BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

35
1 BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1. Definisi Budaya Organisasi Budaya organisasi telah banyak dipelajari dan oleh karena itu ada beberapa pengertian tentang apa sebenarnya budaya organisasi itu. Pengertian yang umum digunakan adalah pengertian budaya organisasi yang dibuat oleh Schein (1992) yang memahami budaya organisasi sebagai pola asumsi-asumsi dasar yang dibuat oleh sebuah kelompok berdasarkan pengalaman, yang kemudian membentuk nilai dan perilaku. Nilai dan perilaku ini tidak hanya mengendalikan perilaku antara anggota dalam organisasi di dalam organisasi namun juga mengendalikan interaksi dengan pihak di luar organisasi seperti supplier, pelanggan, dll (Jones, 2004). Karena budaya organisasi dibentuk oleh anggota organisasi berdasarkan pengalaman, maka budaya satu organisasi berbeda dengan budaya organisasi lain. Menurut Arnold (2005:625) budaya organisasi merupakan kombinasi norma, kepercayaan, prinsip dan perilaku yang menjadi karakter sebuah organisasi yang membedakan dengan organisasi lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah asumsi dasar, nilai, norma dan perilaku yang mengendalikan interaksi anggota organisasi dan membentuk karakter organisasi. Budaya bukan hanya membentuk perilaku anggota dan karakter organisasi, namun memiliki pengaruh yang lebih luas pada level kinerja organisasi. Menurut Smircich (1983) budaya memiliki pengaruh terhadap efektivitas organisasi. Selain efektivitas, menurut Gibson (2003) budaya organisasi dapat menciptakan stabilitas yang pada akhirnya berpengaruh pada menarik SDM yang berkualitas. Pengaruh budaya pada kinerja organisasi ini disebabkan karena anggota organisasi adalah unsur yang menjalankan organisasi, maka perilaku yang terbentuk dari budaya akan mempengaruhi cara kerja anggota sehingga mempengaruhi hasil kerja. Nilai dan norma dalam organisasi adalah dua hal yang kuat membentuk budaya organisasi. Menurut Gibson (2003) semakin anggota organisasi menganut nilai yang sama, semakin kuat budaya organisasi. Jones (2004) membedakan antara nilai dan norma dalam budaya. Menurutnya nilai organisasi adalah standar umum atau prinsip-prinsip yang menentukan perilaku, kejadian, situasi atau hasil mana yang diinginkan dan yang tidak diinginkan, yang tertuang dalam norma, aturan, SOP, tujuan. Sedangkan norma adalah standar atau gaya berperilaku yang diterima oleh semua orang dalam sebuah kelompok, atau yang khas dari sekelompok orang. Lebih lanjut lagi menurut Jones nilai yang paling kuat bukanlah dalam bentuk

Transcript of BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

Page 1: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

1

BAB II

TELAAH PUSTAKA

2.1. Budaya Organisasi

2.1.1. Definisi Budaya Organisasi

Budaya organisasi telah banyak dipelajari dan oleh karena itu ada beberapa

pengertian tentang apa sebenarnya budaya organisasi itu. Pengertian yang umum

digunakan adalah pengertian budaya organisasi yang dibuat oleh Schein (1992) yang

memahami budaya organisasi sebagai pola asumsi-asumsi dasar yang dibuat oleh

sebuah kelompok berdasarkan pengalaman, yang kemudian membentuk nilai dan

perilaku. Nilai dan perilaku ini tidak hanya mengendalikan perilaku antara anggota

dalam organisasi di dalam organisasi namun juga mengendalikan interaksi dengan

pihak di luar organisasi seperti supplier, pelanggan, dll (Jones, 2004). Karena

budaya organisasi dibentuk oleh anggota organisasi berdasarkan pengalaman, maka

budaya satu organisasi berbeda dengan budaya organisasi lain. Menurut Arnold

(2005:625) budaya organisasi merupakan kombinasi norma, kepercayaan, prinsip

dan perilaku yang menjadi karakter sebuah organisasi yang membedakan dengan

organisasi lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi

adalah asumsi dasar, nilai, norma dan perilaku yang mengendalikan interaksi

anggota organisasi dan membentuk karakter organisasi.

Budaya bukan hanya membentuk perilaku anggota dan karakter organisasi,

namun memiliki pengaruh yang lebih luas pada level kinerja organisasi. Menurut

Smircich (1983) budaya memiliki pengaruh terhadap efektivitas organisasi. Selain

efektivitas, menurut Gibson (2003) budaya organisasi dapat menciptakan stabilitas

yang pada akhirnya berpengaruh pada menarik SDM yang berkualitas. Pengaruh

budaya pada kinerja organisasi ini disebabkan karena anggota organisasi adalah

unsur yang menjalankan organisasi, maka perilaku yang terbentuk dari budaya akan

mempengaruhi cara kerja anggota sehingga mempengaruhi hasil kerja.

Nilai dan norma dalam organisasi adalah dua hal yang kuat membentuk

budaya organisasi. Menurut Gibson (2003) semakin anggota organisasi menganut

nilai yang sama, semakin kuat budaya organisasi. Jones (2004) membedakan antara

nilai dan norma dalam budaya. Menurutnya nilai organisasi adalah standar umum

atau prinsip-prinsip yang menentukan perilaku, kejadian, situasi atau hasil mana

yang diinginkan dan yang tidak diinginkan, yang tertuang dalam norma, aturan,

SOP, tujuan. Sedangkan norma adalah standar atau gaya berperilaku yang diterima

oleh semua orang dalam sebuah kelompok, atau yang khas dari sekelompok orang.

Lebih lanjut lagi menurut Jones nilai yang paling kuat bukanlah dalam bentuk

Page 2: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

2

tertulis melainkan dalam norma, kepercayaan, asumsi, cara berpikir dan bertindak

yang dianut secara bersama-sama. Sama seperti Rokeach (1973), Jones juga

membedakan dua macam nilai yakni Nilai Terminal (Terminal Value) dan Nilai

Instrumental (Instrumental Value). Rokeach membedakan nilai dalam konteks nilai

pribadi misalnya cinta, kebahagiaan, dll, sedangkan Jones membedakan dalam

konteks organisasi. Menurut Jones (2004) nilai terminal adalah keadaan atau hasil

yang ingin dicapai misalnya keunggulan, profitabilitas, daya inovasi, dll. Sedangkan

nilai instrumental adalah pola perilaku yang diharapkan untuk ada dalam organisasi

misalnya bekerja keras, jujur, mengambil resiko, dll. Jika dilihat, nilai terminal dan

instrumental saling berhubungan dimana nilai terminal bisa mempengaruhi nilai

instrumental yang terbentuk dan sebaliknya nilai instrumental mendukung

tercapainya nilai terminal.

Sumber: Jones (2004)

Gambar 2.1 Nilai Akhir dan Nilai Instrumental dalam Budaya Organisasi

2.1.2. Pembentukan dan Penyebaran Budaya Organisasi

Menurut Jones (2004) budaya organisasi terbentuk karena interaksi empat

faktor yaitu karakter anggota organisasi, etika dalam organisasi, hak kepemilikan

(property right) dan struktur organisasi. Karakter anggota organisasi diawali dan

sangat dipengaruhi oleh nilai dan kepercayaan pendiri organisasi. Pendiri organisasi

kemudian merekrut anggota-anggota awal organisasi yang akhirnya terpengaruh

langsung dengan nilai dan kepercayaan pribadi pendiri. Kemudian seiring

Organizational Values

Terminal Values

Instrumental Values

Desired end states of

outcomes (e.g. high

quality; excellence)

Desired modes of

behaviour (e.g. being

helpful; working hard)

Specific norms, rules, SOPs (e.g.

being courteous to coworkers,

tidying up work areas)

Page 3: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

3

bertambahnya anggota nilai inipun disalurkan ke anggota yang lain. Selain itu, nilai

juga terbentuk saat anggota organisasi berusaha beradaptasi dengan lingkungan luar

dan berusaha membentuk integrasi internal Schein (1985). Nilai-nilai inilah yang

membentuk perilaku anggota yang kemudian menjadi karakter organisasi. Faktor

yang kedua yakni etika dalam organisasi. Jones (2004) mengartikan etika organisasi

sebagai nilai moral, kepercayaan, dan aturan yang menentukan cara yang paling

tepat untuk anggota organisasi bersikap satu sama lain. Etika ini tidak hanya timbul

secara perlahan dan alami berdasarkan nilai yang dipegang bersama, namun

manajemen puncak juga bisa secara sengaja mengembangkan nilai budaya untuk

mengendalikan perilaku anggota organisasi. Faktor ketiga adalah hak kepemilikan

(property rights) yang merupakan hak yang diberikan organisasi terhadap

anggotanya untuk menerima dan menggunakan sumber daya organisasi (Jones,

2004). Pemberian hak ini berdampak pada nilai yang membentuk perilaku karyawan

dan memotivasi anggota organisasi (Jones, 1983). Semakin besar hak yang diberikan

semakin besar komitmen dan kesetiaan anggota terhadap organisasi. Faktor yang

terakhir adalah struktur organisasi yang merupakan sistem resmi tugas dan

hubungan otoritas yang dibuat organisasi untuk mengontrol aktivitas (Jones, 2004).

Keempat faktor ini secara bersama-sama membentuk budaya dalam organisasi.

Setelah budaya terbentuk, budaya kemudian disebarkan ke anggota

organisasi. Menurut Jones (2004) budaya disebarkan secara formal dan informal.

Salah satu penyebaran secara formal adalah melalui sosialisasi dimana anggota

mempelajari dan menginternalisasi nilai dan norma organisasi. Proses penyebaran

budaya yang bersifat informal adalah melalui kisah, perayaan dan bahasa.

Organisasi membuat perayaan untuk menyampaikan nilai dan norma organisasi.

Trica dan Beyer (1993) mengemukakan tiga tipe perayaan dalam organisasi. 1) Rites

of passage yang menandakan pada saat karyawan baru masuk, pada saat karyawan

dipromosikan dan pada saat karyawan berhenti bekerja. 2) Rites of integration

seperti misalnya pengumuman tentang kesuksesan yang diraih perusahaan, atau

kegiatan lain yang mempererat hubungan antar anggota misalnya pesta kantor. 3)

Rites of enhancement yakni pada saat organisasi mengadakan acara pemberian

penghargaan yang mengakui dan memberikan penghargaan terhadap kontribusi

karyawan. Kisah dalam organisasi juga bisa menjadi media menyebarkan budaya,

misalnya kisah tentang karyawan berprestasi mengindikasikan nilai dan norma yang

diharapkan organisasi. Sedangkan bahasa sebagai media lainnya dalam menyebar

budaya tidak hanya terbatas pada bahasa lisan tetapi bisa juga melalui cara

berpakaian dan desain kantor. Bahasa verbal sebagai media menyebar budaya

misalnya bahasa teknis yang digunakan dalam perusahaan yang bergerak dibidang

teknik. Semua proses ini menjadi sarana organisasi mengkomunikasikan nilai,

perilaku dan norma yang dipegang oleh organisasi dan dengan demikian diharapkan

oleh organisasi untuk dipegang dan dilakukan oleh anggotanya.

Page 4: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

4

2.1.3. Mengelola Budaya Organisasi

Budaya organisasi bisa dikelola dengan memperhatikan empat faktor

pembentuknya (Jones, 2004). Budaya organisasi bisa diubah dengan mengubah

struktur organisasi, hak kepemilikan, atau dengan mengubah anggota organisasi

khususnya manajemen puncak. Meskipun budaya bisa diubah, Menurut Jones

(2004) norma dan nilai biasanya susah untuk berubah. Selain mengubah budaya

organisasi juga dapat mempertahankan budayanya agar tidak berubah apalagi

menurunkan efektivitas organisasi. Menurut Jones (2004) salah satu cara untuk

mempertahankan adalah manajemen puncak mendesain struktur organisasi yang bisa

mengontrol masalah yang terjadi ketika organisasi menjadi lebih besar dan

kompleks.

2.2. Budaya Engineering Centric

Budaya engineering centric berakar dari budaya engineering yang adalah

sebuah budaya pekerjaan (occupational culture). Budaya pekerjaan adalah budaya

yang terbentuk oleh sekelompok orang yang memiliki identitas profesi atau

pekerjaan yang sama, misalnya engineer (Van Maanen dan Barley, 1984). Nilai

budaya engineering sendiri sudah tertanam pada para engineer sebelum mereka

masuk dalam lingkungan kerja profesional, yakni pada saat mereka menjalani

pendidikan untuk menjadi engineer. Selama masa pendidikan mereka didoktrin

tentang bagaimana cara bekerja dan berpikir sebagai seorang engineer (Bucciarelli

dan Kuhn 1997). Dalam bukunya Four cultures of education: expert, engineer,

prophet, communicator, Walter Leirman menggambarkan budaya engineering dalam

pendidikan sebagai berikut:

In the engineering culture the mission of education is to seek to

produce an efficient society with skilled citizens capable of managing

the practical needs of society – Sparta rather than Athens. Learning-

by-doing in the site of knowledge application is highly valued.

Engineering education cultures are characterised by clear economic

and societal objectives, medium and long-term development plans,

well-resourced training strategies, reviews and evaluations. The

educator’s role is largely as a manager of education systems that

encourage practical application and problem solving. The learner is

encouraged to be autonomous, goal-oriented and actively involved in

the learning process. The engineering culture is characterised by

detailed planning and is generally pedagogically innovative.

Leirman (1994) menggambarkan budaya pendidikan engineering sangat

menghargai proses belajar dengan melakukan (learning-by-doing), memiliki

perencanaan yang rinci dan inovatif secara pedagogis, peserta didik dalam budaya

Page 5: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

5

pendidikan ini didorong untuk bisa mandiri, berorientasi pada hasil, terlibat aktif

dalam proses belajar dan melakukan problem solving. Setelah menjalani pendidikan

dan kemudian masuk dalam dunia pekerjaan profesional sebagai engineer, nilai-nilai

budaya ini terbawa dan membentuk perilaku-perilaku khas engineer. Ketika

engineering bertemu, berinteraksi dan bekerjasama dengan sesama rekan engineer

dalam lingkungan kerja, nilai dan perilaku engineering ini semakin kuat dan

membentuk budaya pekerjaan (occupational culture).

Pilotte (2013) melakukan penelitian dengan melibatkan sekitar 300 engineer

untuk mempelajari budaya engineering dari sisi praktik atau perilaku menggunakan

Enam Dimensi Budaya yang dirumuskan oleh Hofstede yakni Proses versus Hasil

(PVR), Berorientasi pada Karyawan versus pada pekerjaan (EVJ), Berorientasi

Parokial (organisasi) versus Profesional (PVP), Terbuka versus Tertutup (OVC),

Terkontrol secara Longgar versus Ketat (LVT), dan Normatif versus Pragmatis

(NVP). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa praktik atau perilaku dalam budaya

engineering adalah 1) lebih banyak berorientasi pada hasil daripada proses, 2)

sedikit lebih banyak berorientasi pada karyawan daripada pekerjaan, 3) sedikit lebih

profesional daripada parokial, 4) lebih terbuka daripada tertutup, 5) agak lebih

terkontrol ketat daripada longgar, dan 6) hampir seimbang sempurna antara normatif

dan pragmatis. Lebih banyak berorientasi pada hasil berarti budaya engineering

lebih berorientasi pada goal, lebih mengambil resiko, pekerjaan yang berubah-ubah,

dan input pribadi yang tinggi. Sedikit lebih banyak berorientasi pada karyawan

daripada pekerjaan berarti sedikit lebih peduli pada karyawan melampaui batasan

pekerjaan, berarti karyawan bukan hanya sekedar sumber daya perusahaan saja.

Sedikit lebih profesional daripada parokial berarti kehidupan pribadi dan kehidupan

bisnis terpisah, kompetensi tugas itu penting, orientasi pribadi jangka panjang. Lebih

terbuka daripada tertutup berarti terbuka pada pendatang atau anggota baru,

siapapun bisa cocok, karyawan baru hanya membutuhkan beberapa hari untuk

menyesuaikan atau melebur. Agak lebih terkontrol ketat daripada longgar agak lebih

berorientasi pada biaya, rapat tepat waktu, sedikit candaan tentang

perusahaan/kelompok atau pekerjaan. Hampir seimbang sempurna antara normatif

dan pragmatis berarti ada keseimbangan antara menaati aturan dengan berorientasi

pada pelanggan, seimbang antara menaati prosedur dan mencapai hasil, seimbang

antara pandangan yang dogmatis dan pragmatis tentang etika.

Jika penelitian yang dilakukan oleh Pilotte (2013) menggunakan dimensi

budaya Hofstede, studi yang dilakukan oleh Royal Academy of Engineering (RAE)

pada tahun 2017 meneliti tentang budaya engineering dari sudah pandang para

engineer tentang nilai dan perilaku dalam budaya engineering. Lebih dari 7000

engineer menjawab pertanyaan tentang pengalaman mereka akan budaya

engineering. Penelitian ini menemukan bahwa budaya engineering terdiri 1)

pemecahan masalah (problem solving) dimana budaya engineering diarahkan untuk

memahami masalah dan mengeksplorasi solusi; 2) sadar keselamatan (safety-

conscious) yang artinya budaya engineering memprioritaskan keselamatan dimana

produk yang diciptakan aman bagi pengguna; 3) bangga (proud) dimana engineer

Page 6: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

6

mencintai pekerjaan mereka, bangga dengan yang mereka kerjakan baik secara

individu maupun bersama-sama; 4) setia (loyal) dimana engineer berkomitmen pada

engineering dan pada profesi sebagai engineer; 5) berorientasi pada tim (team

oriented) dimana hubungan para engineer bersifat informal, bersahabat dan

kolaboratif; 6) dan fleksibel dalam hal kapan dan dimana mereka bekerja.

Sebelum Pilotte dan RAE, Kunda (2006) telah mempelajari budaya

engineering pada perusahaan high-tech dan menemukan bahwa budaya engineering

menciptakan kondisi kerja yang non otoriter, informal, lingkungan kerja yang

fleksibel yang mendorong dan menghargai komitmen, inisiatif, dan kreativitas

individu sambil mendorong perkembangan individu. Luceyer (2001) mempelajari

engineering culture pada perusahaan-perusahaan teknologi mula-mula di Silicon

Valley yang berkembang tahun 1970-an dan menemukan bahwa budaya engineering

di perusahaan-perusahaan tersebut mencakup persahabatan, ideologi demokrasi yang

sangat kuat dan sangat menjunjung tinggi kecerdasan dan inovasi. Perusahaan-

perusahaan dengan budaya ini memberikan otonomi yang sangat besar terhadap

karyawannya, mengatur penelitian dan pengembangan dalam tim independen, dan

memberikan insentif finansial yang tidak biasa berupa pembagian keuntungan (profit

sharing), kepemilikan saham, dan program opsi saham (stock-option programs).

Berdasarkan teori budaya Schein, budaya engineering dikategorikan sebagai

subbudaya atau subkultur (subculture), dan subbudaya ini bisa melampaui batasan

organisasi dan bisa dianggap sebagai budaya makro (Schein 2010). Walaupun

budaya engineering ini merupakan budaya pekerjaan dan dikategorikan sebagai

subbudaya, namun budaya ini bisa membawa pengaruh yang besar terhadap budaya

organisasi dan bahkan bisa membentuk budaya organisasi. Hal ini karena budaya

organisasi terbentuk oleh interaksi empat faktor yaitu karakter anggota organisasi,

etika dalam organisasi, hak kepemilikan (property right) dan struktur organisasi

(Jones 2004). Karakter engineer sebagai anggota organisasi membawa budaya

engineering yang sangat kuat yang terbentuk mulai dari masa pendidikan. Selain itu

Van Maanen dan Barley (1984) menyatakan budaya pekerjaan bisa memiliki

kekuatan mengatur (organizing force) yang lebih kuat daripada budaya di tempat

kerja karena budaya ini diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya bahkan

melalui aktivitas di luar pekerjaan. Pengaruh budaya engineering terhadap budaya

organisasi terbukti secara empiris dimana perusahaan-perusahaan teknologi

memiliki budaya organisasi yang memiliki unsur budaya engineering yang kuat,

sehingga menjadi budaya engineering centric.

Budaya engineering-centric adalah budaya organisasi yang berakar dari

budaya engineering. Jika budaya engineering adalah budaya pekerjaan

(occupational) yang dimiliki oleh sekelompok orang dengan pekerjaan atau profesi

yang sama, sehingga merupakan subbudaya dalam sebuah organisasi, maka budaya

engineering-centric adalah budaya organisasi yang dimiliki dan dijalankan oleh

seluruh anggota organisasi bukan hanya para engineer. Dalam penelitian tentang

nilai dan benefit yang dimiliki dan diberikan Google kepada karyawannya, Kunzte

Page 7: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

7

dan Matulich (2010) menggambarkan budaya perusahaan Google sebagai

lingkungan kerja yang serba cepat, karyawannya bekerja sambil bersenang-senang,

menjunjung kreativitas dan inovasi, lingkungan yang informal dengan atmosfer yang

santai, pakaian bebas, dan karyawan bebas berolahraga dan bermain video game.

Google sendiri menyebut budaya mereka sebagai budaya engineering centric.

Melihat hasil penelitian dan studi di atas maka dapat disimpulkan unsur-

unsur dalam budaya engineering centric adalah sebagai berikut 1) sangat

menjunjung tinggi inovasi; 2) fokus pada pemecahan masalah (problem solving); 3)

sangat menjunjung tinggi kecerdasan; 4) menjunjung kreativitas; 5) memberikan

otonomi yang sangat besar terhadap karyawannya dan kondisi kerja yang non

otoriter; 6) Lingkungan yang informal dengan atmosfer yang santai, karyawan

bekerja sambil bersenang-senang; 7) Lingkungan kerja yang fleksibel dalam hal

kapan dan dimana mereka bekerja; 8) Berorientasi pada tim (team oriented) dimana

hubungan para engineer bersifat informal, bersahabat dan kolaboratif; 9)

Berorientasi pada hasil, lebih mengambil resiko, pekerjaan yang berubah-ubah, dan

input pribadi yang tinggi; 10) Belajar dengan melakukan (learning-by-doing) dan

aktif dalam proses belajar; 11) Mendorong perkembangan individu; 12) Karyawan

bukan hanya sekedar sumber daya manusia perusahaan; 13) Mendorong dan

menghargai komitmen dan inisiatif individu; 14) Bangga (proud) dimana engineer

mencintai pekerjaan mereka, bangga dengan yang mereka kerjakan baik secara

individu maupun bersama-sama; 15) Setia (loyal) dimana engineer berkomitmen

pada engineering dan pada profesi sebagai engineer; 16) lingkungan kerja yang

serba cepat; 17) memberikan insentif finansial yang tidak biasa berupa pembagian

keuntungan (profit sharing), kepemilikan saham, dan program opsi saham (stock-

option programs); 19) Sadar keselamatan (safety-conscious) yang artinya budaya

engineering memprioritaskan keselamatan dimana produk yang diciptakan aman

bagi pengguna; 20) Ideologi demokrasi yang sangat kuat; 21) keseimbangan antara

menaati aturan dengan berorientasi pada pelanggan, seimbang antara menaati

prosedur dan mencapai hasil, seimbang antara pandangan yang dogmatis dan

pragmatis tentang etika; 22) Agak lebih terkontrol ketat daripada longgar misalnya

berorientasi pada biaya, rapat tepat waktu, sedikit candaan tentang

perusahaan/kelompok atau pekerjaan.

2.3. Manajemen Sumber Daya Manusia Strategis

2.3.1. Definisi Manajemen Sumber Daya Manusia Strategis

Manajemen sumber daya manusia strategis (MSDM strategis) adalah

perkembangan dari MSDM yang biasanya hanya berfokus pada aktivitas

administratif. Seperti yang dikemukakan Dessler (2015:4) bahwa manajemen

sumber daya manusia adalah “proses untuk memperoleh, melatih, menilai, dan

Page 8: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

8

mengompensasi karyawan, dan untuk mengurus relasi tenaga kerja mereka,

kesehatan dan keselamatan mereka, serta hal-hal yang berhubungan dengan

keadilan.” Lebih lanjut lagi menurut Dessler (2015) seiring munculnya tren-tren

baru seperti kemajuan teknologi, globalisasi, deregulasi, perubahan demografi dan

sifat pekerjaan serta tantangan ekonomi, maka organisasi membutuhkan sumber

daya manusia yang memiliki keterampilan dan perilaku yang bisa mendukung

organisasi mencapai sasaran strategisnya di tengah tren-tren tersebut. Oleh sebab

itulah MSDM berkembang menjadi berfokus pada isu-isu strategis organisasi. Inilah

yang disebut dengan Manajemen sumber daya manusia strategis (MSDM strategis),

yang merupakan manajemen sumber daya manusia (SDM) yang sejalan dengan

strategi organisasi untuk mencapai sasaran strategis organisasi.

Konsep MSDM strategis telah lama berkembang. Pada tahun 1981

Devanna, Fombrun dan Tichy membahas mengenai hubungan MSDM strategis dan

strategi bisnis. Menurut mereka MSDM menjadi strategis dan dapat meningkatkan

kinerja perusahaan jika MSDM dikaitkan dengan tujuan perusahaan. Lebih spesifik

lagi sehubungan dengan tujuan perusahaan, Hendry dan Pettigrew (1986)

mengemukakan bahwa dalam MSDM strategis SDM dipandang sebagai sumber

daya strategis untuk mencapai keunggulan kompetitif (competitive advantage).

Pendapat dari Baird dan Meshoulam (1988) memasukkan unsur kebutuhan

organisasi dalam konsep mereka tentang MSDM strategis. Menurut mereka MSDM

strategis mengembangkan dan mengelola praktik, prosedur dan sistem SDM yang

sesuai dengan kebutuhan organisasi sehingga tujuan bisnis dapat tercapai. Masih

senada dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya, menurut Wright dan McMahan

(1992) MSDM strategis adalah sebuah pola aktivitas dan penggunaan SDM yang

bertujuan untuk memampukan organisasi mencapai tujuan. MSDM strategis dapat

mempengaruhi organisasi mencapai tujuannya karena MSDM strategis merumuskan

dan melaksanakan kebijakan dan praktik SDM yang menghasilkan kompetensi dan

perilaku karyawan yang dibutuhkan perusahaan untuk mencapai sasaran strategisnya

(Dessler, 2015).

Praktik, prosedur, sistem, pola aktifitas seperti yang dikemukakan di atas

adalah bagian dari MSDM yang tentunya harus berjalan berdampingan dan saling

mendukung. Seperti yang dikemukakan Armstrong (2008), bahwa MSDM strategis

adalah manajemen SDM yang menggunakan strategi, kebijakan dan praktik SDM

yang terintegrasi untuk mencapai tujuan organisasi. Lebih lanjut, Amrstrong juga

menekankan bahwa MSDM strategis adalah sebuah pola pikir yang menjadi nyata

pada saat ada aksi dan reaksi yang strategis, dalam bentuk strategi-strategi dan

perilaku strategis dari staff HR yang bekerja sama dengan manajer lini (2008:48).

Dengan demikian MSDM strategis dapat diartikan sebagai manajemen sumber daya

manusia yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan organisasi untuk membantu

organisasi mencapai tujuannya.

Page 9: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

9

2.3.2. Dasar-Dasar Manajemen Sumber Daya Manusia Strategis

Menurut Armstrong (2018) MSDM strategis memiliki tiga dalil yang

menjadi dasar MSDM strategis. Dalil yang pertama yaitu bahwa SDM memiliki

peran strategis dan merupakan sumber utama keunggulan kompetitif. Pendapat yang

sama dikemukakan oleh Wright dan McMahan (1992) bahwa SDM adalah sumber

keunggulan kompetitif karena 1) SDM bersifat beragam (heterogen) sehingga SDM

di tiap perusahaan dalam sebuah industri berbeda-beda dan 2) SDM bisa bersifat

tetap atau tidak bergerak (immobile) yang artinya perusahaan pesaing kemungkinan

tidak dapat merekrut mereka. Dalil yang kedua adalah bahwa strategi-strategi SDM

harus terintegrasi dengan strategi organisasi (vertical integration). Jadi bukan hanya

strategi SDM yang disesuaikan dengan strategi organisasi, tetapi organisasi juga

harus mempertimbangan SDM dalam pembuatan strategi dan sasaran strategisnya.

Seperti yang dikatakan Devanna, Fombrun, dan Tichy (1981), bahwa unsur SDM

harus dimasukkan dalam tujuan organisasi agar untuk dapat meningkatkan kinerja

organisasi. Dalil yang terakhir yaitu bahwa setiap strategi SDM harus terintegrasi

dan mendukung satu sama lain (horizontal integration).

2.3.3. Konsep-Konsep Manajemen Sumber Daya Manusia

Strategis

Selain tiga dasar MSDM strategis di atas, ada juga tiga konsep yang

mendukung MSDM strategis, yakni: resource-based view (RBV), strategic fit dan

strategic flexibility (Armstrong, 2008:34). Konsep resource-based view (RBV)

memandang bahwa untuk mencapai tujuan organisasi atau untuk mencapai

keunggulan kompetitif berkelanjutan (sustainable competitive advantage) maka

organisasi harus memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya-sumber daya

organisasi, sehingga bisa memiliki empat ciri kompetensi inti (core competence)

yakni memberi nilai bagi organisasi (valuable); langka atau tidak dimiliki oleh

organisasi lain (rare); sulit ditiru (imperfectly imitable) dan tidak memiliki

pengganti/substitusi di organisasi lain (non-substitutable). Sumber daya yang

dimaksud di atas mencakup sumber daya manusia. Selain Armstrong, Lengnick-Hall

dan Lengnick-Hall (1990) juga berpendapat bahwa perusahaan dapat mencapai

competitive advantage melalui pengelolaan SDMnya.

Konsep yang kedua yakni strategic fit yang berarti bahwa strategi

manajemen SDM harus mendukung strategi organisasi/bisnis (vertical integration).

Selain itu konsep ini juga menekankan pentingnya koordinasi dan kesesuaian antar

praktik-praktik SDM. Konsep yang ketiga adalah strategic flexibility, yang

dikatakan Armstrong (2008) sebagai kemampuan organisasi untuk menyesuaikan

dengan perubahan lingkungan organisasi. Organisasi harus fleksibel dan mampu

menyesuaikan strateginya berdasarkan kondisi luar. Menurut Armstrong (2008)

dalam mengembangkan dan mengimplementasikan berbagai pendekatan untuk

mengelola SDM, MSDM strategis memperhitungkan konteks organisasi yang

Page 10: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

10

berubah-ubah yang memiliki tuntutan jangka panjang. Misalnya jika sebuah

perusahaan berada dalam industri yang cepat berubah karena kemajuan teknologi

maka manajemen SDM harus mampu membuat strategi yang bisa reaktif terhadap

perkembangan teknologi ini sehingga bisa menciptakan SDM yang memiliki banyak

keahlian dan cepat menguasai kemajuan teknologi.

2.3.4. Tujuan dan Pengaruh Manajemen Sumber Daya Manusia

Strategis

MSDM strategis memiliki satu tujuan yakni membantu organisasi mencapai

sasaran strategisnya melalui pengelolaan sumber daya manusia. Lebih rinci lagi,

menurut Armstrong (2008) tujuan MSDM strategis adalah untuk menghasilkan

SDM yang ahli, terikat (engaged) dan termotivasi sehingga organisasi mampu untuk

mencapai keunggulan kompetitif berkelanjutan. Untuk memiliki SDM yang ahli

maka organisasi harus merekrut SDM yang berpotensi dan mengembangkan

keahlian mereka. Organisasi juga harus membuat sistem penghargaan (reward

system), kompensasi dan pengembangan karir yang membuat SDM termotivasi dan

memiliki keterikatan pada organisasi. Selain itu menurut Armstrong (2008), tujuan

dari MSDM strategis harus selalu mempertimbangkan hal-hal etis, yakni

kepentingan dari seluruh stakeholder organisasi, karyawan/anggota, para pemilik,

para manajer, dan tanggung jawab organisasi terhadap masyarakat.

Menurut Storey (1989) untuk mencapai tujuannya MSDM strategis harus

menyeimbangkan model MSDM strategis yang “soft” dan “hard”. Model MSDM

soft lebih menekankan pada aspek hubungan manusia pada saat mengelola “orang”

atau SDM, dengan menekankan pada pengembangan terus-menerus, komunikasi,

keterlibatan, keamanan kerja, kerja yang berkualitas dan kesimbangan antara

kehidupan dan pekerjaan. Dengan kata lain, mengutip Mills (1983) MSDM strategis

haruslah selalu mempertimbangkan faktor SDM, yakni apa yang menjadi kebutuhan

dan aspirasi dari anggota organisasi. Sedangkan model hard lebih menekankan pada

hasil yang harus dicapai dari investasi pada SDM untuk kepentingan bisnis. Dengan

menyeimbangkan model soft dan hard maka tujuan organisasi bisa tercapai dan

kesejahteraan anggota di dalamnya juga terjamin.

Selain memperhatikan SDM, organisasi juga harus bertanggung jawab

terhadap masyarakat secara umum (Mills 1983). Satu dari tujuh prinsip MSDM

strategis menurut Ondrack dan Nininger (1984) adalah bahwa MSDM strategis

memiliki tanggung jawab untuk mengidentifikasi dan berinteraksi dalam lingkungan

sosial, politik, teknologi dan ekonomi, dimana organisasi berada dan melakukan

bisnisnya. Mendukung gagasan

Mills dan Ondrack dan Nininger, menurut Armstrong (2008) tanggung

jawab sosial perusahaan (Corporate Social responsibility - CSR) merupakan salah

Page 11: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

11

satu aspek dalam MSDM strategis karena CSR berhubungan dengan aksi etis untuk

kepentingan orang, dan orang adalah hal yang dikelola oleh MSDM.

Dalam perkembangannya MSDM strategis telah menunjukkan pengaruhnya.

Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan pengaruh MSDM strategis pada

peningkatan kinerja organisasi termasuk Arthur. Walaupun ada pendapat yang

mengatakan bahwa sulit untuk mengukur kaitan antara MSDM strategis terhadap

kinerja organisasi (Purcell et al 2003), namun sebenarnya hal ini bisa diukur dengan

melihat bagaimana pengaruh strategi yang diturunkan dalam bentuk praktik dan

kebijakan MSDM pada kinerja anggota organisasi yang pada akhirnya berpengaruh

pada kinerja organisasi, seperti model yang dikembangkan Guest et al (2000b) di

bawah ini:

Sumber: Guest et al (2000b)

Gambar 2.2 Model Pengaruh MSDM pada Kinerja Organisasi

2.3.5. Mengembangkan Dan Melaksanakan Manajemen Sumber

Daya Manusia Strategis

Untuk bisa menjalankan fungsi strategis, unsur MSDM harus dilibatkan

sejak awal organisasi melakukan proses penentuan tujuan/sasaran strategis dan

strategi organisasi. Inilah dasar kedua MSDM strategis yakni integrasi vertikal

(vertical integration) yang sesuai dengan konsep strategic fit. MSDM dan

manajemen strategis organisasi harus saling terintegrasi. Sasaran strategis organisasi

harus dibuat dengan memperhitungkan faktor SDM dan strategi MSDM harus dibuat

untuk menunjang organisasi mencapai sasaran strategisnya. Seperti yang dikatakan

Dessler (2015:82) bahwa manajer SDM harus terlebih dahulu memahami peran yang

akan dimainkan kebijakan dan praktik SDM dalam mencapai sasaran strategis

organisasi, barulah manajer dapat merancang secara cerdas kebijakan dan praktik

SDM. Manajer divisi SDM harus menjadi bagian dalam tim manajemen puncak dan

harus mengambil peran aktif dalam pembahasan tujuan dan strategi organisasi

Armstrong (2008). Dengan demikian MSDM strategis bukan hanya pendukung

Page 12: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

12

dalam pelaksanaan strategi organisasi tetapi MSDM strategis merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dalam pengembangan sasaran strategis dan pelaksanaan

manajemen strategis organisasi. Dengan adanya integrasi vertikal maka organisasi

akan lebih mudah mencapai tujuannya seperti dikemukakan Delery dan Doty (1996)

bahwa organisasi yang memiliki tingkat kesesuaian strategi MSDM dan strategi

bisnis yang tinggi akan memiliki kinerja yang tinggi juga.

Untuk mengembangkan strategi SDM diperlukan analisis strategis untuk

menganalisis kondisi organisasi dan praktik-praktik SDM yang sedang dilakukan,

sehingga dapat terlihat apa saja yang sudah dilakukan, apa yang belum dilakukan

dan harus dilakukan dan apa yang harus dikembangkan dan diperbaiki (Armstrong

2008). Dengan demikian akan muncul pilihan-pilihan strategi untuk

mengembangkan strategi SDM. Setelah strategi-strategi HR dikembangkan, maka

dalam pelaksanaannya dibutuhkan juga perilaku strategis (strategic behavior) dari

divisi SDM bekerja sama dengan manajer lini setiap hari untuk memastikan strategi

ini berjalan dengan baik sehingga tujuan organisasi tercapai dan nilainya terendap

dalam praktik organisasi sehari-hari (Armstrong 2008). Oleh karena itu manajer lini

memegang peranan penting dalam pelaksanaan MSDM strategis. Seperti yang

dikemukakan Tyson (1997) bahwa selain melalui proses pelaksanaan yang formal

dan sistematis seperti dalam bentuk kebijakan dan aturan tertulis, strategi juga bisa

direalisasikan melalui tindakan para manajer. Menurut pendapatnya, tindakan para

manajer ini akan menuai reaksi seperti penerimaan, konfrontasi, negosiasi, dsb, yang

mana reaksi ini merupakan proses dari strategi. Dengan demikian sangat penting

bagi manajer untuk memahami dengan benar strategi. Pada saat pihak manajemen

termasuk manajemen lini telah terintegrasi dalam melaksanakan MSDM strategis

maka hal ini akan berdampak pada seluruh karyawan menjadi bagian dalam

pelaksanaan MSDM strategis.

Terdapat tiga pendekatan untuk mengembangkan dan melaksanakan MSDM

strategis, seperti yang disarankan oleh Richardson dan Thompson (1999) yaitu best

practice, best fit dan bundling. Tiga pendekatan ini berdasar pada tiga perspektif

MSDM strategis oleh Delery dan Doty (1996) yaitu perspektif universalistic,

contingency dan configurational.

1) Best Practice

Best practice adalah pendekatan berdasarkan perspektif universalistic bahwa

ada beberapa praktik SDM yang terbaik dan bisa diadopsi oleh semua organisasi

dalam segala situasi. Walaupun ada beberapa pendapat yang tidak menyetujui

adanya best practice misalnya karena tidak sesuai dengan konsep RBV dari MSDM

strategis (Purcell, 1999) namun best practice tetap masih bisa digunakan setidaknya

sebagai rujukan untuk pilihan-pilihan praktik yang baik (Becker dan Gerhart, 1996).

Armstrong (2008) mengelompokkan daftar best practices yang digagas oleh Pfeffer

Page 13: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

13

(1994), Delery dan Doty (1996), dan Guest (1999), seperti yang dapat dilihat pada

tabel 2.1.

Tabel 2.1 Daftar-daftar Best Practices yang Dikembangkan oleh Pfeffer (1994),

Delery dan Doty (1996) dan Guest (1999)

Pfeffer (1994) Delery dan Doty (1996) Guest (1999)

1) keamanan kerja

(employment

security)

1) penggunaan jenjang karir

internal

1) seleksi dan

penggunaan tes seleksi

yang cermat untuk

mengidentifikasi

kandidat yang

memiliki potensi untuk

berkontribusi

2) perekrutan yang

selektif (selective

hiring)

2) sistem pelatihan formal 2) pelatihan, dan

kesadaran bahwa

pelatihan adalah

aktivitas yang

berkelanjutan

3) tim yang mandiri

(self-managed teams)

3) penilaian berorientasi hasil 3) rancangan (desain)

pekerjaan yang

memastikan adanya

fleksibilitas, komitmen

dan motivasi, termasuk

langkah-langkah untuk

memastikan para

karyawan memiliki

tanggung jawab dan

kewenangan penuh

untuk menggunakan

pengetahuan dan

keahlian mereka

4) kompensasi tinggi

sesuai dengan kinerja

(high compensation

contingent on

performance

4) kompensasi berbasis kinerja 4) komunikasi untuk

memastikan bahwa

proses komunikasi dua

arah menjamin semua

pihak mendapatkan

informasi

5) pelatihan untuk

menyediakan tenaga

kerja terampil dan

termotivasi (training

to provide a skilled

and motivated

workforce)

5) keamanan kerja 5) program

kepemilikan saham

bagi karyawan untuk

meningkatkan

kesadaran karyawan

akan dampak dari

tindakan mereka

Page 14: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

14

terhadap kinerja

keuangan perusahaan

6) pengurangan

perbedaan status

(reduction of status

differentials)

6) “suara” karyawan

7) berbagi informasi

(sharing

information).

7) pekerjaan yang ditentukan

secara luas (broadly defined

jobs)

Sumber: Armstrong (2008)

2) Best Fit

Pendekatan kedua adalah best fit yang menekankan bahwa strategi SDM

harus sesuai dengan konteks, keadaan dan tipe organisasi (Armstrong 2008).

Pendekatan best fit sesuai dengan perspektif contingency yang menekankan pada

vertical fit. Dalam best fit sendiri ada tiga model atau pendekatan yakni siklus hidup

(life cycle), strategi kompetitif (competitive strategy), dan konfigurasi strategis

(strategic configuration) (Armstrong 2008). MSDM strategis dirancang dan

dilaksanakan berdasarkan pada tiga pendekatan tersebut.

a) Siklus hidup (life cycle)

Model siklus hidup (life cycle) berdasar pada teori perkembangan perusahaan

yang terdiri dari empat tahap yaitu permulaan (startup), perkembangan (growth),

kematangan (maturity) dan penurunan (decline). Dasar dari model ini seperti yang

dikemukakan oleh Baird dan Meshoulam (1988) adalah bahwa efektivitas MSDM

tergantung pada kesesuaiannya pada tahap perkembangan organisasi, sehingga

seiring dengan berkembangnya organisasi maka program, praktik dan prosedur

SDM harus diubah agar sesuai dengan apa yang dibutuhkan organisasi.

Lebih rinci lagi, menurut Buller dan Napier (1993) pada tahap permulaan,

manajemen SDM lebih bersifat informal dan longgar, dan mungkin saja fungsi

MSDM dilakukan oleh pemilik atau pendiri organisasi. Pada saat organisasi mulai

berkembang, misalnya penjualan semakin banyak sehingga dibutuhkan lebih banyak

produk maka organisasi membutuhkan karyawan tambahan, dan bahkan mungkin

menambah beberapa posisi spesialis, pada saat ini fungsi SDM tidak bisa lagi

ditangani oleh pendiri atau pemilik atau manajer lini. Sedangkan pada saat

pertumbuhan organisasi sedang pada puncaknya maka peran MSDM fokus pada

menghadirkan SDM sesuai dengan jumlah dan kualitas yang dibutuhkan, sehingga

sejalan dengan sistem rekrutmen yang efektif, MSDM harus mampu untuk

melakukan manajemen bakat, manajemen kinerja, pelatihan dan pengembangan

Page 15: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

15

serta praktik dan kebijakan reward. Pada saat organisasi sudah mencapai tahap

kedewasaan, MSDM lebih fokus pada memperkuat dan mengembangkan praktik-

praktik yang telah lama ada. Pada saat organisasi mengalami penurunan maka fokus

MSDM bisa saja berada pada isu-isu yang lebih rumit misalnya downsizing atau

pada saat organisasi diambil alih.

b) Strategi Kompetitif (competitive strategy)

Model selanjutnya adalah best fit dan competitive advantage yang

menekankan bahwa praktik MSDM harus disesuaikan dengan competitive strategy.

Tiga strategi kompetitif yang diajukan Porter (1985) yakni innovation –

memproduksi produk yang unik; quality – menyediakan barang atau jasa dan

layanan konsumen yang berkualitas; cost leadership – dengan cara mengelola

pengeluaran dengan efektif. Schuler dan Jackson (1987) menemukan dalam

penelitian mereka bahwa menggabungkan praktik MSDM dengan strategi kompetitif

dapat meningkatkan efektifitas. Mereka mengembangkan praktik-praktik MSDM

yang menunjang strategi kompetitif. Sebagai contohnya, untuk mendukung strategi

Kualitas maka MSDM mengadakan pelatihan dan pengembangan karyawan yang

berkesinambungan dan ekstensif. Contoh lain sehubungan dengan mencapai cost

leadership maka MSDM terus memperhatikan dengan cermat market pay sebagai

bahan pertimbangan dalam membuat struktur kompensasi. Atau untuk mendukung

strategi inovasi maka MSDM merancang pekerjaan yang memfasilitasi

perkembangan keahlian baru yang bisa digunakan untuk posisi lain dalam

perusahaan.

c) Konfigurasi Strategis (strategic configuration)

Model atau pendekatan terakhir dari best fit adalah konfigurasi strategis

(strategic configuration) dimana menurut Delery dan Doty (1996) organisasi akan

berjalan efektif jika memiliki kebijakan konfigurasi strategis yaitu dengan

mencocokkan strategi dengan tipe organisasi. Dengan demikian maka akan muncul

konsistensi atau kecocokan antara unsur strategi, struktural dan kontekstual

organisasi sehingga bisa meningkatkan efektifitas.

Menurut Minstzberg (1979) ada lima tipe organisasi yang ideal yaitu:

struktur sederhana (simple structure), birokrasi mesin (machine bureaucracy),

birokrasi professional (professional bureaucracy), departementasi (divisionalized

form) dan adhokrasi (adhocracy). Sedangkan menurut Miles dan Snow (1978) ada

empat tipe organisasi, dimana menurut mereka tiga tipe pertama adalah tipe yang

“ideal”. Tipe pertama ialah prospectors, yaitu organisasi yang beroperasi dalam

lingkungan yang cepat yang perubahannya tidak bisa diprediksi. Dengan keadaan

lingkungan seperti ini maka organisasi dengan tipe prospector berfokus pada

pengembangan produk, pasar dan teknologi baru. Tipe organisasi ini biasanya

menciptakan perubahan di pasar sehingga pesaing mau tidak mau harus merespon

terhadap perubahan yang diciptakan. Tingkat formalisasi (peraturan tertulis maupun

Page 16: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

16

tidak tertulis) dan spesialisasi dalam organisasi ini rendah sedangkan

desentralisasinya tinggi. Tingkatan hirarkinya juga cenderung sedikit.

Tipe yang kedua adalah Defender, tipe yang beroperasi dalam lingkungan

yang lebih stabil dan bisa diprediksi sehingga memiliki perencanaan jangka panjang.

Pendekatan tipe ini terhadap pasar adalah mempertahankannya. Berbeda dari

prospector yang fokus pada pengembangan produk, defender melakukan hanya

sedikit penelitian dan pengembangan. Mereka lebih fokus pada efisiensi yang

bergantung pada teknologi rutin dan skala ekonomis (economies of scale). Secara

struktur, tipe ini lebih mekanistis atau birokratis. Koordinasi dilakukan melalui

formalisasi, sentralisasi, spesialisasi dan diferensiasi vertical.

Tipe ideal yang ketiga adalah gabungan antara prospector dan defender,

yang disebut dengan analyser. Lingkungan dimana mereka beroperasi merupakan

lingkungan yang stabil, tapi pasarnya selalu menuntut produk baru. Tipe ini

biasanya bukan inisiator perubahan seperti prospector namun mereka mengikuti

perubahan lebih cepat daripada defender. Tipe ini fokus pada efektivitas melalui

efisiensi dan produk atau pasar baru sehingga kemungkinan besar ukuran

organisasinya lebih besar, karena tipe organisasi ini fokus pada produksi massal dan

penelitian dan pengembangan. Tipe yang terakhir adalah reactor yang merupakan

organisasi yang tidak stabil yang berada dalam lingkungan yang tidak stabil. Tipe ini

tidak memiliki strategi yang konsisten dan matang dan juga tidak memiliki

perencanaan jangka panjang.

Delery dan Doty (1996) mengemukakan dua sistem SDM yang sesuai

dengan strategi yang dihubungkan dengan konfigurasi organisasi. Kedua system itu

adalah market-type system dan internal system, yang masing masing cocok dengan

tipe organisasi yang berbeda. Market type lebih cocok untuk strategi prospector

karena dalam system HR market type rekrutmen lebih banyak dari luar organisasi,

jenjang karir internal tidak begitu digunakan, tidak ada pelatihan formal, penilaian

kinerja berdasarkan hasil, tidak begitu banyak keamanan dan pekerjaan tidak

ditentukan dengan jelas. Sedangkan internal system lebih cocok untuk strategi

defender karena system ini melakukan lebih banyak rekrutmen internal, jenjang karir

sangat digunakan, banyak pelatihan formal, kinerja dinilai dengan ukuran yang

berorientasi pada perilaku, keamanan kerja baik, dan pekerjaan ditentukan secara

detail dan jelas. Delery dan Doty tidak mengusulkan sistem yang tepat untuk strategi

analyser tapi menurut Armstrong (2008) sistem untuk strategi ini bisa jadi

merupakan campuran dari sistem market dan internal.

Sama seperti best practice, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa

best fit memiliki beberapa limitasi, walaupun menurut Armstrong (2008) best fit

lebih realistis daripada best practice. Paauwe (2004) menyorot best fit yang

berdasarkan pada konteks, dimana konteks adalah satu-satunya yang menentukan

strategi, sedangkan menurut Paauwe seharusnya ada ruang untuk pilihan-pilihan

strategis. Sejalan dengan pemikiran Paauwe, Boxall et al (2007) berpendapat bahwa

Page 17: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

17

tidak mungkin membuat semua kebijakan SDM berdasarkan misi

ekonomi/kompetitif tertentu, karena harus juga mempertimbangkan tujuan legitimasi

sosial. Sedangkan Purcell (1999) lebih menyorot pada contingency model karena

tidak mungkin bisa membuat model semua variabel, dan juga sulit untuk melihat

hubungan antar variabel, belum lagi bagaimana perubahan dalam satu variabel

berpengaruh pada variabel lain. Menurut Armstrong (2008), best fit cenderung statis

dan tidak memperhitungkan proses perubahan, dan bahwa kekuatan institusional

yang membentuk SDM (pemberi kerja bukanlah agen bebas yang membuat

keputusan sendiri).

3) Bundling

Pendekatan terakhir untuk MSDM strategis adalah penggabungan atau

“bundling”. Bundling adalah pengembangan dan pelaksanaan beberapa praktik HR

secara bersama-sama sehingga praktik-praktik ini saling melengkapi dan

menguatkan satu sama lain Armstrong (2008). Gabungan praktik-praktik ini

tentunya harus sesuai atau konsisten dengan strategi kompetitif agar dapat

meningkatkan kinerja organisasi (Richardson dan Thompson, 1999). Tujuan dari

bundling menurut MacDuffie (1995) adalah menggabungkan beberapa praktik SDM

yang bisa saling menguatkan satu sama lain sehingga memiliki dampak lebih besar

terhadap kinerja organisasi. Ini sesuai dengan dasar MSDM strategis yang ketiga

yaitu horizontal integration. Contoh-contoh bundling adalah sistem high-

performance, high-commitment dan high involvement. Menurut Armstrong (2008)

tantangan dari bundling adalah menentukan cara yang terbaik untuk menggabungkan

praktik-praktik SDM yang berbeda-beda.

2.3.6. Tantangan Manajemen Sumber Daya Manusia Strategis

Menerapkan konsep MSDM strategis memiliki tantangan. Menurut

Armstrong (2008) karena dalam penerapannya harus ada integrasi strategis, maka

harus dibangun koherensi dan konsistensi kebijakan dan praktik. Selain itu, karena

menerapkan MSDM strategis dibutuhkan komitmen maka harus ada tekad yang kuat

dan kompetensi di semua level manajerial. Dari sisi departemen SDM sendiri harus

beroperasi secara efektif dan SDMnya harus berorientasi bisnis (Armstrong, 2008).

Lebih lanjut lagi menurut Armstrong, hal-hal di atas akan sulit dicapai jika budaya

SDM yang dibutuhkan untuk ini bertentangan dengan budaya organisasi dan

perilaku manajerial tradisional.

Page 18: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

18

2.3.7. Strategi-Strategi Manajemen Sumber daya Manusia

Strategis

Menurut Armstrong (2008) ada macam strategi yaitu strategi menyeluruh (overall)

dan strategi spesifik.

1) Strategi Menyeluruh (Overall)

Strategi menyeluruh menjabarkan intensi/niat/tujuan umum organisasi tentang

bagaimana mengelola dan mengembangkan SDM, apa yang harus dilakukan agar

organisasi bisa mendapatkan dan mempertahankan SDM yang dibutuhkan dan

memastikan SDM tetap berkomitmen, termotivasi dan terikat pada organisasi

(Armstrong, 2008). Lebih lanjut lagi menurut Armstrong ada empat kategori dari

strategi menyeluruh yaitu:

Pemahaman tentang pendekatan yang dibutuhkan untuk mengelola SDM.

Terkadang pemahaman ini tidak disebutkan. Strategi ini dipengaruhi oleh

strategi bisnis, fase pertumbuhan organisasi, konfigurasi organisasi. Hal lain

yang mempengaruhi juga adalah pandangan, pengalaman dan gaya

manajemen puncak.

Pernyataan umum tentang maksud dan tujuan strategi, yang menjadi dasar

pembuatan strategi yang lebih spesifik. Kategori ini fokus pada efektivitas

organisasi yang dicapai dengan cara mempekerjakan SDM yang tepat

dengan proses yang tepat dan menciptakan tempat kerja yang baik.

Kategori yang ketiga adalah rancangan yang jelas dan spesifik untuk

membuat bundle praktik-praktik SDM dan mengembangkan sistem HR

yang koheren. Kategori ini dapat dibuat menggunakan pendekatan high-

performance management, high-involvement management and high-

commitment management.

Kategori yang terakhir adalah pengenalan terhadap pendekatan SDM

menyeluruh yakni high-performance management, high-involvement

management and high-commitment management. Ketiga pendekatan ini

memiliki beberapa kesamaan praktik.

High-performance management adalah manajemen SDM yang berfokus

pada menggunakan SDM untuk meningkatkan kinerja organisasi di bidang

produktivitas, kualitas, layanan konsumen, pertumbuhan, profit dan yang bermuara

pada nilai shareholder yang meningkat. Untuk mencapai hal-hal tersebut, praktik-

praktik MSDM yang dilakukan adalah prosedur rekrutmen dan seleksi yang ketat,

aktivitas pengembangan manajemen dan pelatihan yang ekstensif, sistem bayaran

insentif dan proses manajemen kinerja. Praktik-praktik ini disebut dengan high-

performance work systems (HPWS).

Page 19: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

19

High-involvement management menurut Lawler (1986) adalah sistem

manajemen yang berbasis komitmen dan keterlibatan (involvement). Sistem ini

adalah kebalikan dari model manajemen birokrasi yang kaku dan sangat mengontrol

karena menurut sistem ini untuk dapat membuat karyawan berkomitmen adalah

dengan memberikan kesempatan karyawan untuk mengontrol dan memahami

pekerjaan mereka. Selain itu dalam high-involvement management karyawan

diperlakukan sebagai rekan perusahaan yang kepentingannya dihormati perusahaan

dan yang pendapatnya didengar oleh perusahaan (sehingga ada sinergitas).

Unsur yang penting dalam manajemen ini adalah keterlibatan (involvement)

dan komunikasi. Oleh karena komunikasi merupakan unsur penting maka sistem ini

akan menciptakan kondisi yang mendukung untuk adanya dialog antara manajer dan

karyawan secara terus menerus tentang ekspektasi karyawan dan perusahaan, dan

untuk memberikan informasi tentang misi, nilai dan tujuan organisasi. Dengan

demikian semua anggota organisasi memahami apa tujuan yang ingin dicapai dan

bagaimana mencapainya.

Menurut Guest (1997) tingkat keterlibatan yang tinggi membuat karyawan

berkomitmen dan memiliki motivasi sehingga perilaku kerja mereka mengarah pada

kinerja yang lebih baik, tingkat turnover yang lebih rendah, produktivitas yang

meningkat dan kualitas kerja yang tinggi. Benson et al (2006) mengidentifikasi

praktik-praktik SDM yang digunakan dalam high-involvement system yang berfokus

pada pengambilan keputusan oleh karyawan, akses mendapatkan informasi,

pelatihan dan insentif. Ada beberapa praktik dalam sistem ini yang sama dengan

yang ada dalam high-performance system seperti misalnya pelatihan dan sistem

bayaran insentif. Sung dan Ashton (2005) mengkategorikan praktik high-

involvement sebagai satu dari tiga area praktik high performance system yaitu

praktik SDM, praktik penghargaan (reward) dan komitmen, dan praktik high

involvement.

Pendekatan yang terakhir adalah high commitment management. Menurut

Wood (1996) manajemen ini menekankan pada pengembangan komitmen sehingga

karyawan dapat mengatur diri mereka sendiri tanpa sanksi dan tekanan dari luar, dan

hubungan antar anggota organisasi didasarkan pada kepercayaan. Armstrong (2008)

merumuskan beberapa pendekatan untuk menerapkan manajemen ini, antara lain

merujuk pada yang dikemukakan oleh Beer et al (1984) dan Walton (1985), dan

Wood dan Albanese (1995). Semua pendekatan ini bertujuan untuk menumbuhkan

rasa nyaman, aman dan diperhatikan dalam bekerja sehingga bisa membentuk

komitmen terhadap organisasi.

Page 20: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

20

Tabel 2.2 Pendekatan dalam High Commitment Management

Beer et al (1984) dan

Walton (1985) Wood dan Albanese (1995)

1) Pengembangan jenjang

karir dan penekanan pada

komitmen dan kemampuan

untuk bisa dilatih.

1) Manajemen merancang pekerjaan yang

memberikan kepuasan intrinsik

2) Fleksibilitas fungsional

yang tinggi (jabaran

pekerjaan yang tidak kaku).

2) Kebijakan yang membuat tidak adanya

pemecatan karena ketidaktersediaan pekerjaan;

jaminan pekerjaan permanen dan kemungkinan

Menggunakan tenaga kerja sementara dalam

menghadapi fluktuasi tuntutan akan tenaga kerja

3) Pengurangan hirarki dan

peniadaaan pembedaan

status

3) Sistem penilaian dan penggajian yang baru

khususnya mencocokkan gaji dan profit sharing

4) Keterlibatan karyawan yang lebih dalam pada

manajemen kualitas.

Sumber: Armstrong (2008)

2) Strategi Spesifik

Strategi SDM spesifik menurut Armstrong (2008) adalah strategi yang menentukan

apa yang harus organisasi lakukan pada praktik-praktik MSDM di bawah ini:

high-performance management – mengembangkan dan

mengimplementasikan sistem kerja berkinerja tinggi (high performance

work systems)

corporate social responsibility – komitmen untuk mengelola bisnis secara

etis untuk memberikan dampak positif pada masyarakat dan lingkungan

engagement – pengembangan dan pengimplenetasian kebijakan-kebijakan

yang dirancang untuk meningkatkan engagement karyawan dengan

pekerjaan mereka dan organisasi

Page 21: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

21

pengembangan organisasi – perencanaan dan pelaksanaan program-

program yang dirancang untuk meningkatkan efektifitas organisasi dalam

menjalankan fungsinya dan dalam merespon perubahan

human capital management – memperoleh, menganalisis dan melaporkan

data yang menunjukkan arah manajemen SDM, investasi dan keputusan

operasional yang menambah nilai.

knowledge management – menciptakan, mendapatkan, menangkap,

membagikan dan menggunakan pengetahuan untuk meningkatkan kinerja

dan pembelajaran

resourcing – mendapatkan dan mempertahankan SDM berkualitas tinggi

manajemen bakat – bagaimana organisasi memastikan bahwa SDM yang

dimiliki saat ini adalah SDM yang bisa membuat organisasi mencapai

kesuksesan

pembelajaran dan pengembangan (learning and development) –

menyediakan lingkungan yang mendukung karyawan untuk belajar dan

berkembang

penghargaan (reward) – apa yang akan organisasi lakukan dalam jangka

panjang untuk mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan,

praktik dan proses reward, yang bisa membantu tercapainya tujuan bisnis

dan memenuhi kebutuhan stakeholder.

Hubungan kekaryawanan (employee relations) – apa yang harus organisasi

lakukan atau ubah dalam hal mengelola hubungan dengan karyawan dan

serikat buruh.

a) Strategi Manajemen Kinerja Tinggi (High-Performance Management)

Strategi high-performance adalah strategi yang dibuat untuk meningkatkan

kinerja karyawan agar organisasi bisa mencapai sasaran strategisnya. Strategi high-

performance dimaksudkan agar organisasi mencapai keunggulan kompetitif lewat

sumber daya manusianya (Armstrong 2008). Dengan semua karyawan bekerja

secara maksimal maka organisasi akan berkembang baik secara termasuk secara

finansial dan operational.

Strategi high-performance bisa dilakukan dengan menggunakan high-

performance work systems (HPWS). Menurut Thompson dan Heron (2005) dalam

high-performance work systems (HPWS) perusahaan berinvestasi pada keahlian dan

kemampuan karyawan, dimana perusahaan merancang pekerjaan yang memberikan

ruang bagi karyawan untuk berkolaborasi dalam mencari jalan keluar untuk

penyelesaian masalah (problem solving), dan dimana perusahaan memberikan

insentif untuk memotivasi karyawan untuk memberikan kinerja semaksimal

mungkin. Dengan cara ini maka karyawan bisa banyak dilibatkan, dan kemampuan,

keahliannya serta motivasinya meningkat (Appelbaum et al, 2000). Gephart (1995)

dan Sung dan Ashton (2005) sama-sama berpendapat bahwa tidak ada satu set

praktik SDM yang paten sehingga sistem high-performance tergantung pada konteks

Page 22: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

22

organisasi, yang terpenting tujuan dari strategi ini adalah untuk meningkatkan

kinerja agar mendukung organisasi mencapai tujuannya. Armitage dan Keeble-

Allen (2007) memberikan tiga konsep yang mendasari high-performance work

systems (HPWS). Praktik-praktik MSDM yang ditujukan untuk high-performance

work bisa dibuat berdasarkan konsep ini:

Budaya terbuka dan kreatif yang bersifat inklusif dan people-centred,

dimana pengambilan keputusan dikomunikasikan dan disampaikan kepada

semua orang dalam organisasi.

Investasi pada sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan,

kesetiaan, inklusifitas dan cara kerja yang fleksibel.

Hasil kinerja yang terukur dan pembuatan target dan juga invasi melalui

proses dan best practice.

b) Strategi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social

Responsibility)

Tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) adalah

tanggung jawab perusahaan untuk menjalankan usahanya secara etis dengan

memperhitungkan dampak dari cara beroperasi perusahaan terhadap terhadap

masyarakat, lingkungan dan bahkan ekonomi Armstrong (2008). Bagi Porter dan

Kramer (2006), CSR merupakan sebuah proses dimana perusahaan

mengintegrasikan aktivitas bisnisnya dan keadaan masyarakat dimana perusahaan

tersebut berada. Lebih lanjut lagi menurut mereka dengan melakukan CSR,

perusahaan selain memberikan dampak positif pada masyarakat juga akan

mendapatkan keuntungan. Redington (2005) lebih khusus lagi menekankan bahwa

CSR bukan hanya fokus pada lingkungan sekitar perusahaan tetapi CSR harus

mengembangkan kualitas hidup tenaga kerjanya beserta keluarga mereka. Dengan

demikian CSR adalah usaha dari perusahaan untuk sebisa mungkin dalam aktivitas

bisnisnya perusahaan memberikan dampak yang baik bagi karyawan beserta

keluarga dan masyarakat di sekitar perusahaan.

Pada tahun 2007 Business in the Community melakukan survei terhadap 120

perusahaan di Inggris untuk melihat aktivitas-aktivitas CSR yang dilakukan

(Armstrong 2008). Aktivitas-aktivitas ini digolongkan menjadi empat bagian

sebagai berikut:

CSR terhadap Masyarakat: termasuk di dalamnya membuka lapangan

pekerjaan dan mendukung kegiatan-kegiatan masyarakat sekitar serta

menjaga keamanan di lingkungan masyarakat.

CSR terhadap Lingkungan. Perusahaan melakukan pengelolaan terhadap

dampak dengan membuat sistem untuk mengelola lingkungan.

Page 23: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

23

CSR terhadap Pasar. Contohnya penjualan dan marketing yang bertanggung

jawab dan keamanan produk. Termasuk di dalamnya menyediakan

informasi yang sesuai tentang produk dan dampak produk terhadap

kesehatan penggunanya

CSR terhadap Tempat Kerja (Workplace). Dimana dipandang bahwa

karyawan memegang peranan besar untuk dalam usaha perusahaan untuk

menjalankan praktik-praktik bisnis yang bertanggung jawab, oleh karena itu

karyawan harus diberikan pengertian dan kesadaran tentang hal ini.

Aktivitas CSR dalam bidang ini termasuk banyak perusahaan semakin

memperhatikan kesehatan, keselamatan dan well-being karyawan

Companies Selain itu perusahaan juga sudah mulai memperhatikan tentang

keragaman (diversity).

c) Strategi Keterikatan Karyawan (Employee Engagement)

Manajemen SDM harus mampu membuat karyawan merasa terikat dengan

perusahaannya. Engagement karyawan adalah sebuah keadaan dimana karyawan

bekerja semaksimal mungkin bahkan melampaui yang diharapkan. Amstrong (2008)

menyatakan bahwa karyawan yang terikat (engaged) akan menunjukkan sikap yang

positif dan bersemangat dengan pekerjaan mereka sehingga mereka akan berusaha

melakukan yang terbaik. Menurut Robinson et al (2004), karyawan yang engaged

memiliki ciri-ciri sebagai berikut: bersikap positif terhadap pekerjaannya; percaya

pada perusahaannya; selalu berusaha untuk melakukan improvement; menghormati

karyawan lain dan membantu sesama karyawan untuk bekerja lebih efektif; bisa

diandalkan, melakukan lebih daripada yang ditentukan; fokus pada hal yang lebih

besar, bahkan sampai mengorbankan kepentingan pribadi; mengikuti perkembangan

bidang pekerjaannya; mencari dan mendapatkan kesempatan untuk membuat kinerja

perusahaan menjadi lebih baik lagi.

Perusahaan harus membuat karyawannya engaged karena hal ini menentukan kinerja

perusahaan juga. Armstrong (2008) merumuskan beberapa faktor yang

mempengaruhi tingkat keterikatan karyawan, sebagai berikut:

Pekerjaan (The work itself)

Pekerjaan bisa menentukan tingkat keterikatan (engagement) karyawan.

Engagement karyawan akan meningkat jika pekerjaan yang dikerjakan

menyenangkan dan menantang, karyawan merasa bahwa mereka memegang kendali

dan bertanggung jawab atas pekerjaan mereka dan pekerjaan tersebut penting, jika

karyawan diberikan otonomi dalam bekerja, dan kesempatan untuk menggunakan

dan mengembangkan kemampuan dan keahlian, ketersediaan sumber daya yang

dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan, dan peluang untuk berkembang. Hal lain

yang penting juga adalah manajer bisa membuat desain pekerjaan dengan baik. Agar

Page 24: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

24

tercipta engagement melalui pekerjaan maka Lawler (1969) merumuskan tiga hal

yang dapat dilakukan oleh manajemen terkait dengan pekerjaan yaitu melalui

Feedback dimana karyawan harus diberikan feedback yang tepat sehubungan dengan

kinerjanya. Feedback diberikan dengan terlebih dahulu mengevaluasi secara benar

kinerja karyawan. Yang kedua adalah Use of abilities dimana karyawan harus

merasa bahwa pekerjaan yang diberikan kepada mereka adalah pekerjaan yang

membutuhkan kemampuan mereka. Yang ketiga adalah Self-control (autonomy)

dimana karyawan harus merasa bahwa mereka diberikan otonomi untuk bekerja

dengan cara mereka mencapai goal.

Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja yang berperan untuk terciptanya engagement adalah

lingkungan kerja yang mendukung dan inspirasional bagi karyawan yang

mendukung mereka untuk memaknai dan melaksanakan peran mereka. Sehingga

karyawan bisa memiliki kinerja tinggi dan melakukan yang terbaik. Lingkungan

yang mendukung (supportive) adalah lingkungan memperhatikan work-life balance,

yang tidak membebani emosional karyawan secara berlebihan, lingkungan kerja

yang sehat dan aman, dan keamanan pekerjaan. Lingkungan kerja yang inspirational

Armstrong mengutip John Purcell yang memaknai lingkungan kerja yang

inspirational sebagai lingkungan kerja yang memiliki “big idea”, dimana organisasi

memiliki visi yang jelas dan nilai-nilai bersama yang tertanam, terukur dan bisa

dikelola. Lingkungan kerja juga mencakup proses kerja, peralatan dan fasilitas dan

kondisi fisik ditempat kerja karyawan. Dalam hal lingkungan kerja, yang bisa

dilakukan agar adalah mengembangkan budaya yang mendorong sikap positif untuk

bekerja, lingkungan kerja yang membuat karyawan berminat dan bersemangat untuk

bekerja, dan menurunkan stres. Dengan lingkungan ini maka karyawan akan

bersemangat untuk bekerja bahwa memberikan usaha lebih dalam melakukan

pekerjaanya. Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah komunikasi, involvement,

work–life balance dan kondisi kerja.

Kepemimpinan

Hal lain yang bisa mendorong terbentuknya engagement adalah cara

karyawan dipimpin dan dikelola. Termasuk di dalamnya seberapa besar otonomi

yang diberikan kepada karyawan dan peluang bagi karyawan untuk berkembang,

mencapai goal, dan menyediakan feedback yang menghargai kontribusi karyawan.

Dalam hal kepemimpinan yang bisa dilakukan untuk meningkatkan engagement

harus berfokus pada apa yang harus dilakukan manajer lini sebagai pemimpin.

Dalam hal ini MSDM harus memastikan bahwa manajer lini paham apa yang

diharapkan dari seorang manajer lini sebagai pemimpin dan keahlian apa yang harus

mereka miliki. Ini dapat dilakukan melalui pelatihan formal terlebih khusus bagi

yang berpotensi untuk menjadi manajer, melalui mentoring atau coaching.Pada

Page 25: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

25

manajer lini juga dapat melatih keahlian memimpin mereka dengan menggunakan

[proses manajemen kinerja. Aktivitas manajemen kinerja mencakup penetapan

peran, rencana pengembangan kinerja, mengamati kinerja dan memberikan

feedback.

Peluang untuk Pengembangan Diri

Pengembangan diri merupakan hal yang sangat penting bagi semua orang,

oleh karena itu ketika perusahaan mampu menciptakan peluang untuk karyawan bisa

mengembangkan dirinya, maka hal ini akan membuat karyawan terikat dengan

perusahaan. Armstrong (2008) mengatakan bahwa peluang untuk berkembang

merupakan motivasi yang berdampak langsung pada engagement ketika peluang ini

menjadi elemen dari pekerjaan. Untuk bisa menghadirkan peluang untuk

pengembangan diri yang diperlukan adalah budaya belajar. Reynolds (2004)

mengatakan bahwa budaya belajar adalah merupakan media untuk berkembang yang

akhirnya mendorong karyawan untuk melakukan positive discretionary behavior,

including learning’. Budaya belajar mencakup: penguatan bukan supervisi

(empowerment not supervision), pembelajaran mandiri bukan instruksi, membangun

kapasitas dalam jangka panjang dan bukan perbaikan jangka pendek (long-term

capacity building not short-term fixes).

Karyawan harus didorong untuk belajar dan berkembang saat melakukan

tugas mereka, sehingga dibutuhkan kebijakan yang fokus pada fleksibilitas peran

(role flexibility) yaitu kesempatan bagi karyawan untuk mengembangkan peran

mereka dengan cara menggunakan talenta karyawan dengan lebih baik dan lebih

luas lagi. Untuk mencapai hal ini dibutuhkan manajemen kinerja yang menekankan

pada perencanaan perkembangan individu. Strategi Peluang Pengembangan Diri

juga harus mencakup peluang untuk mengembangan karir dan bagaimana karyawan

dituntun dan didukung.

Peluang untuk Berkontribusi

Ketika karyawan merasakan bahwa mereka memberikan kontribusi bagi

perusahaan, maka pada saat itulah rasa terikat akan semakin kuat. Kontribusi ini

hanya akan ada jika pendapat karyawan didengar, sehingga mereka akan terus

berpikir untuk memberikan ide-ide dan pandangan yang bisa berkontribusi pada

perusahaan.

Untuk bisa menciptakan dan meningkatkan engagement karyawan, SDM

bisa melakukan beberapa hal pada faktor-faktor di atas. Menyediakan peluang untuk

berkontribusi berarti tidak hanya memberikan ruang untuk proses konsultasi formal,

tetapi yang terpenting adalah menciptakan lingkungan yang membuat karyawan bisa

mengungkapkan pendapat dan mendorong mereka untuk mengungkapkannya, dan

Page 26: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

26

menekankan sebagai sebuah nilai dalam perusahaan bahwa manajemen dalam semua

level harus siap untuk mendengar dan merespon kontribusi apapun yang karyawan

berikan.

d) Strategi Penyediaan Tenaga Kerja (Employee Resourcing Strategy)

Strategi penyediaan tenaga kerja bertujuan untuk memastikan bahwa

perusahaan memiliki tenaga kerja yang dibutuhkan. Strategi ini tidak hanya

mencakup aktivitas mendapatkan tenaga kerja berdasarkan jumlah dan kualitas yang

dibutuhkan melalui rekrutmen dan seleksi, tetapi juga mencakup mempertahankan

karyawan yang memiliki potensi untuk berkembang dan melakukan promosi. Seperti

yang dikatakan Keep (1989) bahwa yang dibutuhkan perusahaan adalah bukan

hanya karyawan bukan hanya kualitas, pengetahuan dan keahlian yang dimiliki saat

ini tetapi juga potensi yang dimiliki oleh karyawan yang dapat dikembangkan.

Sedangkan untuk promosi, menurut Armstrong (2008) promosi ini dilakukan kepada

karyawan yang memiliki kesesuaian budaya dengan budaya perusahaan dan

memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan untuk perusahaan mencapai sasaran

strategisnya.

Lebih jauh lagi menurut Amstrong (2008), strategi penyediaan tenaga kerja

mencakup praktik-praktik MSDM lain yang dibutuhkan untuk menyediakan

perusahaan karyawan dengan keahlian dan perilaku kerja yang dibutuhkan

perusahaan. Oleh karena itu strategi ini mencakup juga learning and development

untuk meningkatkan keahlian dan semakin membentuk perilaku yang diharapkan.

Bukan hanya itu, strategi ini juga mencakup memberikan reward bagi karyawan

yang meningkatkan keahlian mereka. Manajemen talenta dan proses manajemen

kinerja juga termasuk dalam praktik-praktik MSDM yang bisa digunakan untuk

memastikan bahwa perusahaan memiliki tenaga kerja yang memiliki keahlian,

kemampuan, pengetahuan dan cara kerja yang mumpuni untuk menunjang

perusahaan mencapai tujuannya. Berikut ini komponen-komponen strategi

penyediaan tenaga kerja seperti dirumuskan oleh Armstrong (2008).

Perencanaan Sumber Daya Manusia (Human resource planning)

Dalam perencanaan ini organisasi menilai kebutuhan perusahaan di masa

depan dan mencari tenaga kerja yang dibutuhkan. Yang dibutuhkan bukan hanya

jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan namun juga kualitas yang dibutuhkan. Lebih

jauh lagi menurut Armstrong (2008) perencanaan SDM juga mencakup hal-hal yang

berhubungan dengan cara mempekerjakan karyawan yang efektif dan

mengembangkan kompetensi karyawan untuk memenuhi kebutuhan perusahaan.

Namun terkadang strategi penyediaan tenaga kerja ini tidak mudah untuk dilakukan

karena beberapa kondisi. Rothwell (1995) berpendapat bahwa ada kesenjangan

antara teori dan praktik, seperti misalnya jika ada kesulitan memprediksi masa

depan, jika ada perubahan prioritas kebijakan dan strategi perusahaan, manajer yang

Page 27: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

27

lebih memiliki adaptasi (reaktif), kurangnya bukti bahwa teori perencanaan sumber

daya manusia ini efektif sehingga banyak perusahaan tidak melakukannya dalam

praktik-praktik SDM mereka.

Mengembangkan Employee Value Proposition

Employee Value Proposition merupakan penawaran yang diberikan kepada

karyawan atau calon karyawan agar mereka bersedia bekerja atau tetap bekerja di

perusahaan. Tujuan dari Employee Value Proposition ini adalah untuk menarik dan

mempertahankan tenaga kerja. Employee Value Proposition mencakup remunerasi,

tetapi menurut Amstrong (2008) ada hal non-finansial lain yang bisa menjadi

Employee Value Proposition seperti daya tarik perusahaan, etika dan tanggung

jawab perusahaan, penghargaan termasuk keberagaman, work–life balance,

kesempatan karyawan untuk berkembang secara pribadi maupun profesional. Hal ini

membuat Employee Value Proposition semacam brand sebuah perusahaan atau

organisasi, dimana perusahaan tersebut terkenal karena proposisi yang disediakan

yang bisa membuat perusahan tersebut berbeda dari perusahaan lain, seperti yang

diungkapkan Walker (2007) bahwa Employee Value Proposition adalah ‘a set of

attributes and qualities – often intangible – that make an organization distinctive,

promise a particular kind of employment experience and appeal to people who will

thrive and perform their best in its culture’.

Perencanaan Penyediaan Tenaga Kerja (Resourcing plans)

Perencanaan penyediaan tenaga kerja mencakup rencana untuk menunjuk

karyawan untuk menempati sebuah posisi dan/atau menyediakan program

pembelajaran dan pengembangan (learning and development) untuk membantu

karyawan mendapatkan keahlian dan kemampuan serta pengetahuan yang

dibutuhkan. Untuk melakukan ini maka diperlukan analisis kebutuhan. Dua jenis

penyediaan tenaga kerja adalah Penyediaan dari Internal (Internal resourcing) dan

dari Eksternal (External resourcing). Internal resourcing ditujukan untuk mencari

tenaga kerja dari karyawan yang sedang bekerja. Idealnya untuk bisa mendapatkan

data yang tepat bisa dilakukan dengan audit keahlian dan kompetensi secara regular

dan menganalisis hasil manajemen kinerja. Memasang iklan tentang internal

recruitment merupakan salah satu alat untuk mencari tenaga kerja yang dibutuhkan

untuk Internal resourcing.

External resourcing lebih menekankan pada strategi rekrutmen dan seleksi.

Tapi selain itu menurut Armstrong (2008) strategi external resourcing juga harus

mencakup bagaimana agar membuat perusahaan menjadi perusahaan yang diminati

bahkan diincar oleh pencari kerja. Strategi ini juga mencakup metode yang tepat

untuk menentukan keahlian dan kompetensi apa yang dibutuhkan. Hal terakhir

menurut Amstrong yang harus diperhatikan dalam strategi ini adalah menentukan

metode yang paling efektif untuk mendapatkan jumlah dan tipe karyawan yang

Page 28: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

28

dibutuhkan. Menurut Spellman (1992) strategi External resourcing dibuat dengan

cara sebagai berikut:

Menentukan keahlian dan kompetensi yang dibutuhkan, termasuk perilaku.

Menganalisis faktor yang mempengaruhi keputusan calon karyawan untuk

bekerja di perusahaan atau tidak. Faktor-faktor tersebut adalah gaji dan total

benefit; peluang karir; kesempatan untuk menggunakan keahlian yang

dimiliki atau peluang untuk mendapatkan keahlian baru; kesempatan untuk

menggunakan peralatan/teknologi terbaru; kesempatan untuk mendapatkan

pelatihan tingkat tinggi; pekerjaan yang rewarding; keyakinan bahwa yang

dilakukan perusahaan adalah sesuatu yang berarti; reputasi perusahaan;

peluang karir yang diciptakan oleh pekerjaan

Penyediaan Kompetitif (Competitive resourcing). Ini berhubungan dengan

analis tentang persaingan mendapatkan tenaga kerja dengan perusahaan lain.

Sehingga perusahaan harus memperhatikan hal-hal di atas agar bisa

memberikan yang lebih dari perusahaan lain. Disini juga perusahaan perlu

memantau market rates (salary) dan bagaimana posisi perusahaan terkait

dengan ini.

Strategi alternatif untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja seperti misalnya

outsourcing, downsizing, meningkatkan pelatihan, re-engineering, multi

skilling.

Teknik rekrutmen dan seleksi. Strategi ini mencakup metode untuk mencari

tenaga kerja sesuai jumlah dan kualitas yang dibutuhkan termasuk keahlian

dan pengalaman, perilaku dan tenaga kerja yang bisa langsung cocok

dengan budaya organisasi. Inti dari strategi ini adalah menemukan alat

rekrutmen dan seleksi yang terbaik.

Strategi retensi (Retention strategy)

Perencanaan untuk mempertahankan karyawan yang dibutuhkan

perusahaan, dan mengurangi angka turnover karyawan. Untuk melakukan strategi

ini dibutuhkan analisis tentang alasan karyawan tetap tinggal dan bekerja dan alasan

karyawan meninggalkan perusahaan. Analisis ini bisa dilakukan dengan cara survey

dan juga interview pada saat karyawan memutuskan untuk bekerja di

perusahaan/keluar dari pekerjaannya. Beberapa hal yang bisa dianalisis karena

mempengaruhi alasan karyawan tetap bekerja dan keluar adalah sebagai berikut:

Bayaran / Gaji : Jika gaji tidak kompetitif atau sistem penggajian tidak

adil.

Rancangan pekerjaan: Pekerjaan seharusnya dirancang agar bisa

memaksimalkan keahlian karyawan pekerjaan yang memiliki manfaat,

pekerjaan yang memberikan otonomi kepada karyawan untuk bekerja

dengan cara sendiri, adanya feedback dan kesempatan untuk belajar dan

berkembang.

Kinerja: Karyawan bisa terdemotivasi jika tanggung jawabnya tidak

jelas dan standar kinerja yang diharapkan seperti apa tidak jelas,

Page 29: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

29

karyawan tidak dievaluasi dan tidak tahu seberapa baik kinerja mereka

atau jika karyawan merasa penilaian kinerja nya tidak adil. Oleh karena

itu hal-hal yang bisa dilakukan ladah memperjelas kepada karyawan

apa goal yang harus dicapai dan bagaimana mencapainya, memberikan

feedback yang informatif dan reguler dan juga penghargaan atau pujian

saat karyawan kinerjanya baik, melatih manajer tentang cara meninjau

kinerja.

Learning and development: Karyawan bisa berhenti bekerja ketika

tidak diberikan peluang untuk belajar dan berkembang.

Pengembangan Karir: Prospek pengembangan karir merupakan salah

satu penyebab utama karyawan berhenti bekerja, oleh karena itu

perusahaan harus memperhatikan hal ini.

Komitmen: Komitmen bisa ditingkatkan melalui beberapa cara sebagai

berikut: menjelaskan misi, nilai dan strategi perusahaan dan berdiskusi

dengan karyawan tentang ini; komunikasi yang reguler dengan

karyawan; memperhitungkan pendapat atau ide karyawan; membuka

peluang bagi karyawan untuk berkontribusi pada memperbaiki sistem

kerja melalui ide mereka.

Kurangnya Kohesivitas Kelompok: Karyawan akan merasa terisolasi

dan jika tidak ada kohesivitas dalam kelompok. Untuk mengatasi ini

perusahaan bisa memfasilitasi kerjasama tim dan team building.

Ketidakpuasan dan konflik dengan manajer: Hal ini bisa terjadi ketika

karyawan menilai bahwa manajer tidak memberikan kepemimpinan

yang seharusnya, atau memperlakukan karyawan secara tidak adil. Oleh

karena itu selain memilih manajer dengan kualitas kepemimpinan yang

baik, perusahaan juga bisa memberikan pelatihan kepemimpinan

termasuk metode untuk menyelesaikan konflik.

Rekrutmen, Seleksi dan Promosi: Proses-proses ini sangat penting

untuk memastikan ada kesesuaian antara kapasitas karyawan yang

bekerja dengan tuntutan pekerjaan.

Marketing yang Berlebihan: Ketidakpuasan karyawan bisa tercipta jika

ekspektasi karyawan sebagai akibat dari marketing yang berlebihan

misalnya tentang peluang karir, dengan kenyataan.Oleh karena itu

dalam proses rekrutmen dan seleksi yang diberitahukan adalah yang

realistis atau kenyataan.

Strategi Fleksibilitas (Flexibility strategy)

Perencanaan untuk meningkatkan fleksibilitas dalam hal penggunaan SDM

untuk memastikan bahwa perusahaan menggunakan tenaga kerjanya sebaik mungkin

dan jika ada perubahan maka SDM bisa menyesuaikan. Hal ini bisa dilakukan

dengan cara antara lain outsourcing dan mendorong multiskilling untuk

meningkatkan kemampuan karyawan untuk mengganti pekerjaan atau mengerjakan

pekerjaan apapun yang dibutuhkan.

Page 30: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

30

Strategi Manajemen Talenta (Talent management strategy).

Memastikan bahwa perusahaan memiliki SDM yang dibutuhkan untuk

suksesi manajemen dan kebutuhan bisnis masa akan datang.

e) Strategi Pembelajaran dan Pengembangan

Masih dalam kerangka untuk memastikan bahwa perusahaan memiliki

karyawan yang memiliki keahlian yang dibutuhkan oleh perusahaan maka

perusahaan juga harus memberikan ruang dan menyediakan kesempatan bagi

karyawan untuk mengembangkan pengetahuan dan keahliannya. Menurut Amstrong

(2008), strategi Learning and development adalah strategi yang mencakup

membangun sebuah budaya belajar, pembelajaran organisasi, membangun sebuah

organisasi pembelajar dan menyediakan pembelajaran individu.

Strategi untuk menciptakan budaya belajar

Budaya belajar adalah budaya yang menjadikan aktivitas belajar sebagai

aktivitas yang penting yang dilakukan secara terus menerus oleh semua karyawan,

termasuk manajemen puncak, manajer lini dan semua karyawan. Reynolds (2004)

merumuskan langkah-langkah menciptakan budaya belajar:

Membuat dan membagikan visi

Memberikan kewenangan pada karyawan (empower) dalam hal

memberikan otonomi, kebebasan ada karyawan untuk mengatur

pekerjaannya tetapi masih tetap dalam batasan-batasan berupa

kebijakan dan perilaku yang diharapkan, tapi tetap didukung. Selain

itu, karyawan juga diberikan kesempatan untuk memiliki tanggung

jawab untuk membuat keputusan.

Menyediakan lingkungan yang mendukung proses belajar, misalnya

jejaring rekan kerja, sistem dan kebijakan yang mendukung dan

waktu untuk dikhususkan untuk belajar.

Gunakan teknik coaching untuk memunculkan bakat karyawan

dengan cara mendorong karyawan untuk membuat pilihan-pilihan dan

mencari solusi dengan cara mereka sendiri.

Memandu karyawan ketika menghadapi tantangan dalam pekerjaan

dan menyediakan waktu dan sumber daya yang diperlukan dan

khususnya feedback.

Mengakui pentingnya peran manajer sebagai panutan (role model)

Mendorong jejaring – komunitas praktik

Menghubungkan sistems dengan visi – hilangkan sistem birpokrasi

yang bisa memunculkan masalah dan bukannya mendukung kerja.

Page 31: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

31

Strategi Pembelajaran Organisasi

Tujuan dari strategi Pembelajaran Organisasi adalah untuk membangun

kemampuan perusahaan berbasis sumber daya, yaitu sumber daya manusia. Karena

perusahaan memiliki sumber daya manusia yang memiliki simpanan modal

produktif (Ehrenberg dan Smith, 1994), yang didapatkan dari pendidikan, pelatihan

dan pengalaman. Berarti dengan modal kualitas ini perusahaan bisa

memanfaatkannya dalam proses pembelajaran antar karyawan. Harrison (1997)

merumuskan lima prinsip pembelajaran organisasi.

Visi organisasi harus dikomunikasikan dan dirawat di antara tenaga

kerjanya untuk mendorong kesadaran karyawan akan pentingnya

pemikiran strategis di semua level.

Mengembangkan strategi dalam konteks visi yang kuat dan tidak

ambigu. Strategi ii akan mendorong terbentuknya pilihan-pilihan

strategi, mendorong cara berpikir lateral dan mengarahkan aktivitas

cipta wawasan bagi karyawan.

Dialog, komunikasi dan percakapan rutin tentang visi dan tujuan

perusahaan adalah fasilitator utama pembelajaran organisasi.

Sangat penting untuk terus menerus menantang karyawan untuk

menguji kembali hal-hal yang mereka abaikan.

Sangat penting untuk mengembangkan iklim belajar dan inovasi yang

kondusif.

Strategi Organisasi Pembelajar

Pembelajaran organisasi erat hubungannya dengan organisasi pembelajar.

Organisasi pembelajar adalah organisasi yang secara terus menerus berkembang

untuk mencapai tujuannya. Perkembangan ini dilakukan dengan cara menciptakan

dan memperbaiki kapasitasnya untuk mencapai kesuksesan. Dalam usaha

menciptakan dan memperbaiki kapasitas ini adalah upaya untuk memfasilitasi

pembelajaran bagi semua tenaga kerja. Salah satu pendekatan dari strategi organisasi

pembelajar adalah fokus pada penyelesaian masalah secara kolektif dengan cara

menggunakan pembelajaran tim dan metode soft systems dimana semua hal yang

dianggap sebagai penyebab masalah dipertimbangkan untuk bisa memilih mana

penyebab yang bisa diselesaikan dan mana yang tidak bisa diselesaikan. Menurut

Sloman (1999) strategi organisasi pembelajar didasarkan pada keyakinan bahwa

proses belajar adalah proses yang bersifat terus-menerus dan bukan hanya beberapa

kegiatan pelatihan.

Strategi Pembelajaran Individu

Strategi ini fokus pada strategi untuk mendukung individu karyawan untuk

belajar agar bisa mengembangkan keahlian dan pengetahuan untuk mencapai goal.

Sloman (2003) menyatakan strategi pembelajaran harus mencakup bagaimana cara

Page 32: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

32

mengidentifikasi kebutuhan belajar, peran perencanaan untuk pengembangan diri

dan pembelajaran mandiri, dan dukungan yang harus disediakan dalam bentuk

bimbingan, coaching, pusat belajar, mentoring, kursus eksternal untuk memenuhi

kebutuhan per individu.

f) Strategi Penghargaan (Reward Strategy)

Strategi reward adalah strategi yang merumuskan kebijakan, praktik dan

proses pemberian reward dengan memperhatikan kebutuhan perusahaan dan

kebutuhan karyawan (Armstrong, 2008). Dengan adanya strategi reward,

perusahaan menentukan bagaimana perusahaan menghargai sumber daya

manusianya. Dalam strategi reward ini manajer lini memiliki peran yang penting

karena mereka adalah yang mengetahui paling banyak tentang kinerja karyawan. Hal

ini sejalan dengan Amstrong (2008) yang mengatakan bahwa kecenderungan saat ini

adalah tanggung jawab manajemen reward diberikan pada manajer lini.

Strategi reward harus memiliki prinsip-prinsip yang menjadi acuan dalam

pemberlakukan kebijakan reward, dan dari prinsip-prinsip ini juga tercermin nilai

yang menjadi keyakinan perusahaan tentang bagaimana sumber daya manusianya

dihargai. Menurut Armstrong (2008) prinsip-prinsip ini harus didasarkan pada

keadilan, kesetaraan, konsistensi dan transparansi dan contohnya adalah sebagai

berikut:

Mengembangkan kebijakan dan praktik reward yang mendukung

pencapaian tujuan perusahaan

Menyediakan reward yang menarik tenaga kerja, reward yang membuat

karyawan tetap bekerja dan memotivasi mereka sehingga menciptakan

budaya kerja yang berkinerja tinggi.

Menjaga tingkat bayaran yang kompetitif

Menghargai semua karyawan yang memberikan kontribusi yang efektif,

bukan hanya yang kinerjanya paling bagus.

Menciptakan fleksibilitas dalam proses reward dan pilihan-pilihan

keuntungan bagi karyawan

Menyerahkan tanggung jawab sehubungan dengan keputusan yang

berhubungan dengan reward kepada manajer lini.

Menurut Armstrong (2008), strategi reward mencakup dua hal yaitu Broad-

brush reward strategy dan Specific reward initiatives yang bisa digunakan

bersamaan ataupun tidak. Broad-brush reward strategy merupakan kebijakan

reward yang menyeluruh, yang menyeimbangkan antara reward finansial dan

nonfinansial. Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan komitmen dan keterikatan

karyawan sekaligus menyediakan lebih banyak peluang penghargaan bagi kontribusi

karyawan. Contoh strategi ini adalah membuat manajemen reward yang mendukung

perkembangan diri karyawan dan menyediakan peluang karir. Inisiatif reward yang

Page 33: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

33

lebih spesifik (Specific reward initiatives) dibuat berdasarkan keadaan organisasi

serta kebutuhan bisnis dan karyawan. Contohnya adalah membuat skema

pembayaran berdasarkan kontribusi. Contoh lain adalah melakukan peninjauan

untuk memberikan bayaran yang sama (equal pay reviews) sehingga pekerjaan yang

memiliki nilai sama dibayar juga dengan sama.

Strategi reward harus terus dipelajari untuk memastikan bahwa strategi tersebut

efektif. Duncan Brown (2001) menyebutkan tiga komponen yang harus ada untuk

strategi reward bisa menjadi strategi yang efektif yaitu pertama memiliki tujuan-

tujuan yang jelas, dan terintegrasi dengan tujuan perusahaan. Kedua, memiliki

program-program reward dan bayaran yang didesain dengan baik sesuai dengan

kebutuhan perusahaan dan karyawan, yang konsisten dan terintegrasi satu sama lain.

Ketiga adalah proses reward harus efektif dan suportif.

g) Strategi Hubungan Karyawan (Employee Relation)

Strategi ini berhubungan dengan bagaimana perusahaan mengelola

hubungannya dengan karyawan dan serikat pekerja. Karena hubungan perusahaan

dan karyawannya adalah hal penting dalam perusahaan untuk menjalankan strategi

bisnisnya. Strategi atau program perusahaan tidak akan bisa berjalan dengan efektif

jika tidak ada kerjasama yang baik antara perusahaan dan karyawan karena

hubungan yang tidak saling mendukung. Oleh karena itu strategi ini sangat penting

untuk memelihara hubungan perusahaan dan karyawan untuk bisa menciptakan

lingkungan yang mendukung jalannya perusahaan. Amstrong (2008) menekankan

bahwa tujuan dari strategi ini adalah untuk membangun hubungan yang stabil dan

kooperatif yang bisa meminimalisir terjadi konflik antara perusahaan dan karyawan.

Selain itu, strategi ini juga mendorong terbentuknya komitmen melalui komunikasi

yang baik dan keterlibatan karyawan. Tujuan terakhir dari strategi ini adalah untuk

menciptakan hubungan yang saling menguntungkan untuk mencapai tujuan

perusahaan melalui nilai bersama karyawan dan perusahaan atau khususnya pihak

manajemen.

Salah satu strategi yang bisa dilakukan dalam mengelola hubungan dengan

karyawan adalah strategi suara karyawan yang mendorong bukan hanya komunikasi

tapi lebih pada keterlibatan atau partisipasi karyawan. Menurut Boxall dan Purcell

(2003), Suara Karyawan (Employee voice) merujuk pada proses dan struktur yang

memungkinkan bahwa mendorong karyawan untuk berkontribusi pada proses

pengambilan keputusan secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini membuat

karyawan memiliki pengaruh pada proses pengambilan keputusan yang ada di

perusahaan. Marchington et al (2001) menggolongkan suara karyawan menjadi dua

yaitu 1) suara individu dan 2) suara kolektif berupa serikat pekerja atau perwakilan

pekerja dalam bentuk lain.

Page 34: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

34

2.3.8. Kebijakan Manajemen Sumber daya Manusia Strategis

Kebijakan dalam MSDM adalah panduan tentang bagaimana nilai, prinsip

dan strategi manajemen SDM harus dilaksanakan dalam area manajemen SDM

(Armstrong 2008). Kebijakan adalah salah satu proses merealisasikan strategi

MSDM (Tyson 1997). Menurut Purcell et al (2003), yang menghidupkan kebijakan

adalah komitmen dan kapabilitas manajer lini untuk menjalankan strategi MSDM.

Menurut Schuler (1992), dalam MSDM strategis harus memastikan bahwa kebijakan

SDM koheren satu sama lain dan antar hirarki.

2.4. Hubungan Budaya Organisasi dan Manajemen Sumber Daya

Manusia Strategis

Budaya organisasi merupakan asumsi dasar (Schein 1992) serta nilai,

kepercayaan, dan norma (Meyer dan Topolnytsky 2000) yang dipegang oleh anggota

organisasi termasuk pimpinan organisasi. Karena pimpinan organisasi adalah pihak

yang membuat strategi organisasi, maka asumsi dasar dan nilai yang dipegang oleh

pimpinan organisasi ini akan mempengaruhi strategi organisasi, termasuk strategi

MSDM. Hal ini telah dimuat dalam teori konteks sosial (Ferris, Hochwarter,

Buckley, Harrell-Cook, dan Frink 1999) bahwa budaya organisasi mempengaruhi

pembuatan dan pengembangan sistem MSDM. Lebih lanjut lagi, budaya ini tidak

hanya berpengaruh pada pembuatan strategi saja namun juga dalam pelaksanaan

MSDM strategis. Seperti dikatakan Wei (2008) bahwa budaya bisa berpengaruh

pada penerapan MSDM dalam hal orientasi penerapan dan apa yang menjadi

penekanan dalam penerapannya, misalnya dalam organisasi dengan budaya

kelompok (group culture) MSDM lebih menekankan pada pemberian reward untuk

mendukung komitmen pada organisasi.

Di sisi lain, MSDM strategis juga mempengaruhi budaya organisasi.

Praktik-praktik MSDM dibuat untuk mengatur bagaimana anggota organisasi harus

berperilaku, seperti dikatakan oleh Bowen dan Ostroff (2004) bahwa penerapan

MSDM membawa pesan-pesan kepada anggota organisasi tentang perilaku-perilaku

yang diharapkan untuk dilakukan oleh karyawan. Dalam pesan ini juga anggota

organisasi dapat mengetahui nilai-nilai yang dipegang oleh organisasi dan akhirnya

memegang nilai tersebut. Nilai yang dipegang dan pola perilaku anggota organisasi

inilah yang kemudian menjadi budaya dalam organisasi. Beberapa studi juga telah

mendukung hal ini. Sistem dan praktik MSDM bisa menjadi sarana bagi

pembentukan, pemeliharaan, penyelarasan atau perubahan budaya organisasi (Kerr

dan Slocum, 1987) dengan cara mengubah atau mendorong perilaku karyawan

(Thornhill et al., 2000).

Page 35: BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1 ...

35

Budaya adalah sejenis kontrol sosial yang menentukan sikap dan perilaku

anggota organisasi (O’Reilly dan Chatman 1996). Begitu juga dengan MSDM yang

mengelola SDM untuk berperilaku seperti yang diharapkan organisasi untuk

mencapai tujuan organisasi. Wei et al., (2008) meneliti hubungan budaya dan

MSDM Strategis dan kaitannya dengan kinerja perusahaan, dan menemukan bahwa

budaya mempengaruhi MSDM strategis yang kemudian berdampak positif pada

kinerja perusahaan. Jika budaya dan MSDM saling terintegrasi dan saling

mendukung maka organisasi akan bisa mencapai tujuannya dengan optimal.