Bab II Pluralisme Sebagai Realitas Sosial 2.1....

29
13 Bab II Pluralisme Sebagai Realitas Sosial 2.1. Pengantar Pluralisme adalah suatu keniscayaan untuk hidup bersama dalam konteks Indonesia. Bangsa Indonesia adalah negara yang besar dengan jumlah penduduk yang banyak dan terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, agama, kebudayaan dan lain-lain. Jumlah penduduk Indonesia yang dikeluarkan badan statistik kependudukan Indonesia adalah 237.641.326 jiwa tahun 2010. 1 Dengan demikian Indonesia ini dikenal sebagai bangsa yang majemuk. Jumlah penduduk yang besar dan juga keanekagaman itu membuat Indonesia di satu sisi kaya akan potensi untuk perkembangan dan pembangunan bangsa, di sisi lain potensi juga untuk terjadinya perpecahan bangsa dan negara. Meningkatnya sektarian dan radikalisme agama yang sebagian berujung pada tindakan kekerasan atas nama agama di Indonesia, merupakan kenyataan yang menyedihkan. Hidup bersama di masyarakat yang plural ini sering kali terjadi sesuatu yang melibatkan kekuatan massa atau jumlah, mayoritas minoritas, pada suatu daerah dalam menyelesaikan persoalan kemasyarakatan, sehingga ada satu kelompok yang merasa mempunyai hak untuk menghakimi kelompok yang lainnya. Disinilah kehadiran Negara sangat diperlukan dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Potensi konflik SARA yang menyebabkan perpecahan bangsa, diantaranya dikarenakan masalah agama, berusaha dicegah dan diminimalisir, sehingga negara 1 http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1267 ... diakses tanggal 01 Oktober 2016.

Transcript of Bab II Pluralisme Sebagai Realitas Sosial 2.1....

13

Bab II

Pluralisme Sebagai Realitas Sosial

2.1. Pengantar

Pluralisme adalah suatu keniscayaan untuk hidup bersama dalam konteks

Indonesia. Bangsa Indonesia adalah negara yang besar dengan jumlah penduduk

yang banyak dan terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, agama, kebudayaan

dan lain-lain. Jumlah penduduk Indonesia yang dikeluarkan badan statistik

kependudukan Indonesia adalah 237.641.326 jiwa tahun 2010.1 Dengan demikian

Indonesia ini dikenal sebagai bangsa yang majemuk. Jumlah penduduk yang besar

dan juga keanekagaman itu membuat Indonesia di satu sisi kaya akan potensi

untuk perkembangan dan pembangunan bangsa, di sisi lain potensi juga untuk

terjadinya perpecahan bangsa dan negara.

Meningkatnya sektarian dan radikalisme agama yang sebagian berujung

pada tindakan kekerasan atas nama agama di Indonesia, merupakan kenyataan

yang menyedihkan. Hidup bersama di masyarakat yang plural ini sering kali

terjadi sesuatu yang melibatkan kekuatan massa atau jumlah, mayoritas minoritas,

pada suatu daerah dalam menyelesaikan persoalan kemasyarakatan, sehingga ada

satu kelompok yang merasa mempunyai hak untuk menghakimi kelompok yang

lainnya. Disinilah kehadiran Negara sangat diperlukan dalam menyelesaikan

persoalan tersebut.

Potensi konflik SARA yang menyebabkan perpecahan bangsa, diantaranya

dikarenakan masalah agama, berusaha dicegah dan diminimalisir, sehingga negara

1 http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1267 ... diakses tanggal 01 Oktober 2016.

14

melindungi kebebasan dalam beragama warganya dengan melindungi dalam

hukum dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yaitu UUD 1945.

Masing-masing warga negara bebas memeluk agama dan kepercayaannya, serta

melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu. Pasal 28E ayat

(1) yang menyatakan, ”Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat

menurut agamanya….” dan Pasal 28E ayat (2) berbunyi, ”Setiap orang berhak

atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap, sesuai

dengan hati nuraninya.” Selain itu, kebebasan beragama juga diatur dalam Pasal

29 ayat (2) bahwa, ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk

memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu.”2

Setiap agama tidak terpisah satu dengan yang lainnya dalam kemanusiaan.

Keterpisahan mereka dalam kemanusiaan bertentangan dengan prinsip pluralisme

yang merupakan watak dasar masyarakat manusia yang tidak bisa dihindari.

Dilihat dari segi etnis, bahasa, agama, budaya, dan sebagainya, Indonesia

termasuk satu negara yang paling majemuk di dunia. Indonesia juga merupakan

salah satu Negara multikultural terbesar di dunia. Hal ini disadari oleh para

founding father kita, sehingga mereka merumuskan konsep pluralisme ini dengan

semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.

2.2. Pluralisme dan Sikap beragama

Pengertian Pluralisme asal katanya dari “plural” yang berarti jamak atau

lebih dari satu. Isme artinya paham yang berarti beragam pemahaman, atau

bermacam-macam paham. Sedangkan pluralis artinya bersifat jamak (banyak).

2 Tim Redaksi Balai Siasat, Undang-undang Dasar Republik Indonesia, hasil amanden II

(Jakarta: Balai Siasat,2009).

15

Kejamakan atau lebih dari satu Pluralisme adalah jamak atau tidak satu;

kebudayaan: berbagai kebudayaan yang berbeda-beda di suatu masyarakat.3

Pluralisme adalah pandangan filosofis yang tidak mereduksikan segala sesuatu

pada satu prinsip terakhir, melainkan menerima adanya keragaman. Pluralisme

dapat menyangkut bidang kultural, politik dan religius, sebagaimana terdapat

dalam kamus teologi.4

Setiap agama masing-masing mempunyai perspektif sendiri dengan paham

pluralisme yang ada. Mereka mempunyai penekanan pada hal-hal tertentu dalam

pluralisme, dengan mempunyai dasar teologis masing-masing. Namun demikian

yang menjadi nilai universal dalam paham pluralisme, dalam hal ini pluralisme

agama, adalah adanya pengakuan akan perbedaan-perbedaan yang ada namun tetap

saling menghormati. Ini sangat berbeda, ketika masing-masing agama saling

menjelekkan dan mencampuri ke dalam urusan agama lain, maka bisa terjadi

konflik.

Sedangkan menurut Alwi Shihab, pengertian pluralisme dapat

disimpulkan menjadi 3 yaitu: pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada

kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun, yang dimaksud pluralisme

adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Kedua,

pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Dalam hal ini

kosmopolitanisme menunjuk suatu realitas di mana aneka ragam ras dan bangsa

hidup berdampingan di suatu lokasi. Maksudnya walaupun suatu ras dan bangsa

3 Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakar ta : Balai Pustaka,1990),

691.

4 Gerald O’ Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius,

1996), 257.

16

tersebut hidup berdampingan tetapi tidak ada interaksi sosial. Ketiga, konsep

pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Paham relativisme

menganggap “semua agama adalah sama”. Keempat, pluralisme agama bukanlah

sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur

tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan

bagian integral dari agama tersebut.5

Sedangkan mengenai pluralisme agama, menurut Wilfred Cantwell Smith,

merupakan tahapan baru yang sedang dialami pengalaman dunia menyangkut

agama. Syarat utama tahapan ini ialah kita semua diminta untuk memahami

tradisi-tradisi keagamaan lain di samping tradisi keagamaan kita sendiri.

Membangun teologi di dalam benteng satu agama sudah tidak memadai lagi.

Smith mengawali pernyataan teologisnya tentang pluralisme agama dengan

menjelaskan adanya implikasi moral dan juga implikasi konseptual wahyu. Pada

tingkat moral, wahyu Tuhan mestilah menghendaki rekonsiliasi dan rasa

kebersamaan yang dalam. Sementara, pada taraf konseptual wahyu Smith mulai

dengan menyatakan bahwa setiap perumusan mengenai iman suatu agama harus

juga mencakup suatu doktrin mengenai agama lain.

Pendirian teologis tersebut oleh Smith dimasukannya ke dalam analisis

mengenai cara kita menggunakan istilah agama. Dalam karya klasiknya yang

berjudul The Meaning and End of Religion Smith menjelaskan bahwa penggunaan

teologi yang eksklusif mengakibatkan agama orang lain dipandang sebagai

penyembahan berhala dan menyamakan Tuhan mereka dengan dewa. Sebagai

contoh, Smith mengutip pernyataan teolog Kristen bernama Emil Brunner yang

5 Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka, (Bandung: Mizan, 1999), 41-42.

17

menyatakan bahwa Tuhan dari agama-agama lain senantiasa merupakan suatu

berhala. Demikian juga bagi beberapa kaum Muslim, Yesus sebagai kristus adalah

suatu berhala.

Smith merasa bahwa pemahaman mengenai agama ini diperlukan jikalau

kita ingin berlaku adil terhadap dunia tempat kita hidup dan terhadap Tuhan

sebagaimana di wahyukan oleh agama yang kita anut. Semua agama, entah itu

Islam, Kristen, Hindu, Buddha dan sebagainya, hendaknya harus dipahami

sebagai suatu perjumpaan yang penting dan berubah-ubah antara yang Illahi dan

manusia. Dengan pemahaman ini, Smith mengharapkan adanya toleransi antar

umat beragama yang berbeda-beda tersebut.6

Sementara Mahmoud Mustafa Ayoub mengatakan suka atau tidak, kita

hidup hari ini dalam sebuah dunia yang pluralistik. Namun, kita tetaplah manusia

yang tidak harusnya dibeda-bedakan, kita adalah umat manusia, tapi kita juga

bangsa yang berbeda, budaya, dan agama. Al-Qur'an berulang kali mengatakan

bahwa Tuhan menciptakan kita semua dari satu jiwa,dan dari satu jiwa diciptakan

pasangan, sehingga berkembang menjadi banyak keturunan laki dan perempuan.

Ayat penting dan sering dikutip lainnya yang terkait dengan ini adalah Al-Hujarat

ayat 13. Demikian pendapat beliau:

Whether we like it or not, we live today in a pluralistic world. Yet, we

are not and cannot be an undifferentiated mass of humankind. Yes, we

are one humanity, but we are also different peoples, cultures, and

religious communities. The Qur'an repeats many times the idea that God

created us all from one soul, and from that soul created its mate; and

from the two He scattered many men and women. The other important

and often-quoted verse related to this is the following Qur'anic challenge:

"humankind we have created you from one male and one female and

made you into different nations and tribes that you may know one

another, surely the noblest view in God's sight is the most righteous."

6 http://limasdodi.blogspot.co.id/2012/09/teologi-pluralisme.html...diakes tanggal 26

Februari 2017.

18

Humanity is one in essence and substance but diverse in culture and in

race, that is, ethnic composition. Moreover, humanity is one in its quest

to comprehend and do the will of God, for "surely the noblest in God's

sight is one who is the most righteous" (Q.49:13).7

Pluralisme bukan bersifat teologis saja, namun juga sebuah kesadaran

sosial. Manusia tidak dapat dipungkiri hidup di tengah-tengah masyarakat yang

yang majemuk atau jamak itu, baik dalam segi agama, etnis, budaya, dan

keragaman sosial lainnya. Karenanya dalam pluralisme mengandung konsep

sosiologis dan sekaligus juga teologis.8 Pluralisme melindungi kesetaraan dan

menumbuhkan rasa persaudaraan di antara manusia baik sebagai individu maupun

kelompok. Pluralisme menuntut upaya untuk memahami pihak lain dan kerjasama

mencapai kebaikan bersama. Pluralisme adalah bahwa semua manusia dapat

menikmati hak dan kewajibannya setara dengan manusia lainnya.

Kelompok-kelompok minoritas dapat berperan serta dalam suatu masyarakat

sama seperti peranan kelompok mayoritas. Hukum negara dan hukum

internasional melindungi pluralisme.9

Dalam tulisan ini penulis memakai pluralisme bukan hanya soal agama,

namun juga sebagai fenomena sosial yang memerlukan penanganan yang baik

oleh berbagai pihak, agar tidak sampai ada masalah yang tidak diinginkan

dikemudian hari, seperti hal pertikaian, atau bahkan disintegrasi bangsa.

7 Irfan A. Omar (Editor), A Muslim View of Christianity: Essays on Dialogue by

Mahmoud Ayoub (New York: Orbis Books, 2007), 9. 8 Moh. Shofan, Pluralisme Menyelamatkan Agama-agama (Yogyakarta: Samudra Biru,

2011), 48. 9 Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme & Toleransi Keagamaan Pandangan al-

Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban, Terj. Irfan Abubakar (Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2006), 3.

19

2.3. Sejarah Pluralisme Dunia

Pada abad ke-18 sejarah pemikiran pluralisme untuk pertama kali muncul,

disebabkan adanya peristiwa yang disebut masa Enlightenment (pencerahan) di

Eropa. Pada masa ini gerakan pemikiran modern mulai bangkit, diwarnai dengan

gagasan-gagasan baru pemikiran manusia yang berorientasi pada pengandalan

kekauatan akal pikiran atau rasionalisme dan pembebasan akal dari kekangan

doktrin agama. Paham liberalisme yang di dalamnya memuat gagasan tentang

kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme akibat adanya

pencerahan.10

Pluralisme berakar dari paham liberalisme. Sedangkan pengertian

liberalisme adalah:

....berasal dari bahasa latin liberalis kata yang diturunkan dari kata liber

yang artinya “bebas”, “merdeka”, “tak terikat”, “tak tergantung”.

Liberalisme adalah kecenderungan luas dalam politik dan agama yang

mengikuti pandangan zaman pencerahan dalam mendukung kebebasan dan

perkembangan dalam menerima pandangan-pandangan baru dalam ilmu

kebudayaan sezaman. Dalam arti positif, liberalisme mendorong sistem

pendidikan yang terbuka dan terciptanya keadilan sosisal. Dalam arti

negatif, liberalisme menjadi satu bentuk humanisme sekular yang menolak

kewibawaan agama.....11

Di abad ke-18 M ini di kalangan kristen Eropa berkembang liberalisme, akibat

adanya keadaan sosial masyarakat yang plural atau majemuk dalam sekte atau

kelompok. Keadaan sosial masyarakat yang majemuk inilah menyebabkan

konflik-konflik di kalangan gereja. Pergolakan pemikiran kristen ini yang

melahirkan liberalisme yang dikarenakan adanya pluralisme. Baru setelah abad

10 Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama (Jakarta: Prespekif Kelompok Gema Insani,

2005), 16. 11 Gerald dan Edward, Kamus Teologi…, 178.

20

ke-20 M paham pluralisme dan liberalisme ini berkembang ke komunitas-

komunitas lain di dunia.12

Liberalisme berkembang juga dalam politik. Liberalisme politik yang

muncul di era reformasi Barat, melahirkan paham baru yaitu pluralisme.

Kebebasan nurani dalam urusan-urusan agama lebih dulu muncul dan kemudian

diperluas dalam bidang-bidang lain. Toleransi terhadap perbedaan dan berbagai

pemahaman dalam bidang agama menjadi topik utama dalam pembahasan

liberalisme politik. Liberalisme politik mengusung hak-hak individual dalam

pemisahan sektor publik dan sektor private (pribadi) tanpa campur tangan pihak

manapun. Hak-hak yang melindungi sektor private yang paling penting adalah

kebebasan dalam mengungkapkan pendapat, khususnya yang berkaitan dengan

agama.13

Dari uraian di atas kita mengetahui bahwa paham pluralisme pertama kali

berkembang dunia kekristenan dalam menanggapi interaksi dan toleransi antara

kekristenan dan agama-agama lainnya, dan juga antar sekte-sekte yang ada di

dalam kekristenan itu sendiri yang sering terjadi ketegangan bahkan pertikaian.

Gagasan pluralisme agama adalah salah satu elemen gerakan reformasi agama

atau liberalisasi agama yang dilancarkan oleh Gereja Kristen pada abad ke-19 M,

yang di pelopori oleh Friedrich Schleiermacher (1768-1834).14 Protestanisme

liberal adalah bentuk modernisme dalam bidang agama yang di dalamnya terdapat

12 Anis, Tren Pluralisme Agama…, 17. 13 Legenhausen, Pluralitas dan Pluralisme Agama Keniscayaan Pluralitas Agama

sebagai Fakta Sejarah Dan Kerancuan Konsep Pluralisme Agama Dalam Liberalisme, Terj. Arif

Mulyadi dan Ana Farida (Jakarta: Lentera Basritama, 2010), 10. 14 Anis, Tren Pluralisme Agama..., 18.

21

doktrin bahwa inti agama terletak pada pengalaman religius pribadi daripada

dogma, aturan, komunitas dan ritual.15

Schleiermacher menyatakan jiwa manusia yang melebur dalam perasaan

dekat dengan Yang Tak Terbatas merupakan hakekat agama, dan hakekat agama

tidak terletak pada doktrin keagamaan maupun penampakan secara lahiriah

tertentu. Intisari dari semua agama adalah terletak pada pengalaman religius

manusia dengan Tuhannya.16 Itulah latar belakang dari mundulnya paham

pluralisme yang berkembang di dunia barat. Memasuki abad ke-20, gagasan

pluralisme agama semakin menguat dalam wacana pemikiran filsafat dan teologi

Barat.

Perkembangan gagasan pluralisme pada abad ke-18 hingga abad ke-20 ini

lebih tampak sebagai fenomena yang dominan dalam masyarakat Kristen di

Eropa. Akan tetapi ada juga yang mengatakan, sikap pluralistik sebagai cikal

bakal lahirnya pluralisme agama telah muncul di India pada akhir abad ke-15

dalam gagasan-gagasan Kabir (1440-1518) dan muridnya Guru Nanak ( 1469-

1538) pendiri agama “Sikhisme”. Namun gagasan ini tidak begitu dikenal di

dunia, hanya terbatas populer di India. Dengan begitu artinya, gagasan pluralisme

agama bukan hanya hasil dominasi dari pemikiran barat saja, namun juga berakar

dari pemikiran agama timur, khususnya India.17

Terdapat perbedaan mendasar antara gagasan pluralisme yang dicetuskan

oleh teolog India dengan pemikirian teolog Barat, khususnya Eropa. Konsep

pluralisme agama di India lebih mempunyai akar teologisnya, karena dasar

pemikiran tersebut tetap bersumber kepada Kitab Suci Hindu, seperti saling

15 Legenhausen, Pluralitas dan Pluralisme Agama..., 17. 16 Ibid, 19. 17 Anis, Tren Pluralisme Agama…, 20.

22

dimilikinya kebenaran yang mengantarkan kepada jalan menuju Tuhan. Konsep

pluralisme agama di India muncul dalam wacana teologis, sedangkan di Barat

gagasan ini merupakan produk filsafat modern yang muncul pada masa

pencerahan Eropa.18

Dari pemaparan di atas, dapat dimengerti bahwa, sejarah paham

pluralisme di seluruh belahan dunia selalu diawali dengan intoleransi yang

berakar dari agama dalam suatu masyarakat majemuk. Kesadaran manusia akan

pentingnya menjaga hubungan baik dengan pihak lain yang berbeda keyakinan

mendorong munculnya paham pluralisme. Paham pluralisme membawa manusia

kepada paham universal bahwa keberagaman manusia di dunia ini sudah

merupakan takdir dari Sang Pencipta. Keberagaman manusia merupakan

ketentuan Allah agar manusia saling bersatu dan membentuk warna-warni

peradaban yang rukun dan saling toleran terhadap sesamanya di muka bumi ini.

2.4. Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid di Indoensia

Riwayat hidup singkat Gus Dur sebagai berikut; Kyai Haji Abdurrahman

Wahid, akrab dipanggil Gus Dur adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin

politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga

2001. Ia menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil

Pemilu 1999. Penyelenggaraan pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan

Nasional. Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid dimulai pada 20 Oktober 1999

dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001,

kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya

18 Anis, Tren Pluralisme Agama..., 23.

23

dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid adalah mantan ketua Tanfidziyah (badan

eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam

tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan

Solichah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus, namun

kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam

yang berarti ia lahir pada 4 Sya’ban, sama dengan 7 September 1940.

Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. “Addakhil” berarti “Sang

Penakluk”.19 Kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”,

dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan

kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kyai yang berati “abang” atau

“mas“.

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam

keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari

ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara

kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama

yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim,

terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949.

Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar

Jombang. Saudaranya adalah Salahuddin Wahid dan Lily Wahid. Ia menikah

dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri: Alisa, Yenny, Anita, dan

Inayah.

19 Muhammad Zaairul Haq, Tasawuf Gus Dur (Malang: Aditya Media Publishing, 2012),

155.

24

Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah

Tionghoa. Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan

Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan

Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini

merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden

Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang

peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul

Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.

2.4.1. Pendidikan Gus Dur

Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya

terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia

(Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan dukungan tentara Jepang yang

saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal

17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama

perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949,

Wahid pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama.

Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta ketika memasuki Sekolah Dasar. Wahid

juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya

untuk memperluas pengetahuannya. Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan

keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun

1952. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.

Pendidikan Wahid berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah

Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus

25

Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya dengan mengaji kepada KH.

Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak dan belajar di SMP. Pada tahun 1957,

setelah lulus dari SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan

Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid

berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun

(seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Wahid pindah ke Pesantren

Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara melanjutkan pendidikannya sendiri,

Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan

nantinya sebagai kepala sekolah madrasah. Gus Dur juga dipekerjakan sebagai

jurnalis majalah seperti Horizon dan Majalah Budaya Jaya.20

Tahun 1970-an, di masa mahasiswa, Gus Dur adalah seorang pencari

kebenaran tanpa henti. Ia tak mau berhenti pada satu tafsir tentang Islam. Ketika

studi di Mesir dan terutama di Irak, Gus Dur mengenal varian nasionalisme Arab

dan sosialisme. Ia mengagumi sosok Gamal Abdul Nasr, pemimpin nasionalis

Mesir, yang membuka peluang pemikiran-pemikiran Islam masuk dan

berkembang. Di Universitas Baghdad, Irak, ia terkagum-kagum dengan sosok

Saddam Husein.21

Abdurrahman Wahid sebagai tokoh pemuka agama Islam yang taat dalam

berteologi dan memiliki sikap terbuka pada sesama manusia tanpa mengenal suku,

ras dan agamanya. Pemikiran pluralis dan toleransi Gus Dur terbentuk oleh

ekspedisi intelektualnya yang panjang. Gus Dur tumbuh di lingkungan pesantren

20 https://mypresidentmyhero.wordpress.com/2012/06/25/riwayat-hidup-lengkap-

presiden-kyai-haji-abdurrahman-wahid/... Diakses tanggal 20 Desemeber 2016.

21 M. Hamid, Gus Gerr: Bapak Pluralisme dan Guru Bangsa (Yogyakarta, Penerbit

Pustaka Marwa, 2010), 93.

26

tradisional Tebu Ireng Jombang, Krapyak Yogyakarta, dan Tunggalrejo

Magelang. Dari ketiga pondok pesantren tersebut, Gus Dur menimba disiplin

keilmuan Islam tradisional.22

Salah satu aspek yang paling bisa dipahami dari Gus Dur adalah bahwa ia

seorang penyeru pluralisme dan toleransi, pembela kelompok minoritas,

khususnya pada waktu itu Cina Indonesia, juga peganut Kristen dan kelompok-

kelompok lain yang tidak diuntungkan pada masa pemerintahan Presiden

Soeharto (masa Orde Baru). Gus Dur adalah figur yang memperjuangkan untuk

dapat diterimanya kenyataan sosial bahwa Indonesia itu beragam. Gus Dur

dikenal sebagai seorang yang memiliki pemikiran liberal. Ia selalu dikenal dengan

sikapnya yang konsisten dalam membela minoritas dan perjuangan untuk

diterimanya pluralisme sosial dan budaya yang betul-betul nyata dalam

masyarakat Indonesia.23

Gus Dur mempunyai konstruksi pemikiran tentang Islam di Indonesia

yang terbangun berdasarkan pada tiga nilai; universalisme Islam,

kosmopolitanisme Islam, dan pribumisasi Islam.

2.4.2. Idiologi Agama Wahid dalam Universalisme Islam

Kata Universalisme Islam yang dmaksud disini adalah nilai-nilai

kemanusiaan di dalam Islam. Universal bermakna umum. Universalisme adalah

paham atau aliran yang meliputi segala-galanya; penerapan nilai-nilai; norma-

norma secara umum; pendekatan-pendekatan linguistik yang menganggap semua

22 Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran Teologi Kerukunan Beragama (Bandung:

Mizan Pustaka, 2011), 134. 23 Greg Barton, Memahami Abdurrahman Wahid, dalam pengantar Abdurrahman Wahid,

Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 2000), xxii.

27

bahasa di dunia ini mempunyai dasar yang sama dengan sistem logika.24 Ia

bersifat universal karena ditetapkan sebagai tujuan utama syariat. Nilai

kemanusiaan itu terdapat di dalam perlindungan atas lima hak dasar manusia

meliputi perlindungan atas hidup, hak beragama, hak berpikir, hak kepemilikan,

dan hak berkeluarga.25

Universalisme Islam menampakan diri dalam berbagai manifestasi ajaran-

ajaran yang mengandung nilai-nilai dalam kemanusiaan. Bahasa sederhananya

adalah memanusiakan manusia. Pemikiran Gus Dur ialah pertemuan kemanusiaan

dan keislaman. Hanya saja prinsip keislaman ini bukanlah satu-satunya yang

digunakan olehnya. Prinsip keislaman merupakan landasan awal bagi bagi

keseluruhan pemikirannya. Selain dilandasi oleh prinsip keislaman, ketertarikan

Gus Dur kepada kebudayaan Eropa juga berpengaruh pada pemikiran-

pemikirannya. Budaya yang menjunjung tinggi nilai humanisme, rasionalisme,

dan demokrasi merupakan inti dari universalisme Islam. Humanisme adalah

perjuangan pengangkatan harkat manusia di atas intuisi apa pun. Atas

rasionalisme, Gus Dur terpikat dengan penggunaan akal budi untuk

menyempurnakan peradaban manusia. Pada sistem demokrasi merupakan sistem

politik ideal yang mampu menjamin terpenuhinya hak dasar manusia.26

Ketiga nilai tersebut merupakan akar dari konsep universalisme yang

kemudian dalam perspektif Gus Dur digabungkan dengan prinsip keislaman.

Universalisme Islam adalah nilai-nilai kemanusiaan dalam Islam yang bersifat

universal karena ditetapkan sebagai tujuan utama syariat. Universalisme Islam

24 Anton, Kamus Besar Bahasa Indonesia..., 992. 25 Syaiful Arif, Humanisme Gus Dur Pergumulan Islam dan Kemanusiaan (Yogyakarta:

ar-Ruzz Media, 2013), 11. 26 Syaiful Arif, Humanisme Gus Dur Pergumulan Islam dan Kemanusiaan (Yogyakarta:

ar-Ruzz Media, 2013), 64.

28

yang diuraikan Gus Dur jalan untuk mencapai kebaikan umat manusia.

Universalisme Islam adalah lima jaminan dasar yang diberikan kepada warga

masyarakat baik secara perorangan maupun kelompok. Lima jaminan dasar itu

berupa perlindungan atas hak hidup, hak beragama, hak berpikir, hak atas

keselamatan keluarga dan keturunan, serta hak atas kepemilikan.27

Penempatan hak hidup pada urutan pertama, bagi Gus Dur menganggap

bahwa itu terkait dengan hak yang paling dasar dari manusia, berupa kehidupan.

Jaminan atas hak hidup dalam masyarakat mensyaratkan adanya pemerintahan

berdasarkan hukum. Hukum adalah perwujudan keadilan sosial dalam arti

sebenarbenarnya. Setiap individu maupun kelompok diharapkan akan mendapat

perlakuan yang adil tanpa terkecuali, yaitu dengan adanya hukum yang

diberlakukan dalam masyarakat.28

Pada hak beragama dan hak berpikir menjamin manusia untuk bisa

menentukan pandangan hidup dan keyakinannya. Kedua hak ini diharapkan akan

berimplikasi pada keyakinan agama yang melandasi hubungan masyarakat atas

dasar sikap saling menghormati yang akan mendorong tumbuhnya sikap tenggang

rasa dan saling pengertian. Dalam konteks ini tiap individu mempunyai kebebasan

untuk menentukan alur yang akan dipilihnya.29 Sebagaimana yang sudah dijamin

kebebasannya oleh negara dalam UUD 1945.

Jaminan dasar akan keselamatan keluarga menampilkan sosok moral yang

sangat kuat. Hak inilah yang melandasi keimanan yang memancarkan toleransi

dan dalam derajat yang tinggi. Jaminan dasar atas hak kepemilikan merupakan

27 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan Nilai-nilai Indonesia & Transformasi

Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 4. 28 Wahid, Islam Kosmopolitan…, 5. 29 Arif, Humanisme Gus Dur…, 65.

29

sarana bagi berkembangnya hak-hak individu secara wajar. Dengan hak itulah

warga masyarakat secara perorangan memiliki peluang untuk mengembangkan

diri melalui pola yang dipilihnya sendiri, namun tetap dalam alur kehidupan

masyarakat.30

Selanjutnya yang paling mendasar diperjuangkan oleh Gus Dur secara

konsisten adalah hubungan individu dan masyarakat. Ia mengemukakan, karena

tingginya kedudukan manusia dalam kehidupannya manusia sebagai individu

harus memperoleh perlakuan yang seimbang. Individu memiliki hak-hak dasar

yang tidak dapat dilanggar. Hak-hak itu disebut sebagai hak-hak asasi manusia

yang menyangkut perlindungan hukum, perlakuan keadilan, penyediaan

kebutuhan pokok, peningkatan kecerdasan dan kebebasan keyakinan dan

keimanan.31

2.4.3. Idiologi Wahid dalam Kosmopolitanisme Islam

Sementara itu kosmopolitanisme peradaban Islam adalah keterbukaan

Islam terhadap kebenaran dan peradaban lain, sejak filsafat Yunani kuno hingga

pemikiran Eropa modern. Kosmopolitan adalah mempunyai wawasan dan

pengetahuan luas; terjadi dari orang-orang atau unsur-unsur yang berasal dari

berbagai penjuru dunia; terdapat di berbagai belahan dunia, sedangkan

kosmopolitanisme adalah paham atau gerakan yang berpandangan bahwa

seseorang tidak perlu mempunyai kewarganegaraan tetapi menjadi warga dunia,

paham internasional.32 Sifat kosmopolitan dari Islam ini membuat Islam bisa

duduk secara berdampingan setara dengan rasionalisme Barat, meskipun mulai

dari titik pijak yang berbeda. Pertemuan Islam dengan kosmopolitanisme Barat

30 Wahid, Islam Kosmopolitan ..., 7. 31 Aziz, Neo-modernisme Islam…, 33 32 Anton, Kamus Besar Bahasa Indonesia..., 463.

30

dimulai dari gagasan Gus Dur tentang pandangan dunia Islam yang dibangun oleh

tiga nilai yaitu demokrasi, keadilan dan persamaan. Kosmopolitanisme peradaban

Islam memantulkan proses saling menyerap dengan peradaban-peradaban lain di

sekitar dunia Islam. Proses seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas

budaya dan heterogenitas politik dalam suatu lingkup masyarakat, merupakan

implikasi dari kosmopolitanisme peradapan Islam.33

2.4.4. Idiologi Wahid dalam Pribumisasi Islam

Pribumisasi Islam adalah kontruksi pemikiran Gus dur yang ketiga, yang

terkait dengan lokalitas yang dapat dipahami dalam dua konteks. Konteks

Pertama adalah manifestasi ajaran Islam melalui kultur lokal. Dalam konteks ini,

ajaran Islam yang universal didakwahkan dengan meminjam bentuk budaya lokal

pra-Islam. Konteks Kedua yaitu kontekstualisasi Islam. Dalam konteks ini

pribumisasi Islam merupakan upaya Gus Dur dan para ulama NU untuk

mengakomodasi kebutuhan realitas dengan memanfaatkan keilmuan yang ada.34

Pribumisasi berasal dari kata pribumi yang memiliki makna penduduk asli (warga

negara; penduduk asli suatu negara).35 Akan tetapi yang dimaksud dengan

pribumisasi Islam disini adalah kontekstualisasi Islam ke dalam realitas kehidupan

dalam kerangka kebudayaan. Di Indonesia pribumisasi Islam merupakan gagasan

yang melandasi apa yang saat ini disebut sebagai Islam Nusantara.36

Pribumisasi Islam merupakan salah satu gagasan Gus Dur yang populer.

Pribumisasi Islam terkait dengan lokalitas atau yang disebut sebagai Islam

33 Wahid, Islam Kosmopolitan Nilai-nilai Indonesia..., 9. 34 Arif, Humanisme Gus Dur Pergumulan Islam dan Kemanusiaan..., 15. 35 Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ..., 701. 36 Arif, Humanisme Gus Dur Pergumulan Islam dan Kemanusiaan..., 85.

31

Nusantara. Pribumisasi Islam merupakan corak keberislaman yang melekat

dengan keindonesiaan atau gagasan yang menandai suatu bentuk Islam Indonesia.

Secara sederhana, wacana Gus Dur terhadap pribumisasi Islam dapat

dipahami sebagai upaya untuk melindungi proses kontekstualisasi nilai-nilai Islam

dengan kebudayaan lokal Indonesia yang berlangsung alamiah. Pribumisasi Islam

menjadi penting dalam konteks lokal ini untuk dilakukan, karena membuka ruang

apresiasi yang luas bagi kaum Muslimin di Indonesia agar pada saat yang sama

tetap mempertahankan identitas keindonesiaannya yang khas dan sekaligus

mengejawantahkan nilai-nilai Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Jadi

umat Islam Indonesia dapat menjadi islami tanpa harus kehilangan ciri khas

Indonesianya.

2.5. Perjuangan Gus Dur dalam Pluralisme di Indonesia

Ketika membicarakan teologi hanya menyentuh pada aspek ketuhanan

saja, akan banyak sekali tindakan yang mengatasnamakan Tuhan, tetapi praktek

dan dampaknya justru menodai nilai-nilai kemanusiaan. Maka dari itu, Gus Dur

memformulakan konsep iman tidak hanya dalam domain ketuhanan saja, tetapi

juga dalam domain kemanusiaan (sebagaimana sifat keuniversalan Islam).

Manusia sebagai individu maupun kelompok mempunyai kedudukan yang sama

dimata hukum negara maupun agama.

Dalam perjuangan semasa hidupnya Gus Dur selalu konsisten terhadap

tiga hal, yaitu demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralisme. Indonesia telah

memilih demokrasi sebagai sistem politik yang digunakan dalam pemerintahan,

32

maka implikasinya tidak ada diskriminasi. Hal ini berkaitan erat dengan konsep

hak asasi manusia dan pluralisme sebagai kenyataan bahwa Indonesia beragam.37

Pluralisme dalam padangan Gus Dur bukanlah menganggap bahwa semua

agama sama, pluralisme bukan hanya masalah agama, tetapi juga masalah

sosiologis dan kemasyarakatan. Masing-masing agama menjalankan akidahnya,

tetapi hubungan antar agama dan toleransi harus tetap terjalin dengan baik. Secara

teologis dalam setiap keyakinan tidak dibenarkan adanya anggapan agama adalah

sama, akan tetapi agama menjadi dasar untuk setiap umat beragama menjalin

hubungan baik dengan siapa pun.

Pluralisme ini menjadi pondasi penting dalam kehidupan dan kemanusiaan

yang digagas Gus Dur adalah bagian penting dalam usaha mencita-citakan bangsa

ini hidup rukun dan aman dalam kebhinekaannya, sebab sebuah bangsa yang

begitu majemuk seperti Indonesia ini jika salah dalam mengelola berbagai

perbedaan paham keagamaan, aliran, suku, dan lain-lain akan memunculkan

ketegangan, permusuhan, dan kekerasan sosial yang mengarah pada disintregasi

bangsa.38

Misi Gus Dur dalam konsep pluralismenya adalah berusaha

menghilangkan sikap kebencian antara agama satu dengan lainnya, sebab

kebencian dapat menimbulkan permusuhan. Timbulnya permusuhan bertolak

belakang dengan misi suci agama yang menyerukan perdamaian. Pluralisme

meniscayakan adanya keterbukaan sikap toleran dan saling menghargai kepada

manusia secara keseluruhan.39

37 Mukhlas Syarkun, Ensiklopedi Abdurrahman Wahid, Gus Dur Seorang Mujaddid,

(Jakarta: PPPKI, 2013), 12. 38 Syarkun, Ensiklopedi Abdurrahman Wahid…, 264. 39 Aziz, Neo-modernise Islam…, 60.

33

Menurut Gus Dur agama adalah kekuatan inspiratif yang membentuk

kekuatan moral. Agama harus membentuk etika dari masyarakat. Menurut Gus

Dur hakikat Islam itu damai dan anti kekerasan, Islam menghendaki kebebasan.

Agama mengajarkan knosep etika kepada pemeluknya. Tetapi etika tidak harus

dijadikan sebagai aturan formal dalam sebuah tatanan kehidupan. Agama tidak

boleh dikaitkan dengan urusan negara, agama diposisikannya sebagai sesuatu

yang individual (bersifat pribadi) dan mengandung ajaran moral.40

Pada dasarnya, mengembangkan rasa saling pengertian dalam kondisi

masyarakat yang heterogen seperti negara Indonesia bukanlah hal mudah. Dalam

hubungan antar umat beragama membutuhkan rasa saling pengertian yang tulus

dan bekelanjutan. Gus Dur menyatakan, Muslim sebagai mayoritas umat

beragama memikul tanggung jawab besar untuk menumbuhkan rasa memiliki

terhadap semua warga masyarakat bangsa.41

Agama berfungsi sebagai petunjuk dan penyelesai terhadap setiap

persoalan yang tumbuh di tengah kehidupan manusia. Gus Dur adalah ulama

pembaharu yang berusaha membawa Islam agar tetap relevan sebagai pemecah

persoalan dalam perkembangan zaman khususnya di Indonesia.42

Tujuan utama gagasan pluralisme Gus Dur adalah menciptakan

harmonisasi di masyarakat Indonesia yang mejemuk. Sebagai konsekuensi dari

gagasannya ini, Gus Dur selalu berada di garda depan ketika ada kekuatan, baik

itu kekuatan negara atau masyarakat, yang ingin mencederai kebhinekaan republik

ini. Bagi Gus Dur, kebhinekaan adalah sunatullah (dari Tuhan/kehendak Tuhan)

yang tidak berhak bagi siapa pun untuk mengubahnya. Justru keanekaragaman

40 Syarkun, Ensiklopedi Abdurrahman Wahid…, 3. 41 Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, 15-18. 42 Syarkun, Ensiklopedi Abdurrahman Wahid…, 14.

34

dapat menjadi berkah jika dikelola dengan baik, sehingga menjadi mutlak

diperlukan pemahaman yang sama untuk menghormati dan menghargai dalam

upaya mewujudkan harmonisasi di kalangan anak bangsa.43

Gus dur menyadari bahwa sifat truht claim memang selalu melekat dalam

diri pemeluk agama, tetapi justru karena adanya perbedaan pengalaman dan

penghayatan keagamaan itu dimungkinkan tercapainya titik temu. Usaha

pencarian titik temu ini dicari dengan jalan dialog, saling terbuka dan belajar

bersama-sama dalam menjaga perbedaan.44

2.6. Pluralisme Menurut Jeremy Menchik

Jeremy Menchik adalah seorang asisten profesor di Pardee Sekolah Studi

Global di Boston University dan afiliasi fakultas Ilmu Politik dan Studi Agama.

Penelitian Jeremy Menchik berfokus pada politik agama, dengan kepentingan

tertentu di Indonesia dan dunia Muslim.

Jeremy Menchik menjelaskan kalau ormas-ormas Islam yang ada di

Indonesia banyak memberikan peran, terutama dalam menjaga toleransi dan

pluralisme dalam menjalankan demokrasi di Indonesia. Bagi Menchik,

kesemuanya itu dikarenakan ormas-ormas besar seperti Nahdlatul Ulama dan

Muhammadiyah, senantiasa menjunjung tinggi demokrasi.45 Pertanyaan Menchik

adalah mengapa ormas Islam di Indonesia bisa toleransi dengan agama lain?

Bagaimana mereka memahami demokrasi dan toleransi? Apa pengaruhnya

terhadap kehidupan bersama dalam demokrasi? Untuk menjawab pertanyaan-

43 Syarkun, Ensiklopedi Abdurrahman Wahid…, 265. 44 Aziz, Neo-modernisme Islam…, 63. 45 Jeremy Menchik, Islam and Democracy in Indonesia : Tolerance Without Liberalism

(Boston: Cambrige Unersity Press, 2016), 5-6.

35

pertanyaan itu Menchik melakukan penelitian terhadap ormas Islam di Indonesia

yang mewakili yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammdiyah dan Persatuan Islam

(Persis).

Secara garis besar penulis melihat pikiran pokok Jeremy Menchik dalam

melihat pluralisme dan toleransi umat Islam dalam ormas-ormasnya sebagai

berikut:

a. Indonesia bukan negara agama, namun juga bukan negara sekuler.

Menurut Jeremy Menchik Indonesia ini bukanlah negara agama, artinya

tidak mendasarkan pada salah satu agama yang mayoritas, namun juga bukan

negara sekuler yang liberal. Dalam menerapkan demokrasi Indonesia layak

berbangga dengan kemajemukannya, bisa menjadi negara demokrasi yang

berdasarkan Pancasila. Meski tidak bisa dipungkiri bahwa disana-sini juga terjadi

kekerasan-kekerasan yang bisa merusak demokrasi, demokrasi Indonesia adalah

contoh yang baik bagi dunia berkembang, bagi dunia Muslim, dan bagi Asia

Tenggara.46

Jeremy Menchik tertarik melihat pluralisme dengan interaksi dengan

kelompok yang berbeda. Supremasi hukum di Indonesia harus dipahami melalui

sudut pandang UUD 1945. Konstitusi, yaitu negara hukum yang menempatkan

Ketuhanan Yang Maha sebagai prinsip utama serta nilai-nilai agama yang

mendasari gerakan kehidupan berbangsa dan bernegara, dan bukan sebagai negara

46 Jeremy Menchik, Nasionalisme Ketuhanan dan Demokrasi Beragama di Indonesia,

dalam buku Sidney Jones, Sisi Gelap Demokrasi (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina), 93.

36

yang memberlakukan pemisahan negara dan agama atau hanya memegang prinsip

individual atau komunal tertentu.47

b. Peranan Ormas Islam dalam Menjaga Toleransi dan Pluralisme

Seperti diuraikan di atas, bahwa bangsa Indonesia yang mejemuk ini

mempunyai agama mayoritas yaitu Islam. Umat Islam mempunyai peran yang

besar bagi tegaknya demokrasi dan pluralisme di Indonesia ini. ini disebabkan

juga adanya ormas-ormas Islam yang menjunjung tinggi demokrasi, diantaranya

ormas yang terbesar yaitu NU dan Muhammadiyah.48

Dalam penelitiannya Jeremy Menchik menggali bagaimana pemuka

Muslim memahami toleransi, bagaimana implikasinya terhadap demokrasi, dan

membandingkannya dengan demokrasi lain. Para pemuka umat Muslim di

Indonesia sangat menghargai demokrasi Pancasila yang ada di Indoensia,

sehingga toleransi antar umat bisa terjadi. Seharusnyalah bahwa para pemuka

agama Islam yang mempunyai sikap toleransi dan menghargai demokrasi serta

pluralisme, hendaknya menyampaikan itu pada umatnya yang ada di bawahnya

atau tergabung dalam organisasinya masing-masing. Dengan adanya toleransi

komunal, yaitu toleransi yang dimiliki secara komunal oleh sebuah organisasi atau

kelompok masyarakat tertentu, dalam hal ini ormas Islam, pluralisme dan

toleransi terjaga.49

47 Menchik, Islam and Democracy in Indonesia : Tolerance Without Liberalism...., 1. 48 Ibid 5-6. 49 Ibid, 124-158.

37

c. Toleransi Tanpa Liberalisasi

Nilai inti toleransi komunal adalah iman. Sementara nilai dari sebuah

paham liberal adalah otonomi dan kebebasan. Menurut Menchik NU dan

Muhammadiyah termasuk pada paham yang tidak liberal, dikarenakan mereka

tidak mengakui adanya otonomi dan kebebasan atau yang disebut hak individu,

namun bukan berarti bahwa mereka tidak toleran. Toleransi dibangun berdasarkan

iman bersama dalam toleransi komunal itu. 50

Toleransi di Indoensia ini bukanlah toleransi yang liberal, namun toleransi

yang berdasarkan komunal. Dengan demikian, posisi pemimpin umat dan mereka

tergabung dalam ormas Islam yang seperti apa, menuntukan sikap tolerasi dan

pemahaman pluralisme mereka terhadap umat yang lainnya. Sebagai contoh

bahwa mereka mendahulukan iman dari pada toleransi adalah mereka umumnya

membolehkan non-Muslim menduduki jabatan pemerintahan atau mengajar di

sekolah negeri, tapi sedikit sekali yang membolehkan non-Muslim mengajar di

Pesantren atau membangun Gereja di lingkungannya.51

d. Kedekatan dalam Berinteraksi dengan Agama yang lain Dipengaruhi oleh

Pergaulan dan Sejarah

Dalam penelitiannya ditemukan bahwa NU lebih toleran daripada

Muhammadiyah, dan Muhammadiyah lebih toleran daripada Persis.52 Penelitian

Menchik dilakukan dengan survey kepada 1000 tokoh NU, Muhammadiyah dan

Persis. Islam di Indonesia toleran, tetapi menolak campur tangan terhadap iman

50 Ibid, 159. 51 Ibid, 162. 52 Ibid, 155-157.

38

agama lain. Sehingga toleransi yang terjadi bukan toleransi yang liberal, tetapi

bisa toleransi dengan yang lain namun disatu sisi tetap menjalankan iman sendiri

kepada Tuhan. Liberalisasi yang diangkat tentang hak individu, namun dalam

iman umat Islam di Indonesia ada toleransi komunal. Toleransi komunal adalah

berbeda dengan toleransi liberal, toleransi komunal lebih mengutamakan iman dan

kelompok. Lalu dengan toleransi tersebut, kebebasan berargumentasi, bertindak

secara individual bisa dibatasi. Kesimpulan bahwa NU di Jawa Timur lebih

pluralis menarik karena dia melihat NU tidak mengalami ancaman oleh misi

Kristen di sana. Itu berarti Menchik berasumsi bahwa pluralisme itu dibangun dari

hubungan yang baik dengan komunitas yang berbeda.

Jeremy menchik juga menyebutkan adanya godly nationalism atau

Nasionalisme Ketuhanan. Dalam Nasionalisme Ketuhanan, negara menuntut

warganya beriman kepada Tuhan. Silahkan mengambl yang terbaik, tidak spesifik

pada salah satu agama, namun sebatas agama yang disahkan atau diakui oleh

negara. Kelemahan ortodoksi agama dan kelemahan pluralisme ini dianggap

karena adanya nasionalisme keagamaan yang selanjutnya disebut oleh Menchik

sebagai “nasionalisme ketuhanan”.53 Dengan demikian selain agama yang diakui

resmi oleh negara, agama atau keyakinan itu tidak mendapatkan keadilan atau

pengakuan. Nasionalisme agama ini yang menurut Menchik merusak adanya

pluralisme. Namun nasionalisme keagaamaan ini masih sejalan dengan

demokrasi, meski bukan seperti demokrasi yang dipahami seperti negara sekuler

dan liberal.

53 Ibid, 161-167.

39

2.7. Model-model yang Dipakai dalam Menyikapi Hubungan Antar Agama

Pada awalnya ada tiga model yang umumnya dipakai dalam menyikapi

hubungan antar agama. Tiga model tersebut adalah Eksklusif, Inklusif dan

Pluralis. Ketiga model ini berasal dari pengelompokan yang dilakukan oleh Alan

Race. Menurut Nurcholis Madjid, juga sama dengan Alan Race dalam menyikapi

pluralisme agama, dapat diambil melalui tiga sikap agama:54

a. Sikap eksklusif dalam melihat agama lain: sikap ini memandang agama-

agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan umat.

b. Sikap inklusif: sikap ini memandang agama-agama lain adalah bentuk

implisit agama kita.

c. Sikap pluralis: sikap ini bisa terekspresikan dalam macam-macam

rumusan, misalnya “agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah

untuk mencapai kebenaran yang sama”, “agama-agama lain berbicara

secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran yang sama sah”, atau “setiap

agama mengekspresikan bagian penting bagi sebuah kebenaran”.

Ketiga sikap seperti di atas tidaklah cukup dalam menentukan sikap dalam

menanggapi pluralisme agama. Model-model teologi agama-agama ternyata terus

mengalami perkembangan sesuai dengan pemikiran para teolog agama-agama.

Namun ada model-model teologi agama-agama yang sering dipakai oleh orang-

orang Kristen dalam menentukan sikap terhadap agama-agama lain. Model-model

54 Nurcholis Madjid, Mencari Akar-Akar Islam bagi Pluralisme Modern: Pengalaman

Indonesia. Dalam Jalan Baru, editor Mark R. Woodward (Bandung: Mizan, 1998), 56.

40

teologi agama-agama tersebut adalah model teologi agama-agama yang

dikelompokkan oleh Paul F. Knitter.

Paul F. Knitter membagi perbedaan penilaian orang Kristen terhadap

orang beragama lain dalam model-model yaitu:

a. Model Replacement / penggantian : berarti di luar agama Kristen tidak ada

keselamatan, maka untuk diselamatkan orang yang beragama lain harus

mengganti agama mereka menjadi agama Kristen. Cara terbaik untuk

berhubungan dengan agama lain adalah berbagi berita baik tentang Yesus

dengan mereka dan berharap bahwa hal ini akan membawa mereka ke

dalam komunitas pengikut Yesus. Model ini memiliki semua persyaratan

komitmen yang penting dalam berdialog, tetapi kurang melengkapi dalam

keterbukaan.

b. Model Fulfillment / pemenuhan, berarti dalam agama-agama lain juga ada

tanda-tanda kehadiran Allah, persiapan untuk keselamatan tetapi

keselamatan akhirnya hanya berasal dari Yesus Kristus, maka orang

beragama lain hanya bisa diselamatkan melalui Yesus Kristus.

c. Model Mutuality / timbal balik, berarti agama-agama lain juga diakui

sebagai jalan-jalan keselamatan dan melalui dialog dicari perbedaan dan

kebersamaan antar agama. Ada tiga jembatan untuk bertemu satu sama

lain: jembatan filosofis-historis, jembatan religius-mistik dan jembatan

etis-praktis.

d. Model Acceptance / penerimaan itu bahwa dari segi-segi postmodern

diterima kehadiran agama-agama lain setiap manusia berhak untuk

mencari jalan tersendiri sebagai jalan keselamatan. Maka ada macam-

41

macam keselamatan dan setiap agama bisa mencoba untuk membuktikan

bahwa agamanya sendiri yang paling benar.55

Demikian model-model sikap keberagamaan yang bisa dikelompokan dan biasa

terjadi dalam pergaulan atau perjumpaan agama-agama di masyarakat.

2.8. Kesimpulan

Perbedaan merupakan suatu keniscayaan yang ada di Indonesia.

Pluralisme juga dijamin oleh negara bagi masyarakat yang berbeda-beda

merupakan hak asasi manusia dalam UUD 1945. Gus Dur tokoh besar Islam

adalah tokoh yang konsisten untuk memperjuangkan pluralisme di Indonesia ini.

Islam harus menjadi pendukung pluralisme dan melindungi minoritas yang ada,

demi tercapainya demokrasi dan keadilan sosial bagi masyarakat yang majemuk

ini.

Gus Dur mengemukakan tiga hal tetang Islam agar bisa memperjuangkan

pluralisme itu, yaitu pertama dengan universalisme Islam, kedua

kosmopolitanisme Islam dan yang ketiga adalah pribumisasi Islam. Sementara itu

Jeremy Menchik meneliti umat Islam dalam ketiga ormas yang ada, Persis, NU

dan Muhammadiyah, berpendapat bahwa umat Islam mempunyai peran dalam

menjaga pluralisme dan demokrasi di Indonesia. Meski pemahaman demokrasi

yang melahirkan toleransi itu tidak sama dengan yang terjadi di dunia barat, yaitu

dengan adanya toleransi umat tanpa liberalisasi. Negara Indonesia bukan negara

agama, yang melandaskan pada salah satu agama di Indonesia, tetapi bukan

negara sekuler. Kehidupan bernegara dialaskan pada UUD 1945 dan Pancasila.

55 Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 129.