BAB II SCM

29
A. Definisi Supply Chain Management Dengan latar belakang praktek manajemen logistik tradisional dan perubahan lingkungan bisnis yang semakin cepat tersebut di atas, Supply Chain Management (SCM) merupakan salah satu konsep dalam rangka merespon persoalan tersebut. Supply Chain Management (SCM) menekankan pada pola terpadu menyangkut proses aliran produk dari supplier, manufaktur, retailer hingga pada konsumen akhir. Dalam konsep SCM ingin diperlihatkan bahwa rangkaian aktivitas antara supplier hingga konsumen akhir adalah dalam satu kesatuan tanpa sekat yang besar. Mekanisme informasi antara berbagai komponen tersebut berlangsung secara transparan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Supply Chain Management (SCM) adalah suatu konsep yang menyangkut pola pendistribusian produk yang mampu menggantikan pola-pola pendistribusian produk secara tradisional. Pola baru ini menyangkut aktivitas pendistribusian, jadwal produksi, dan logistik. Ada pula yang mengatakan bahwa Supply Chain Management (SCM) adalah suatu metode penciptaan produk untuk disampaikan

description

Landasan Teori

Transcript of BAB II SCM

Page 1: BAB II SCM

A. Definisi Supply Chain Management

Dengan latar belakang praktek manajemen logistik tradisional dan perubahan

lingkungan bisnis yang semakin cepat tersebut di atas, Supply Chain Management (SCM)

merupakan salah satu konsep dalam rangka merespon persoalan tersebut.

Supply Chain Management (SCM) menekankan pada pola terpadu menyangkut

proses aliran produk dari supplier, manufaktur, retailer hingga pada konsumen akhir. Dalam

konsep SCM ingin diperlihatkan bahwa rangkaian aktivitas antara supplier hingga

konsumen akhir adalah dalam satu kesatuan tanpa sekat yang besar. Mekanisme informasi

antara berbagai komponen tersebut berlangsung secara transparan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Supply Chain Management (SCM) adalah

suatu konsep yang menyangkut pola pendistribusian produk yang mampu menggantikan

pola-pola pendistribusian produk secara tradisional. Pola baru ini menyangkut aktivitas

pendistribusian, jadwal produksi, dan logistik.

Ada pula yang mengatakan bahwa Supply Chain Management (SCM) adalah suatu

metode penciptaan produk untuk disampaikan pada pengguna akhir, dimana di dalamnya

tercakup berbagai komponen, yaitu: the supplier of raw materials, the manufacturing units,

warehouses, transporters, retailers, and finally selling.

Dari 2 definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa fokus utama dari SCM

adalah sinkronisasi proses untuk kepuasan pelanggan. Semua supply chain pada hakekatnya

memperebutkan pelanggan dari produk atau jasa yang ditawarkan. Semua pihak yang

berada dalam satu rantai supply chain harus bekerja sama satu dengan lainnya semaksimal

mungkin untuk meningkatkan pelayanan dengan harga murah, berkualitas, dan tepat

pengirimannya.

Page 2: BAB II SCM

Persaingan dalam konteks SCM adalah persaingan antar rantai, bukan antar individu

perusahaan. Kelemahan praktek tradisional yang bersifat adversarial adalah terfokusnya

ukuran keberhasilan dan aktivitas pada bagian-bagian kecil dari supply chain yang justru

sering berlawanan dengan tujuan akhir untuk meningkatkan pelayanan pada pelanggan atau

konsumen akhir.

B. Integrated Supply Chain

Semua perusahaan memerlukan sesuatu yang sangat ekonomis guna melakukan

kegiatan memproduksi untuk memperoleh keuntungan. Untuk mencapai keinginan tersebut,

kelancaran arus material yang diperlukan pasti melibatkan lebih dari satu rantai pasokan.

Faktor kritis dalam rantai pasokan yang efisien adalah pembelian, karena tugas pembeliaan

untuk menyeleksi pemasok (berikut materialnya) dan kemudian membangun hubungan

yang saling menguntungkan. Tanpa pemasok yang baik dan tanpa pembelian yang

memadai, rantai pasokan tidak akan memiliki peran untuk kondisi pasar pada masa seperti

sekarang ini.

SCM diperlukan oleh perusahaan yang sudah mengarah pada pengelolaan dengan

sistem just in time, karena konsep just in time sangat menekankan ketepatan waktu

kedatangan material dari pemasok sampai ke tangan konsumen sesuai dengan yang

ditetapkan. Artinya, kedisiplinan dan komitmen seluruh mata rantai harus benar-benar

dilaksanakan, karena sistem just in time tidak menekankan pada persediaan atau zero

inventory. Sehingga apabila terjadi penyimpangan pada salah satu mata rantai saja, maka

akan mengganggu pasokan material secara keseluruhan dan menghambat kelancaran tugas

dari mata rantai yang lain, karena tidak adanya persediaan. Untuk kondisi di Indonesia

sistem just in time akan berhasil kalau mata rantai terkait berada dalam satu cluster.

Page 3: BAB II SCM

Bagi perusahaan yang masih mementingkan persediaan karena karakteristik material

(misalnya faktor musiman) atau sebagai langkah antisipatif untuk menyiasati lingkungan

industri yang tidak stabil, SCM juga diperlukan. Peran SCM untuk jenis perusahaan ini

adalah menekan biaya persediaan, karena persediaan yang tidak optimal akan menimbulkan

dampak biaya penyimpanan, biaya pemesanan, dan biaya backorder (apabila terjadi

stockout).

Baik perusahaan yang menerapkan sistem just in time maupun yang masih

mementingkan persediaan, SCM yang dilaksankan akan lebih optimal apabila diterapkan

secara terintegrasi oleh seluruh mata rantai pasokan yang terkait.

Menerapkan konsep SCM secara menyeluruh dan terintegrasi tentu bukan

merupakan hal yang mudah dilakukan perusahaan. Kesulitan akan banyak dialami dalam

kaitan dengan lingkungan eksternal yaitu hubungan dengan supplier dan distributor serta

konsumen akhir. Hal ini dapat terjadi karena lingkungan eksternal relatif berada di luar

kendali perusahaan, sehingga perlu upaya kedua belah pihak untuk mencapai komitmen

menjadi mata rantai yang saling berkoordinasi untuk menyalurkan seluruh kebutuhan

material sesuai yang dibutuhkan.

Sekilas konsep SCM memiliki kesamaan dengan manajemen logistik, karena

keduanya mengelola arus barang dan jasa melalui pembelian, pergerakan, penyimpanan,

adminitrasi, dan penyaluran barang. Selain itu baik SCM maupun manajemen logistik juga

memiliki kesamaan dalam hal peningkatan efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan

barang. Perbedaan SCM dengan manajemen logistik terletak pada orientasinya. SCM

mengusahakan hubungan dan koordinasi antar proses dari perusahaan-perusahaan lain

dalam business pipelines, mulai dari suppliers sampai kepada pelanggan juga

Page 4: BAB II SCM

mengutamakan arus barang antar perusahaan, sejak paling hulu sampai paling hilir.

Sedangkan manajemen logistik berorientasi pada perencanaan dan kerangka kerja yang

menghasilkan rencana tunggal arus barang dan informasi di seluruh perusahaan, jadi lebih

terfokus pada pengelolaan termasuk arus barang dalam perusahaan.

Dalam perkembangannya, SCM telah banyak mengalami evolusi yang dapat

digambarkan dalam 4 (empat) tahap sebagai berikut (Indrajit dkk, 2002):

1. Tahap 1, dalam tahap 1 ada semacam kesendirian dan ketidak-saling-tergantungan fungsi

produksi dan fungsi logistik. Mereka menjalankan program-program sendiri yang

terlepas satu sama lain (in-complete isolation). Contohnya adalah bagian produksi yang

hanya memikirkan bagaimana membuat barang sesuai dengan mutu dan yang telah

ditetapkan, dan sama sekali tidak mau ikut memikirkan penumpukan inventory dan

penggunaan ruang gudang yang menimbulkan biaya persediaan yaitu biaya simpan.

2. Tahap 2, dalam tahap 2 perusahaan sudah mulai menyadari pentingnya integrasi

perencanaan walaupun dalam bidang yang masih terbatas, yaitu di antara fungsi internal

yang paling berdekatan, misalnya produksi dengan inventory control dan functional

integration yang lain.

3. Tahap 3, dalam tahap 3 integrasi perencanaan dan pengawasan atas semua fungsi yang

terkait dalam satu perusahan (internal integration).

4. Tahap 4, dalam tahap 4 menggambarkan tahap sebenarnya dari suplly chain integration,

yaitu integrasi total dalam konsep perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan

(manajemen) yang telah dicapai dalam tahap 3 dan diteruskan ke upstreams yaitu

suppliers dan downsterams sampai ke pelanggan.

Page 5: BAB II SCM

Evolusi SCM yang telah mencapai tahap keempat tersebut menunjukkan suatu

integrasi yang menyeluruh di antara seluruh komponen terkait sehingga menuntut adanya

transparansi arus informasi. Strategi kemitraan dapat digunakan untuk mewujudkan

kelancaran arus pasokan material dari pemasok sampai distributor hingga ke tangan

konsumen. Dengan startegi kemitraan maka perlu mengembangkan komunikasi di antara

semua pihak terkait, sehingga komunikasi arus informasi maupun data yang dibutuhkan

akan lebih lancar.

C. Manfaat SCM

Secara umum penerapan konsep SCM dalam perusahaan akan memberikan manfaat

yaitu (Jebarus, 2001) kepuasan pelanggan, meningkatkan pendapatan, menurunnya biaya,

pemanfaatan asset yang semakin tinggi, peningkatan laba, dan perusahaan semakin besar.

1. Kepuasan pelanggan. Konsumen atau pengguna produk merupakan target utama dari

aktivitas proses produksi setiap produk yang dihasilkan perusahaan. Konsumen atau

pengguna yang dimaksud dalam konteks ini tentunya konsumen yang setia dalam

jangka waktu yang panjang. Untuk menjadikan konsumen setia, maka terlebih dahulu

konsumen harus puas dengan pelayanan yang disampaikan oleh perusahaan.

2. Meningkatkan pendapatan. Semakin banyak konsumen yang setia dan menjadi mitra

perusahaan berarti akan turut pula meningkatkan pendapatan perusahaan, sehingga

produk-produk yang dihasilkan perusahaan tidak akan ‘terbuang’ percuma, karena

diminati konsumen.

3. Menurunnya biaya. Pengintegrasian aliran produk dari perusahan kepada konsumen akhir

berarti pula mengurangi biaya-biaya pada jalur distribusi.

Page 6: BAB II SCM

4. Pemanfaatan asset semakin tinggi. Aset terutama faktor manusia akan semakin terlatih

dan terampil baik dari segi pengetahuan maupun keterampilan. Tenaga manusia akan

mampu memberdayakan penggunaan teknologi tinggi sebagaimana yang dituntut dalam

pelaksanaan SCM.

5. Peningkatan laba. Dengan semakin meningkatnya jumlah konsumen yang setia dan

menjadi pengguna produk, pada gilirannya akan meningkatkan laba perusahaan.

6. Perusahaan semakin besar. Perusahaan yang mendapat keuntungan dari segi proses

distribusi produknya lambat laun akan menjadi besar, dan tumbuh lebih kuat.

Keenam manfaat yang sudah dijelaskan seperti tersebut di atas merupakan manfaat

tidak langsung. Secara umum, manfaat langsung dari penerapan SCM bagi perusahaan

adalah :

1. SCM secara fisik dapat mengkonversi bahan baku menjadi produk jadi dan

mengantarkannya kepada konsumen akhir. Manfaat ini menekankan pada fungsi

produksi dan operasi dalam sebuah perusahaan. Dalam fungsi ini dilakukan penggunaan

dari seluruh sumber daya yang dimilki dalam sebuah proses transformasi yang

terkendali, untuk memberikan nilai pada produk yang dihasilkan sesuai dengan

kebijaksanaan perusahaan dan mendistribusikannya kepada konsumen yang dibidik.

2. SCM berfungsi sebagai mediasi pasar, yaitu memastikan apa yang dipasok oleh rantai

suplai mencerminkan aspirasi pelanggan atau konsumen akhir tersebut. Dalam hal ini

fungsi pemasaran yang akan berperan. Melalui pelaksanaan SCM, pemasaran dapat

mengidentifikasi produk dengan karakteristik yang diminati konsumen. Selanjutnya

fungsi ini harus mampu mengidentifikasi seluruh atribut produk yang diharapkan

konsumen tersebut dan mengkomunikasikan kepada perancang produk. Apabila seleksi

Page 7: BAB II SCM

rancangan produk sudah dilakukan dan dilakukan pengujian maka produk dapat

diproduksi. Sehingga SCM akan berperan dalam memberikan manfaat seperti point 1

tersebut.

Ditinjau dari segi ongkos, masing-masing fungsi di atas berkaitan dengan ongkos,

yaitu:

1. Fungsi pertama berkaitan dengan ongkos-ongkos fisik, yakni ongkos material, ongkos

penyimpanan, ongkos produksi, ongkos transportasi, dan sebagainya.

2. Fungsi kedua berkaitan dengan biaya-biaya survey pasar, perancangan produk, serta

biaya-biaya akibat terpenuhinya aspirasi konsumen oleh produk yang disediakan oleh

rantai supply chain. Ongkos-ongkos ini bisa berupa ongkos markdown, yakni penurunan

harga produk yang tidak laku dengan harga normal, atau ongkos kekurangan supply

yang dinamakan dengan stockout cost.

D. Prinsip-prinsip SCM

Prinsip terpenting yang harus diperhatikan dalam sinkronisasi aktivitas-aktivitas

sebuah supply chain adalah menciptakan hasil yang lebih besar, tidak hanya bagi tiap

anggota rantai tetapi bagi keseluruhan sistem. Kesuksesan implementasi dari prinsip ini

membutuhkan perubahan-perubahan pada tingkatan strategis maupun taktis. Sebaliknya

kegagalan biasanya ditandai oleh ketidakmampuan manajemen mendefinisikan langkah-

langkah yang harus ditempuh dalam menggiring komponen-komponen supply chain yang

kompleks ke arah yang sama.

Anderson, Britt & Frave (1997) memberikan 7 prinsip SCM untuk membantu para

manajer dalam merumuskan strategi pelaksanaan SCM, yaitu:

Page 8: BAB II SCM

1. Segmentasi pelanggan berdasarkan kebutuhannya.

2. Sesuaikan jaringan logistik untuk melayani kebutuhan pelanggan yang berbeda.

3. Dengarkan signal pasar dan jadikan signal tersebut sebagai dasar dalam perencanaan

kebutuhan (demand planning) sehingga bisa menghasilkan ramalan yang konsisten dan

alokasi sumber daya yang optimal.

4. Diferensiasi produk pada titik yang lebih dekat dengan konsumen dan percepat

konversinya di sepanjang rantai supply.

5. Kelola sumber-sumber supply secara strategis untuk mengurangi ongkos kepemilikan

dari material maupun jasa.

6. Kembangkan strategi teknologi untuk keseluruhan rantai supply yang mendukung

pengambilan keputusan berhirarki serta berikan gambaran yang jelas dari aliran produk,

jasa, maupun informasi.

7. Adopsi pengukuran kinerja untuk sebuah supply chain secara keseluruhan dengan

maksud untuk meningkatkan pelayanan kepada konsumen akhir.

E. Persyaratan Penerapan SCM

Sebagai suatu konsep yang melibatkan banyak pihak sebagai mata rantai, SCM

menuntut beberapa persyaratan yang tidak hanya terkait dengan material, tetapi juga

informasi. Syarat utama dari penerapan SCM tentunya dukungan manajemen. Manajemen

semua level dari strategis sampai operasional harus memberikan dukungan mulai dari

proses perencanaan, pengorganisasian, koordinasi, pelaksanaan, sampai pengendalian.

Selain dukungan manajemen, syarat lain merupakan syarat yang melibatkan faktor

eksternal yaitu pemasok dan distributor. Sebelum membangun komitmen dan melaksanakan

Page 9: BAB II SCM

‘kontrak kerja’ dengan para pemasok, maka perusahaan terlebih dahulu harus melaksanakan

evaluasi pemasok. Sebagi catatan, melaksanakan evaluasi pemasok untuk pemasok yang

‘bermain’ dalam pasar yang monopoli tentunya sulit dan tidak bisa dilaksanakan, sehingga

yang perlu dilakukan untuk kondisi ini adalah membangun kemitraan dalam suatu

kesepakatan.

Evaluasi pemasok dilakukan apabila untuk material yang sama dapat diperoleh lebih

dari satu alternatif pemasok. Setidaknya ada tiga kriteria dalam melakukan evaluasi

pemasok, yaitu: keadaan umum pemasok, keadaan pelayanan, dan keadaan material.

Beberapa contoh indikator dari setiap kriteria evaluasi pemasok adalah sebagai berikut

(Gaspersz, 2002):

1. Keadaan umum pemasok

a. Ukuran atau kapasitas produksi

b. Kondisi finansial

c. Kondisi operasional

d. Fasilitas riset dan desain

e. Lokasi geografis

f. Hubungan dagang antar industri

2. Keadaan pelayanan

a. Waktu penyerahan material

b. Kondisi kedatangan material

c. Kuantitas pemesanan yang ditolak

d. Penanganan keluhan dari pembeli

e. Bantuan teknik yang diberikan

Page 10: BAB II SCM

f. Informasi harga yang diberikan

3. Keadaan material

a. Kualitas material

b. Keseragaman material

c. Jaminan dari pemasok

d. Keadaan pengepakan (pembungkusan)

Dari ketiga kriteria tersebut, bobot (berdasarkan tingkat kepentingan) yang terbesar

diberikan pada kriteria keadaan material, karena keadaan material akan mempengaruhi

kinerja fungsi produksi dan operasi khususnya kualitas produk. Selanjutnya dilakukan

penilaian untuk setiap indikator dan dihitung total skor-nya.

Syarat berikutnya adalah pemilihan distributor sebagai perantara produk perusahaan

sampai ke tangan konsumen akhir. Intensitas saluran distribusi yang ideal bagi suatu

perusahaan adalah bagaimana menyajikan jenis produk secara luas dalam pemuasan

kebutuhan konsumen (Sitaniapessy, 2001). Penggunaan distributor yang terlalu sedkit dapat

membatasi penyebaran jenis produk dalam aktivitas pemasaran. Sebaliknya, penggunaan

distributor yang terlalu banyak dapat mengganggu brand image dalam posisinya

berkompetisi. Satu kunci yang penting dalam mengelola saluran distribusi adalah

menentukan berapa banyak saluran distribusi yang dikembangkan serta membentuk suatu

pola kemitraan yang menunjang pemasaran suatu produk dalam area pemasaran tertentu.

Model penghematan usaha oleh distributor dapat digambarkan sebagai berikut

(Kotler, 1997):

Page 11: BAB II SCM

Error:

Reference source not found

produsen distributor konsumen

Gambar 8.2. Model penghematan usaha oleh distributor

Satu lagi persyaratan yang penting dalam penerapan SCM adalah transparansi arus

informasi. Untuk dapt mendukung arus informasi yang transparan dari seluruh mata rantai

yang terlibat dalam SCM diperlukan komitmen (dapat dicapai melalui kemitraan dan

kesepakatan) disertai dengan ketersediaan database.

Konsep database yang dimaksud dalam hal ini bukan hanya kumpulan data yang

dikelola dan dikendalikan secara terpusat, melainkan data tersebut harus memenuhi lima

kriteria sebagai berikut :

1. Ketersediaan, kapanpun diperlukan harus tersedia disertai dengan kemudahan akses.

2. Kemampuan dipergunakan untuk berbagi kebutuhan terkait

3. Kemampuan data untuk selalu berkembang dalam konteks yang efektif

Page 12: BAB II SCM

4. Jumlah data tidak tergantung kondisi fisik penyimpan data (penyimpan data yang harus

menyesuaikan jumlah data)

5. Konsistensi dan validitas data

F. Strategi Dasar SCM

Strategi yang paling mendasar dalam SCM berkaitan erat dengan konfigurasi fisik

maupun manajemennya. Dalam rancangan struktur supply chain, mulai dari konfigurasi

jaringan antar chanel sampai pada konfigurasi fasilitas di dalam sebuah chanel tidak bisa

dilepaskan dari karakteristik produk maupun jasa yang dihasilkan oleh sebuah supply chain.

Dalam SCM karakteristik produk ini dibedakan ke dalam 2 jenis yang didasarkan

pada berbagai aspek antara lain, siklus hidupnya, jumlah variasinya, stabilitas

permintaannya, kesalahan ramalan, tingkat markdown, dan sebagainya. Kedua jenis tersebut

adalah sebagai berikut:

1. Produk fungsional, biasanya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar,

seperti garam, gula, sabun, minyak goreng, buku tulis, ballpoint, dan sebagainya.

2. Produk inovatif, yaitu produk yang permintaannya biasanya sangat tidak stabil dan sulit

diramalkan. Produk inovatif ini biasanya muncul sebagai respon atas perubahan pasar

yang cepat atau sebagai akibat dari kemampuan teknologi dan inovasi yang bagus.

Contoh dari produk inovatif ini adalah komputer yang perubahan rancangannya sudah

dalam hitungan minggu atau bahkan hari. Ini merupakan contoh produk inovatif yang

dipacu oleh kemampuan perusahaan melakukan inovasi (innovation driven). Contoh lain

adalah pakaian yang modelnya cepat berubah dan ini lebih dipacu oleh kebutuhan pasar

yang mengisyaratkan perubahan model (market driven).

Page 13: BAB II SCM

Untuk lebih jelasnya pembagian produk sesuai dengan karakteristiknya dapat dilihat

pada tabel 8.1.

Tabel 8.1. Produk fungsional vs invovatif

Karakteristik Fungsional Inovatif

Siklus hidup > 2 tahun < 2 tahun

Variasi produk 10 – 20 per kategori Jutaan per kategori

Variabilitas permintaan tinggi rendah

Kesalahan peramalan 10 % 40 % - 100 %

Tingkat markdown 0 % 10 % - 25 %

Margin keuntungan Rendah Tinggi

Lead time 6 bln – 1 thn 1 hari – 2 minggu

Aspirasi konsumen Harga murah cepat

Pernyataan kedua produk berdasarkan karakteristik di atas mengindikasikan kebutuhan akan

penanganan yang berbeda, baik dalam aktivitas fisik maupun dalam mediasi pasar sebuah

supply chain sehingga diperlukan strategi yang tepat untuk masing-masing produk, seperti

ditunjukkan pada tabel 8.2.

Tabel 8.2. Strategi yang tepat berdasarkan jenis produk

Strategi Produk

Fungsional Inovatif

Lean Tepat Tidak tepat

Agile Tidak tepat Tepat

Page 14: BAB II SCM

Strategi Lean Supply Chain adalah strategi efisiensi yang membutuhkan dukungan

struktur supply chain yang ramping dan terintegrasi dengan baik. Pada produk fungsional,

fungsi mediasi pasar lebih jarang dan lebih mudah dilakukan karena siklus hidup produknya

panjang atau selera konsumen yang tidak banyak berubah. Dengan demikian ongkos-

ongkos mediasi pasar akan merupakan fokus utama, sehingga strategi yang tepat untuk

produk-produk fungsional adalah efisiensi.

Fokus utama dalam mengelola Lean Supply Chain adalah menekan ongkos-ongkos

fisik disepanjang supply chain yang terdiri dari ongkos-ongkos material, produksi,

distribusi, penyimpanan dan sebagainya. Dalam lean supply chain koordinasi yang baik

antar chanel dalam rantai supply sangat diperlukan, termasuk di dalamnya koordinasi untuk

manangani dampak variabilitas dan ketidakpastian permintaan maupun supply.

Untuk produk inovatif, keunggulan kompetitif produk terletak pada kemampuan

supply chain untuk merespon kebutuhan pasar yang cepat berubah. Kunci keberhasilan di

sini adalah yang dinamakan agility. Agility untuk suatu supply chain harus mempunyai

kemampuan kecepatan dalam merespon kebutuhan pasar secara bersama-sama sebagai

suatu team. Kecepatan ini harus dimiliki semua pihak yang berada dalam suatu supply

chain.

Distributor yang handal tidak dapat menjamin keunggulan berkompetisi apabila

perusahaan yang mensuplai produk-produk yang didistribusikannya tidak mampu secara

cepat merespon perubahan yang disyaratkan oleh pasar. Dengan demikian hubungan antar

perusahaan merupakan faktor kritis dalam menciptakan agility suatu supply chain. Strategi

supply chain yang menekankan pada agility tentunya memerlukan pola pikir yang berbeda

dengan pola pikir untuk strategi supply chain yang mendasarkan pada efisiensi.

Page 15: BAB II SCM

G. Tantangan Penerapan SCM

Meskipun SCM memiliki banyak manfaat dalam menjalankan sistem produksi dan

operasi di perusahaan, tetapi ada beberapa tantangan yang harus dihadapi dan disikapi oleh

perusahaan apabila akan menerapkannya. Tantangan yang pertama berasal dari lingkungan

makro dan juga lingkungan eksternal. Misalnya saja trend perekonomian global yang

menunjukkan adanya kecenderungan inflasi, khususnya di Indonesia. Hal ini disebabkan

karena persaingan di tingkat global memang sangat meningkat. Selain itu juga

kecenderungan perilaku konsumen yang menunjukkan sikap terlalu rumit dan banyak

menuntut. Faktor eksternal lain adalah perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi

yang terkait dengan teknologi informasi sedapat mungkin diadaptasi oleh perusahaan-

perusahaan yang menerapkan SCM sehingga dapat mengelola informasi yang bergerak

sangat cepat untuk menanggapi perpindahan produk. Sehingga sangat perlu bagi perusahaan

yang menerapkan SCM untuk memiliki peralatan fungsional seperti (Watanabe, 2001):

1. Demand management / forecasting

2. Advanced planning and scheduling

3. Transportation management

4. Distribution and deployment

5. Production planning

6. Available to promise

7. Supply Chain Modeler

8. Optimizer (Linier programming, non linier programming, heuristic, dan genetic

algorithm)

Page 16: BAB II SCM

Selain tantangan-tantangan tersebut, tantangan yang juga sering dihadapi khususnya

negara berkembang adalah masalah infrastruktur termasuk birokrasi yang rumit. Masalah

ini akan memberikan dampak yang signifikan terhadap tantangan SCM yang lain, yaitu

teknologi informasi.

Di sisi lain, ada juga tantangan yang dapat digolongkan dalam lingkungan mikro

atau di lingkungan perusahaan itu termasuk stakeholdernya. Mengingat sebuah rantai

supply chain terdiri dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh beberapa perusahaan, maka

pengelolaannya tidak mudah. Kompleksitas permasalahan meningkat dengan cepat begitu

pertimbangan-pertimbangan aliran produk dan informasi dilihat dalam lingkungan

keseluruhan supply chain dari ujung hulu ke ujung hilir. Karena kompleksnya permasalahan

pengelolaan tersebut, banyak sekali tantangan yang bisa mengakibatkan kegagalan

pengelolaan sebuah supply chain.

Lee & Bilington (1992) mendeskripsikan 14 tantangan yang harus diperhatikan

dalam SCM, yaitu:

1. Pengukuran kinerja yang tidak terdefinisikan dengan baik, setiap chanel menentukan

ukuran sendiri-sendiri, dan tidak ada perhatian untuk membuat ‘joint matrics’ yang

mengukur kinerja rantai secara keseluruhan.

2. Customer service tidak didefinisikan dengan jelas, tidak ada pengukuran terhadap

kelambatan respon dalam pelayanan, dan sebagainya.

3. Status data pengiriman yang tidak akurat dan sering terlambat.

4. Sistem informasi tidak efisien.

5. Dampak ketidakpastian diabaikan.

Page 17: BAB II SCM

6. Kebijakan inventori terlalu sederhana, faktor-faktor ketidakpastian tidak diperhitungkan

dalam pembuatan kebijakan-kebijakan tersebut, kadang-kadang terlalu statis dan

generik.

7. Diskriminasi terhadap internal customer. Prioritasnya rendah, service levelnya tidak

terukur, sistem insentifnya tidak tepat.

8. Koordinasi antar aktivitas suplai, produksi, dan pengiriman tidak bagus.

9. Analisis metode-metode pengiriman tidak lengkap, tidak ada pertimbangan efek

persediaan dan waktu respon.

10. Definisi ongkos-ongkos persediaan tidak tepat.

11. Ada kendala komunikasi antar organisasi.

12. Perancangan produk maupun proses tidak memperhitungkan konsep supply chain.

13. Perancangan dan operasional supply chain dibuat secara terpisah.

14. Supply chain tidak lengkap, fokusnya sering hanya pada operasi internal saja, tidak bisa

membedakan antara ‘immediate customers’ dengan ‘end customers’.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, terlebih dahulu perusahaan harus melakukan

perbaikan dan membangun komitmen di lingkungan internal perusahaan tersebut, baru

kemudian membangun kemitraan dan komitmen dengan mata rantai lain di lingkungan

eksternal. Satu hal yang juga penting dalam mengatasi tantangan untuk penerapan SCM

adalah mengelola informasi dalam sebuah sistem yang harus mendukung proses

pengambilan keputusan di wilayah penerapan SCM.

H. Perkembangan-perkembangan Terbaru dalam SCM

Agar perusahaan selalu dapat memimpin dalam berkompetisi di pasaran, cara-cara

baru yang lebih inovatif perlu ditemukan atau dikembangkan. Seiring dengan menyebarnya

Page 18: BAB II SCM

konsep-konsep SCM di dunia industri baik industri manufaktur atau jasa. Konsep-konsep

yang lebih canggih yang merupakan pengembangan dari SCM bermunculan. Konsep-

konsep tersebut antara lain:

1. Just In Time (JIT), prinsip ini menekankan pada kemitraan yang erat antara perusahaan

dengan pemasoknya, dan pemasok akan memiliki wakil di perusahaan yang disuplainya.

Wakil tersebut berfungsi menggantikan peran bagian pembelian di perusahaan pembeli.

Atas nama perusahaan pembeli, wakil tersebut akan membuat order pembelian ke

perusahaannya berdasarkan rencana produksi yang telah ditetapkan oleh perusahaan

pembeli. Praktek ini memungkinkan kedua belah pihak untuk merundingkan rencana-

rencana produksi maupun pembelian sehingga menguntungkan kedua belah pihak.

Perusahaan pembeli akan lebih mudah menegosiasikan jadwal pengiriman karena wakil

tadi sewaktu-waktu bisa ditemui di perusahaannya. Demikian pula wakil tadi akan lebih

banyak memberikan masukan tentang kemampuan perusahaannya untuk memasok

kebutuhan material atau bahan baku yang dibutuhkan perusahaan pembeli.

2. Vendor Managed Inventory (VMI), adalah merupakan salah satu variasi dari JIT II.

Konsep ini banyak digunakan oleh para pemasok yang mensuplai bisnis retail. Selama

ini pihak retail yang berkewajiban membuat order pembelian untuk menjaga

kelangsungan persediaan dari setiap item yang terjual. Pada VMI kebalikannya, justru

pemasoklah yang berkewajiban untuk menentukan kapan dan berapa jumlah suatu item

harus dikirim ke retailnya, berdasarkan informasi tingkat penjualan dan ketersediaan

stock yang ada di retail tersebut. Pada VMI pertukaran informasi yang lancar sangat

diperlukan. Pemasok akan mampu membuat keputusan yang baik, apabila informasi

Page 19: BAB II SCM

tingkat kebutuhan maupun tingkat persediaan yang dimiliki pihak retail bisa diakses

dengan mudah.

3. Global Pipeline Management (GPM), konsep ini didasarkan pada teori kontrol di mana

aliran material atau produk akan optimal bila dikontrol dari satu titik. Aliran material

atau produk pada konsep GPM hendaknya dikendalikan oleh satu pihak atau chanel

dalam supply chain, yang lain mengikuti dan mendukung dengan memberikan informasi

yang diperlukan.