BAB II POTRET SOSIAL MASYARAKAT PERKOTAAN … · POTRET SOSIAL MASYARAKAT PERKOTAAN BATAVIA AWAL...

27
15 BAB II POTRET SOSIAL MASYARAKAT PERKOTAAN BATAVIA AWAL ABAD-20 A. Kondisi Geografis Kota Batavia Awal Abad-20 Kota kolonial pertama di Indonesia adalah Batavia. Kota ini dibangun oleh orang-orang Belanda pada 1619, dan tahun itu dianggap sebagai fase baru dalam perkembangan kota-kota di Indonesia, karena memulai sebuah tahap perkembangan yang cepat. Orang Eropa yang mendarat pertama kali di Batavia bukanlah orang Belanda, melainkan para pelaut Portugis. Pada waktu itu Batavia masih bernama Sunda Kelapa. Kedatangan orang-orang Portugis di Sunda Kelapa tidak sempat membangun kawasan tersebut menjadi sebuah kota, artinya Portugis tidak memiliki sumbangsih apapun bagi perkembangan Sunda Kelapa. Setelah orang-orang Portugis berhasil diusir nama Sunda Kelapa kemudian diubah menjadi Jayakarta, yang berarti “Kemenangan Besar”, pada 27 Juni 1527. Tanggal tersebut sampai saat ini selalu diperingati sebagai hari kelahiran Kota Jakarta. 1 Garis nasib Jakarta sejak awal abad ke-17 sebenarnya telah menjadi ibukota di mana saat itu Belanda telah mengembangkannya dari pelabuhan menjadi kota yang bisa dijadikan sebagai pintu gerbang bagi daerah di Nusantara lainnya. 2 Salah satu ciri kota yang dibangun oleh kolonial pada awal abad ke-17 adalah gaya bangunan Eropa yang mendominasi kawasan kota. 3 1 Purnawan Basundoro, Pengantar Sejarah Kota, (Yogyakarta: Ombak , 2012), hlm. 85-86. 2 Fitri R. Ghozally SH, Dari Batavia Menuju Jakarta, (Jakarta: MM Corp, 2004), hlm. 14. 3 Op.cit, hlm. 88.

Transcript of BAB II POTRET SOSIAL MASYARAKAT PERKOTAAN … · POTRET SOSIAL MASYARAKAT PERKOTAAN BATAVIA AWAL...

15

BAB II

POTRET SOSIAL MASYARAKAT PERKOTAAN BATAVIA

AWAL ABAD-20

A. Kondisi Geografis Kota Batavia Awal Abad-20

Kota kolonial pertama di Indonesia adalah Batavia. Kota ini dibangun oleh

orang-orang Belanda pada 1619, dan tahun itu dianggap sebagai fase baru dalam

perkembangan kota-kota di Indonesia, karena memulai sebuah tahap

perkembangan yang cepat. Orang Eropa yang mendarat pertama kali di Batavia

bukanlah orang Belanda, melainkan para pelaut Portugis. Pada waktu itu Batavia

masih bernama Sunda Kelapa. Kedatangan orang-orang Portugis di Sunda Kelapa

tidak sempat membangun kawasan tersebut menjadi sebuah kota, artinya Portugis

tidak memiliki sumbangsih apapun bagi perkembangan Sunda Kelapa. Setelah

orang-orang Portugis berhasil diusir nama Sunda Kelapa kemudian diubah

menjadi Jayakarta, yang berarti “Kemenangan Besar”, pada 27 Juni 1527. Tanggal

tersebut sampai saat ini selalu diperingati sebagai hari kelahiran Kota Jakarta.1

Garis nasib Jakarta sejak awal abad ke-17 sebenarnya telah menjadi

ibukota di mana saat itu Belanda telah mengembangkannya dari pelabuhan

menjadi kota yang bisa dijadikan sebagai pintu gerbang bagi daerah di Nusantara

lainnya.2 Salah satu ciri kota yang dibangun oleh kolonial pada awal abad ke-17

adalah gaya bangunan Eropa yang mendominasi kawasan kota.3

1 Purnawan Basundoro, Pengantar Sejarah Kota, (Yogyakarta: Ombak ,

2012), hlm. 85-86. 2 Fitri R. Ghozally SH, Dari Batavia Menuju Jakarta, (Jakarta: MM Corp,

2004), hlm. 14. 3 Op.cit, hlm. 88.

16

Batavia kemudian terbagi ke dalam dua wilayah yakni, Oud Batavia

(Batavia Lama) dan Nieuw Batavia (Batavia Baru). Oud Batavia merupakan kota

benteng awal pertama kali Batavia didirikan. Wilayah ini sendiri dibuat

menyerupai kota-kota di Belanda khususnya Amsterdam.4 Wilayah ini dikelilingi

oleh parit-parit yang sengaja dibuat di bagian depan, sedangkan dibagian

belakangnya dibangun gedung dan bangunan yang juga dikelilingi oleh parit,

pagar besi, dan tiang yang kuat. Pada awalnya wilayah ini dijadikan benteng,

kastil dan tempat perdagangan yang kemudian berubah menjadi tempat

pemerintahan dan pemukiman para kompeni.5

Nieuw Batavia atau Batavia baru dibangun pada masa Gubernur Jenderal

Herman Willem Daendels. Daendels memiliki rencana untuk mengubah dan

meningkatkan kesehatan Kota Batavia yang sebelumnya memburuk, salah satunya

dengan memindahkan pusat Kota Batavia ke daerah pedalaman yang kemudian

dia beri nama Weltevreden. Di sekitar Weltevreden muncul pemukiman baru,

seperti Tanah Abang, Gondangdia, Meester Cornelis, dan Menteng. Di Nieuw

Batavia, orang membangun rumah-rumah dipinggir jalan dan dinaungi oleh

pohon-pohon yang rindang. Rumah-rumah yang dibangun itu tidak seperti di Oud

Batavia, dekat dengan jalan dan bertingkat dua, namun terlihat modern seperti di

Eropa dengan tingkat satunya yang luas dan sejuk.6

Di tengah-tengah hutan, orang Belanda membangun jalan-jalan dan kanal-

kanal yang sama seperti di negerinya, tidak gentar meskipun kadang kala buaya-

4 Willard A. Hanna, Hikayat Jakarta, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

1988) hlm. 48 5 Desca Dwi Savolta, “Arsitektur Indis Dalam Perkembangan Tata Kota

Batavia Awal Abad 20”, Skripsi (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2010)

hlm. 24 6 Willard A. Hanna, Op. cit., hlm. 191

17

buaya menelusuri kanal hingga ke tengah kota. Struktur pertama yang mereka

dirikan adalah benteng yang pada mulanya dibangun menjorok ke laut di muara

kali Ciliwung, tapi tidak lama kemudian dikelilingi daratan karena garis pantai

bertambah jauh ke utara. Pada tahun-tahun awal Batavia, benteng tersebut adalah

VOC karena semua bangunan VOC berada di dalam benteng, seperti kediaman

gubernur jendral, bengkel, perbendaharaan, garnisun, gudang senjata, gedung

administrasi dan akuntansi, penjara, gereja pertama, dan ruang pertemuan Dewan

Hindia yang merupakan badan pemerintahan.7 Dari kali, VOC membangun kanal-

kanal yang mengelilingi dan melewati kota, serta memberikan penampilan khas

Belanda. Kali pun diluruskan sehingga menjadi kanal terbesar. Semua ini

dilakukan bukan demi nostalgia, tapi demi kegunaan yang sama seperti kanal di

kota-kota Belanda. Karena daratan Batavia terlalu rendah, maka tanah tempat

gedung-gedung dibangun harus ditinggalkan agar pemukiman tidak dilanda banjir.

Selain itu, seperti kota-kota Belanda, kanal-kanal tersebut digunakan untuk alat

transportasi.8

Batavia abad ke-20 terkenal juga dengan kemajuan transportasinya yang

berdampak pula terhadap kemajuan ekonomi di Batavia itu sendiri. Transportasi

yang lazimnya di gunakan oleh masyarakat Batavia adalah trem kuda, khususnya

oleh penduduk yang tidak memelihara kuda keretanya sendiri. Menurut Tio Tek

Hong, ada jenis kendaraan lain yang digunakan namanya kahar yang memakai

dua roda, atau kahar per atau yang disebut oleh orang Priangan dengan sebutan

kahar dongdang. Untuk di dalam kota kahar per ditarik seekor kuda, akan tetapi

7 Susan Blackburn, Jakarta Sejarah 400 Tahun, (Jakarta: Masup Jakarta,

2011), hlm. 20. 8 Ibid., hlm. 22.

18

untuk perjalanan diluar kota ke tempat jauh ditarik oleh sedikitnya dua ekor kuda

gunung.9 Kemudian ada Dos a dos (sado), yang namanya menunjukkan,

penumpangnya yang harus duduk dengan belakangnya menghadapi belakang

penumpang lain (dua duduk di bagian muka, termasuk kusirnya, dan dua duduk di

belakang). Lalu muncul delman yang namanya berasal dari nama tuan Deleman

yang mulai menggunakan kendaraan model ini. Bagi orang-orang yang mampu,

terutama tuan-tuan toko biasanya menggunakan kereta palankijn yang ditarik

dengan dua kuda, beroda empat, memuat dua penumpang yang duduk di dua

bangku saling berhadap-hadapan, yang keretanya ditutup dan menggunakan

sepasang jendela. Ada E.B.R.O (Eerste Bataviasche Rijtuig Onderneming) dan

R.O.P.O (Rijtuig Onderneming Petodjo Oost), ini sejenis kereta tenda. Kemudian

ada Stroomtram (trem uap) Maatschappij di Batavia yang mengambil rute dari

Kota Intan Lewat Glodok, Hermonie, Pasar Baru, Pasar Senen, Kramat ke

Jatinegara. Kemudian berkembang lagi Batavia Electrische Tram Maatschappij

menjalankan trem listrik dari Kota Intan melalui Javasche Bank (sekarang Bank

Indonesia), Kebon Tengsek, Jembatan Baru, Jembatan Senti, Jalan Jakarta, dekat

jagal babi (yang kemudian berkembang menjadi jagal kerbau, sapi dan kambing),

lalu ke selatan arah Pasar Senen lewat Kalilio, Tanah Tinggi ke Kramat, jalan ini

serupa namun tidak menyaingi Stroomtram (trem uap). Namun, pada

perkembangannya trem uap digantikan dengan trem listrik.10 Sekitar tahun 1903

muncul automobil di Batavia dan awal 1911 mesin terbang pertama muncul.

Dengan demikian perlahan-lahan dari tahun ke tahun kendaraan di dalam kota

9 Tio Tek Hong, Keadaan Jakarta Tempo Doeloe, Sebuah Kenangan

1882-1959, (Jakarta: Masup Jakarta, 2007) hlm. 75 10 Ibid., hlm. 76

19

bermunculan, namun kendaraan-kendaraan itu belum ada pada masa masih ada

tramway.

B. Demografi dan Sosial Ekonomi di Batavia

Awal abad-19, Kota Batavia diwarnai oleh kehadiran empat kelompok ras

yaitu, Belanda, Indo-Eropa, Cina, Arab, serta Pribumi. Maka dari itu timbul

berbagai pemukiman penduduk yaitu, orang Eropa, orang Timur Asing, dan

juga berbagai suku bangsa di Indonesia, kemudian timbul stratifikasi sosial yang

berdasarkan ras dan keagamaan.11 Batavia sudah menjadi kota yang berkembang

dengan jumlah populasi penduduknya yang terus meningkat. Hal ini adalah akibat

dari dihapuskannya perdagangan budak, sehingga Pulau Jawa menggantikan

pulau-pulau lain sebagai sumber imigran yang masuk ke kota Batavia.12 Faktor

yang kuat dan sangat mempengaruhi pertumbuhan penduduk di Batavia didasari

oleh adanya pembangunan pelabuhan Tanjung Priok (1877), perluasan fungsi

pemerintahan di bawah pengaruh Politik Etis, dan bertambahnya penduduk Jawa

yang cepat telah menyebabkan terjadinya gelombang imigrasi secara besar-

besaran dari daerah pedalaman. Dalam beberapa dekade gelombang imigran

tersebut telah merubah karakter penduduk, melipat gandakan jumlahnya, dan

menimbulkan situasi seperti yang terjadi pada tahun 1930, populasi kota Batavia

(termasuk Weltevreden) tumbuh menjadi 435.000, tiga kali lipat dari populasi

tahun 1900. Imigrasi membuat kota semakin meluas, dan pada 1935 wilayah

11 Desca Dwi Savolta, “Arsitektur Indis Dalam Perkembangan Tata Kota

Batavia Awal Abad 20”, Skripsi (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2010)

hlm. 30. 12 Lance Castles, Profil Etnik Jakarta, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2007)

hlm.18

20

pinggiran Meester Cornelis dimasukkan ke dalam batas kota sehingga total

populasinya melebihi setengah juta orang. Dengan demikian, Batavia menjadi

kota terbesar di Hindia Belanda dan mengalahkan saingan terdahulunya yakni

Surabaya.13 Mengenai populasi penduduk di wilayah Batavia dan sekitarnya

digambarkan melalui pengelompokkan etnis tahun 1930 dalam tabel di bawah ini.

Tabel I

Populasi Batavia (Djakarta Raya) pada Tahun 1930 melalui

Pengelompokan Etnis

Keterangan

Suku/Etnis

A

Batavia-

Mr.Cornelis

(sensus)

B

Daerah

pinggiran

(estimasi

A+B

Djakarta Raya

(estimasi

Djakarta &

sekitarnya

Pribumi

Betawi 192.897 220.000 418.900 778.953

Sunda 132.251 15.000 150.300 494.547

Jawa 58.708 1.000 59.700 142.863

Melayu 5.220 100 5.300 8.293

Kelompok

Sulawesi Utara

3.736 100 3.800 3.882

Minang 3.186 - 3.200 3.204

Kelompok

Maluku

2.034 - 2.000 1.263

Batak 1.253 - 1.300 1.263

Depok &

Masyarakat

Tugu

721 200 900 998

Kelompok

Sumatra Utara

799 - 800 817

Madura 317 - 300 397

Lain-lain dan

tidak diketahui

5.553 1.400 6.900 7.063

Sub Total 409.655 243.800 653.400 1.443.517

Non Pribumi

Tionghoa 78.185 9.400 88.200 136.829

Eropa 37.076 100 37.200 37.504

Lain-lain 7.469 400 7.900 8.243

Total 533.015 253.800 768.800 1.636.098

Sumber: Lance Castles, Profil Etnik Jakarta, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2007)

13 Susan Blackburn., Op. cit., hlm. 124

21

Dari tabel telah menunjukkan betapa keadaan Batavia di awal abad-20

amat lah beragam dari segi etnis, yang didasari pula semakin berkembangnya pola

kehidupan di kota Batavia. Dengan demikian berarti secara kelompok masyarakat

Batavia menjadi kota yang sangat heterogen. Namun, keberagaman etnis yang ada

di Batavia sendiri bukan menjadi hal yang mudah untuk saling berbaur terlebih

mengenai urusan gaya hidup. Golongan Timur Asing seperti Cina sukar berbaur

atau berasimilasi dengan penduduk pribumi. Walaupun golongan Cina sukar

berasimilasi, tetapi ada juga orang Cina yang meleburkan diri menjadi orang

Betawi.14 Modernisasi yang mulai terbangun serta dorongan kebangkitan

semangat kebebasan pada awal abad ke-20 agaknya telah merubah pola pikir

masyarakat Batavia untuk bisa berbaur, terlebih dengan adanya percampuran atau

perkawinan antar etnis yang secara terus-menerus berlangsung di Batavia.

Banyaknya terjadi perkawinan campuran merupakan salah satu penyebab

dari makin melemahnya artikulasi identitas etnik. Anak hasil dari perkawinan

campuran pria Eropa dengan perempuan Asia memunculkan kelompok penduduk

Meztizo15. Sedangkan anak hasil perkawinan campuran orang Tionghoa dengan

orang pribumi biasa disebut dengan Peranakan (Tionghoa muslim). Meski

demikian, dapat dipastikan bahwa perkawinan campuran lebih banyak lagi terjadi

di antara etnis pribumi. Para pemimpin etnis pribumi seringkali memberi contoh

dalam melakukan perkawinan campuran.16

14 Desca Dwi Savolta., Op. cit., hlm. 34. 15 Mestizo adalah orang-orang Kristen yang ayahnya berasal dari Eropa

dan beribu Asia. Secara kuantitatif orang Eropa dan Mestizo merupakan penduduk

minoritas di Batavia, lihat pada Lance Castles, Profil Etnik Jakarta, (Jakarta:

Komunitas Bambu, 2007) hlm. xvii.

16 Ibid., xx.

22

Dalam kehidupan ekonomi di Batavia terutama yang berasal dari kelas

menengah ke bawah merupakan kelas ekonomi informal yang umumnya lahir dari

tradisi pasar tradisional, di mana kegiatan di dalamnya berlangsung secara

interaktif antara penjual dan pembeli, serta barang yang dijajakan ditempatkan

dalam tempat yang strategis (kaki lima, persimpangan jalan atau di pusat

keramaian) atau dijajakan dari rumah ke rumah (asongan). Penduduk pribumi

mendapatkan penghasilan berdagang dari hasil bumi. Produksi kerajinan, dan

pemberian pelayanan, seperti mengemudi sais/kusir kereta sado, kuli, penjahit,

tukang sepatu, tukang kayu, pembatu rumah tangga, binatu/tukang cuci pakaian,

pembuat pelana dan pedati, buruh diindustri rakyat, yaitu memproduksi topi dan

kaset. Diantara mereka ada juga yang menjadi pegawai kantor rendahan, seperti

pengatar surat dan pegawai kantor, sedangkan yang lain melakukan usaha sendiri,

seperti pedagang keliling. Mereka ini biasanya tinggal dikampung yang

berdekatan dengan daerah tempat tinggal orang Eropa. Pendapatan kalangan

bawah ini tidak tetap, kerena pekerjaan mereka serabutan dan hanya cukup untuk

makan.17 Selain itu penduduk pribumi mendapatkan penghasilan dari menjual

tanaman tunai, sedikit produksi kerajinan tangan dan memberikan jasa pelayanan

seperti menjadi kusir sado atau gerobak lembu, serta menjadi pencuci pakaian.

Banyak diantaranya yang menanam sirih dan menjual daunnya sebagai bahan

untuk mengunyah sirih. Para lelaki mengumpulkan buah, kayu bakar, rumput

(untuk populasi kuda yang semakin banyak) dan sayuran untuk dijual ke kota.

Industri rumahan juga menjadi aspek ekonomi yang penting bagi masyarakat

pribumi. Di sejumlah wilayah, penduduknya menganyam topi dan tikar, serta

17 Desca Dwi Savolta., Op. cit., hlm. 38

23

banyak perempuan yang mendapat penghasilan dari membatik di rumah. Namun,

teknik mencap yang diperkenalkan pada abad ke-19 telah mengurangi pekerjaan

bagi kaum perempuan. Sebelumnya membatik umumnya dilakukan oleh kaum

wanita, namun seiring penggunaan cap yang dalam proses membatik dan terbilang

cukup berat sehingga dibutuhkan tenaga laki-laki sebagai pekerja, dan hal ini pun

dilakukan di pabrik-pabrik yang umumnya dimiliki oleh orang Tionghoa.18

Peran orang cina dalam karesidenan terus menimbulkan kecemasan dan

kecemburuan dikalangan orang Eropa. Salah satu penyebab utama kecemasan

tersebut adalah cara orang Cina kaya membeli lahan. Pemerintah di Batavia

menjual tanah-tanah yang sangat luas di karesidenan Batavia, dan hal itu membuat

kota tersebut memiliki proporsi tanah swasta tertinggi di Jawa. Para pembeli awal

tanah-tanah ini biasanya orang Eropa, tapi selama abad ke-19 sebagian besar

properti tersebut jatuh ke tangan orang Cina. Meskipun banyak juga orang Cina

yang menjadi kuli atau pedagang dan pedagang kaki lima dengan pendapatan

kecil, namun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat cukup banyak jumlah

pengusaha Cina sukses di Batavia.19

Kehidupan golongan Timur Asing dan orang Tionghoa secara umumnya

mereka bergerak di perdagangan dan menjadi orang yang kaya namun, ada pula

yang tetap menjadi kuli dan hidup dalam kemiskinan. Kehidupan mereka tak

berbeda jauh dengan golongan Pribumi kebanyakan. Bahkan golongan Indo

sekalipun yang sering juga disebut dengan Eurasia mayoritasnya miskin dan hidup

di daerah pinggiran Kemayoran, sebelah utara Weltevreden.20 Meski begitu

18 Susan Blackburn, Op. cit., hlm. 93 19 Ibid., hlm. 84. 20 Ibid., hlm. 83

24

golongan Eurasia ini tetap berusaha keras menjalani kebiasaan orang Eropa yang

hidup mewah, seperti makan makanan yang mahal serta berbusana Eropa. Dimana

ketika itu banyak dari laki-laki orang Eropa terlebih berada dalam trah bangsawan

memiliki dan memelihara perempuan Pribumi untuk dijadikan nyai atau gundik

yang dapat diambil dari anak atau istri pekerja perkebunan atau dari kampung

orang Pribumi.21 Bagi para keturunan Indo atau Eurasia sendiri hal ini merupakan

suatu kebanggaan dan sekaligus “kutukan”, kebanggaan karena terlahir dari

golongan yang paling atas dalam strata sosial di masyarakat Batavia, yakni

masyarakat Eropa, sedangkan “kutukan” karena mereka sendiri tidak dalam

golongan mereka berasal yakni Eropa dan Pribumi. Mereka yang bukan keturunan

murni sangat sulit diterima dalam kelompoknya karena dianggap berbeda. Hal ini

pula lah yang mengakibatkan sulitnya bagi mereka untuk menempati posisi yang

lebih tinggi sebagai pegawai negeri karena kemampuan bahasa Belanda-nya yang

kurang serta tidak memiliki kesempatan pendidikan yang baik hingga ke jenjang

yang lebih tinggi. Bahkan setelah itu, mereka menghadapi peraturan diskriminasi

yang menyatakan bahwa siapa pun yang tidak mengenyam pendidikan di Belanda,

tidak dapat menempati posisi yang lebih tinggi sebagai pegawai negeri.22

Kehidupan masyarakat Eropa menjadi patokan peradaban paling tinggi di

Batavia dengan segala kemewahannya. Kemajuan kebudayaan barat menjadi salah

satu faktor berkembangnya kehidupan masyarakat Eropa yang mewah. Para laki-

laki Eropa memang melakukan rutinitas pekerjaan harian yang tidak terlalu

berbeda dengan yang ada di Eropa. Namun, tidak banyak yang dilakukan para

21 Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis, Dari Zaman Kompeni sampai

Revolusi, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011) hlm.72 22 Susan Blackburn, Op. cit., hlm. 83.

25

perempuan Eropa selain berkunjung di pagi dan sore hari. Budak-budak terus

menjadi tenaga kerja di rumah selama sekitar 20 tahun pertama abad ke-19.23 Pada

awalnya kebutuhan akan budak-budak ini diperlukan untuk pemenuhan tenaga

kerja dalam pembangunan benteng di Batavia. Perbudakan menjadi budaya baru

yang melahirkan ungkapan bahwa pangkat dan kekayaan seorang pejabat bisa

diukur dari jumlah budak yang dimilikinya.24 Orang Belanda enggan mengakhiri

perbudakan, mereka baru menghapuskannya secara resmi pada 1859, tapi lama-

kelamaan perbudakan sudah tidak mode lagi. Bagaimanapun juga, bahwa rumah-

rumah orang Eropa penuh dengan orang Indonesia yang bertelanjang kaki dan

masing-masing memiliki tugas khusus sehingga membuat perempuan Eropa tidak

perlu melakukan apa-apa. Mayoritas orang Eropa yang tinggal cukup lama di

Batavia mengeluhkan kebosanan. Sejumlah kritikus menyindir kehidupan

Batavia. Salah satu yang paling terkenal adalah Bas Veth melalui karyanya yang

berjudul Het Leven in Nederlandsch-Indie yang ditulis setelah tinggal di koloni

tersebut pada 1879-1891. Kalimat pembukanya langsung menyerang, “Bagi saya,

Hindia Belanda adalah perwujudan dari kesengsaraan”. Hal yang paling tidak

disukainya di kota-kota seperti Batavia adalah kehidupan Eropa yang

materialistis. Para lelaki Batavia adalah orang mata duitan, penjilat atau orang

kaya baru.25

Datarnya kehidupan publik orang Eropa terlihat dalam arena politis.

Sedikit sekali orang Eropa “swasta” di Batavia, sebagian besar bekerja pada salah

satu cabang pemerintahan, baik sipil maupun militer, dan mereka sangat sensitif

23 Ibid., hlm. 78. 24 Fitri R. Ghozally, Dari Batavia Menuju Jakarta, (Jakarta: MM Corp,

2004) hlm. 30. 25 Susan Blackburn, Op. cit., hlm. 79-80.

26

terhadap otoritas masing-masing.26 Terlihat jelas bahwa masyarakat Eropa adalah

kelompok yang hidup makmur dengan tingkat pendapatan yang tinggi, yang

terlihat dari gaya hidup mereka yang mewah.

Menurut laporan Meyer Ranneft Huender; diperhitungkan bahwa

penghasilan satu keluarga Pribumi untuk satu tahun f.225, jadi dalam sebulan

mereka berpenghasilan f.18,75. sebagian lagi berpenghasilan dalam satu tahun

f.45, jadi dalam sebulan hanya berpenghasilan f.3,75 belum termasuk potongan

pajak sebesar 10%, di dalamnya tidak dijelaskan pendapatan tersebut didapat dari

bekerja di sektor apa saja. Sedangkan seorang Belanda pendapatannya f.9000 atau

lebih dari f.10.000, tergantung dari posisi dan kedudukannya. Jika seorang

Belanda pendapatannya kecil maka presentase untuk pajak kecil dibawah 10%.

Sedangkan pendapatan Pribumi yang sudah kecil ini sendiri masih harus dikenai

pajak 10%, dan bagi golongan Belanda diberikan dispensasi oleh pemerintah

Hindia Belanda.27 Pendapatan bumiputra yang kecil masih harus dikenai pajak

10%, sedangkan bagi golongan Belanda diberikan dispensasi. Keadaan ekonomi

yang berat sebelah semakin terasa lebih berat bagi masyarakat pribumi.

C. Ruang Publik dan Gaya Hidup di Batavia Abad-20

Kota Batavia terpisah menjadi tiga bagian terdiri atas bagian utara

(Batavia Lama) terkenal sebagai pusat perdagangan besar berjalan; bagian tengah

(Batavia Centrum) meliputi Noordwijk, Rijswijk, Pasar Baru, daerah bagian kota

yang terletaknya di tengah-tengah sangat dipengaruhi proses urbanisasi seperti

daerah bagian kota yang letaknya ditengah-tengah sangat dipengaruhi proses

26 Ibid., hlm. 81. 27 Desca Dwi Savolta, Op. cit., hlm. 40.

27

urbanisasi seperti kampung Sawah Besar, Pasar Senen, Gambir, Tanah Abang dan

Melayu. Daerah yang terletak di zona luar menunjukkan angka kepadatan yang

relatif rendah. Zona terakhir ini merupakan daerah perbatasan atau peralihan

(urban frige) bahwa daerah pelabuhan Tanjung Priok yang merupakan daerah

perkotaan tidak luput dari pengaruh daerah sekelilingnya. Di daerah kota bagian

tengah banyak terdapat perkantoran, hotel, warung dan tempat hiburan; bagian

selatan yang dimulai kira-kira pada batas utara Koningsplein merupakan

perkampungan rumah tinggal.

Pembagian daerah ini tidak murni karena di bagian utara Batavia lama

masih dapat dijumpai sedikit perdagangan kecil, tapi kebanyakan milik orang

Eropa dan ditempat tersebut tidak terdapat rumah tinggal orang Eropa. Bagian

tengah sebaliknya merupakan tempat pemukiman orang Eropa yang terlibat dalam

usaha dagang. Disisi tengah ini merupakan pusat perhubungan dan pemukiman

menunjukkan perbedaan dari bagian selatan yang tenang yang merupakan bagian

terbaru dan terbesar, selain pembagian tiga daerah tersebut terdapat pembagian

“Kota Atas”, atau “Kota Pemukiman”, dan “Kota Bawah”. Wilayah pusat

merupakan wilayah pemukiman elite pemerintahan kolonial Belanda, sedangkan

pusat perdagangan ditempati oleh orang Cina dan Timur Asing lainnya seperti

Arab dan India, kawasan pemukiman tersebut memperlihatkan struktur dan

konstruksi pemukiman yang berbeda, baik dan segi teknologi, kontruksi bagunan,

pemakaian energi, maupun dalam susunan tata ruang, pemukiman-pemukiman

tersebut menggambarkan pemukiman yang berbeda. Perbedaan ini tampak jelas

28

dalam gaya hidup pemukiman yang satu mempersentasikan gaya hidup perkotaan,

sedangkan yang lain gaya hidup rural atau pedesaan.28

Pembangunan yang makin bertambah tidak sesuai dengan tata ruang

mengakibatkan adanya gubuk-gubuk yang berhimpit di dalam kampung-kampung

kota. Selain itu, permukiman kampung cenderung tersebar di seluruh kota,

berdekatan dengan tempat bekerja dan tempat tinggal orang Eropa. karena itulah,

kondisi kesehatan di kampung juga harus menjadi perhatian orang Eropa.

kebakaran yang sering terjdadi di perkampungan padat juga memunculkan rasa

takut di kalangan orang Eropa terhadap keselamatan mereka sendiri.29

Program perbaikan kampung pada dasarnya terdiri dari pembangunan

jalan dan jalan setapak beraspal yang dilengkapi dengan selokan. Melihat

dampaknya terhadap kehidupan para penduduk kampung, proyek-proyek lain

kemungkinan juga memberikan manfaat yang sama, terutama proyek pekerjaan

penanggulangan banjir oleh Ir. Van Breen yang diselesaikan pada 1918.30

Bangunan yang di bangun sepanjang jalan, akibatnya semua jenis pelayanan

masyarakat misalnya pengiriman pos, penjagaan keamanan oleh polisi, pemadam

kebakaran semakin sulit berjalan dengan lancar. Lalu lintas makin bertambah,

sebab jika bentuk kota meluas kebanyakan jurusan dan jaraknya makin jauh,

karena jarak jauh menyebabkan fasilitas kota modern seperti listrik, saluran air

menjadi mahal karena harus di pasang pipa-pipa utama lebih banyak dari pada

jaringan yang menuju kerumah-rumah.31 Untuk memecahkan masalah

28 Ibid., hlm. 60-61. 29 Susan Blackburn, Op. cit., hlm. 166. 30 Ibid, hlm. 167. 31 W .F Wertheim (ed), The Indonesia Town, (Bruxel-les: S.A Manteaux),

1960, hlm. 40.

29

perhubungan antara bagian kota dibuat jalan kereta api kota. Jalan Trem dipasang

jalur-jalurnya sejak dimulai tahun 1880, pemasangan jalur-jalur meluas ke seluruh

kota yang berlangsung sampai 1915 menghubungkan bagian-bagian kota.

Perkantoran pemerintah dan perdagangan di Batavia masih tetap terpusat

didaerah khusus, di Batavia Centrum, atau di Batavia Lama, dan lainnya di

Koningsplein (sekarang Taman Monas). Di Batavia Centrum terdapat bukti nyata

tentang kemajuan yang baru dicapai, yaitu Gedung Java Bank, suatu bagunan

moderen dengan gaya tahun dua puluhan dan di sampingnya gedung NHM

(Nederlandsche Handel Maatschappij) dan Stasiun Pusat Kereta Api. Banyak

pabrik, kantor, bengkel dan gudang berdiri di sekitar kali besar yang terletak di

kedua pinggir Sungai Ciliwung. Walaupun gedung-gedung terpelihara rapi,

disapu, dipel, dicat atau dilabur putih dan selalu dikunjungi oleh orang-orang

Eropa di siang hari untuk urusan-urusan usaha mereka. Tetapi udaranya tidak

sehat akibat bau yang menyengat dari Sungai Ciliwung.32

Weltevreden merupakan pusat dari kota Batavia baru yang mampu

menarik minat masyarakat untuk datang kesana. Berbagai tempat menarik

menjadi tujuan baik itu masyarakat sekitar maupun wisatawan baik dalam negeri

maupun luar negeri. Weltevreden yaitu pemukiman pinggiran kota yang

mengelilingi Koningsplein. Wilayah yang dikelilingi oleh garis pertahanan Van

den Bosch pada 1835.33 Pemukiman Weltevreden mengacu pada daerah

Koningsplein. Waltevreden memiliki potensi bagus karena posisi topografisnya

yang relatif tinggi yang dapat menjamin kelancaran sanitasi. Sangat berbeda

dengan keadaan pemukiman pribumi yang berada didaerah rendah, berawa,

32 Desca Dwi Savolta, Op. cit., hlm. 65-66 33 Susan Blackburn, Op. cit., hlm. 73.

30

becek, tidak sehat dan kurang mendapatkan perhatian pemerintah kolonial

Belanda. Pemberian nama Weltevreden juga mengacu pada satu bagian kecil

dalam wilayah tersebut, yakni Waterlooplein. Waterlooplein merupakan lapangan

yang digunakan oleh angkatan darat dari Hindia Belanda sebagai arena latihan

militer mereka. Nama Waterlooplein sengaja diambil dari nama Waterloo, dimana

sebagai pengingat kemenangan di Waterloo. Di sana juga terpancang sebuah tugu

yang di atasnya terdapat patung singa, sehingga kerap masyarakat Batavia

mengenalnya dengan sebutan lapangan singa.34 Pihak militer yang kerap

menggunakan lapangan ini juga membantu dalam membentuk kebudayaan kota

melalui klab mereka, yakni Concordia yang terletak di sisi selata dari

Waterlooplein (kini jadi lokasi Hotel Borobudur).

Dari tata letaknya, Weltevreden merupakan daerah yang sangat

mendukung gagasan kota taman pada masa teknik otomotif masih sedikit

memproduksi kendaraan dengan kecepatan diatas 30 km/jam. Kebanyakan

penghuni Weltevreden menggunakan kuda dan berjalan kaki. Rancangan dari

Weltevreden antara lain meletakkan jalan-jalan: jalan Van Heutz Boulevard (Jalan

Teuku Umar), Javastraat (Jalan Agus Salim, diteruskan Bisschoopplein,

mampangweg (Jalan Cik Di Tiro). Ujung-ujung jalan itu bertemu dengan

Boulevard Oranjelaan (Jalan Diponegoro) dan Nassaulaan (Jalan Iman Bonjol)

dan membentuk daerah pemukiman hingga ke bagian utara rel kereta api.

Nassaulaan menjadi poros penting memasuki kawasan pemukiman Gondangdia

Baru. Di jalan-jalan ini dibangun rumah-rumah indah dan sehat. Kawasan

Menteng dan Gondangdia baru udaranya sejuk, rumahnya besar dan bagus, parit-

34 Threes Susilawati (ed), Batavia: Kisah Jakarta Tempo Doeloe, (Jakarta:

PT Gramedia, 1988) hlm. 88.

31

parit kecil tertata teratur dan airnya lancar, pohon teratur disekitar jalan, jalannya

bersih dan selalu disiram. Saluran air minum lancar, rumah-rumah terlihat bersih

dan jendelanya besar membuat sirkulasi udara dengan bebas masuk kedalam

rumah.35

Batavia dapat membanggakan diri, memiliki setengah lusin hotel kelas

satu, yang paling terkenal ialah Hotel des Indes (dengan harga ƒ7-15 per hari, ala

Amerika), dengan kamar-kamar, bungalo dan flat-flat kecil, dengan jalan atau

gang yang dinaungi oleh pohon-pohon besar. Hotel des Indes, pada zaman

Belanda sangat terkenal. Saat ini sudah tidak terdapat lagi bekasnya karena sudah

diratakan dengan tanah dan diatasnya didirikan pertokoan di Jalan Gadjah Mada.

Dahulu hotel ini menghadap ke Sungai Ciliwung, merupakan renovasi dari sebuah

hotel yang sama. Sebelumnya memiliki gaya arsitektur klasik. Perombakan dan

perluasan tersebut, dirancang dan dibangun oleh AIA. Hotel dijadikan berlantai

dua dan sebagian berlantai tiga dalam arsitektur modern.36

Selain itu di tempat pertokoan orang-orang Eropa yang mewah dan mahal,

yakni jalan Rijswijk, terdapat toko serba ada, toko-toko buku, toko musik, toko

perabot rumah tangga, tukang-tukang jahit Inggris, dan rumah-rumah mode

dengan model dari Paris. Di pasar Baru, dekat Rijswijk, terdapat toko-toko Cina

yang bersaing dengan Glodok, melayani segala macam selera dan kantong, baik

Eropa maupun Asia. Dan di mana-mana kelihatan toko bahan makanan Cina, yang

melayani pesanan, baik melalui catatan ataupun telepon. Di rumah-rumah makan

seperti “Snoep Huis” yang sangat populer itu, orang dapat duduk pada meja

marmer sambil minum minuman hangat atau dingin atau minum ice cream coklat

35 Desca Dwi Savolta, Op. cit., hlm. 72-73. 36 Ibid., hlm. 74.

32

yang dilapisi cream dan kue-kue lezat, sambil duduk dengan santai melihat-lihat

orang lalu lalang.37 Gambaran ini merupakan salah satu kebiasaan masyarakat

Eropa yang tinggal di Batavia.

Berbicara mengenai gaya hidup masyarakat di Batavia tak lepas dari

keberagaman etnis yang terdapat di dalamnya. Seperti msayarakat Eropa di

Batavia selama pemerintahan Inggris (1811-1816), isteri Gubernur Letnan Raffles

berusaha keras mendorong mereka agar mengganti sarung dan kebaya (yang

bahkan sangat disukai para isteri anggota Raad van Indie) dengan busana model

Eropa. Ia juga memperkenalkan konsep mengenai elegan ke dalam masyarakat

kelas atas Batavia yang sangat kecil itu. Setelah kedatangan Inggris, para

perempuan muda dan orang-orang yang banyak bergaul dalam masyarakat

bersama mereka, mengadopsi busana yang biasa digunakan para perempuan

Inggris, serta sikap dan pakaian mereka menjadi lebih baik. Namun, usaha nyonya

Raffles tidak terlalu membekas. Foto-foto orang Eropa di Batavia pada abad ke-19

menunjukkan bahwa ketika di rumah, para perempuan tersebut tetap mengenakan

busana bergaya “Hindia” dan hanya mengenakan busana Eropa ketika pergi

berbelanja atau berkunjung.38 Dalam hal pakaian misalnya, gaya Barat sebelum

tahun 1850, diwujudkan dalam hal mengimpor bahan-bahan jahitan pakaian dari

India ke Jawa dan menampilkan tubuh tertutup sebagai atribut penguasa. Seperti

penggunaan jas, mantel mewah serta penggunaan aksesoris seperti arloji bagi pria,

kalung dan gelang bagi kaum perempuan. Sejarah pakaian di Eropa berhubungan

37 A. Bagoes P. Wiryomartono, Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di

Indonesia: Kajian mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota sejak

Peradaban Hindu Budha, Islam hingga sekarang, (Jakarta: Gramedia), 1995, hlm.

195. 38 Susan Blackburn, Op. cit., hlm. 78.

33

dengan kewarganegaraan dan politik. Sejarah pakaian di Hindia Belanda erat

kaitannya dengan kekuasaan dan jenjang dalam susunan kekuasaan. Pada awal

abad ke-20, mode pakaian Barat merupakan tanda dari revolusi-revolusi sosial

yang muncul di Eropa. Misalnya revolusi hak suara perempuan pada amandemen

ke-19 konstitusi Amerika pada 1919. Aspirasi gerakan pembaruan di Eropa dan

Amerika Serikat terhadap kebebasan telah diterjemahkan oleh para perancang

busana ke dalam pakaian yang tidak lagi membatasi gerak.39

Sejak awal abad 20, mode Barat memang dirancang untuk para perempuan

kelas menengah di Eropa yang mendapatkan hak untuk memilih, mencalonkan

diri, memasuki dunia profesi dan bisnis sebagaimana pria. Perkembangan

menonjol dalam mode-mode Barat bagi perempuan adalah pakaian santai. Kostum

yang tidak membatasi gerak membawa para perempuan keluar dari rumah, ke

lapangan-lapangan tenis, atau mengendarai sepeda. Dari perspektif pakaian

masyarakat Eropa menanamkan identitas yang sangat terpisah dengan masyarakat

lainnya.40

Orang Eropa lebih senang dengan makanan tanah airnya, seperti mertega,

anggur dan berbagai jenis bir, kentang, ikan salmon schoohoven dengan harga

f.10 per ekor yang dikirim ke Hindia Belanda dalam lemak domba dalam

kalengan timah. Namun sering kali barang-barang kebutuhan orang Eropa sangat

tergantung pada situasinya, jika mentega habis atau kapal yang datang membawa

39 Agung Wibowo, “Gaya Hidup Masyarakat Eropa di Batavia Pada Masa

Depresi Ekonomi (1930-1939)”, Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu

Budaya UI, 2012, hlm. 35. 40 Ibid., hlm. 37.

34

beberapa tong atau peti mentega, maka harga makin naik, sebaliknya jika kiriman

dari orang Eropa lancar maka harga akan kembali normal kembali.41

Orang Cina, Arab, dan pribumi memiliki gaya hidup yang berbeda dengan

orang Eropa karena kelas sosial mereka yg berada dibawah orang Eropa, maka

mereka cenderung mengalami kehidupan yang cukup keras. Walaupun ada juga

diantara mereka yang hidup dalam kelas elit bangsawan. Orang Cina dalam

kalangan kelas menengah kebawah umumnya mempunyai ciri khas rabut yang

dikepang panjang dengan baju bercirikan orang Cina pada umumnya. Mereka

biasanya bekerja secara serabutan seperti memalu, mengergaji, mengecat,

menjahit, dan membangun atau melakukan kerjaan lainnya.42 Meski banyak yang

menjadi kuli atau pedagang kaki lima dengan penghasilan yang minim, namun

tidak dapat di pungkiri banyak juga orang Cina yang sukses di Batavia dan

biasanya menjalankan hidup layaknya orang Eropa. Sedangkan orang Arab yang

kebanyakan hidup dengan cara berdagang mempunyai cirri khas pakaian dengan

gamis dan penutup kepala berupa kain sorban, dengan jenggot yang menghiasi

wajah mereka. Sedangkan orang pribumi kebanyakan hidup menjadi kuli dan

pekerja kasar bertelanjang dada dan menggunakan kebaya yang agak lusuh bagi

kaum perempuan.43 Pemandangan orang Eropa, Cina, Indonesia, dan Arab dalam

menjalankan kesibukannya masing-masing memberikan gambaran bahwa

bervariasinya gaya hidup di Batavia.

41 Desca Dwi Savolta, Op. cit., hlm. 39. 42 Susan Blackburn, Op. cit., hlm. 71. 43 Ibid.

35

D. Perkembangan Seni Pertunjukan dan Hiburan di Batavia

Perkembangan masyarakat Eropa di Batavia merupakan perkembangan

menuju masyarakat modern. Dengan meningkatnya kemakmuran ekonomi

membuat pembanguan yang pesat di Batavia pada awal abad-20 yang tidak hanya

dalam pembangunan gedung-gedung perkantoran, pertokoan, bengkel-bengkel,

sekolah-sekolah serta pemukiman-pemukimannya saja, tapi juga sarana

hiburannya sebagai salah satu penunjang dan kebutuhan masyarakat Batavia akan

rekreasi pun juga ikut tumbuh dan berkembang.

Dari segi hiburan, walaupun komunitas Eropa Batavia merupakan yang

paling besar, namun sisi kehidupan mereka tak kalah menjemukan dan monoton

dibanding kota-kota Jawa lainnya. Kehidupan mereka begitu sibuk, hanya

berkutat dari pagi hingga sore hari dengan waktu bekerja. Ketika malam tiba,

mereka melepas lelah dengan berjalan-jalan dan sesudah makan malam mereka

berada di teras depan rumah, mengobrol, membaca surat kabar atau majalah.

Anak muda Eropa biasanya bersantai di kelab. Terdapat dua kelab ternama di

Batavia yaitu De Harmonie dan Concordia di wilayah Waterloo (Lapangan

Banteng sekarang). Di dalam kelab kaum belia Eropa berpesta pora, mencari

jodoh dengan sesama orang Eropa, bergunjing dan bermain kartu, serta minum-

minum hingga mabuk berat. Setiap minggu di sana juga terdapat pegelaran musik

yang terdiri dari band-band militer yang beraksi pada sore hari. Pertunjukan ini

disaksikan bagi kaum Eropa meskipun banyak juga para bumiputra yang

penasaran dan melihat dari kejauhan. Ada beberapa kelab disediakan, ada pula

tempat untuk berkumpul dan membaca, ada pula teater bagus di daerah Pasar

Baroe, dengan perlengkapan audio-visual yang baik, namun tempat-tempat

36

hiburan itu digunakan orang Eropa hanyalah selesai bekerja atau ketika libur

saja.44 Hiburan orang Eropa tidak boleh dihadiri komunitas lain kecuali orang-

orang Indonesia, Cina, dan Arab yang sangat kaya. Tentu saja masih ada klub-

klub, tetapi jenis hiburan sudah bervariasi.45

Bervariasinya klub-klub yang ada terdapat klub-klub yang terkenal di

Batavia yaitu Societeit de Harmonie bagi kaum elit dan bangsawan, Societeit

Concordia bagi kalangan militer dan Prinsen Park dengan gedung komedinya,

tempat berdansa, kasino, restoran dan hiburan lainnya yang diperuntukan bagi

kalangan biasa.46 Khusus bagi Harmonie, tempat ini menjadi tempat paling favorit

bagi kalangan menengah ke atas di Batavia bahkan di Hindia Belanda. orang yang

masuk ke dalamnya harus menjadi anggota dalam klab tersebut. Tidak ada

seorang pejabat tinggi yang melewatkan kesempatan bekunjung ke Harmonie,

karena yang bertanggung jawab atas klab ini sendiri adalah seorang Gubernur

Jenderal. 47

Hiburan berupa Festival-festival yang memperkaya kehidupan publik di

Batavia dan perayan-perayaan jalanan kiranya menjadi pengobat rasa senang bagi

kaum kelas menengah ke bawah. Selain tak ada batasan ekonomi, masyarakat juga

dapat menikmatinya dengan santai dan senang. Seperti Wayang Cina yang terus di

pentaskan ketika kapal-kapal tiba dengan selamat dari Cina, sehingga sering

terdapat hiburan di Kota tua. Tiga festival tahunan dirayakan dengan sangat

kemegahan, yaitu Tahun Baru Cina, Pecun, dan Pu-du. Pada festival Pudu,

44 Agung Wibowo, Op. cit., hlm. 36-37. 45 Susan Blackburn, Op. cit., hlm. 159. 46 Willard A. Hanna, Hikayat Jakarta, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

1988) hlm. 212. 47 Threes Susilawati (ed), Op. cit., hlm. 107.

37

sesajen berupa makanan dalam jumlah besar disiapkan di atas panggung untuk

arwah orang-orang yang sudah meninggal. Selanjutnya orang-orang miskin yang

telah berkumpul dipersilahkan untuk memanjat dan mengambil makanan-makan

tersebut. Dengan demikian terjadilah keramaian berebutan makanan yang

kemudian menjadi nama festival ini. Festival Pecun yang dirayakan pada

pertengahan tahun, memiliki asal usul yang tidak jelas namun selalu melibatkan

balapan perahu. Perahu lomba ini diiringi oleh perahu-perahu lain yang penuh

berisi pemain music dan penari. Tentu saja festival yang terbesar adalah Tahun

Baru Cina yang berlangsung selama 12 hari pada bulan Januari-Februari dan

berpuncak pada pesta Capgomeh.48 Ada tontonan yang namanya Gajah Dungkul,

gembalanya memukul tambur kecil sambil mengumandangkan pantun. Kemudian

perayaan ini ditutup dengan pembawaan lentera berbentuk katak, burung dan

sebagainya. lalu ada acara tahunan yang disebut Cioko (rebutan bendera). Upacara

itu sesungguhnya diadakan untuk menyembahyangi arwah orang-orang yang

sudah meninggal. Tadinya perayaan Cioko berlangsung di panggung di halaman

belakang Gedung Globe di Pasar Baru (sekarang jadi Globe Plaza), kemudian

dipindah ke belakang kelenteng di jalan Lautze yang waktu itu masih luas.49 Yang

tidak dapat ditinggalkan dalam setiap pesta Capgomeh adalah Barongsai, yaitu

tiruan naga yang digerakkan oelh sejumlah pemuda. Naga ini mengunjungi

rumah-rumah di pecinan diiringi bunyi rangkaian petasan yang ditunjukan untuk

mengusir setan. Ada juga festival yang berupa pasar malam, seperti Pasar Malam

Amal (Fancy Fair) yang diselenggarakan oleh Tiong Hoa Hwee Koan. Di

dalamnya terdapat stand-stand yang menarik, antara lain, Stand Gramophone dan

48 Susan Blackburn, Op. cit., hlm. 159. 49 Op. cit., hlm. 60.

38

Phonograph yang memperdengarkan lagu-lagu Tionghoa (Kongfu) dan Melayu,

Stand tembak-menembak dengan senapan angin, Stand memancing barang-

barang, Stand tombola dengan paket-paket, Stand barang-barang ajaib dan barang-

barang kuno, Monyet seperti orang, Nona cantik dari Wenen, Perang lombok dan

orang kuat.50 Kemudian juga ada kermis, semacam pasar malam gaya Belanda

atau orang Eropa yang diselenggarakan di Harmonie, yang di dalamnya tak beda

jauh dengan pasar malam yang lainnya, disana ada bebagai macam barang yang

dijual seperti pakaian, pakaian dalam wanita, tukang obat, badut, kereta-kereta

kecil yang menjual telur dan acar, dan acara ini umumnya mengikuti apa yang

sudah ada seperti kermis di Amsterdam.51

Ada satu lagi hiburan yang berupa pasar malam tahunan yang

diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda, yakni Pasar Gambir. Pasar

Gambir adalah pasar malam pertama yang dibuat oleh pemerintah Hindia

Belanda. Pasar Gambir sendiri diadakan dalam rangka perayaan penobatan Ratu

Wilhelmina sebagai Ratu Belanda pada tahun 1898 yang diadakan secara mewah,

Kota Batavia disulap menjadi tempat yang ramai dengan hiburan-hiburan, lalu

pelabuhan dan kapal-kapal di Tanjung Priok diterangi lampu-lampu. Gudang

arang pun juga dihias serta diadakannya pesta kembang api secara meriah.52 Pasar

Gambir merupakan sarana rekreasi serta hiburan untuk masyarakat Batavia berupa

pertunjukkan sulap, carrousel (komidi putar) dan American Carnaval Show.

Selain hiburan juga ada arena permainan, seperti permainan panjat-panjatan yang

hampir mirip dengan permainan Panjat Pinang, permainan olahraga bola kasti,

50 Tio Tek Hong, Op. cit., hlm.28 51 Threes Susilawati (ed), Op. cit., hlm. 108 52Ibid., hlm. 63.

39

layang-layang dan sepak bola. Namun, satu hal kerap ditunggu-tunggu masyarakat

Batavia kala itu adalah pesta kembang api yang meriah, yang dilakukan setiap

pekan terakhir Pasar Gambir. Kembang api-kembang api ini diambil dari Pabrik

Kembang Api Gortz di Krukut dan Lauw Kang Boen di Angke.53

Selain banyaknya festival yang ada di Batavia ada juga pertunjukan

panggung yang juga di gemari masyarakat Batavia. Pertunjukan panggung

merupakan hiburan yang sangat digemari masyarakat baik dari kalangan atas

hingga masyarakat kelas bawah. Biasanya berupa drama atau opera dan konser

musik. Drama agaknya lebih kepada tontonan kelas menengah ke atas. Bertempat

di Spellhuis atau gedung kesenian acara ini diperankan oleh aktris dan aktor

setempat, bahkan hingga pemain keliling. San Carlo Opera Company dari Italia

mengadakan pertunjukan setiap tahun, dan perkumpulan kebudayaan Belanda

(Kuntring) mensponsori pertunjukkan-pertunjukkan artis-artis Eropa. Hiburan

pertunjukan panggung semacam konser dan parade juga terselenggara di

Waterlooplein. Waterlooplein sendiri adalah lapangan yang digunakan oleh

angkatan darat dari Hindia Belanda sebagai arena latihan militer mereka. Nama

Waterlooplein sendiri diambil dari nama Waterloo, dimana sebagai pengingat

kemenangan di Waterloo. Di sana juga terpancang sebuah tugu yang di atasnya

terdapat patung singa, sehingga kerap masyarakat Batavia mengenalnya dengan

sebutan lapangan singa.54 Ada pula pertunjukan baik umum maupun pribadi, dari

Opera Cina atau wayang Indonesia, dan pertunjukan-pertunjukan yang selalu

populer seperti pertunjukan Miss Tjitjih, dengan pemain bukan seorang aktris

53 Gemita Tranka Magaeltra, “Pembentukan Djakarta Fair Masa Gubernur

Ali Sadikin (1968-1977)”, Skripsi, (Depok: Universitas Indonesia, 2011), hlm. 25. 54 Threes Susilawati (ed), Op. cit., hlm. 88.

40

saja, tetapi berbagai artis yang pertunjukan-pertunjukannya selalu mengandung

kejutan.55

Film juga merupakan salah satu hiburan yang mempertunjukkan gambar

bergerak pada sebuah layar. Pada tahun 1900 film pertama kali muncul di Batavia.

tepatnya tanggal 5 Desember 1900, Nederlandsche Biooscope Maatschappij

(perusahaan bioskop Belanda) menyelenggarakan pertunjukkan besar pertama

yang akan berlangsung tiap malam, pukul 19.00 di rumah di Tanah Abang

Kebondjae (Manage), sebelah pabrik kereta (bengkel mobil Maatschappij

Fuchss).56 Kemudian bioskop pun menjadi hiburan yang berkembang di Batavia.

Pertunjukkan film yang ditampilkan menarik minat masyarakat Batavia, mulai

dari kelas Eropa hingga Pribumi. Meski begitu pembagian kelas dalam bioskop

pun tetap diberlakukan, bukan semata-mata untuk kepentingan ekonomi tetapi

untuk mempertegas bahwa bangsa Eropa tetap pada kelas tertinggi dibanding

kelas lainnya.

Kemudian ada seni pertunjukan panggung yang sangat digemari. Semacam

opera yang disispkan dengan berbagai adegan lucu, dan bercerita tentang

kehidupan raja-raja dengan pakaian gemerlapan. Bentuk paduan irama musik

dengan gerak tari dalam teater melahirkan ciri Indis, yang dikenal dengan komedie

stamboel. Sementara itu, dalam bentuk musik orkes keroncong, muncul lagu

stambulan. Kemunculan komedie stamboel yang pertama di Surabaya pada awal

abad ke-20.57 Dalam perjalanannya komedi stambul banyak melakukan

pembaruan dalam cara penyajian dan repertoarnya dalam periode 1920-an

55 Willard A. Hanna, Op. cit., hlm 211. 56 Sari Wulan, “Sejarah Industri Perfilman Di Batavia Tahun 1900 –

1942”, Jurnal Diakronik, (Surakarta: Universtas Sebelas Maret, 2013) hlm. 8. 57 Djoko Soekiman, op.cit., hlm. 48.

41

merupakan awal lahirnya toneel yang merupakan perubahan dari stamboel.58

Mengenai bagaimana dari stambul ke toneel dan perkembangan toneel di Batavia

nanti akan di jelaskan pada bab selanjutnya.

58 Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900–1950, (Jakarta: Komunitas

Bambu, 2009), hlm. 3.