BAB I PENDAHULUAN -...

15
1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Allah, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Manusia tidak seperti binatang yang melakukan perkawinan dengan bebas dan sekehendak hawa nafsunya. Bagi manusia, perkawinan diatur oleh berbagai etika dan peraturan lainnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang beradab dan berakhlak. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membetuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Oleh karena itu, pengertian perkawinan dalam ajaran agama islam mempunyai nilai ibadah, sehingga Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsqan ghalidhan) untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah. 2 Pernikahan adalah suatu akad antara seorang calon mempelai pria dengan mempelai wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang telah ditetapkan syara’ untuk menghalalkan pencampuran antara keduanya, sehingga satu sama 1 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 2 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, h. 7.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada

semua makhluk Allah, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.

Manusia tidak seperti binatang yang melakukan perkawinan dengan bebas dan

sekehendak hawa nafsunya. Bagi manusia, perkawinan diatur oleh berbagai etika

dan peraturan lainnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang

beradab dan berakhlak.

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membetuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Oleh karena itu,

pengertian perkawinan dalam ajaran agama islam mempunyai nilai ibadah,

sehingga Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah

akad yang sangat kuat (mitsqan ghalidhan) untuk menaati perintah Allah, dan

melaksanakannya merupakan ibadah.2

Pernikahan adalah suatu akad antara seorang calon mempelai pria dengan

mempelai wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang

dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang telah ditetapkan

syara’ untuk menghalalkan pencampuran antara keduanya, sehingga satu sama

1 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 2 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, h. 7.

2

lain saling membutuhkan menjadi sekutu sebagai teman hidup dalam rumah

tangga.3

Keabsahan perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUP: “Perkawinan

adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaanya itu.” Ayat (2) mengungkapkan: “Tiap-tiap perkawinan dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”4

Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang dituangkan dalam garis-garis

hukum melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan

Kompilasi Hukum Islam mengandung 7 (Tujuh) asas atau kaidah hukum, yang

sebagai berikut :5

1. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

2. Asas keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan

kepercayaan bagi pihak yang melaksankan perkawinan, dan harus dicatat

oleh petugas yang berwenang.

3. Asas monogami terbuka.

4. Asas calon suami dan calon istri telah matang jiwa raganya dapat

melangsungkan perkawinan, agar mewujudkan tujuan perkawinan secara

baik dan dapat keturunan yang baik dan sehat, sehingga tidak berpikir

kepada perceraian.

5. Asas mempersulit terjadinya perceraian.

3 Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Dalam Hukum Islam dan Undang-Undang (perspektif fiqh munakahat dan UU No.1/1974 tentang poligami dan problematikanya), Penerbit Pustaka Setia, Bandung, 2008, h. 14-15. 4 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, h. 8. 5 Ibid., h. 7-8

3

6. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, baik dalam

kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.

7. Asas percatatan perkawinan.

Menurut, Imam Al-Ghazali tujuan dan faedah melangsungkan perkawinan

itu dapat dikembangkan menjadi lima, yaitu :6

1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.

2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan

menumpahkan kasih sayangnya.

3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan

kerusakan.

4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggungjawab menerima hak serta

kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh kekayaan yang

halal.

5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram

atas dasar cinta dan kasih sayang.

Pada dasarnya asas Perekawinan adalah monogami, dimana seorang

suami tanpa ada alasan yang jelas dan rasional hanya diperbolehkan beristri satu.

Dalam monogami, si istri maupun si suami memandang perasaan, kasih sayang,

dan pelayanan seksual mereka sebagai milik dan hak timbal-balik masing-

masing.7 Namun pada kenyataanya tidak sedikit terjadi di masyarakat, seorang

suami memiliki lebih dari seorang istri atau poligami. Kata-kata poligami terdiri

dari kata “poli” dan “gami”. Secara etimologi, poli artinya “banyak”, gami artinya

6 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Prenada Media Group, Jakarta, 2010, h. 24. 7 Murtadha Muthahhari, duduk perkara poligami, PT. Serambi Ilmu Semeste, Jakarta, 2007, h. 9

4

“istri”. Jadi, poligami yaitu “seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri”.

Atau “seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak

empat orang”.8

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan

undang-undang yang mengatur tata cara perkawinan dan perceraian di Indonesia.

Bahkan, secara khusus mengatur tata cara melakukan poligami. Adapun hukum

materiel bagi orang islam terdapat dalam Komplasi Hukum Islam (KHI).

Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan berikut

aturan pelaksanaanya berprinsip pada asas monogami, satu suami untuk satu istri,

juga sebaliknya satu istri untuk satu suami. Dalam hal atau alasan tertentu,

seorang suami diberi izin untuk beristri lebih dari seorang, tetapi dengan

serangkaian persyaratan yang berat. Dapat tidaknya seorang suami beristri lebih

dari seorang ditentukan Pengadilan Agama berdasarkan terpenuhi atau tidaknya

persyaratan termaksud.

Dasar pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama yang diatur dalam

Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawian dan

pasal 57 KHI, seperti diungkapkan sebagai berikut :

Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan

beristri lebih dari seorang apabila :

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

8 Abdul Rahman Ghozali, fiqh munakahat, Prenada Media Group, Jakarta, 2010, h. 129

5

Apabila diperhatikan alasan pemberian izin melakukan poligami di atas,

dapat dipahami bahwa alasannya mengacu kepada tujuan pokok pelaksanaan

perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal (istilah KHI

disebut sakinah, mawaddah, dan rahmah) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa. Apabila tiga alasan yang disebut di atas menimpa suami istri maka dapat

dianggap rumah tangga tersebut tidak akan mampu mencipatakan keluarga

bahagia.

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan

Pasal 58 Kompilasi Hukum Islam memberikan persyaratan terhadap seorang

suami yang akan beristri lebih seorang sebagai berikut :

1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 undang-undang ini harus

dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-

keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri

dan anak-anak mereka.

2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a pasal ini tidak di perlukan

bagi seorang suami apabila istri/istrinya tidak mungkin dimintai

persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau

apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua)

6

tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang mendapat penilainan dari

hakim Pengadilan Agama.

Pengadilan Agama mempunyai kekuasaan mengadili atau menangani

perkara (Absolute Coupetensial). Yang bersifat “absolut” apa yang telah

ditentukan menjadi kekuasaan yurisdiksi suatu lingkungan peradilan, menjadi

kewenangan “mutlak” baginya untuk memeriksa dan memutus perkara.9 Dalam

hal ini Pengadilan Agama mempunyai kekuasaan dalam mengadili maupun

masalah permohonan izin poligami yang mana hakim harus menafsirkan dan

menimbangkan tentang putusan ataupun penetapan yang diambilnya.

Seorang suami yang bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia

harus mengajukan permohonan izin poligami kepada Pengadilan Agama,

kemudian di Pengadilan Agama akan memberikan keputusan apakah permohonan

tersebut dikabulkan atau ditolak. Dalam memberikan keputusannya pengadilan

harus benar-benar mempertimbangkan keputusannya. Karena masalah poligami

menyangkut kebahagian dan kesejahteraan rumah tangga. Pengadilan Agama

dalam tugasnya memberikan putusan tentang permohonan poligami, berpedoman

pada aturan yang berlaku. Di antaranya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dan

Kompilasi Hukum Islam.

Banyak hal yang melatarbelakangi seorang mengajukan permohonan

poligami yang diterima dan dikabulkan oleh Pengadilan Agama yang terjadi

dalam masyarakat kita pada umumnya adalah alasan-alasan yang terdapat di

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seperti sorang istri yang

9 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Pustaka Kartini, Jakarta, 1997, h. 92

7

tidak bisa melayani suami karena cacat atau penyakit yang berat bahkan dengan

alasan tidak dapat memperoleh keturunan. Akan tetapi ada alasan-alasan lain yang

tidak sesuai dengan Undang-Undang yang disebutkan diatas, dimana alasan yang

melatarbelakangi seseorang mengajukan permohonan izin poligami diantaranya

seperti calon istri kedua telah hamil di luar nikah. Hamil diluar nikah adalah

kondisi seorang wanita yang hamil sebelum melangsungkan akad nikah atau

perkawinan. Dalam hal ini seorang wanita melakukan hubungan seksual dengan

seorang laki-laki hingga hamil tanpa adanya ikatan pernikahan terlebih dahulu.

Seperti Putusan Nomor : 0084/Pdt.G/2013/PA.Sal, dalam kasus ini pihak suami

mengajukan permohonan poligami dengan alasan sudah terlanjur menghamili

calon istri keduanya, sedangkan calon istrinya tersebut meminta pertanggung

jawaban. Setelah melalui proses persidangan di Pengadilan Agama Salatiga,

permohonan izin poligaminya dapat diterima. Sedangkan dengan kasus yang sama

juga terjadi pada Putusan Nomor : 0451/Pdt.G/2017/PA.Sal, dalam kasus ini

pemohon mengajukan izin poligami karena telah menjalani hubungan dengan

calon istri kedua dan hamil, serta pemohon harus bertanggung jawab atas

perbuatannya. Dalam proses persidangan di Pengadilan Agama Salatiga

menyatakan permohonan izin poligami tidak dapat diterima.

Pemohon yang bertempat tinggal di Dusun Padaan RT 02/01 Desa Padaan

Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang, perkerjaan sebagai wiraswasta

(Dagang material bangunan). Melawan termohon yang bertempat tinggal di

Dusun Padaan RT 02/01 Desa Padaan Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang,

perkerjaan Wiraswasta (dagang pecah belah). Pemohon mengajukan surat

8

permohonan izin poligami tertanggal 15 Januari 2013 yang terdaftar di

kepanitraan pengadilan Agama Salatiga Nomor : 0084/Pdt.G/2013/PA.Sal.

Pada tanggal 12 April 1997 pemohon dengan teremohon telah

melangsungkan pernikahan, selama pernikahan tersebut pemohon dengan

termohon telah hidup rukun sebagai layaknya suami istri dan dikarunia 2 (dua)

orang anak. Pemohon hendak menikah lagi (poligami), yang dijadikan alasan

pemohon berpoligami karena termohon sebagai seorang istri secara biologis

seudah tidak mampu untuk melayani pemohon dan termohon tidak bisa mendidik

anak-anak untuk melaksanakan kewajiban sebgai seorang muslim (sholat lima

waktu) karena termohon sendiri sebagai muslimah tidak mau melaksankan

kewajibannya (sholat lima waktu dan puasa).

Pemohon mampu memenuhi kebutuhan hidup isteri-isteri pemohon dan

beserta anak-anak karena pemohon bekerja sebagai wiraswasta dan mempunyai

penghasilan kurang lebih sebesar Rp. 4.500.000,- /bulannya. Dan pemohon

bersedia berlaku adil. Termohon menyatakan rela dan tidak keberatan apabila

pemohon menikah lagi dengan calon istri kedua. Calon istri kedua menyatakan

tidak akan mengganggu gugat harta benda yang sudah ada selama ini. Antara

pemohon dengan calon istri kedua pemohon tidak ada larangan melakukan

perkawinan.

Pada sidang yang telah ditetapkan pemohon dan termohon datang

menghadap dimuka sidang, lalu hakim ketua memerintahkan kepada kedua belah

untuk menempuh mediasi. Pada sidang berikutnya pemohon dan termohon datang

9

menghadap yang atas pertanyaan hakim ketua menerangkan bahwa mediasi gagal

dan mohon perkara dilanjutkan.

Berdasarkan semua pertimbangan dapat disimpulkan alasan pemohon

untuk berpoligami telah memenuhi peraturan perundangan yang berlaku. Dan

secara nyata calon istri kedua telah hamil 4 (empat) bulan akibat hubungannya

dengan pemohon maka untuk menjamin status janin yang dikandungnya agar

mempunyai ayah yang legal dan sesuai dengan kaidah ushuliyah. Mengabulkan

permohonan pemohon dan menetapkan memberikan izin kepada pemohon untuk

menikah lagi dengan seorang perempuan.

Pemohon yang berkediaman di Jl. Soekarno Hatta 90 RT 01. RW 02

Kelurahan. Cebongan, kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga. Pekerjaan karyawan

swasta. Melawan Termohon berkediaman di Jl. Soekarno Hatta 90 RT 01. RW 02

Kelurahan. Cebongan, kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga. Pekerjaan

karyawan.

Pemohon berdasarkan surat permohonan izin poligami tertanggal 17 April

2017 yang didaftarkan di kepanitraan Pengadilan Agama Salatiga Nomor :

0451/Pdt.G/2017/PA.Sal.

Pada tanggal 12 Juni 2011, pemohon dan termohon melangsungkan

pernikahan. Hingga saat ini rumah tangga pemohon dengan termohon berjalan

cukup baik, dan dikarunia 1 (satu) anak perempuan. Bahwa pemohon hendak

menikah lagi (poligami) dengan seorang perempuan.

10

Alasan pemohon untuk menikah lagi adalah karena pemohon telah

menjalin hubungan dengan calon istri kedua pemohon dan hamil sehingga

pemohon harus bertanggung jawab. Atas keadaan seperti itu termohon telah rela

dan tidak keberatan apabila pemohon menikah lagi dengna calon istri pemohon

yang kedua, dan termohon bersedia dimadu oleh pemohon.

Pemohon dengan calon isteri kedua tidak terdapat larangan yang dapat

menghalangi sahnya perkawinan. Pemohon bekerja di perusahaan swasta dengan

pengahasilan rata-rata perbulan sebesar Rp. 5.500.000,- dan pengahasilan lain

rata-rata perbulan sebesar Rp. 1.500.000,- pemohon sanggup memenuhi

kebutuhan istri-istri dan anak-anak pemohon dengan baik. Serta pemohon

sanggup untuk berlaku adil di antara istri-istri pemohon.

Setelah majelis hakim membaca dengan seksama dan mempelajari dalil

permohonan, ternyata tidak ada alasan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 4

UU No. 1 tahun 1974 jo pasal 57 KHI. Dan majelis hakim berpendapat bahwa

penghasilan pemohon jauh bisa menjamin kepastian anak-anak dan tidak

memenuhi salah satu syarat kumulatif yang ditentukan peraturan perundang-

undangan, oleh karenanya permohonan pemohon untuk berpoligami haruslah

dinyatakan ditolak.

Sejatinya tujuan perkawinan yang di cita-citakan oleh Undang-Undang

perkawinan, yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal bedasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.10 sedangkan tujuan perkawinan

menurut hukum agama, juga berbeda dengan agama lain, sebagai contoh menurut

10 Hilam Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 2007, h. 21

11

agama islam, tujuan perkawinan ialah memenuhi petunjuk agama dalam rangka

mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.11 Adanya permohonan

poligami dengan alasan calon istri hamil diluar nikah tentunya berbeda dari tujuan

dari pernikahan yang telah digaris bawahi oleh undang-undang maupun dalam

hukum agama. Bila terjadi pernikahan tersebut dilakukan karena si pria dituntut

bertanggung jawab atas perbuatanya melakukan hubungan seks dengan seorang

wanita hingga hamil sebelum terjadinya akad nilah.

Dari uraian di atas, penulis bermaksud meneliti kasus di atas dengan judul

“PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA

PERMOHONAN IZIN POLIGAMI (Studi Analisis Putusan Nomor :

0084/Pdt.G/2013/PA.Sal dan Nomor : 0451/Pdt.G/2017/PA.Sal)”

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis dapat

mengemukakan rumusan masalah sebagai beriku :

Apakah Pertimbangan Hakim Dalam Memberikan Izin Poligami Dengan

Alasan Calon Istri Sudah Hamil Selaras Dengan Tujuan Perkawinan ?

3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan fokus penelitian yang telah dirumuskan di atas, maka

penelitian ini bertujuan sebegai berikut :

11 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahar, Prenada Media Group, Jakarta, 2010, h. 22

12

Untuk Mengetahui Pertimbangan Hakim Dalam Memberikan Izin

Poligami Dengan Alasan Calon Istri Sudah Hamil Sudah Selaras Dengan

Tujuan Perkawinan.

4. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Bagi perkembangan ilmu hukum, hasil penelitian ini diharapkan dapat

berguna dan bermanfaat untuk memberikan masukan perkembangan ilmu

pengetahuan bidang Hukum Islam pada umumnya dan bidang Hukum Perkawinan

Islam yang beralaku di Indonesia pada khususnya dalam kasus perkara permohona

izin poligami.

2. Manfaat Praktisi

Dapat menerapkan kaidah-kaidah hukum secara benar dan tepat dalam

mempertimbangkan dalam memutus perkara permohonan izin poligami. Dapat

menambah wawasan dan pengetahuan berkaitan dengna pengajuan permohonan

izin poligami. Serta dapat menjadi solusi masalah terkait dengan kasus poligami.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu bahan masukan

dan melengkapi referensi yang belum ada.

5. Metode Penelitian

Peneliti menggunakan beberapa metode untuk mencapai tujuan, artinya

peneliti tidak bekerja secara acak-acakan. Langkah-langkah yang diambil harus

jelas serta ada pembatasan-pembatasan tertentu untuk menghindari jalan yang

13

menyesatkan dan tidak terkendali. Maka akan diuraikan beberapa hal, sebagai

berikut :

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian yuridis normatif. Penelitian

yuridis normatif, yakni penelian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan

kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.12 Karena topik

permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian yang objeknya adalah

permasalahan hukum.

2. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian ini, penilis menggunakan pendekatan kasus (Case

Aprroach). Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah

terhadapa kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah

menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. Yang

menajadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus, yaitu alasan-alasan hukum

yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya.13

3. Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer :

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

2) Hukum Kompilasi Islam.

12 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2006, h. 295 13 Peter mahmud Marzuki, penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, h. 119

14

3) Putusan Pengadilan Agama Salatiga Nomor :

0084/Pdt.G/2013/PA.Sal.

4) Putusan Pengadilan Agama Salatiga Nomor :

0451/Pdt.G/2017/PA.Sal.

b. Bahan Hukum Sekunder :

Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer.14 Yakni :

a. Perkawinan Dalam Hukum Islam dan undang-Undang (Perspektif

fiqh Munakhat dan UU No 1/1974 tentang poligami dan

Problematikanya).

b. Fiqh Munakahat.

c. Hukum Perdata Islam di Indonesia.

d. Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum

Adat, Hukum Agama.

e. Kedudukan kewenangan dan acara peradilan agama.

4. Unit Analisa

Unit analisis di dalam suatu penelitian perlu dikemukanakn untuk

memudahkan pembaca memahami isi suatu penelitian. Dalam penulisan ini,

penelitian ini berusaha memberikan pemahaman atas pertimbangan hakim

14 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, h. 13

15

dalam memberikan izin poligami dengan alasan calon isteri kedua sudah

hamil. Selanjutnya, melihat adakah keselaras dengan tujuan perkawinan.