkungan yang dimaksud

    adalah keluarga besar seperti kakek-nenek atau saudara dan masyarakat yang ada

    di sekitar keluarga. Jika lingkungan mayoritas Islam maka anak akan cenderung

    beragama Islam dan pendapatkan pendidikan agama dari lingkungan, demikian

    pula jika lingkungan mayoritas beragama Kristen dan sebagainya. Variasi kedua,

    salah satu pasangan lebih kuat dalam beragama. Maka pendidikan agama lebih

    banyak dilakukan oleh pasangan yang kuat agamanya. Dalam hal ini dari hasil

    penelitian ibu lebih banyak dibandingan dengan ayah. Variasi yang ketiga,

    pasangan sama-sama kuat beragama. Jika dalam keluarga beda agama terjadi

    demikian maka pendidikan agama keluarga di dasarkan atas “perjanjian” yang

    disepakati bersama oleh pasangan. Dalam keluarga yang demikian kemungkinan

    besar anak memiliki agama yang berbeda satu dengan yang lain karena

    dipengaruhi oleh perbedaan agama orang tua dan pengaruh yang kuat dari masing-

    masing orang tua.

    Dalam keluarga beda agama anak-anak cenderung mengikuti salah satu

    agama orang tuannya, tetapi setelah dewasa sangat dimungkinkan perubahan

    agama. Hal tersebut karena anak mendapatkan pendidikan dan pengaruh dari

    masing-masing orang tua baik yang dalam relasi orang tua satu kuat dan satu

    31

    Mustadhoui.wordpress.com/pendidikan-agama-pada-anak-pasangan-orang-tua-beda-agama. 2 April 2015.

  • 42

    lemah dalam hal agama, atau relasi yang kedua orang tua sama-sama kuat

    agamanya masing-masing. Dengan demikian perubahan agama lebih besar terjadi

    dalam keluarga beda agama dibandingan dengan keluarga yang memeluk satu

    agama.

    2.6 Kesimpulan

    Pendidikan Agama Kristen (PAK) tidak dapat dilepaskan dari gereja. Hal

    tersebut disebabkan adanya hubungan erat antara gereja sebagai persekutuan

    orang-orang percaya dan keluarga menjadi bagian di dalamnya. Keduanya juga

    menjadi sumber PAK keluarga yang saling mengisi dan melengkapi.

    Pengertian PAK mencakup seluruh proses pendidikan yang dilaksanakan

    secara terencana dari orang tua tentang nilai-nilai Kerajaan Allah (kasih,

    kebenaran, damai dan kesetaraan), iman Kristen, dan kebebasan hidup beriman.

    Dalam pelaksanaan PAK orang tua dapat menggunakan dua metode sekaligus

    yaitu metode sosialisasi dan edukasi sesuai dengan perkembangan kepercayaan

    anak. Dalam konteks masyarakat majemuk termasuk dalam keluarga, maka PAK

    dilengkapi dengan Pendidikan Multikultural. Dengan demikian PAK keluarga

    tidak hanya meneruskan nilai-nilai Kristen sehingga anak menjadi seorang

    Kristen, tetapi juga mengembangkan sikap toleransi terhadap anggota keluarga

    yang beragama lain.

    Pendidikan agama dalam keluarga beda agama sangat bergantung pada

    relasi dari orang tua. Jika orang tua dalam relasi sama-sama lemah dalam agama

  • 43

    maka pendidikan agama anak lebih ditentukan oleh lingkungan. Apabila orang tua

    pada relasi satu lemah dan satu kuat dalam agama, maka yang kuat akan

    menentukan pendidikan agama pada anak. Sedangkan apabila orang tua sama-

    sama kuat dalam agamanya maka pendidikan agama anak dilaksanakan

    berdasarkan perjanjian dari orang tua. Oleh karena itu dalam keluarga beda agama

    sangat dimungkinkan terjadinya perubahan agama pada anak-anak sampai

    dewasa.