Surat Kepala Bkn Nomor k.26-30 v.326!2!99 Pegawai Negeri Sipil Yang Dijatuhi Hukuman Pidana
BAB II PERBEDAAN PUTUSAN REHABILITASI DAN PUTUSAN …repository.unair.ac.id/13772/12/12. Bab...
Transcript of BAB II PERBEDAAN PUTUSAN REHABILITASI DAN PUTUSAN …repository.unair.ac.id/13772/12/12. Bab...
12
BAB II
PERBEDAAN PUTUSAN REHABILITASI DAN PUTUSAN PIDANA
PENJARA DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA
2.1 Teori-Teori Pemidanaan
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk1 :
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa
pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan;
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut.
Hukum pidana ialah suatu kekhususan hukum yang mana hubungan
hukum ini adalah perseorangan dengan negara. Jadi biasanya jika ada pelaku
kejahatan yang melakukan tindak pidana dijatuhi hukuman penjara yang mana
hukuman tersebut berdasarkan Undang-undang yang berlaku di negara tersebut.
Seperti halnya hukum pidana, hukum pidana dapat timbul jika terjadi pelanggaran
ataupun kejahatan yang melanggar atau melawan Undang-Undang yang berlaku
1 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, 2009, h. 1
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
MUHAMMAD MANFALUTHFI RIYADI
13
dalam suatu negara. Sehingga dalam ilmu hukum pidana harus diterapkan asas
legalitas yang biasa disebut dengan asas “Nullum delictum nulla poena sine lege”,
yang menunjukan bahwa keseluruhan hukum pidana harus ditegaskan dengan
suatu Undang-Undang2.
Dalam sistem pemidanaan hukum di Indonesia, dikenal dengan sistem
double track, yaitu suatu sistem pemidanaan yang terdiri dari sanksi pidana (straf)
dan sanksi tindakan (maatregel). Perbedaan dari kedua sistem pemidanaan ini
adalah, kalau sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan
seseorang melalui pengenaan agar pelakunya menjadi jera, sedangkan sanksi
tindakan lebih kepada upaya pemberian pertolongan kepada pelaku agar dapat
berubah. Sering dikatakan juga, sanksi tindakan berbeda dengan sanksi pidana,
sanksi tindakan bertujuan untuk melindungi masyarakat3. Sehingga sanksi pidana
lebih kepada unsur pembalasan, sedangkan sanksi tindakan lebih kepada
perlindungan masyarakat dan pembinaan ataupun perawatan bagi pelakunya4.
Bisa dikatakan, double track system tadi sangat berkaitan dengan Tindak
Pidana Narkotika. Karena dalam Tindak Pidana Narkotika, terdapat suatu
tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika, yang mana menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang tersebut diselenggarakan
2 Roeslan Saleh, Beberapa Asas-Asas Hukum Pidana Perspektif, Aksara Baru, 1981, h.
28
3 Siswanto, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika (Undang-Undang No. 35
Tahun 2009), Rineka Cipta, 2012, h. 238
4 Abdul Affandi, “Double Track System Pada Sistem Sanksi Hukum Pidana”,
https://abdulaffandi.wordpress.com/2012/09/12/double-track-system-pada-sistem-sanksi-hukum-
pidana/, dikunjungi pada 16 Desember 2014
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
MUHAMMAD MANFALUTHFI RIYADI
14
berasaskan keadilan, pengayoman, kemanuasiaan, ketertiban, perlindungan,
keamanan, nilai-nilai ilmiah, dan kepastian hukum5, artinya sebuah pertolongan
tehadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, yaitu
rehabilitasi. Serta ada juga penjatuhan pidana penjara kepada Pecandu Narkotika
dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang tertangkap tangan oleh pihak yang
berwajib kedapatan sedang melakukan penyalahgunaan Narkotika.
Jika dikaitkan dengan hukum pidana sendiri, dalam hukum pidana, tentu
saja mempunyai tujuan dalam hal pemidanaan itu sendiri. Terdapat berbagai teori
yang membahas alasan-alasan yang membenarkan (justification) penjatuhan
hukuman (sanksi). Diantaranya teori absolut, relatif, dan gabungan6.
Teori absolut (Vergeldingstheori) merupakan teori yang mana hukuman
tersebut dijatuhkan sebagai pembalasan terhadap para pelaku karena telah
melakukan kejahatan yang mengakibatkan kesengsaraan terhadap orang lain atau
anggota masyarakat7. Dalam teori ini, dapat dilihat bahwa suatu kejahatan atau
tindak pidana harus dikenakan sanksi yang setimpal, artinya suatu pembalasan
terhadap tersangka berupa pidana, sebagai cermin pertanggungjawaban tersangka
tersebut karena telah melawan hukum pidana yang berlaku, karena telah
melakukan hal yang berakibat buruk atau pun sampai merugikan orang lain.
Dalam teori absolut ini, jika dikaitkan dengan pidana penjara, maka pidana
penjara tersebut dapat dijadikan suatu pembalasan yang setimpal terhadap
5 Bambang Waluyo, Viktimologi : Perlindungan Korban Dan Saksi, Sinar Grafika, 2012,
h. 126
6 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, 2005, h. 4
7 Ibid
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
MUHAMMAD MANFALUTHFI RIYADI
15
tersangka. Bisa dikatakan suatu sanksi yang telah diatur oleh Undang-Undang
yang berlaku dalam masyarakat, dan jika dilawan maka akan dikenakan sanksi
yang telah diatur pula dalam pasal demi pasal yang ada pada Undang-Undang
yang berlaku tersebut.
Selain teori absolut, dikenal juga yang namanya Teori Relatif
(Doeltheori). Teori ini dilandasi oleh tujuan dari hukum itu sendiri dibuat, yaitu
dengan adanya tindakan menjerakan, memperbaiki pribadi terpidana, serta
membinasakan atau membuat terpidana tidak berdaya8.
Dalam teori relatif, menjerakan disini merupakan suatu tindakan yang
bertujuan agar terpidana memdapatkan efek jera dari perbuatan yang telah
dilakukannya dengan pemidanaan, sehingga tidak melakukan perbuatannya lagi,
serta diketahui oleh masyarakat, agar masyarakatnya juga tahu bahwa perbuatan
yang dilakukan oleh terpidana tersebut adalah salah dan dapat dikenai sanksi
pidana.
Selain itu, dalam teori relatif juga dikenal yang namanya memperbaiki
pribadi dari terpidananya itu sendiri. Artinya dalam proses dilakukannya hukuman
terhadap terpidana, selain mendapatkan efek jera terhadap perbuatan yang telah
dilakukannya, terpidana tersebut juga mendapatkan suatu penyuluhan dan
pendidikan, sehingga terpidana tersebut menjadi tahu akan kesalahannya dan
menyesali perbuatannya, dan kembali kepada masyarakat sebagai orang yang baik
dan berguna.
8 Ibid
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
MUHAMMAD MANFALUTHFI RIYADI
16
Lalu ada yang namanya membinasakan atau membuat terpidana tidak
berdaya dalam teori relatif. Membinasakan disini adalah suatu hukuman mati
yang dijatuhkan kepada terpidana karena memang perbuatan yang dilakukan
terpidana tersebut layak untuk dihukum mati. Sementara membuat terpidana tidak
berdaya adalah hukuman seumur hidup yang dijatuhkan kepada terpidana,
sehingga terpidana tersebut sudah tidak berdaya lagi, dan menghabiskan sisa
hidupnya didalam penjara.
Sementara teori gabungan adalah penggabungan antara teori absolut dan
teori relatif itu tadi. Yang mana teori gabungan merupakan suatu teori yang mana
menjatuhkan suatu tindak pidana atau pembalasan dengan memasukan teori relatif
itu tadi, yaitu contohnya dengan memberikan suatu penyuluhan dan pendidikan
sambil menjalani pidana yang dijatuhkan.
Terkait dengan hukum pidana, ancaman pidana dan pemidanaan bisa
dikatakan suatu norma dalam hukum pidana. Bisa dibilang, sanksi adalah suatu
norma yang ada dalam hukum pidana. Hukum pidana disini mempertegas suatu
norma yang sudah ada, yaitu dengan adanya ancaman pidana dan pemidanaan itu
sendiri9.
Melihat teori-teori diatas, keterkaitan teori-teori diatas dengan tindak
pidana Narkotika merupakan sebuah pemberian hukuman atau sanksi terhadap
pelaku tindak pidana, tetapi juga memberikan suatu tindakan, yang mana disini
adalah rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika.
9 Moeljatno, Loc.Cit, h. 9
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
MUHAMMAD MANFALUTHFI RIYADI
17
Jika berbicara hukum pidana, biasanya hukum pidana dilakukan oleh
pelaku dan merugikan orang lain, dimana orang tersebut telah diambil atau
dirampas kebebasan untuk hidup dan perbuatan pelaku tersebut melanggar atau
melawan ketentuan Undang-undang yang berlaku. Sama dengan Tindak Pidana
Narkotika, yang disini lebih kepadan Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika, juga dapat merembet kepada kerugian yang
ditimbulkan oleh Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tadi.
Sebagai contohnya, jika Pecandu Narkotika dan korban Penyalahgunaan narkotika
tersebut sedang membutuhkan uang untuk membeli zat terlarang tersebut, maka
sangat besar kemungkinan ia melakukan tindak pidana lain, seperti pencurian
yang dapat menimbulkan kepada pihak lain yang menjadi korban pencurian yang
dilakukan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tersebut.
Menimbulkan kerugian diatas bisa dikatakan dampak yang timbul
dariPecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, dari
ketergantungannya tadi akan zat terlarang tersebut yang harus dihilangkan dan
diberi pertolongan akan ketergantungan dengan rehabilitasi ini, baik rehabilitasi
medis maupun rehabilitasi sosial, meskipun jika menyalahgunakan Narkotika
merupakan suatu tindak pidana.
Tindak Pidana Narkotika merupakan suatu perbuatan pidana. Perbuatan ini
ada yang menimbulkan kerugian secara langsung karena perbuatannya yang
dilarang, serta ada yang tidak langsung, seperti halnya Pecandu Narkotika dan
Korban Penyalahgunaan Narkotika tadi yang sampai melakukan pencurian karena
ketergantungan akan zat terlarang tersebut. Sebagai contohnya perbuatan yang
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
MUHAMMAD MANFALUTHFI RIYADI
18
dilarang sehingga menimbulkan kerugian langsung adalah Pengedar, Bandar
Narkoba, Kurir, dan lain-lain yang berkaitan dengan Pengedaran dan Penggelapan
Narkotika yang secara ilegal mengedarkan Narkoba dengan bebas, sampai
dijadikan suatu mata pencaharian, yang sasarannya adalah Pecandu Narkotika dan
Korban Penyalahgunaan Narkotika.
Selain Narkotika itu sendiri dalam Tindak Pidana Narkotika, juga dikenal
yang namanya Prekursor. Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor
44 Tahun 2010 tentang Prekursor dijelaskan bahwa, Prekursor adalah zat atau
bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan
Narkotika dan Psikotropika. Jadi, disini bisa dikatakan, Narkotika sebelum jadi
zat Narkotika tersebut juga sudah diatur, dan tidak hanya Narkotika saja yang
dapat dikatakan legal, yang mana harus tetap diawasi segala kegiatan yang
berhubungan dengan pengadaan dan penggunaan Prekursor. Karena Prekursor
merupakan bahan dari Narkotika itu sendiri, dan tidak boleh disalahgunakan oleh
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika.
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ialah Pengguna
Narkotika yang menggunakan Narkotika tersebut dengan tidak legal. Dalam
halnya Narkotika tidak lagi masuk dalam dimensi hukum, tetapi dimensi
kesehatan, yang mana setiap orang mempunyai hak untuk hidup sehat dan
menjunjung tinggi nilai kesehatan bagi kehidupannya. Jadi bisa dikatakan
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika disini adalah orang
sakit, yang harus disembuhkan.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
MUHAMMAD MANFALUTHFI RIYADI
19
Penggunaan putusan rehabilitasi merupakan sebuah upaya
penanggulangan penggunaan Narkotika itu sendiri. Pecandu Narkotika dan
Korban Penyalahgunaan yang sedang dalam proses rehabilitasi tidak hanya
mendapatkan suatu rehabilitasi secara medis, tetapi secara sosial juga. Secara
sosial disini adalah suatu upaya proses pemulihan secara terpadu, baik fisik,
mental maupun sosial, agar bekas Pecandu Narkotika dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Bisa dikatakan,
dalam proses rehabilitasi tersebut bukan hanya suatu pengobatan saja, tetapi sama
seperti didalam penjara10
, tetapi hanya bahasanya saja diperhalus, karena memang
proses rehabilitasi lebih kepada perlindungan kepada penyalahguna Narkotika
dengan melindungi sumber daya manusia.
Terkait masalah rehabilitasi, terdapat 2 (dua) bentuk penangan
pengobatan, tergantung keputusan dari lembaga atau hakim yang berwenang
memutuskan, yaitu rehabilitasi inap dan rehabilitasi jalan, seperti penanganan
pengobatan pada umumnya pelayanan rumah sakit untuk masyarakat11
.
Pengguna Narkotika sampai tahun 2014 ini sudah sekitar delapan belas
ribu jiwa, serta Prevalensi dari tahun ke tahun cenderung meningkat12
. Maka
harus dipulihkankan dan diberantas. Dengan proses rehabilitasi inilah, maka
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika bisa dipulihkan dan
diberantas.
10
Wawancara dengan Bapak Yogi, staf Direktorat Hukum Badan Narkotika Nasional, di
Jakarta, 23 Juli 2014
11
Wawancara dengan dr. Beny, salah satu dokter di Deputi Rehabilitasi Badan Narkotika
Nasional, di Jakarta, 15 Agustus 2014
12
Anang Iskandar, Loc. Cit.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
MUHAMMAD MANFALUTHFI RIYADI
20
Terkait dalam hal rehabilitasi bagi Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika, dikenal yang namanya kerangka kerja dekriminalisasi
dan depenalsasi, yang akan dibahas pada sub Bab 2.3. Kedua kerangka kerja
tersebut bisa dikatakan suatu sanksi secara rehabilitasi bagi Pecandu Narkotika
dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang bedanya adalah bagaimana Pecandu
Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tersebut bisa menjalani proses
rehabilitasi tersebut.
2.2 Putusan Rehabilitasi Dalam Undang-Undang Narkotika Sebagai Bentuk
Pemidanaan
2.2.1 Manfaat Putusan Rehabilitasi Dalam Tindak Pidana Narkotika
Rehabilitasi adalah suatu upaya berupa tindakan dalam hal memberikan
pertolongan untuk melindungi sumber daya manusia agar dapat berubah dan
pulih. Dalam rehabilitasi, terbagi kedalam 2 (dua) bentuk, rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial. Rehabilitasi medis adalah suatu proses pengobatan secara
terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika. Sedangkan
rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik
fisik, mental, maupun sosial, agar bekas pecandu dapat kembali melaksanakan
fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat13
. Bisa dikatakan rehabilitasi medis
merupakan suatu pengobatan medis dan rehabilitasi sosial merupakan suatu
pemulihan secara fisik, mental, dan sosial.
13
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 143), Pasal 1 angka 16 dan 17
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
MUHAMMAD MANFALUTHFI RIYADI
21
Dalam Tindak Pidana Narkotika dikenal dengan suatu proses yang
bernama rehabilitasi. Rehabilitasi merupakan upaya dalam menanggulangi dan
memberantas penyalahgunaan Narkotika. Sehingga bisa dijadikan suatu upaya
yang sangat tepat untuk menanggulangi dan memberantas penyalahgunaan
Narkotika itu tadi. Serta para Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika juga wajib menjalani rehabilitasi, seperti dalam Undang-Undang yang
mengatur tentang Narkotika tadi juga dijelaskan, bahwa Pecandu Narkotika dan
Korban Penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial14
.
Jika melihat mengenai ketentuan tentang rehabilitasi, maka jelas bahwa
seorang Pecandu Narkotika ataupun seorang Korban Penyalahgunaan Narkotika
harus sama-sama menjalani rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial itu tadi
yang dilaksanakan oleh pihak yang berwenang disini, yaitu Badan Narkotika
Nasional dan dari pihak lembaga rehabilitasi, yang mempunyai wewenang juga
dalam hal memutuskan tentang apa saja yang diperlukan dan bagaimana
penanganan rehabilitasi yang tepat untuk Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika tersebut, serta lamanya proses rehabilitasi.
Putusan Rehabilitasi merupakan suatu putusan dimana selain Pecandu
Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika mendapatkan efek jera,
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika juga mendapatkan
penyuluhan serta pendidikan akan bahaya dari Narkotika itu sendiri, sehingga
14
Ibid, Pasal 54
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
MUHAMMAD MANFALUTHFI RIYADI
22
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tersebut dapat kembali
kekehidupan normal dimasyarakat.
Adapun beberapa kategori ketika Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika tersebut dapat dikatakan pulih, sekaligus manfaat dan
tujuan dari pelaksanaan rehabilitasi tersebut. Kategori sekaligus manfaat tersebut
yaitu tidak menggunakan Narkotika (Drugs Free), artinya tidak lagi menggunakan
zat Narkotika lagi, lalu tidak melakukan tindakan kriminal (Criminalize Free),
artinya tidak melakukan tindakan kriminal yang dilarang Undang-Undang, lalu
hidup sehat (Healty Life Style), artinya menerapkan gaya hidup yang sehat, dan
yang terakhir lebih produktif (Productivity), artinya dapat menjalankan hidup
yang lebih produktif lagi dan bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, dan
masyarakat sekitar15
. Jika keempat kategori tersebut sudah bisa dilaksanakan oleh
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, maka baru bisa
dikatakan pulih dan dapat kembali kemasyarakat.
Melihat keempat kategori tersebut, bisa dikatakan proses rehabilitasi
merupakan sebagai proses untuk mencapai beberapa manfaat bagi Pecandu
Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika agar memenuhi keempat
kategori di atas, sehingga dapat kembali dapat hidup normal dalam masyarakat.
2.2.2 Perbandingan Putusan Rehabilitasi dengan Putusan Pidana Penjara
Dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
dijelaskan bahwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika
15
Wawancara dengan dr. Amrita, salah satu dokter di Deputi Rehabilitasi Badan
Narkotika Nasional, di Jakarta, 18 Agustus 2012
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
MUHAMMAD MANFALUTHFI RIYADI
23
wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal tersebut jelas
menerangkan, pelaku tindak pidana Narkotika yang terindikasi Pecandu Narkotika
dan Korban Penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi. Tetapi
rehabilitasi disini juga dilakukan tidak hanya yang melaporkan diri atau
dilaporkan oleh orang tua/wali secara sukarela, tetapi juga yang sudah tertangkap
tangan, yang mendapatkan putusan pidana penjara seperta halnya Pasal 127
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, juga wajib
direhabilitasi seperti halnya yang melaporkan diri atau dilaporkan oleh orang
tua/wali secara sukarela.
Putusan Rehabilitasi dan Putusan Pidana Penjara adalah dua bentuk
penegakan hukum yang ada dalam Tindak Pidana Narkotika. Jika dikaitkan
dengan suatu penegakan hukum, rehabilitasi bisa dikatakan merupakan suatu
upaya dalam hal penanggulangan Tindak Pidana Narkotika selain sanksi pidana.
Perbedaannya jelas, rehabilitasi kepada Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika yang melaporkan diri atas kesadaran sendiri atau
dilaporkan oleh orang tua/wali16
, sementara untuk sanksi pidana penjara, kepada
yang tertangkap tangan oleh Badan Narkotika Nasional/POLRI. Melaporkan atas
dasar kesadaran diri sendiri dan tertangkap tangan sama-sama dapat direhabilitasi,
tetapi perbedaannya dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu untuk yang melapor atas
kesadaran sendiri disebut Voluntary dan yang tertangkap tangan terlebih dahulu
baru direhabilitasi ketika sudah tertangkap tangan disebut Compulsary17
.
16
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, (Lembaran Negara RI Tahun
2009 Nomor 143), Pasal 55
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
MUHAMMAD MANFALUTHFI RIYADI
24
Dalam hal kategori rehabilitasi, baik Voluntary maupun Compulsary,
mempunyai perbedaan dalam hal pemberian keputusan mengenai lamanya masa
rehabilitasi yang dijatuhkan kepada Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika. Untuk kategori Voluntary, keputusan mengenai
lamanya masa rehabilitasi ditentukan oleh pihak Badan Narkotika Nasional,
sementara untuk kategori Compulsary, ditentukan atau dijatuhkan dengan putusan
hakim yang berwenang. Sehingga bisa dikatakan, untuk kategori Voluntary,
adalah hubungan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika
dengan lembaga, dimana lembaga yang berwenang memutuskan lamanya masa
rehabilitasi bagi Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika,
karena dalam kategori Voluntary ini bersifat dengan sukarela agar diberikan
pertolongan kepada Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika
agar direhabilitasi, sementara untuk kategori Compulsary adalah hubungan
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika dengan hakim, dimana
hakim yang memutuskan lamanya Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika direhabilitasi, yang tecantum dalam Pasal 103
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, karena kategori ini
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika statusnya sudah
tertangkap tangan.
Dalam proses atau kegiatan rehabilitasi, baik Voluntary maupun
Compulsary, harus tetap menggunakan proses asesmen untuk mengukur sejauh
mana kriteria tingkat kecanduan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan
17
Wawancara dengan Ibu Rini, staf Direktorat Hukum Badan Narkotika Nasional, di
Jakarta, 23 Juli 2014
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
MUHAMMAD MANFALUTHFI RIYADI
25
Narkotika. Asesmen disini tetap sama-sama menggunakan Tim Dokter dan Tim
Hukum yang ditetapkan oleh Pimpinan satuan kerja setempat berdasarkan Surat
Keputusan Kepala Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Nasional
Provinsi, dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota.
Dari situlah, mengapa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika lebih baik direhabilitasi dari pada dipenjara, karena Pecandu Narkotika
sudah bisa dikatakan masuk keranah kesehatan yang harus dipulihkan, dan
pemulihan tersebut, selain memberikan efek jera terhadap Pecandu Narkotika dan
Korban Penyalahgunaan Narkotika tersebut harus direhabilitasi, serta karena
prevalensi Pecandu di Indonesia ini cenderung meningkat dari tahun ketahunnya,
karena memang ada beberapa Pecandu yang setelah dipenjara pun bukan malah
dia mendapatkan efek jera, tetapi malah lebih lagi menggunakan zat tersebut,
karena kurangnya penyuluhan, pendidikan, dan sosialisasi terhadap bahaya
Narkotika tersebut bagi kehidupan, yang mana jika Pecandu Narkotika dan
Korban Penyalahgunaan Narkotika tersebut hanya dipenjara, tidak direhabilitasi.
Sehingga maka dari itulah Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika wajib untuk direhabilitasi, dengan rehabilitasi medis sebagai
pengobatan, serta rehabilitasi sosial, sebagai pemulihan fisik, mental, maupun
sosial Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika.
Adapun perbandingan putusan rehabilitasi dengan putusan pidana penjara
pada bagan dibawah ini.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
MUHAMMAD MANFALUTHFI RIYADI
26
Tabel 2.2.1. Perbandingan Putusan Rehabilitasi Dengan Putusan Pidana Penjara
Putusan Rehabilitasi Putusan Pidana Penjara
1. Diputus oleh lembaga rehabilitasi
2. Yang terindikasi Pecandu Narkotika
dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika yang sedang mengalami
ketergantungan Narkotika dan harus
dipulihkan
3. Lebih kepada pemberian
pertolongan kepada Pecandu
Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika
4. Melalui proses asesmen
5. Terdapat proses dimana dilakukan
tindakan pengobatan secara medis
dan pemulihan secara fisik, mental,
maupun sosial kepada Pecandu
Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika
6. Tidak ada remisi atau potongan
masa tahanan
1. Diputus oleh Hakim
2. Yang terindikasi
kurir/bandar/pengedar Narkotika
yang melakukan peredaran gelap
Narkotika
3. Lebih kepada pemberian efek jera
berupa sanksi pidana penjara kepada
Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika
4. Tidak melalui proses asesmen
5. Tidak ada proses pengobatan dan
pemulihan kepada Pecandu
Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika
6. Ada remisi atau potongan masa
tahanan
Sumber : Diolah dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan
Wajib Lapor Pecandu; Surat Edaran Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
MUHAMMAD MANFALUTHFI RIYADI
27
Penyalahgunaan Narkotika Di Dalam Lembaga Rehabilitasi;
Wawancara dengan Bapak Rachman, Staf Direktorat Hukum Badan
Narkotika Nasional; dan Wawancara dengan dr. Beny, Salah Satu
Dokter Di Deputi Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional.
2.3 Rehabilitasi Sebagai Bentuk Dekriminalisasi atau Depenalisasi
2.3.1 Dekriminalisasi
Proses dekriminalisasi adalah suatu proses dimana suatu perbuatan yang
bisa dikatakan suatu perbuatan jahat karena dilarang dalam peraturan perundang-
undangan pidana, kemudian pasal tersebut dihapus dari perundang-undangan dan
dengan demikian perbuatan itu tidak lagi merupakan suatu kejahatan yang dapat
dipidana.
Dekriminalisasi dilaksanakan terhadap Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika, apabila perbuatan yang semula merupakan tindak
pidana kemudian karena perkembangan masyarakat dikeluarkan dari hukum
pidana artinya perbuatan tersebut tidak dianggap jahat lagi18
.
Dalam dekriminalisasi juga disebutkan bahwa dekriminalisasi ini
merupakan seleksi peraturan hukum pidana yang sudah ada. Bisa dikatakan,
seleksi ini adalah penyesuaian terhadap kejahatan-kejahatan yang pasalnya
dicabut dan tidak lagi merupakan suatu perbuatan jahat, yang mana apabila
peraturan yang sudah ada itu tidak dapat dijalankan lagi, bertentangan dengan
kedudukan RI, ataupun tidak mempunyai arti lagi19
.
18
Sarwirini, “Dekriminalisasi Penyalahgunaan Narkotika (Reorientasi Kebijakan
Pemidanaan Bagi Penyalahguna Narkotika), Makalah disampaikan pada Seminar tanggal 24
September 2014, di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya
19
Barda Nawawi Arif, Kebijakan Hukum Pidana : Pengembangan Penyusunan Konsep
KUHP Baru, Kharisma Putra Utama, Jakarta, 2014, h. 233
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
MUHAMMAD MANFALUTHFI RIYADI
28
Penerapan dekriminalisasi dan depenalisasi adalah sebuah penerapan
untuk proses pemulihan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika dari proses rehabilitasi tersebut. Perbedaannya, dekriminalisasi adalah
proses rehabilitasi yang mana dilaksanakan untuk Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika ketika sudah tertangkap tangan dan dilakukan disela-
sela sanksi pidana itu dilakukan, jadi bisa dikatakan, dalam proses pidana penjara
juga ada proses rehabilitasi didalamnya20
. Dalam dekriminalisasi ini proses
penjatuhan lamanya rehabilitasi dijatuhi oleh Hakim pengadilan yang berwenang
menangani kasus tersebut.
Dekriminalisasi merupakan sebuah rehabilitasi, bukan bagian dari sanksi.
Rehabilitasi sebagai implikasi kegagalan sanksi pidana mencegah meningkatnya
Pengguna Narkotika21
. Bisa dikatakan, rehabilitasi dari kerangka kerja
dekriminalisasi ini adalah sebagai upaya pemulihan Pecandu Narkotika dan
Korban Penyalahgunaan Narkotika dengan menggunakan rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.
Dalam hal dekriminalisasi merupakan suatu upaya, yang dituangkan dalam
proses rehabilitasi itu sendiri dengan tidak hanya memberikan efek jera terhadap
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang telah tertangkap
tangan, tetapi juga memberikan penyuluhan, pendidikan, dan sosialisasi kepada
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika itu tadi, yang mana
diadakan khusus bagi terpidana Narkotika, agar bisa lebih mengerti lagi bahaya
20
Wawancara dengan Bapak Rachman, staf Direktorat Hukum Badan Narkotika
Nasional, di Jakarta, 22 Juli 2014
21
Sarwirini, Loc. Cit., dikutip dari Herbert L. Packer, 1968
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
MUHAMMAD MANFALUTHFI RIYADI
29
dari Narkotika itu sendiri bagi kehidupan, yang bahkan dapat menyebabkan
kematian.
Selain dekriminalisasi, ada satu lagi kerangka kerja dalam hal rehabilitasi,
yaitu depenalisasi. Depenalisasi dilaksanakan terhadap Pecandu Narkotika dan
Korban Penyalahgunaan Narkotika, apabila perbuatan yang dulunya diancam
pidana, karena perkembangan masyarakat, ia dianggap bukan perbuatan yang
diancam pidana lagi, tetapi sifat perbuatan yang diancam pidana lagi, tetapi sifat
perbuatan masih dianggap jahat22
.
2.3.2 Depenalisasi
Proses depenalisasi adalah sebagai suatu perbuatan yang semula diancam
pidana, tetapi ancaman pidananya disini dihilangkan, tetapi dapat dituntut dengan
sanksi yang lainnya. Dalam hal ini, hanya pidananya yang dihilangkan, tetapi sifat
melawan atau melanggar hukumnya tetap dipertahankan. Bisa dikatakan,
depenalisasi ini merupakan penghilangan pidana terhadap pelaku, tetapi tetap
perbuatannya dianggap melawan atau melanggar hukum.
Depenalisasi bisa dikatakan sebuah proses rehabilitasi yang dilaksanakan
apabila Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika atau
keluarga/wali tersebut melapor kepada pihak yang berwenang dan meminta
sendiri untuk direhabilitasi (voluntair), yang melapor secara sukarela. Dalam
proses depenalisasi ini, adalah sebuah pelayanan kepada masyarakat untuk
menerapkan proses rehabilitasi oleh pihak yang berwenang disini adalah Badan
22
Sarwirini, Loc. Cit.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
MUHAMMAD MANFALUTHFI RIYADI
30
Narkotika Nasional kepada masyarakat yang ingin pulih dari ketergantungan
terhadap zat Narkotika itu sendiri.
Untuk melaksanakan proses ini, perlu adanya suatu tolak ukur terhadap
sudah sejauh mana Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika
yang secara sukarela tadi melapor kepada Badan Narkotika Nasional, Pecandu
tersebut harus melakukan proses asesmen yang dilaksanakan oleh Badan
Narkotika Nasionaltadi, sebelum akhirnya lamanya proses rehabilitasi ditentukan
oleh lembaga yang berwenang, yaitu lembaga rehabilitasi yang dimiliki oleh
Badan Narkotika Nasional.
Tim Asesmen terdiri dari Tim Medis dan Tim Hukum yang ditetapkan
oleh pimpinan satuan kerja setempat berdasarkan surat keputusan Kepala Badan
Narkotika Nasional, Badan Narkotika Nasional Provinsi, dan Badan Narkotika
Nasional Kabupaten/Kota, yang mana kedua tim tersebut bersatu dan bernama
Tim Asesmen Terpadu23
.
Adapun mekanisme pelaporan yang ada dalam kerangka kerja depenalisasi
ini bagi Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ini yang
melapor secara sukarela kepada Badan Narkotika Nasional untuk direhabilitasi.
Mekanisme pelaporan tersebut dibagi menjadi 2 (dua) cara, yaitu24
:
23
Peraturan Bersama Ketua Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri
Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia,
Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik
Indonesia, dan Badan Narkotika Nasional Republik IndonesiaTahun 2014 tentang Penanganan
Pecandu Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi
(Berita Negara RI Nomor 465 Tahun 2014)
24
Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu
Narkotika, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 46)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
MUHAMMAD MANFALUTHFI RIYADI
31
1. Pecandu melaporkan dirinya secara sukarela kepada Institusi Penerima
Wajib Lapor (IPWL), akan menjalani proses kondisi pecandu
Narkotika, yang meliputi aspek medis dan sosial. Asesmen dilakukan
dengan cara wawancara, observasi, serta pemeriksaan fisik dan psikis
terhadap pecandu Narkotika. Wawancara tersebut meliputi riwayat
kesehatan, riwayat penggunaan Narkotika, riwayat pengobatan dan
perawatan, riwayat keterlibatan pada tindak kriminalitas, riwayat
psikiatris, serta riwayat keluarga dan sosial pecandu Narkotika. Setelah
persyaratan administrasi lengkap, pecandu akan langsung ditempatkan
ke pusat terapi dan rehabilitasi yang telah disepakati oleh pecandu
Narkotika, orang tua/wali, atau keluarga pecandu Narkotika dan
pimpinan IPWL tanpa melalui proses hukum.
2. Bagi pecandu yang sudah ditangani oleh penyidik, juga, akan
menjalani proses asesmen terlebih dahulu. Selanjutnya hasil asesmen
tersebut dikaji oleh Deputi Pemberantasan dan Direktorat Hukum
Badan Narkotika Nasional, apakah pelapor tersebut berhubungan
dengan jaringan Narkoba atau pengguna Narkoba murni. Jika dia
dinyatakan memiliki jaringan Narkoba, maka selanjutnya akan
ditangani oleh hakim yang menangani kasus tersebut melalui proses
peradilan.
Melihat dari mekanisme diatas, depenalisasi merupakan sebuah penerapan
rehabilitasi medis maupus sosial yang mana bersifat voluntair yang diberikan oleh
Badan Narkotika Nasional kepada Pecandu Narkotika dan Korban
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
MUHAMMAD MANFALUTHFI RIYADI
32
Penyalahgunaan Narkotika yang ingin pulih agar bisa kembali pulih. Seperti
tujuan rehabilitasi juga yaitu sebagai suatu upaya dalam penanggulangan Tindak
Pidana Narkotika, yang mana rehabilitasi merupakan suatu kegiatan pengobatan
dan kegiatan pemulihan kepada Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika agar dapat mengerti tentang bahaya Narkotika itu sendiri dengan
mendapatkan penyuluhan dan pendidikan serta efek jera dari perbuatannya,
sehingga dapat pulih dan tidak mengulangi perbuatannya lagi untuk hidup yang
lebih baik lagi.
Melihat kedua kerangka kerja dekriminalisasi dan depenalisasi, ada suatu
kesamaan dari kedua kerangka kerja tersebut. Yaitu kedua kerangka kerja diatas
merupakan sebuah upaya untuk pemulihan terhadap Pecandu Narkotika dan
Korban Penyalahgunaan Narkotika yang mana sama-sama melaksanakan
penerapan pengobatan serta pemulihan dengan cara rehabilitasi. Cuma hanya
bedanya dekriminalisasi diputus oleh hakim terhadap Pecandu Narkotika dan
Korban Penyalahgunaan Narkotika, dimana suatu kejahatan karena dilarang oleh
Undang-Undang pidana, tetapi pasal yang mengatur dicabut, dan bukan lagi
dianggap suatu perbuatan pidana, sementara depenalisasi adalah Pecandu yang
melaporkan diri secara sukarela atau dilaporkan oleh orang tua/wali untuk
dilakukan rehabilitasi kepada Pecandu tersebut, yang mana disini pidananya
dihilangkan, dan diganti proses rehabilitasi dalam hal penanganan terhadap
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, tetapi perbuatan
melawan hukum atau melanggar hukumnya tetap ada.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
MUHAMMAD MANFALUTHFI RIYADI
33
Rehabilitasi disini bukan merupakan suatu sanksi, rehabilitasi adalah
bentuk pemulihan terhadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika baik secara medis maupun secara sosial. Karena sesungguhnya,
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika bukan pelaku
kejahatan, melainkan orang yang sakit dan bisa dikatakan korban dari Narkotika
itu sendiri. Lain halnya dengan bandar, kurir, atau pengedar Narkoba itu sendiri,
mereka yang harus diberantas, karena merekalah pelaku kejahatan dari Tindak
Pidana Narkotika yang sesungguhnya. Sehingga Pengguna Narkoba lebih baik
direhabilitasi daripada dipenjara.
Dalam proses rehabilitasi ada beberapa penerapan proses rehabilitasi yang
akaan dijelaskan lebih rinci dalam Bab 3. Tetapi ada beberapa tahapan yang harus
diketahui sebelum berlanjut masuk Bab 3. Tahapan rehabilitasi yaitu berawal dari
proses asesmen yang dilakukan oleh Tim Asesmen Terpadu, yaitu Tim Medis dan
Tim Hukum, setelah melaksanakan proses asesmen tersebut, Pecandu Narkotika
telah mendapatkan tolak ukur, sejauh mana Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika tersebut mengetahui dan mengonsumsi Narkotika.
Lalu, setelah proses asesmen tersebut, masuklah kedalam proses rehabilitasinya
itu sendiri, sesuai kebijakan lembaga rehabilitasi. Dalam proses rehabilitasi ini,
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika proses dan lamanya
rehabilitasi sesuai hasil asesmen yang dikeluarkan oleh Tim Asesmen Terpadu
beserta pihak lembaga rehabilitasi yang berwenang. Setelah itu, ada masanya
suatu percobaan kepada Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika dikembalikan kemasyarakat, artinya suatu percobaan untuk
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
MUHAMMAD MANFALUTHFI RIYADI
34
bersosialisasi kembali ke masyarakat luar. Dan sampai akhirnya Pecandu
Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tersebut dikatakan pulih dan
bisa kembali kekehidupan normal lagi25
.
Jadi, rehabilitasi disini, jika merujuk kepada tujuan dari hukum pidana itu
sendiri untuk melindungi masyarakat26
, yang mana disini yang dilindungi adalah
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika dengan cara
rehabilitasi yang merupakan suatu upaya, selain memberikan efek jera terhadap
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, dalam proses
rehabilitasi ini juga diberikan penyuluhan, pendidikan, dan sosialisasi kepada
pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika terhadap bahaya
Narkotika bagi kehidupan yang bahkan dapat menyebabkan kematian terhadap
yang menyalahgunakannya, serta pemulihan disini bertujuan agar Pecandu
Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika itu sendiri dapat kembali
kekehidupan normal seperti biasanya yang sehat dan terbebas dari Narkotika itu
sendiri. Yang mana, disini dalam penerapannya, depenalisasilah yang menjadi
suatu proses yang akan dibahas dalam rehabilitasi ini, karena merupakan suatu
rehabilitasi yang bersifat penal dan voluntair, artinya Pecandu Narkotika dan
Korban Penyalahgunaan Narkotika secara sukarela memohonkan agar dapat
direhabilitasi sehingga dapat pulih dan mengerti akan bahaya Narkotika yang
nantinya tidak menjadi Pecandu Narkotika lagi.
25
Wawancara dengan dr. Amrita, salah satu dokter di Deputi Rehabilitasi Badan
Narkotika Nasional, di Jakarta, Tgl 18 Agustus 2014
26
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, 1994, h. 23-24
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
MUHAMMAD MANFALUTHFI RIYADI