BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf ·...

36
30 BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, KORBAN KEJAHATAN DAN VIKTIMOLOGI A. ANAK PELAKU TINDAK PIDANA Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, tidak terdapat pengaturan yang tegas tentang kriteria anak. Pasal 330 KUHPerdata menentukan bahwa belum dewasa apabila belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa anal adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan menurut hukum Adat menentukan bahwa ukuran seseorang telah dewasa bukan dari umurnya, tetapi ukuran yang dipakai adalah dapat bekerja sendiri, cakap melakukan hal yang diisyaratkan dalam kehidupan masyarakat dan dapat mengurus kekayaan sendiri. 22 Kemudian Hukum Islam menentukan bahwa anak di bawah umur adalah yang belum akil baligh. 23 Batas umur seseorang belum atau sudah dewasa apabila ia belum berumur 15 (lima belas) tahun kecuali apabila sebelumnya sudah memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan) tahun. 22 Irma Setyowati Sumitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hlm. 19. 23 Rotiq Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 55.

Transcript of BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf ·...

Page 1: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

30

BAB II

PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, KORBAN

KEJAHATAN DAN VIKTIMOLOGI

A. ANAK PELAKU TINDAK PIDANA

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, tidak terdapat

pengaturan yang tegas tentang kriteria anak. Pasal 330 KUHPerdata

menentukan bahwa belum dewasa apabila belum mencapai umur 21 (dua

puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Pasal 1 ayat (1)

Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas No. 23 Tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa anal adalah seseorang

yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih

dalam kandungan.

Sedangkan menurut hukum Adat menentukan bahwa ukuran

seseorang telah dewasa bukan dari umurnya, tetapi ukuran yang dipakai

adalah dapat bekerja sendiri, cakap melakukan hal yang diisyaratkan dalam

kehidupan masyarakat dan dapat mengurus kekayaan sendiri.22 Kemudian

Hukum Islam menentukan bahwa anak di bawah umur adalah yang belum

akil baligh.23 Batas umur seseorang belum atau sudah dewasa apabila ia

belum berumur 15 (lima belas) tahun kecuali apabila sebelumnya sudah

memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari

9 (sembilan) tahun.

22 Irma Setyowati Sumitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hlm.

19. 23 Rotiq Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 55.

Page 2: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

31

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan terdapat perbedaan

ketentuan yang mengatur tentang anak, hal ini dilatarbelakangi berbagai

faktor yang merupakan prinsip dasar yang terkandung dalam dasar

pertimbangan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan yang berkaitan dengan kondisi dan perlindungan anak.

Berkaitan dengan ketentuan hukum/peraturan perundang-undangan

yang mengatur tentang pengertian anak nakal, tidak terlepas dari kemampuan

anak mempertanggungjawabkan kenakalan yang dilakukannya.

Pertanggungjawaban pidana anak diukur dari tingkat kesesuaian antara

kematangan moral dan kejiwaan anak dengan kenakalan yang dilakukan

anak, keadaan kondisi fisik, mental dan sosial anak menjadi perhatian. Dalam

hal ini dipertimbangkan berbagai komponen seperti moral dan keadaan

psikologis dan ketajaman pikiran anak dalam menentukan

pertanggungjawabannya atas kenakalan yang diperbuatnya.

1. Kenakalan Anak

Kenakalan anak sering disebut dengan "juvenile delinquency" yang

artinya anak cacat sosial. Romli Atmasasmita mengatakan bahwa

delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh

seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan

hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri

dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.24

24 Romli Atmasasmita, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, Rajawali Pers, Kota

Besar, 2011, hlm. 23.

Page 3: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

32

Romli Atmasasmita merumuskan juvenile delinquency yakni setiap

perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18 tahun dan

belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma

hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si

anak yang bersangkutan.

Paul Moedikno (dalam Romli Atmasasmita, 1983:22) memberikan

perumusan, mengenai pengertian juvenile delinquency, yaitu sebagai

berikut:

a. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu

kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua

tindakan yang dilarang oleh hukum pidana seperti mencuri,

menganiaya, membunuh dan sebagainya;

b. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang

menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana

jangki tidak sopan, model you can see dan sebagainya;

c. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi

sosial, termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain.

Menurut Kartini (1992:7) yang dikatakan juvenile delinquency

adalah:

Perilaku jahat/dursila atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda,

merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan

remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabdian sosial

sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah

laku yang menyimpang.

Page 4: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

33

R. Kusumanto Setyonegoro (dalam Romli Atmasasmita, 1983:22),

dalam hal ini mengemukakan pendapatnya antara lain sebagai berikut:

Tingkah laku individu yang bertentangan dengan syarat-syarat dan

pendapat umum yang dianggap sebagai akseptabel dan baik, oleh

suatu lingkungan masyarakat atau hukum yang berlaku di suatu

masyarakat yang berkebudayaan tertentu. Apabila individu itu

masih anak-anak, maka sering tingkah laku serupa itu disebut

dengan istilah tingkah laku yang sukar atau nakal. Jika ia berusaha

adolescent atau preadolescent, maka tingkah laku itu sering disebut

delinkuen, dan jika ia dewasa maka tingkah laku ia seringkali

disebut psikopatik dan jika terang-terangan melawan hukum

disebut kriminal.

Tingkah laku yang menjurus kepada masalah Juvenile Delinquency

menurut Adler (dalam Kartini Kartono, 1992:21-23) adalah25:

a. Kebut-kebutan di jalanan yang menggangu keamanan lalu lintas dan

membahayakan jiwa sendiri dan orang lain;

b. Prilaku ugal-ugalan, berandal, urakan yang mengacaukan

ketentraman lingkungan sekitarnya. Tingkah ini bersumber pada

kelebihan energi dan dorongan primitif yang tidak terkendali serta

kesukaan menteror lingkungan;

c. Perkelahian antar geng, antar kelompok, antar sekolah, antar suku

(tawuran), sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa;

d. Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan atau

bersembunyi di tempat-tempat terpencil sambil melakukan

eksperimen bermacam-macam kedurjanaan dan tindakan asusila;

25 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 13.

Page 5: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

34

e. Kriminalitas anak, remaja dan adolesens antara lain berupa

perbuatan mengancam, memeras, mencuri, mencopet, merampas,

menjambret, menculik, tindak kekerasan dan pelanggaran lainnya;

f. Berpesta-pora sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks

bebas, atau orgi (mabuk-mabukan yang menimbulkan keadaan kacau

balau) yang mengganggu sekitarnya;

g. Perkosaan, agresivitas seksual dan pembunuhan dengan motif sosial

atau didorong oleh reaksi-reaksi kompensatoris dari perasaan

inferior, menuntut pengakuan diri, depresi, rasa kesunyian, emosi,

balas dendam, kekecewaan ditolak cintanya oleh seorang wanita dan

lain-lain;

h. Kecanduan dan ketagihan narkoba (obat bisu, drug, opium, ganja)

yang erat berkaitan dengan tindak kejahatan;

i. Tindakan-tindakan amoral sosial secara terang-terangan tanpa tedeng

aling-aling, tanpa malu dengan cara kasar. Ada seks dan cinta bebas

tanpa kendali (promiscuity) yang didorong oleh hyperseksualitas,

dorongan menuntut hak dan usaha-usaha kompensasi lainnnya yang

kriminal sifatnya;

j. Homoseksualitas, erotisme anak dan oral serta gangguan seksualitas

lainnya pada anak remajadi sertai dengan tindakan-tindakan sadis;

k. Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan

sehingga menimbulkan akses kriminalitas;

Page 6: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

35

l. Komersialisasi seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis delinkuen

dan pembunuhan bayi-bayi oleh ibu-ibu yang tidak kawin;

m. Tindakan radikal dan ekstrim dengan jalan kekerasan, penculikan

dan pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak remaja;

n. Perbuatan asosial yang disebabkan oleh gangguan kejiwaan pada

anak-anak dan remaja psikopatik, neurotik dan menderita gangguan

kejiwaan lainnya;

o. Tindak kejahatan yang disebabkan oleh penyakit tidur (encephaletics

lethargoical) dan ledakan maningitis serta post-encephalitics, juga

luka-luka di kepala dengan kerusakan pada otak ada kalanya

membuahkan kerusakan mental, sehingga orang yang bersangkutan

tidak mampu melakukan kontrol diri;

p. Penyimpangan tingkah laku disebabkan oleh kerusakan pada

karakter anak yang menuntut kompensasi, disebabkan adanya organ-

organ yang inferior.

2. Sebab-Sebab Timbulnya Kenakalan Anak

Untuk lebih memperjelas kajian tentang gejala kenakalan anak,

perlu diketahui sebab-sebab timbulnya kenakalan anak atau faktor-faktor

yang mendorong anak melakukan kenakalan atau dapat juga dikatakan

latar belakang dilakukannya perbuatan itu. dengan perkataan lain, perlu

diketahui motivasinya.

Bentuk dari motivasi itu ada 2 (dua) macam yaitu motivasi intrinsik

dan ekstrinsik. Yang dimaksud dengan motivasi intrinsik adalah

Page 7: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

36

dorongan atau keinginan pada diri seseorang yang tidak perlu disertai

perangsang dari luar, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah dorongan

yang datang dari luar diri seseorang.

Menurut Romli Atmasasmita (1983:46) mengemukakan

pendapatnya mengenai motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari kenakalan

anak:26

a. Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak

adalah:

1) Faktor intelegentia

Intelegensia adalah kecerdasan seseorang atau kesanggupan

seseorang untuk menimbang dan memberi keputusan. Anak-

anak delinqunt pada umumnya mempunyai intelegensia verbal

lebih rendah dan ketinggalan dalam pencapaian hasil-hasil

skolastik (prestasi sekolah rendah). Dengan kecerdasan yang

rendah dan wawasan sosial yang kurang tajam, maka mudah

sekali terseret oleh ajakan buruk untuk menjadi delikuen jahat.

2) Faktor usia

Stepen Hurwitz (dalam Romli Atmasasmita, 1983:48)

mengungkapkan "age is importance factor in the causation of

crime" (usia adalah faktor yang paling penting dalam sebab-

musabab timbulnya kejahatan). Apabila pendapat tersebut

diikuti secara konsekuen, maka dapat dikatakan bahwa usia

26 Ibid, hlm. 17.

Page 8: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

37

seseorang adalah faktor yang penting sebab-musabab timbulnya

kenakalan.

3) Faktor kelamin

Bahwa kenakalan anak dapat dilakukan oleh anak laki-laki

maupun anak perempuan, sekalipun dalam prakteknya jumlah

anak-anak laki-laki yang melakukan kenakalan jauh lebih

banyak dari pada anak perempuan pada batas usia tertentu.

Adanya perbedaan jenis kelamin, mengakibatkan timbulnya

perbedaan, tidak hanya dalam segi kuantitas kenakalan semata

akan tetapi juga segi kualitas kenakalannya.

4) Faktor kedudukan anak dalam keluarga.

Yang dimaksud dengan kedudukan anak dalam keluarga adalah

kedudukan seorang anak dalam keluarga menurut urutan

kelahirannya, misalnya anak pertama, kedua dan seterusnya.

Dapat dipahami bahwa kebanyakan anak tunggal sangat dimanja

oleh orang tuanya dengan pengawasan yang luar biasa.

Perlakuan orang tua terhadap anak akan menyulitkan anak

dalam bergaul dan sering timbul konflik dalam jiwanya, apabila

suatu ketika keinginannya tidak dikabulkan akan mengakibatkan

frustasi dan cenderung mudah berbuat jahat.

b. Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah:

1) Faktor rumah tangga/keluarga

Page 9: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

38

Rumah tangga/keluarga yang dapat menjadi sebab timbulnya

delinquency dapat berupa keluarga yang tidak normal (broken

home) dan keadaan jumlah anggota keluarga yang kurang

menguntungkan.

Dalam broken home, pada prinsipnya struktur keluarga tersebut

sudah tidak lengkap lagi yang dapat disebabkan oleh beberapa

hal seperti salah satu dari kedua orang tua atau kedua-duanya

sudah meninggal dunia, perceraian orang tua dan salah satu dari

kedua orang tua atau keduanya tidak hadir secara kontinyu

dalam tenggang waktu yang cukup lama.

2) Faktor pendidikan dan sekolah

Banyaknya kenakalan anak secara tidak langsung menunjukkan

kurang berhasilnya sistem pendidikan di sekolah-sekolah.

Dalam konteks ini sekolah merupakan ajang pendidikan setelah

lingkungan keluarga. Proses pendidikan yang kurang

menguntungkan bagi perkembangan jiwa anak kerap kali

memberi pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap anak

didik di sekolah sehingga dapat menimbulkan kenakalan anak

(juvenile delinquency).

3) Faktor pergaulan anak

Harus disadari bahwa betapa besar pengaruh yang dimainkan

oleh lingkungan pergaulan anak. Anak menjadi delinkuen

karena banyak dipengaruhi oleh berbagai tekanan pergaulan,

Page 10: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

39

yang semuanya memberikan pengaruh yang menekan dan

memaksa pada pembentukan perilaku buruk, sebagai produknya

anak-anak suka melanggar peraturan, norma sosial dan hukum

formal.

Menurut Sutherland dalam teorinya Association Differential

menyatakan bahwa anak menjadi delinkuen disebabkan oleh

partisipasinyadi tengah-tengah suatu lingkungan sosial. Karena

itu semakin luas anak bergaul, semakin intensif relasinya dengan

anak nakal, akan menjadi semkain lama juga proses

berlangsungnya asosiasi deferensial tersebut dan semakin besar

juga kemungkinan anak tadi benar-benar menjadi nakal dan

kriminal.

4) Faktor mass media

Keinginan atau kehendak yang tertanam dalam diri anak untuk

berbuat jahat timbul karena pengaruh bacaan, gambar-gambar

dan film. Banyak anak yang mengisi waktu senggangnya dengan

membaca bacaan yang buruk, demikian pula tontonan berupa

gambar-gambar porno yang dapat memberikan rangsangan seks

terhadap anak. Ragsangan seks tersebut akan berpengaruh

negatif terhadap perkembangan jiwa anak.

3. Perlakuan Terhadap Anak Nakal

Keluarga mempunyai kedudukan yang sangat fundamental dalam

pembentukan pribadi anak. Lingkungan keluarga potensial membentuk

Page 11: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

40

pribadi anak untuk hidup secara lebih bertanggungjawab. Bila usaha

pendidikan dalam keluarga gagal, maka anak cenderung melakukan

kenakalan, yang dapat terjadi di lingkungan keluarga maupun di

lingkungan masyarakat tempat anak bergaul.27

Walaupun kenakalan anak merupakan perbuatan anti sosial yang

terdapat di mana-mana, namun kenakalan anak itu merupakan gejala

umum yang harus diterima sebagai fakta sosial. Kenakalan anak

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.

Reaksi masyarakat dalam menanggulangi kejahatan dan kenakalan anak

acapkali menimbulkan masalah baru. Masyarakat tidak segan-segan main

hakim sendiri apabila ada yang tertangkap tangan, penjahat dipukul

sampai babak belur, bahkan ada yang sampai meninggal dunia. Tindakan

masyarakat yang tidak terkendali merupakan pertanda bahwa nilai-nilai

yang ada di masyarakat sudah mengendor.

Anak nakal seyogyanya diperlakukan berbeda dengan orang

dewasa, hal ini didasarkan pada perbedaan fisik, mental dan sosial. Anak

yang melakukan kenakalan berdasarkan perkembangan fisik, mental dan

sosial mempunyai kedudukan yang lemah dibandingkan dengan orang

dewasa, sehingga perlu ditangani secara khusus. Anak nakal perlu

dilindungi dari tindakan-tindakan yang dapat menghambat

perkembangannya, sehingga dalam penanganannya perlu dibuat KUHP

dan KUHAP yang berlaku secara khusus untuk anak.

27 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di

Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 63.

Page 12: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

41

Perhatian terbesar dalam tindakan perlindungan anak adalah

perkembangan anak, agar anak dapat berkembang dan tumbuh dengan

baik dalam berbagai sisi kehidupannya (fisik, mental dan sosial) yang

kemudian sangat diharapkan dapat menghasilkan kualitas manusia

dewasa yang ideal.

4. Anak yang Berhadapan dengan Hukum

Di dalam sistem Hukum Perlindungan Anak, ditemukan 2 (dua)

istilah yang berbeda berkaitan dengan Anak yang berkonflik dengan

hukum. Pada Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan

Anak menggunakan istilah anak nakal, sedangkan pada Undang-Undang

Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

menggunakan istilah anak yang berhadapan dengan hukum.

Pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997

Tentang Pengadilan Anak, yang dimaksud dengan anak nakal adalah:

a. Anak yang melakukan tindak pidana; atau

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi

anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut

peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat

yang bersangkutan.

Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

menggunakan istilah "Anak Nakal" bagi seorang anak baik karena

melakukan tindak pidana ataupun karena melakukan penyimpangan

perilaku. Penggunaan istilah "Anak Nakal" merupakan bagian dari proses

Page 13: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

42

labeling atau stigmatisasi bagi seorang anak, yang dalam kajian

sosiologis dan psikologis dikhawatirkan justru akan menimbulkan efek

negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental si Anak.

Sejalan dengan semangat legal reform dalam Undang-Undang

Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, maka

istilah "Anak Nakal" sudah tidak lagi dipergunakan. Pasal 1 Undang-

Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

menggunakan istilah "Anak yang Berhadapan dengan Hukum", di mana

istilah "Anak yang Berhadapan dengan Hukum" merupakan istilah yang

memuat 3 (tiga) kriteria, yaitu sebagai berikut:

a. Anak yang berkonflik dengan Hukum atau disebut Anak28

Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi

belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan

tindak pidana.

b. Anak yang menjadi korban tindak pidana atau disebut Anak

Korban29

Anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami

penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang

disebabkan oleh tindak pidana.

c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana atau disebut Anak Saksi30

Anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat

memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan,

28 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 1 angka 3. 29 Ibid, Pasal 1 angka 4. 30 Ibid, Pasal 1 angka 5.

Page 14: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

43

dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana

yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

Sedangkan menurut UNICEF, bahwa Anak yang Berhadapan

dengan Hukum (child in conflict with law) adalah seseorang yang berusia

di bawah 18 tahun yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana

dikarenakan yang bersangkutan disangka atau dituduh melakukan tindak

pidana.31

Dengan memperbandingan definisi berkaitan mengenai istilah

"Anak yang Berhadapan dengan Hukum", maka Indonesia telah

selangkah lebih maju. Di mana pada Undang-Undang Nomor 3 tahun

1997 Tentang Pengadilan Anak digunakan istilah yang mengandung

makna labeling yaitu Anak Nakal, sehingga berdampak bagi pelaku,

secara psikologis menjadi penghambat bagi perkembangan mental

maupun masyarakat dan korban, secara psikologis dengan pemahaman

"Anak Nakal" memberikan efek negatif bagi masyarakat secara umum.

Sehingga pembinaan sebagai tujuan dari Undang-Undang Nomor 3 tahun

1997 Tentang Pengadilan Anak tidak pernah tercapai.

B. SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK

Bahwa penerapan sanksi terhadap pelaku anak berdasarkan Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak lebih

mengedepankan kepada pendekatan keadilan restoratif serta penerapan

31 UNICEF, Child Protection Information Sheet, Child Protection Information Sheet, 2006, hlm.

19.

Page 15: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

44

diversi dalam sistem peradilan pidana. Keadilan restoratif adalah

penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku/korban dan

pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil

dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan

pembalasan. Secara konsep melalui pendekatan ini respon terhadap kerusakan

yang terjadi dari suatu perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana

yang dilakukan oleh anak lebih ditekankan pada bagaimana memulihkan

kepada keadaan semula, bukan untuk melakukan pembalasan terhadap anak

sebagai pelaku.32

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa terdapat dua sanksi pidana yaitu

berupa pidana dan tidakan.33 Ancaman sanksi terhadap anak penganut sistem

dua jalur atau double track system. Double track system merupakan sistem

dua jalur mengenai sanksi dalam hukum pidana, yakni sanksi pidana di satu

pihak dan jenis sanksi pidana di pihak lain.34

Sistem pemidanaan dalam hukum pidana modern berorientasi pada

pelaku dan perbuatan. Jenis sanksi yang ditetapkan tidak hanya meliputi

sanksi pidana saja melainkan juga sanksi tindakan. Pengakuan tentang

kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan inilah yang merupakan

hakikat asasi dari konsep double track system.

32 Distia Aviandari, "Menuju Pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak", Pledoi, Edisi I/2013, hlm. 13. 33 BAB V Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 34 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Rajawali Press, Kota Besar, 2002, hlm.

17.

Page 16: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

45

1. Sanksi Pidana

Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana

anak, terbagi atas Pidana Pokok dan Pidana Tambahan (Pasal 71

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak):

Pidana Pokok terdiri atas:

a. Pidana peringatan

b. Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar lembaga,

pelayanan masyarakat, atau pengawasan

c. Pelatihan kerja;

d. Pembinaan dalam lembaga;

e. Penjara.

Pidana Tambahan terdiri dari:

a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau

b. Pemenuhan kewajiban adat.

Apabila dalam hukum materiil seorang anak diancam pidana

kumulatif berupa penjara dan denda, maka pidana denda diganti dengan

pelatihan kerja.

2. Sanksi Tindakan

Sanksi tindakan diatur dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang dapat

dikenakan kepada anak meliputi:

a. Pengembalian kepada orang tua/Wali;

Page 17: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

46

b. Penyerahan kepada seseorang;

c. Perawatan di rumah sakit jiwa;

d. Perawatan di LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan

Sosial);

e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang

diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;

f. Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau

g. Perbaikan akibat tindak pidana.

Untuk anak pelaku tindak pidana yang belum berusia 14 (empat belas)

tahun hanya dapat dikenakan tindakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal

69 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak yang menyatakan:

Ayat (1) : Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan

berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini;

Ayat (2) : Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat

dikenai tindakan.

Selain itu, Pasal 21 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak juga mengatur dalam hal anak belum berumur

12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana,

Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional

mengambil keputusan untuk:

1. Menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau

Page 18: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

47

2. Mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan

pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS (Lembaga

Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) di instansi yang menangani

bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling

lama 6 (enam) bulan.35

C. KORBAN KEJAHATAN DAN PERLINDUNGAN TERHADAP

KORBAN

1. Pengertian Korban/Korban Kejahatan

Menurut Arif Gosita yang dimaksud dengan korban adalah mereka

yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang

lain yang bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau orang lain

yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan

dengan kepentingan hak asasi yang menderita.36

Korban juga didefinisikan oleh Van Boven yang merujuk kepada

Deklaras Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan

Penyalahgunaan Kekuasaan, yakni korban adalah orang yang secara

individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera

fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau

perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan

(by act) maupun karena kelalaian (by omission).37

35 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2010, hlm.

76. 36 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1985, hlm. 65. 37 Theo van Boven, Mereka yang Menjadi Korban, Elsam, Jakarta, 2002, hlm. 13.

Page 19: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

48

Dari pengertian tersebut di atas, tampak bahwa istilah korban tidak

hanya mengacu kepada perseorangan saja, melainkan mencakup juga

kelompok dan masyarakat. Pengertian di atas juga merangkum hampir

semua jenis penderitaan yang diderita oleh korban, penderitaan di sini

tidak tiak hanya terbatas pada kerugian ekonomi, cedera fisik maupun

mental, juga mencakup pula derita-derita yang dialami secara emosional

oleh para korban, seperti mengalami trauma. Mengenai penyebabnya

ditunjukkan bukan hanya terbatas pada perbuatan yang sengaja dilakukan

tetapi juga meliputi kelalain.38

Korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana, menurut Stanciu

yang dikutip Teguh Prasetyo, yang dimaksud dengan korban dalam arti

luas adalah orang yang menderita akibat dari ketidakadilan. Bahwa ada

dua sifat yang mendasar (melekat) dari korban tersebut, yaitu suffering

(penderitaan) dan injustice (ketidakadilan). Timbulnya korban tidak

dapat dipandang sebagai akibat perbuatan yang ilegal sebab hukum

(legal) sebenarnya juga dapat menimbulkan ketidakadilan, selanjutnya

menimbulkan korban, seperti korban akibat prosedur hukum.39

2. Hak-Hak Korban

Adapun hak-hak para korban menurut van Bolen adalah hak untuk

tahu, hak atas keadilan dan hak atas reparasi (pemulihan), yaitu hak yang

menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun

nonmaterial bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Hak-hak

38 Ibid, hlm. 14. 39 Siswanto Sunarso, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012,

hlm. 42.

Page 20: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

49

tersebut telah terdapat dalam berbagai instrumen-instrumen hak asasi

manusia yang berlaku dan juga terdapat dalam yurisprudensi komite-

komite hak asasi manusia internasional maupun pengadilan regional hak

asasi manusia.40

Menurut Arif Gosita, hak-hak korban itu mencakup:41

a. Mendapat ganti kerugian atau penderitaannya. Pemberian ganti

kerugian tersebut harus sesuai dengan kemampuan memberi ganti

kerugian pihak pelaku dan taraf keterlibatan pihak korban dalam

terjadinya kejahatan dan delinkuensi tersebut;

b. Menolak restitusi untuk kepentingan pelaku (tidak mau diberi

restitusi karena tidak memerlukannya);

c. Mendapatkan restitusi/kompensasi untuk ahli warisnya bila pihak

korban meninggal dunia karena tindakan tersebut;

d. Mendapat pembinaan dan rehabilitasi;

e. Mendapat hak miliknya kembali;

f. Mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila melapor

dan menjadi saksi;

g. Mendapatkan bantuan penasehat hukum;

h. Mempergunakan upaya hukum (rechtmidden).

Dalam penyelesaian perkara pidana, seringkali hukum terlalu

mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban

diabaikan. Banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh

40 Theo van Boven, Opcit, hlm. 15. 41 Arif Gosita, Opcit, hlm. 53.

Page 21: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

50

perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya

immateriil maupun materiil. Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat

bukti yang memberi keterangan yaitu hanya sebagai saksi sehingga

kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam

memperjuangkan haknya adalah kecil.42

3. Pelayanan Terhadap Korban sebagai Bentuk Perlindungan Hukum

Masalah korban kejahatan menimbulkan berbagai permasalahan

dalam masyarakat umumnya dan korban/pihak korban kejahatan pada

khususnya. Belum adanya perhatian dan pelayanan terhadap para korban

kejahatan merupakan tanda belum atau kurang adanya keadilan dan

pengembangan kesejahteraan dalam masyarakat.

Pentingnya perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian

yang serius, yaitu melalui Declaration of Basic Principal of Justice for

Victims of Crime and Abuse of Power oleh PBB (Persatuan Bangsa-

Bangsa), sebagai hasil dari The Sevent United Nation Conggres on the

Prevention of Crime and the Treatment of Ofenders yang berlangsung di

Milan, Italia, September 1985.

Dalam deklarasi PBB tersebut telah dirumuskan bentuk-bentuk

perlindungan yang dapat diberikan kepada korban, yaitu:

a. Acces to justice and fair treatment;

b. Restitution;

c. Compensation;

42 Rena Yulia, Viktimologi: Perlindungan Hukum terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu,

Yogyakarta, 2010, hlm. 56.

Page 22: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

51

d. Assistance.

Perlindungan menurut Undang-Undang Perlindungan Saksi dan

Korban adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan

untuk memberikan rasa aman kepada korban yang wajib dilaksanakan

oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan. Perlindungan

ini diberikan dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam

lingkungan peradilan.

Perlindungan hukum bagi masyarakat sangatlah penting karena

masyarakat baik kelompok maupun perorangan, dapat menjadi korban

atau bahkan sebagai pelaku kejahatan. Perlindungan hukum korban

kejahatan sesuai bagian dari perlindungan kepada masyarakat, dapat

diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi

dan kompensasi, pelayanan medis dan bantuan hukum.

Beberapa bentuk perlindungan terhadap korban, yaitu:43

a. Ganti rugi

Istilah ganti kerugian digunakan oleh KUHAP dalam Pasal

99 ayat (1) dan (2) dengan penekanan pada penggantian biaya yang

telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan atau korban. Dilihat dari

kepentingan korban, dalam konsep ganti kerugian terkandung dua

manfaat yakni untuk memenuhi kerugian material dan segala biaya

yang telah dikeluarkan dan pemuasan emosional korban. Sedangkan

dilihat dari sisi kepentingan pelaku, kewajiban mengganti kerugian

43 Ibid, hlm. 59.

Page 23: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

52

dipandang sebagai suatu bentuk pidana yang dijatuhkan dan

dirasakan sebagai sesuatu yang konkrit dan langsung berkaitan

dengan kesalahan yang dibuat pelaku.44

Galeway merumuskan lima tujuan dari kewajiban mengganti

kerugian, yaitu:45

1) Meringankan penderitaan korban;

2) Sebagai unsur yang meringankan hukuman yang akan

dijatuhkan;

3) Sebagai salah satu cara merehabilitasi terpidana;

4) Mempermudah proses peradilan;

5) Dapat mengurangi ancaman atau reaksi masyarakat dalam

bentuk tindakan balas dendam.

Dari tujuan yang dirumuskan Galewey tersebut, bahwa

pemberian ganti kerugian harus dilakukan sevara terencana dan

terpadu. Artinya, tidak semua korban patut diberikan ganti rugi, yang

perlu dilayani dan diayomi adalah korban dari golongan masyarakat

kurang mampu, baik secara finansial maupun sosial.

Tujuan inti dari pemberian ganti kerugian tidak lain untuk

mengembangkan keadilan dan kesejahteraan korban sebagai anggota

masyarakat, dan tolak ukur pelaksanaannya adalah dengan

diberikannya kesempatan kepada korban untuk mengembangkan hak

dan kewajibannya sebagai manusia. Atas dasar itu, program

44 Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum

Pidana Islam, Grhadhika Press, Jakarta, 2004, hlm. 65. 45 Ibid, hlm. 65.

Page 24: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

53

pemberian ganti rugi kepada korban seharusnya merupakan

perpaduan usaha dari berbagai pendekatan, baik pendekatan dalam

bidang kesejahteraan sosial, pendekatan kemanusiaan dan

pendekatan sistem peradilan pidana.

b. Restitusi

Restitusi lebih diarahkan pada tanggung jawab pelaku

terhadap akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan sehingga

sasarannya utamanya adalah menanggulangi semua kerugian yang

diderita korban. Tolak ukur yang digunakan dalam menentukan

jumlah restitusi yang diberikan tidak mudah dalam merumuskannya.

Hal ini tergantung pada status sosial pelaku dan korban. Dalam hal

korban dengan status sosial lebih rendah dari pelaku, akan

mengutamakan ganti kerugian dalam bentuk materi, dan sebaliknya

jika status korban lebih tinggi dari pelaku maka pemulihan harkat

serta nama baik akan lebih diutamakan.46

c. Kompensasi

Kompensasi merupakan bentuk santunan yang dapat dilihat

dari aspek kemanusiaan dan hak-hak asasi. Adanya gagasan

mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat dengan berlandaskan

pada komitmen kontrak sosial dan solidaritas sosial menjadikan

masyarakat dan negara bertanggungjawab dan berkewajiban secara

moral untuk melindungi warganya, khususnya mereka yang

46 Ibid, hlm. 67.

Page 25: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

54

mengalami musibah sebagai korban kejahatan. Kompensasi sebagai

bentuk santunan yang sama sekali tidak tergantung bagaimana

berjalannya proses peradilan dan putusan yang dijatuhkan, bahkan

sumber dana untuk itu diperoleh dari pemerintah atau dana umum.47

D. VIKTIMOLOGI

1. Pengertian Viktimologi

Victimologi berasal dari bahasa latin “Victima” yang berarti korban

dan “Logos” yang berarti ilmu. Secara terminologi Victimologi berarti

suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya

korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah

manusia sebagai kenyataan sosial, korban dalam lingkup Victimologi

mempunyai arti yang luas sebab tidak hanya terbatas pada individu yang

nyata menderita kerugian, tapi juga kelompok, korporasi, swasta maupun

pemerintah.48 Akibat penimbulan korban adalah sikap atau tindakan

terhadap korban dan/atau pihak pelaku serta mereka yang secara

langsung atau tidak langsung terlibat dalam terjadinya suatu kejahatan.

Viktimologi adalah ilmu yang mempelajari tentang korban (victim

= korban), termasuk di dalamnya hubungan antara korban dan pelaku

serta interaksi antara korban dan sistem peradilan yaitu polisi,

pengadilan, dan hubungan antara pihak-pihak yang terkait serta di

dalamnya, juga menyangkut hubungan korban dengan kelompok-

47 Ibid, hlm. 69-70. 48 Didik M. Arif Mansur, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2007, hlm. 34.

Page 26: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

55

kelompok sosial lainnya dan institusi lain seperti media, kalangan bisnis,

dan gerakan sosial.

Di dalam buku Masalah Korban Kejahatan karangan Arif Gosita

diberikan penjelasan mengenai arti viktimologi. Dalam buku tersebut

menyebutkan bahwa viktimologi adalah suatu pengetahuan ilmiah/studi

yang mempelajari viktimisasi (criminal) sebagai suatu permasalahan

manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial.

Pendapat Arif Gosita mengenai pengertian viktimologi ini sangat

luas, yang dimaksud korban di sini adalah mereka yang menderita

jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari

pemenuhan diri sendiri dalam konteks kerakusan individu dalam

memperoleh apa yang diingingkan secara tidak baik dan sanggat

melanggar ataupun bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang

menderita, Sebab dan kenyataan sosial yang dapat disebut sebagai korban

tidak hanya korban perbuatan pidana (kejahatan) saja tetapi dapat korban

bencana alam, korban kebijakan pemerintah dan lain-lain.49

Viktimologi berasal dari kata latin victima yang berarti korban dan

logos yang berarti pengetahuan ilmiah atau studi.

2. Tujuan, Fungsi dan Manfaat Viktimologi

a. Tujuan Viktimologi

1) Menganalisis berbagai aspek yang berkaitan dengan korban;

49 Arif Gosita, Opcit, hlm. 75-76.

Page 27: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

56

2) Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab

terjadinya viktimisasi;

3) Mengembangkan system tindakan guna mengurangi penderitaan

manusia.

b. Fungsi Viktimologi

Viktimologi mempunyai fungsi untuk mempelajari sejauh

mana peran dari seorang korban dalam terjadinya tindak pidana,

serta bagaimana perlindungan yang harus diberikan oleh pemeritah

terhadap seseorang yang telah menjadi korban kejahatan. Di sini

dapat terlihat bahwa korban sebenarnya juga berperan dalam

terjadinya tindak pidana pencurian, walaupun peran korban disini

bersifat pasif tapi korban juga memiliki andil yang fungsional dalam

terjadinya kejahatan.

Pada kenyataanya dapat dikatakan bahwa tidak mungkin

timbul suatu kejahatan kalau tidak ada si korban kejahatan, yang

merupakan peserta utama dan si penjahat atau pelaku dalam hal

terjadinya suatu kejahatan dan hal pemenuhan kepentingan si pelaku

yang berakibat pada penderitaan si korban. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa korban mempunyai tanggung jawab fungsional

dalam terjadinya kejahatan.

Page 28: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

57

c. Manfaat Viktimologi

Arif Gosita merumuskan beberapa manfaat dari studi

mengenai korban antara lain:50

1) Viktimologi mempelajari hakikat siapa itu korban dan yang

menimbulkan korban, apa artinya viktimisasi dan proses

viktimisasi bagi mereka yang terlibat dalam proses viktimisasi.

Akibat dari pemahaman itu, maka akan diciptakan pengertian-

pengertian, etiologi kriminal dan konsepsi-konsepsi mengenai

usaha-usaha yang preventif, represif dan tindak lanjut dalam

menghadapi dan menanggulangi permasalahan viktimisasi

kriminal di berbagai bidang kehidupan dan penghidupan;

2) Viktimologi memberikan sumbangan dalam mengerti lebih baik

tentang korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan

penderitaan mental, fisik dan sosial. Tujuannya, tidaklah untuk

menyanjung (eulogize) korban, tetapi hanya untuk memberikan

beberapa penjelasan mengenai kedudukan dan peran korban

serta hubungannya dengan pihak pelaku serta pihak lain.

Kejelasan ini sangat penting dalam upaya pencegahan terhadap

berbagai macam viktimisasi, demi menegakkan keadilan dan

meningkatkan kesejahteraan mereka yang terlihat langsung atau

tidak langsung dalam eksistensi suatu viktimisasi;

50 Ibid, hlm. 77.

Page 29: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

58

3) Viktimologi memberikan keyakinan, bahwa setiap individu

mempunyai hak dan kewajiban untuk mengetahui mengenai

bahaya yang dihadapinya berkaitan dengan kehidupan,

pekerjaan mereka. Terutama dalam bidang penyuluhan dan

pembinaan untuk tidak menjadi korban struktural atau non

struktural. Tujuannya, bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk

memberikan pengetian yang baik dan agar waspada.

Mengusahakan keamanan atau hidup aman seseorang meliputi

pengetahuan yang seluas-luasnya mengenai bagaimana

menghadapi bahaya dan juga bagaimana menghindarinya;

4) Viktimologi juga memperhatikan permasalahan viktimisasi yang

tidak langsung, misalnya: efek politik pada penduduk “dunia

ketiga” akibat penyuapan oleh suatu korporasi internasional,

akibat-akibat sosial pada setiap orang akibat polusi industri,

terjadinya viktimisasi ekonomi, politik dan sosial setiap kali

seorang pejabat menyalahgunakan jabatan dalam pemerintahan

untuk keuntungan sendiri. Dengan demikian dimungkinkan

menentukan asal mula viktimisasi, mencari sarana menghadapi

suatu kasus, mengetahui terlebih dahulu kasus-kasus

(antisipasi), mengatasi akibat-akibat merusak, dan mencegah

pelanggaran, kejahatan lebih lanjut (diagnosa viktimologis);

5) Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk masalah

penyelesaian viktimisasi kriminal, pendapat-pendapat

Page 30: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

59

viktimologi dipergunakan dalam keputusan-keputusan peradilan

kriminal dan reaksi pengadilan terhadap pelaku kriminal.

Mempelajari korban dari dan dalam proses peradilan kriminal,

merupakan juga studi mengenai hak dan kewajiban asasi

manusia.

Manfaat Viktimologi bagi pihak penegak hukum, di

antaranya sebagai berikut:51

1) Bagi aparat kepolisian, viktimologi sangat membantu dalam

upaya penanggulangan kejahatan. Melalui viktimologi akan

mudah diketahui latar belakang yang mendorong terjadinya

kejahatan, seberapa besar peranan korban pada terjadinya

kejahatan, bagaimana modus operandi yang biasanya dilakukan

oleh pelaku dalam menjalankan aksinya serta aspek aspek

lainnya yang terkait;

2) Bagi Kejaksaan, khususnya dalam proses penuntutan perkara

pidana di pengadilan, viktimologi dapat dipergunakan sebagai

bahan pertimbangan dalam menentukan berat ringannya

tuntutan yang akan diajukan kepada terdakwa, mengingat dalam

praktiknya sering dijumpai korban kejahatan turut menjadi

pemicu terjadinya kejahatan;

3) Bagi hakim tidak hanya menempatkan korban sebagai saksi

dalam persidangan suatu perkara pidana, tetapi juga turut

51 Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom. Opcit, hlm. 40.

Page 31: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

60

memahami kepentingan dan penderitaan korban akibat dari

sebuah kejahatan atau tindak pidana, sehingga apa yang menjadi

harapan dari korban terhadap pelaku sedikit banyak dapat

terkonkritisasi dalam putusan hakim.

3. Ruang Lingkup Viktimologi

Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti

peranan korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara

pelaku dengan korban, rentannya posisi korban dan peranan korban

dalam sistem peradilan pidana.

Menurut J. E. Sahetapy52, ruang lingkup viktimologi meliputi

bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh suatu

victimity yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan,

termasuk pola korban kecelakaan dan bencana alam selain dari korban

kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan. Objek studi atau ruang

lingkup viktimologi menurut Arief Gosita adalah sebagai berikut:

a. Berbagai macam viktimisasi kriminal atau kriminalistik;

b. Teori-teori etiologi viktimisasi kriminal;

c. Para peserta terlibat dalam terjadinya atau eksistensi suatu

viktimisasi kriminal atau kriminalistik, seperti para korban,

pelaku, pengamat, pembuat undang-undang, polisi, jaksa, hakim,

pengacara dan sebagainya;

d. Reaksi terhadap suatu viktimisasi kriminal;

52 Rena Yulia, Opcit, hlm. 45.

Page 32: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

61

e. Respons terhadap suatu viktimisasi kriminal argumentasi

kegiatan-kegiatan penyelesaian suatu viktimisasi atau viktimologi,

usaha-usaha prevensi, refresi, tindak lanjut (ganti kerugian), dan

pembuatan peraturan hukum yang berkaitan;

f. Faktor-faktor viktimogen/ kriminogen.Ruang lingkup atau objek

studi viktimologi dan kriminologi dapat dikatakan sama, yang

berbeda adalah titik tolak pangkal pengamatannya dalam memahami

suatu viktimisasi kriminal, yaitu viktimologi dari sudut pihak

korban sedangkan kriminologi dari sudut pihak pelaku. Masing-

masing merupakan komponen-komponen suatu interaksi (mutlak)

yang hasil interaksinya adalah suatu viktimisasi kriminal atau

kriminalitas.53

Suatu viktimisasi antara lain dapat dirumuskan sebagai suatu

penimbunan penderitaan (mental,fisik, sosial, ekonomi, moral) pada

pihak tertentu dan dari kepentingan tertentu. Menurut J.E. Sahetapy,

viktimisasi adalah penderitaan, baik secara fisik maupun psikis atau

mental berkaitan dengan perbuatan pihak lain. Lebih lanjut J.E.

Sahetapy berpendapat mengenai paradigma viktimisasi yang

meliputi:54

a. Viktimisasi politik, dapat dimasukkan aspek penyalahgunaan

kekuasaan, perkosaan hak-hak asasi manusia, campur tangan

53 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, PT. Buana Ilmu Populer, Jakarta, 2004, hlm. 39. 54 Muhadar, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, LaksBang Pressindo, Surabaya, 2006, hlm. 22.

Page 33: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

62

angkatan bersenjata diluar fungsinya, terorisme, intervensi, dan

peperangan lokal atau dalam skala internasional;

b. Viktimisasi ekonomi, terutama yang terjadi karena ada kolusi

antara pemerintah dan konglomerat, produksi barang-barang tidak

bermutu atau yang merusak kesehatan, termasuk aspek

lingkungan hidup;

c. Viktimisasi keluarga, seperti perkosaan, penyiksaan, terhadap

anak dan istri dan menelantarkan kaum manusia lanjut atau

orang tuanya sendiri;

d. Viktimisasi media, dalam hal ini dapat disebut penyalahgunaan obat

bius, alkoholisme, malpraktek di bidang kedokteran dan lain-

lain;

e. Viktimisasi yuridis, dimensi ini cukup luas, baik yang

menyangkut aspek peradilan dan lembaga pemasyarakatan

maupun yang menyangkut dimensi diskriminasi perundang-

undangan, termasuk menerapkan kekuasaan dan stigmastisasi

kendatipun sudah diselesaikan aspek peradilannya.Viktimologi

dengan berbagai macam pandangannya memperluas teori-teori

etiologi kriminal yang diperlukan untuk memahami eksistensi

kriminalitas sebagai suatu viktimisasi yang struktural maupun

nonstruktural secara lebih baik. Selain pandangan-pandangan

dalam viktimologi mendorong orang memperhatikan dan

Page 34: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

63

melayani setiap pihak yang dapat menjadi korban mental, fisik, dan

sosial.

4. Hubungan Kriminologi dan Viktimologi

Adanya hubungan antara kriminologi dan viktimologi sudah tidak

dapat diragukan lagi, karena dari satu sisi Kriminologi membahas secara

luas mengenai pelaku dari suatu kejahatan, sedangkan viktimologi di sini

merupakan ilmu yang mempelajari tentang korban dari suatu kejahatan.55

Jika ditelaah lebih dalam, tidak berlebihan apabila dikatakan

bahwa viktimologi merupakan bagian yang hilang dari kriminologi atau

dengan kalimat lain, viktimologi akan membahas bagian-bagian yang

tidak tercakup dalam kajian kriminologi. Banyak dikatakan bahwa

viktimologi lahir karena munculnya desakan perlunya masalah korban

dibahas secara tersendiri.56

Akan tetapi, mengenai pentingnya dibentuk Viktimilogi secara

terpisah dari ilmu kriminologi mengundang beberapa pendapat, yaitu

sebagai berikut:57

a. Mereka yang berpendapat bahwa viktimologi tidak terpisahkan dari

kriminologi, diantaranya adalah Von Hentig, H. Mannheim dan Paul

Cornil. Mereka mengatakan bahwa kriminologi merupakan ilmu

pengetahuan yang menganalisis tentang kejahatan dengan segala

aspeknya, termasuk korban. Dengan demikian, melalui

penelitiannya, kriminologi akan dapat membantu menjelaskan

55 Dikdik M.Arief dan Elisatris Gultom. Opcit, hlm. 69. 56 Ibid, hlm. 72. 57 Ibid, hlm. 72-73.

Page 35: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

64

peranan korban dalam kejahatan dan berbagai persoalan yang

melingkupinya;

b. Mereka yang menginginkan viktimologi terpisah dari kriminologi,

diantaranya adalah Mendelsohn. Ia mengatakan bahwa viktimologi

merupakan suatu cabang ilmu yang mempunyai teori dalam

kriminologi, tetapi dalam membahas persoalan korban, viktimologi

juga tidak dapat hanya terfokus pada korban itu sendiri.

Khusus mengenai hubungan antara kriminologi dan hukum

pidana dikatakan bahwa keduanya merupakan pasangan atau dwi tunggal

yang saling melengkapi karena orang akan mengerti dengan baik tentang

penggunaan hukum terhadap penjahat maupun pengertian mengenai

timbulnya kejahatan dan cara-cara pemberantasannya sehingga

memudahkan penentuan adanya kejahatan dan pelaku kejahatannya.

Hukum pidana hanya mempelajari delik sebagai suatu pelanggaran

hukum, sedangkan untuk mempelajari bahwa delik merupakan perbuatan

manusia sebagai suatu gejala social adalah kriminologi.

J.E Sahetapy juga berpendapat bahwa kriminologi dan

viktimologi merupakan sisi dari mata uang yang saling berkaitan.

Perhatian akan kejahatan yang ada tidak seharusnya hanya berputar

sekitar munculnya kejahatan akan tetapi juga akibat dari kejahatan,

karena dari sini akan terlihat perhatian bergeser tidak hanya kepada

pelaku kejahatan tetapi juga kepada posisi korban dari kejahatan itu. Hal

ini juga dibahas oleh pakar hukum lainnya dalam memperhatikan adanya

Page 36: BAB II PELAKU ANAK, SANKSI TERHADAP PELAKU ANAK, …repository.unpas.ac.id/33965/5/BAB II.pdf · memperlihatkan kematangan untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)

65

hubungan ini, atau setidaknya perhatian atas terjadinya kejahatan tidak

hanya dari satu sudut pandang, apabila ada orang menjadi korban

kejahatan, jelas terjadi suatu kejahatan, atau ada korban ada kejahatan

dan ada kejahatan ada korban. Jadi kalau ingin menguraikan dan

mencegah kejahatan harus memperhatikan dan memahami korban suatu

kejahatan, akan tetapi kebiasaan orang hanya cenderung memperhatikan

pihak pelaku kejahatan.58

58 Rena Yulia, Opcit, hlm. 45.