BAB II PEMBAHASAN A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Perkawinan...
Transcript of BAB II PEMBAHASAN A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Perkawinan...
16
BAB II
PEMBAHASAN
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Perkawinan Dalam Hukum Islam
A. Pengertian Perkawinan
Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua
makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah
suatu cara yang dipilih Allah Swt, sebagai jalan bagi makluk-Nya untuk
berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.1
Nikah, menurut bahasa: al-jam’u dan al-dhamu yang artinya kumpul.2
Makna nikah (Zawaj) bisa diartikan dengna aqdu al-tazwij yang artinya akad
nikah. Juga bisa diartikan (wath’u al-zaujah) bermakna menyetubuhi isteri.
Definisi yang hampir sama dengna diatas juga dikemukakan oleh Rahmat Hakim,
bahwa kata nikah berasal dari bahasa Arab “nikahun” yang merupakan masdar
atau asal kata kerja (fi’il madhi) “nikah”, sinonimnya “tazawwaja” kemudian
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia perkawina. Kata nikah sering juga
dipergunkan sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia.3
Dalam bahasa Indonesia, Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang
menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis. Melakukan
1 Tihami, Sohari Sahrani, FIKIH MUNAKHAT Kajian fikih Nikah Lengkap, cet. 4, edisi 1, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, h. 6 2 Ibid, h. 7 3 Ibid.
17
hubungan atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari
kata nikkah (نكاح) yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling
memasukkan, dan digunkaan untuk arti bersetubuh (wati). Kata “nikah” sendiri
sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.4
Menurut istilah Hukum Islam, terdapat beberapa definisi, diantaranya :5
الزواشرعاهوعقدوضعه الشارع ليفيدملك استمتاع الرخل بالمرأةوحل استمتاع
المرأةبالرجل
Artinya :
Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk
membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan
menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.
Abu Yahya Zakariaya Al-Anshary mendefinisikan :6
شرعاهوعقديتضمن اباحةوطئبلفظ انكاح أونحوهالنكا ح
Artinya :
Nikah menurut istilah syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan
hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata
yang semakna dengannya.
Pengertian-pengertian diatas tampaknya dibuat hanya melihat dari satu
segi saja, yaitu kebolehan hukum dalam hubungan antara seorang laki-laki dengan
seorang wanita yang semula dilarang menjadi dibolehkan. Padahal setiap
perbuatan hukum itu mempunyai tujuan dan akibat ataupun pengaruhnya. Hal-hal
inilah yang menjadi perhatian manusia pada umumnya dalam kehidupannya
sehari-hari, seperti terjadinya perceraian, kurang adanya keseimbangan antara
4 Abdul Rahman Ghozali, FIQH MUNAKAHAT, cet. Ke-4, edisi 1, Kencana, Jakarta, 2010, h. 7 5 Ibid, h. 8 6 Ibid.
18
suami istri, sehingga memerlukan penegasan arti perkawinan, bukan saja dari segi
kebolehan hubungan seksual tetapi juga dari segi tujuan dan akibat hukumnya.
Muhammad Abu Israh memberikan definisi yang lebih luas, yaitu :7
عقديفيدحل العشرةنين الرجل والمراةوتعاونهماويهدمالكيهمامن حقوق وماعليه
من واجبات
Artinya :
Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mangadakan hubungan
keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong
dan memberikan batasan hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi
masing-masing.
Dari penegertian ini perkawinan mengandung aspek akibat hukum,
melangsungkan perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta
bertujuan mengadakan hubungna pergaulan yang dilandasi tolong menolong.
Karena perkawinan termasuk pelaksanaan agama, maka di dalamnya terkandung
tujuan atau maksud mengaharapkan keridhaan Allah Swt.
B. Dasar Hukum Perkawinan
Hukum nikah (perkawinan), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara
manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis
antar sejenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat
perkawinan tersebut.
Perkawinan adalah sunatullah, perkawinan dilakukan oleh manusia,
hewan, bahkan tumbuh-tumbuhan. Karena segala sesuatu kebanyakan terdiri dari
dua pasang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Allah Swt dalam Al-qur’an, yaitu :
شىءخلقنازوجين لعلكم تذكرونومن كل
7 Ibid, h. 9
19
Artinya :
Dan segala kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat
akan kebesaran Allah.
Perkawinan pada dasarnya adalah mubah tergantung pada tingkat
maslahatnya, oleh karena itu tingkat kemaslahatannya dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu :8
1) Maslahat yang diwajibkan oleh Allah Swt bagi hamba-Nya. Maslahat yang
paling utama adalah maslahat yang pada dirinya tekandung kemuliaan,
dapat menghilangkan mafsadah paling buruk, dan dapat mendatangkan
kemaslahatan yang paling besar, kemaslahatan jenis ini wajib dikerjakan.
2) Maslahat yang disunnahkan oleh syari’ kepada hamba-Nya demi untuk
kebaikannya, maslahat sunnah akan sampai pada tingkat maslahat yang
ringan yang mendekati maslahat mubah.
3) Maslahat mubah. Bahkan dalam perkara mubah tidak terlepas dari
kandungan nilai maslahat atau penolak terhadap mafsada.
Dalam taklif larangan, kemaslahatannya adalah menolak kemafsadatan
dan mencegah kemadaratan. Disini perbedaan tingkatan larangan sesuai dengan
kadar kemampuan merusak dan dampak negatif yang ditimbulkannya. Kerusakan
yang ditimbulkan perkara haram tentu lebih besar dibandingkan kerusakan pada
perkara makruh. Oleh karena itu, meskipun perkawinan itu asalnya adalah mubah,
namun dapat berubah menurut akhamal-khamsah, menurut perubahan keadaan : 9
1) Nikah Wajib, nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang akan
menambah takwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah mampu, yang
akan menjaga jiwa dan menyelamatkan dari perbuatan haram. Kewajiban
ini tidak akan dapat terlaksanakan kecuali dengan nikah.
2) Nikah Haram. Nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya
tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga melaksanakan
kewajiban lahir seperti nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan keawajiban
batin seperti mencampuri istri.
8 Tihami, Sohai Sahrani, Loc.Cit h. 9-10 9 Ibid, h. 11
20
3) Nikah Sunnah. Nikah disunnahkan bagi orang-orang yang sudah mampu
tetapi ia sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram, dalam hal
seperti ini maka nikah lebih dari pada membujang karena membujang
tidak diajarkan oleh Islam.
4) Nikah Mubah, yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah dan
dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia belum wajib nikah
dan tidak haram bila tidak nikah.
Dari uraian diatas menggambarkan bahwa dasar perkawinan, menurut
Islam pada dasarnya bisa wajib, haram, sunnah, dan mubah tergantung dengan
maslahat atau mafsadah.
C. Rukun Dan Syarat Perkawinan
Rukun, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya
sesuatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan
itu, seperti adanya calon pengantin laki-laki atau perempuan dalam perkawinan.
Syarat, yaitu sesuatu yang mesti ada menentukan sah dan tidaknya sesuatu
pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan
itu, seperti calon pengantin laki-laki atau perempuan itu harus beragama islam,
menurut agama islam.
Sah, yaitu suatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.10
Pernikahan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad lain yang
memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan akad.
Adapun rukun nikah adalah :11
1) Mempelai laki-laki.
2) Mempelai perempuan.
10 Ibid, h. 12 11 Ibid.
21
3) Wali.
4) Dua orang saksi.
5) Shigat ijab kabul.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat yang
bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu :12
1) Syarat-syarat Suami
a. Bukan mahram dari calon istri.
b. Tidak terpaksa atas kemaun sendiri.
c. Orangnya tertentu, jelas orangnya.
d. Tidak sedang ihram
2) Syarat-syarat Istri
a. Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram,
tidak sedang dalam iddah.
b. Merdeka, atas kemauan sendiri.
c. Jelas orangnya.
d. Tidak sedang berihram.
3) Syarat-Syarat Wali
a. Laki-laki.
b. Baligh.
c. Waras akalnya.
d. Tidak dipaksa.
e. Adil.
f. Tidak sedang ihram.
12 Ibid, h. 13
22
4) Syarat-Syarat Saksi
a. Laki-laki.
b. Baligh.
c. Waras akalnya.
d. Adil.
e. Dapat mendengar dan melihat.
f. Bebas, tidak dipaksa.
g. Tidak sedang mengerjakan ihram.
h. Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab kabul.
Dari uraian di atas menjelaskan bahwa akad nikah atau perkawinan yang
tidak dapat memenuhi syarat dan rukunya menjadikan perkawinan tersebut
tidak sah menurut hukum.
D. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan menurut agama islam ialah untuk memenuhi petunjuk
agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahterah dan bahagia.
Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga. Sejahterah
artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan
hidup lahir dan batinnya. Sehingga timbullah kebahagian, yakni kasih sayang
antara anggota keluarga.
23
Imam Al-Ghazali dalam Ihyanya tentang faedah melangsungkan
perkawinan, maka tujuan perkawinan itu dapat dikembangkan menjadi lima, yaitu
:13
1) Mendapatkan Dan Melangsungkan Keturunan
Seperti telah diungkapkan di muka bahwa naluri manusia mempunyai
kecenderungan untuk mempunyai keturunan yang sah keabsahan anak keturunan
yang diakui oleh dirinya sendiri, masyarakat, negara dan kebenaran keyakinan
agama islam memberikan jalan untuk itu. Agama memberikan jalan hidup
manusia agar hidup bahagia di dunia dan akhirat. Kebahagan dunia dan akhirat
dicapai dengan hidup berbakti kepada Tuhan secara sendiri-sendiri, berkeluarga
dan bermasyarakat. Kehidupan keluarga bahagia, umumnya antara lain
ditentukan oleh kehadiran anak-anak. Anak merupakan buah hati dan belahan
jiwa. Banyak hidup rumah tangga kandas karena tidak dapat karunia anak.
Al-Qur’an juga menganjurkan agar manusia selalu berdo’a agar dianugrahi
putra yang menjadi mutiara dari istrinya, sebagaimana tercantum dalam surat Al-
Furqan ayat 74 :
والذين يقون ربناهب لنامن أزواجناوذرياتناقرةأعين
Artinya :
Dan orang-orang yang berkata : ya tuhan kami, anugrahkanlah kepada
kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami).
Anak sebagai keturunan bukan saja menjadi buah hati, tetapi juga sebagai
pembantu-pembantu dalam hidup di dunia, bahkan memberikan tambahan amal
13 Abdul Rahman Ghozali, Loc.Cit, h. 24
24
kebajikan di akhirat nanti, manakala dapat di didiknya menjadi anak yang shaleh,
sebagai sabda Nabi SAW.
اذا مات االنسان انقطع عمله اال من ثالث: صدقةخارية أوعلم ينتفع به او
ولدصالح يدعوله
Artinya :
Apabila manusia meninggal dunia maka putuslah amalnya kecuali tiga hal
: Shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak yang shaleh yang selalu
mendo’akannya.
2) Memenuhi Hajat Manusia Untuk Menyalurkan Syahwatnya
Dan Menumpahkan Kasih Sayang
Sudah menjadi kodrat iradah Allah SWT, manusia diciptakan berjodoh-
jodoh dan diciptakan oleh Allah SWT mempunyai keinginan untuk berhubungan
antara pria dan perempuan. Oleh Al-Qur’an dilukiskan bahwa pria dan wanita
bagaikan pakaian, artinya yang satu memerlukan yang lain, sebagaimana tersebut
pada surat Al-Baqarah ayat 187 yang menyatakan :
أحل لكم ليلة الصيام الرفث الى نسانكم هن لباس لكم وأنتم لناس لهن
Artinya :
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
istri-istri kamu, mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun pakain bagi
mereka.
Disamping perkawinan untuk pengaturan naluri seksual juga untuk
menyalurkan cinta dan kasih sayang di kalangan pria dan wanita secara harmonis
dan bertanggung jawab.
Penyaluran cinta dan kasih sayang di luar perkawinan tidak akan
menghasilkan keharmonisan dan tanggung jawab yang layak, karena didasarkan
25
atas kebebasan yang tidak terikat oleh satu norma. Satu-satunya norma ialah yang
ada pada dirinya masing-masing, sedangkan masing-masing orang mempunyai
keabasan. Perkawinan mengikat adanya kebebasaan menumpahkan cinta dan
kasih sayang secara harmonis dan bertanggun jawab melaksanakan
kewajibannya.
3) Memelihara Diri Dari Kejahatan Dan Kerusakan
Ketenangan hidup dan cinta serta kasih sayang keluarga dapat ditunjukkan
melalui perkawinan. Orang-orang yang tidak melakukan penyalurannya dengan
perkawinan akan mengalami ketidak wajaran dan dapat menimbulkan kerusakan,
entah kerusakan dirinya sendiri ataupun orang lain bahkan masyarakat, karena
manusia mempunyai nafsu, sedangkan nafsu itu condong untuk mengajak kepada
perbuatan yang tidak baik.
Dorongan nafsu yang utama ialah nafsu seksual, karenanya perlulah
menyalurkan dengan biak, yakni perkawinan. Perkawinan dapat mengurangi
dorongan yang kuat atau daapat mengembalikan gejolak nafsu seksual. Seperti
tersebut dalam hadist Nabi SAW :
فانه أغض للبصروأحصن للفرج
Artinya :
Sesungguhnya perkawinan itu dapat mengurangi liarnya pandangan dan
dapat menjaga kehormatan.
26
4) Menumbuhkan Kesungguhan Untuk Bertanggung Jawab
Menerima Hak Serta Kewajiban, Juga Bersungguh-Sungguh
Untuk Memperoleh Kekayaan Yang Halal
Hidup sehari-hari menunjukkan bahwa orang-orang yang belum
berkeluarga tindakkannya sering masih dipengaruhi oleh emosinya sehingga
kurang mantap dan kurang bertanggung jawab. Kita lihat sopir yang sudah
berkeluarga dalam cara mengendalikan kendaraannya lebih tertib, para pekerja
yang sudah berkeluarga lebih rajin dibandingkan dengan para pekerja bujungan.
Demikian pula dalam menggunakan hartanya, orang-orang yang telah
berkeluarga lebih efektif dan hemat, karena mengingat kebutuhan keluarga
dirumah. Jarang pemuda-pemudi yang belum berkeluarga memikirkan hari
depannya, mereka berpikir untuk hari ini, barulah setelah mereka kawin,
memikirkan bagaimana caranya mendapatkan bekal untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya. Demikian pula calon ibu setelah memasuki jenjang perkawinan
mengetahui bagaimana cara penggunaan uang agar dapat untuk mencukupi
kebutuhan rumah tangganya. Rasa tanggung jawab akan kebutuhan itu
mendorong semangat untuk mencari rezeki sebagia bekal hidup keluarga dan
hidupnya tidak hanya untuk dirinya, tetapi untuk diri dan keluarganya.
Suami istri yang perkawinannya didasarkan pada pengalaman agama, jerih
payah dalam usahnya dan upayanya mencari keperluan hidupnya dan keluarga
yang dibinanya dapat digolongkan ibadah dalam arti luas. Dengan demikian,
melalui rumah tangga dapat ditimbulkan gairah bekerja dan bertanggung jawab
serta berusaha mencari harta yang halal.
27
5) Membangun Rumah Tangga Untuk Membentuk Masyarakat
Yang Tentram Atas Dasar Kasih Sayang
Suatu kenyataan bahwa manusia di dunia tidaklah berdiri sendiri
melainkan bermasyarakat yang terdiri dari unit-unit yang terkecil yaitu keluarga
yang terbentuk melalui perkawinan. Dalam hidup manusia memerlukan
ketenangan dan ketentraman hidup. Ketentraman untuk mencapai kebahagian.
Kebahagian masyarakat dapat dicapai dengan adanya ketenagan dan ketentraman
anggota keluarga dalam keluarganya.
Keluarga merupakan bagian masyarakat menjadi faktor terpenting dalam
penentuan ketenangan dan ketentraman masyarakat. Ketenangan dan ketentraman
kelaurga tergantung dari keberhasilan pembinaan yang harmonis antara suami
istri dalam satu rumah tangga. Keharmonisan diciptakan oleh adanya kesadaran
anggota kelaurga dalam menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban. Allah
menjadikan unit keluarga yang dibina dengan perkawinan antara suami istri
dalam membentuk ketenangan dan ketentraman serta mengembangkan cinta dan
kasih saying sesama warganya. Demikian diungakapkan dalam Al-Qru’an surat
Ar-Rum ayat 21 :
سكنوااليهاوجعل بينكم ومنءاياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لت
مودةورحمةان فى ذلك ألياتلقوم يتفكرون
Artinya :
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram
kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir.
28
Perkawinan juga bertujuan untuk menata keluarga sebagai subjek untuk
membiasakan pengalaman-pengalaman ajaran agama. Fungsi keluarga menjadi
pelaksana pendidikan yang paling menentukan. Sebab keluarga salah satu di
antara lembaga pendidikan informal, ibu-bapak yang dikenal mula pertama oleh
putra-putrinya dengan segala perlakuan yang diterima dan dirasakannya, dapat
menjadi dasar pertumbuhan pribadi atau kepribadian sang putra-putri itu sendiri.
Perkawinan juga bertujuan untuk membentuk perjanjian (suci) antara
seorang pria dan seorang wanita, yang mempunyai segi-segi perdata di antaranya
adalah, a. Kesukarelaan, b. persetujuan kedua belah pihak, c. Kebebasan memilih,
d. Darurat.14
Allah Berfirman dalam surat Al-Rum ayat 21 :
ومنءايته أن خلق لكم من أنفسكم أزوجالتسكنوأاليهاوجعل بينكم مودةورمحة
انفى ذلك أليت لقوم يتفكرون
Artinya :
Dan di antara tanda-tanda kekuasa-Nya ialah menciptakan untuk mu istri-
istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya,
dan jadikan-Nya di antara mu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berpikir.
Menurut ayat tersebut, keluarga Islam terbentuk dalam keterpaduan antara
ketentraman (sakinah), penuh rasa cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahma).
Ia terdiri dari istri yang patuh dan setia, suami yang jujur dan tulus, ayah yang
penuh kasih sayang dan ramah, ibu yang lembut dan berprasaan halus, putra-putri
yang patuh dan taat serta kerabat yang saling membina silaturrahmi dan tolong-
14 Tihami, Sohari Sahrani, FIKIH MUNAKHAT Kajian fikih Nikah Lengkap, cet. 4, edisi 1, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, h. 16
29
menolong. Hal ini dapat tercipta bila masing-masing anggota keluarga tersebut
mengetahui hak dan kewajibannya.
2. Tinjauan Umum Tentang Poligami
A. Pengertian Poligami
Kata “Poligami” berasal dari bahasa Yunani “polus” yang artinya banyak
dan “gamein” yang artinya kawin banyak atau suami beristri banyak pada saat
yang sama. Dalam bahsa Arab, Poligami disebut dengan ta’did al-zawjah
(berbilangangnya pasangan), sedangkan dalam bahas Indonesia disebut
permaduan.15 Jadi, poligami itu artinya beristri banyak. Secara terminologi,
poligami yaitu “seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri”. Atau, “seorang
laki-laki beristri lebih dai seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang”.16
Sistem perkawinan bahwa seorang laki-laki mempunyai lebih seorang istri
dalam waktu yang bersamaan, atau seorang perempuan mempunyai suami lebih
dari seorang dalam waktu yang bersamaan, pada dasarnya disebut poligami.
Pengertian poligami, menurut bahsa Indonesia, adalah sistem perkawinan yang
salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang
bersamaan.
Para ahli membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang mempunyai
lebih dari seorang istri dengan istilah poligini yang berasal dari kata “polus”
berarti banyak dan “gune” berarti perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang
15 Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Dalam Hukum Islam dan Undang-Undang (Perspektif Fiqh Munakahat dan UU No. 1/1974 tentang Poligami dan Problematikanya) Cet. 1 Pustaka Setia, Bandung, 2009, h. 37. 16 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Cet. Ke-4, Kencana, Jakarta, 2010, h. 129.
30
mempunyai leih dari seorang suami disebut poliandri yang berasal dari kata
“polus” yang berarti banyak dan “andros” berarti laki-laki.17
Jadi, kata yang tepat bagi serorang laki-laki yang mempunyai istri lebih
dari seorang dalam waktu yang bersamaan adalah poligini bukan poligami.
Meskipun demikian, dalam perkataan sehari-hari yang dimaksud dengan poligami
itu adalah perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan
dalam waktu yang bersamaan. Yang dimaksud poligini itu, menurut masyarakat
umum adalah poligami.
Menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat
pada Pasal 3-5, poligami dapat diartikan sebagai perkawinan, seorang suami
dengan lebih dari seorang wanita. Dalam bahasa lain, poligami artinya suami yang
istrinya lebih dari satu. Memadu, nyandung atau ngawayuh.18
Dalam Islam, desfinisi Poligami terdapat pada Al-Qur’an Surat an-Nisa
ayat 3 :19
وان خفتم اال تقسطوافئ اليتمئ فا نكحواماطابلكم من النساءمثنى وثلث وربع
فان خفتم االتعدلوافواحدةاوماملكت ايمانكم ذلك ادنى االتعولوا
Artinya :
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan
(lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak
akan mampu berlaku adil, maka (nikahi) seorang saja, atau hamba sahaya
perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak
berbuat zalim.”
17 Zakiah Darajat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1985, h. 17 18 Beni Ahmad Saebani, Op.Cit. h. 35-36 19 Ibid, h.40-41
31
Ayat tersebut, memberikan pilihan kepada kaum laki-laki untuk menikahi
anak yatim dengan rasa takut tidak berlaku adil karena keyatimannya atau
menikahi perempuan yang disenangi hingga jumlahnya empat istri. Dalam ayat
diatas, memperbolehkan seseorang untuk menikah satu, dua, sampai empat
wanita, dengan syarat di mampu untuk berlaku adil. Apabila kawin lebih dari
empat, melebihi batas jumlah itu akan mendatangkan aniaya. Karena melampui
batas kemampuan, maka ia akan terseret melakukan kezaliman (aniaya), baik
terhadap dirinya sendiri maupun terhadap istri-istrinya.20
Sebenarmya Islam tidak memulai poligami, tidak memerintahkan dan juga
tidak menganjurkan poligami. Islam hanya memperbolehkan poligami atau
mubah, dan keadaan tertentu, dengan syarat-syarat teruma adil dan mampu.
B. Dasar Hukum Poligami
Dasar Hukum adanya poligami bagi umat Islam, terdapat pada Al-Qur’an
An-Nisa’ ayat 3 :
وان خفتم اال تقسطوافى اليتمى فانكحو اماطاب لكم من النساء مثنى وثلث وربع
تعدلوافواحدة اوماملكت ايمانكم ذلك ادنى االتعولوا فان خفتم اال
Artinya :
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan
(lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak
akan mampu berlaku adil, maka (nikahi) seorang saja. Atau hamba sahaya
perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat agar kamu
tidak berbuat zalim.”
Ayat di atas menunjukkan bolehnya seorang laki-lai beristri empat orang
wanita dalam waktu yang bersamaan. Penegasan ini dinyatakan dalam bentuk
20 Abdul Rahman Ghozali, Op.Cit, h. 140
32
perintah. Akan tetapi, perintah pada ayat di atas hukumnya mubah atau
dibolehkan. Dengan demikian, meskipun dalam surat An-Nisa ayat 3 disebutkan
kalimat “fankihu” kalimat amr tersebut berfaidah pada mubah, bukan wajib.21
Allah SWT, mewajibkan kepada semua laki-laki yang poligami untuk
berlaku adil, terutama dalam hal melakukan pembagian nafkah lahir maupun
batin. Tidak di benarkan menzalimi istri lain dengan hanya cenderung kepada
salah satu istrinya saja. Karena “hak perempuan yang sesungguhnya adalah tidak
dimadu”. Akan tetapi, poligami adalah untuk menghindarkan kaum laki-laki
melakukan perzinahan dan melatih menjadi pemimpin yang adil dalam kehidupan
dan pengelolaan keluarga dan rumah tangganya. Keadilan terhadap istri-istri
adalah barometer pertama pemimpin yang akan berlaku adil atas rakyatnya.
Perintah berelaku adil bagi suami yang berpoligami dijelaskan dalam Al-
Qur’an surat An-Nisa’ ayat 129 :
ن تعدلوا بين النساءولوحرصتم فالتميلواكلل الميل ولن تستطيعواا
فتذروهاكالمعلقة وان تصلحواوتتقوافاناهلل كانغفورارحيما
Artinya :
“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu),
walaupun kamu sangat ingin demikian, karena itu janganlah kamu cenderung
(kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.
Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan),
maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha penyayang.”
Ayat tersebut menegaskan bahwa keadilan tidak mungkin dapat dicapai
jika berkaitan dengan perasaan atau hati dan emosi cinta. Keadilan yang harus
dicapai adalah keadilan materiel semata-mata, sehingga seorang suami yang
21 Beni Ahmad Saebani, Loc.Cit h. 37
33
poligami harus menjamin kesejahteraan istri-istirnya dan mengatur waktu giliran
secara adil.
Sayyid Sabiq (198:172) mengatakan bahwa surat An-Nisa’ ayat 129
meniadakan kesanggupan berlaku adil kepada sesama istri, sedangkan ayat
sebelumnya (An-Nisa’ ayat 3) memerintahkan berlaku adil, sehingga seolah-olah
ayat tersebut bertentangan satu sama lainnya. Kedua ayat tersebut menyuruh
berlaku adil dalam hal pengaturan nafkah keluarga, pengaturan kehidupan
sandang, pangan, dan papan sehingga bagi suami yang poligami tidak perlu
memaksakan diri untuk berlaku adil dalam soal perasaan, cinta, dan kasih sayang
karena semua itu di luar kemampuan manusia.
Keadilan dalam poligami sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an adalah
keadilan dalam materi atau lahiriah, karena hal tersebut dapat dikelola dengan
baik dan normal oleh seorang suami yang poligami, seperti pengaturan nafkah
lahiriah, yakni kebutuhan sandang, pangan, papan, dan sejenis lainnya, termasuk
pengaturan waktu gilir. Dengan demikian, keadilan yang dimaksud adalah
menjalankan keseimbangan pembagian kebutuhan materiel dan spiritualnya,
lahiriah dan nafkah batiniah (kebutuhan seksual).22
Dua surat yang terdapat dalam Al-Qur’an, surat An-Nisa’ ayat 3 dan ayat
129 adalah dasar hukum poligami dan prinsip keadilan yang harus dijadikan tolak
ukurnya. Bentuk perilaku keadilan yang dapat diwujudkan dalam kehidupan
keluarga seahari-hari, bukan keadilan yang berkaitan dengan kecenderungan
perasaan dan kecenderungan cinta di antara manusia karena semua yang berkaitan
dengan rasa tersebut berada diluar kemampuan manusia. Sebagaimana M. Thalib
22 Ibid, h. 42
34
(1991:134) memaknakan keadilan sebagai suatu perilaku yang proporsional,
termasuk dalam melaksankan keadilan poligami.
Allah Yang Maha Bijaksana memperbolehkan seseorang untuk menikah
satu, dua, tiga, sampai empat wanita, dengan syarat dia mampu untuk berlaku adil.
Allah melarangnya kawin lebih dari empat karena melebihi batas jumlah itu akan
mendatangkan aniaya. Seseorang tidak mungkin mampu untuk menahan diri dari
perbuatan aniaya tersebut meskipun telah mempunyai pengetahuan dan ilmu
banyak.
Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki bernama Ghailan masuk Islam,
sedangkan istrinya berjumlah 10 (sepuluh) orang, maka Rasullah menyuruh untuk
memilih empat di antara mereka. Disebutkan pula Qais bin Al-Harits masuk Islam
dengan delapan Istri, maka Rasullah menyuruhnya untuk memilih empat di antara
mereka.23
Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki masuk Islam dengan mempunyai 8
(delapan) orang istri. Kedelapan istrinya itu kemudian turut masuk Islam, maka
Rasullah mengatakan kepadanya :24
اجتر منهن اربعا وفارق البواقى
Arinya :
“Pilihlah empat di antara mereka dan pisahlah sisa yang lain.”
Dalam hadist di atas Rasullah menyuruh orang itu untuk memisahkan
sisanya. Kalau saja kawin lebih dari empat diperbolehkan Rasullah menyuruh
umpamanya hal itu akan menunjukkan bahwa kawin dari empat istri melampaui
23 Abdul Rahman Ghozali, Op.Cit, h. 138 24 Ibid, h. 139
35
batas. Kawin dari empat itu dikhawatirkan akan menimbulkan aniaya karena tidak
mampu memberikan hak-hak istrinya. Dan dalam kenyataanya memang mereka
tidak mampu memberikan hak-hak tersebut.
C. Sebab-Sebab Poligami
1) Masa Subur Wanita Terbatas
Sebagian orang berpendapat bahwa faktor terbatasnya usia produktif
adalah salah satu penyebab poligini. Dalam kasus-kasus tertentu, seorang wanita
mungkin mencapai masa menopause sebelum melahirkan cukup banyak anak,
atau setelah anak-anak yang lebih tua meninggal. Hasrat pria untuk punya anak
serta ketidak sukaannya untuk menceraikan istrinya yang pertama, dengan
demikian, menjadi sebab ia mengawini istri kedua atau ketiga, sebagaimana
kemandulan istri pertama merupakan sebab lain bagi si pria untuk beristri lagi.25
2) Faktor Ekonomi
Faktor Ekonomi juga diajukan sebagai penyebab poligini. Konon bahwa di
zaman dahulu, tidak seperti di zaman sekarang, mempunyai banyak istri dan
banyak anak adalah menguntungkan pria secara ekonomis. Kaum pria biasa
menyuruh para istri dan anaknya bekerja sebagai budak, dan sesekali menjual
anaknya. Sumber perbudakan bagi banyak orang bukanlah perampasan dalam
peperangan. Ayah mereka telah membawa dan menjual mereka ke pasar.
Hal ini mungkin menjadi salah satu sebab poligini, karena seorang pria,
dengan mengakui si wanita sebagai istrinya yang resmi, dapat memperoleh
25 Murtadha Muthahhari, Duduk Perkara Poligami, Cet. I, PT. Serambi Ilmu Semeta, Jakarta, 2007, h. 60
36
keuntungan karena memperoleh banyak anak. Pelacuran dan cinta bebas tidak
dapat memberikan keuntungan ini kepada pria. Namun, seperti telah kita ketahui,
hal ini tidak dapat digeneralisasikan sebagai penyebab munculnya poligini dalam
seluruh keadaan.
Misalkan masyarakat primitif berpoligini dengan tujuan ini. Dalam hal ini
pun tidak seluruh masyarakat seperti itu. Di dunia lama, poligini adalah jamak di
kelas masyarakat yang bergaya hidup mewah dan cemerlang. Para raja, pangeran,
pendeta, dan pedangang, umunya memelihara beberapa istri. Jelas bahwa lapisan
masyarakat ini tidak mencari keuntungan ekonomis dari jumlah istri dan anak-
anak mereka yang banyak.26
3) Lebih Banyak Wanita Dari Pada Pria
Yang terakhir yang terpenting dari semua faktor dalam poligini adalah
kelebihan jumlah wanita atas pria. Kelahiran bayi wanita tidak lebih banyak dari
pada bayi pria. Apabila, secara kebetulan, kelahiran anak perempuan di beberapa
negara lebih banyak dari pada anak laki-laki, maka di negara-negara lain kelahiran
anak laki-laki yang lebih banyak. Hal yang selalu menjadi sebab jumlah wanita
usia kawin lebih banyak dari pada jumlah pria usia kawin ialah bahwa kematian
pria, dahulu dan sekarang, selalu lebih banyak dari pada wanita. Kelebihan angka
kematian pria itu, dulu dan sekarang, ialah penyebab banyaknya wanita dalam
masyarakat monogami yang kehilangan kesempatan untuk mempunyai suami
yang sah, rumah tangga, serta kehidupan yang sah bersama anak-anak yang sah.
26 Ibid, h. 62
37
Tak dapat disangkal bahwa demikianlah keadaannya di masyarakat-
masyarakat primitif. Pada masyarakat awal, karena perburuan dan peperangan,
kehidupan kaum pria lebih ganas dan berbahaya, sehingga angka kematian di
kalangan pria lebih tinggi dari pada di kalangan wanita. Kelebihan jumlah wanita,
sebagai akibat dirinya, memaksa suatu pilihan antara poligini dan hidup melajang
yang tidak produktif oleh sebagaian kecil wanita.27
3. Poligami Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam
Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan
berikut aturan pelaksanaannya berprinsip pada asas monogami, satu suami untuk
satu istri. Juga sebaliknya, satu istri untuk satu suami. Dalam hal atau alasan
tertentu, seorang suami diberi izin untuk bersitri lebih dari seorang, tetapi dengan
serangkaian persyaratan yang berat. Dapat tidaknya seorang suami beristri lebih
dari seorang di tentukan Pengadilan Agama berdasarkan terpenuhi atau tidaknya
persyaratan termaksud.
Meskipun poligami diperbolehkan menurut Undang-Undang, beratnya
persyratan yang harus ditempuh mengisyaratkan bahwa pelaksanaan poligami di
Pengadilan Agama menganut prinsip menutup pintu terbuka. Artinya, poligami itu
tidak dibuka kalau memang tidak diperlukan dan hanya dalam hal atau keadaan
tertentu, pintu dibuka (Rahmat Hakim, 2000:121).
27 Ibid, h. 63-64
38
Pasal-pasal dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 yang berkaitan
langsung dengan poligami adalah Pasal 4 dan Pasal 5. Dalam Pasal 4 yang terdiri
dari 2 ayat menyebutkan :28
1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana
tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka ia wajib
mengajukan permohonan kepada pengadilan daerah tempat tinggalnya.
2) Pengadilan yang dimaksud ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin
kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :
a) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
c) Isteri tidak dapat melahirkan keturuan.
Di dalam pasal 5 dijelaskan bahwa untuk dapat mengajukan permohonan
ke Pengadilan, sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat (2) Undang-Undang ini, harus
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :29
1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a) Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri.
b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-
keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
39
c) Adanya jamina bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri
dan anak-anak mereka.
2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan
bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau
apabila tidak ada kabar dari istrinya selama kurang-kurangnya 2 (dua)
tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari
Hakim Pengadilan.
Mengenai prosedur atau tata cara poliogami yang resmi diatur oleh Islam
memang tidak ada ketentuan secara pasti. Namun, di Indonesia dengan Kompilasi
Hukum Islamnya telah mengatur hal tersebut sebagai berikut :30
Pasal 55
1. Beristri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai
empat isteri.
2. Syarat utama beristeri lebih seorang, suami harus mampu belaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
3. Apabila syarat utama yang disebutkan pada ayat (2) tidak mungkin
terpenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.
Pasal 56
1. Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari
Pengadilan Agama.
30 Kompilasi Hukum Islam
40
2. Pengajuan permohonan izin dimaksud ayat (1) dilakukan menurut tata cara
sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 tahun
1975.
3. Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa
izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang
akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58
1. Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk
memperoleh izin Pengadilan Agam, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang
ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu :
a. Adanya persetujuan isteri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
isteri-isteri dan anak-anak mereka.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat
diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada
persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan
isteri pada sidang Pengadilan Agama.
41
3. Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang
suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau
apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya
2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 59
Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin
untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur
dalam Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan
tentang pemberian izin setalah memeriksa dan mendengarkan isteri yang
berasangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini
isteri atau suami dapat mengajukan banding atua kasasi.
4. Wanita Hamil Dalam Hukum Islam
Yang dimaksud dengan “kawin hamil” di sini ialah kawin dengan seorang
wanita yang hamil diluar nikah, baik dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya
maupun oleh laki-laki bukan yang menghamilinya.31
Hukum kawin dengan wanita yang menghamili di luar nikah, para ulama
berbeda pendapat, sebagai berikut :32
1. Ulama mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) berpendpat bahwa
perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur sebagai suami istri,
31 Abdul Rahman Ghozali, FIQH MUNAKAHAT, cet. Ke-4, edisi 1, Kencana, Jakarta, 2010, h. 124 32 Ibid, h. 124-125
42
dengan ketentuan, bila si pria itu yang menghamilinya dan kemudian baru
ia mengawininya.
2. Ibnu Hazm (Zhahiriyah) berpendapat bahwa keduanya boleh (sah)
dikawinkan dan boleh pula bercampur, dengan ketentuan, bila telah
betaubat dan menjalani hukuman dera (cambuk), karena keduanya telah
berzina.
Selanjutnya, mengenai pria yang kawin dengan wanita yang dihamili oleh
orang lain, terjadi perbedaan pendapat, antara lain :
1. Imam Abu Yusuf menagatakan, keduanya tidak boleh dikawinkan. Sebab
bila dikawinkan perkawinannya itu batal (fasid). Pendapat beliau itu
berdasarkan Firman Allah :33
اومشرك وحرمذلك على الزانى الينكح االزانيةاومشركةوالزانيةاليكحهااالزانر
المؤمنين
Artinya :
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan kepada perempuan
yang berzina atau perempuan musyrik, dan perempuan yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.
Maksud ayat tersebut adalah, tidak pantas seorang pria yang beriman
kawin dengan dengan seorang winata yang berzina. Demikian pula sebaliknya,
wanita yang beriman tidak pantas kawin dengan pria yang berzina. Seorang pria
tidak boleh mengawini wanita yang diketahuinya telah berzina dengan orang lain,
kecuali dengan dua syarat :
a. Wanita tesebut telah melahirkan bila ia hamil. Jadi dalam keadaan
hamil ia tidak boeh kawin.
33 Ibid h. 125-126
43
b. Wanita tersebut telah menjalani hukuman dera (cambuk), apakah ia
hamil atau tidak.
2. Imam Muhammad bin Al-Hasn Al-Syaibani mengatakan bahwa
perkawinannya itu sah, tetapi haram baginya bercampur, selama bayi yang
dikandungnya belum lahir.
3. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa peerkawinan itu
dipandang sah, karena tidak terikat dengna perkawinan orang lain (tidak
ada masa ‘iddah). Wanita itu boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin
nasab (keturunan) bayi yang dikandung itu ternodai oleh sperma
suaminya. Sedangkan bayi tersebut bukan keturunan orang yang
mengawini ibunya itu (anak diluar nikah).
Dengan demikian, status anak itu adalah zina, bila pria yang mengawini
ibunya itu bukan pria yang menghamilinya. Namun bila pria yang mengawini
ibunya itu, pria yang menghamilinya, maka terjadi perbedaan pendapat :34
1. Bayi itu termasuk anak zina, bila ibunya dikawini setelah usia
kandungannya berumur 4 bulan ke atas. Bila kurang dari 4 bulan, maka
bayi tesebut adalah anak suaminya yang sah.
2. Bayi itu termasuk anak zina, karena anak itu adalah anak diluar nikah,
walaupun dilihat dari segi bahasa, bahwa anak itu sah adalah anaknya,
karena hasil sperma dan ovum bapak dan ibunya itu.
34 Ibid h. 127-128
44
Dalam Kompilasi Hukum Islam, maslah kawin hamil dijelaskan sebagai
berikut :35
Pasal 53
1) Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.
2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih kelahiran anaknya.
3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Pasal 54
1) Selama seorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan
perkawinan dan juga boleh bertindak sebagai wali nikah.
2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya
masih berada dalam ihram perkawinannya tidak sah.
Tejadinya wanita hamil diluar nikah (yang hal ini sangat dilarang oleh
agama, norma, etika dan perundang-undangan negara), selain karena adanya
pergaulan bebas, juga karena lemah (rapuh) iman pada masing-masing pihak.
Oleh karenanya, untuk mengantisipasi perbuatan yang keji dan terlarang itu,
pendidikan agam yang mendalam dan kesadaran hukum semakin diperkuat.
35 Kompilasi Hukum Islam
45
5. Rasionalitas Tentang Pertimbangan Hukum
Argumentasi pada dasarnya adalah penampilan proses kegiatan berfikir.36
Argumentasi dan penalaran adalah dua istilah yang sering dipertautkan, penalaran
adalah kegiatan berfikir.37 Teori argumentasi mengkaji bagaimana menganalisis
dan merumuskan suatu argumentasi secara tepat, teori argumentasi
mengembangkan kriteria yang dijadikan dasar untuk suatu argumentasi yang jelas
dan rasional.38 Argumentasi hukum dihasilkan oleh proses penlaran (redeneer
process). Penalaran selalu bersangkut paut dengan logika dan bahasa. Penalaran
hukum menggunakan prinsip-prinsip logika.
Penalaran hukum bagi hakim merupakan kegiatan berfikir untuk
menghasilkan pendapat hukum yang berangkat dari kasus konkrit yang dihadapi
dengan mengacu pada sistem hukum positif. Berbeda halnya dengan penalaran
hukum yang mengkaji produk, dimana objek pada dictum putusan sebagai
imperensi (penyimpulan) dari hasil kegiatan berpikir hukum dikaitkan dengan
pertimbangan hukumnya. Dalam teori hukum, kriteria rasional putusan hakim
dibedakan atas de heuristic dan de legitimatik.39
De heuristic adalah metode peemcahan masalah lewat penalaran sebagai
proses intektual untuk mencapai penyelesaian masalah.40 Pada tahap ini, hakim
berusaha mencari tahu dan menemukan jalan pemecah secara tepat dan benar.
36 Syarif Mappiasse, LOGIKA HUKUM Pertimbangan Putusan Hakim. Cet. Ke-1, Prenadamedia Group, Jakarta, 2015, h. 48. 37 Jan Hendrik Raper, PENGANTAR LOGIKA, Cet. Ke-17, Kanisius, Yogyakarta, 2011, h. 16. 38 Philipus M. Hadjon, Tatiek Sri Djatmiati, ARGUMENTASI HUKUM, Cet. Ke-4, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2009, h. 13. 39 Ibid, h. 13. 40 Syarif Mappiasse, Loc.Cit, h. 49.
46
Pada pertimbangan hukum de legitimatik, menggunakan metode dengan logika
deduktif. Legitimasi yaitu kegiatan menyangkut persoalan keadilan.41
Dalam ketetuan Pasal 50 Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman bahwa dalam pertimbangan hukum putusan itu memuat :42
a. Alasan-alsan, yang berkaitan dengan penentuan fakta-fakta kejadian
dikualifisir menjadi fakta hukum.
b. Dasar putusan yang berkaitan dengan hukum yang diterapkan dan
argumen-argumen pendukung.
c. Pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
dasar-dasar hukum yang diterapkan, atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili.
d. Hukum tak tertulis, dapat berupa argumen sosiologis dan filosofis atau
moral justice.
e. Alasan dan dasar hukum tersebut harus tepat dan benar (Pasal 53 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tersebut). Artinya bahwa
putusannya dipertanggungjawabkan sesuai pertimbangan hakim yang
dibuatnya.
6. Teori Merumuskan Pendapat Hukum
Untuk memenuhi asas objektivitas, maka pada putusan hakim harus
disertai alasan-alasan atau fakta-fakta hukum dan dasar-dasar yang legalistik
termasuk sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar hukum untuk mengadili.
Undag-Undang Nomor 48 tahun 2009 Pasal 50 ayat (1) menjelaskan, bahwa
41 Ibid, h. 50. 42 Ibid, h. 45
47
“Putusan Pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat
pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber
hukum tak tertulis yang dijadikan dasar unutk mengadili.” Dalam hal ini terdapat
perbedaan mengenai “ratio decidendi” dengan “obiter dicta” meskipun pada
keduanya mengandung makna pertimbangan hukum mengenai diktum putusan.
Ratio decidendi adalah pendapat hukum tertulis atau proposisi yang
diciptakan oleh hakim dalam rangka penemuan hukum berkenaan kasus konkret
yang dihadapinya.43 Adapun, obiter dicta adalah pendapat hukum oleh hakim
dalam rangkan penemuan hukum yang tidak berkenaan dengan kasusu konkret.44
Menurut Satjipto Rahardjo, bahwa karya-karya hakim itu hanya diakui sebagai
hukum manakala ia dihasilkan dalam suatu proses pengadilan. Adapun pendapat
hukum oleh hakim diluar tugasnya mengadili bukan merupakan ketentuan hukum
yang sah.45
Senada dengan itu, Pasal 14 ayat (2) UU No. 48 tahun 2009 menentukan
bahwa dalam sidang permusyawaratan setiap hakim wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Dalam hal ini, bagaimanakah
metode merumuskan pendapat hukum tertulis yang berkenaan dengan kasus
konkret yang terbukti menjadi fakta hukum.
43 Satjipto Rahardjo, ILMU HUKUM, Cet. Ke-3, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, h. 114. 44 Ibid. 45 Ibid, h. 113
48
Menurut Vandevende, menyebut lima langkah dalam merumuskan
pendapat hukum, yaitu :46
1. Menelaah fakta-fakta yang tersedia (research the available facts).
2. Mengidentifikasi sumber hukum yang mungkin, biasanya berupa peraturan
perundang-undangan dan putusan pengadilan (identify the applicable
sources of law).
3. Menganalisis sumber hukum untuk menetapkan aturan hukum yang
mungkin dan kebijakan dalam aturan tersebut (analyze the sources of law).
4. Menyintensiskan aturan hukum tersebut ke dalam struktur yang koheren,
yakni struktur yang mengelompokkan aturan-aturan khusus dibawah
aturan umum (synthesize the applicable rules of law into a coherent
structure).
5. Menerapkan struktur aturan tersebut kepada fakta-fakta untuk memastikan
hak dan kewajiban yang timbul dari fakta-fakta itu dengan menggunakan
kebijakan yang terletak pada aturan-aturan hukum dalam hal memecahkan
kasus sulit (apply the structure of rules to the facts).
Hadjon dan Djatmiati juga menuliskan ada lima langkah dalam menyusus
legal opinion, yaitu :47
1. Summary memuat tentang :
a. Rumusan singkat fakta hukum.
b. Daftar isu hukum.
c. Summery legal opinion.
46 Shidarta, KARAKTERISTIK PENALARAN HUKUM DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN, CV. Utomi, Bandung, 2006, h. 196 47 Philipus M. Hadjon, Tatiek Sri Djatmiati, Op.Cit, h. 45-46
49
2. Rumusan fakta
Fakta harus dirumuskan secara lengkap tetapi tidak terlalu panjang, yang
penting intinya saja yang dijadikan landasan untuk merumuskan isu hukum.
3. Isu hukum
Isu hukum harus dirumuskan secara lengkap dan diberi nomor. Pendekatan
konseptual merupakan yang paling sering digunakan. Setiap isu hukum diikuti
dengan pertanyaan hukum.
4. Analisis isu hukum
a. Pada setiap isu, telusuri ketentuan hukum, yurisprudensi, pendapat
akademisi yang diberikan berkenaan dengan isu hukum tersebut.
b. Tulis ketetentuan hukum yang ditemukan.
c. Berikan pendapat dan bagaimana ketentuan hukum tersebut
diterapkan pada kasus konkret.
5. Kesimpulan (conclution and opinion)
Rumuskan pendapat hukum yang berkenaan dengan fakta hukum tersebut.
Dengan memperhatikan beberapa pendapat diatas, dan dengan
menghubungkan ketentuan Pasal 50 ayat (1) juncto Pasl 53 ayat (2) dan Pasal 14
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta
kebiasaan dalam praktik pengadilan, dapatlah disimpulkan adanya enam langkah
dalam merumuskan pendapat hukum yang disampaikan pada saat sidang
50
permusyawaratan hakim dalam menjatuhkan putusan. Keenam langkah tersebut
sebagai berikut :48
1. Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur (peta)
kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai suatu kasus
yang riil terjadi (terbukti sebagai fakta berdasar hukum pembuktian yang
sah).
2. Menghubungkan (mensubsumsi) struktur kasus tersebut dengan sumber-
sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan
hukum ke dalam peristilahan yuridis (legal term).
3. Menyelesaikan sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk
kemudian mencari tahu bijakan yang terkandung di dalam aturan hukum
itu, sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan koheren.
4. Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus (fakta hukum)
secara silogisme deduktif.
5. Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang tepat dan benar.
6. Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemuadian ditetapkan
sebagai pendapt hukum yagn sesui dengan dictum putusan.
7. Asas-Asas Putusan
Putusan merupakan akhir suatu proses pemeriksaan yang dilakukan
majelis hakim, dengan terlebih dahulu dilakukan musyawarah berdasarkan
ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Putusan merupakan suatu pernyataan hakim sebagai pelaku
48 Syarif Mappiasse, LOGIKA HUKUM Pertimbangan Putusan Hakim. Cet. Ke-1, Prenadamedia Group, Jakarta, 2015, h. 71
51
kekuasaan kehakiman yang diberi wewenang, diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum, guna menyelesaikan suatu sengketa antara para pihak.
Asas-asas yang harus ada dalam putusan sebagai berikut :49
a. Harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan secara jelas dan
perincian, memuat pasal-pasal dan/atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar mengadili (Pasl 50 dan 53 UU No, 48 Tahun 2009). Suatu
putusan yang tidak cukup mempertimbangkan alasa-alasan dalam posita
gugatan menurut hukum pembuktian atau tidak memberikan penilaian
terhadap alat bukti secara perinci, demikian pula tidak memberikan
pertimbangan mengenai dasar hukumnya, baik berdasarkan pada pasal-
pasal peraturan perundang-undangan maupun sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar mengadili, dapat dikatagorikan onvol doende
gemotiveerrd (tidak cukup pertimbangan), sehingga menjadi alasan untuk
membatalkan putusan yang bersangkutan. Gugatan yang telah
dipertimbangkan menurut hukum pembuktian ternyata tidak terbukti,
dinyatakn tidak beralasan hukum dan dengan demikian gugatan tersebut
harus ditolak. Demikian pula suatu gugatan yang dinyatakan tidak
berdasarkan hukum di mana posita gugatan tidak sejalan dengan petitum
gugatan, maka gugatan tesebut dinyatakan tidak berdasarkan hukum
sehingga dinyatakan tiddak dapat diterima (niet ont Vankelijk Verklaard).
b. Asas wajib mengadili seluruh bagian gugatan. Asas ini digariskan dalam
Pasal 178 ayat (2) HIR/ Pasal 189 ayat (2) R.Bg. dan Pasal 50 Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman. Kelalaian
49 Ibid, h. 41-43
52
memeriksa dan mengadili seluruh bagian gugatan termasuk gugatan
rekonveksi. Kelalain mengadili bagian kecil dari gugatan, misalnya
permohonan sita dan sebagainya apabila ditingkat banding, biasanya
diputus sela dan diperintahkan pengadilan tingkat pertama untuk
memeriksa dan memutus bagian gugatan yang terabaikan tersebut, namun
apabila bagian gugatan itu prinsip sifatnya, maka berarti pengadilan
tingkat pertama tidak melaksanakan dan hal itu menjadi alasan bagi hakim
banding ataupun hakim kasasi untuk membatalkan putusan tersebut.
c. Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan. Asas ini digariskan pada
Pasal 178 aayt (3) HIR Pasal 189 (3) R.Bg. larangan ini disebut ultra
petita partitum. Mengadili lebih dari yang dituntut dikatagorikan
melampaui batas wewenang atau ultra varies ultra petita partitum ataupun
ultra vines dikatagorikan sebagai tindakan yang tidak sesuai hukum.
tindakan ultra petita yang didasarkan atas itikad baik sekalipun, tetap
dikatagorikan ilegal karena berdasarkan dengan prinsip the rule of law.50
d. Prinsip sidang terbuka untuk umum, pembukaan sidang dan sidang untuk
ucapan amar putusan, wajib dalam sidang terbuka untuk umum putusan
yang tidak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dikatagorikan
sebagai tindakan yang lalai memenuhi syarat yang digariskan undang-
undang yang oleh undang-undang sendiri mengancam dengan batalnya
putusan demi hukum. hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 13 Undang-
Undang Nomor 48 tahun 2009 menyatakan :
50 Yahya Harahap, HUKUM ACARA PERDATA, Cet. Ke- 14, Sinar Grafik, Jakarta, 2014, h. 801
53
1) Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum,
kecuali undang-undang menetukan lain.
2) Putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
3) Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.
8. Teori Tentang Putusan Hakim
Sesuai ketentuan Pasal 178 HIR/Pasal 189 R.Bg juncto Pasal 14 Undang-
Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa apabila
pemeriksaan perkara telah selesai, majelis hakim karena jabatannya melakukan
musyawarah untuk mengambil putusan yang akan diajtuhkan.
Proses pemerikasaan di persidangan dianggap selesai apabila telah
melakukan pemeriksaan yang diawali dengan proses upaya perdamaian
berdasarkan Pasal 130 HIR, yang diperluas melaui proses mediasi berdasar
PERMA Nomor 01 tahun 2008.
Apabila proses perdamaian, baik dipersidangan, maupun mediasi yang
dinyatakan gagal, maka pemeriksaan pokok perkara dilanjutkan dimulai dengan
pembacaan surat gugatan, jawaban tergugat, replik penggugat dan duplik
penggugat.
Hakim kemudian merumuskan pokok perkara sengeketa yang dilanjutkan
dengan pembebanan pembuktian berdasarkan Pasal 163 HIR kepada para pihak.
Apabila proses pembuktian yang berimbang telah selesai kemudian para pihak
mengajukan kesimpulan.
54
Bilamana semua tahapan pemeriksaan di persidangan telah selesai, dan
mejelis menyatakan bahwa tahapan selanjutnya yakni musyawarah putusan untuk
menentukan putusan yang akan dijatuhkan sebagaimana diatur dalam Pasal 14
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman yang
menegaskan bahwa :51
1. Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat
rahasia.
2. Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang
diperiksa dan menjadikan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
3. Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat,
pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
Apabila dalam rapat musyawarah putusan tersebut, majelis hakim sepakat
bahwa gugatan tidak mengandung cacat formal, maka majelis mempertimbangkan
pokok perkara. Patokan perkara telah diatur dalam Pasal 178 HIR atau Pasal 189
R.Bg, yaitu :52
1. Pada waktu bermusyawarah, hakim karena jabatannya wajib melengkapi
segala alasan hukum yang tidak dikemukaan kedua belah pihak.
2. Hakim wajib mengadili seluruh bagian tuntutan.
3. Hakim dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang dituntut, atau
memberikan lebih dari pada yang dituntut.
51 51 Syarif Mappiasse, LOGIKA HUKUM Pertimbangan Putusan Hakim. Cet. Ke-1, Prenadamedia Group, Jakarta, 2015, h. 40 52 Ibid.
55
B. HASIL PENELITIAN
1. Duduk Persoalan Putusan Nomor : 0084/Pdt.G/2013/PA.Sal, Permohonan
Izin Poligami. Pemohon adalah suami yang mengajukan izin permohonan
poligami dengan alasan, sebagai berikut :53
a. Termohon sebagai seorang istri secara biologis sudah tidak mampu
melayani Pemohon.
b. Termohon tidak bisa mendidik anak-anak untuk melaksanakan
kawajiban sebagai seorang muslim (shalat lima waktu).
c. Termohon sendiri sebagai muslimah tidak mau melaksanakn
kewajibanya (shalat lima waktu dan puasa).
d. Pemohon mampu memenuhi kebutuhan hidup istri-istri pemohon
beserta anak-anak karean pemohon bekerja sebagai Wiraswasta
(dagang material banguna) dan mempunyai penghasilan kurangg lebih
sebesar Rp. 4.500.00,- (empat juta lima ratus ribu rupiah) /bulannya.
e. Pemohon bersedia berlaku adil terhadap istri-istri pemohon.
f. Termohon menyatakan rela dan tidak keberatan apabila Pemohon
menikah lagi dengan calon istri kedua pemohon.
g. Calon istri kedua Pemohon menyatakan tidak akan mengganggu gugat
harta benda yang sudah ada selama ini, melainkan tetap utuh sebagai
harta bersama antara Pemohon dan Termohon.
53 Putusan Perkara Nomor : 0084/Pdt.G/2013/PA.Sal
56
h. Antara Pemohon dengan calon istri kedua Pemohon tidak ada
larangan melakukan perkawian, baik menurut syariat Islam maupun
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, yakni:
1. Calon istri kedua Pemohon dengan Termohon bukan saudara
sesusuan, begitu pun antara Pemohon dengan calon istri kedua
Pemohon.
2. Calon istri Pemohon berstatus janda cerai dalam usia 39 tahun dan
tidak terikat pertunangan dengan laki-laki lain.
3. Wali nikah calon isteri kedua pemohon (Suwardi) bersedia untuk
menikahkan Pemohon dengan calon istri kedua pemohon.
Untuk menguatkan dalil permohonannya tersebut Pemohon mengajukan
bukti-bukti sebagai berikut :
1. Bukti Saksi :
1. Saksi I, menerangkan dibawah sumpah sebagai berikut :
Saksi adalah tetangga Pemohon dan Termohon.
Saksi tahu pemohon hendak menikah lagi dengan seorang
wanita.
Yang saksi ketahui calon istri pemohon sudah hamil 4 bulan
karena sudah dinikahi sirri oleh Pemohon.
Pemohon bekerja sebagai pedagang material bangunan dengan
penghasilan cukup.
Calon istei kedua Pemohon berstatus janda cerai pada tahun
2001 lalu.
57
Yang saksi ketahui hubungan isteri pertama Pemohon dengan
calon istri Pemohon adalah orang lain dan tidak ada larangan
untuk dinikahi.
Saksi sanggup mengingatkan Pemohon agar berlaku adil dan
membangunkan rumah untuk isteri pertamanya.
2. saksi II, menerangkan dibawah sumpah sebagia berikut :
Saksi adalah tetangga Pemohon dan Termohon.
Saksi tahu Pemohon hendak menikah lagi dengan seorang
perempuan.
Antara calon istri kedua pemohon dan istri pertama tidak ada
hubungan darah maupun susuan.
Sekarang calon isteri pemohon sudah hamil 4 bulan karena
sudah dinikahi sirri oleh Pemohon.
Pemohon bekrja sebagai pedagang material bangunan yang
menurut hemat saya bisa menghidupi istri-istrinya kelak.
Saksi sanggup mengingatkaan Pemohon agar berlaku adil
terhadap istri-istrinya.
Calon isteri kedua bertatus janda cerai pada 2001 dan tidak
dalam pinangan laki-laki lain.
Tanggapan Termohon atas dalil pemohon disampaikan secara lisan
sebagai berikut :
1) Termohon sudah membaca surat permohonan dan telah paham
maksudnya.
58
2) Sebenarnya Termohon masih mampu melayani kebutuhan biologis
Pemohon, hanya saja Termohon lebih banyak tidur di kamar
kontrakan dalam pasar dan Pemohon juga tetapi lain tempat.
3) Sebenarnya Pemohon mau menikah lagi karena sudah menghamili
wanita lain dan telah hamil 4 bulan.
4) Wanita tersebut menuntut pertanggung jawaban dari pemohon.
5) Pada dasarnya Termohon tidak keberatan akan dimadu Pemohon
asalkan Termohon dibuatkan rumah.
6) Harta bersama yang telah diperoleh menjai hak Termohon dengan
Pemohon.
Majelis Hakim sudah mendengarkan keterangan calon isteri kedua
pemohon, sebagai berikut :
1) Benar Pemohon hendak menikahi saya.
2) Saya bersedia akan dinikahi Pemohon karena telah dihamili oleh
Pemohon dan sekarang telah hamil 4 bulan.
3) Antara saya dengan pemohon maupun isteri pertamnya tidak ada
hubungan nasab maupun susuan.
4) Saya tidak akan mengganggu harta Pemohon yang telah diperoleh
dengan istri pertamanya.
2. Putusan dan Pertimbangan Hakim atas Perkara Nomor :
0084/Pdt.G/2013/PA.Sal.
Berdasarkan dalil pemohon, serta keterangan isteri pertama, calon isteri
kedua pemohon dan bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan. Hakim
59
memutus mengabulkan permohonan izin poligami, dengan pertimbangan Hakim
sebagai berikut :
Maksud permohonan Pemohon a quo adalah seperti diuraikan
diatas.
Majelis Hakim sudah mendamaikan Pemohon dan Termohon akan
tetapi tidak berhasil.
Pemohon dan Termohon juga telah menempuh mediasi dengan
mediator Drs. Jaenuri, MH namun tidak berhasil.
Berdasarkan bukti P1 dan P2 berupa KTP Pemohon dan Termohon
ternyata kedua belah pihak berdomisili di wilayah hukum
Pengadilan Agama Salatiga oleh karenanya Pengadilan Agama
Salatiga berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan
tersebut.
Atas alasan Pemohon untuk berpoligami diatas dibenarkan
Termohon dan secara kenyataan calon isteri kedua Pemohon telah
hamil 4 bulan dan termohon tidak keberatan dimadu dan asalkan
dibuatkan rumah oleh Pemohon.
Berdasarkan bukri P3 berupa KTP calon isteri Pemohon dengan
dihubungkan keterangan saksi-saksi antara isteri pertama dengan
calon isteri kedua adalah orang lain, tidak ada hubungan darah
maupun susuan sehinnga tidak ada larangan untuk dinikahi.
Berdasarkan bukti P5 Termohon telah menambahkan cap jempol
bersedia dimadu dikuatkan keterangan dimuka sidang dengan
syarat Pemohon membuatkan rumah.
60
Berdasarkan bukti P7 Pemohon beersedia berlaku adil terhadap
isteri-isterinnya dengan dihubungkan P8 penghasilan Pemohon
sebagai pedang material bangunan dipandang bisa mencukupi
kebutuhan kelaurganya.
Berdasarkan bukti P9 calon isteri kedua Pemohon berstatus janda
cerai yang telah ahbis masa iddahnya dan menurut keterangan
saksi-saksi tidak dalam pinangan pria lain sehingga dapat dinikasi
oleh Pemohon.
Berdasarkan semua pertimbangan diatas dapat disimpulkan alasan
pemohon untuk berpoligami telah memenuhi peraturan perrundang-
undangan yang berlaku.
Secara nyata calon isteri kedua telah hamil 4 bulan akibat
hubungannya dengan Pemohon maka untuk menjamin status janin
yang dikandungnya agar mempunyai ayah yang legal dan sesuai
dengan kaidah ushuliyah.
3. Duduk Persoalan Putusan Nomor : 0451/Pdt.G/2017/PA.Sal. Permohonan
Izin Poligami. Pemohon adalah suami yang mengajukan izin permohonan
poligami dengan alasan, sebagai berikut :54
a. Pemohon telah menjalani hubungan dengan calon isteri pemohon dan
hamil sehingga harus bertanggung jawab.
b. Atas keadaan seperti itu Termohon telah menyatakan rela dan tidak
keberatan apabila Pemohon menikah lagi dengan calon isteri pemohon
yang kedua, serta Termohon bersedia dimadu oleh Pemohon
54 Putusan Perkara Nomor : 0451/Pdt.G/2017/PA.Sal.
61
c. Pemohon dengan calon Isteri kedua tidak ada larangan atau hubungan
tertentu yang dapat menghalangi sahnya pernikahan.
d. Pemohon bekerja di Perusahaan Swasta PT. Charoen Pokphand
Indonesia Salatiga dengan pengahasilan rata-rata perbulan 5.500.000,-
(lima juta lima ratus ribu rupiah) dan pengahsila lain usaha dirumah
rata-rata perbulan sebesar 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupia),
dan jika permohonan izin ini dikabulkan Pemohon sanggup untuk
memenuhi kebutuhan isteri-isteri dan anak-anak pemohon dengan
baik.
e. Pemohon sanggup untuk berlaku adil di antara isteri-isteri Pemohon.
f. Selama ikatan pernikahan pemohon dan termohon telah memperoleh
harta bergerak berupa, mesin fotokopi merk canon .
Untuk menguatkan dalil permohonannya tersebut Pemohon mengajukan
bukti-bukti sebagai berikut :
1. Bukti Saksi :
1. Saksi I :
Saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon karena Pemohon
dan Termohon adalah suami isteri.
Saksi kenal dengan calon isteri kedua pemohon.
Pemohon mengajukan permohonanya ini karena pemohon
akan menikah lagi dan minta izin poligami di pengadilan
agama.
62
Rumah tangga antara Pemohon Termohon rukun tentram dan
harmonis, akan tetapi Pemohon telah berhubungan dengan
seorang perempuan, telah hamil 7 bulan.
Saksi mengetahui Pemohon mau izin nikah lagi yang kedua
karena harus bertanggung jawab kehamilan calon isteri kedua
Pemohon yan gsudah hamil 7 bulan.
2. Saksi II :
Saksi mengetahui Pemohon dan Termohon adalah suami isteri.
Pemohon akan mengajukan permohonan poligami karena akan
menikah lagi dengan calon isteri kedua Pemohon.
Lamaran pihak Pemohon sudah diterima pihak keluarga calon
isteri kedua pemohon.
Calon isteri kedua pemohon meminta pertanggung jawab
Pemohon karena calon isteri kedua Pemohon hamil 7 bulan
akibatnya hubungan suami isteri dengan Pemohon.
3. Saksi III :
Saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon karena saksi
sebagai paman.
Pemohon akan mengajukan poligami karena calon isteri kedua
Pemohon telah hamill 7 bulan lamanya.
Saksi mengetahui dari ekonomi Pemohon dipandang mampu
untuk berpoligami.
63
Atas permohonan tersebut, termohon menyampaikan jawabannya sebagai
berikut :
1) Termohon telah mengetahui pemohon mengajukan permohonan
izin poligami.
2) Termohon adalah orang yang sehat dan tidak pernah menderita
penyakit kelamin serta masih mampu menjalankan kewajiban
sebgai isteri.
3) Pemohon bermaksud menikah lagi karena pemohon telah
menghamili calon isteri kedua sudah hamil 7 bulan.
4) Pernikahan ini atas tuntutan dari calon istri kedua pemohon dan
keluarganya.
Majelis Hakim sudah mendengarkan keterangan calon isteri kedua
pemohon, pada pokoknya yaitu, Calon isteri kedua meminta pertanggung
jawaban pemohon karena calon isteri kedua pemohon saat ini sudah hamil
7 bulan dengan pemohon.
4. Putusan dan Pertimbangan Hakim atas Perkara Nomor :
0451/Pdt.G/2017/PA.Sal.
Berdasarkan dalil pemohon, serta keterangan isteri pertama, calon isteri
kedua pemohon dan bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan. Hakim
memutus menolak permohonan izin poligami, dengan pertimbangan Hakim
sebagai berikut :
Pemohon dan Termohon adalah suami isteri yang telah dikaruniai
1 orang anak.
64
Termohon adalah orang yang sehat dan tidak pernah menderita
penyakit kelamin sehingga masih mampu menjalankan kewajiban
sebagai isteri.
Pemohon akan menikah lagi (poligami) dengan seorang wanita
berstatus perawan.
Calon isteri kedua Pemohon meminta bertanggun jawab Pemohon
karena calon isteri kedua Pemohon telah hamil 7 bulan akibat
berhubungan layaknya suami isteri.
Setelah Majelis hakim membaca dengan seksama dan mempelajari
dalil permohonan poligami tersebut, ternyata tidak ada alsan
hukum sebgaimana diatur dalam pasal 4 UU No. 1 tahun 1974 jo
pasal 57 Kompilasi Hukum Islam.
Setalah menikah Pemohon dan Termohon telah mempunyai harta
bersama yaitu mesin Fotokopy merk Canon tahun 2010 harga
pembelian Rp. 11.000.000,-
Berdasarkan bukti pernyataan berlaku adil, bukti pernyataan
bersedia dimadu permohonan pemohon untuk peraturan poligami
telah memenuhi dari syarat kumulatif yang harus dipenuhi
keterangan berpoligami.
Berdasarkan keterangan para saksi pemohon dan bukti-bukti yang
diajukan berupa tentang penghasilan pemohon, berdasarkan standar
kehidupan layak (KHL) minimum Kabupaten Semarang
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Daerah
Kabupaten Semarang Nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan
65
sebagaimana diatur kembali tentang upah minimum Kabupaten
Semarang dan jika Pemohon ingin menikah lagi maka penghasilan
minimum yang layak adalah Rp. 1.600.000,- (satu juta enam ratus
ribu rupiah) x 2 atau setidaknya Rp. 3. 200.000,- (tuga juta dua
ratus ribu rupiah). sedangkan pengahsilan Pemohon telah terbukti
hanya berkisaran Rp. 2.200.000,- (dua juta dua ratus ribu rupiah)
ditambah hasil panen bengkok yang hanya Rp. 1.000.000,- (satu
juta rupiah). oleh karena itu Majelis berpendapat bahwa
penghasilan Pemohon jauh bisa menjamin kepasstian anak-anak
dan tidak memenuhi salah satu syarat kumulasi yang ditentukan
peraturan perundang-undangan, oleh karenanya permohonan
Pemohon untuk berpoligami haruslah dinyatakan ditolak.
Agar mudah memahami Putusan Nomor : 0084/Pdt.G/2013/PA.Sal dan Nomor :
0451/Pdt.G/2017/PA.Sal. maka disajikan dalam tabel berikut ini :
Tabel I
No. Item Putusan Penetapan Nomor
0084/Pdt.G/2013/PA.Sal 0451/Pdt.G/2017/PA.Sal
1. Identitas Pemohon (XY)
Termohon (XY)
Pemohon (Bagus Tri Aji)
Termohon (Hesthi
Setyaningrum)
2. Alasan atau dalil
pemohon
mengajukan
Permohonan
1. Termohon sebagai
seorang isteri secara
biologis sudah tidak
mampu melayani
pemohon. Dan termohon
tidak bisa mendidik
anak-anak untuk
melakukan kewajiban
sebagai seorang muslim.
Karena termohon sendiri
sebagai seorang
1. Pemohon telah menjalalani
hubungan dengan calon
isteri kedua pemohon dan
hamil sehingga harus
bertanggung jawab.
2. Atas keadaan seperti itu
termohon telah menyatakan
rela dan tidak keberatan
apabila pemohon menikah
lagi dengan calon isteri
pemohon yang kedua,
66
muslimah tidak mau
melaksanakan
kewajibannya.
2. Pemohon mampu
memenuhi kebutuhan
hidup isteri-isteri
pemohon beserta anak-
anak pemohon, karena
pemohon bekerja sebagai
wiraswasta.
3. Pemohon bersedia adil
terhadap isteri-isteri
pemohon.
4. Termohon menyatakan
rela dan tidak keberatan
apabila pemohon
menikah lagi dengan
calon isteri kedua
pemohon.
5. Calon isteri
keduapemohon
menyatakan tidak
mengganggu gugat harta
benda yang sudah ada
selama ini, melainkan
masih tetap utuh sebagai
harta bersama antara
pemohon dan termohon.
6. Antara pemohon dengan
calon isteri kedua
pemohon tidak ada
larangan melakukan
perkawinan, baik
menurut syariat Islam
maupun Peraturan
Perundang-Undangan.
termohon bersedia dimadu
oleh pemohon.
3. Pemohon dengan calon
isteri kedua tidak ada
larangan ataupun hubungan
tertentu yang dapat
menghalangi sahnya
pernikahan.
4. Pemohon bekerja di
perisahaan Swasta PT.
Charoen Pokphand
Indonesia Salatiga, dan
penghasilan lain usaha
dirumah. Pemohon sanggup
untuk memenuhi kebutuhan
isteri-isteri dan anak-anak
pemohon dengan baik.
5. Pemohon sanggup untuk
berlaku adil di antara isteri-
isteri pemohon.
3. Dasar hukum
yang digunakan
hakim
Kaidah Ushuliyah Pasal 4 Undang-Undang No. 1
tahun 1974 jo Pasal 57
Kompilasi Hukum Islam.
4. Pertimbangan 1. Atas alasan pemohon
untuk berpoligami diatas
dibenarkan termohon
dan kenyataan calon istri
kedua pemohon telah
hamil 4 bulan dan
termohon tidak
keberatan dimadu dan
asalkan dibuat rumah
1. Pemohon dan Termohon
adalah suami istri yang
telah dikaruniai 1 orang
anak.
2. Termohon adalah orang
yang sehat dan tidak pernah
menderita penyakit kelamin
sehingga masi mampu
menjalankan kewajiban
67
oleh pemohon.
2. Berdasarkan bukti P3
berupa KTP calon istri
kedua pemohon dengan
dihubungkan keterangan
saksi-saksi antara istri
kedua dan istri pertama
calon istri kedua adalah
orang lain, tidak ada
hubungan darah maupun
susuan sehingga tidak
ada larangan untuk
dinikahi.
3. Berdasarkan bukti P8
termohon telah
membubuhi cap jempol
bersedia dimadu
dikuatkan keterangan
dimuka sidang dengan
syarat pemohon
membuatkan rumah.
4. Berdasarkan bukti P7
pemohon bersedia
berlaku adil terhadap
istri-istrinya dengan
dihubungkan P8
penghasilan pemohon
sebagai pedagang
material bangungan
dipandang bisa
mencukupi kebutuhan
kelaurganya.
5. Berdasarkan bukti P9
calon istri kedua
pemohon berstatus
sebagai janda cerai yang
telah habis masa
iddahnya dan menurut
keterangan saksi-saksi
tidak dalam pinangan
pria lain sehingga dapat
dinikahi pemohon.
6. Bahwa berdasarkan
semua pertimbangan
diatas dapat disimpulkan
alasan pemohon untuk
berpoligami telah
memenuhi peraturan
sebagai seorang isteri.
3. Pemohon akan menikah lagi
(poligami) dengan seorang
wanita Liya Indriyani Dewi
yang berstatus perawan.
4. Calon istri kedua pemohon
telah hamil umur 7 bulan
akibat berhubungan
layaknya suamu istri
dengan pemohon.
5. Setelah majelis hakim
membaca dengan seksama
dan mempelajari dalil
permohonan poligami
tersebut, ternyata tidak ada
alasan hukum sebagaimana
diatur dalam Pasal 4 UU
No. 1 tahun 1974 jo Pasal
57 Kompilasi Hukum
Islam.
6. Berdasarkan bikti P.5
(pernyataan berlaku adil),
bukti P.7 (pernyataan
bersedia dimadu)
permohonan untuk
peraturan poligami telah
memenuhi sebagian dari
syarat kumulatif yang harus
di penuhi keterangan
berpoligami.
7. Berdasarkan para saksi
pemohon dan bukti-bukti
yang diajukan pemohon P.6
dan P.8 (tentang
penghasilan pemohon)
karena berdasarkan standar
kehidupan layak (KHL)
minimum Kabupaten
Semarang sebagaimana
diatur dalam Peraturan
Pemerintah Daerah
Kabupaten Semarang
Nomor 78 tahun 2015
tentang pengupahan
sebagaimana diatur kembali
tantang upah minimum
68
perundang-undangan
yang berlaku.
7. Secara nyata calon istri
kedua telah hamil 4
bulan akibat
hubungannya dengan
pemohon maka untuk
menjamin status janin
yang dikandungnya agar
mempunyai ayah yang
legal dan sesuai dengan
kaidah ushuliyah sebagai
beriku “menolak atau
menghindari mafsadah
(kesulitan) lebih di
dahulukan dari pada
menarik kemaslahatan”.
yang layak adalah Rp.
1.600.000,- (satu juta enam
ratus ribu rupiah). x 2 (dua)
atau sedikitnya Rp.
3.200.000,- (tiga juta
duaratus ribu rupiah).
sedangkan pengasilan
pemohon telah terbukti
hanya berkisar Rp.
2.200.000,- (dua juta dua
ratus ribu rupiah) perbulan
(bukti P.9) ditambah hasil
panen bengkok yang hanya
Rp. 1.000.000,- (satu juta
rupiah) perbulan, oleh
karena itu majelis Hakim
berpendapat bahwa
penghasilan jauh dari layak
untuk adanya kepastian bisa
menjamin jauh dari layak
untuk mohon Majelis
perpendapat bahwa
pengasilan pemohon jauh
bisa menjamin kepastian
anak-anak dan tidak
memenuhi syarat kumulasi
yang ditentukan peraturan
perrundang-undangan, oleh
karenanya permohonan
pemohon untuk berpoligami
haruslah dinyatakan ditolak.
5. Putusan 1. Mengabulkan
permohonan pemohon.
2. Menetapkan memberi izin
kepad pemohon untuk
menikah lagi dengan
seorang perempuan.
3. Menghukum pemohon
untuk membayar biaya
perkara sebesar 271.000,-
1. Menolak permohonan
pemohon.
2. Membebankan pemohon
untuk membayar biaya
perkara sejumlah Rp.
362.000,-
69
C. ANALISIS
1. Analisis Putusan Hakim Terhadap Perkara Permohonan
Izin Poligami Nomor :0084/Pdt.G/2013/PA.Sal
Dalam perkara Nomor : 0084/Pdt.G/2013/PA.Sal ini, Pengadilan Agama
Salatiga telah memeriksa dan memutus perkara izin Poligami yang diajukan oleh
pemohon, sebagaimana putusan yang telah disebutkan pada bab sebelumnya.
Adapun alasan-alasan dan pertimbangan hakim di Pengadilan dalam
memutus perkara izin poligami, penulis merangkummya dalam beberapa hal
sebagia berikut :
a) Hubungan hukum antara pemohon, termohon dan calon istri kedua adalah
orang lain, tidak ada hubungan darah maupun susuan sehingga tidak ada
larangan menikah. Calon istri kedua berstatus janda cerai yang habis masa
iddahnya, dan tidak ada pinangan orang lain, sehingga tidak ada halngan
untuk melakukan perkawinan.
b) Adanya jaminan berlaku adil terhadap istri/istrinya dan penghasilan
pemohon sebagai pedagang material bangunan dipandang bisa mencukupi
kebutuhan keluarganya.
c) Dalam pertimbangan majelis hakim juga, bahwa secara nyata calon istri
kedua telah hamil 4 bulan akibat hubunganya dengan pemohon maka
untuk menjamin status janin yang dikandungnya agar mempunyai ayah
yang legal.
d) Dan pertimbangan lain majelis hakim, sebagai berikut :
70
1. Termohon tidak keberatan dimadu, asalkan dibuatkan rumah oleh
pemohon.
2. Calon istri kedua pemohon terbukti telah hamil empat bulan.
3. Profesi pemohon sebagai wiraswasta, dan dipandang mencukupi
kebutuhan istri-istrinya dan anak-anaknya.
Meskipun dalam Undang-Undang status anak sudah jelas, tetapi secara
sosiologis anak yang terpisah dari orang tuanya kurang mendapatkan kasih sayang
dari orangtuanya secara utuh.
Pemohon mempunyai i’tikad baik untuk tetap mempertahankan
perkawinannya dengan istri pertamanya, dan tidak membiarkan hubungan
pemohon dengan calon istrinya yang sudah dalam keadaan hamil tanpa
perlindungan dan kepastian hukum. dengan i’tikad baik maka pemohon
mengajukan permohonan izin poligami, hal ini merupakan solusi terbaik sebagai
rasa tanggung jawab untuk menghindari kesulitan atau mafsadah, sesuai dengan
kaidah ushuliyah yang dikemukan oleh hakim dalam mempertimbangkan
hukumnya :
درأالمفاسدمقدمعلى خلن المصالح
Artinya :
“Menolak atau menghindari mafsadah (kesulitan) lebih didahulukan dari
pada menarik kemaslahatan”.
Penulis berpendapat bahwa putusan hakim dalam memberikan izin
poligami melalui alasan-alasan dan beberapa pertimbangannya dalam
mengabulkan perkara izin poligami tidak tepat karna jika diberikan izin maka
anggapan dalam masyarakat sangat negatif. Jika seorang suami ingin melakukan
71
poligami maka akan menghamili wanita dahulu. Hal ini sangat dilarang oleh Islam
karena merusak makna dari sebuah perkawinan. Dan perzinahan akan merajalela.
Allah berfirman dalam Al-qur’an.
والتقرنواالزنى انه كان فحشةوساءسبال
Artinya:
Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah
perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.
Zina dinyatakn oleh agam islam sebgai perbuatan melanggar hukum yang
tentu saja dan sudah seharusnya diberi hukuman maksimal, mengingat akibat yang
ditimbulkan sangatlah buruk, lagi pula mengandung kejahatan dan dosa.
Hubungan bebas (free sex) dan segala bentuk hubungan kelamin lainnya di luar
ketentuan agama adalah perbuatan yang membahayakan dan mengancam
keutuhan masyarakat, dan zina juga sebagai perbuatan yang nista.
Pertimbangna Hakim dalam mengabulkan permohona izin poligami ini
menurut penulis, lebih menekankan pada nilai manfaat dalam arti melindungi
calon istri kedua pemohon dan anak yang dikandungnya, sehinga anak yang
dikandungnya saat lahir akan menjadi anak sah menurut hukum. Pertimbangan
hakim dalam mengabulkan izin poligami tidak dapat dibenarkan karena tidak ada
dasar hukum dalam Undang-Undang maupun nash Al-qur’an, yang menyatakan
bahwa seorang laki-laki dapat melakukan poligami karena calon istri kedua telah
hamil.
72
2. Analisis Terhadap Pertimbangan Dan Dasar Putusan
Hakim
Permohonan izin poligami karena telah menghamili calon istri yang kedua
sangatlah tidak dibenarkan. Undang-Undang tidak mengatur hal demikian karena
adanya keterpaksaan istri pertama untuk menyetujui suaminya berpoligami. Akan
tetapi Hakim dalam mengabulkaan permohonannya izin poligami nomor :
0084/Pdt.G/2013/PA.Sal menggunakan pertimbangan dengan mengemukakan
kaidan fiqhiyyah: 55
درءالمفاسدمقدم على جلن المصالح
Artinya:
“menolak atau menghindari mafsadah (kesulitan) lebih didahulukan dari
pada menarik kemaslahatan”.
Penulis berpendapat apabila menggunakan kaidah ini atau menajadi dasar
hukum, apabila menghadapi mafsadah pada waktu yang sama, maka harus
didahulukan yang palig buruk akibatnya. Apabila berkumpul antara maslahat dan
mafsadah, maka yang harus dipilih yang maslahatnya lebih banyak, apabila sama
banyaknya maka menolak mafsadah lebih utama dari meraih maslahat, sebab
menolak mafsadah itu sudah merupakan kemalsahatan.
Dalam penggunaan kaidah ini terdapat tolak ukurnya, sebagai persyaratan
yang wajib dipenuhi di antaranya :56
1. Kemaslahatan itu harus sesuai dengan maqashid al-syari’ah, semangat
ajaran, dalil-dalil kulli dan dalil qoth’i baik wurud maupun dalalahnya.
55 A. Dzajuli, Kaidah-Kaidah fikih, cet. Ke-6, edisi pertama, Prenadamedia Group, Jakarta, 2016, h.11 56 Ibid. h.29
73
2. Kemaslahatan itu harus meyakinkan, artinya kemaslahatan itu berdasarkan
penelitian yang cermat dan akurat sehingga tidak meragukan bahwa itu
bisa mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudarat.
3. Kemaslahatan itu membawa kemudahan dan bukan mendatangkan
kesulitan yang diluar batas, dalam arti kemaslahatan itu bisa dilaksanakan.
4. Kemaslahatan itu memberikan manfaat kepada seabagian besar
masyarakat bukan kepada sebagian kecil masyarakat.
Menurut penulis, dalam putusan hakim dalam mempertimbangkan perkara
izin poligami karena istri kedua hamil dahulu, belum sepenuhnya sesuai dengan
syarat atau tolak ukur penggunaan kaidah. Karna kepentingan itu bersifat individu
bukan sebagian besar masyarakat. Masyarakat juga akan berpandangan lain
dengan keputusan hakim. Yang mana jika ingin melakukan poligami maka akan
menghamili wanita dahulu, sehingga hal ini akan menimbulkan perzinahan
dimana-mana.
Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Kompilasi Hukum Islam, secara jelas tidak mengatur ketentuan permohona
izin poligami yang calon istri kedua telah hamil. Alasan-alasan yang dapat
diterima adalah :
1. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974, sebagai berikut :
Pengadilan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin
kepada seorang suami yang akan berisitri lebih dari seorang apabila :
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
74
b. Istri mendapatkan cacat badan atau penyakulit yang tidak dapat
disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
2. Pasal 5 Undang-Undang No. 1 tahun 1974, sebagai berikut :
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
a. Adanya persetujuan dari istri/istri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-
keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri
dan anak-anak mereka.
3. Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam :
Pengadilan agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang
akan beristri lebih dari seorang apabila :
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b. Istri mendapatkan cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
4. Pasal 58 Kompilasi Hukum Islam :
1) Selain syarat utama yang disebutkan pada pasal 55 ayat (2) maka untuk
memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat
yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 yaitu :
75
a. Adanya persetujuan istri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan istri-
istri dan anak-anak mereka.
2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat
diberikan secara tetulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada
persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengna persetujuan lisan
isteri pada sidang Pengadilan Agama.
3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang
suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapatmenjadi pihak dalam perjanjian atau
apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya
2 tahun atau karena sabab lain yang perlu mendapatkan penilaian hakim.
Dalam peraturan perundang-undangan diatas masih dibutuhkan banyak
penafsiran. Karena sifat Undang-Undang yang masih global. Tapi bisa dikatakan
bahwa peraturan tersebut dibuat adalah dalam rangka untuk mengatur masyarakat
agar tidak melakukan poligami yang tidak sehat, atau sebaliknya agar poligami
dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab.
3. Analisis Putusan Hakim Terhadap Perkara Permohonan
Izin Poligami Nomor : 0451/Pdt.G/2017/PA.Sal
Dalam Perkara Nomor : 0451/Pdt.G/2017/PA.Sal pengadilan agama yang
memeriksa dan mengadili perkara izin poligami yang diajukan oleh pemohon,
sebagaimana putusan yan gtelah disebutkan pada bab sebelumnya.
76
Adapun alasan-alasan dan pertimbangan hakim di Pengadilan dalam
memutus perkara izin poligami, penulis merangkummya dalam beberapa hal
sebagia berikut :
a. Pernyataan Pemohon berlaku adil, dan termohon sedia dimadu,
permohonan untuk peraturan poligami telah memenuhi sebagian dari
syarat kumulatif yang harus di penuhi.
b. Pertimbangan lainnya oleh majelis hakim :
1. Pemohon dan termohon adalah suami istri yang telah dikaruniai 1
(satu) orang anak.
2. Termohon adalah orang yang sehat dan tidak pernah menderita
penyakit kelamin sehingga masih mampu menjalankan kewajiban
sebagai istri.
3. Pemohon akan menikah lagi dengan (poligami) dengan seorang
wanita.
4. Calon istri kedua pemohon meminta bertanggung jawab pemohon
karena calon istri kedua pemohon telah hamil umur 7 bulan akibat
berhubungan layaknya suami istri dengan pemohon.
c. Majelis hakim membaca dengan seksama dan mempelajari dalil
permohonan poligami, ternyata tidak ada alasan hukum sebagaimana
diatur dalam pasal 4 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 jo pasla 57
Kompilasi Hukum Islam.
d. Majelis hakim berpendapat bahwa penghasilan jauh dari layak untuk
adanya kepastian bisa menjamin kepastian anak-anak dan tidak memenuhi
salah satu syarat kumulasi yang ditentukan peraturan perundang-
77
undangan. Oleh karenanya permohonan pemohon untuk berpoligami
haruslah dinyatakan ditolak.
Penulis berpendapat bahwa hakim sebagai pihak yang berwenang
memutus perkara izin poligami tentunya mempunyai pertimbangan-pertimbangan
serta kriteria-kriteria tertentu dalam menolak izin poligami sangatlah tepat, karna
mencerminkan keadilan bagi termohon (istri) pada khususnya dan masyarakat
pada umumnya. Dan lebih melindungi hak-hak dari skandal yang dilakukan suami
dengan perempuan lain.
Dari segi sosiologis, memang kurang mempertimbangkan keadilan calon
istri pemohon yang sedang hamil, padahal dalam adat kebiasaan perempuan yang
hamil di luar nikah untuk dikawinkan oleh laki-laki yang menghamilinya, agar aib
yang ditanggung calon istri pemohon dan keluarganya dapat tertutupi.
Menurut penulis, majelis hakim dalam menolak izin poligami ini tetap
mencerminkan nilai manfaat yaitu memberikan pembelajaran bagi seorang
perempuan yang masih lajang agar tidak menjalin hubungan dengan laki-laki yang
sudah beristri karena akan merusak kebahagian dan ketentraman dalam rumah
tangga mereka dan masyarakat tidak akan mudah dan menggampangkan dalam
mengajukan permohonan poligami kepada pengadilan dengan alsan calon istri
kedua telah hamil terlebih dulu.
Jika dikabulkan izin poligami akan membuat citra Pengadilan Agama
menjadi negatif, karena anggapan masyarakat jika ingin berpoligami maka
menghamili perempuan lain. Hal ini sangat dilarang oleh islam karena merusak
makna dari sebuah perkawinan.
78
4. Analisis Terhadap Pertimbangan Dan Dasar Putusan
Hakim
Permohonan izin poligami karena telah menghamili calon istri kedua
sangatlah tidak dibenarkan. Undang-Undang maupun Al-qur’an tidak mengatur
hal demikian karena adanya keterpaksaan istri pertama untuk menyetujui
suaminya berpoligami. akan tetapi hakim dalam menolak permohoan izin
poligami nomor : 0451/Pdt.G/2017/PA.Sal, tidak ada alasan hukum sebagaimana
diatur didalam pasal 4 Undang-Undang tahun 1974 jo pasal 57 Kompilasi Hukum
Islam.
Hal ini dapat dicermati bahwa alasan permohonan pemohon tidak sesuai
dengan pasal 4 ayat (2) jo pasal 57 Kompilasi Hukum Islam tidak terbukti,
sehingga permohonan pemohon dinyatakan tidak beralasan dan karenanya harus
ditolak. Dan alasan calon istri kedua telah hamil dan pemohon dituntut
bertanggung jawab menikahinya tidak dapat dibenarkan baik berdasarkan
ketentuan pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 jo 57 Kompilasi Hukum
Islam.
Menurut penulis, hakim lebih menekankan pada nilai kepastian hukum,
yaitu alasan yang diajukan berdasarkan pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Perkawinan tidak terbukti, maka hakim berpendapat izin poligami yang seperti ini
harus ditolak. Hakim menerapkan pasal tersebut tanpa melakukan interpretasi
(penafsiran) maupun konstruksi hukum yang bisa memperluas makna pasal
tersebut.
79
Dalam putusan ini hakim tidak mempertimbangkan kedudukan atau status
anak yang dikandung oleh calon istri kedua, karena dalam undang-undang sendiri
sudah dijelaskan kedudukan atau status anak diluar kawin. Sebelum adanya
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 46/PUU/IX/2011. Status anak luar kawin
ada di pasal 43 ayat (1) undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan,
yang berbunyi : “anak yang dilahirkan diluar perkawin hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Tetapi setelah adanya
putusan Mahkamah Konstitusi, menjadi “anak yang dilahirkan diluar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan tehnologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Tanpa
melihat ada atau tidaknya hubungan perkawinan antara ayah dan ibunya atau
perkawinan tersebut dicatatkan atau tidak (sirri).
Setelah adanya putusan ini maka lebih jelas lagi kedudukan atau status
anak luar kawin. Pertama, kewajiban alimentasi bagi laki-laki yang dapat
dibuktikan memiliki darah sebagai ayah dari anak luar kawin. Seorang ayah
biologis sudah tidak bisa mengelak lagi atas kewajiban hukum untuk memilihara
dan mendidik anak dengan alasan ketiadaan ikatan perkawinan yang sah dengan
ibunya. Ayah harus memenuhi kebutuhan hidup dan pendidikan anak tersebut
meskipun ia tidak terikat perkawinan dengan ibunya, atau bahkan sang ayah
terikat perkawinan dengan orang lain. Jika seorang ayah tidak melalaikan
kewajiban terhadap anaknya maka konsekuensi hukumnya ia dpat digugat ke
pengadilan.
80
Kedua, hak anak luar kawin atas harta warisan. Pengakuan anak luar
kawin memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya maka tentu akan
berakibat pada hak seorang anak mendapat harta warisan. Kedudukan anak luar
kawin menjadi setara dengan anak yang lahir sebagai akibat perkawinan yang sah.
5. Tujuan Perkawinan Menurut Hukum Islam
Alangkah baiknya kita meninjau kembali kepada tujuan perkawinan dalam
agama Islam itu sendiri. Pemeliharaan nilai-nilai yang lebih tinggi dan menunjang
kebaikan harus selalu merupakan tujuan utama. Maka izin untuk menikah lebih
dari seorang wanita pada suatu ketika, merupakan jalan darurat dan pencegahan
yang penting untuk memelihara nilai-nilai kehidupan masyarakat yang tinggi serta
melindungi masyarakat dari kekacauan. Sampai disini jelaslah kesesuaian
poligami.
Terlihat jelas juga, alasan poligami dengan calon istri kedua telah hamil
tidak dapat dibenarkan. Karena tidak ada dasar hukum yang membenarkan dalam
hukum islam maupun perundang-undangan. Adanya keterpaksaan istri pertama
untuk menyetujui suaminya melakukan poligami, hal ini akan berakibat tidak
tercapainya tujuan perkawinan yang telah dirumuskan dalam Kompilasi Hukum
Islam.
Menurut Imam Al-Ghazali, tujuan perkawinan itu dapat dikembangkan
menjadi lima yaitu :57
1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
57 Abdul Rahman Ghozali, FIQH MUNAKAHAT, Cet. Ke-4, Prenada Media Group, Jakarta, 2010, h. 24
81
2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayang.
3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan.
4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab, juga bersunggung-
sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.
5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram
atas dasar cinta dan kasih sayang.
Tujuan perkawinan diluar permasalahan poligami atau bukan adalah
memperoleh ketenangan. Perkawinan ini diharapkan akan bisa menciptakan
keluarga yang sakinah yaitu sebuah tatanan keluarga yang menjadi idaman setiap
keluarga.
Poligami dengan alasan calon istri sudah hamil terlebih dahulu tidak
tercapainya tujuan perkawinan itu, dapat di pahami terjadinya perkawinan ini
karena seorang laki-laki dituntut untuk bertanggung jawab atas perbuatannya.
Pengertian pernikahan sendiri adalah suatu akad antara seorang calon mempelai
pria dengan calon mempelai wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan belah pihak,
yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang telah
ditetapkan syara’ untuk menghalalkan pencampuran antara keduanya, sehingga
satu sama lain saling membutuhkan menjadi sekutu sebagai teman hidup dalam
rumah tangga.
Dengan dasar kerelaan maka akan berdapak dengan tercapainya tujuan
perkawinan, tujuan perkawinan menurut islam ialah untuk memenuhi petunjuk
82
agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahterah dan bahagia.
Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahterah
artinya tercapainya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah
kebahagian, yakni kasih sayang antara anggota keluarga.
Akan tetapi, dasar perkawinan itu adalah pertanggung jawaban atas
perbuatannya, maka dalam mencapai tujuan perkawinan itu sangatlah sulit.
Karena tidak terpenuhinya hak dan kewajiban anggota keluarga, sehingga tidak
tercapainya kebahagian dalam berumah tangga. Keadilan syarat utama dalam
berpoligami tidak bisa dipenuhi, sehingga konflik internal keluarga, baik di antara
sesama istri, antara istri dengan anak-anak tiri, maupun antara anak-anak yang
berlainan ibu. Konflik yang terjadi antara istri-istri sangat kuat, istri yang merasa
kuat akan mengalahkan istri yang lemah. Hal ini dilakukan hanya untuk
mengambil perhatian dari suami mereka.
Tujuan perkawinan dalam Agama Islam telah digaris bawahi dalam Al-
Qur’an Qs Al-Rum ayat 21.
ومن ءايته أن جلق لكم من أنفسكم أزوجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم
مودةورحمةّ إنفى ذلك اليت لقوميتفكروب
artinya :
dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan untukmu istri-
istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya,
dan jadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berpikir.
Menurut ayat tersebut, kelaurga islam terbentuk dalam keterpaduan antara
ketentraman (sakinah), penuh rasa cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah).
Ia terdiri dari istri patuh dan setia, suami yang jujur dan tulus, ayah yang penuh
kasih sayang dan ramah, ibu yang lemah lembut dan berperasaan halus, putra-
83
putri yang patuh dan taat serta kerabat yang saling membina silaturrahmi dan
tolong-menolong. Hal ini dapat tercapai bila masing-masing anggota keluarga
tersebut mengetahui hak dan kewajibannya.
Pertimbangan hakim juga, haruslah merujuk pada pasal 3 Kompilas
Hukum Islam dan memperluas poligami kearah nilai-nilai yang digariskan pada
surat Al-Rum ayat 21 dalam landasan ideal yang dirumuskan dalam Pasal 3
Kompilasi Hukum Islam sepenuhnya dipergunakan nilai-nilai ruh keislaman,
yakni sakinah, mawaddah, rahmah.
Berdasarkan ketentuan pasal 50 Undang-Undang nomor 48 tahun 2009
tentang kekuasaan kehakiman bahwa dalam pertimbangan hukum putusan itu
salah satunya harus memuat, dasar putusan yang berkaitan dengan hukum yang
diterapkan dan argumen-argumen pendukung.
Dapat dikatakan bahwa dalam putusan tersebut argumen antara
pertimbangan sebagai dasar putusan, telah mendukung argumen putusannya.
Dimana dalam putusannya hakim memperhatikan pertimbangan hukum yang di
dasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar, yang mana hakim
bertanggung jawab atas putusan yang dibuatnya seperti yang telah di jelaskan
dalam pasal 53 undang-undang no. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.
Artinya bahwa putusannya dipertanggung jawabkan sesuai pertimbangan hukum
yang dibuatnya.
Dalam bagian ini ditegaskan kaidah-kaidah yang diambil oleh hakim
dalam mengabulkan izin poligami nomor : 0084/Pdt.G/2013/PA.Sal dengan
mengemukakan kaidah ushuliyah, karena sifatnya yang masih umum atau
84
universal jadi hakim perlu menafsirkan lagi dan harus memenuhi syatar-syarat
yang telah ditentukan dalam penggunaan kaidah tersebut, serta lebih menekankan
nilai manfaat dalam arti untuk melindungi calon istri kedua pemohon dan anak
yang dikandungnya, sehinga anak yang dikandungnya saat lahir akan menjadi
anak sah menurut hukum. seharusnya dalam perkara ini hakim menolak
permohonan pemohon karena tidak terpenuhinya alasan yang ada di perundang-
undangan maupun kompilasi hukum islam.
Sedangkan, dalam nomor : 0451/Pdt.G/2017/PA.Sal Dalam bagian ini
ditegaskan kaidah-kaidah yang diambil oleh hakim dalam menolak izin poligami,
lebih menekankan kepastian hukum, yaitu tidak terpenuhinya alasan-alasan yang
diberikan oleh perundang-undangan yang ada. yang diatur dalam pasal 4 Undang-
Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan jo pasal 57 Kompilasi Hukum
Islam. Hakim dalam menolak permohonan izin poligami mencerminkan nilai
keadilan bagi termohon (istri) dan mencerminkan nilai manfaat yaitu memberikan
pelajaran bagi calon isteri pemohon.
Menurut penulis, putusan Pengadilan merupakan tahap akhir apakah
permohonan izin poligami dikabulkan atau tidak. Dalam hal ini harus ada
kesesuaian alasan yang dapat diterima serta sesuai dengan Undang-Undang yang
berlaku. Hakim bertugas tidak hanya corong Undang-Undang, akan tetapi bisa
menggali nilai-nilai hukum yang ada di masyarakat. Untuk itu putusan hakim
yang baik adalah mempertimbangkan aspek kepastian hukum, keadilan, dan
manfaat bagi para pihak dan masyarakat, dari dampak izin poligami apabila
diputus. Ketika hakim memutus suatu perkara atau permohonan izin poligami
85
harus mengupayakan tiga-tiganya bisa tercapai, tetapi kalau tidak bisa, ambilah
salah satunya.
Karena banyak kejadian setelah seorang laki-laki berpoligami banyak yang
tidak mampu untuk berbuat adil, istri pertamanya seringkali di campakan. Suami
yang mementingkan salah seorang dari istri-istrinya merupakan kesalahan besar.
Dalam Al-Qur’an sudah dijelaskan tentang keadilan dalam surat An-Nisa’ ayat
129 :
ولن تستطيعواأن تعد لوا بين النساءولوحرصتم فالتميلواكل الميل
فتذروهاكالمعلقة وان تصلحواوتتقوافان اللة كانغفورارحيما
Artinya :
Dan kamu tidak dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walapun kamu
sangatlah ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung dan
jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka
sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Walaupun sulitnya berlaku adil, setidaknya seorang suami sudah berusaha
untuk membagi waktu bagi istri-istrinya agar istri satu dengan yang lain tidak
tersisihkan. Maka dari itu dibutuhkan alasan-alasan yang sangat mendasar dalam
permohonan izin poligami.
Dalam memutus perkara izin poligami majelis hakim haruslah berhati-hati.
Seorang laki-laki tidak meminta izin poligami dengan alasan calon istri kedua
telah hamil tidak dapat dibenarkan karena tidak ada dasar Hukum Islam maupun
Undang-Undang. Pengadilan Agama Salatiga dalam menerima atau menolak
permohonan Izin Poligami harus melihat dari berbagai aspek. Putusan-putusan
dalam permohonan ini sangat penting sekali untuk diperhatikan agar tidak
menjadi kontroversi di masyarakat. Oleh karena itu adanya pertimbangan hakim
86
dari berbagai pandangan dan dampak dari dikabulkan permohonan izin poligami
sangatlah perlu untuk mempertimbangkannya dengan bijaksana.
Seorang hakim di Pengadilan sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
menggali, mengikuti, memakai nilai-nilai hukum yang ada di masyarakat. Maka
hakum turut menciptakan penfsiran. Namun hakim haruslah berhati-hati dalam
memutus perkara permohonan izin poligami terutama dengan alasan sudah
terlanjur berhubungan layaknya suami istri dengan calon istir kedua.
Memang pada prinsipnya, hukum islam membolehkan adanya poligami
dengan berbagai perysaratan yang cukup ketat. Disyariatkan poligami juga untuk
kemaslahatan umat manusia. Dari sinilah harus disadari bahwa siapapun boleh
melakukan poligami selama ia dapat mewujudkan kemaslahatan. Namun, jika ia
tidak dapat mewujudkan kemaslahatan itu ketika melakukan poligami, maka
poligami tidak boleh ia lakukan. Persyaratan yang ditentukan oleh Al-qur’an
(seperti keharusan berlaku adil) dan juga berbagai ketentuan yang ditetapkan oleh
perundang-undangan haruslah dipahami sebagai upaya untuk mewujudkan
kemaslahatan dalam pelaksanaan poligami.