BAB II PANDANGAN TEOLOGI KRISTEN TENTANG MESIAS …...Aura ilahi yang dimiliki seorang raja...

21
11 BAB II PANDANGAN TEOLOGI KRISTEN TENTANG MESIAS NIRKEKERASAN 2.1. Pendahuluan Berbicara tentang Mesias, maka tidaklah cukup melihatnya dari satu sisi saja. Setidaknya ada dua pandangan yang terlibat dalam pembicaraan tentang Mesias, yaitu Yahudi dan Kristen. Yahudi memiliki konsep Mesias yang mewarnai kehidupan beragama mereka. Konsep Mesias Yahudi juga yang dipakai oleh kekristenan, karena kekristenan berawal dari orang-orang Yahudi. Konsep Mesias muncul dan berkembang dalam Perjanjian Lama, bahkan sampai pada Perjanjian Baru. Oleh karenanya dalam bab ini yang membahas tentang Mesias, dua pandangan itu akan dibahas guna mendapatkan gambaran yang cukup utuh tentang Mesias. Pandangan Mesias dari kalangan Yahudi dan Kristen diperlukan untuk membangun sebuah konstruksi Mesias yang nirkekerasan. Penjelasan Mesias akan diawali dengan definisi Mesias itu sendiri. Setelah mendapat definisi awal Mesias, maka penjelasan akan dilanjutkan pada kemunculan dan perkembangan konsep Mesias dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Konsep Mesias dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dipaparkan sebagai dasar dalam memahami Mesias Nirkekerasan yang merupakan konsep Mesias yang dilakoni oleh Yesus. 2.2. Definisi Mesias Mesias berasal dari kata Ibrani mashiah yang berarti diurapi. Seseorang yang menjadi Mesias akan diurapi minyak. Seseorang yang diurapi memiliki tugas untuk dilakukan. Bisa dikatakan inilah arti awal dari mashiah atau Mesias. Ia hanyalah seseorang yang diurapi dan melakukan tugas tertentu, tidak ada yang spesial darinya.

Transcript of BAB II PANDANGAN TEOLOGI KRISTEN TENTANG MESIAS …...Aura ilahi yang dimiliki seorang raja...

  • 11

    BAB II

    PANDANGAN TEOLOGI KRISTEN TENTANG MESIAS

    NIRKEKERASAN

    2.1. Pendahuluan

    Berbicara tentang Mesias, maka tidaklah cukup melihatnya dari satu sisi saja.

    Setidaknya ada dua pandangan yang terlibat dalam pembicaraan tentang Mesias, yaitu

    Yahudi dan Kristen. Yahudi memiliki konsep Mesias yang mewarnai kehidupan

    beragama mereka. Konsep Mesias Yahudi juga yang dipakai oleh kekristenan, karena

    kekristenan berawal dari orang-orang Yahudi. Konsep Mesias muncul dan

    berkembang dalam Perjanjian Lama, bahkan sampai pada Perjanjian Baru. Oleh

    karenanya dalam bab ini yang membahas tentang Mesias, dua pandangan itu akan

    dibahas guna mendapatkan gambaran yang cukup utuh tentang Mesias. Pandangan

    Mesias dari kalangan Yahudi dan Kristen diperlukan untuk membangun sebuah

    konstruksi Mesias yang nirkekerasan. Penjelasan Mesias akan diawali dengan definisi

    Mesias itu sendiri. Setelah mendapat definisi awal Mesias, maka penjelasan akan

    dilanjutkan pada kemunculan dan perkembangan konsep Mesias dalam Perjanjian

    Lama dan Perjanjian Baru. Konsep Mesias dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian

    Baru dipaparkan sebagai dasar dalam memahami Mesias Nirkekerasan yang

    merupakan konsep Mesias yang dilakoni oleh Yesus.

    2.2. Definisi Mesias

    Mesias berasal dari kata Ibrani mashiah yang berarti diurapi. Seseorang yang

    menjadi Mesias akan diurapi minyak. Seseorang yang diurapi memiliki tugas untuk

    dilakukan. Bisa dikatakan inilah arti awal dari mashiah atau Mesias. Ia hanyalah

    seseorang yang diurapi dan melakukan tugas tertentu, tidak ada yang spesial darinya.

  • 12

    Tugas yang dijalankan Mesias akan berdampak pada banyak orang.1 Ketika Mesias

    itu diurapi, maka ia juga menjadi seorang pemimpin.2 Oleh karenanya beberapa teks

    dalam Perjanjian Lama menunjukkan bahwa setiap orang yang mendapatkan tugas

    khusus pasti akan diurapi dan menjadi seorang pemimpin.

    Seorang pemimpin berarti ia mempunyai fungsi sosial. Beberapa ahli

    mengatakan bahwa seorang pemimpin berarti ia berhubungan dengan politik3, kultus,

    bidang militer.4 Tiga wilayah itu yang selalu identik dengan pemimpin, dalam hal ini

    seorang Mesias. Politik, kultus dan bidang militer menjadi tiga wilayah ideal yang

    harus dikuasai oleh seorang Mesias. Pemahaman ini akhirnya dilekatkan dalam rupa

    seorang raja.

    Seorang raja perlu piawai dalam bidang politik, kultus dan militer. Kepiawaian

    ini diperlukan seorang raja agar kerajaannya dapat kokoh bertahan dan kuat.

    Pemahaman ini berkembang karena Israel saat itu merasa bahwa Tuhan Israel kalah

    dengan ilah bangsa lain. Israel ingin menjadi bangsa yang hebat lagi dan tetap ingin

    menunjukkan bahwa Tuhan Israel tidaklah kalah dari ilah bangsa lain. Keinginan itu

    dapat terpenuhi jika Israel dipimpin oleh seorang raja yang diurapi Tuhan dan

    memimpin kerajaan yang ilahi.

    1 Joseph A. Fitzmayer, “messiah” dalam The HarperCollins Bible Dictionary, ed. Paul J.

    Achtemeier (New York: HarperCollins Publishers, 1996), 677.

    2 Jacob Neusner dan Alan J. Avery-Peck, The Routledge Dictionary of Judaism (New York:

    Routledge, 2004), 86.

    3 Politik: (Kej.41:34; Hak. 9:28; 2Raj. 25:19; Yer. 52:25; Est. 2:3); Kultus: (Yer. 29:26; Neh.

    11:9, 14, 22; 2Taw. 24:11; 31:13); Milter: (Yos. 10:24; Yes. 1:10; 3:6-7, 22:3; Ams. 6:7, 25:15).

    4 S. Talmon, “The Concept of Māšîah and Messianism in Early Judaism” dalam The Messiah:

    Developments In Earliest Judaism and Christianity, ed. James H. Charlesworth (Minneapolis:

    Augsburg Fortress Publishers, 1992), 87-88.

  • 13

    Seorang raja yang diurapi Tuhan menunjukkan hubungan yang intim dengan

    Tuhan, memiliki aura ilahi dan bahkan diyakini mempunyai kekuatan ilahi.5 Seorang

    raja yang diurapi Tuhan akan menjalankan rencana ilahi bagi umat. Oleh karenanya

    tidaklah berlebihan jika seorang raja itu memiliki aura ilahi dan memiliki hubungan

    yang intim dengan Tuhan karena ia secara tidak langsung adalah representasi ilahi

    dalam rupa manusia. Aura ilahi yang dimiliki seorang raja memampukan ia

    menjalankan kerajaan yang ilahi bukan kerajaan manusia.6 Aura ilahi menjadi

    penentu apakah raja itu dapat menjalankan kerajaan dengan baik atau tidak. Dalam

    kisah raja-raja di Israel keilahian seorang raja, dalam hal ini berarti kedekatakan

    dirinya dengan Tuhan, berdampak langsung dengan situasi kerajaan. Jika seorang raja

    tidak dekat dengan Tuhan, berarti kerajaan itu akan hancur dan penduduk menderita.

    Dan begitu pula sebaliknya. Jadi selain memiliki kepiawaian dalam bidang militer,

    kultus dan politik, seorang raja juga harus memiliki aura ilahi dalam dirinya.

    Pada awalnya Mesias dipahami sebagai seseorang dengan tugas khusus yang

    memiliki dimensi sosial. Jika hal itu dipahami dalam kerangka Pra-Pembuangan,

    maka Mesias tidaklah tertuju pada satu individu saja. Setiap orang yang menjalani

    tugasnya masing-masing dan selama masih berkaitan dengan orang banyak, maka ia

    adalah Mesias. Namun Pasca-Pembuangan dalam keinginan membangun Israel, maka

    pengertian Mesias menjadi lebih spesifik dan kompleks. Mesias dalam Pasca

    Pembuangan tidak hanya diurapi, memiliki tugas khusus, berdimensi sosial tapi yang

    paling utama adalah ia adalah seorang pemimpin yang dalam hal ini adalah raja.

    5 Sigmund Mowinckel, He That Cometh: The Messiah Concept in The Old Testament and

    Later Judaism, terj. G. W. Anderson (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Co., 2005), 5.

    6 P. D. Hanson, “Messiah and Messianic Figure in Proto-Apocalypticism” dalam The

    Messiah: Developments In Earliest Judaism and Christianity, ed. James H. Charlesworth

    (Minneapolis: Augsburg Fortress Publishers, 1992), 68.

  • 14

    Perkembangan arti Mesias menunjukkan bahwa arti Mesias tidak dapat dipahami

    secara etimologis saja. Mesias juga perlu didefiniskan berdasarkan keadaan sosial di

    mana kata Mesias itu berkembang. Mesias memang berarti ‘yang diurapi’ namun

    tugas dan keberadaan ‘yang diurapi’ itu sendiri bergantung pada situasi umat,

    sehingga akan muncul pemahaman Mesias sesuai dengan kebutuhan dan keadaan

    umat.

    2.3. Macam-macam Konsep Mesias dalam Kekristenan

    2.3.1. Konsep Mesias dalam Perjanjian Lama

    Konsep mesias bukan hanya memiliki sisi praktikal namun ia juga memiliki

    sisi ilahi. J. J. M. Roberts menegaskannya bahwa kata mashiah awalnya selalu

    merujuk kepada Allah.7 Dan hal itu selalu merujuk kepada seorang raja. Ketika

    seorang raja dikatakan ‘diurapi Allah’ setidaknya bemakna dua hal yaitu seorang raja

    dipilih dan diurapi oleh Allah serta menunjukkan adanya hubungan yang akrab antara

    Allah dengan raja. S. M. Siahaan mengatakan bahwa penggunakan kata mashiah itu

    memang awalnya untuk raja yang memerintah, namun lambat laun digunakan untuk

    menggambarkan Raja Keselamatan yang akan datang.8 Jadi kata mashiah atau Mesias

    itu berkembang menjadi sebuah kata yang bermakna eskatalogis. Pengharapan tentang

    Raja Keselamatan itu didasari pada keadaan Israel pada saat itu yang berada dalam

    sistem pemerintahan Monarki. Walaupun bersifat Monarki tetapi pemilihan raja tetap

    berada dalam kendali Allah. Allah yang berhak menunjuk atau mengurapi seorang

    7 J.J. M. Roberts, “The Old Testament’s Contribution to Messianic Expectations” dalam The

    Messiah: Developments In Earliest Judaism and Christianity, ed. James H. Charlesworth

    (Minneapolis: Augsburg Fortress Publishers, 1992), 39.

    8 S. M. Siahaan, Pengharapan Mesias dalam Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

    2001), 4.

  • 15

    raja bagi Israel. Ketika dihubungkan dengan Raja Keselamatan, maka ia adalah orang

    yang benar-benar dipilih oleh Allah.

    Sebelum berada dalam sistem Monarki, Israel berada dalam masa Hakim-

    hakim. Saat itu Israel tidak lagi memiliki pemimpin karena Yosua telah meninggal.

    Dan Israel harus memasuki tanah Kanaan dan berhadapan dengan bangsa-bangsa

    yang ada di sana. Israel membutuhkan sosok pemimpin yang akan menyatukan

    mereka dalam menaklukkan tanah Kanaan. Proses penaklukan tanah Kanaan menjadi

    tantangan yang sulit karena kelemahan Israel dalam berperang serta perbuatan jahat

    Israel di mata Tuhan. Israel berbalik menjadi penyembah dewa-dewa yang mereka

    temui di tanah Kanaan dan kawin campur.9 Allah pun mengangkat seorang Hakim

    untuk mengajak Israel menyembah-Nya kembali dan meyakinkan bahwa Israel

    mampu menaklukan bangsa-bangsa di tanah Kanaan.10

    Hakim pada saat itu hanya

    bertindak sebagai pemimpin peperangan namun tidak menjadi seorang imam.

    Kalaupun disebutkan bahwa Israel menyembah ilah lain, Hakim hanya

    menyampaikan teguran Allah dan tidak memimpin Israel dalam peribadahan.

    Kehadiran Hakim menjadi bukti bahwa Allah hadir di tengah Israel dan

    menjadi jawaban atas keinginan untuk penaklukan tanah Kanaan. Hakim memang

    menjadi pemimpin tertinggi umat saat itu, tapi Hakim tidak lebih dari Allah. Hakim

    ditunjuk oleh Allah dan menjalankan apa yang menjadi kehendak Allah. Jadi secara

    tidak langsung hal ini menunjukkan bahwa Allah tetap menjadi pemimpin mereka

    (teokrasi) walaupun sudah ada pemimpin di tengah mereka. Kehadiran Hakim juga

    9 Tremper Longman III dan Raymond B. Dillard, An Intrudoction To The Old Testament,

    Edisi Ke-2 (Michigan: Zondervan, 2006), 139.

    10 John Barton dan John Muddiman, ed., The Oxford Bible Commentary (New York: Oxford

    University Press, 2001), 176.

  • 16

    merupakan respon atas kenyataan yang dilihat Israel bahwa bangsa-bangsa di tanah

    Kanaan telah memiliki seorang raja. Kenyataan bahwa sistem Monarki telah

    berkembang saat itu di kalangan bangsa lain, menggiring Israel pada sebuah situasi di

    mana mereka juga akan menganut sistem Monarki.

    Pemahamaan tentang raja dan kerajaan Israel dipengaruhi oleh setidaknya tiga

    bangsa yaitu Mesir, Mesopotamia dan Kanaan. Bangsa Mesir memahami bahwa raja

    memiliki sisi ilahi yang terlihat dari kelahirannya atau saat pengangkatannya.11

    Bangsa Mesir melihat bahwa raja adalah sosok yang dapat dipuja, contohnya Firaun

    yang dianggap sebagai Dewa yang baik. Bangsa Mesopotamia melihat seorang raja

    adalah perwakilan umat terhadap Allah.12

    Bangsa Mesopotamia juga melihat bahwa

    raja adalah sosok ilahi dengan menyebutnya anak ilahi. Seorang raja dipilih oleh

    Dewa dan menjadi hambanya.13

    Bangsa Kanaan melihat bahwa rajanya dapat terlibat

    dalam kultus yang dijalankan.14

    Dalam kultus itu raja menjadi pengantara antara

    Dewa dengan umat serta sebaliknya.

    Israel menggabungkan tiga pemahaman raja bangsa itu menjadi pemahaman

    rajanya sendiri. Sistem pemerintahan di Israel diawali dengan teokrasi. Allah menjadi

    pemimpin tertinggi bagi Israel. Seorang raja pun diangkat untuk menjadi pemimpin

    bagi Israel. Seorang raja Israel tidak hanya menjalankan tugas kenegeraannya tapi ia

    juga bertindak menjadi imam besar. Raja Israel juga dianggap sebagai anak Allah.

    Raja bukan menjadi anak Allah langsung, tapi Allah menyebut bahwa raja Israel

    11

    Shirley Lucass, The Concept of The Messiah In The Scriptures of Judaism and Christianity

    (New York: T & T Clark International, 2011), 40.

    12 Lucass, The Concept of The Messiah, 43.

    13 Lucass, The Concept of The Messiah, 44.

    14 Lucass, The Concept of The Messiah, 47.

  • 17

    adalah anaknya.15

    Raja Israel juga bertindak sebagai imam besar. Raja Israel

    walaupun menjadi pemimpin tertinggi di dunia, tetapi ia juga tetap menjalankan

    perintah Allah. Raja Israel menjadi penghubung antara umat dengan Allah dan

    sebaliknya ketika menjalankan ritual sebagai imam besar.

    Peran raja Israel yang memerintah sekaligus berperan dalam kultus dimulai

    dari masa pemerintahan Daud. Daud menjadi raja kota Suci Israel dan imam tertinggi

    yang mengurapi para imam. Oleh karenanya, Daud disebut sebagai raja kota suci

    Yerusalem. Daud dan keturunannya mempunyai kekuasaan sebagai raja dan sekaligus

    imam.16

    Hal tentang kekuasaan sebagai raja dan imam berpengaruh dalam

    mengartikan Mesias dalam kehidupan Israel.

    Konsep raja dan imam mencuat dengan kuat ketika Israel kembali dari

    pembuangan. B. M. Bokser menyebutkan bahwa ingatan peristiwa Keluaran menjadi

    alasan mengapa konsep eskalotogis mulai muncul dalam kehidupan Israel.

    Pengharapan eskatologis memiliki aspek pembebasan untuk memulai kehidupan

    baru.17

    Israel memerlukan seorang pemimpin untuk mengembalikan kejayaaannya.

    Keinginan mengulang kejayaan yang mendorong para nabi dalam menyuarakan

    kemunculan sosok Mesias yang akan merestorasi kehidupan Israel. Konsep Mesias

    menjadi sebuah konsep eskatologis yang sangat dinantikan kehadirannya oleh Israel.

    Mesias akan datang guna melakukan apa yang dulu dilakukan oleh Daud. Ia akan

    kembali membangun Bait Allah, kembali mengurapi imam dan memimpin Israel

    menuju kehidupan yang baik.

    15

    Siahaan, Pengharapan Mesias, 9.

    16 Siahaan, Pengharapan Mesias, 10.

    17 B. M. Bokser, “Messianism, The Exodus Pattern, and Early Rabbinic Judaism”, dalam The

    Messiah: Developments In Earliest Judaism and Christianity, ed. James H. Charlesworth

    (Minneapolis: Augsburg Fortress Publishers, 1992), 257.

  • 18

    2.3.2. Konsep Mesias dalam Perjanjian Baru

    Mesias dalam Perjanjian Baru merujuk pada gelar Kristus yang disematkan

    pada Yesus. Yesus diidentifikasikan sebagai seorang Mesias karena pemberitaan

    Yesus tentang Kerajaan Allah. Yesus diyakini akan kembali membangun kejayaan

    kerajaan Israel di mana Ia memerintah sebagai rajanya.18

    Pengharapan akan

    kedatangan seorang raja merasuki pikiran orang Yahudi saat itu yang sedang

    menderita. Orang Yahudi di zaman Yesus menantikan penggenapan nubuatan Mesias

    atau kedatangan Anak Manusia untuk menyelamatkan mereka dari penindasan bangsa

    Romawi.19

    Injil Markus mulai dengan menggunakan istilah rahasia mesianis. Penulis Injil

    Markus menekankan bahwa identitas Yesus sebagai Mesias tidak boleh diberitahu

    kepada siapa pun oleh setiap orang yang merasakan mukjizat Yesus, para murid

    bahkan para setan.20

    Mesias rahasia dalam Injil Markus menimbulkan beberapa

    tafsiran yaitu pertama, tafsiran apologetik. Tafsiran ini mengatakan bahwa Injil

    Markus merahasiakan kemesiasan Yesus guna menghindari serangan para musuh

    yang membenci Yesus. Tafsiran Mesias rahasia juga menunjukkan situasi bahwa

    komunitas pembaca Injil Markus bersifat ‘rahasia’ karena mereka juga dibenci.

    Kedua, tafsiran epifanik. Tafsiran ini menekankan tentang penyataan kemuliaan

    Yesus. Injil Markus tidaklah menekankan tentang rahasia mesianis, namun lebih

    kepada menyatakan kemuliaan Yesus. Ketiga, tafsiran teologi salib. Tafsiran ini

    mengatakan bahwa pengenalan terhadap kemesiasan Yesus hanya dapat ditempuh

    18

    B. L. Mack, “The Christ and Jewish Wisdom” dalam The Messiah: Developments In

    Earliest Judaism and Christianity, ed. James H. Charlesworth (Minneapolis: Augsburg Fortress

    Publishers, 1992), 192.

    19 James E. Will, A Christology of Peace (Lousville: Westminster/John Knox Press, 1989), 32.

    20 Samuel Benyamin Hakh, Pemberitaan Tentang Yesus: Menurut Injil-injil Sinoptik. Cetakan

    ke-2 (Bandung: Jurnal Info Media, 2008), 132.

  • 19

    melalui jalan penderitaan. Jadi setiap orang harus menderita terlebih dahulu bahwa

    bisa memahami bahwa Yesus adalah Mesias. Hal ini juga masih berkaitan dengan

    adanya kebencian terhadap komunitas Markus yang membuat mereka menderita.

    Keempat, tafsiran historik. Tafsiran ini mengatakan bahwa Yesus sebagai Mesias

    tetap rahasia sampai Yesus bangkit. Setelah bangkit rahasia Mesias menjadi terbuka,

    tidak lagi tersembunyi. Namun kerahasiaan Mesias tetap tertutup bagi siapa pun yang

    belum percaya kepada Yesus.21

    Injil Matius menekankan bahwa Yesus adalah penggenapan Mesias dalam

    Perjanjian Lama. Matius menekankan Yesus adalah Mesias dengan membuktikan

    bahwa Yesus adalah keturunan Daud dalam pembukaan Injilnya (Matius 1:1-17). Injil

    Matius juga mengaitkan Yesus dengan Anak Allah (Matius 16:16; 26:63). Injil Matius

    bukan hanya mengatakan bahwa Yesus adalah penggenapan Mesias, tapi Yesus juga

    adalah Musa yang baru.22

    Oleh karenanya beberapa peristiwa Yesus diidentikkan

    dengan peristiwa Musa, contohnya ketika Yesus berpuasa selama empat puluh hari di

    padang gurun (Matius 4:1-11) sama seperti peristiwa Musa membawa Israel melintasi

    padang gurun selama empat puluh tahun. Yesus dianggap akan bertindak seperti Musa

    untuk membawa keselamatan dan arah baru. Dan itu merupakan pemahamaan yang

    berkembang pada orang Yahudi di abad pertama.23

    Injil Lukas memakai gelar Mesias hanya tiga kali, yaitu dalam hubungan

    dengan pengakuan Peturs (Luk. 9:20), hubungan antara Mesias dengan Daud (Luk.

    20:41) dan pertanyaan imam besar pada waktu Yesus diadili (Lukas 22:67). Injil

    21

    Samuel Hakh, Pemberitaan Tentang Yesus, 134-136.

    22 Bart D. Ehrman, The New Testament: A Historical Introduction to The Early Christian

    Writings. Edisi ke-2 (New York: Oxford University Press, 2000), 88.

    23 Bart Ehrman, The New Testament, 89.

  • 110

    Lukas menampilkan Mesias dalam dua cara yaitu pertama, kebangkitan dan

    penggenapan adalah dua istilah kunci dalam mengenakan gelar Mesias kepada Yesus.

    Kedua, dalam pemberitaannya mengenai Yesus sebagai Mesias Injil Lukas terkadang

    menambahkan ungkapan yang menyatakan bahwa penderitaan dan kematian Yesus

    adalah sesuatu yang perlu sesuai dengan yang dinubuatkan dalam Kitab Suci. Jadi

    bagi Injil Lukas, Mesias bukan seorang figur politis, melainkan seorang figur Mesias

    yang menderita sesuai dengan janji Kitab Suci untuk memberikan keselamatan kepada

    manusia.24

    Injil Sinoptik berbeda-beda dalam mengartikan Mesias dalam diri Yesus. Injil

    Markus bukan hanya merumuskan rahasia kemesiasan tapi juga sangat menekankan

    bahwa Mesias tidak punya banyak waktu atau buru-buru. Hal ini dianggap wajar

    bahwa ketika keempat tafsiran atas kerahasiaan Mesias terlihat bahwa ada penderitaan

    dan harapan eskatologis dan apokaliptik. Injil Markus begitu sangat ingin

    mewujudkan kedatangan Mesias itu karena Ia akan membawa kemuliaan dan

    pembebesan bagi umat, khususnya komunitas Markus. Injil Matius menyatakan

    bahwa Yesus adalah keturunan Daud dan penggenapan Perjanjian Lama karena Injil

    Matius berhadapan dengan komunitasnya yang merupakan orang Kristen Yahudi. Injil

    Matius menggunakan bahan-bahan Perjanjian Lama untuk meyakinkan pembacanya

    bahwa Yesus adalah benar-benar penggenapan nubuatan Mesias. Injil Lukas

    menghindari penggunaan Mesias dalam artian politis karena Injil Lukas ditulis kepada

    seorang penguasa Romawi yang bernama Teofilus Yang Agung. Mesias sebagai

    tokoh politik tidak akan diberitakan oleh Injil Lukas karena pastinya akan mendapat

    penolakan dari bangsa Romawi dan mengesankan agama Kristen akan mengudeta

    24

    Samuel Hakh, Pemberitaan Tentang Yesus, 141.

  • 111

    pemerintahan Romawi. Keberagaman pandangan Mesias dalam Injil Sinoptik

    memperlihatkan bahwa Mesias diartikan sesuai dengan konteks komunitas yang ada.

    2.3. Mesias Nirkekerasan

    2.3.1. Latar Belakang Sosial-Politik Mesias Nirkekerasan

    Pandangan Mesias di dalam Perjanjian Baru yang sebelumnya disebutkan

    adalah pandangan dari para penulis Injil tentang Yesus. Pandangan itu muncul setelah

    kehidupan pelayanan Yesus, bukan pada saat pelayanan Yesus terjadi. Diyakini

    bahwa para penulis Injil tidak terlibat langsung dalam aktifitas pelayanan bersama

    Yesus. Lalu bagaimanakah sebenarnya keadaan sosial-politik saat Yesus melakukan

    pelayanannya, sehingga beberapa orang yang dikatakan mengatakan bahwa Yesus

    adalah seorang Mesias?

    Dunia di mana hidup Yesus adalah dunia di mana kekaisaran Romawi

    mendominasi wilayah Palestina. Herodes Yang Agung menjadi pemimpin yang

    bertangan besi yang menggunakan kekerasan dalam mengokohkan kekuasaannya.

    Herodes Yang Agung memperlakukan orang Yahudi dengan sombong, menyiksa

    orang Farisi bahkan membunuh tiga putranya sendiri.25

    Situasi mengerikan ini

    menjadi bibit dalam munculnya perlawanan dari pihak Yahudi. Orang Yahudi

    melakukan perlawanan di bawah pimpinan tokoh karismatik yang bercirikan Mesias.

    Perlawanan besar di bawah tokoh karismatik mendesak kekaisaran Romawi untuk

    melakukan perlawanan, salah satunya adalah hukuman mati dengan cara disalib

    kepada orang-orang yang dianggap mengancam kekuasaan Romawi.26

    25

    John Stambaugh – David Balch, terj. Stephen Suleeman, Dunia Sosial Kekristenan Mula-

    mula (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 15.

    26 Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan, terj. Bambang Subandrijo

    (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 99.

  • 112

    Munculnya tokoh karismatik yang bercirikan Mesias merupakan konsekuensi

    logis dari situasi yang dihadapi orang Yahudi saat itu. Keadaan penindasan dan

    kekerasan oleh kekaisaran Romawi membuat orang Yahudi berada dalam dua situasi.

    Situasi pertama adalah orang Yahudi melakukan praktik-praktik agamanya sesuai

    dengan keadaan saat itu. Orang Yahudi harus menerima keadaan bahwa beberapa

    peraturan keagamaan saat itu dimodifikasi oleh kekaisaran Romawi, contohnya adalah

    persembahan korban yang dilakukan setiap hari di Bait Suci dilakukan atas nama

    kaisar dan bukan lagi atas nama Tuhan.27

    Sebagian orang Yahudi menerima perlakuan

    kasar seperti ini, namun ada sekelompok orang Yahudi yang melakukan perlawanan

    terhadap kekaisaran Romawi – dan ini adalah situasi kedua. Perlawanan orang Yahudi

    tetap dilakukan di bawah kepemimpinan tokoh karismatik yang dicirikan Mesias.

    Orang-orang Yahudi yang melakukan perlawanan itu disebut kaum Zelot. Dua

    kelompok Yahudi yang bertahan dengan keadaan yang ada dan kelompok Zelot yang

    melakukan perlawanan sebenarnya sama-sama menantikan pemulihan ibadah di

    Yerusalem.28

    Kenapa akhirnya tokoh-tokoh karismatik itu bermunculan dan disebut sebagai

    Mesias? Jika kita merujuk kepada pemahaman mesias dalam bagian sebelumnya, jelas

    bahwa seorang pemimpin dibutuhkan dalam memenuhi aspek pengharapan mesianik

    orang Yahudi. Pengharapan mesias yang dikenakan pada tokoh karismatik membawa

    ingatan orang Yahudi kembali pada kejayaan bangsa Israel. Orang Yahudi yang hidup

    saat itu ingin bahwa mereka lepas dari kekuasaan Romawi. Orang Yahudi berharap

    bahwa ada pemimpin yang akan memulihkan situasi ketertindasan mereka dan

    27

    John Stambaugh, Dunia Sosial Kekristenan, 17.

    28 John Stambaugh, Dunia Sosial Kekristenan, 21.

  • 113

    kemurnian ibadah mereka di Yerusalem. Perlawanan oleh tokoh karismatis yang

    bercirikan Mesias membuat tentara romawi memperketat pengamanan untuk

    mencegah kemungkinan munculnya para Mesias dan para pengikutnya. Bahkan

    tentara Romawi juga memeriksa dan menganiaya beberapa orang yang merupakan

    keturunan Daud untuk mencegah munculnya keturunan Daud menjadi Mesias.29

    2.3.2. Yesus dan Mesias Nirkekerasan

    Bagi orang Yahudi di masa pemerintahan Romawi, kehadiran Yesus dianggap

    sebagai salah satu tokoh karismatik yang bercirikan Mesias. Yesus dianggap demikian

    karena Yesus mengabarkan tentang Kerajaan Allah. Anggapan orang Yahudi saat itu

    tentang Kerajaan Allah adalah Yesus telah dipilih oleh Allah untuk menjadi wakil-

    Nya dalam dunia ini. Pemahaman ini muncul dari kata Kerajaan Allah itu sendiri yang

    berarti ada sebuah wilayah di mana Allah akan memerintah atasnya dan otoritas dari

    Allah untuk memerintah.30

    Pemahaman Kerajaan Allah dipengaruhi situasi di mana

    orang Yahudi sering dihadapkan pada penderitaan yang dilakukan oleh kerajaan dari

    bangsa lain. Tercatat bahwa beberapa kerajaan telah menindas dan menaklukan Israel

    seperti Babilonia, Asyur, Asiria, Persia dan Roma. Orang Yahudi sudah sangat

    merindukan bahwa akan datang waktunya di mana Kerajaan Allah yang akan

    memerintah dan menaklukan kerajaan-kerajaan lain. Kerinduan terhadap kejayaan

    pemerintahan raja Daud juga melatarbelakangi gerakan orang Yahudi untuk percaya

    pada Yesus yang akan datang sebagai Mesias, seorang Raja keturunan Daud, yang

    akan memerintah di Kerajaan Allah.

    29

    John Stambaugh, Dunia Sosial Kekristenan, 21.

    30 Daniel Lywood Smith, Into The World of The New Testament: Greco Roman and Jewish

    Texts and Contexts (London: Bloomsbury T&T Clark, 2015), 26.

  • 114

    Yesus menghadirkan sebuah cara agar umat tidak terperangkap dalam

    lingkaran kekerasan. Yesus hidup dan mengajarkan sebuah jalan nirkekerasan. Jalan

    nirkekerasan yang dilakoni Yesus adalah respon atas keinginan orang Yahudi abad

    pertama yang memilih untuk menjadi nirkekerasan.31

    Josephus mengatakan bahwa

    saat itu orang Yahudi melakukan perlawanan nirkekerasan terhadap kekaisaran

    Romawi. Josephus mengatakan bahwa perlawanan nirkekerasan itu lebih banyak pada

    aspek religius. Salah satu contoh yang diberikan Josephus adalah Kaisar Caligula

    yang hendak mendirikan patungnya di Bait Allah di Yerusalem pada tahun 39 M.

    Orang Yahudi menolaknya dengan memilih mati daripada hidup untuk menyaksikan

    patung Caligula masuk dalam Bait Allah.32

    Namun konsep nirkekerasan yang diajarkan Yesus mendapat pertentangan

    karena masih bernuansa kekerasan. Hal itu dapat ditemui dalam perumpamaan-

    perumpamaan yang cenderung menghakimi dan bersifat destruktif. Perumpamaan itu

    menimbulkan ketegangan bagi para pembaca karena diperhadapkan dengan

    nirkekerasan Yesus dan kekerasan ilahi (Allah). Ketegangan ini akan membawa orang

    untuk melegalkan tindakan kekerasan karena dipercaya tindakannya dilakukan juga

    oleh Allah.33

    Beberapa perkataan Yesus juga dinilai mengandung unsur kekerasan.

    Salah satu perkataan Yesus yang dipakai untuk menolak konsep nirkekerasan adalah

    Matius 10:34 “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai

    di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.” Kata

    pedang memang identik dengan tindak kekerasan, namun perkataan Yesus ini perlu

    31

    Simon J. Joseph, The Nonviolent Messiah: Jesus, Q and The Enochic Tradition

    (Minneapolis: Fortress Press, 2014), 43.

    32 Simon Joseph, The Nonviolent Messiah, 43.

    33 Leo Lefebure, Penyataan Allah, 109.

  • 115

    dilihat dalam konteks di mana perkataan itu dimuat oleh Injil Matius. Pedang yang

    dimaksudkan dalam Matius 10:34 adalah pemisahan atau perlawanan. Perkataan

    Yesus mengenai pedang bukanlah sebuah ajakan bagi pengikutnya untuk mengangkat

    pedang dan melakukan perlawanan. Perkataan tersebut ingin menegaskan bahwa

    kesetiaan dalam mengikuti-Nya akan membawa seseorang dalam situasi sulit di mana

    keluarga dekatnya akan memberikan penolakan.34

    Perumpamaan Yesus mengenai penghakiman akhir dipakai juga untuk

    menyanggah konsep mesias nirkekerasan. Perumpamaan mengenai penghakiman

    akhir menyuguhkan situasi yang mengerikan di mana tidak diberikannya

    pengampunan dan pembuangan orang-orang fasik ke dalam jurang kegelapan.

    Gambaran ini tentunya bertentangan dengan konsep nirkekerasan yang penuh dengan

    kasih. Adanya kekerasan dalam perumpamaan Yesus setidaknya dapat dipahami

    dalam dua hal. Pertama, kekerasan yang ditampilkan dalam perumpamaan

    menyimbolkan kekerasan yang dialami oleh umat Kristen saat itu. Penghakiman akhir

    itu adalah bentuk penghiburan di mana setiap umat Kristen yang menderita akan

    mendapatkan penghiburan yaitu keselamatan dan bukan penghukuman.35

    Penghukuman itu akan diberikan pada pihak-pihak yang telah membuat umat Kristen

    menderita. Pemahaman ini dapat dikatakan bahwa si korban yaitu umat Kristen tetap

    bertindak nirkekerasan walaupun kekerasan mengiringi kehidupan mereka. Di sisi lain

    penghukuman terhadap pelaku kekerasan tetap menjadi sorotan karena juga

    menyetujui adanya kekerasan. Namun jika pernyataan ini digiring kembali pada

    situasi terbentuknya konsep mesias, maka penggambaran penghakiman akhir adalah

    34

    Simon Joseph, The Nonviolent Messiah, 26.

    35 David C. Sim, “The Pacifist Jesus and The Violent Jesus In The Gospel of Matthew,”

    Hervormode Teologiese Studies Vol. 67 Issue 1 (2011): 5.

  • 116

    sesuatu yang wajar karena Mesias yang datang menghakimi adalah harapan dari

    setiap orang yang menderita kekerasan. Guna menghindari keambiguan konsep

    mesias nirkekerasan maka perumpamaan yang mengandung kekerasan dalam

    dipahami dalam hal yang kedua yaitu perumpamaan tersebut adalah ajakan untuk

    melakukan nirkekerasan. Perumpamaan tentang penghakiman akhir adalah hal yang

    bersifat eskatologis, sedangkan nirkekerasan lebih bersifat waktu sekarang.

    Nirkekerasan justru berusaha untuk mewujudkan agar di waktu kelak akan tercipta

    juga situasi nirkekerasan bukan kekerasan seperti yang digambarkan oleh

    perumpamaan itu.36

    Apabila setiap orang tetap berada dalam lingkaran kekerasan,

    maka yang terjadi adalah penghukuman tanpa pengampunan dan pembedaan antara

    orang benar dan orang fasik. Hal ini dilihat sebagai sikap individu yang terus

    melakukan kekerasan tanpa memikirkan akibatnya bagi korban dan setiap orang akan

    melakukan apapun untuk menjadi kuat dan terbebas dari keadaan mencekam. Jadi

    perumpamaan tentang penghakiman akhir yang penuh dengan kekerasan itu adalah

    situasi yang akan terjadi apabila kekerasan tetap dibiarkan tumbuh sumbur dalam

    masyarakat. Setiap orang harus keluar dari lingkaran kekerasan itu untuk menciptakan

    hari esok yang penuh harapan di mana setiap orang menjalani sikap nirkekerasan dan

    situasi yang penuh kasih dan damai dapat tercipta.

    Nirkekerasan Yesus dapat dijelaskan melalui kata Yunani antistenai. Kata

    antistenai merupakan bentukan dari dua kata yaitu anti, yang berarti melawan dan

    histemi yang berarti pemberontakan yang menggunakan kekerasan. Kata antistenai

    sendiri digunakan dalam Septuaginta untuk merujuk pada situasi di mana ada dua

    36

    Barbara E. Reid, “ Violent Endings In Matthew’s Parables and Christian Nonviolence,”

    Catholic Biblical Quaterly Vol. 66 Issue 6 (April 2004): 254.

  • 117

    kubu saling berlawanan sampai salah satu kubu kalah.37

    Kata antistenai berarti

    ‘jangan melawan kejahatan’. Walter Wink tidak menyetujui pengartian ‘jangan

    melawan kejahatan’ karena terkesan hanyalah sebuah perintah dan menggiring pada

    sebuah kepatuhan semu. Walter Wink melihat bahwa antistenai lebih baik diartikan

    ‘jangan bertindak dengan keras kepada seseorang yang bertindak jahat’. Pengartian

    lebih mengarahkan pembacanya kepada sebuah tindakan nyata.38

    Beberapa kisah dalam Injil menunjukkan bagaimana seharusnya bertindak

    dalam menghadapi kekerasan, salah satunya adalah kisah tentang memberikan pipi

    yang di sebelah kanan ketika ada seseorang yang menampar pipi kiri. Pemberian pipi

    kanan untuk ditampar bukanlah sebuah tindakan yang pasif, mengalah ataupun

    melukai. Ketika seseorang mendaratkan tamparan di pipi kanan seseorang, maka ia

    akan menggunakan bagian luar tangannya. Bagian luar tangan kanan seseorang adalah

    bagian yang sering dipakai untuk menunjukkan kepatuhan dan sikap tunduk pada

    seseorang yang lebih tinggi status sosialnya, seperti para budak yang mencium bagian

    luar tangan kanan tuannya.

    Kisah tersebut menunjukkan bahwa seseorang tidak dapat direndahkan dengan

    cara apapun. Kisah pemberian pipi kanan adalah untuk menciptakan keseteraan di

    antara manusia.39

    Seseorang yang menampar berarti merendahkan orang yang

    ditampar. Ia mengambil peran sebagai yang superior dan si korban menjadi inferior.

    Namun ketika si korban membiarkan pipi kanannya ditampar dengan menggunakan

    bagian luar tangan si penampar, maka terjadilah pertukaran posisi antara si penampar

    (inferior) dan si korban (inferior). Tindakan ini dilakukan bukan untuk bermaksud

    37

    Walter Wink, Jesus and Nonviolence: A Third Way (Minneapolis: Fortress Press, 2003), 11.

    38 Walter Wink, Jesus and Nonviolence, 11.

    39 Walter Wink, Jesus and Nonviolence, 16.

  • 118

    melukai si korban, tapi untuk menjadikan sebuah situasi agar tidak terulang lagi

    lingkaran setan kekerasan. Setiap korban pasti akan cenderung membalas kekerasan

    kepada pelakunya. Kalau hal itu terjadi, maka setiap orang akan berusaha untuk

    menaklukan lawannya dan menguasai lawannya. Pemberian pipi kanan adalah cara

    agar setiap orang tidak lagi berpikir untuk mendominasi orang lain, tapi lebih pada

    penyetaraan derajat – tidak ada lagi istilah inferior dan superior. Hal ini juga untuk

    melawan kultur Romawi yang keras dan senang mencari kehormatan. 40

    Nirkekerasan bukanlah sebuah tindakan yang pasif atau tindakan yang

    mengalah. Nirkekerasan adalah sebuah tindakan nyata, ia melakukan sesuatu dalam

    melawan kejahatan yaitu tidak bertindak dengan keras. Seseorang yang melakukan

    nirkekerasan melakukan satu tindakan tapi bukan tindakan yang mengandung

    kekerasan. Ketika Yesus dikatakan sebagai Mesias, berarti Ia akan memimpin

    perlawanan melawan Romawi untuk memberi kehidupan baru bagi orang Yahudi

    yang menderita kala itu. Yesus sebagai Mesias nirkekerasan membawa perubahan

    bagi kehidupan masyarakat saat itu untuk tidak bertindas keras terhadap para

    penindasnya (Romawi).

    2.3.3. Nirkekerasan dan Gereja

    Mesias nirkekerasan telah mengubah makna Mesias itu sendiri. Mesias

    nirkekerasan bukan lagi menjadi sebuah konsep eskatologis, tapi ia menjadi konsep

    yang bernilai ‘hari ini’. Mesias nirkekerasan bukan lagi menjadi sebuah keyakinan

    dogmatis, tetapi ia telah menjadi sebuah tindakan etis. Jalan nirkekerasan yang dipilih

    Yesus bukanlah sebuah perubahan sosial tapi adalah sebuah pemahaman diri yang

    40

    Daniel Smith, Into The World of The New Testament, 35.

  • 119

    baru.41

    Jalan nirkekerasan Yesus adalah sebuah bentuk konkrit dari penghayatan

    spiritural diriNya. Oleh karenanya Yesus mengajak bukan untuk mengubah dunia ini

    tapi untuk menunjukkan bahwa tindakan etis, atau dalam hal ini tidak melawan

    kekerasan dengan kekerasan, adalah hasil perenungan spiritual bukan hanya norma

    atau ketaatan biasa. Perenungan itu menghasilkan hubungan yang antar pribadi yang

    saling menghargai dan menghormati.

    Mesias nirkekerasan mengandung kasih Allah di dalamnya. Nirkekerasan

    menjadi sebuah tindakan Allah bagi manusia. Mesias nirkekerasan menjadi

    penghubung antara dunia Allah yaitu kasih dan dunia manusia yaitu dosa. Mesias

    nirkekerasan membawa kasih dari Allah dan membawa keberdosaan manusia.

    Ketaatan Yesus dalam menjalani perannya sebagai Mesias nirkekerasan, sampai mati

    di kayu salib, memampukan kekristenan melakukan nirkekerasan yang di dalamnya

    terdapat kasih.42

    Jalan nirkekerasan merupakan jalan untuk masuk ke dalam kasih

    Allah. Nirkekerasan bukanlah menilai bahwa seseorang punya hak untuk menolak

    kekerasan terjadi dalam dirinya. Nirkekerasan adalah cara untuk tetap berada dalam

    kasih Allah. Ketika seseorang telah membalas kekerasan dengan kekerasan dia telah

    memalingkan diri dari kasih Allah. Jadi nirkekerasan bukanlah sebuah sikap yang

    menuntut kepatuhan tapi sebuah kesadaran diri untuk tidak berlaku kekerasan.

    Nirkekerasan berada dalam ruang kasih Allah yang tidak menuntut balasan

    dari manusia. Kasih Allah selalu diberikan dan ditujukan bagi umat walaupun umat

    melakukan kekerasan yang membuat mereka terasing dari kasih Allah. Allah

    41

    John Howard Yoder, The Politics of Jesus: Vicit Agnus Noster, Edisi ke-2 (Michigan:

    William B. Eerdmans Publishing Company, 1994), 6.

    42 Alain Epp Weaver, “UNJUST LIES, JUST WARS?: A Christian Pacifist Conversation with

    Augustine,” Journal of Religious Ethics Vol. 29 Issue 1 (Maret 2011): 70.

  • 120

    menerima kekerasan dari umat namun tidak membalas kekerasan itu dengan hukuman

    atau kekerasan. Allah tidak menggunakan pemahaman hirarkis untuk membedakan

    dirinya dengan umat, justru Allah mendekatkan dirinya agar terjadi hubungan antar

    pribadi. yang erat. Demi terciptanya hubungan pribadi yang erat itu pula, kasih Allah

    menjelma dalam tubuh manusia. Oleh karenanya ketika seseorang melakukan

    kekerasan terhadap orang lain, ia melakukan penolakan terhadap kasih Allah yang ada

    dalam diri setiap individu.

    Gereja memberitakan kasih Allah ia bukanlah sebuah bentuk yang tidak nyata

    tapi nyata dalam diri Yesus dan lebih nyata lagi dalam diri umat. Gereja menjadi

    pemberita kasih Allah dengan sikap nirkekerasan. Gereja mempunyai kesadaran untuk

    mengundang semua orang untuk masuk dalam kasih Allah dengan melakukan

    nirkekerasan. Gereja perlu membangun sikap untuk tidak membeda-bedakan umat

    karena pada dasarnya kasih Allah dan nirkekerasan adalah soal kesamaan derajat dan

    memanusiakan manusia.

    2.4. Penutup

    Nirkekerasan menjadi jalan yang dipilih oleh Yesus dalam situasi masyarakat

    saat itu. Situasi saat itu memerlukan adanya perubahan situasi bagi orang Yahudi

    dalam masa pemerintahan Romawi. Berbagai perlawanan dilakukan oleh mereka,

    namun tidak menemui kemenangan. Perlawanan yang dilakukan justru membuat

    mereka semakin dicurigai dan dijadikan sasaran kekerasan. Beberapa orang Yahudi

    memutuskan untuk tidak melawan dan hidup sesuai dengan keadaan menghindari

    kekerasan.

    Yesus disebut-sebut sebagai Mesias yang akan membawa kebebasan dari

    penindasan kekaisaran Romawi. Orang Yahudi semakin yakin bahwa Yesus adalah

  • 121

    Mesias ketika Ia memberitakan Kerajaan Allah. Mereka percaya dan berharap bahwa

    Kerajaan Allah akan memerintah lagi di mana Yesus sebagai rajanya dan akan

    menaklukan kerajaan-kerajaan lain. Yesus memang tidak memberitakan bahwa

    Kerajaan Allah akan terbentuk dalam dunia ini. Kerajaan Allah yang diberitakan

    Yesus adalah situasi di mana Allah hadir di dalamnya dan menampakkan sifat-sifat

    Allah.

    Mesias Nirkekerasan menjadi jalan alternatif yang ditempuh Yesus untuk

    mendamaikan dua pandangan besar tersebut. Mesias nirkekerasan menjadi pemimpin

    dalam bertindak melawan kekerasan. Mesias nirkekerasan menjadi pemimpin untuk

    membawa perubahan baru bagi masyarakat saat itu. Perubahan baru itu adalah

    bagaimana seseorang tidak lagi berpikir untuk mengalahkan atau mendominasi pihak

    lain. Seseorang dipanggil untuk mengubah lingkaran kekerasan itu dengan tidak

    mengubah posisi dari korban menjadi pelaku kekerasan, tapi menyadari bahwa

    keberadaan dan derajat yang sama sebagai manusia. Mesias nirkekerasan memimpin

    untuk menghindari terjadinya kontak fisik dan membawa pemahamawan baru di mana

    kekerasan diubah menjadi kasih. Mesias nirkekerasan menjadi jalan baru yang

    ditempuh sesuai dengan konteks masyarakat yang ada saat itu.

    Jika melihat definisi Mesias dan beberapa Mesias dalam pandangan Kristen,

    maka Mesias nirkekerasan adalah seorang pemipin yang mempunyai dampak sosial,

    menjadi pemimpin yang membawa perubahan dan mendatangkan keselamatan agar

    orang menyadari untuk tidak melakukan kekerasan atau membalas kekerasan dengan

    kekerasan.