Bab II Lktin

10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Obat Herbal Pada mulanya penggunaan obat dilakukan secara empirik dari tumbuhan, hanya berdasarkan pengalaman dan selanjutnya Paracelsus (1541-1493 SM) berpendapat bahwa untuk membuat sediaan obat perlu pengetahuan kandungan zat aktifnya dan dia membuat obat dari bahan yang sudah diketahui zat aktifnya. Hippocrates (459-370 SM) yang dikenal dengan “bapak kedokteran” dalam praktek pengobatannya telah menggunakan lebih dari 200 jenis tumbuhan. Claudius Galen (200-129 SM) menghubungkan penyembuhan penyakit dengan teori kerja obat yang merupakan bidang ilmu farmakologi. Selanjutnya Ibnu Sina (980-1037) telah menulis beberapa buku tentang metode pengumpulan dan penyimpanan tumbuhan obat serta cara pembuatan sediaan obat seperti pil, supositoria, sirup dan menggabungkan pengetahuan pengobatan dari berbagai negara yaitu Yunani, India, Persia, dan Arab untuk menghasilkan pengobatan yang lebih baik. Johann Jakob Wepfer (1620-1695) berhasil melakukan

description

tinjauan pustaka KTI

Transcript of Bab II Lktin

Page 1: Bab II Lktin

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obat Herbal

Pada mulanya penggunaan obat dilakukan secara empirik dari tumbuhan,

hanya berdasarkan pengalaman dan selanjutnya Paracelsus (1541-1493 SM)

berpendapat bahwa untuk membuat sediaan obat perlu pengetahuan kandungan zat

aktifnya dan dia membuat obat dari bahan yang sudah diketahui zat aktifnya.

Hippocrates (459-370 SM) yang dikenal dengan “bapak kedokteran” dalam praktek

pengobatannya telah menggunakan lebih dari 200 jenis tumbuhan. Claudius Galen

(200-129 SM) menghubungkan penyembuhan penyakit dengan teori kerja obat yang

merupakan bidang ilmu farmakologi.

Selanjutnya Ibnu Sina (980-1037) telah menulis beberapa buku tentang

metode pengumpulan dan penyimpanan tumbuhan obat serta cara pembuatan sediaan

obat seperti pil, supositoria, sirup dan menggabungkan pengetahuan pengobatan dari

berbagai negara yaitu Yunani, India, Persia, dan Arab untuk menghasilkan

pengobatan yang lebih baik. Johann Jakob Wepfer (1620-1695) berhasil melakukan

verifikasi efek farmakologi dan toksikologi obat pada hewan percobaan, ia

mengatakan : ”I pondered at length, finally I resolved to clarify the matter by

experiment”.

Dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, yang dimaksud

sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetik, sedangkan

yang dimaksud dengan obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa

bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sari (galenik), atau campuran

Page 2: Bab II Lktin

dari bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan

berdasarkan pengalaman.

Merujuk pada kedua ayat dalam UU Kesehatan tersebut, ditemukan bahwa

yang dimaksud dengan obat dan pengobatan itu cenderung berorientasi pada adanya

sesuatu yang menjadi asupan tambahan yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh

dan/atau mendukung penyembuhan.

Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa, memiliki lebih

kurang 30.000 spesies tumbuhan dan 940 spesies di antaranya termasuk tumbuhan

berkhasiat (180 spesies telah dimanfaatkan oleh industri jamu tradisional) merupakan

potensi pasar obat herbal dan fitofarmaka.

Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan

oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu terbukti dari adanya naskah

lama pada daun lontar Husodo (Jawa), Usada (Bali), Lontarak pabbura (Sulawesi

Selatan), dokumen Serat Primbon Jampi, Serat Racikan Boreh Wulang nDalem dan

relief candi Borobudur yang menggambarkan orang sedang meracik obat (jamu)

dengan tumbuhan sebagai bahan bakunya.

Obat herbal telah diterima secara luas di negara berkembang dan di negara

maju. Menurut WHO (Badan Kesehatan Dunia) hingga 65% dari penduduk negara

maju dan 80 % dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal.

Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal di negara maju

adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat prevalensi penyakit kronik

meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu di

antaranya kanker serta semakin luas akses informasi 6mengenai obat herbal di

Page 3: Bab II Lktin

seluruh dunia. Pada th 2000 diperkirakan penjualan obat herbal di dunia mencapai

US$ 60 milyar.

WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam

pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama

untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. Hal ini menunjukkan

dukungan WHO untuk back to nature yang dalam hal tertentu lebih menguntungkan.

Untuk meningkatkan keselektifan pengobatan dan mengurangi pengaruh musim dan

tempat asal tanaman terhadap efek, serta lebih memudahkan dalam standardisasi

bahan obat maka zat aktif diekstraksi lalu dibuat sediaan fitofarmaka atau bahkan

dimurnikan sampai diperoleh zat murni.

Di Indonesia, dari tahun ke tahun terjadi peningkatan industri obat tradisional,

menurut data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan sampai th 2002 terdapat 1.012

industri obat tradisional yang memiliki izin usaha industri yang terdiri dari 105

industri berskala besar dan 907 industri berskala kecil. Karena banyaknya variasi

sediaan bahan alam maka untuk memudahkan pengawasan dan perizinan maka Badan

POM mengelompokkan dalam sediaan jamu, sediaan herbal terstandar dan sediaan

fitofarmaka. Persyaratan ketiga sediaan berbeda yaitu untuk jamu pemakaiannya

secara empirik berdasarkan pengalaman, sediaan herbal terstandar bahan bakunya

harus distandardisasi dan sudah diuji farmakologi secara eksperimental sedangkan

sediaan fitofarmaka sama dengan obat modern bahan bakunya harus distandardisasi

dan harus melalui uji klinik.

2.2 Apoteker

Tenaga kesehatan terdiri antara lain tenaga medis, tenaga kefarmasian dan

sebagainya. Tenaga kefarmasian menurut Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009

Page 4: Bab II Lktin

terdiri dari Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Apoteker sebagai pelaku utama

pelayanan kefarmasian yang bertugas sebagai pelaksana atau pemberi pelayanan

kesehatan diberi wewenang sesuai dengan kompetensi pendidikan yang diperolehnya

sehingga terkait erat dengan hak dan kewajibannya.

Apoteker sebagai pendukung upaya kesehtan dalam menjalankan tugasnya

harus diarahkan dan dibina sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Pelayanan kefarmasian saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke

p[asien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical Care).

Sebagai konsekuensi perubahan korientasi tersebut, apoteker dituntut untuk

meningkatkan kompetensinya yang meliputi pengetahuan, keterampilan, dan perilaku

untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut

antara lain adalah melaksanakan pemberian informasi, monitoring penggunaan obat

dan mengetahui tujuan akhirnya sesuai harapan dan terdokumentasi dengan baik.

Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan

pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Oleh sebab itu, apoteker

dalam menjalankan praktik harus sesuai standar yang ada untuk menghindari

terjadinya hal tersebut. Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan tenaga

kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang

rasional. Kondisi tersebut dipayuungi secara legal oleh undang-uundang No. 36 tahun

2009 tentang Kesehatan yaitu pasal 108 yang menyatakan bahwa (1) Praktek

Kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,

pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas

resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat

tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan

kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Ketentuan

Page 5: Bab II Lktin

mengenai pelaksanaan praktek kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

2.3 Peranan Apoteker

Pelayanan kefarmasian saat ini telah semakin berkembang selain berorientasi

kepada produk (product oriented) juga berorientasi kepada pasien (patient oriented)

seiring dengan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan dan

pergeseran budaya rural menuju urban yang menyebabkan peningkatan dalam

konsumsi obat terutama obat bebas, kosmetik, kosmeseutikal, health food,

nutraseutikal dan obat herbal.

Berbagai tuntutan yang ada di masyarakat menjadi tantangan untuk

pengembangan dunia kefarmasian seperti : Pharmaceutical care yaitu obat sampai

ketangan pasien dalam keadaan baik, efektif dan aman disertai informasi yang jelas

sehingga penggunaannya tepat dan mencapai kesembuhan; timbulnya penyakit baru

10dan perubahan pola penyakit yang memerlukan pencarian obat baru atau obat yang

lebih unggul ditinjau dari efektivitas dan keamanannya; meningkatnya penyalagunaan

obat dan ketergantungan pada narkoba dan psikotropika merupakan tuntutan untuk

dapat mengawasi penggunaan obat tersebut, mencari/mensintesis obat yang lebih

aman dan mampu memberikan informasi tentang bahaya penyalahgunaan obat;

farmasis sebagai partner dokter memacu farmasis untuk menguasai lebih mendalam

ilmu farmakologi klinis dan farmakoterapi serta ilmu farmasi sosial dan komunikasi;

farmasis sebagai penanggung jawab pengadaan obat di apotek, rumah sakit, pedagang

besar farmasi, puskesmas dll. Harus menguasai farmakoekonomi dan manajemen

farmasi; tuntutan farmasis untuk dapat berperan dalam perkembangan industri

Page 6: Bab II Lktin

Farmasi perkembangan drug delivery system, pengembangan cara produksi dan

metode control kualitas; farmasis untuk menempati bidang pemerintahan yang

berfungsi dalam perizinan, pengaturan, pengawasan, pengujian, pemeriksaan dan

pembinaan; perkembangan farmasi veteriner, perkembangan medical devices (alat

kesehatan, pereaksi diagnostik).

2.4 Apoteker Herbal

Dewasa ini penggunaan obat herbal cenderung terus meningkat, baik di negara sedang berkembang maupun di negara-negara maju. Peningkatan penggunaan obat herbal ini mempunyai dua dimensi penting yaitu aspek medik terkait dengan penggunaannya yang sangat luas diseluruh dunia, dan aspek ekonomi terkait dengan nilai tambah yang mempunyai makna pada perekonomian masyarakat.

Obat Tradisional Cina/Traditional Chines Medicine (TCM) memiliki akar sejarah yang jauh lebih tua dibanding dengan obat entitas kimia (chemical entity) yang berasal dari Barat. TCM telah lebih dari 3000 tahun menjadi bagian dari budaya Cina dan telah puluhan abad menyebar luas dibawa oleh oleh warga bangsa itu yang merantau keseluruh penjuru dunia (Chinese Oversease). Dengan meningkatnya globalisasi dan kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi, maka penyebaran TCM makin meluas keseluruh dunia dan terus meningkat dari tahun ke tahun.

Dalam konteks penggunaan obat tradisional/herbal yang terus meningkat, WHO menggaris bawahi tentang pentingnya suatu kerangka kerja (framework) untuk aksi bersama antara WHO dan negara anggota (country member). Kerangka kerja tersebut bertujuan agar obat tradisional/herbal dapat berperan makin besar dalam mengurangi angka kematian dan kesakitan terutama di kalangan masyarakat yang tidak mampu. Strategi WHO dalam hal obat tradisional mencakup empat tujuan utama yaitu (WHO, 2002) :

1) Mengintegrasikan secara tepat obat tradisional dalam sistem pelayanan kesehatan nasional dengan mengembangkan dan melaksanakan kebijakan nasional obat tradisional dengan berbagai programnya.

2) Meningkatkan keamanan (safety), khasiat dan mutu dengan memperkuat knowledge-base obat tradisional dan regulasi dan standar jaminan mutu (quality assurance standard).

3) Meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan obat tradisional terutama untuk masyarakat yang tidak mampu.

4) Mempromosikan penggunaan obat tradisional secara tepat oleh tenaga profesional medik maupun oleh konsumen.

Indonesia sebagai negara anggota, perlu menjabarkan strategi global WHO tersebut dalam suatu kebijakan nasional yang komprehensif dengan programprogram yang memiliki arah dan sasaran ke depan yang jelas dengan melibatkan partisipasi aktif seluruh sektor terkait.