BAB II PEMBAHASAN I. Tinjauan Pustaka...perusahaan maskapai penerbangan terhadap bagasi penumpang...

45
12 BAB II PEMBAHASAN I. Tinjauan Pustaka Berdasar judul diatas, bab ini berisi gambaran hasil tinjauan kepustakaan atau kajian literatur hukum yang membicarakan berbagai aturan hukum mengenai pertanggungjawaban perusahaan maskapai penerbangan terhadap bagasi tercatat penumpang yang hilang atau rusak pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 167 K/Pdt.Sus-BPSK/2014. Gambaran hasil studi kepustakaan, tentang pertanggungjawaban perusahaan maskapai penerbangan terhadap bagasi penumpang yang hilang atau rusak pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 167 K/Pdt.Sus- BPSK/2014, penulis memilah ke dalam beberapa sub bab yaitu, pengertian konsumen, pengertian pelaku usaha, pengertian maskapai penerbangan, tanggungjawab pelaku usaha, penyelesaian sengketa konsumen, bentuk-bentuk pertanggungjawaban dalam hukum perlindungan konsumen, kedudukan putusan hakim terhadap peraturan perundang-undangan. A. Perlindungan Konsumen Az. Nasution berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen, sedangkan hukum konsumen adalah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang atau jasa

Transcript of BAB II PEMBAHASAN I. Tinjauan Pustaka...perusahaan maskapai penerbangan terhadap bagasi penumpang...

  • 12

    BAB II

    PEMBAHASAN

    I. Tinjauan Pustaka

    Berdasar judul diatas, bab ini berisi gambaran hasil tinjauan kepustakaan

    atau kajian literatur hukum yang membicarakan berbagai aturan hukum mengenai

    pertanggungjawaban perusahaan maskapai penerbangan terhadap bagasi tercatat

    penumpang yang hilang atau rusak pada Putusan Mahkamah Agung Republik

    Indonesia Nomor 167 K/Pdt.Sus-BPSK/2014.

    Gambaran hasil studi kepustakaan, tentang pertanggungjawaban

    perusahaan maskapai penerbangan terhadap bagasi penumpang yang hilang atau

    rusak pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 167 K/Pdt.Sus-

    BPSK/2014, penulis memilah ke dalam beberapa sub bab yaitu, pengertian

    konsumen, pengertian pelaku usaha, pengertian maskapai penerbangan,

    tanggungjawab pelaku usaha, penyelesaian sengketa konsumen, bentuk-bentuk

    pertanggungjawaban dalam hukum perlindungan konsumen, kedudukan putusan

    hakim terhadap peraturan perundang-undangan.

    A. Perlindungan Konsumen

    Az. Nasution berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen adalah

    bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang

    bersifat mengatur dan mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen,

    sedangkan hukum konsumen adalah hukum yang mengatur hubungan dan

    masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang atau jasa

  • 13

    konsumen di dalam pergaulan hidup.1 Namun, ada pula yang berpendapat bahwa

    hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen. Hal ini

    dapat kita lihat bahwa hukum konsumen memiliki skala yang lebih luas karena

    hukum konsumen meliputi berbagai aspek hukum yang didalamnya terdapat

    kepentingan pihak konsumen dan salah satu bagian dari hukum konsumen ini

    adalah aspek perlindungannya, misalnya bagaimana cara mempertahankan hak-

    hak konsumen terhadap gangguan pihak lain.2

    Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar

    hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang

    pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh

    optimisme.

    Pengaturan tentang hukum perlindungan konsumen telah diatur dalam

    Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan

    Pasal 1 angka 1 UUPK disebutkan bahwa Perlindungan konsumen adalah segala

    upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan

    kepada konsumen. Kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

    konsumen berupa perlindungan terhadap hak-hak konsumen, yang diperkuat

    melalui undang-undang khusus, memberi harapan agar pelaku usaha tidak

    bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak-hak konsumen.3

    Adapun tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan

    perlindungan konsumen yang direncanakan adalah untuk meningkatkan martabat

    1 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia edisi Revisi 2006, Gramedia

    Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 11 2 Ibid, hal. 12

    3 Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, 2008, hal. 4

  • 14

    dan kesadaran konsumen, dan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha

    dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggung jawab.4

    B. Pengertian Konsumen

    Secara harafiah arti kata konsumen adalah setiap orang yang menggunakan

    barang atau jasa. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk

    kelompok mana pengguna tersebut.5

    Black’s Law Dictionary mendefinisikan konsumen sebagai berikut: “a

    person who buys goods or service for personal, family, or household use, with no

    intention or resale; a natural person who use products for personal rather than

    business purpose.” 6 Sedangkan Textbook on Comsumer Law mendefinisikan

    konsumen adalah “one who purchases goods or service”. The consumer must be

    an individual or other protected person who does not act in business capacity.

    Definisi tersebut menghendaki bahwa konsumen adalah setiap orang atau individu

    yang harus dilindungi selama tidak memiliki kapasitas dan bertindak sebagai

    pelaku usaha, pelaku usaha dan/atau pebisnis.7

    Undang-Undang Perlindungan Konsumen mendefinisikan konsumen

    sebagai “Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam

    masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun

    4 Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen, Nusa Media, Bandung,

    2008, hal.18 5 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta,

    2008, hal. 22. 6 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Prenada Media Grup, Jakarta, 2013, hal.15,

    dikutip dari Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, (St. Paul, Minnesota: West Publishing,

    2004), Eight Edition, hal. 335. 7 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Prenada Media Grup, Jakarta, 2013, hal.15,

    dikutip dari David Oughton dan John Lowry, Textbook on Consumer Law, (London: Blackstone

    Press Limited, 1997), hal.1-2.

  • 15

    makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.8 Pengertian konsumen

    dalam arti umum adalah pemakai, pengguna, dan atau pemanfaat barang dan atau

    jasa untuk tujuan tertentu.9

    Berdasarkan pengertia diatas, unsur-unsur konsumen adalah:

    1. Setiap orang

    Makna kata “setiap orang” adalah subyek yang disebut sebagai

    konsumen, yang berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai

    barang dan jasa.10

    Menurut AZ.Nasution, orang yang dimaksudkan adalah

    orang alami bukan badan hukum. Sebab yang memakai, menggunakan,

    dan atau memanfaatkan barang dan atau jasa untuk kepentingan sendiri,

    keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain tidak untuk

    diperdagangkan hanyalah orang alami atau manusia.11

    2. Pemakai

    Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang

    Perlindungan Konsumen, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah

    konsumen akhir (ultimate consumer).12

    Konsumen akhir menurut AZ.

    Nasution adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan

    barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi,

    keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali

    (non komersial).13

    3. Barang dan/atau jasa

    8 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

    9 Abdul Halim Barkatulah, Op. Cit., hlm. 8

    10 Ibid.

    11 Ibid.

    12 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal.27.

    13 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media,

    Jakarta, 2001, hal. 13.

  • 16

    Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, barang diartikan

    sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik

    bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak

    dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau

    dimanfaatkan oleh konsumen.14

    Dan jasa diartikan sebagai setiap layanan

    yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat

    untuk dimanfaatkan oleh konsumen.15

    Pengertian “disediakan bagi

    masyarakat” menunjukkan, jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat.

    artinya, pihak yang ditawarkan harus lebih dari satu orang.16

    4. Yang tersedia dalam masyarakat

    Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah

    harus tersedia di pasaran. Seperti yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (1)

    huruf (e) yaitu barang dan/atau jasa tersebut tersedia.17

    5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain

    Kepentingan dalam hal ini tidak sekedar ditunjukkan untuk diri

    sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan

    bagi orang lain, bahkan untuk makhluk hidup lain.18

    6. Barang dan/atau jasa tidak untuk diperdagangkan

    Pengertian konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan

    Konsumen ini dipertegas, yaitu konsumen yang dimaksud adalah

    konsumen akhir.19

    14

    Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2004, hal.8 15

    Kelik Wardiono, Hukum Perlindungan Konsumen, Ombak, Yogyakarta, 2014, hal.17 16

    Ibid. 17

    Ibid. 18

    Ibid. 19

    Ibid.

  • 17

    C. Pelaku Usaha

    Dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

    Konsumen menentukan bahwa “pelaku usaha adalah setiap orang perorangan

    atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan

    hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam

    wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama

    melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang

    ekonomi”.

    D. Maskapai Penerbangan

    Istilah "maskapai" berasal dari bahasa Belanda maatschappij yang berarti

    "perusahaan". Sebuah maskapai penerbangan adalah sebuah organisasi yang

    menyediakan jasa penerbangan bagi penumpang atau barang. Maskapai

    penerbangan menyewa atau memiliki pesawat terbang untuk menyediakan jasa

    tersebut dan dapat membentuk kerja sama atau aliansi dengan maskapai lainnya

    untuk keuntungan bersama.20

    R. S. Damardjati mengemukakan pengertian perusahaan penerbangan

    sebagai berikut : “Perusahaan penerbangan adalah perusahaan miliki swasta atau

    pemerintah yang khusus menyelenggarakan pelayanan angkutan udara untuk

    penumpang umum baik yang berjadwal (schedule service/regular flight)

    maupun yang tidak berjadwal (non schedule service). Penerbangan berjadwal

    menempuh rute penerbangan berdasarkan jadwal waktu, kota tujuan maupun

    kota-kota persinggahan yang tetap. Sedangkan penerbangan tidak berjadwal

    sebaliknya, dengan waktu, rute, maupun kota-kota tujuan dan persinggahan

    20

    Pengertian Maskapai Penerbangan URL :

    https://id.wikipedia.org/wiki/Maskapai_penerbangan, dikunjungi tanggal 14 februari 2016, pukul

    22.30

    https://id.wikipedia.org/wiki/Maskapai_penerbangan

  • 18

    bergantung kepada kebutuhan dan permintaan pihak penyewa.”21

    Sedangkan

    menurut F. X. Widadi A. Suwarno berpendapat, “Perusahaan penerbangan atau

    airlines adalah perusahaan penerbangan yang menerbitkan dokumen

    penerbangan untuk mengangkut penumpang beserta bagasinya, barang kiriman

    (kargo), dan benda pos (mail) dengan pesawat udara”.22

    Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perusahaan

    penerbangan adalah suatu perusahaan angkutan udara yang memberikan dan

    menyelenggarakan pelayanan jasa angkutan udara yang mengoperasikan dan

    menerbitkan dokumen penerbangan dengan teratur dan terencana untuk

    mengangkut penumpang, bagasi penumpang, barang kiriman (kargo), dan benda

    pos ke tempat tujuan.

    E. Penyelesaian Sengketa Konsumen

    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

    (UUPK), yang mengatur tentang perlindungan terhadap konsumen menegaskan

    dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang

    menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada

    konsumen. Dengan kata lain UUPK secara tegas telah memberikan jaminan

    perlindungan terhadap konsumen, jika konsumen dirugikan oleh pelaku usaha.

    Penyelesaian sengketa yang terjadi antara konsumen dan pelaku usaha,

    dapat diselesaikan melalui jalur litigasi (melalui pengadilan) dan jalur

    nonlitigasi (tidak melalui pengadilan). Penyelesaian, melalui lembaga litigasi

    dianggap kurang efisien baik waktu, biaya, maupun tenaga, sehingga

    penyelesaian melalui lembaga non litigasi banyak dipilih oleh masyarakat dalam

    21

    R. S. Damardjati, Istilah-istilah Dunia Pariwisata. Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hal. 6

    22 Suwarno FX Widadi A., Tata Operasi Darat, Grasindo, Jakarta, 2001, hal.7

  • 19

    menyelesaikan sengketa dimaksud. Meskipun demikian pengadilan juga tetap

    akan menjadi muara terakhir bila di tingkat non litigasi tidak menemui

    kesepakatan.23

    Litigation (bahasa Inggris) artinya proses pengadilan. Jadi nonlitigasi

    adalah di luar proses pengadilan. Sebagai bahan perbandingan, litigation (proses

    pengadilan), sebagian besar tugasnya adalah menyelesaikan sengketa dengan

    menjatuhkan putusan (constitutive) misalnya menjatuhkan putusan atas sengketa

    waris, perbuatan melawan hukum dan sebagian kecil tugasnya adalah

    penangkalan sengketa dengan menjatuhkan penetapan pengadilan (deklaratoir)

    misalnya penetapan wali, penetapan anak angkat dan lain-lain24

    Nonlitigasi sebagai kebalikan dari litigasi (argumentum analogium) adalah

    untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan melalui perdamaian dan

    penangkalan sengketa dengan perancangan-perancangan kontrak yang baik.

    Penyelesaian sengketa secara nonlitigasi meliputi bidang yang sangat luas

    bahkan mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diselesaikan secara

    hukum.25

    Menurut pasal 19 ayat (1) dan (3) UUPK, konsumen yang merasa

    dirugikan dapat menuntut secara langsung penggantian kerugian kepada pelaku

    usaha dan pelaku usaha harus memberi tanggapan dan/atau penyelesaian dalam

    jangka waktu 7 hari setelah transaksi berlangsung. Misalnya, seseorang membeli

    barang yang terbungkus secara rapi. Setelah sampai dirumah, barang dibuka

    ternyata cacat/rusak. Konsumen dapat dengan langsung menuntut pelaku usaha

    23

    Aries Kurniawan, Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam

    Penyelesaian Sengketa Konsumen, Kompas 6 Agustus 2008, hal.3. 24

    I Wayan Wiryawan & Ketut Artadi, Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan,

    Udayana University Press, Denpasar-Bali, 2010, hal. 3 25

    Ibid.

  • 20

    untuk mengganti barang tersebut atau mengembalikan uang pembeliannya. Hal

    ini harus diselesaikan dalam jangka waktu 7 hari setelah terjadinya transaksi

    tersebut, yang berarti juga, pembeli dengan segera harus mengajukan

    tuntutannya.

    Cara yang dimaksud oleh pasal 19 ayat (1) itu tidak jelas. Akan tetapi,

    dengan menyimak pasal 19 ayat (3), pastilah yang dimaksud bukan melalui

    suatu badan dengan cara pemeriksaan tertentu. Dengan penetapan jangka waktu

    7 hari setelah tanggal transaksi sebagaimana disebut dalam pasal 19 ayat (3),

    maka dapat diduga bahwa penyelesaian sengketa yang dimaksudkan di sini

    bukanlah penyelesaian yang rumit dan melalui pemeriksaan mendalam terlebih

    dahulu, melainkan bentuk penyelesaian sederhana dan praktis yang ditempuh

    dengan jalan damai.

    Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

    Alternatif Penyelesaian Sengketa, mengatur mengenai pilihan dalam

    penyelesaian sengketa melalui cara musyawarah para pihak yang bersengketa, di

    bawah title “Alternatif Penyelesaian Sengketa”, yang merupakan terjemahan

    dari Alternative Dispute resolution (ADR). Pengertian Alternative Dispute

    Resolution disini adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat

    melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar

    pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian

    ahli. Dengan demikian berarti bahwa sengketa konsumen diselesaikan terlebih

    dahulu dengan pertemuan langsung antara konsumen dan pelaku usaha atau

    melalui bantuan pihak ketiga yang ikut membantu pihak yang bersengketa

    menemukan jalan penyelesaian di antara mereka. Pihak ketiga yang dimaksud di

  • 21

    sini adalah pihak yang netral, tidak memihak salah satu pihak yang bersengketa.

    Di sini pihak ketiga tidak memberi putusan atas sengketa, tetapi membantu para

    pihak menyelesaikan permasalahan.

    Dengan demikian, jelaslah yang dimaksud dengan Alternative Dispute

    Resolution (ADR) dalam perspektif UU No. 30 Tahun 1999 itu suatu pranata

    penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak

    dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan.

    Sebagai lembaga yang berwenang menangani dan menyelesaikan sengketa

    antara pelaku usaha dengan konsumen, Badan Penyelesaian Sengketa

    Konsumen yang selanjutnya disingkat BPSK dalam kewenangannya dapat

    menempuhnya dengan cara mediasi, konsiliasi atau arbitrase. UU perlindungan

    konsumen tidak mendefinisikan tentang mediasi, konsiliasi atau arbitrase di

    bidang perlindungan konsumen. Hal ini kemudian dijelaskan lebih jauh dalam

    Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350 Tahun 2001

    tentang Tugas dan Wewenang BPSK.

    Keberadaan BPSK diatur dalam UUPK No. 8 Tahun 1999 Bab XI Pasal

    49 sampai Pasal 58. Pada Pasal 49 ayat (1) dinyatakan bahwa pemerintah

    membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk

    penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Badan ini merupakan

    peradilan kecil (Small Claim Court) yang melakukan persidangan dengan

    menghasilkan keputusan secara cepat, sederhana dan dengan biaya murah sesuai

    dengan asas peradilan. Disebut cepat karena harus memberikan keputusan dalam

    waktu maksimal 21 hari kerja (Pasal 55), dan tanpa ada penawaran banding

    yang dapat memperlama proses pelaksanaan keputusan (Pasal 56 dan Pasal 58).

  • 22

    Sederhana karena proses penyelesaiannya dapat dilakukan sendiri oleh pihak

    yang bersengketa, dan murah karena biaya yang dikeluarkan untuk menjalani

    proses persidangan sangat ringan.

    Dalam pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen

    dikatakan bahwa putusan yang dijatuhakan majelis (BPSK) bersifat final dan

    mengikat dengan maksud apabila tidak ada keberatan di antara kedua belah

    pihak, maka putusan tersebut dapat dilaksanakan, namun bila ada yang

    keberatan, maka dapat mengajukan banding. Walau demikian para pihak tidak

    setuju atas putusan tersebut dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan

    Negeri untuk diputus. Terhadap putusan putusan Pengadilan Negeri tersebut,

    meskipun dikatakan bahwa UUPK hanya memberikan hak kepada pihak yang

    tidak merasa puas atas putusan tersebut untuk mengajukan Kasasi ke Mahkamah

    Agung, namun dengan mengingat akan relativitas dari tidak merasa puas,

    peluang untuk mengajukan Kasasi sebenarnya terbuka bagi setiap pihak dalam

    perkara. Selain itu UUPK juga memberikan jangka waktu bagi penyelesaian

    konsumen yakni, 21 hari untuk proses pada tingkat Pengadilan Negeri, dan 30

    hari untuk diselesaikan di Mahkamah Agung, dengan jeda masing-masing 14

    hari untuk mengajukan ke Pengadilan Negeri maupun Kasasi ke Mahkamah

    Agung.

  • 23

    Apabila digambarkan alur penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK

    sesuai dengan UUPK sebagai berikut :

    Laporan dari

    para pihak

    Proses

    pemeriksaan

    Putusan oleh

    BPSK (paling

    lambat dalam

    waktu 21 hari

    kerja setelah

    gugatan

    diterima.

    Eksekusi .

    paling

    lambat 7

    hari kerja

    sejak

    menerima

    putusan

    Mengajukan

    keberatan ke

    Pengadilan Negeri

    paling lambat 14

    hari setelah

    menerima

    pemberitahuan

    putusan tersebut.

    Eksekusi

    Putusan

    Pengadilan

    Negeri. Paling

    lambat 21 hari

    sejak

    diterimanya

    keberatan.

    Putusan

    Mahkamah

    Agung. Paling

    lambat 30 hari

    sejak menerima

    permohonan

    Kasasi.

    Mengajukan

    Kasasi dalam

    waktu 14 hari

    sejak keputusan

    Pengadilan Negeri

  • 24

    F. Tanggungjawab Pelaku Usaha

    Pelaku usaha mempunyai tugas dan kewajiban untuk ikut serta

    menciptakan dan menjaga iklim usaha yang sehat yang menunjang bagi

    pembangunan perekonomian nasional secara keseluruhan. Karena itu, kepada

    produsen pelaku usaha dibebankan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan

    kewajiban itu, yaitu melalui norma-norma hukum, kepatutan, dan menunjang

    tinggi kebiasaan yang berlaku di kalangan dunia usaha.26

    Kewajiban pelaku usaha untuk senantiasa beritikad baik dalam melakukan

    kegiatan usahanya (vide Pasal 7 angka 1 UUPK) berarti pelaku usaha ikut

    bertanggung jawab untuk menciptakan iklim berusaha yang sehat demi

    menunjang pembangunan nasional.27

    Banyak ketentuan di dalam UUPK tentang

    ini yang bermaksud mengarahkan pelaku usaha untuk berperilaku sedemikian

    rupa dalam rangka menyukseskan pembangungan ekonomi nasional, khususnya

    di bidang usaha.

    Atas setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha maka

    kepadanya dikenakan sanksi-sanksi hukum, baik sanksi administratif maupun

    sanksi pidana. Pemberian sanksi ini penting mengingat bahwa menciptakan

    iklim berusaha yang sehat membutuhkan keseriusan dan ketegasan. Untuk itu

    sanksi merupakan salah satu alat untuk mengembalikan keadaan pada keadaan

    semula manakala telah terjadi pelanggaran (rehabilitasi) sekaligus sebagai alat

    26

    Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,

    Bandung, 2014, hal. 80. 27

    Ibid, hal. 81

  • 25

    preventif bagi produsen-pelaku usaha lainnya sehingga tidak terulang lagi

    perbuatan yang sama.28

    a) Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Kesalahan

    Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau

    liability based fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum

    pidana dan perdata dalam KUHPerdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367,

    prinsip ini dipegang secara teguh.29

    Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat

    dimintakan pertanggungjawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan yang

    dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata, yang lazim dikenal sebagai pasal

    tentang perbuatan melanggar hukum, mengharuskan terpenuhi empat unsur

    pokok, yaitu adanya perbuatan, adanya unsur kesalahan, adanya kerugian yang

    diderita, dan adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dengan kerugian.

    Ketentuan tersebut juga sejalan dengan teori umum dalam hukum acara,

    yakni asas audi et alterm partem atau asas kedudukan yang sama antara semua

    pihak yang berperkara. Di sini hakim harus memberi para pihak beban yang

    seimbang dan patut, sehingga masing-masing memiliki kesempatan yang sama

    untuk memenangkan perkara tersebut.30

    Teori murni dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian

    (negligence) adalah suatu tanggung jawab yang didasarkan pada adanya unsur

    kesalahan dan hubungan kontrak (privity of contract).31

    Teori tanggung jawab

    berdasarkan kelalaian merupakan yang paling merugikan konsumen, karena

    gugatan konsumen dapat diajukan kalau telah memenuhi dua syarat tersebut,

    28

    Janus Sidabalok, Loc. Cit. 29

    Shidarta, Op.Cit., hal. 73 30

    Ibid., hal. 74 31

    Abdul Halim Barkatulah, Op.Cit., hal. 53

  • 26

    yaitu adanya unsur kesalahan atau kelalaian dan hubungan kontrak antara pelaku

    usaha dan konsumen.

    Teori tanggung jawab berdasarkan kelalaian tidak memberikan

    perlindungan yang maksimal bagi konsumen, karena konsumen dihadapkan

    pada dua kesulitan dalam mengajukan gugatan kepada produsen, yaitu:

    Pertama, tuntutan adanya hubungan kontrak antara konsumen sebagai

    penggugat dengan produsen sebagai tergugat. Kedua, argumentasi produsen

    bahwa kerugian konsumen diakibatkan oleh kerusakan barang yang tidak

    diketahui.32

    Tanggung jawab produsen berdasarkan persyaratan kontrak adalah sejauh

    yang dapat diperkirakan atau diprediksikan yang biasanya dituangkan dalam

    kontrak. Dengan demikian, resiko atau subtansi yang tidak tercantum dalam

    kontrak adalah masalah yang tidak dapat diantisipasi atau diperhitungkan

    sebelumnya.33

    Kondisi seperti ini sangat merugikan konsumen, dan

    menempatkan konsumen pada posisi tawar yang tidak seimbang dengan

    produsen.

    Kesalahan produsen yang berakibat pada munculnya kerugian konsumen

    merupaka faktor penentu adanya hak konsumen mengajukan gugatan ganti rugi

    kepada produsen. Negliance dapat dijadikan dasar gugatan, apabila memenuhi

    syarat-syarat sebagai berikut:34

    32

    David A. Fischer dan Willian Powers Jr., Product Liability: Case and Materials, West

    Publishing, St. Paul Minesota. 1988. Hal. 3 33

    Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

    2013. Hal. 86 34

    Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

    2004. Hal. 148

  • 27

    1. Suatu tingkah laku yang menimbulkan kerugian, tidak sesuai dengan sikap

    hati-hati yang normal.

    2. Harus dibuktikan bahwa tergugat lalai dalam kewajiban berhati-hati

    terhadap penggugat.

    3. Kelakuan tersebut merupakan penyebab nyata (proximate cause) dari

    kerugian yang timbul.

    b) Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Wanprestasi

    Di samping mengajukan gugatan berdasarkan kelalaian pelaku usaha,

    ajaran hukum memperkenalkan pula konsumen mengajukan gugatan

    berdasarkan wanprestasi (breach of warranty).35

    Tanggung jawab pelaku usaha

    yang dikenal dengan wanprestasi adalah tanggung jawab berdasarkan kontrak

    (contractual liability).36

    Pada dasarnya, sebagaimana lazimnya dasar gugatan breach of warranty

    yang umum diterapkan dalam praktik perdagangan, wanprestasi sebagai dasar

    tuntutan ganti kerugian dihadapkan dengan beberapa kelemahan yang dapat

    mengurangi bentuk perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen, yaitu

    berupa pembatasan waktu gugatan, persyaratan pemberitahuan, kemungkinan

    adanya bantahan (disclaimer) dan persyaratan kontrak, baik hubungan kontrak

    secara horisontal, maupun vertikal.37

    Apabila ganti kerugian didasarkan pada wanprestasi, maka terlebih dahulu

    tergugat dengan penggugat (pelaku usaha dengan konsumen) terikat suatu

    perjanjian. Dengan demikian, pihak ketiga (bukan sebagai pihak dalam

    35

    Ibid. hal. 60. 36

    Ibid. 37

    Ibid.

  • 28

    perjanjian) yang dirugikan tidak dapat menuntut ganti kerugian dengan alasan

    wanprestasi.38

    Pemberian ganti rugi karena wanprestasi merupakan akibat tidak

    terpenuhinya kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang berupa kewajiban

    atas prestasi utama atau kewajiban jaminan/garansi dalam perjanjian. Dalam

    gugatan berdasarkan adanya wanprestasi, kewajiban untuk memberikan ganti

    kerugian tidak lain daripada akibat penerapan klausa dalam perjanjian, yang

    merupakan ketentuan hukum yang oleh kedua pihak secara suka rela tunduk

    berdasarkan perjanjiannya. Dengan demikian, bukan undang-undang yang

    menentukan pemberian ganti kerugian dan besarnya ganti kerugian yang harus

    diberikan kepada konsumen yang dirugikan, melainkan kedua belah pihak

    antara pelaku usaha dan konsumen yang menentukan syarat-syaratnya serta

    besarnya ganti kerugian yang harus dibayar, dan apa yang telah diperjanjikan

    tersebut, mengikat sebagai undang-undang mereka yang membuatnya (Pasal

    1338 KUHPerdata).39

    c) Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

    Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen

    secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha yang merugikan

    konsumen.40

    Asas tanggung jawab ini dikenal dengan nama product liability.

    Menurut prinsip ini, pelaku usaha wajib bertanggung jawab atas kerugian yang

    diderita konsumen.41

    38

    Ahmadi Miru, Op.Cit. hlm 127 39

    Ibid hal. 129 40

    Ibid. 41

    Shidarta, Op.Cit., hal. 79.

  • 29

    Product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari

    orang/badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacturer), dari

    orang/badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu

    produk (processor, assembler) atau mendistribusikan (seller, distributor) produk

    tersebut.42

    Tanggung jawab yang dimaksud seringkali ditekankan pada

    kewajiban untuk menjawab/menjelaskan perbuatan, penegakan aturan, dan atau

    siap menerima hukuman atas perbuatan yang salah43

    dalam hal ini salah dalam

    menghasilkan produk dan/atau jasa.

    Penerapan strict liability tersebut didasarkan pada alasan bahwa konsumen

    tidak dapat berbuat banyak untuk memproteksi diri dari resiko kerugian yang

    disebabkan oleh produk cacat.44

    Tanggung jawab mutlak atau strict liability, yakni unsur kesalahan tidak

    perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar ganti kerugian, dan juga

    prinsip ini tidak berdasarkan kesalahan produsen, yakni menerapkan tanggung

    jawab kepada penjual produk yang cacat tanpa ada beban bagi konsumen atau

    pihak yang diragukan untuk membuktikan kesalahan tersebut.45

    Ketentuan ini

    merupakan lex spesialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum

    pada umumnya.46

    Namun, penggugat (konsumen) tetap diberikan beban

    pembuktian, walaupun tidak sebesar si tergugat (pelaku usaha). Dalam hal ini,

    konsumen hanya perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas antara

    42

    0 H.E Saefullah, Tanggung jawab Produsen terhadap Akibat Hukum yang ditimbulkan

    dari Produk pada Era Pasar Bebas, Mandar Maju, Bandung, 2000. Hal. 46 43

    Godwin Limberg, et.al, Bukan Hanya Laba: Prinsip-Prinsip Bagi Perusahaan Untuk

    Melaksanakan Tanggung Jawab Sosial, SMK Grafika Desa Putera, Jakarta, 2009, Hal. 9. 44

    Zulham, Op.Cit., Hal. 99 45

    Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung

    Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta, 2004. Hal. 92-96 46

    Abdul Halim Barkatulah, Op.Cit., hal. 65

  • 30

    perbuatan pelaku usaha dan kerugian yang diderita konsumen. Hubungan

    kausalitas yang membuktikan bahwa terjadinya kerugian pada konsumen akibat

    produk cacat dari pembuat produk. Selebihnya dapat digunakan prinsip

    tanggung jawab mutlak (strict liability).47

    Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengakomodasi dua prinsip

    penting, yakni tanggung jawab Produk (Product Liability) dan tanggung jawab

    professional (professional liability).48

    Tanggung jawab produk merupakan

    tanggung jawab produsen untuk produk yang dipasarkan kepada pemakai, yang

    menimbulkan dan menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada

    produk tersebut.49

    Sedangkan tanggung jawab professional berhubungan dengan

    jasa, yakni tanggung jawab produsen terkait dengan jasa professional yang

    diberikan kepada klien.50

    Ketentuan Pasal 19 dalam UUPK meliputi tanggung jawab pelaku usaha

    terhadap ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan kerugian konsumen. Maka

    produk cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban bagi

    pelaku usaha. Hal ini berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi

    segala kerugian yang dialami konsumen.51

    Namun pertanggungjawaban dalam

    UUPK tersebut tidak sepenuhnya menganut prinsip tanggung jawab mutlak.52

    Adapun persepsi Pasal 19 UUPK berangkat dari asumsi bahwa apabila

    produsen tidak melakukan kesalahan, maka konsumen tidak melakukan

    47

    Shidarta, Loc.Cit. 48

    Zulham, Op.Cit., Hal. 99 49

    Shidarta, Op.Cit., Hal. 80. 50

    Zulham, Loc.Cit. 51

    Zulham, Op.Cit., Hal. 101 52

    Zulham, Op.Cit., Hal. 102

  • 31

    kerugian, atau dengan rumusan berbeda, apabila konsumen mengalami

    kerugian, berarti produsen telah melakukan kesalahan.53

    d) Tanggung Jawab Dengan Pembatasan

    Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability

    principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai

    klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian

    cuci cetak film, misalnya ditentukan bila film yang ingin dicuci/dicetak itu

    hilang atau rusak (termasuk kesalahan petugas), maka konsumen hanya dibatasi

    ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru.54

    Secara umum, prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen

    bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UUPK, seharusnya

    tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen,

    termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan,

    mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.

    Selain itu dari sudut pandang lain, konsumen memiliki hak-hak untuk

    mendapat kenyamanan, aman, selamat, memilih, mendapat informasi yang

    benar, untuk didengar, mendapat pendidikan, mendapat advokasi, untuk dilayani

    dengan jujur, untuk mendapat kompensasi serta hak untuk mendapat ketentuan

    lainnya. Dalam banyak hal, pelaku usaha terikat untuk memperhatikan hak

    konsumen untuk mendapatkan “pendidikan konsumen” ini. Bentuk informasi

    yang lebih komprehensif dengan tidak semata-mata menonjolkan unsur

    komersialisasi, sebenarnya sudah merupakan bagian dari pendidikan konsumen.

    Produsen mobil misalnya, dalam memasarkan produk dapat menyisipkan

    53

    Inosentius Samsul, Op.Cit., Hal. 144 54

    Ibid, hal. 65.

  • 32

    program-program pendidikan konsumen yang memiliki kegunaan praktis,

    seperti tata cara perawatan mesin, pemeliharaan ban, atau penggunaan sabuk

    pengaman.55

    Karena konsumen harus bergantung pada keahlian produsen dan pelaku

    usaha, maka produsen tidak hanya berkewajiban memberikan produk yang

    sesuai dengan klaim yang dibuatnya. Namun juga harus berhati-hati untuk

    mencegah kerugian konsumen, meskipun, produsen secara eksplisit menolak

    pertanggungjawaban seperti ini dan konsumen menerima penolakan tersebut

    dalam bentuk perjanjian klausula baku.56

    Istilah perjanjian baku merupakan terjemahan dari standard contract, baku

    berarti patokan dan acuan.57

    Mariam Darus mendefinisikan perjanjian baku

    adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk

    formulir.58

    Klausula baku biasanya dibuat oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat,

    yang dalam kenyataan biasa dipegang oleh pelaku usaha. Isi klausula baku

    sering kali merugikan pihak yang menerima klausula baku tersebut, yaitu pihak

    konsumen karena dibuat secara sepihak.59

    Bila konsumen menolak klausula

    baku tersebut ia tidak akan mendapatkan barang ataupun jasa yang dibutuhkan,

    karena klausula baku serupa akan ditemuinya di tempat lain.

    e) Prinsip Tanggung Jawab Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen

    Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam Undang-

    Undang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya disingkat UUPK, diatur

    55

    Ibid, hal. 27. 56

    Zulham, Op.Cit., Hal. 66 57

    Ibid. 58

    Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1978. Hal. 48 59

    Zulham, Loc.Cit.

  • 33

    khusus dalam satu bab, yaitu Bab VI, mulai dari pasal 19 sampai dengan pasal

    28. Dari 10 pasal tersebut, dapat kita pilah sebagai berikut:

    1) Tujuh pasal, yaitu Pasal 19, pasal 20, pasal 21, pasal 24, pasal 25,

    pasal 26, dan pasal 27 yang mengatur Pertanggungjawaban pelaku

    usaha;

    2) Dua pasal, yaitu pasal 22 dan pasal 28 yang mengatur pembuktian;

    3) Satu pasal, yaitu pasal 23 yang mengatur penyelesaian sengketa

    dalam hal pelaku usaha tidak memenuhi kewajibannya untuk

    memberi ganti rugi kepada konsumen.

    Dari tujuh pasal yang mengatur pertanggungjawaban pelaku usaha, secara

    prinsip dapat dibedakan lagi kedalam:60

    1) Pasal-pasal yang secara tegas mengatur pertanggungjawaban

    pelaku usaha atas kerugian yang diderita konsumen, yaitu dalam

    pasal 19, pasal 20, dan pasal 21.

    Pasal 19 mengatur pertanggungjawaban pelaku usaha pabrikan

    dan/atau distributor pada umumnya, untuk memberi ganti rugi atas

    kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat

    mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau

    diperdagangkan dengan ketentuan bahwa ganti rugi tersebut daoat

    dilakukan dalam bentuk: pengembalian uang atau penggantian

    barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau

    perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai

    dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ganti rugi

    60

    Abdul Halim Barkatulah, Op.Cit., hal. 70

  • 34

    harus telah diberikan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari tethitung

    sejak tanggal transaksi.

    Pasal 20 diberlakukan bagi pelaku usaha periklanan untuk

    bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi, dan segala akibat

    yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.

    Pasal 21 ayat (1) membebankan pertanggungjawaban kepada

    importer barang sebagai mana layaknya pembuat barang yang

    diimportir, apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh

    agen atau perwakilan produsen luar negeri. Pasal 21 ayat (2)

    mewajibkan importer jasa untuk bertanggung jawab sebagai

    penyedia jasa asing, jika penyediaan jasa asing tersebut tidak

    dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.

    2) Pasal 24 yang mengatur peralihan tanggung jawab dari satu pelaku

    usaha kepada pelaku usaha lainnya, menyatakan bahwa;

    “Pelaku usaha yang menjual barang dan /atau jasa

    kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas

    runtutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen

    apabila: 1. Pelaku usaha lain menjual kepada

    konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas

    barang dan/atau jasa tersebut; 2. Pelaku usaha lain,

    di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui

    adanya perubahan barang dan/atau jasa yang

    dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai

    dengan contoh, mutu, dan komposisi.”

    Ketentuan Pasal 19 UUPK kemudian dikembangkan pada Pasal 23 UUPK

    yang menyatakan: “Pelaku usaha yang menolak dan/atau memberi tanggapan

    dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat

  • 35

    melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau Mengajukan gugatan ke

    badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.”

    Rumusan Pasal 23 UUPK nampaknya muncul berdasarkan dan kerangka

    pemikiran, yaitu pertama, bahwa Pasal 19 UUPK menganut prinsip praduga

    lalai/bersalah (presumption of negligence).61

    Abdul Hakim Barkatullah

    mengatakan sebagai berikut:62

    prinsip ini berangkat dari asumsi bahwa apabila

    produsen tidak melakukan kesalahan, maka

    konsumen tidak mengalami kerugian, berarti

    produsen telah melakukan kesalahan. Sebagaimana

    konsekuensi dari prinsip ini, maka UUPK

    menerapkan batas waktu pembayaran ganti

    kerugian 7 (tujuh) hari setelah transaksi. Dilihat

    konteks Pasal 23, maka batas waktu 7 (tujuh) hari

    tidak dimaksudkan untuk menjalani proses

    pembuktian. Tetapi hanya memberikan kesempatan kepada pelaku usaha untuk membayar atau mencari

    solusi lain, termasuk penyelesaian sengketa melalui

    pengadilan.

    Sistem tanggung jawab produk di Indonesia masih menggunakan prinsip

    tanggung jawab berdasarkan kesalahan dengan pembuktian terbalik dan belum

    menerapkan sistem tanggung jawab mutlak.63

    Pemikiran bahwa UUPK Pasal 19

    ayat (1) menganut prinsip praduga bersalah paling tidak didasarkan pada

    perbedaan rumusannya dengan Pasal 1365 KUHPerdata, yaitu64

    : Pertama, Pasal

    1365 KUHPerdata secara tegas memuat dasar tanggung jawab karena kesalahan

    atau karena kelalaian seseorang, sedangkan Pasal 19 ayat (1) tidak

    mencantumkan kata kesalahan.

    61

    Abdul Hakim Barkatullah, Tanggung Jawab Produk Dalam Transaksi Konsumen

    Dunia Maya, Makalah, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, 2010, Hal. 7 62

    Ibid. 63

    Ibid. 64

    Ibid.

  • 36

    Dalam hal tersebut, Pasal 19 UUPK menegaskan bahwa tanggung jawab

    produsen (pelaku usaha) muncul apabila mengalami kerugian akibat

    mengkonsumsi produk yang diperdagangkan. Kedua, Pasal 1365 KUHPerdata

    tidak mengatur jangka waktu pembayaran, sedangkan Pasal 19 UUPK

    menetapkan jangka waktu pembayaran, yaitu 7 hari.

    Pemikiran kedua yang terkandung dalam Pasal 23 UUPK adalah produsen

    tidak membayar ganti kerugian dalam batas waktu yang telah ditentukan.65

    Sikap produsen ini membuka peluang bagi konsumen untuk mengajukan

    gugatan ke Pengadilan atau penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian

    Sengketa Konsumen.

    Ketentuan lanjutan yang relevan dan signifikan dengan Pasal 23 UUPK

    adalah rumusan Pasal 28 UUPK sebagai berikut: “Pembuktian terhadap ada

    tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti kerugian sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab

    pelaku usaha” Rumusan Pasal inilah yang kemudian dikenal dengan sistem

    pembuktian terbalik.66

    Abdul Hakim Barkatullah berpendapat, bahwa rumusan Pasal 23

    memperlihatkan bahwa prinsip tanggung jawab yang juga dianut dalam UUPK

    adalah prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability

    principle). Prinsip ini merupakan salah satu modifikasi dari prinsip tanggung

    jawab berdasarkan kesalahan dengan beban pembuktian terbalik.

    65

    Ibid. 66

    Ibid.

  • 37

    Jelas, bahwa kontruksi hukum yang demikian menggambarkan adanya

    kemajuan dari sistem tanggung jawab sebelumnya, namun belum sepenuhnya

    menganut prinsip tanggung jawab mutlak sebagaimana yang secara tegas-tegas

    dirumuskan dalam beberapa hukum positif di negara lain. Hal ini tergambar

    pula dalam pendapat akhir ketika memberikan persetujuan terhadap Rancangan

    Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen (RUUPK) yang menyatakan:

    “Dalam undang-undang ini, dimasukkan pasal yang memungkinkan adanya

    pembuktian terbalik baik dalam hal pidana maupun perdata. Hal ini merupakan

    suatu terobosan baru di dunia hukum di Indonesia.”67

    Perkembangan tersebut

    menunjukkan bahwa Indonesia masih dalam tingkat modifikasi terhadap prinsip

    tanggung jawab berdasarkan kesalahan, suatu langkah di belakang prinsip

    tanggung jawab mutlak.68

    G. Bentuk Pertanggungjawaban Dalam Hukum Perlindungan Konsumen

    Adanya kerugian terhadap konsumen atas produk yang merugikan

    konsumen, maka ada upaya-upaya dari pelaku usaha untuk menentukan

    bagaimana cara-cara yang ditempuh agar dapat membuktikan bahwa barang

    dan/atau jasa mereka cacat/rusak ataupun merugikan konsumen, yaitu dasar

    pertanggungjawaban, pembuktian, dan ganti kerugian. Dengan demikian, upaya-

    upaya yang akan dilakukan pelaku usaha apabila barang dan/atau jasa

    67

    Abdul Hakim Barkatullah, Tanggung Jawab Produk Dalam Transaksi Konsumen

    Dunia Maya, Makalah, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, 2010, Hal. 8 dikutip dari

    Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Proses Pembahasan Rancangan tentang

    Perlindungan Konsumen, Sekretariat Jendral DPR RI, Jakarta, 2001, Hal. 1146 68

    Abdul Hakim Barkatullah, Tanggung Jawab Produk Dalam Transaksi Konsumen

    Dunia Maya, Makalah, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, 2010, Hal. 8 dikutip dari

    Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak,

    Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, Jakarta, 2004, Hal. 146

  • 38

    merugikan konsumen, maka pertama dari segi pertanggungjawaban, produsen

    sebagai pelaku usaha dibebani dua jenis pertanggungjawaban, yaitu:69

    1. Pertanggungjawaban Publik

    Produsen sebagai pelaku usaha mempunyai tugas dan kewajiban untuk

    ikut serta menciptakan dan menjaga iklim usaha yang sehat yang menunjang

    bagi pembangunan perekonomian nasional secara keseluruhan. Karena itu,

    kepada pelaku usaha dibebankan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan

    kewajiban itu, yaitu melalui penerapan norma-norma hukum, kepatutan, dan

    menjunjung tinggi kebiasaan yang berlaku dikalangan dunia usaha. Etika bisnis

    merupakan salah satu pedoman bagi setiap pelaku usaha. Prinsip business is

    business, tidak dapat diterapkan, tetapi harus dengan pemahaman atas prinsip

    bisnis untuk pembangunan. Jadi, sejauh mungkin pelaku usaha harus bekerja

    keras untuk menjadikan usahanya memberi kontribusi pada peningkatan

    pembangunan secara keseluruhan.

    Kewajiban pelaku usaha untuk senantiasa beritikad baik dalam melakukan

    kegiatannya berarti bahwa pelaku usaha ikut bertanggung jawab untuk

    menciptakan iklim yang sehat dalam berusaha demi menunjang pembangunan

    nasional. Jelas ini adalah tanggung jawab publik yang diemban oleh seorang

    pelaku usaha. Banyak ketentuan di dalam Undang-undang Perlindungan

    Konsumen ini yang bermaksud mengarahkan pelaku usaha untuk berprilaku

    sedemikian rupa dalam rangka menyukseskan pembangunan ekonomi nasional,

    khususnya di bidang usaha.

    69

    Janus Sidabalok, Op. Cit, hal. 93-95

  • 39

    Atas setiap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha maka kepadanya

    dikenakan sanksi-sanksi hukum, baik sanksi administratif maupun sanksi

    pidana. Beberapa perbuatan yang bertentangan dengan tujuan untuk

    menciptakan iklim usaha yang sehat dapat dikategorikan sebagai perbuatan

    kejahatan.

    Pemberian sanksi ini penting, mengingat bahwa menciptakan iklim

    berusaha yang sehat membutuhkan keseriusan dan ketegasan. Untuk itu, sanksi

    merupakan salah satu alat untuk mengembalikan keadaan pada keadaan semula

    manakala telah terjadi pelanggaran (rehabilitasi) sekaligus sebagai alat preventif

    bagi pengusaha lainnya sehingga tidak terulang lagi perbuatan yang pernah

    dilakukannya. Bentuk pertanggungjawaban administrative yang dapat dituntut

    dari produsen sebagai pelaku usaha diatur dalam pasal 60 Undang-undang

    Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu tentang

    pembayaran ganti kerugian paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta)

    rupiah terhadap pelanggaran atas ketentuan tentang kelalaian membayar ganti

    rugi kepada konsumen. Sedangkan pertanggungjawaban pidana yang

    dibebankan kepada pelaku usaha yang bersangkutan maupun pengurusnya

    dengan dipidana penjara dua sampai lima tahun dan denda paling banyak

    500.000.000,00 (lima ratus juta) rupiah. Selain pada pidana diatas dapat juga

    dikenakan hukuman tambahan, seperti perampasan barang tertentu,

    pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, dan perintah

    penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian

    konsumen.

  • 40

    2. Pertanggungjawaban Privat

    Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

    Konsumen diatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha pada pasal 19.

    Dengan ketentuan sebagai berikut: (1) pelaku usaha bertanggung jawab

    memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian

    konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau

    diperdagangkan; (2) ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa

    pengambilan uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau

    setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang

    sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku; (3)

    pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah

    tanggal transaksi; (4) pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana

    berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan; (5)

    ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku

    apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan

    kesalahan konsumen.

    Dari pasal 19 Undang-undang Perlindungan Konsumen ini terdapat dua

    golongan konsumen yang dapat dilihat dari segi ketertarikan antara pelaku

    usaha dan konsumen, yaitu tentang ada tidaknya hubungan hukum antara pelaku

    usaha dan konsumen. Kedua, golongan tersebut adalah konsumen yang

    mempunyai hubungan kontraktual dengan pelaku usaha dan konsumen yang

    tidak mempunyai hubungan kontraktual dengan pelaku usaha. Hubungan hukum

    ini telah ada terlebih dahulu antara pelaku usaha dan konsumen, yang berupa

  • 41

    hubungan kontraktual tetapi mungkin juga tidak pernah ada sebelumnya dan

    keterikatan itu mungkin justru lahir setelah peristiwa yang merugikan

    konsumen. Pada dasar hubungan kontraktual itu berbentuk hubungan/perjanjian

    jual beli, meskipun ada jenis hubungan hukum lainnya.70

    Dalam hukum, setiap tuntutan pertanggungjawaban harus mempunyai

    dasar yaitu, hal yang menyebabkan seseorang harus/wajib bertanggung jawab.

    Dasar pertanggungjawaban itu merupakan suatu kesalahan dan resiko yang ada

    dalam setiap peristiwa hukum. Keduanya menimbulkan akibat dan konsekuensi

    hukum yang lebih jauh dalam pemenuhan tanggung jawab oleh konsumen.

    Secara teori, pertanggungjawaban terkait dengan hubungan hukum yang timbul

    antara pihak yang menuntut pertanggungjawaban dengan pihak yang dituntut

    untuk bertanggung jawab.71

    H. Kedudukan Putusan Hakim Terhadap Peraturan Perundang-undangan

    Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai Pejabat

    Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan

    bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa

    antara para pihak.72

    Setelah Hakim mengetahui duduk perkara yang sebenar-

    benarnya, maka pemeriksaan terhadapa perkara dinyatakan selesai, kemudian

    dijatuhkan putusan.

    Dalam menetapkan putusan, masing-masing hakim di Indonesia memiliki

    kebebasan yang cukup untuk memutus perkara dengan dasar Undang-Undang

    yang ada. Tidak jarang hakim juga harus menyelaraskan ketentuan hukum

    70

    Ibid, hal. 101. 71

    Ibid, hal. 102 72

    Mertokusumo Soedikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta 1999,

    hal. 175

  • 42

    dalam Undang-Undang dengan kenyataan karena ketentuan hukum dalam

    Undang-Undang tersebut terkadang tidak lagi memadai atau tertinggal di

    belakang fakta hukum yang ada. 73

    Yurisprudensi berasal dari bahasa Latin “iuris prudential” yang berarti

    ilmu hukum.74

    Sedangkan dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah

    “jurisprudentie” yang berarti hukum peradilan atau peradilan tetap.75

    Istilah ini

    banyak digunakan pada negara-negara common law yang menganut mazhab

    freie rechtsbewegung dimana Hakim adalah pencipta dan bukan hanya sekedar

    corong Undang-Undang. Pada negara-negara common law, yurisprudensi adalah

    ilmu pengetahuan hukum positif dan hubungan-hubungannya dengan hukum

    lain. Namun, tidak demikian dengan negara-negara statute law / civil law yang

    banyak menganut mazhab legisme yang tidak mengakui hukum diluar Undang-

    Undang. Yurisprudensi diartikan sebagai berupa putusan-putusan hakim

    terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap dan diikuti oleh para hakim atau

    badan peradilan lain dalam memutus perkara atau kasus yang sama.76

    Sedangkan di Indonesia, meski mendapatkan pengaruh hukum colonial

    Belanda, dianut mazhab rectsvinding dimana hakim tetap harus berpegang pada

    Undang-Undang namun diberi ruang gerak untuk menyelaraskan Undang-

    Undang yang ada dengan tuntutan zaman, sehingga yuriprudensi masuk sebagai

    salah satu sumber hukum formal.

    73

    PUSLITBANG Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Kedudukan dan Relevansi

    Yurisprudesi untuk Mengurangi Disparitas Putusan Pengadilan, 2010, hal. 1 74

    Black, H.C., Black’s Law Dictionary, St. Paul, Minn: West Publishing Co. 1968 75

    Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, :

    Alumni, Bandung, 1979, hal. 56 76

    Amos Simorangkir, Analysis Of The Attitude Of The Constituents Of Indonesia Union

    College Toward The Absence Of Government Academic Recognition Of The College, University

    Microfilms International, 1978, hal. 78

  • 43

    Tata urutan sumber hukum formal di Indonesia sebagai berikut77

    :

    1. Undang-Undang;

    2. Adat Kebiasaan;

    3. Yurisprudensi

    4. Traktar;

    5. Doktrin ahli hukum.78

    Kekuasaan Kehakiman di Indonesia berdasarkan Pasal 24 Ayat (1)

    Undang-Undang Dasar Tahun 1945, merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

    menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Hakim di

    Indonesia, sebagaimana telah disebut, menganut aliran rechtsvinding dimana

    hakim diberikan keleluasaan, berdasarkan Undang-Undang, untuk

    menyelaraskan hukum yang ada dalam Undang-Undang. Hal ini untuk

    mencegah hukum tertinggal dari fenomena kemajuan zaman dimana delik atau

    peristiwa hukum yang terjadi mungkin belum diatur dalam Undang-Undang.

    Beberapa alasan pentingnya yurisprudensi, yaitu79

    :

    1. Menciptakan standar hukum;

    2. Menciptakan kesatuan landasan hukum yang sama;

    3. Menciptakan kepastian hukum;

    4. Mencegah terjadinya disparitas putusan pengadilan;

    Alasan lain pentingnya keberadaan yurisprudensi adalah bahwa

    yurisprudensi dapat menunjang pembaharuan serta pembinaan hukum.

    77

    PUSLITBANG Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Op.Cit. 78

    E. Utrecht / Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cet. ke-11,

    Jakarta, 1989, hal. 84-85. 79

    PUSLITBANG Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Op.Cit. Hal. 2

  • 44

    Meski sifat dari yurisprudensi dalam tata sumber hukum di Indonesia

    sendiri adalah “Persuasive Precedent” atau tidak mengikat hakim untuk

    menggunakan yurisprudensi untuk perkara serupa atau dapat dipersamakan

    atau diperbandingkan dengan isi yurisprudensi yang bersifat esensial dan

    yurisprudensi pada praktiknya dijadikan pedoman bagi hakim-hakim bawahan

    (Judex Factie).80

    Diharapkan dengan berpatokan pada yurisprudensi maka

    hakim tidak akan membuat putusan yang terlampau berbeda untuk suatu tindak

    perkara yang dapat dipersamakan atau diperbandingkan.

    II. Analisis

    Setelah mengetahui gambaran hasil tinjauan kepustakaan atau kajian

    literatur hukum yang membicarakan berbagai aturan hukum mengenai

    pertanggungjawaban perusahaan maskapai penerbangan terhadap bagasi

    penumpang yang hilang atau rusak pada Putusan Mahkamah Agung Republik

    Indonesia Nomor 167 K/Pdt.Sus-BPSK/2014, penulis akan menganalisis dan

    menjawab yang menjadi rumusan masalah.

    Analisis akan dibagi kedalam sub bab, posisi kasus, perlindungan konsumen

    dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung

    Jawab Pengangkut Angkutan Udara, dan kaedah hukum tanggung jawab pelaku

    usaha.

    80

    Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional,

    Suatu Uraian Tentang Landasan Pikiran, Pola, dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di

    Indonesia, Binacipta, Bandung, 1976, hal. 12.

  • 45

    1. Posisi Kasus

    Aripin Sianipar sebagai Konsumen, bertempat tinggal di Jalan Sei Serayu,

    Nomor 39, Medan. Aripin Sianipar menggunakan jasa pengangkutan udara dari

    PT. Lion Mentari Airlines, dari Jakarta menuju Medan pada tanggal 20 November

    2011 dengan menggunakan Pesawat Terbang Lion Air dengan Nomor

    Penerbangan JT 204. Saat tiba di Medan koper milik Aripin Sianipar hilang.

    Menurut keterangan bagasi tersebut berisi barang-barang berharga dengan nilai

    kurang lebih Rp.25.600.000,00 yang telah dilaporkan kepada pihak PT. Lion

    Mentari Airlines. Aripin kemudian menggugat PT. Lion Mentari Airlines, ke

    Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Medan. BPSK Kota

    Medan mengabulkan gugatan Aripin Sianipar dan menghukum PT. Lion Mentari

    Airlines membayar 60 persen dari nilai barang yang hilang dengan asumsi 40

    persen harga barang hilang karena penyusutan nilai barang.

    PT. Lion Mentari Airlines tidak terima dengan putusan BPSK Kota Medan

    tersebut, lalu mengajukan banding ke Pengadilan Negeri (PN) Medan dan kasasi.

    Pihak Lion Air berkebaratan dengan dalih berdasarkan Peraturan Menteri

    Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011, Lion Air maksimal mengganti Rp 4 juta.

    Alasan kasasi yang dilakukan oleh PT. Lion Mentari Airlines yang terdapat

    pada putusan Mahkamah Agung Nomor 167 K/Pdt.Sus-BPSK/2014 halaman ke-

    10-12 adalah sebagai berikut:

    1. Bahwa pertimbangan hukum Pengadilan Negeri Medan yang

    menyatakan tidak menerima alasan-alasan dan bukti-bukti yang diajukan

    oleh Pemohon Keberatan (PT. Lion Mentari Airlines) untuk menolak

  • 46

    tuntutan Termohon Keberatan (Aripin Sianipar) adalah alasan yang tidak

    dapat diterima dikarenakan dengan berangkatnya Termohon Keberatan

    dari Jakarta menuju Medan berarti Pemohon Keberatan telah memberi

    izin kepada Termohon Keberatan tanpa ada mencegahnya, dengan

    demikian kehilangan koper berisi barang-barang kepunyaan Termohon

    Keberatan yang dititipkan dalam bagasi Pesawat Lion JT 204 adalah

    patut menjadi tanggung jawab Pemohon Keberatan, adalah

    pertimbangan hukum yang salah dan keliru, karena Judex Facti

    (Pengadilan Negeri Medan) telah salah atau lalai dalam menerapkan

    hukum serta bukti-bukti yang terungkap di dalam persidangan. Karena

    sesuai bukti PK-1 yang dihadirkan oleh Pemohon Keberatan

    membuktikan bahwa Termohon Kasasi bukanlah merupakan penumpang

    Pemohon Kasasi karena dalam Manifest Passanger tidak ada nama

    Termohon Kasasi Aripin Sianipar, S.H.

    2. Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 243/Pdt.G/2013/PT.Mdn.,

    tanggal 13 Juni 2013, yang sekedar mengambil alih pertimbangan

    Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan Nomor

    07/Pen/BPSK-Mdn/2012 tanggal 03 April 2012 tanpa dasar dan alasan

    pengambil-alihan Putusan BPSK Kota Medan tersebut adalah dapat

    dikategorikan sebagai bentuk putusan yang kurang cukup

    dipertimbangkan (onvoldoende gemotiveerd).

    3. Judex Facti telah melanggar hukum acara khusus Sengketa Konsumen

    sebagai diatur dalam ketentuan Pasal 58 ayat (1) UUPK, karena Judex

    Facti telah memeriksa, mengadili dan memutus perkara a quo dalam

  • 47

    jangka waktu 1 (satu) tahun 1 (satu) bulan sejak diterimanya

    Permohonan Keberatan oleh Pemohon Keberatan (Pemohon Kasasi)

    pada tanggal 4 Mei 2012 pada kepaniteraan Negeri Medan dan baru

    diputuskan pada tanggal 13 Juni 2013.

    4. Putusan Judex Facti (PN Medan dan BPSK Kota Medan) yang

    menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar ganti kerugian

    kehilangan barang-barang Termohon Kasasi yaitu jumlah

    keseluruhannya sebesar Rp.25.600.000,00 (dua puluh lima juta enam

    ratus ribu rupiah) dikurangi penyusutan 40% = Rp.15.360.000,00 (lima

    belas juta tiga ratus enam puluh ribu rupiah) kepada Termohon Kasasi

    adalah bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1) huruf (a) Peraturan Menteri

    Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab

    Pengangkut Angkutan Udara.

    5. Putusan Judex Facti yang telah menghukum Pemohon Kasasi untuk

    membayar ganti kerugian kehilangan barang-barang Termohon Kasasi

    adalah salah dan keliru dalam menerapkan hukum dan perundang-

    undang yang berlaku. Karena bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1)

    Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011, juga tidak

    berdasarkan fakta hukum serta bukti-bukti yang terungkap di

    persidangan, yaitu karena Termohon Kasasi yang tidak pernah

    melaporkan adanya barang berharga pada saat check-in kepada

    Termohon Kasasi, sebab sesungguhnya Termohon Kasasi bukanlah

    penumpang dari Pemohon Kasasi.

  • 48

    Fakta hukum yang terdapat dalam kronologis diatas ialah, pertama, terbukti

    adanya kesalahan PT. Lion Mentari Airlines yang kurang hati-hati atau lalai

    dalam menjalankan atau melaksanakan kewajibannya untuk mengangkut atau

    membawa barang-barang dalam bagasi tercatat dengan aman sampai pada

    tujuannya.

    Fakta hukum yang kedua, PT. Lion Mentari Airlines terbukti mengangkut

    Aripin Sianipar selaku konsumen kedalam pesawat beserta bagasi milik Aripin

    Sianipar dari Jakarta menuju Medan. Fakta hukum yang ketiga, PT. Lion Mentari

    Airlines telah memberi izin kepada Aripin Sianipar untuk menitipkan barang

    berharganya kedalam bagasi tercatat tanpa ada usaha mencegahnya.

    Sehingga fakta hukum itulah yang dijadikan pertimbangan hukum

    Pengadilan Negeri Medan dalam memutus permohonan keberatan yang diajukan

    oleh PT. Lion Mentari Airlines. Pertimbangan hukum Pengadilan Negeri Medan

    dalam putusan halaman ke-12 alinea 7 dan halaman ke-13 yang terdapat dalam

    putusan Mahkamah Agung Nomor 167 K/Pdt.Sus-BPSK/2014 halaman ke-10

    sebagai berikut:

    Menimbang, bahwa dari dalil-dalil yang diajukan oleh

    Pemohon Keberatan dan Termohon Keberatan,

    selanjutnya dihubungkan dengan bukti-bukti yang

    diajukan oleh Pemohon Keberatan dan Termohon

    Keberatan, Pengadilan berpendapat bahwa alasan yang

    dikemukakan Pemohon Keberatan untuk menolak

    tuntutan Termohon Keberatan adalah alasan yang tidak

    dapat diterima dikarenakan dengan berangkatnya

    Termohon Keberatan dari Jakarta menuju Medan

    dengan menggunakan Pesawat Lion JT 204, berarti

    Pemohon Keberatan telah memberi izin kepada

    Termohon Keberatan tanpa ada mencegahnya, dengan

    demikian kehilangan koper yang berisi barang-barang

    kepunyaan Termohon Keberatan yang dititipkan dalam

    bagasi Pesawat Lion JT 204 adalah patut menjadi

    tanggung jawab Pemohon Keberatan

  • 49

    Selain itu Pengadilan Negeri Medan beralasan bahwa pertimbangan Majelis

    BPSK sudah tepat dan benar, maka Pengadilan mengambil alih pertimbangan

    Majelis BPSK dengan tambahan pertimbangan seperti tersebut di atas dan

    disamping itu tidak ditemukan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6

    Peraturan Mahkmah Agung Nomor 1 Tahun 2006 karena itu permohonan yang

    diajukan Pemohon Keberatan (PT. Lion Mentari Airlines (tersebut tidak beralasan

    dan haruslah dinyatakan ditolak.

    Sementara Mahkamah Agung memperkuat putusan Pengadilan Negeri

    Medan. Pendapat Mahkamah Agung terkait permohonan kasasi yang dimohonkan

    oleh PT. Lion Mentari Airlines sebagai berikut:

    Bahwa alasan-alasan kasasi tidak dapat dibenarkan

    karena meneliti dengan seksama memori kasasi

    tertanggal 2 Juli 2013 dan kontra memori kasasi

    tertanggal 27 Oktober 2013 dihubungkan dengan

    pertimbangan Judex Facti dalam hal ini pertimbangan

    Putusan Pengadilan Negeri Medan, ternyata tidak

    salah dalam menerapkan hukum dan telah memberi

    pertimbangan cukup;

    Bahwa akan tetapi alasan Pemohon Kasasi tidaklah

    dapat dibenarkan, karena senyatanya Termohon kasasi

    “diterima dan diangkut” dengan pesawat nomor

    penerbangan dimaksud oleh Pemohon Kasasi;

    Sehingga semua penumpang dan barang bawaannya

    harus menjadi tanggung jawab Pemohon Kasasi;

    Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan

    tersebut di atas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan

    Negeri Medan Nomor 243/Pdt.G/2012/PN.Mdn.,

    tanggal 13 Juni 2013 dalam perkara ini tidak

    bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang

    oleh karena itu permohonan kasasi yang diajukan oleh

    Pemohon Kasasi: PT. LION MENTARI AIRLINES,

    tersebut harus ditolak;

    Berdasarkan kronologi di atas maka secara yuridis bahwa Mahkamah Agung

    tidak menemukan kesalahan penerapan hukum oleh Pengadilan Negeri yaitu

    putusan Nomor 243/Pdt.G/2012/PN.Mdn. Oleh karenanya Mahkamah Agung

  • 50

    menolak permohonan kasasi yang dilakukan oleh PT. Lion Mentari Airlines. Hal

    ini berarti putusan oleh Pengadilan Negeri Medan yaitu putusan Nomor

    243/Pdt.G/2012/PN.Mdn dinyatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum yang

    mengikat.

    2. Perlindungan Konsumen dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77

    tahun 2011

    Dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 tahun 2011 yang

    selanjutnya disingkat Permenhu No. 77 tahun 2011, mengatur mengenai tanggung

    jawab pengangkut angkutan udara. Yang terbagi atas:

    a. Jenis Tanggung jawab

    Jenis Tanggung jawab diatur dalam Pasal 2, yang berbunyi sebagai

    berikut:

    “Pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara

    wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap:

    a. penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau

    luka-luka;

    b. hilang atau rusaknya bagasi kabin;

    c. hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat

    d. hilang, musnah, atau rusaknya kargo;

    e. keterlambatan angkutan udara; dan

    f. kerugian yang diderita oleh pihak ketiga.”

    Yang terjadi dalam kasus Aripin Sianipar ini adalah huruf C, yaitu,

    hilang, musnah atau rusaknya bagasi tercatat. Koper milik Aripin Sianipar

    yang berisi barang-barang berharga yang dititipkan dalam bagasi tercatat.

    b. Ganti Kerugian

    Ganti kerugian diatur dalam pasal 3, pasal 5, pasal 7, pasal 10, dan pasal

    14. Pasal 3 mengatur mengenai jumlah ganti kerugian terhadap penumpang

  • 51

    yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka sebagai mana yang

    dimaksud dalam pasal 2 huruf a. pasal 5 mengatur mengenai jumlah ganti

    kerugian terhadap penumpang yang mengalami kehilangan, musnah atau

    rusaknya bagasi tercatat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf c. pasal 7

    mengatur mengenai jumlah ganti kerugian terhadap kargo yang dikirim

    hilang, musnah, atau rusak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf d.

    Pasal 10 mengatur mengenai jumlah ganti kerugian untuk penumpang

    atas keterlambatan penerbangan. Dan pasal 14 mengatur mengenai jumlah

    ganti kerugian untuk pihak ketiga yang meninggal dunia, cacat tetap, luka-

    luka dan kerugian harta benda sebagai akibat dari peristiwa pengoperasian

    pesawat udara, kecelakaan pesawat udara atau jatuhnya benda-benda dari

    pesawat udara yang dioperasikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf

    f.

    Dalam kasus Aripin Sianipar mengunakan Pasal 5. Menurut Pasal 5

    Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 tahun 2011 jumlah ganti kerugian

    terhadap penumpang yang mengalami kehilangan, musnah atau rusaknya

    bagasi tercatat, ditetapkan sebagai berikut:

    kehilangan bagasi tercatat atau isi bagasi tercatat atau

    bagasi tercatat musnah diberikan ganti kerugian

    sebesar Rp.200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per kg

    dan paling banyak Rp.4.000.000,00 (empat juta rupiah)

    per penumpang; dan kerusakan bagasi tercatat,

    diberikan ganti kerugian sesuai jenisnya bentuk,

    ukuran dan merk bagasi tercatat.

    Jika mengikuti Pasal 5 Permenhub tersebut, ganti kerugian yang

    ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Medan yang diperkuat oleh Mahkamah

    Agung memang tidak sesuai, karena pada putusannya menghukum pelaku

  • 52

    usaha dalam hal ini PT. Lion Mentari Airlines ganti rugi sebesar

    Rp.25.600.000,00 (dua puluh lima juta enam ratus ribu rupiah) dikurang

    penyusutan 40% = Rp.15.360.000,00 (lima belas juta tiga ratus enam puluh

    ribu rupiah).

    Akan tetapi dalam Pasal 6 ayat (1) Permenhub tersebut menyatakan

    sebagai berikut:

    Pengangkut dibebaskan dari tuntutan ganti kerugian

    terhadap hilangnya barang berharga atau barang yang

    berharga milik penumpang yang disimpan di dalam

    bagasi tercatat, kecuali pada saat pelaporan

    keberangkatan (check-in), penumpang telah

    menyatakan dan menunjukkan bahwa didalam bagasi

    tercatat terdapat barang berharga atau barang yang

    berharga, dan pengangkut setuju untuk

    mengangkutnya.

    Dengan menggunakan pasal tersebut diatas penulis berpendapat bahwa

    putusan Mahkamah Agung tersebut sudah tepat karena melihat fakta hukum

    yang ada dalam persidangan di BPSK bahwa PT. Lion Mentari Airlines tidak

    dapat membuktikan dengan bukti tertulis atau saksi bahwa pihaknya tidak

    menyetujui mengangkut bagasi milik Aripin Sianipar, melainkan setuju untuk

    mengangkut bagasi yang berisi barang berharga ke bagasi tercatat.

    Dengan adanya putusan dan pasal 6 ayat (1) tersebut membuktikan

    bahwa prinsip tanggung jawab mutlak dapat diterapkan dalam kasus seperti

    ini. Karena penerapan prinsip ini didasarkan pada alasan bahwa konsumen

    tidak dapat berbuat banyak untuk memproteksi diri dari resiko kerugian yang

    disebabkan oleh produk cacat.81

    81

    Zulham, Op.cit., Hal.99

  • 53

    3. Kaedah Hukum Tanggung Jawab Pelaku Usaha

    KUHPerdata dan KUHD memuat berbagai kaidah hukum berkaitan dengan

    hubungan-hubungan hukum dan masalah-masalah antar pelaku usaha, penyedia

    jasa dengan konsumen. Terutama buku kedua, buku ketiga dan buku keempat

    memuat berbagai kaedah-kaedah hukum yang mengatur hubungan konsumen dan

    penyedia barang atau jasa konsumen tersebut. Begitu pula dalam KUHD, baik

    buku pertama maupun buku kedua mengatur tentang hak-hak dan kewajiban,

    khususnya (jasa) perasuransian dan pelayaran.82

    Mengenai dasar Hukum Perlindungan Konsumen dalam KUHPerdata diatur

    dakam Buku ke Tiga tentang perikatan dan Pasal 1234 yang berbunyi: “Tiap-tiap

    Perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk

    tidak berbuat sesuatu”

    Hubungan konsumen ini juga dapat dilihat pada ketentuan pasal 1313

    sampai pasal 1351 KUHPerdata. Pasal 1313 mengatur hubungan hukum secara

    sukarela diantara konsumen dan produsen, dengan mengadakan suatu perjanjian

    tertentu. Hubungan hukum ini menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-

    masing pihak. Perikatan karena Undang-undang atau akibat sesuatu perbuatan

    menimbulkan hak dan kewajiban tertentu bagi masing-masing pihak.83

    Selanjutnya diantara perikatan yang lahir karena Undang-undang.

    Kaedah hukum tanggung jawab pelaku usaha terdapat dalam Undang-

    Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya

    disingkat UUPK, diatur mengenai pertanggungjawaban pelaku usaha, pada Bab

    VI dengan judul Tanggung Jawab Pelaku Usaha, Pasal 19.

    82

    Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Cetakan Kedua,

    Diadit Media, Jakarta, 2006. Hal. 52 83

    Pasal 1352 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

  • 54

    Pasal 19 menentukan:

    “(1) Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan

    ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau

    kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang

    dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

    (2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian

    barang dan/atau jasa sejenis atau setara nilainya, atau

    perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan

    yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

    undangan yang berlaku.

    (3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

    (4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan

    adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih

    lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

    (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat

    membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan

    kesalahan konsumen.”

    Jika mengacu Pasal 19 ayat (1) pada hakikatnya pelaku usaha dalam hal

    ini PT. Lion Mentari Airlines wajib mengganti kerugian atas hilangnya bagasi

    milik penumpang akibat menggunakan jasa penerbangan yang disediakan oleh

    PT. Lion Mentari Airlines.

    Menurut prinsip tanggung jawab mutlak, pelaku usaha wajib

    bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen. Apabila dikaitkan

    dengan kasus, PT. Lion Mentari Airlines dihukum untuk bertanggung jawab

    dengan membayar ganti kerugian sebesar Rp.25.600.000,00 (dua puluh lima

    juta enam ratus ribu rupiah) dikurang penyusutan 40% = Rp.15.360.000,00

    (lima belas juta tiga ratus enam puluh ribu rupiah) dengan mengacu Pasal 19

    ayat (2) yaitu dengan cara pengembalian uang. Ini membuktikan bahwa Pasal

    19 UUPK tersebut diatas menggunakan prinsip tanggung jawab mutlak.

  • 55

    Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah mengenai besaran ganti

    kerugian yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Medan yang telah dikuatkan

    oleh Mahkamah Agung. Pasal 19 ayat (2) yang menyatakan ganti rugi dapat

    berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa sejenis atau

    setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan yang

    sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila

    dikaitkan dengan kasus, ganti rugi yang dilakukan adalah dengan penggantian

    uang sebesar Rp.25.600.000,00 (dua puluh lima juta enam ratus ribu rupiah)

    dikurang penyusutan 40% = Rp.15.360.000,00 (lima belas juta tiga ratus enam

    puluh ribu rupiah).

    Dalam kasus ini ketentuan peraturan perundang-undang yang berlaku

    yang dimaksud adalah Pasal 144 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009

    tentang Penerbangan mengatur bahwa pengangkut bertanggung jawab atas

    kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah,

    atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi

    tercatat berada dalam pengawasan pengangkut. Penulis berpendapat yang

    dimaksud dalam pengawasan pengangkut adalah sejak barang diterima

    pengangkut pada saat pelaporan (check-in) sampai dengan barang tersebut

    diambil oleh penumpang.

    Permenhub No. 77 tahun 2011 yang merupakan peraturan pelaksana dari

    Undang-Undang Penerbangan Pasal 5 Permenhub No. 77 tahun 2011 tersebut

    mengatur mengenai jumlah ganti kerugian terhadap penumpang yang

    mengalami kehilangan, musnah atau rusaknya bagasi tercatat sebesar

    Rp.200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per kg dan paling banyak

  • 56

    Rp.4.000.000,00 (empat juta rupiah) per penumpang. Sedangkan Mahkamah

    Agung menghukum PT. Lion Mentari Airlines ganti rugi sebesar

    Rp.25.600.000,00 (dua puluh lima juta enam ratus ribu rupiah) dikurang

    penyusutan 40% = Rp.15.360.000,00 (lima belas juta tiga ratus enam puluh

    ribu rupiah).

    Pasal 6 ayat (1) Permenhub 77 tahun 2011 menyebutkan bahwa

    Pengangkut dibebaskan dari tuntutan ganti kerugian terhadap hilangnya

    barang berharga atau barang yang berharga milik penumpang yang disimpan

    di dalam bagasi tercatat, kecuali pada saat pelaporan keberangkatan (check-

    in), penumpang telah menyatakan dan menunjukkan bahwa didalam bagasi

    tercatat terdapat barang berharga atau barang yang berharga, dan pengangkut

    setuju untuk mengangkutnya.

    Apabila ketentuan pasal 6 ayat (1) dikaitkan dengan kasus, PT. Lion

    Mentari Airlines diwajibkan mengganti kerugian terhadap hilangnya barang

    berharga milik Aripin Sianipar yang disimpan dalam bagasi tercatat, karena

    PT. Lion Mentari Airlines tidak dapat membuktikan bahwa pihaknya tidak

    menyetujui untuk mengangkut bagasi tercatat tersebut. Ini membuktikan

    bahwa dalam hal ini Mahkamah Agung bertentangan dengan pasal 5

    Permenhub 77 tahun 2011 akan tetapi berpedoman pada pasal 19 ayat (2)

    Undang-Undang Perlindungan Konsumen.