BAB II PEMBAHASAN A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Perkawinan...

71
16 BAB II PEMBAHASAN A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Perkawinan Dalam Hukum Islam A. Pengertian Perkawinan Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih Allah Swt, sebagai jalan bagi makluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya. 1 Nikah, menurut bahasa: al-jam’u dan al-dhamu yang artinya kumpul. 2 Makna nikah (Zawaj) bisa diartikan dengna aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah. Juga bisa diartikan ( wath’u al-zaujah) bermakna menyetubuhi isteri. Definisi yang hampir sama dengna diatas juga dikemukakan oleh Rahmat Hakim, bahwa kata nikah berasal dari bahasa Arab “nikahun” yang merupakan masdar atau asal kata kerja (fi’il madhi) “nikah”, sinonimnya “tazawwaja” kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia perkawina. Kata nikah sering juga dipergunkan sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia. 3 Dalam bahasa Indonesia, Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis. Melakukan 1 Tihami, Sohari Sahrani, FIKIH MUNAKHAT Kajian fikih Nikah Lengkap, cet. 4, edisi 1, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, h. 6 2 Ibid, h. 7 3 Ibid.

Transcript of BAB II PEMBAHASAN A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Perkawinan...

16

BAB II

PEMBAHASAN

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Perkawinan Dalam Hukum Islam

A. Pengertian Perkawinan

Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua

makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah

suatu cara yang dipilih Allah Swt, sebagai jalan bagi makluk-Nya untuk

berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.1

Nikah, menurut bahasa: al-jam’u dan al-dhamu yang artinya kumpul.2

Makna nikah (Zawaj) bisa diartikan dengna aqdu al-tazwij yang artinya akad

nikah. Juga bisa diartikan (wath’u al-zaujah) bermakna menyetubuhi isteri.

Definisi yang hampir sama dengna diatas juga dikemukakan oleh Rahmat Hakim,

bahwa kata nikah berasal dari bahasa Arab “nikahun” yang merupakan masdar

atau asal kata kerja (fi’il madhi) “nikah”, sinonimnya “tazawwaja” kemudian

diterjemahkan dalam bahasa Indonesia perkawina. Kata nikah sering juga

dipergunkan sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia.3

Dalam bahasa Indonesia, Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang

menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis. Melakukan

1 Tihami, Sohari Sahrani, FIKIH MUNAKHAT Kajian fikih Nikah Lengkap, cet. 4, edisi 1, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, h. 6 2 Ibid, h. 7 3 Ibid.

17

hubungan atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari

kata nikkah (نكاح) yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling

memasukkan, dan digunkaan untuk arti bersetubuh (wati). Kata “nikah” sendiri

sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.4

Menurut istilah Hukum Islam, terdapat beberapa definisi, diantaranya :5

الزواشرعاهوعقدوضعه الشارع ليفيدملك استمتاع الرخل بالمرأةوحل استمتاع

المرأةبالرجل

Artinya :

Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk

membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan

menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.

Abu Yahya Zakariaya Al-Anshary mendefinisikan :6

شرعاهوعقديتضمن اباحةوطئبلفظ انكاح أونحوهالنكا ح

Artinya :

Nikah menurut istilah syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan

hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata

yang semakna dengannya.

Pengertian-pengertian diatas tampaknya dibuat hanya melihat dari satu

segi saja, yaitu kebolehan hukum dalam hubungan antara seorang laki-laki dengan

seorang wanita yang semula dilarang menjadi dibolehkan. Padahal setiap

perbuatan hukum itu mempunyai tujuan dan akibat ataupun pengaruhnya. Hal-hal

inilah yang menjadi perhatian manusia pada umumnya dalam kehidupannya

sehari-hari, seperti terjadinya perceraian, kurang adanya keseimbangan antara

4 Abdul Rahman Ghozali, FIQH MUNAKAHAT, cet. Ke-4, edisi 1, Kencana, Jakarta, 2010, h. 7 5 Ibid, h. 8 6 Ibid.

18

suami istri, sehingga memerlukan penegasan arti perkawinan, bukan saja dari segi

kebolehan hubungan seksual tetapi juga dari segi tujuan dan akibat hukumnya.

Muhammad Abu Israh memberikan definisi yang lebih luas, yaitu :7

عقديفيدحل العشرةنين الرجل والمراةوتعاونهماويهدمالكيهمامن حقوق وماعليه

من واجبات

Artinya :

Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mangadakan hubungan

keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong

dan memberikan batasan hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi

masing-masing.

Dari penegertian ini perkawinan mengandung aspek akibat hukum,

melangsungkan perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta

bertujuan mengadakan hubungna pergaulan yang dilandasi tolong menolong.

Karena perkawinan termasuk pelaksanaan agama, maka di dalamnya terkandung

tujuan atau maksud mengaharapkan keridhaan Allah Swt.

B. Dasar Hukum Perkawinan

Hukum nikah (perkawinan), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara

manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis

antar sejenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat

perkawinan tersebut.

Perkawinan adalah sunatullah, perkawinan dilakukan oleh manusia,

hewan, bahkan tumbuh-tumbuhan. Karena segala sesuatu kebanyakan terdiri dari

dua pasang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Allah Swt dalam Al-qur’an, yaitu :

شىءخلقنازوجين لعلكم تذكرونومن كل

7 Ibid, h. 9

19

Artinya :

Dan segala kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat

akan kebesaran Allah.

Perkawinan pada dasarnya adalah mubah tergantung pada tingkat

maslahatnya, oleh karena itu tingkat kemaslahatannya dibagi menjadi tiga bagian,

yaitu :8

1) Maslahat yang diwajibkan oleh Allah Swt bagi hamba-Nya. Maslahat yang

paling utama adalah maslahat yang pada dirinya tekandung kemuliaan,

dapat menghilangkan mafsadah paling buruk, dan dapat mendatangkan

kemaslahatan yang paling besar, kemaslahatan jenis ini wajib dikerjakan.

2) Maslahat yang disunnahkan oleh syari’ kepada hamba-Nya demi untuk

kebaikannya, maslahat sunnah akan sampai pada tingkat maslahat yang

ringan yang mendekati maslahat mubah.

3) Maslahat mubah. Bahkan dalam perkara mubah tidak terlepas dari

kandungan nilai maslahat atau penolak terhadap mafsada.

Dalam taklif larangan, kemaslahatannya adalah menolak kemafsadatan

dan mencegah kemadaratan. Disini perbedaan tingkatan larangan sesuai dengan

kadar kemampuan merusak dan dampak negatif yang ditimbulkannya. Kerusakan

yang ditimbulkan perkara haram tentu lebih besar dibandingkan kerusakan pada

perkara makruh. Oleh karena itu, meskipun perkawinan itu asalnya adalah mubah,

namun dapat berubah menurut akhamal-khamsah, menurut perubahan keadaan : 9

1) Nikah Wajib, nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang akan

menambah takwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah mampu, yang

akan menjaga jiwa dan menyelamatkan dari perbuatan haram. Kewajiban

ini tidak akan dapat terlaksanakan kecuali dengan nikah.

2) Nikah Haram. Nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya

tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga melaksanakan

kewajiban lahir seperti nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan keawajiban

batin seperti mencampuri istri.

8 Tihami, Sohai Sahrani, Loc.Cit h. 9-10 9 Ibid, h. 11

20

3) Nikah Sunnah. Nikah disunnahkan bagi orang-orang yang sudah mampu

tetapi ia sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram, dalam hal

seperti ini maka nikah lebih dari pada membujang karena membujang

tidak diajarkan oleh Islam.

4) Nikah Mubah, yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah dan

dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia belum wajib nikah

dan tidak haram bila tidak nikah.

Dari uraian diatas menggambarkan bahwa dasar perkawinan, menurut

Islam pada dasarnya bisa wajib, haram, sunnah, dan mubah tergantung dengan

maslahat atau mafsadah.

C. Rukun Dan Syarat Perkawinan

Rukun, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya

sesuatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan

itu, seperti adanya calon pengantin laki-laki atau perempuan dalam perkawinan.

Syarat, yaitu sesuatu yang mesti ada menentukan sah dan tidaknya sesuatu

pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan

itu, seperti calon pengantin laki-laki atau perempuan itu harus beragama islam,

menurut agama islam.

Sah, yaitu suatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.10

Pernikahan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad lain yang

memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan akad.

Adapun rukun nikah adalah :11

1) Mempelai laki-laki.

2) Mempelai perempuan.

10 Ibid, h. 12 11 Ibid.

21

3) Wali.

4) Dua orang saksi.

5) Shigat ijab kabul.

Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat yang

bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu :12

1) Syarat-syarat Suami

a. Bukan mahram dari calon istri.

b. Tidak terpaksa atas kemaun sendiri.

c. Orangnya tertentu, jelas orangnya.

d. Tidak sedang ihram

2) Syarat-syarat Istri

a. Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram,

tidak sedang dalam iddah.

b. Merdeka, atas kemauan sendiri.

c. Jelas orangnya.

d. Tidak sedang berihram.

3) Syarat-Syarat Wali

a. Laki-laki.

b. Baligh.

c. Waras akalnya.

d. Tidak dipaksa.

e. Adil.

f. Tidak sedang ihram.

12 Ibid, h. 13

22

4) Syarat-Syarat Saksi

a. Laki-laki.

b. Baligh.

c. Waras akalnya.

d. Adil.

e. Dapat mendengar dan melihat.

f. Bebas, tidak dipaksa.

g. Tidak sedang mengerjakan ihram.

h. Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab kabul.

Dari uraian di atas menjelaskan bahwa akad nikah atau perkawinan yang

tidak dapat memenuhi syarat dan rukunya menjadikan perkawinan tersebut

tidak sah menurut hukum.

D. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan menurut agama islam ialah untuk memenuhi petunjuk

agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahterah dan bahagia.

Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga. Sejahterah

artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan

hidup lahir dan batinnya. Sehingga timbullah kebahagian, yakni kasih sayang

antara anggota keluarga.

23

Imam Al-Ghazali dalam Ihyanya tentang faedah melangsungkan

perkawinan, maka tujuan perkawinan itu dapat dikembangkan menjadi lima, yaitu

:13

1) Mendapatkan Dan Melangsungkan Keturunan

Seperti telah diungkapkan di muka bahwa naluri manusia mempunyai

kecenderungan untuk mempunyai keturunan yang sah keabsahan anak keturunan

yang diakui oleh dirinya sendiri, masyarakat, negara dan kebenaran keyakinan

agama islam memberikan jalan untuk itu. Agama memberikan jalan hidup

manusia agar hidup bahagia di dunia dan akhirat. Kebahagan dunia dan akhirat

dicapai dengan hidup berbakti kepada Tuhan secara sendiri-sendiri, berkeluarga

dan bermasyarakat. Kehidupan keluarga bahagia, umumnya antara lain

ditentukan oleh kehadiran anak-anak. Anak merupakan buah hati dan belahan

jiwa. Banyak hidup rumah tangga kandas karena tidak dapat karunia anak.

Al-Qur’an juga menganjurkan agar manusia selalu berdo’a agar dianugrahi

putra yang menjadi mutiara dari istrinya, sebagaimana tercantum dalam surat Al-

Furqan ayat 74 :

والذين يقون ربناهب لنامن أزواجناوذرياتناقرةأعين

Artinya :

Dan orang-orang yang berkata : ya tuhan kami, anugrahkanlah kepada

kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami).

Anak sebagai keturunan bukan saja menjadi buah hati, tetapi juga sebagai

pembantu-pembantu dalam hidup di dunia, bahkan memberikan tambahan amal

13 Abdul Rahman Ghozali, Loc.Cit, h. 24

24

kebajikan di akhirat nanti, manakala dapat di didiknya menjadi anak yang shaleh,

sebagai sabda Nabi SAW.

اذا مات االنسان انقطع عمله اال من ثالث: صدقةخارية أوعلم ينتفع به او

ولدصالح يدعوله

Artinya :

Apabila manusia meninggal dunia maka putuslah amalnya kecuali tiga hal

: Shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak yang shaleh yang selalu

mendo’akannya.

2) Memenuhi Hajat Manusia Untuk Menyalurkan Syahwatnya

Dan Menumpahkan Kasih Sayang

Sudah menjadi kodrat iradah Allah SWT, manusia diciptakan berjodoh-

jodoh dan diciptakan oleh Allah SWT mempunyai keinginan untuk berhubungan

antara pria dan perempuan. Oleh Al-Qur’an dilukiskan bahwa pria dan wanita

bagaikan pakaian, artinya yang satu memerlukan yang lain, sebagaimana tersebut

pada surat Al-Baqarah ayat 187 yang menyatakan :

أحل لكم ليلة الصيام الرفث الى نسانكم هن لباس لكم وأنتم لناس لهن

Artinya :

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan

istri-istri kamu, mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun pakain bagi

mereka.

Disamping perkawinan untuk pengaturan naluri seksual juga untuk

menyalurkan cinta dan kasih sayang di kalangan pria dan wanita secara harmonis

dan bertanggung jawab.

Penyaluran cinta dan kasih sayang di luar perkawinan tidak akan

menghasilkan keharmonisan dan tanggung jawab yang layak, karena didasarkan

25

atas kebebasan yang tidak terikat oleh satu norma. Satu-satunya norma ialah yang

ada pada dirinya masing-masing, sedangkan masing-masing orang mempunyai

keabasan. Perkawinan mengikat adanya kebebasaan menumpahkan cinta dan

kasih sayang secara harmonis dan bertanggun jawab melaksanakan

kewajibannya.

3) Memelihara Diri Dari Kejahatan Dan Kerusakan

Ketenangan hidup dan cinta serta kasih sayang keluarga dapat ditunjukkan

melalui perkawinan. Orang-orang yang tidak melakukan penyalurannya dengan

perkawinan akan mengalami ketidak wajaran dan dapat menimbulkan kerusakan,

entah kerusakan dirinya sendiri ataupun orang lain bahkan masyarakat, karena

manusia mempunyai nafsu, sedangkan nafsu itu condong untuk mengajak kepada

perbuatan yang tidak baik.

Dorongan nafsu yang utama ialah nafsu seksual, karenanya perlulah

menyalurkan dengan biak, yakni perkawinan. Perkawinan dapat mengurangi

dorongan yang kuat atau daapat mengembalikan gejolak nafsu seksual. Seperti

tersebut dalam hadist Nabi SAW :

فانه أغض للبصروأحصن للفرج

Artinya :

Sesungguhnya perkawinan itu dapat mengurangi liarnya pandangan dan

dapat menjaga kehormatan.

26

4) Menumbuhkan Kesungguhan Untuk Bertanggung Jawab

Menerima Hak Serta Kewajiban, Juga Bersungguh-Sungguh

Untuk Memperoleh Kekayaan Yang Halal

Hidup sehari-hari menunjukkan bahwa orang-orang yang belum

berkeluarga tindakkannya sering masih dipengaruhi oleh emosinya sehingga

kurang mantap dan kurang bertanggung jawab. Kita lihat sopir yang sudah

berkeluarga dalam cara mengendalikan kendaraannya lebih tertib, para pekerja

yang sudah berkeluarga lebih rajin dibandingkan dengan para pekerja bujungan.

Demikian pula dalam menggunakan hartanya, orang-orang yang telah

berkeluarga lebih efektif dan hemat, karena mengingat kebutuhan keluarga

dirumah. Jarang pemuda-pemudi yang belum berkeluarga memikirkan hari

depannya, mereka berpikir untuk hari ini, barulah setelah mereka kawin,

memikirkan bagaimana caranya mendapatkan bekal untuk memenuhi kebutuhan

keluarganya. Demikian pula calon ibu setelah memasuki jenjang perkawinan

mengetahui bagaimana cara penggunaan uang agar dapat untuk mencukupi

kebutuhan rumah tangganya. Rasa tanggung jawab akan kebutuhan itu

mendorong semangat untuk mencari rezeki sebagia bekal hidup keluarga dan

hidupnya tidak hanya untuk dirinya, tetapi untuk diri dan keluarganya.

Suami istri yang perkawinannya didasarkan pada pengalaman agama, jerih

payah dalam usahnya dan upayanya mencari keperluan hidupnya dan keluarga

yang dibinanya dapat digolongkan ibadah dalam arti luas. Dengan demikian,

melalui rumah tangga dapat ditimbulkan gairah bekerja dan bertanggung jawab

serta berusaha mencari harta yang halal.

27

5) Membangun Rumah Tangga Untuk Membentuk Masyarakat

Yang Tentram Atas Dasar Kasih Sayang

Suatu kenyataan bahwa manusia di dunia tidaklah berdiri sendiri

melainkan bermasyarakat yang terdiri dari unit-unit yang terkecil yaitu keluarga

yang terbentuk melalui perkawinan. Dalam hidup manusia memerlukan

ketenangan dan ketentraman hidup. Ketentraman untuk mencapai kebahagian.

Kebahagian masyarakat dapat dicapai dengan adanya ketenagan dan ketentraman

anggota keluarga dalam keluarganya.

Keluarga merupakan bagian masyarakat menjadi faktor terpenting dalam

penentuan ketenangan dan ketentraman masyarakat. Ketenangan dan ketentraman

kelaurga tergantung dari keberhasilan pembinaan yang harmonis antara suami

istri dalam satu rumah tangga. Keharmonisan diciptakan oleh adanya kesadaran

anggota kelaurga dalam menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban. Allah

menjadikan unit keluarga yang dibina dengan perkawinan antara suami istri

dalam membentuk ketenangan dan ketentraman serta mengembangkan cinta dan

kasih saying sesama warganya. Demikian diungakapkan dalam Al-Qru’an surat

Ar-Rum ayat 21 :

سكنوااليهاوجعل بينكم ومنءاياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لت

مودةورحمةان فى ذلك ألياتلقوم يتفكرون

Artinya :

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu

isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram

kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya

pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang

berfikir.

28

Perkawinan juga bertujuan untuk menata keluarga sebagai subjek untuk

membiasakan pengalaman-pengalaman ajaran agama. Fungsi keluarga menjadi

pelaksana pendidikan yang paling menentukan. Sebab keluarga salah satu di

antara lembaga pendidikan informal, ibu-bapak yang dikenal mula pertama oleh

putra-putrinya dengan segala perlakuan yang diterima dan dirasakannya, dapat

menjadi dasar pertumbuhan pribadi atau kepribadian sang putra-putri itu sendiri.

Perkawinan juga bertujuan untuk membentuk perjanjian (suci) antara

seorang pria dan seorang wanita, yang mempunyai segi-segi perdata di antaranya

adalah, a. Kesukarelaan, b. persetujuan kedua belah pihak, c. Kebebasan memilih,

d. Darurat.14

Allah Berfirman dalam surat Al-Rum ayat 21 :

ومنءايته أن خلق لكم من أنفسكم أزوجالتسكنوأاليهاوجعل بينكم مودةورمحة

انفى ذلك أليت لقوم يتفكرون

Artinya :

Dan di antara tanda-tanda kekuasa-Nya ialah menciptakan untuk mu istri-

istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya,

dan jadikan-Nya di antara mu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang

demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berpikir.

Menurut ayat tersebut, keluarga Islam terbentuk dalam keterpaduan antara

ketentraman (sakinah), penuh rasa cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahma).

Ia terdiri dari istri yang patuh dan setia, suami yang jujur dan tulus, ayah yang

penuh kasih sayang dan ramah, ibu yang lembut dan berprasaan halus, putra-putri

yang patuh dan taat serta kerabat yang saling membina silaturrahmi dan tolong-

14 Tihami, Sohari Sahrani, FIKIH MUNAKHAT Kajian fikih Nikah Lengkap, cet. 4, edisi 1, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, h. 16

29

menolong. Hal ini dapat tercipta bila masing-masing anggota keluarga tersebut

mengetahui hak dan kewajibannya.

2. Tinjauan Umum Tentang Poligami

A. Pengertian Poligami

Kata “Poligami” berasal dari bahasa Yunani “polus” yang artinya banyak

dan “gamein” yang artinya kawin banyak atau suami beristri banyak pada saat

yang sama. Dalam bahsa Arab, Poligami disebut dengan ta’did al-zawjah

(berbilangangnya pasangan), sedangkan dalam bahas Indonesia disebut

permaduan.15 Jadi, poligami itu artinya beristri banyak. Secara terminologi,

poligami yaitu “seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri”. Atau, “seorang

laki-laki beristri lebih dai seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang”.16

Sistem perkawinan bahwa seorang laki-laki mempunyai lebih seorang istri

dalam waktu yang bersamaan, atau seorang perempuan mempunyai suami lebih

dari seorang dalam waktu yang bersamaan, pada dasarnya disebut poligami.

Pengertian poligami, menurut bahsa Indonesia, adalah sistem perkawinan yang

salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang

bersamaan.

Para ahli membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang mempunyai

lebih dari seorang istri dengan istilah poligini yang berasal dari kata “polus”

berarti banyak dan “gune” berarti perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang

15 Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Dalam Hukum Islam dan Undang-Undang (Perspektif Fiqh Munakahat dan UU No. 1/1974 tentang Poligami dan Problematikanya) Cet. 1 Pustaka Setia, Bandung, 2009, h. 37. 16 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Cet. Ke-4, Kencana, Jakarta, 2010, h. 129.

30

mempunyai leih dari seorang suami disebut poliandri yang berasal dari kata

“polus” yang berarti banyak dan “andros” berarti laki-laki.17

Jadi, kata yang tepat bagi serorang laki-laki yang mempunyai istri lebih

dari seorang dalam waktu yang bersamaan adalah poligini bukan poligami.

Meskipun demikian, dalam perkataan sehari-hari yang dimaksud dengan poligami

itu adalah perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan

dalam waktu yang bersamaan. Yang dimaksud poligini itu, menurut masyarakat

umum adalah poligami.

Menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat

pada Pasal 3-5, poligami dapat diartikan sebagai perkawinan, seorang suami

dengan lebih dari seorang wanita. Dalam bahasa lain, poligami artinya suami yang

istrinya lebih dari satu. Memadu, nyandung atau ngawayuh.18

Dalam Islam, desfinisi Poligami terdapat pada Al-Qur’an Surat an-Nisa

ayat 3 :19

وان خفتم اال تقسطوافئ اليتمئ فا نكحواماطابلكم من النساءمثنى وثلث وربع

فان خفتم االتعدلوافواحدةاوماملكت ايمانكم ذلك ادنى االتعولوا

Artinya :

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-

hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan

(lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak

akan mampu berlaku adil, maka (nikahi) seorang saja, atau hamba sahaya

perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak

berbuat zalim.”

17 Zakiah Darajat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1985, h. 17 18 Beni Ahmad Saebani, Op.Cit. h. 35-36 19 Ibid, h.40-41

31

Ayat tersebut, memberikan pilihan kepada kaum laki-laki untuk menikahi

anak yatim dengan rasa takut tidak berlaku adil karena keyatimannya atau

menikahi perempuan yang disenangi hingga jumlahnya empat istri. Dalam ayat

diatas, memperbolehkan seseorang untuk menikah satu, dua, sampai empat

wanita, dengan syarat di mampu untuk berlaku adil. Apabila kawin lebih dari

empat, melebihi batas jumlah itu akan mendatangkan aniaya. Karena melampui

batas kemampuan, maka ia akan terseret melakukan kezaliman (aniaya), baik

terhadap dirinya sendiri maupun terhadap istri-istrinya.20

Sebenarmya Islam tidak memulai poligami, tidak memerintahkan dan juga

tidak menganjurkan poligami. Islam hanya memperbolehkan poligami atau

mubah, dan keadaan tertentu, dengan syarat-syarat teruma adil dan mampu.

B. Dasar Hukum Poligami

Dasar Hukum adanya poligami bagi umat Islam, terdapat pada Al-Qur’an

An-Nisa’ ayat 3 :

وان خفتم اال تقسطوافى اليتمى فانكحو اماطاب لكم من النساء مثنى وثلث وربع

تعدلوافواحدة اوماملكت ايمانكم ذلك ادنى االتعولوا فان خفتم اال

Artinya :

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-

hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan

(lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak

akan mampu berlaku adil, maka (nikahi) seorang saja. Atau hamba sahaya

perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat agar kamu

tidak berbuat zalim.”

Ayat di atas menunjukkan bolehnya seorang laki-lai beristri empat orang

wanita dalam waktu yang bersamaan. Penegasan ini dinyatakan dalam bentuk

20 Abdul Rahman Ghozali, Op.Cit, h. 140

32

perintah. Akan tetapi, perintah pada ayat di atas hukumnya mubah atau

dibolehkan. Dengan demikian, meskipun dalam surat An-Nisa ayat 3 disebutkan

kalimat “fankihu” kalimat amr tersebut berfaidah pada mubah, bukan wajib.21

Allah SWT, mewajibkan kepada semua laki-laki yang poligami untuk

berlaku adil, terutama dalam hal melakukan pembagian nafkah lahir maupun

batin. Tidak di benarkan menzalimi istri lain dengan hanya cenderung kepada

salah satu istrinya saja. Karena “hak perempuan yang sesungguhnya adalah tidak

dimadu”. Akan tetapi, poligami adalah untuk menghindarkan kaum laki-laki

melakukan perzinahan dan melatih menjadi pemimpin yang adil dalam kehidupan

dan pengelolaan keluarga dan rumah tangganya. Keadilan terhadap istri-istri

adalah barometer pertama pemimpin yang akan berlaku adil atas rakyatnya.

Perintah berelaku adil bagi suami yang berpoligami dijelaskan dalam Al-

Qur’an surat An-Nisa’ ayat 129 :

ن تعدلوا بين النساءولوحرصتم فالتميلواكلل الميل ولن تستطيعواا

فتذروهاكالمعلقة وان تصلحواوتتقوافاناهلل كانغفورارحيما

Artinya :

“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu),

walaupun kamu sangat ingin demikian, karena itu janganlah kamu cenderung

(kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.

Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan),

maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha penyayang.”

Ayat tersebut menegaskan bahwa keadilan tidak mungkin dapat dicapai

jika berkaitan dengan perasaan atau hati dan emosi cinta. Keadilan yang harus

dicapai adalah keadilan materiel semata-mata, sehingga seorang suami yang

21 Beni Ahmad Saebani, Loc.Cit h. 37

33

poligami harus menjamin kesejahteraan istri-istirnya dan mengatur waktu giliran

secara adil.

Sayyid Sabiq (198:172) mengatakan bahwa surat An-Nisa’ ayat 129

meniadakan kesanggupan berlaku adil kepada sesama istri, sedangkan ayat

sebelumnya (An-Nisa’ ayat 3) memerintahkan berlaku adil, sehingga seolah-olah

ayat tersebut bertentangan satu sama lainnya. Kedua ayat tersebut menyuruh

berlaku adil dalam hal pengaturan nafkah keluarga, pengaturan kehidupan

sandang, pangan, dan papan sehingga bagi suami yang poligami tidak perlu

memaksakan diri untuk berlaku adil dalam soal perasaan, cinta, dan kasih sayang

karena semua itu di luar kemampuan manusia.

Keadilan dalam poligami sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an adalah

keadilan dalam materi atau lahiriah, karena hal tersebut dapat dikelola dengan

baik dan normal oleh seorang suami yang poligami, seperti pengaturan nafkah

lahiriah, yakni kebutuhan sandang, pangan, papan, dan sejenis lainnya, termasuk

pengaturan waktu gilir. Dengan demikian, keadilan yang dimaksud adalah

menjalankan keseimbangan pembagian kebutuhan materiel dan spiritualnya,

lahiriah dan nafkah batiniah (kebutuhan seksual).22

Dua surat yang terdapat dalam Al-Qur’an, surat An-Nisa’ ayat 3 dan ayat

129 adalah dasar hukum poligami dan prinsip keadilan yang harus dijadikan tolak

ukurnya. Bentuk perilaku keadilan yang dapat diwujudkan dalam kehidupan

keluarga seahari-hari, bukan keadilan yang berkaitan dengan kecenderungan

perasaan dan kecenderungan cinta di antara manusia karena semua yang berkaitan

dengan rasa tersebut berada diluar kemampuan manusia. Sebagaimana M. Thalib

22 Ibid, h. 42

34

(1991:134) memaknakan keadilan sebagai suatu perilaku yang proporsional,

termasuk dalam melaksankan keadilan poligami.

Allah Yang Maha Bijaksana memperbolehkan seseorang untuk menikah

satu, dua, tiga, sampai empat wanita, dengan syarat dia mampu untuk berlaku adil.

Allah melarangnya kawin lebih dari empat karena melebihi batas jumlah itu akan

mendatangkan aniaya. Seseorang tidak mungkin mampu untuk menahan diri dari

perbuatan aniaya tersebut meskipun telah mempunyai pengetahuan dan ilmu

banyak.

Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki bernama Ghailan masuk Islam,

sedangkan istrinya berjumlah 10 (sepuluh) orang, maka Rasullah menyuruh untuk

memilih empat di antara mereka. Disebutkan pula Qais bin Al-Harits masuk Islam

dengan delapan Istri, maka Rasullah menyuruhnya untuk memilih empat di antara

mereka.23

Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki masuk Islam dengan mempunyai 8

(delapan) orang istri. Kedelapan istrinya itu kemudian turut masuk Islam, maka

Rasullah mengatakan kepadanya :24

اجتر منهن اربعا وفارق البواقى

Arinya :

“Pilihlah empat di antara mereka dan pisahlah sisa yang lain.”

Dalam hadist di atas Rasullah menyuruh orang itu untuk memisahkan

sisanya. Kalau saja kawin lebih dari empat diperbolehkan Rasullah menyuruh

umpamanya hal itu akan menunjukkan bahwa kawin dari empat istri melampaui

23 Abdul Rahman Ghozali, Op.Cit, h. 138 24 Ibid, h. 139

35

batas. Kawin dari empat itu dikhawatirkan akan menimbulkan aniaya karena tidak

mampu memberikan hak-hak istrinya. Dan dalam kenyataanya memang mereka

tidak mampu memberikan hak-hak tersebut.

C. Sebab-Sebab Poligami

1) Masa Subur Wanita Terbatas

Sebagian orang berpendapat bahwa faktor terbatasnya usia produktif

adalah salah satu penyebab poligini. Dalam kasus-kasus tertentu, seorang wanita

mungkin mencapai masa menopause sebelum melahirkan cukup banyak anak,

atau setelah anak-anak yang lebih tua meninggal. Hasrat pria untuk punya anak

serta ketidak sukaannya untuk menceraikan istrinya yang pertama, dengan

demikian, menjadi sebab ia mengawini istri kedua atau ketiga, sebagaimana

kemandulan istri pertama merupakan sebab lain bagi si pria untuk beristri lagi.25

2) Faktor Ekonomi

Faktor Ekonomi juga diajukan sebagai penyebab poligini. Konon bahwa di

zaman dahulu, tidak seperti di zaman sekarang, mempunyai banyak istri dan

banyak anak adalah menguntungkan pria secara ekonomis. Kaum pria biasa

menyuruh para istri dan anaknya bekerja sebagai budak, dan sesekali menjual

anaknya. Sumber perbudakan bagi banyak orang bukanlah perampasan dalam

peperangan. Ayah mereka telah membawa dan menjual mereka ke pasar.

Hal ini mungkin menjadi salah satu sebab poligini, karena seorang pria,

dengan mengakui si wanita sebagai istrinya yang resmi, dapat memperoleh

25 Murtadha Muthahhari, Duduk Perkara Poligami, Cet. I, PT. Serambi Ilmu Semeta, Jakarta, 2007, h. 60

36

keuntungan karena memperoleh banyak anak. Pelacuran dan cinta bebas tidak

dapat memberikan keuntungan ini kepada pria. Namun, seperti telah kita ketahui,

hal ini tidak dapat digeneralisasikan sebagai penyebab munculnya poligini dalam

seluruh keadaan.

Misalkan masyarakat primitif berpoligini dengan tujuan ini. Dalam hal ini

pun tidak seluruh masyarakat seperti itu. Di dunia lama, poligini adalah jamak di

kelas masyarakat yang bergaya hidup mewah dan cemerlang. Para raja, pangeran,

pendeta, dan pedangang, umunya memelihara beberapa istri. Jelas bahwa lapisan

masyarakat ini tidak mencari keuntungan ekonomis dari jumlah istri dan anak-

anak mereka yang banyak.26

3) Lebih Banyak Wanita Dari Pada Pria

Yang terakhir yang terpenting dari semua faktor dalam poligini adalah

kelebihan jumlah wanita atas pria. Kelahiran bayi wanita tidak lebih banyak dari

pada bayi pria. Apabila, secara kebetulan, kelahiran anak perempuan di beberapa

negara lebih banyak dari pada anak laki-laki, maka di negara-negara lain kelahiran

anak laki-laki yang lebih banyak. Hal yang selalu menjadi sebab jumlah wanita

usia kawin lebih banyak dari pada jumlah pria usia kawin ialah bahwa kematian

pria, dahulu dan sekarang, selalu lebih banyak dari pada wanita. Kelebihan angka

kematian pria itu, dulu dan sekarang, ialah penyebab banyaknya wanita dalam

masyarakat monogami yang kehilangan kesempatan untuk mempunyai suami

yang sah, rumah tangga, serta kehidupan yang sah bersama anak-anak yang sah.

26 Ibid, h. 62

37

Tak dapat disangkal bahwa demikianlah keadaannya di masyarakat-

masyarakat primitif. Pada masyarakat awal, karena perburuan dan peperangan,

kehidupan kaum pria lebih ganas dan berbahaya, sehingga angka kematian di

kalangan pria lebih tinggi dari pada di kalangan wanita. Kelebihan jumlah wanita,

sebagai akibat dirinya, memaksa suatu pilihan antara poligini dan hidup melajang

yang tidak produktif oleh sebagaian kecil wanita.27

3. Poligami Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam

Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan

berikut aturan pelaksanaannya berprinsip pada asas monogami, satu suami untuk

satu istri. Juga sebaliknya, satu istri untuk satu suami. Dalam hal atau alasan

tertentu, seorang suami diberi izin untuk bersitri lebih dari seorang, tetapi dengan

serangkaian persyaratan yang berat. Dapat tidaknya seorang suami beristri lebih

dari seorang di tentukan Pengadilan Agama berdasarkan terpenuhi atau tidaknya

persyaratan termaksud.

Meskipun poligami diperbolehkan menurut Undang-Undang, beratnya

persyratan yang harus ditempuh mengisyaratkan bahwa pelaksanaan poligami di

Pengadilan Agama menganut prinsip menutup pintu terbuka. Artinya, poligami itu

tidak dibuka kalau memang tidak diperlukan dan hanya dalam hal atau keadaan

tertentu, pintu dibuka (Rahmat Hakim, 2000:121).

27 Ibid, h. 63-64

38

Pasal-pasal dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 yang berkaitan

langsung dengan poligami adalah Pasal 4 dan Pasal 5. Dalam Pasal 4 yang terdiri

dari 2 ayat menyebutkan :28

1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana

tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka ia wajib

mengajukan permohonan kepada pengadilan daerah tempat tinggalnya.

2) Pengadilan yang dimaksud ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin

kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :

a) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

b) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan.

c) Isteri tidak dapat melahirkan keturuan.

Di dalam pasal 5 dijelaskan bahwa untuk dapat mengajukan permohonan

ke Pengadilan, sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat (2) Undang-Undang ini, harus

dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :29

1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana

dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi

syarat-syarat sebagai berikut :

a) Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri.

b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-

keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

39

c) Adanya jamina bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri

dan anak-anak mereka.

2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan

bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai

persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau

apabila tidak ada kabar dari istrinya selama kurang-kurangnya 2 (dua)

tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari

Hakim Pengadilan.

Mengenai prosedur atau tata cara poliogami yang resmi diatur oleh Islam

memang tidak ada ketentuan secara pasti. Namun, di Indonesia dengan Kompilasi

Hukum Islamnya telah mengatur hal tersebut sebagai berikut :30

Pasal 55

1. Beristri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai

empat isteri.

2. Syarat utama beristeri lebih seorang, suami harus mampu belaku adil

terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.

3. Apabila syarat utama yang disebutkan pada ayat (2) tidak mungkin

terpenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.

Pasal 56

1. Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari

Pengadilan Agama.

30 Kompilasi Hukum Islam

40

2. Pengajuan permohonan izin dimaksud ayat (1) dilakukan menurut tata cara

sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 tahun

1975.

3. Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa

izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 57

Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang

akan beristeri lebih dari seorang apabila :

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.

b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 58

1. Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk

memperoleh izin Pengadilan Agam, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang

ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu :

a. Adanya persetujuan isteri.

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup

isteri-isteri dan anak-anak mereka.

2. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan

Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat

diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada

persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan

isteri pada sidang Pengadilan Agama.

41

3. Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang

suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai

persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau

apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya

2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.

Pasal 59

Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin

untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur

dalam Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan

tentang pemberian izin setalah memeriksa dan mendengarkan isteri yang

berasangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini

isteri atau suami dapat mengajukan banding atua kasasi.

4. Wanita Hamil Dalam Hukum Islam

Yang dimaksud dengan “kawin hamil” di sini ialah kawin dengan seorang

wanita yang hamil diluar nikah, baik dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya

maupun oleh laki-laki bukan yang menghamilinya.31

Hukum kawin dengan wanita yang menghamili di luar nikah, para ulama

berbeda pendapat, sebagai berikut :32

1. Ulama mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) berpendpat bahwa

perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur sebagai suami istri,

31 Abdul Rahman Ghozali, FIQH MUNAKAHAT, cet. Ke-4, edisi 1, Kencana, Jakarta, 2010, h. 124 32 Ibid, h. 124-125

42

dengan ketentuan, bila si pria itu yang menghamilinya dan kemudian baru

ia mengawininya.

2. Ibnu Hazm (Zhahiriyah) berpendapat bahwa keduanya boleh (sah)

dikawinkan dan boleh pula bercampur, dengan ketentuan, bila telah

betaubat dan menjalani hukuman dera (cambuk), karena keduanya telah

berzina.

Selanjutnya, mengenai pria yang kawin dengan wanita yang dihamili oleh

orang lain, terjadi perbedaan pendapat, antara lain :

1. Imam Abu Yusuf menagatakan, keduanya tidak boleh dikawinkan. Sebab

bila dikawinkan perkawinannya itu batal (fasid). Pendapat beliau itu

berdasarkan Firman Allah :33

اومشرك وحرمذلك على الزانى الينكح االزانيةاومشركةوالزانيةاليكحهااالزانر

المؤمنين

Artinya :

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan kepada perempuan

yang berzina atau perempuan musyrik, dan perempuan yang berzina tidak

dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang

demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.

Maksud ayat tersebut adalah, tidak pantas seorang pria yang beriman

kawin dengan dengan seorang winata yang berzina. Demikian pula sebaliknya,

wanita yang beriman tidak pantas kawin dengan pria yang berzina. Seorang pria

tidak boleh mengawini wanita yang diketahuinya telah berzina dengan orang lain,

kecuali dengan dua syarat :

a. Wanita tesebut telah melahirkan bila ia hamil. Jadi dalam keadaan

hamil ia tidak boeh kawin.

33 Ibid h. 125-126

43

b. Wanita tersebut telah menjalani hukuman dera (cambuk), apakah ia

hamil atau tidak.

2. Imam Muhammad bin Al-Hasn Al-Syaibani mengatakan bahwa

perkawinannya itu sah, tetapi haram baginya bercampur, selama bayi yang

dikandungnya belum lahir.

3. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa peerkawinan itu

dipandang sah, karena tidak terikat dengna perkawinan orang lain (tidak

ada masa ‘iddah). Wanita itu boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin

nasab (keturunan) bayi yang dikandung itu ternodai oleh sperma

suaminya. Sedangkan bayi tersebut bukan keturunan orang yang

mengawini ibunya itu (anak diluar nikah).

Dengan demikian, status anak itu adalah zina, bila pria yang mengawini

ibunya itu bukan pria yang menghamilinya. Namun bila pria yang mengawini

ibunya itu, pria yang menghamilinya, maka terjadi perbedaan pendapat :34

1. Bayi itu termasuk anak zina, bila ibunya dikawini setelah usia

kandungannya berumur 4 bulan ke atas. Bila kurang dari 4 bulan, maka

bayi tesebut adalah anak suaminya yang sah.

2. Bayi itu termasuk anak zina, karena anak itu adalah anak diluar nikah,

walaupun dilihat dari segi bahasa, bahwa anak itu sah adalah anaknya,

karena hasil sperma dan ovum bapak dan ibunya itu.

34 Ibid h. 127-128

44

Dalam Kompilasi Hukum Islam, maslah kawin hamil dijelaskan sebagai

berikut :35

Pasal 53

1) Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang

menghamilinya.

2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat

dilangsungkan tanpa menunggu lebih kelahiran anaknya.

3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak

diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Pasal 54

1) Selama seorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan

perkawinan dan juga boleh bertindak sebagai wali nikah.

2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya

masih berada dalam ihram perkawinannya tidak sah.

Tejadinya wanita hamil diluar nikah (yang hal ini sangat dilarang oleh

agama, norma, etika dan perundang-undangan negara), selain karena adanya

pergaulan bebas, juga karena lemah (rapuh) iman pada masing-masing pihak.

Oleh karenanya, untuk mengantisipasi perbuatan yang keji dan terlarang itu,

pendidikan agam yang mendalam dan kesadaran hukum semakin diperkuat.

35 Kompilasi Hukum Islam

45

5. Rasionalitas Tentang Pertimbangan Hukum

Argumentasi pada dasarnya adalah penampilan proses kegiatan berfikir.36

Argumentasi dan penalaran adalah dua istilah yang sering dipertautkan, penalaran

adalah kegiatan berfikir.37 Teori argumentasi mengkaji bagaimana menganalisis

dan merumuskan suatu argumentasi secara tepat, teori argumentasi

mengembangkan kriteria yang dijadikan dasar untuk suatu argumentasi yang jelas

dan rasional.38 Argumentasi hukum dihasilkan oleh proses penlaran (redeneer

process). Penalaran selalu bersangkut paut dengan logika dan bahasa. Penalaran

hukum menggunakan prinsip-prinsip logika.

Penalaran hukum bagi hakim merupakan kegiatan berfikir untuk

menghasilkan pendapat hukum yang berangkat dari kasus konkrit yang dihadapi

dengan mengacu pada sistem hukum positif. Berbeda halnya dengan penalaran

hukum yang mengkaji produk, dimana objek pada dictum putusan sebagai

imperensi (penyimpulan) dari hasil kegiatan berpikir hukum dikaitkan dengan

pertimbangan hukumnya. Dalam teori hukum, kriteria rasional putusan hakim

dibedakan atas de heuristic dan de legitimatik.39

De heuristic adalah metode peemcahan masalah lewat penalaran sebagai

proses intektual untuk mencapai penyelesaian masalah.40 Pada tahap ini, hakim

berusaha mencari tahu dan menemukan jalan pemecah secara tepat dan benar.

36 Syarif Mappiasse, LOGIKA HUKUM Pertimbangan Putusan Hakim. Cet. Ke-1, Prenadamedia Group, Jakarta, 2015, h. 48. 37 Jan Hendrik Raper, PENGANTAR LOGIKA, Cet. Ke-17, Kanisius, Yogyakarta, 2011, h. 16. 38 Philipus M. Hadjon, Tatiek Sri Djatmiati, ARGUMENTASI HUKUM, Cet. Ke-4, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2009, h. 13. 39 Ibid, h. 13. 40 Syarif Mappiasse, Loc.Cit, h. 49.

46

Pada pertimbangan hukum de legitimatik, menggunakan metode dengan logika

deduktif. Legitimasi yaitu kegiatan menyangkut persoalan keadilan.41

Dalam ketetuan Pasal 50 Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman bahwa dalam pertimbangan hukum putusan itu memuat :42

a. Alasan-alsan, yang berkaitan dengan penentuan fakta-fakta kejadian

dikualifisir menjadi fakta hukum.

b. Dasar putusan yang berkaitan dengan hukum yang diterapkan dan

argumen-argumen pendukung.

c. Pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

dasar-dasar hukum yang diterapkan, atau sumber hukum tak tertulis yang

dijadikan dasar untuk mengadili.

d. Hukum tak tertulis, dapat berupa argumen sosiologis dan filosofis atau

moral justice.

e. Alasan dan dasar hukum tersebut harus tepat dan benar (Pasal 53 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tersebut). Artinya bahwa

putusannya dipertanggungjawabkan sesuai pertimbangan hakim yang

dibuatnya.

6. Teori Merumuskan Pendapat Hukum

Untuk memenuhi asas objektivitas, maka pada putusan hakim harus

disertai alasan-alasan atau fakta-fakta hukum dan dasar-dasar yang legalistik

termasuk sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar hukum untuk mengadili.

Undag-Undang Nomor 48 tahun 2009 Pasal 50 ayat (1) menjelaskan, bahwa

41 Ibid, h. 50. 42 Ibid, h. 45

47

“Putusan Pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat

pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber

hukum tak tertulis yang dijadikan dasar unutk mengadili.” Dalam hal ini terdapat

perbedaan mengenai “ratio decidendi” dengan “obiter dicta” meskipun pada

keduanya mengandung makna pertimbangan hukum mengenai diktum putusan.

Ratio decidendi adalah pendapat hukum tertulis atau proposisi yang

diciptakan oleh hakim dalam rangka penemuan hukum berkenaan kasus konkret

yang dihadapinya.43 Adapun, obiter dicta adalah pendapat hukum oleh hakim

dalam rangkan penemuan hukum yang tidak berkenaan dengan kasusu konkret.44

Menurut Satjipto Rahardjo, bahwa karya-karya hakim itu hanya diakui sebagai

hukum manakala ia dihasilkan dalam suatu proses pengadilan. Adapun pendapat

hukum oleh hakim diluar tugasnya mengadili bukan merupakan ketentuan hukum

yang sah.45

Senada dengan itu, Pasal 14 ayat (2) UU No. 48 tahun 2009 menentukan

bahwa dalam sidang permusyawaratan setiap hakim wajib menyampaikan

pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan

menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Dalam hal ini, bagaimanakah

metode merumuskan pendapat hukum tertulis yang berkenaan dengan kasus

konkret yang terbukti menjadi fakta hukum.

43 Satjipto Rahardjo, ILMU HUKUM, Cet. Ke-3, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, h. 114. 44 Ibid. 45 Ibid, h. 113

48

Menurut Vandevende, menyebut lima langkah dalam merumuskan

pendapat hukum, yaitu :46

1. Menelaah fakta-fakta yang tersedia (research the available facts).

2. Mengidentifikasi sumber hukum yang mungkin, biasanya berupa peraturan

perundang-undangan dan putusan pengadilan (identify the applicable

sources of law).

3. Menganalisis sumber hukum untuk menetapkan aturan hukum yang

mungkin dan kebijakan dalam aturan tersebut (analyze the sources of law).

4. Menyintensiskan aturan hukum tersebut ke dalam struktur yang koheren,

yakni struktur yang mengelompokkan aturan-aturan khusus dibawah

aturan umum (synthesize the applicable rules of law into a coherent

structure).

5. Menerapkan struktur aturan tersebut kepada fakta-fakta untuk memastikan

hak dan kewajiban yang timbul dari fakta-fakta itu dengan menggunakan

kebijakan yang terletak pada aturan-aturan hukum dalam hal memecahkan

kasus sulit (apply the structure of rules to the facts).

Hadjon dan Djatmiati juga menuliskan ada lima langkah dalam menyusus

legal opinion, yaitu :47

1. Summary memuat tentang :

a. Rumusan singkat fakta hukum.

b. Daftar isu hukum.

c. Summery legal opinion.

46 Shidarta, KARAKTERISTIK PENALARAN HUKUM DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN, CV. Utomi, Bandung, 2006, h. 196 47 Philipus M. Hadjon, Tatiek Sri Djatmiati, Op.Cit, h. 45-46

49

2. Rumusan fakta

Fakta harus dirumuskan secara lengkap tetapi tidak terlalu panjang, yang

penting intinya saja yang dijadikan landasan untuk merumuskan isu hukum.

3. Isu hukum

Isu hukum harus dirumuskan secara lengkap dan diberi nomor. Pendekatan

konseptual merupakan yang paling sering digunakan. Setiap isu hukum diikuti

dengan pertanyaan hukum.

4. Analisis isu hukum

a. Pada setiap isu, telusuri ketentuan hukum, yurisprudensi, pendapat

akademisi yang diberikan berkenaan dengan isu hukum tersebut.

b. Tulis ketetentuan hukum yang ditemukan.

c. Berikan pendapat dan bagaimana ketentuan hukum tersebut

diterapkan pada kasus konkret.

5. Kesimpulan (conclution and opinion)

Rumuskan pendapat hukum yang berkenaan dengan fakta hukum tersebut.

Dengan memperhatikan beberapa pendapat diatas, dan dengan

menghubungkan ketentuan Pasal 50 ayat (1) juncto Pasl 53 ayat (2) dan Pasal 14

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta

kebiasaan dalam praktik pengadilan, dapatlah disimpulkan adanya enam langkah

dalam merumuskan pendapat hukum yang disampaikan pada saat sidang

50

permusyawaratan hakim dalam menjatuhkan putusan. Keenam langkah tersebut

sebagai berikut :48

1. Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur (peta)

kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai suatu kasus

yang riil terjadi (terbukti sebagai fakta berdasar hukum pembuktian yang

sah).

2. Menghubungkan (mensubsumsi) struktur kasus tersebut dengan sumber-

sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan

hukum ke dalam peristilahan yuridis (legal term).

3. Menyelesaikan sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk

kemudian mencari tahu bijakan yang terkandung di dalam aturan hukum

itu, sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan koheren.

4. Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus (fakta hukum)

secara silogisme deduktif.

5. Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang tepat dan benar.

6. Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemuadian ditetapkan

sebagai pendapt hukum yagn sesui dengan dictum putusan.

7. Asas-Asas Putusan

Putusan merupakan akhir suatu proses pemeriksaan yang dilakukan

majelis hakim, dengan terlebih dahulu dilakukan musyawarah berdasarkan

ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman. Putusan merupakan suatu pernyataan hakim sebagai pelaku

48 Syarif Mappiasse, LOGIKA HUKUM Pertimbangan Putusan Hakim. Cet. Ke-1, Prenadamedia Group, Jakarta, 2015, h. 71

51

kekuasaan kehakiman yang diberi wewenang, diucapkan dalam sidang terbuka

untuk umum, guna menyelesaikan suatu sengketa antara para pihak.

Asas-asas yang harus ada dalam putusan sebagai berikut :49

a. Harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan secara jelas dan

perincian, memuat pasal-pasal dan/atau sumber hukum tak tertulis yang

dijadikan dasar mengadili (Pasl 50 dan 53 UU No, 48 Tahun 2009). Suatu

putusan yang tidak cukup mempertimbangkan alasa-alasan dalam posita

gugatan menurut hukum pembuktian atau tidak memberikan penilaian

terhadap alat bukti secara perinci, demikian pula tidak memberikan

pertimbangan mengenai dasar hukumnya, baik berdasarkan pada pasal-

pasal peraturan perundang-undangan maupun sumber hukum tak tertulis

yang dijadikan dasar mengadili, dapat dikatagorikan onvol doende

gemotiveerrd (tidak cukup pertimbangan), sehingga menjadi alasan untuk

membatalkan putusan yang bersangkutan. Gugatan yang telah

dipertimbangkan menurut hukum pembuktian ternyata tidak terbukti,

dinyatakn tidak beralasan hukum dan dengan demikian gugatan tersebut

harus ditolak. Demikian pula suatu gugatan yang dinyatakan tidak

berdasarkan hukum di mana posita gugatan tidak sejalan dengan petitum

gugatan, maka gugatan tesebut dinyatakan tidak berdasarkan hukum

sehingga dinyatakan tiddak dapat diterima (niet ont Vankelijk Verklaard).

b. Asas wajib mengadili seluruh bagian gugatan. Asas ini digariskan dalam

Pasal 178 ayat (2) HIR/ Pasal 189 ayat (2) R.Bg. dan Pasal 50 Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman. Kelalaian

49 Ibid, h. 41-43

52

memeriksa dan mengadili seluruh bagian gugatan termasuk gugatan

rekonveksi. Kelalain mengadili bagian kecil dari gugatan, misalnya

permohonan sita dan sebagainya apabila ditingkat banding, biasanya

diputus sela dan diperintahkan pengadilan tingkat pertama untuk

memeriksa dan memutus bagian gugatan yang terabaikan tersebut, namun

apabila bagian gugatan itu prinsip sifatnya, maka berarti pengadilan

tingkat pertama tidak melaksanakan dan hal itu menjadi alasan bagi hakim

banding ataupun hakim kasasi untuk membatalkan putusan tersebut.

c. Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan. Asas ini digariskan pada

Pasal 178 aayt (3) HIR Pasal 189 (3) R.Bg. larangan ini disebut ultra

petita partitum. Mengadili lebih dari yang dituntut dikatagorikan

melampaui batas wewenang atau ultra varies ultra petita partitum ataupun

ultra vines dikatagorikan sebagai tindakan yang tidak sesuai hukum.

tindakan ultra petita yang didasarkan atas itikad baik sekalipun, tetap

dikatagorikan ilegal karena berdasarkan dengan prinsip the rule of law.50

d. Prinsip sidang terbuka untuk umum, pembukaan sidang dan sidang untuk

ucapan amar putusan, wajib dalam sidang terbuka untuk umum putusan

yang tidak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dikatagorikan

sebagai tindakan yang lalai memenuhi syarat yang digariskan undang-

undang yang oleh undang-undang sendiri mengancam dengan batalnya

putusan demi hukum. hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 13 Undang-

Undang Nomor 48 tahun 2009 menyatakan :

50 Yahya Harahap, HUKUM ACARA PERDATA, Cet. Ke- 14, Sinar Grafik, Jakarta, 2014, h. 801

53

1) Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum,

kecuali undang-undang menetukan lain.

2) Putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum

apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

3) Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dan (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.

8. Teori Tentang Putusan Hakim

Sesuai ketentuan Pasal 178 HIR/Pasal 189 R.Bg juncto Pasal 14 Undang-

Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa apabila

pemeriksaan perkara telah selesai, majelis hakim karena jabatannya melakukan

musyawarah untuk mengambil putusan yang akan diajtuhkan.

Proses pemerikasaan di persidangan dianggap selesai apabila telah

melakukan pemeriksaan yang diawali dengan proses upaya perdamaian

berdasarkan Pasal 130 HIR, yang diperluas melaui proses mediasi berdasar

PERMA Nomor 01 tahun 2008.

Apabila proses perdamaian, baik dipersidangan, maupun mediasi yang

dinyatakan gagal, maka pemeriksaan pokok perkara dilanjutkan dimulai dengan

pembacaan surat gugatan, jawaban tergugat, replik penggugat dan duplik

penggugat.

Hakim kemudian merumuskan pokok perkara sengeketa yang dilanjutkan

dengan pembebanan pembuktian berdasarkan Pasal 163 HIR kepada para pihak.

Apabila proses pembuktian yang berimbang telah selesai kemudian para pihak

mengajukan kesimpulan.

54

Bilamana semua tahapan pemeriksaan di persidangan telah selesai, dan

mejelis menyatakan bahwa tahapan selanjutnya yakni musyawarah putusan untuk

menentukan putusan yang akan dijatuhkan sebagaimana diatur dalam Pasal 14

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman yang

menegaskan bahwa :51

1. Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat

rahasia.

2. Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan

pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang

diperiksa dan menjadikan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

3. Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat,

pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.

Apabila dalam rapat musyawarah putusan tersebut, majelis hakim sepakat

bahwa gugatan tidak mengandung cacat formal, maka majelis mempertimbangkan

pokok perkara. Patokan perkara telah diatur dalam Pasal 178 HIR atau Pasal 189

R.Bg, yaitu :52

1. Pada waktu bermusyawarah, hakim karena jabatannya wajib melengkapi

segala alasan hukum yang tidak dikemukaan kedua belah pihak.

2. Hakim wajib mengadili seluruh bagian tuntutan.

3. Hakim dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang dituntut, atau

memberikan lebih dari pada yang dituntut.

51 51 Syarif Mappiasse, LOGIKA HUKUM Pertimbangan Putusan Hakim. Cet. Ke-1, Prenadamedia Group, Jakarta, 2015, h. 40 52 Ibid.

55

B. HASIL PENELITIAN

1. Duduk Persoalan Putusan Nomor : 0084/Pdt.G/2013/PA.Sal, Permohonan

Izin Poligami. Pemohon adalah suami yang mengajukan izin permohonan

poligami dengan alasan, sebagai berikut :53

a. Termohon sebagai seorang istri secara biologis sudah tidak mampu

melayani Pemohon.

b. Termohon tidak bisa mendidik anak-anak untuk melaksanakan

kawajiban sebagai seorang muslim (shalat lima waktu).

c. Termohon sendiri sebagai muslimah tidak mau melaksanakn

kewajibanya (shalat lima waktu dan puasa).

d. Pemohon mampu memenuhi kebutuhan hidup istri-istri pemohon

beserta anak-anak karean pemohon bekerja sebagai Wiraswasta

(dagang material banguna) dan mempunyai penghasilan kurangg lebih

sebesar Rp. 4.500.00,- (empat juta lima ratus ribu rupiah) /bulannya.

e. Pemohon bersedia berlaku adil terhadap istri-istri pemohon.

f. Termohon menyatakan rela dan tidak keberatan apabila Pemohon

menikah lagi dengan calon istri kedua pemohon.

g. Calon istri kedua Pemohon menyatakan tidak akan mengganggu gugat

harta benda yang sudah ada selama ini, melainkan tetap utuh sebagai

harta bersama antara Pemohon dan Termohon.

53 Putusan Perkara Nomor : 0084/Pdt.G/2013/PA.Sal

56

h. Antara Pemohon dengan calon istri kedua Pemohon tidak ada

larangan melakukan perkawian, baik menurut syariat Islam maupun

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, yakni:

1. Calon istri kedua Pemohon dengan Termohon bukan saudara

sesusuan, begitu pun antara Pemohon dengan calon istri kedua

Pemohon.

2. Calon istri Pemohon berstatus janda cerai dalam usia 39 tahun dan

tidak terikat pertunangan dengan laki-laki lain.

3. Wali nikah calon isteri kedua pemohon (Suwardi) bersedia untuk

menikahkan Pemohon dengan calon istri kedua pemohon.

Untuk menguatkan dalil permohonannya tersebut Pemohon mengajukan

bukti-bukti sebagai berikut :

1. Bukti Saksi :

1. Saksi I, menerangkan dibawah sumpah sebagai berikut :

Saksi adalah tetangga Pemohon dan Termohon.

Saksi tahu pemohon hendak menikah lagi dengan seorang

wanita.

Yang saksi ketahui calon istri pemohon sudah hamil 4 bulan

karena sudah dinikahi sirri oleh Pemohon.

Pemohon bekerja sebagai pedagang material bangunan dengan

penghasilan cukup.

Calon istei kedua Pemohon berstatus janda cerai pada tahun

2001 lalu.

57

Yang saksi ketahui hubungan isteri pertama Pemohon dengan

calon istri Pemohon adalah orang lain dan tidak ada larangan

untuk dinikahi.

Saksi sanggup mengingatkan Pemohon agar berlaku adil dan

membangunkan rumah untuk isteri pertamanya.

2. saksi II, menerangkan dibawah sumpah sebagia berikut :

Saksi adalah tetangga Pemohon dan Termohon.

Saksi tahu Pemohon hendak menikah lagi dengan seorang

perempuan.

Antara calon istri kedua pemohon dan istri pertama tidak ada

hubungan darah maupun susuan.

Sekarang calon isteri pemohon sudah hamil 4 bulan karena

sudah dinikahi sirri oleh Pemohon.

Pemohon bekrja sebagai pedagang material bangunan yang

menurut hemat saya bisa menghidupi istri-istrinya kelak.

Saksi sanggup mengingatkaan Pemohon agar berlaku adil

terhadap istri-istrinya.

Calon isteri kedua bertatus janda cerai pada 2001 dan tidak

dalam pinangan laki-laki lain.

Tanggapan Termohon atas dalil pemohon disampaikan secara lisan

sebagai berikut :

1) Termohon sudah membaca surat permohonan dan telah paham

maksudnya.

58

2) Sebenarnya Termohon masih mampu melayani kebutuhan biologis

Pemohon, hanya saja Termohon lebih banyak tidur di kamar

kontrakan dalam pasar dan Pemohon juga tetapi lain tempat.

3) Sebenarnya Pemohon mau menikah lagi karena sudah menghamili

wanita lain dan telah hamil 4 bulan.

4) Wanita tersebut menuntut pertanggung jawaban dari pemohon.

5) Pada dasarnya Termohon tidak keberatan akan dimadu Pemohon

asalkan Termohon dibuatkan rumah.

6) Harta bersama yang telah diperoleh menjai hak Termohon dengan

Pemohon.

Majelis Hakim sudah mendengarkan keterangan calon isteri kedua

pemohon, sebagai berikut :

1) Benar Pemohon hendak menikahi saya.

2) Saya bersedia akan dinikahi Pemohon karena telah dihamili oleh

Pemohon dan sekarang telah hamil 4 bulan.

3) Antara saya dengan pemohon maupun isteri pertamnya tidak ada

hubungan nasab maupun susuan.

4) Saya tidak akan mengganggu harta Pemohon yang telah diperoleh

dengan istri pertamanya.

2. Putusan dan Pertimbangan Hakim atas Perkara Nomor :

0084/Pdt.G/2013/PA.Sal.

Berdasarkan dalil pemohon, serta keterangan isteri pertama, calon isteri

kedua pemohon dan bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan. Hakim

59

memutus mengabulkan permohonan izin poligami, dengan pertimbangan Hakim

sebagai berikut :

Maksud permohonan Pemohon a quo adalah seperti diuraikan

diatas.

Majelis Hakim sudah mendamaikan Pemohon dan Termohon akan

tetapi tidak berhasil.

Pemohon dan Termohon juga telah menempuh mediasi dengan

mediator Drs. Jaenuri, MH namun tidak berhasil.

Berdasarkan bukti P1 dan P2 berupa KTP Pemohon dan Termohon

ternyata kedua belah pihak berdomisili di wilayah hukum

Pengadilan Agama Salatiga oleh karenanya Pengadilan Agama

Salatiga berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan

tersebut.

Atas alasan Pemohon untuk berpoligami diatas dibenarkan

Termohon dan secara kenyataan calon isteri kedua Pemohon telah

hamil 4 bulan dan termohon tidak keberatan dimadu dan asalkan

dibuatkan rumah oleh Pemohon.

Berdasarkan bukri P3 berupa KTP calon isteri Pemohon dengan

dihubungkan keterangan saksi-saksi antara isteri pertama dengan

calon isteri kedua adalah orang lain, tidak ada hubungan darah

maupun susuan sehinnga tidak ada larangan untuk dinikahi.

Berdasarkan bukti P5 Termohon telah menambahkan cap jempol

bersedia dimadu dikuatkan keterangan dimuka sidang dengan

syarat Pemohon membuatkan rumah.

60

Berdasarkan bukti P7 Pemohon beersedia berlaku adil terhadap

isteri-isterinnya dengan dihubungkan P8 penghasilan Pemohon

sebagai pedang material bangunan dipandang bisa mencukupi

kebutuhan kelaurganya.

Berdasarkan bukti P9 calon isteri kedua Pemohon berstatus janda

cerai yang telah ahbis masa iddahnya dan menurut keterangan

saksi-saksi tidak dalam pinangan pria lain sehingga dapat dinikasi

oleh Pemohon.

Berdasarkan semua pertimbangan diatas dapat disimpulkan alasan

pemohon untuk berpoligami telah memenuhi peraturan perrundang-

undangan yang berlaku.

Secara nyata calon isteri kedua telah hamil 4 bulan akibat

hubungannya dengan Pemohon maka untuk menjamin status janin

yang dikandungnya agar mempunyai ayah yang legal dan sesuai

dengan kaidah ushuliyah.

3. Duduk Persoalan Putusan Nomor : 0451/Pdt.G/2017/PA.Sal. Permohonan

Izin Poligami. Pemohon adalah suami yang mengajukan izin permohonan

poligami dengan alasan, sebagai berikut :54

a. Pemohon telah menjalani hubungan dengan calon isteri pemohon dan

hamil sehingga harus bertanggung jawab.

b. Atas keadaan seperti itu Termohon telah menyatakan rela dan tidak

keberatan apabila Pemohon menikah lagi dengan calon isteri pemohon

yang kedua, serta Termohon bersedia dimadu oleh Pemohon

54 Putusan Perkara Nomor : 0451/Pdt.G/2017/PA.Sal.

61

c. Pemohon dengan calon Isteri kedua tidak ada larangan atau hubungan

tertentu yang dapat menghalangi sahnya pernikahan.

d. Pemohon bekerja di Perusahaan Swasta PT. Charoen Pokphand

Indonesia Salatiga dengan pengahasilan rata-rata perbulan 5.500.000,-

(lima juta lima ratus ribu rupiah) dan pengahsila lain usaha dirumah

rata-rata perbulan sebesar 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupia),

dan jika permohonan izin ini dikabulkan Pemohon sanggup untuk

memenuhi kebutuhan isteri-isteri dan anak-anak pemohon dengan

baik.

e. Pemohon sanggup untuk berlaku adil di antara isteri-isteri Pemohon.

f. Selama ikatan pernikahan pemohon dan termohon telah memperoleh

harta bergerak berupa, mesin fotokopi merk canon .

Untuk menguatkan dalil permohonannya tersebut Pemohon mengajukan

bukti-bukti sebagai berikut :

1. Bukti Saksi :

1. Saksi I :

Saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon karena Pemohon

dan Termohon adalah suami isteri.

Saksi kenal dengan calon isteri kedua pemohon.

Pemohon mengajukan permohonanya ini karena pemohon

akan menikah lagi dan minta izin poligami di pengadilan

agama.

62

Rumah tangga antara Pemohon Termohon rukun tentram dan

harmonis, akan tetapi Pemohon telah berhubungan dengan

seorang perempuan, telah hamil 7 bulan.

Saksi mengetahui Pemohon mau izin nikah lagi yang kedua

karena harus bertanggung jawab kehamilan calon isteri kedua

Pemohon yan gsudah hamil 7 bulan.

2. Saksi II :

Saksi mengetahui Pemohon dan Termohon adalah suami isteri.

Pemohon akan mengajukan permohonan poligami karena akan

menikah lagi dengan calon isteri kedua Pemohon.

Lamaran pihak Pemohon sudah diterima pihak keluarga calon

isteri kedua pemohon.

Calon isteri kedua pemohon meminta pertanggung jawab

Pemohon karena calon isteri kedua Pemohon hamil 7 bulan

akibatnya hubungan suami isteri dengan Pemohon.

3. Saksi III :

Saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon karena saksi

sebagai paman.

Pemohon akan mengajukan poligami karena calon isteri kedua

Pemohon telah hamill 7 bulan lamanya.

Saksi mengetahui dari ekonomi Pemohon dipandang mampu

untuk berpoligami.

63

Atas permohonan tersebut, termohon menyampaikan jawabannya sebagai

berikut :

1) Termohon telah mengetahui pemohon mengajukan permohonan

izin poligami.

2) Termohon adalah orang yang sehat dan tidak pernah menderita

penyakit kelamin serta masih mampu menjalankan kewajiban

sebgai isteri.

3) Pemohon bermaksud menikah lagi karena pemohon telah

menghamili calon isteri kedua sudah hamil 7 bulan.

4) Pernikahan ini atas tuntutan dari calon istri kedua pemohon dan

keluarganya.

Majelis Hakim sudah mendengarkan keterangan calon isteri kedua

pemohon, pada pokoknya yaitu, Calon isteri kedua meminta pertanggung

jawaban pemohon karena calon isteri kedua pemohon saat ini sudah hamil

7 bulan dengan pemohon.

4. Putusan dan Pertimbangan Hakim atas Perkara Nomor :

0451/Pdt.G/2017/PA.Sal.

Berdasarkan dalil pemohon, serta keterangan isteri pertama, calon isteri

kedua pemohon dan bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan. Hakim

memutus menolak permohonan izin poligami, dengan pertimbangan Hakim

sebagai berikut :

Pemohon dan Termohon adalah suami isteri yang telah dikaruniai

1 orang anak.

64

Termohon adalah orang yang sehat dan tidak pernah menderita

penyakit kelamin sehingga masih mampu menjalankan kewajiban

sebagai isteri.

Pemohon akan menikah lagi (poligami) dengan seorang wanita

berstatus perawan.

Calon isteri kedua Pemohon meminta bertanggun jawab Pemohon

karena calon isteri kedua Pemohon telah hamil 7 bulan akibat

berhubungan layaknya suami isteri.

Setelah Majelis hakim membaca dengan seksama dan mempelajari

dalil permohonan poligami tersebut, ternyata tidak ada alsan

hukum sebgaimana diatur dalam pasal 4 UU No. 1 tahun 1974 jo

pasal 57 Kompilasi Hukum Islam.

Setalah menikah Pemohon dan Termohon telah mempunyai harta

bersama yaitu mesin Fotokopy merk Canon tahun 2010 harga

pembelian Rp. 11.000.000,-

Berdasarkan bukti pernyataan berlaku adil, bukti pernyataan

bersedia dimadu permohonan pemohon untuk peraturan poligami

telah memenuhi dari syarat kumulatif yang harus dipenuhi

keterangan berpoligami.

Berdasarkan keterangan para saksi pemohon dan bukti-bukti yang

diajukan berupa tentang penghasilan pemohon, berdasarkan standar

kehidupan layak (KHL) minimum Kabupaten Semarang

sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Daerah

Kabupaten Semarang Nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan

65

sebagaimana diatur kembali tentang upah minimum Kabupaten

Semarang dan jika Pemohon ingin menikah lagi maka penghasilan

minimum yang layak adalah Rp. 1.600.000,- (satu juta enam ratus

ribu rupiah) x 2 atau setidaknya Rp. 3. 200.000,- (tuga juta dua

ratus ribu rupiah). sedangkan pengahsilan Pemohon telah terbukti

hanya berkisaran Rp. 2.200.000,- (dua juta dua ratus ribu rupiah)

ditambah hasil panen bengkok yang hanya Rp. 1.000.000,- (satu

juta rupiah). oleh karena itu Majelis berpendapat bahwa

penghasilan Pemohon jauh bisa menjamin kepasstian anak-anak

dan tidak memenuhi salah satu syarat kumulasi yang ditentukan

peraturan perundang-undangan, oleh karenanya permohonan

Pemohon untuk berpoligami haruslah dinyatakan ditolak.

Agar mudah memahami Putusan Nomor : 0084/Pdt.G/2013/PA.Sal dan Nomor :

0451/Pdt.G/2017/PA.Sal. maka disajikan dalam tabel berikut ini :

Tabel I

No. Item Putusan Penetapan Nomor

0084/Pdt.G/2013/PA.Sal 0451/Pdt.G/2017/PA.Sal

1. Identitas Pemohon (XY)

Termohon (XY)

Pemohon (Bagus Tri Aji)

Termohon (Hesthi

Setyaningrum)

2. Alasan atau dalil

pemohon

mengajukan

Permohonan

1. Termohon sebagai

seorang isteri secara

biologis sudah tidak

mampu melayani

pemohon. Dan termohon

tidak bisa mendidik

anak-anak untuk

melakukan kewajiban

sebagai seorang muslim.

Karena termohon sendiri

sebagai seorang

1. Pemohon telah menjalalani

hubungan dengan calon

isteri kedua pemohon dan

hamil sehingga harus

bertanggung jawab.

2. Atas keadaan seperti itu

termohon telah menyatakan

rela dan tidak keberatan

apabila pemohon menikah

lagi dengan calon isteri

pemohon yang kedua,

66

muslimah tidak mau

melaksanakan

kewajibannya.

2. Pemohon mampu

memenuhi kebutuhan

hidup isteri-isteri

pemohon beserta anak-

anak pemohon, karena

pemohon bekerja sebagai

wiraswasta.

3. Pemohon bersedia adil

terhadap isteri-isteri

pemohon.

4. Termohon menyatakan

rela dan tidak keberatan

apabila pemohon

menikah lagi dengan

calon isteri kedua

pemohon.

5. Calon isteri

keduapemohon

menyatakan tidak

mengganggu gugat harta

benda yang sudah ada

selama ini, melainkan

masih tetap utuh sebagai

harta bersama antara

pemohon dan termohon.

6. Antara pemohon dengan

calon isteri kedua

pemohon tidak ada

larangan melakukan

perkawinan, baik

menurut syariat Islam

maupun Peraturan

Perundang-Undangan.

termohon bersedia dimadu

oleh pemohon.

3. Pemohon dengan calon

isteri kedua tidak ada

larangan ataupun hubungan

tertentu yang dapat

menghalangi sahnya

pernikahan.

4. Pemohon bekerja di

perisahaan Swasta PT.

Charoen Pokphand

Indonesia Salatiga, dan

penghasilan lain usaha

dirumah. Pemohon sanggup

untuk memenuhi kebutuhan

isteri-isteri dan anak-anak

pemohon dengan baik.

5. Pemohon sanggup untuk

berlaku adil di antara isteri-

isteri pemohon.

3. Dasar hukum

yang digunakan

hakim

Kaidah Ushuliyah Pasal 4 Undang-Undang No. 1

tahun 1974 jo Pasal 57

Kompilasi Hukum Islam.

4. Pertimbangan 1. Atas alasan pemohon

untuk berpoligami diatas

dibenarkan termohon

dan kenyataan calon istri

kedua pemohon telah

hamil 4 bulan dan

termohon tidak

keberatan dimadu dan

asalkan dibuat rumah

1. Pemohon dan Termohon

adalah suami istri yang

telah dikaruniai 1 orang

anak.

2. Termohon adalah orang

yang sehat dan tidak pernah

menderita penyakit kelamin

sehingga masi mampu

menjalankan kewajiban

67

oleh pemohon.

2. Berdasarkan bukti P3

berupa KTP calon istri

kedua pemohon dengan

dihubungkan keterangan

saksi-saksi antara istri

kedua dan istri pertama

calon istri kedua adalah

orang lain, tidak ada

hubungan darah maupun

susuan sehingga tidak

ada larangan untuk

dinikahi.

3. Berdasarkan bukti P8

termohon telah

membubuhi cap jempol

bersedia dimadu

dikuatkan keterangan

dimuka sidang dengan

syarat pemohon

membuatkan rumah.

4. Berdasarkan bukti P7

pemohon bersedia

berlaku adil terhadap

istri-istrinya dengan

dihubungkan P8

penghasilan pemohon

sebagai pedagang

material bangungan

dipandang bisa

mencukupi kebutuhan

kelaurganya.

5. Berdasarkan bukti P9

calon istri kedua

pemohon berstatus

sebagai janda cerai yang

telah habis masa

iddahnya dan menurut

keterangan saksi-saksi

tidak dalam pinangan

pria lain sehingga dapat

dinikahi pemohon.

6. Bahwa berdasarkan

semua pertimbangan

diatas dapat disimpulkan

alasan pemohon untuk

berpoligami telah

memenuhi peraturan

sebagai seorang isteri.

3. Pemohon akan menikah lagi

(poligami) dengan seorang

wanita Liya Indriyani Dewi

yang berstatus perawan.

4. Calon istri kedua pemohon

telah hamil umur 7 bulan

akibat berhubungan

layaknya suamu istri

dengan pemohon.

5. Setelah majelis hakim

membaca dengan seksama

dan mempelajari dalil

permohonan poligami

tersebut, ternyata tidak ada

alasan hukum sebagaimana

diatur dalam Pasal 4 UU

No. 1 tahun 1974 jo Pasal

57 Kompilasi Hukum

Islam.

6. Berdasarkan bikti P.5

(pernyataan berlaku adil),

bukti P.7 (pernyataan

bersedia dimadu)

permohonan untuk

peraturan poligami telah

memenuhi sebagian dari

syarat kumulatif yang harus

di penuhi keterangan

berpoligami.

7. Berdasarkan para saksi

pemohon dan bukti-bukti

yang diajukan pemohon P.6

dan P.8 (tentang

penghasilan pemohon)

karena berdasarkan standar

kehidupan layak (KHL)

minimum Kabupaten

Semarang sebagaimana

diatur dalam Peraturan

Pemerintah Daerah

Kabupaten Semarang

Nomor 78 tahun 2015

tentang pengupahan

sebagaimana diatur kembali

tantang upah minimum

68

perundang-undangan

yang berlaku.

7. Secara nyata calon istri

kedua telah hamil 4

bulan akibat

hubungannya dengan

pemohon maka untuk

menjamin status janin

yang dikandungnya agar

mempunyai ayah yang

legal dan sesuai dengan

kaidah ushuliyah sebagai

beriku “menolak atau

menghindari mafsadah

(kesulitan) lebih di

dahulukan dari pada

menarik kemaslahatan”.

yang layak adalah Rp.

1.600.000,- (satu juta enam

ratus ribu rupiah). x 2 (dua)

atau sedikitnya Rp.

3.200.000,- (tiga juta

duaratus ribu rupiah).

sedangkan pengasilan

pemohon telah terbukti

hanya berkisar Rp.

2.200.000,- (dua juta dua

ratus ribu rupiah) perbulan

(bukti P.9) ditambah hasil

panen bengkok yang hanya

Rp. 1.000.000,- (satu juta

rupiah) perbulan, oleh

karena itu majelis Hakim

berpendapat bahwa

penghasilan jauh dari layak

untuk adanya kepastian bisa

menjamin jauh dari layak

untuk mohon Majelis

perpendapat bahwa

pengasilan pemohon jauh

bisa menjamin kepastian

anak-anak dan tidak

memenuhi syarat kumulasi

yang ditentukan peraturan

perrundang-undangan, oleh

karenanya permohonan

pemohon untuk berpoligami

haruslah dinyatakan ditolak.

5. Putusan 1. Mengabulkan

permohonan pemohon.

2. Menetapkan memberi izin

kepad pemohon untuk

menikah lagi dengan

seorang perempuan.

3. Menghukum pemohon

untuk membayar biaya

perkara sebesar 271.000,-

1. Menolak permohonan

pemohon.

2. Membebankan pemohon

untuk membayar biaya

perkara sejumlah Rp.

362.000,-

69

C. ANALISIS

1. Analisis Putusan Hakim Terhadap Perkara Permohonan

Izin Poligami Nomor :0084/Pdt.G/2013/PA.Sal

Dalam perkara Nomor : 0084/Pdt.G/2013/PA.Sal ini, Pengadilan Agama

Salatiga telah memeriksa dan memutus perkara izin Poligami yang diajukan oleh

pemohon, sebagaimana putusan yang telah disebutkan pada bab sebelumnya.

Adapun alasan-alasan dan pertimbangan hakim di Pengadilan dalam

memutus perkara izin poligami, penulis merangkummya dalam beberapa hal

sebagia berikut :

a) Hubungan hukum antara pemohon, termohon dan calon istri kedua adalah

orang lain, tidak ada hubungan darah maupun susuan sehingga tidak ada

larangan menikah. Calon istri kedua berstatus janda cerai yang habis masa

iddahnya, dan tidak ada pinangan orang lain, sehingga tidak ada halngan

untuk melakukan perkawinan.

b) Adanya jaminan berlaku adil terhadap istri/istrinya dan penghasilan

pemohon sebagai pedagang material bangunan dipandang bisa mencukupi

kebutuhan keluarganya.

c) Dalam pertimbangan majelis hakim juga, bahwa secara nyata calon istri

kedua telah hamil 4 bulan akibat hubunganya dengan pemohon maka

untuk menjamin status janin yang dikandungnya agar mempunyai ayah

yang legal.

d) Dan pertimbangan lain majelis hakim, sebagai berikut :

70

1. Termohon tidak keberatan dimadu, asalkan dibuatkan rumah oleh

pemohon.

2. Calon istri kedua pemohon terbukti telah hamil empat bulan.

3. Profesi pemohon sebagai wiraswasta, dan dipandang mencukupi

kebutuhan istri-istrinya dan anak-anaknya.

Meskipun dalam Undang-Undang status anak sudah jelas, tetapi secara

sosiologis anak yang terpisah dari orang tuanya kurang mendapatkan kasih sayang

dari orangtuanya secara utuh.

Pemohon mempunyai i’tikad baik untuk tetap mempertahankan

perkawinannya dengan istri pertamanya, dan tidak membiarkan hubungan

pemohon dengan calon istrinya yang sudah dalam keadaan hamil tanpa

perlindungan dan kepastian hukum. dengan i’tikad baik maka pemohon

mengajukan permohonan izin poligami, hal ini merupakan solusi terbaik sebagai

rasa tanggung jawab untuk menghindari kesulitan atau mafsadah, sesuai dengan

kaidah ushuliyah yang dikemukan oleh hakim dalam mempertimbangkan

hukumnya :

درأالمفاسدمقدمعلى خلن المصالح

Artinya :

“Menolak atau menghindari mafsadah (kesulitan) lebih didahulukan dari

pada menarik kemaslahatan”.

Penulis berpendapat bahwa putusan hakim dalam memberikan izin

poligami melalui alasan-alasan dan beberapa pertimbangannya dalam

mengabulkan perkara izin poligami tidak tepat karna jika diberikan izin maka

anggapan dalam masyarakat sangat negatif. Jika seorang suami ingin melakukan

71

poligami maka akan menghamili wanita dahulu. Hal ini sangat dilarang oleh Islam

karena merusak makna dari sebuah perkawinan. Dan perzinahan akan merajalela.

Allah berfirman dalam Al-qur’an.

والتقرنواالزنى انه كان فحشةوساءسبال

Artinya:

Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah

perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.

Zina dinyatakn oleh agam islam sebgai perbuatan melanggar hukum yang

tentu saja dan sudah seharusnya diberi hukuman maksimal, mengingat akibat yang

ditimbulkan sangatlah buruk, lagi pula mengandung kejahatan dan dosa.

Hubungan bebas (free sex) dan segala bentuk hubungan kelamin lainnya di luar

ketentuan agama adalah perbuatan yang membahayakan dan mengancam

keutuhan masyarakat, dan zina juga sebagai perbuatan yang nista.

Pertimbangna Hakim dalam mengabulkan permohona izin poligami ini

menurut penulis, lebih menekankan pada nilai manfaat dalam arti melindungi

calon istri kedua pemohon dan anak yang dikandungnya, sehinga anak yang

dikandungnya saat lahir akan menjadi anak sah menurut hukum. Pertimbangan

hakim dalam mengabulkan izin poligami tidak dapat dibenarkan karena tidak ada

dasar hukum dalam Undang-Undang maupun nash Al-qur’an, yang menyatakan

bahwa seorang laki-laki dapat melakukan poligami karena calon istri kedua telah

hamil.

72

2. Analisis Terhadap Pertimbangan Dan Dasar Putusan

Hakim

Permohonan izin poligami karena telah menghamili calon istri yang kedua

sangatlah tidak dibenarkan. Undang-Undang tidak mengatur hal demikian karena

adanya keterpaksaan istri pertama untuk menyetujui suaminya berpoligami. Akan

tetapi Hakim dalam mengabulkaan permohonannya izin poligami nomor :

0084/Pdt.G/2013/PA.Sal menggunakan pertimbangan dengan mengemukakan

kaidan fiqhiyyah: 55

درءالمفاسدمقدم على جلن المصالح

Artinya:

“menolak atau menghindari mafsadah (kesulitan) lebih didahulukan dari

pada menarik kemaslahatan”.

Penulis berpendapat apabila menggunakan kaidah ini atau menajadi dasar

hukum, apabila menghadapi mafsadah pada waktu yang sama, maka harus

didahulukan yang palig buruk akibatnya. Apabila berkumpul antara maslahat dan

mafsadah, maka yang harus dipilih yang maslahatnya lebih banyak, apabila sama

banyaknya maka menolak mafsadah lebih utama dari meraih maslahat, sebab

menolak mafsadah itu sudah merupakan kemalsahatan.

Dalam penggunaan kaidah ini terdapat tolak ukurnya, sebagai persyaratan

yang wajib dipenuhi di antaranya :56

1. Kemaslahatan itu harus sesuai dengan maqashid al-syari’ah, semangat

ajaran, dalil-dalil kulli dan dalil qoth’i baik wurud maupun dalalahnya.

55 A. Dzajuli, Kaidah-Kaidah fikih, cet. Ke-6, edisi pertama, Prenadamedia Group, Jakarta, 2016, h.11 56 Ibid. h.29

73

2. Kemaslahatan itu harus meyakinkan, artinya kemaslahatan itu berdasarkan

penelitian yang cermat dan akurat sehingga tidak meragukan bahwa itu

bisa mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudarat.

3. Kemaslahatan itu membawa kemudahan dan bukan mendatangkan

kesulitan yang diluar batas, dalam arti kemaslahatan itu bisa dilaksanakan.

4. Kemaslahatan itu memberikan manfaat kepada seabagian besar

masyarakat bukan kepada sebagian kecil masyarakat.

Menurut penulis, dalam putusan hakim dalam mempertimbangkan perkara

izin poligami karena istri kedua hamil dahulu, belum sepenuhnya sesuai dengan

syarat atau tolak ukur penggunaan kaidah. Karna kepentingan itu bersifat individu

bukan sebagian besar masyarakat. Masyarakat juga akan berpandangan lain

dengan keputusan hakim. Yang mana jika ingin melakukan poligami maka akan

menghamili wanita dahulu, sehingga hal ini akan menimbulkan perzinahan

dimana-mana.

Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

dan Kompilasi Hukum Islam, secara jelas tidak mengatur ketentuan permohona

izin poligami yang calon istri kedua telah hamil. Alasan-alasan yang dapat

diterima adalah :

1. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974, sebagai berikut :

Pengadilan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin

kepada seorang suami yang akan berisitri lebih dari seorang apabila :

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

74

b. Istri mendapatkan cacat badan atau penyakulit yang tidak dapat

disembuhkan.

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

2. Pasal 5 Undang-Undang No. 1 tahun 1974, sebagai berikut :

Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana

dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat

sebagai berikut :

a. Adanya persetujuan dari istri/istri.

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-

keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri

dan anak-anak mereka.

3. Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam :

Pengadilan agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang

akan beristri lebih dari seorang apabila :

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

b. Istri mendapatkan cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan.

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

4. Pasal 58 Kompilasi Hukum Islam :

1) Selain syarat utama yang disebutkan pada pasal 55 ayat (2) maka untuk

memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat

yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 yaitu :

75

a. Adanya persetujuan istri.

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan istri-

istri dan anak-anak mereka.

2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan

Pemerintah No. 9 tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat

diberikan secara tetulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada

persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengna persetujuan lisan

isteri pada sidang Pengadilan Agama.

3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang

suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai

persetujuannya dan tidak dapatmenjadi pihak dalam perjanjian atau

apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya

2 tahun atau karena sabab lain yang perlu mendapatkan penilaian hakim.

Dalam peraturan perundang-undangan diatas masih dibutuhkan banyak

penafsiran. Karena sifat Undang-Undang yang masih global. Tapi bisa dikatakan

bahwa peraturan tersebut dibuat adalah dalam rangka untuk mengatur masyarakat

agar tidak melakukan poligami yang tidak sehat, atau sebaliknya agar poligami

dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab.

3. Analisis Putusan Hakim Terhadap Perkara Permohonan

Izin Poligami Nomor : 0451/Pdt.G/2017/PA.Sal

Dalam Perkara Nomor : 0451/Pdt.G/2017/PA.Sal pengadilan agama yang

memeriksa dan mengadili perkara izin poligami yang diajukan oleh pemohon,

sebagaimana putusan yan gtelah disebutkan pada bab sebelumnya.

76

Adapun alasan-alasan dan pertimbangan hakim di Pengadilan dalam

memutus perkara izin poligami, penulis merangkummya dalam beberapa hal

sebagia berikut :

a. Pernyataan Pemohon berlaku adil, dan termohon sedia dimadu,

permohonan untuk peraturan poligami telah memenuhi sebagian dari

syarat kumulatif yang harus di penuhi.

b. Pertimbangan lainnya oleh majelis hakim :

1. Pemohon dan termohon adalah suami istri yang telah dikaruniai 1

(satu) orang anak.

2. Termohon adalah orang yang sehat dan tidak pernah menderita

penyakit kelamin sehingga masih mampu menjalankan kewajiban

sebagai istri.

3. Pemohon akan menikah lagi dengan (poligami) dengan seorang

wanita.

4. Calon istri kedua pemohon meminta bertanggung jawab pemohon

karena calon istri kedua pemohon telah hamil umur 7 bulan akibat

berhubungan layaknya suami istri dengan pemohon.

c. Majelis hakim membaca dengan seksama dan mempelajari dalil

permohonan poligami, ternyata tidak ada alasan hukum sebagaimana

diatur dalam pasal 4 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 jo pasla 57

Kompilasi Hukum Islam.

d. Majelis hakim berpendapat bahwa penghasilan jauh dari layak untuk

adanya kepastian bisa menjamin kepastian anak-anak dan tidak memenuhi

salah satu syarat kumulasi yang ditentukan peraturan perundang-

77

undangan. Oleh karenanya permohonan pemohon untuk berpoligami

haruslah dinyatakan ditolak.

Penulis berpendapat bahwa hakim sebagai pihak yang berwenang

memutus perkara izin poligami tentunya mempunyai pertimbangan-pertimbangan

serta kriteria-kriteria tertentu dalam menolak izin poligami sangatlah tepat, karna

mencerminkan keadilan bagi termohon (istri) pada khususnya dan masyarakat

pada umumnya. Dan lebih melindungi hak-hak dari skandal yang dilakukan suami

dengan perempuan lain.

Dari segi sosiologis, memang kurang mempertimbangkan keadilan calon

istri pemohon yang sedang hamil, padahal dalam adat kebiasaan perempuan yang

hamil di luar nikah untuk dikawinkan oleh laki-laki yang menghamilinya, agar aib

yang ditanggung calon istri pemohon dan keluarganya dapat tertutupi.

Menurut penulis, majelis hakim dalam menolak izin poligami ini tetap

mencerminkan nilai manfaat yaitu memberikan pembelajaran bagi seorang

perempuan yang masih lajang agar tidak menjalin hubungan dengan laki-laki yang

sudah beristri karena akan merusak kebahagian dan ketentraman dalam rumah

tangga mereka dan masyarakat tidak akan mudah dan menggampangkan dalam

mengajukan permohonan poligami kepada pengadilan dengan alsan calon istri

kedua telah hamil terlebih dulu.

Jika dikabulkan izin poligami akan membuat citra Pengadilan Agama

menjadi negatif, karena anggapan masyarakat jika ingin berpoligami maka

menghamili perempuan lain. Hal ini sangat dilarang oleh islam karena merusak

makna dari sebuah perkawinan.

78

4. Analisis Terhadap Pertimbangan Dan Dasar Putusan

Hakim

Permohonan izin poligami karena telah menghamili calon istri kedua

sangatlah tidak dibenarkan. Undang-Undang maupun Al-qur’an tidak mengatur

hal demikian karena adanya keterpaksaan istri pertama untuk menyetujui

suaminya berpoligami. akan tetapi hakim dalam menolak permohoan izin

poligami nomor : 0451/Pdt.G/2017/PA.Sal, tidak ada alasan hukum sebagaimana

diatur didalam pasal 4 Undang-Undang tahun 1974 jo pasal 57 Kompilasi Hukum

Islam.

Hal ini dapat dicermati bahwa alasan permohonan pemohon tidak sesuai

dengan pasal 4 ayat (2) jo pasal 57 Kompilasi Hukum Islam tidak terbukti,

sehingga permohonan pemohon dinyatakan tidak beralasan dan karenanya harus

ditolak. Dan alasan calon istri kedua telah hamil dan pemohon dituntut

bertanggung jawab menikahinya tidak dapat dibenarkan baik berdasarkan

ketentuan pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 jo 57 Kompilasi Hukum

Islam.

Menurut penulis, hakim lebih menekankan pada nilai kepastian hukum,

yaitu alasan yang diajukan berdasarkan pasal 4 ayat (2) Undang-Undang

Perkawinan tidak terbukti, maka hakim berpendapat izin poligami yang seperti ini

harus ditolak. Hakim menerapkan pasal tersebut tanpa melakukan interpretasi

(penafsiran) maupun konstruksi hukum yang bisa memperluas makna pasal

tersebut.

79

Dalam putusan ini hakim tidak mempertimbangkan kedudukan atau status

anak yang dikandung oleh calon istri kedua, karena dalam undang-undang sendiri

sudah dijelaskan kedudukan atau status anak diluar kawin. Sebelum adanya

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 46/PUU/IX/2011. Status anak luar kawin

ada di pasal 43 ayat (1) undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan,

yang berbunyi : “anak yang dilahirkan diluar perkawin hanya mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Tetapi setelah adanya

putusan Mahkamah Konstitusi, menjadi “anak yang dilahirkan diluar perkawinan

hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, serta

dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu

pengetahuan tehnologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai

hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Tanpa

melihat ada atau tidaknya hubungan perkawinan antara ayah dan ibunya atau

perkawinan tersebut dicatatkan atau tidak (sirri).

Setelah adanya putusan ini maka lebih jelas lagi kedudukan atau status

anak luar kawin. Pertama, kewajiban alimentasi bagi laki-laki yang dapat

dibuktikan memiliki darah sebagai ayah dari anak luar kawin. Seorang ayah

biologis sudah tidak bisa mengelak lagi atas kewajiban hukum untuk memilihara

dan mendidik anak dengan alasan ketiadaan ikatan perkawinan yang sah dengan

ibunya. Ayah harus memenuhi kebutuhan hidup dan pendidikan anak tersebut

meskipun ia tidak terikat perkawinan dengan ibunya, atau bahkan sang ayah

terikat perkawinan dengan orang lain. Jika seorang ayah tidak melalaikan

kewajiban terhadap anaknya maka konsekuensi hukumnya ia dpat digugat ke

pengadilan.

80

Kedua, hak anak luar kawin atas harta warisan. Pengakuan anak luar

kawin memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya maka tentu akan

berakibat pada hak seorang anak mendapat harta warisan. Kedudukan anak luar

kawin menjadi setara dengan anak yang lahir sebagai akibat perkawinan yang sah.

5. Tujuan Perkawinan Menurut Hukum Islam

Alangkah baiknya kita meninjau kembali kepada tujuan perkawinan dalam

agama Islam itu sendiri. Pemeliharaan nilai-nilai yang lebih tinggi dan menunjang

kebaikan harus selalu merupakan tujuan utama. Maka izin untuk menikah lebih

dari seorang wanita pada suatu ketika, merupakan jalan darurat dan pencegahan

yang penting untuk memelihara nilai-nilai kehidupan masyarakat yang tinggi serta

melindungi masyarakat dari kekacauan. Sampai disini jelaslah kesesuaian

poligami.

Terlihat jelas juga, alasan poligami dengan calon istri kedua telah hamil

tidak dapat dibenarkan. Karena tidak ada dasar hukum yang membenarkan dalam

hukum islam maupun perundang-undangan. Adanya keterpaksaan istri pertama

untuk menyetujui suaminya melakukan poligami, hal ini akan berakibat tidak

tercapainya tujuan perkawinan yang telah dirumuskan dalam Kompilasi Hukum

Islam.

Menurut Imam Al-Ghazali, tujuan perkawinan itu dapat dikembangkan

menjadi lima yaitu :57

1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.

57 Abdul Rahman Ghozali, FIQH MUNAKAHAT, Cet. Ke-4, Prenada Media Group, Jakarta, 2010, h. 24

81

2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan

menumpahkan kasih sayang.

3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan

kerusakan.

4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab, juga bersunggung-

sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.

5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram

atas dasar cinta dan kasih sayang.

Tujuan perkawinan diluar permasalahan poligami atau bukan adalah

memperoleh ketenangan. Perkawinan ini diharapkan akan bisa menciptakan

keluarga yang sakinah yaitu sebuah tatanan keluarga yang menjadi idaman setiap

keluarga.

Poligami dengan alasan calon istri sudah hamil terlebih dahulu tidak

tercapainya tujuan perkawinan itu, dapat di pahami terjadinya perkawinan ini

karena seorang laki-laki dituntut untuk bertanggung jawab atas perbuatannya.

Pengertian pernikahan sendiri adalah suatu akad antara seorang calon mempelai

pria dengan calon mempelai wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan belah pihak,

yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang telah

ditetapkan syara’ untuk menghalalkan pencampuran antara keduanya, sehingga

satu sama lain saling membutuhkan menjadi sekutu sebagai teman hidup dalam

rumah tangga.

Dengan dasar kerelaan maka akan berdapak dengan tercapainya tujuan

perkawinan, tujuan perkawinan menurut islam ialah untuk memenuhi petunjuk

82

agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahterah dan bahagia.

Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahterah

artinya tercapainya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah

kebahagian, yakni kasih sayang antara anggota keluarga.

Akan tetapi, dasar perkawinan itu adalah pertanggung jawaban atas

perbuatannya, maka dalam mencapai tujuan perkawinan itu sangatlah sulit.

Karena tidak terpenuhinya hak dan kewajiban anggota keluarga, sehingga tidak

tercapainya kebahagian dalam berumah tangga. Keadilan syarat utama dalam

berpoligami tidak bisa dipenuhi, sehingga konflik internal keluarga, baik di antara

sesama istri, antara istri dengan anak-anak tiri, maupun antara anak-anak yang

berlainan ibu. Konflik yang terjadi antara istri-istri sangat kuat, istri yang merasa

kuat akan mengalahkan istri yang lemah. Hal ini dilakukan hanya untuk

mengambil perhatian dari suami mereka.

Tujuan perkawinan dalam Agama Islam telah digaris bawahi dalam Al-

Qur’an Qs Al-Rum ayat 21.

ومن ءايته أن جلق لكم من أنفسكم أزوجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم

مودةورحمةّ إنفى ذلك اليت لقوميتفكروب

artinya :

dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan untukmu istri-

istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya,

dan jadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang

demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berpikir.

Menurut ayat tersebut, kelaurga islam terbentuk dalam keterpaduan antara

ketentraman (sakinah), penuh rasa cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah).

Ia terdiri dari istri patuh dan setia, suami yang jujur dan tulus, ayah yang penuh

kasih sayang dan ramah, ibu yang lemah lembut dan berperasaan halus, putra-

83

putri yang patuh dan taat serta kerabat yang saling membina silaturrahmi dan

tolong-menolong. Hal ini dapat tercapai bila masing-masing anggota keluarga

tersebut mengetahui hak dan kewajibannya.

Pertimbangan hakim juga, haruslah merujuk pada pasal 3 Kompilas

Hukum Islam dan memperluas poligami kearah nilai-nilai yang digariskan pada

surat Al-Rum ayat 21 dalam landasan ideal yang dirumuskan dalam Pasal 3

Kompilasi Hukum Islam sepenuhnya dipergunakan nilai-nilai ruh keislaman,

yakni sakinah, mawaddah, rahmah.

Berdasarkan ketentuan pasal 50 Undang-Undang nomor 48 tahun 2009

tentang kekuasaan kehakiman bahwa dalam pertimbangan hukum putusan itu

salah satunya harus memuat, dasar putusan yang berkaitan dengan hukum yang

diterapkan dan argumen-argumen pendukung.

Dapat dikatakan bahwa dalam putusan tersebut argumen antara

pertimbangan sebagai dasar putusan, telah mendukung argumen putusannya.

Dimana dalam putusannya hakim memperhatikan pertimbangan hukum yang di

dasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar, yang mana hakim

bertanggung jawab atas putusan yang dibuatnya seperti yang telah di jelaskan

dalam pasal 53 undang-undang no. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.

Artinya bahwa putusannya dipertanggung jawabkan sesuai pertimbangan hukum

yang dibuatnya.

Dalam bagian ini ditegaskan kaidah-kaidah yang diambil oleh hakim

dalam mengabulkan izin poligami nomor : 0084/Pdt.G/2013/PA.Sal dengan

mengemukakan kaidah ushuliyah, karena sifatnya yang masih umum atau

84

universal jadi hakim perlu menafsirkan lagi dan harus memenuhi syatar-syarat

yang telah ditentukan dalam penggunaan kaidah tersebut, serta lebih menekankan

nilai manfaat dalam arti untuk melindungi calon istri kedua pemohon dan anak

yang dikandungnya, sehinga anak yang dikandungnya saat lahir akan menjadi

anak sah menurut hukum. seharusnya dalam perkara ini hakim menolak

permohonan pemohon karena tidak terpenuhinya alasan yang ada di perundang-

undangan maupun kompilasi hukum islam.

Sedangkan, dalam nomor : 0451/Pdt.G/2017/PA.Sal Dalam bagian ini

ditegaskan kaidah-kaidah yang diambil oleh hakim dalam menolak izin poligami,

lebih menekankan kepastian hukum, yaitu tidak terpenuhinya alasan-alasan yang

diberikan oleh perundang-undangan yang ada. yang diatur dalam pasal 4 Undang-

Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan jo pasal 57 Kompilasi Hukum

Islam. Hakim dalam menolak permohonan izin poligami mencerminkan nilai

keadilan bagi termohon (istri) dan mencerminkan nilai manfaat yaitu memberikan

pelajaran bagi calon isteri pemohon.

Menurut penulis, putusan Pengadilan merupakan tahap akhir apakah

permohonan izin poligami dikabulkan atau tidak. Dalam hal ini harus ada

kesesuaian alasan yang dapat diterima serta sesuai dengan Undang-Undang yang

berlaku. Hakim bertugas tidak hanya corong Undang-Undang, akan tetapi bisa

menggali nilai-nilai hukum yang ada di masyarakat. Untuk itu putusan hakim

yang baik adalah mempertimbangkan aspek kepastian hukum, keadilan, dan

manfaat bagi para pihak dan masyarakat, dari dampak izin poligami apabila

diputus. Ketika hakim memutus suatu perkara atau permohonan izin poligami

85

harus mengupayakan tiga-tiganya bisa tercapai, tetapi kalau tidak bisa, ambilah

salah satunya.

Karena banyak kejadian setelah seorang laki-laki berpoligami banyak yang

tidak mampu untuk berbuat adil, istri pertamanya seringkali di campakan. Suami

yang mementingkan salah seorang dari istri-istrinya merupakan kesalahan besar.

Dalam Al-Qur’an sudah dijelaskan tentang keadilan dalam surat An-Nisa’ ayat

129 :

ولن تستطيعواأن تعد لوا بين النساءولوحرصتم فالتميلواكل الميل

فتذروهاكالمعلقة وان تصلحواوتتقوافان اللة كانغفورارحيما

Artinya :

Dan kamu tidak dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walapun kamu

sangatlah ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung

(kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung dan

jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka

sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Walaupun sulitnya berlaku adil, setidaknya seorang suami sudah berusaha

untuk membagi waktu bagi istri-istrinya agar istri satu dengan yang lain tidak

tersisihkan. Maka dari itu dibutuhkan alasan-alasan yang sangat mendasar dalam

permohonan izin poligami.

Dalam memutus perkara izin poligami majelis hakim haruslah berhati-hati.

Seorang laki-laki tidak meminta izin poligami dengan alasan calon istri kedua

telah hamil tidak dapat dibenarkan karena tidak ada dasar Hukum Islam maupun

Undang-Undang. Pengadilan Agama Salatiga dalam menerima atau menolak

permohonan Izin Poligami harus melihat dari berbagai aspek. Putusan-putusan

dalam permohonan ini sangat penting sekali untuk diperhatikan agar tidak

menjadi kontroversi di masyarakat. Oleh karena itu adanya pertimbangan hakim

86

dari berbagai pandangan dan dampak dari dikabulkan permohonan izin poligami

sangatlah perlu untuk mempertimbangkannya dengan bijaksana.

Seorang hakim di Pengadilan sebagai penegak hukum dan keadilan wajib

menggali, mengikuti, memakai nilai-nilai hukum yang ada di masyarakat. Maka

hakum turut menciptakan penfsiran. Namun hakim haruslah berhati-hati dalam

memutus perkara permohonan izin poligami terutama dengan alasan sudah

terlanjur berhubungan layaknya suami istri dengan calon istir kedua.

Memang pada prinsipnya, hukum islam membolehkan adanya poligami

dengan berbagai perysaratan yang cukup ketat. Disyariatkan poligami juga untuk

kemaslahatan umat manusia. Dari sinilah harus disadari bahwa siapapun boleh

melakukan poligami selama ia dapat mewujudkan kemaslahatan. Namun, jika ia

tidak dapat mewujudkan kemaslahatan itu ketika melakukan poligami, maka

poligami tidak boleh ia lakukan. Persyaratan yang ditentukan oleh Al-qur’an

(seperti keharusan berlaku adil) dan juga berbagai ketentuan yang ditetapkan oleh

perundang-undangan haruslah dipahami sebagai upaya untuk mewujudkan

kemaslahatan dalam pelaksanaan poligami.