Bab II Landasan Teori Revisi

18
BAB II LANDASAN TEORI II.1. Dasar – Dasar Teori Pengukuran Pada pekerjaan pemetaan, salah satu tahap pekerjaan yang sangat penting adalah pengukuran kerangka peta. Kerangka peta di lapangan pada umumnya ditandai dengan patok, baik patok yang permanen ataupun patok sementara dari kayu. Kerangka dasar peta dapat dibagi menjadi dua macam, yakni kerangka horizontal (planimetris) dan kerangka vertikal (tinggi). Kegunaan dari kerangka peta adalah sebagai pengikat detil yang berada di sekitarnya, sehingga bisa dipresentasikan menjadi sebuah peta. Ada beberapa cara atau metode pengadaan kerangka peta, antara lain : 1. metode poligon, 2. metode triangulasi atau trilaterasi, 3. metode pemotongan (ke muka dan ke belakang), 4. GPS (Global Positioning System), yang paling modern dengan bantuan satelit. Metode poligon, sampai saat ini merupakan yang paling sering digunakan, hal ini disebabkan poligon paling mudah menyesuaikan dengan keadaan lapangan dan mudah dalam persiapan maupun pelaksanaan pengukurannya. II.1.1. Pengukuran kerangka kontrol horisontal (KKH) 5

description

ta

Transcript of Bab II Landasan Teori Revisi

Page 1: Bab II Landasan Teori Revisi

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1. Dasar – Dasar Teori Pengukuran

Pada pekerjaan pemetaan, salah satu tahap pekerjaan yang sangat penting

adalah pengukuran kerangka peta. Kerangka peta di lapangan pada umumnya

ditandai dengan patok, baik patok yang permanen ataupun patok sementara dari

kayu. Kerangka dasar peta dapat dibagi menjadi dua macam, yakni kerangka

horizontal (planimetris) dan kerangka vertikal (tinggi).

Kegunaan dari kerangka peta adalah sebagai pengikat detil yang berada di

sekitarnya, sehingga bisa dipresentasikan menjadi sebuah peta. Ada beberapa cara

atau metode pengadaan kerangka peta, antara lain :

1. metode poligon,

2. metode triangulasi atau trilaterasi,

3. metode pemotongan (ke muka dan ke belakang),

4. GPS (Global Positioning System), yang paling modern dengan bantuan

satelit.

Metode poligon, sampai saat ini merupakan yang paling sering digunakan, hal

ini disebabkan poligon paling mudah menyesuaikan dengan keadaan lapangan dan

mudah dalam persiapan maupun pelaksanaan pengukurannya.

II.1.1. Pengukuran kerangka kontrol horisontal (KKH)

Pengukuran kerangka kontrol horizontal (KKH) ini mengukur jarak dan sudut.

Dalam Praktek Kerja Lapangan ini, kerangka peta yang digunakan dalam pemetaan

horisontal adalah poligon. Kegiatan yang dilakukan pada pengukuran poligon adalah

pengukuran sudut, jarak, dan azimuth.

II.1.1.1. Poligon. Poligon berasal dari kata poli yang berarti banyak dan gonos

yang berarti sudut. Poligon dapat diartikan sebagai sudut banyak, namun arti

sebenarnya adalah sebagai suatu rangkaian dari titik-titik secara berurutan sebagai

kerangka pemetaan. Sebagai kerangka dasar pemetaan, posisi atau koordinat titik-

5

Page 2: Bab II Landasan Teori Revisi

titik poligon harus diketahui atau ditentukan secara teliti karena akan digunakan

sebagai ikatan detil (Basuki, 2011).

Dalam pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan, poligon yang digunakan adalah

poligon tertutup. Poligon tertutup adalah poligon yang titik awal dan akhirnya

menjadi satu. Karena bentuknya tertutup, maka membentuk segi banyak atau segi n

(n = banyaknya titik poligon), seperti gambar II.1.

Gambar II.1. Poligon tertutup(Slamet Basuki, 2011)

Keterangan gambar :

A, B : titik poligon utama yang diketahui koordinatnya

1, 2, 3, 4, 5 : titik poligon regu yang akan dihitung koordinatnya

BA, A1 , .... dst : azimuth

β1, β2,... dst : sudut dalam poligon

dA1, d12,... dst : jarak antar titik

Syarat geometri poligon tertutup :

1. Syarat sudut :

∑β = (n – 2) x 180o , apabila sudut dalam ..........................................(II.1)

∑β = (n + 2) x 180o, apabila sudut luar ..............................................(II.2)

2. Syarat absis :

∑ d sin α = 0 .........................................................................................(II.3)

3. Syarat ordinat :

∑ d cos α = 0 .........................................................................................(II.4)

Keterangan : ∑ : jumlah n : banyaknya titik sudut d : jarak

β : sudut α : azimuth sisi poligon

6

dA1

d5A

d12

d23

d34

d45

Page 3: Bab II Landasan Teori Revisi

Dalam kenyataannya, pengukuran yang terjadi di lapangan yaitu :

1. ∑β = ( n – 2 ) x180° ± fβ .......................................................................(II.5)

dimana fβ : kesalahan penutup sudut. Kesalahan ini dikoreksikan ke setiap

sudut ukuran dengan prinsip bagi rata dengan rumus :

∆β i = Σ fβ

n ................................................................................................

(II.6)

Keterangan : n merupakan jumlah titik sudut.

2. ∑ d sin α = 0 ± fx ..................................................................................(II.7)

dimana fx : kesalahan penutup absis. Kesalahan ini dikoreksikan kepada

masing-masing sisi poligon dengan rumus :

∆x i=d i

∑d× fx......................................................................................(II.8)

3. ∑ d cos α = 0 ± fy ..................................................................................(II.9)

diman fy : kesalahan penutup ordinat. Kesalahan ini dikoreksikan kepada

masing-masing sisi poligon dengan rumus :

∆y i=d i

∑d× fy ................................................................................... (II.10)

Keterangan : di : jarak sisi tiap poligon ∑d : jumlah jarak semua titik poligon

Dengan harga d sin dan d cos yang telah dikoreksi, maka untuk

menghitung koordinat titik poligon dengan rumus :

X1 = XA + d sin A1 ................................................................................. (II.11)

Y1 = YA + d cos A1................................................................................. (II.12)

Untuk ketelitian poligon, dinyatakan dalam kesalahan linear yang didapat yaitu

perbandingan antara kesalahan penutup dan jarak total dari sisi poligon, misal

1:7500.

Kesalahan linear dirumuskan = fl

∑d .....................................................................

(II.13)

dimana,

7

Page 4: Bab II Landasan Teori Revisi

fl¿√ f x2+ f y

2 ............................................................................................. (II.14)

∑d = jumlah jarak.

II.1.1.2.Sudut horizontal. Sudut horizontal adalah selisih dua arah. Sudut

horizontal pada suatu titik lapangan dapat dibagi dalam sudut tunggal dan sudut yang

lebih dari satu sehingga teknik pengukurannya juga berbeda (Basuki,2011). Dapat

juga diperoleh dengan mengurangkan azimuth dua buah sisi pembentuk sudut.

Pengukuran sudut dengan kedudukan teropong biasa dan luar biasa dari sebuah sudut

tunggal disebut satu seri rangkap pengukuran.

Dalam pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan, metode yang digunakan untuk

pengukuran sudut horizontal adalah dua seri rangkap. Untuk lebih jelasnya dapat

dilihat pada gambar II.2.

Gambar II.2. Metode pengukuran sudut dua seri rangkap

Keterangan :

P1, P2, P3 : titik poligon

B1,B2,B3,B4 : bacaan horizontal posisi teropong biasa

LB1,LB2,LB3,LB4 : bacaan horizontal posisi teropong luar biasa

β 1, β2, β3, β4 : sudut horizontal (sudut dalam)

Sehingga sudut dapat dihitung dengan rumus :

β terukur = bacaan β titik P2 – bacaan β titik P3 .................................................(II.15)

a. β 1 (biasa) = B2 – B1

b.β 2 (luar biasa) = LB2 – LB1

c. β 3 (biasa) = B4 – B3

d.β 4 (luar biasa) = LB4 – LB3

8

P1

P2

P3

β 1 β 2 β 3 β4

B1

B2

B3

B4

LB1

LB2

LB4

LB3

Page 5: Bab II Landasan Teori Revisi

Maka besarnya sudut horizontal dalam dapat dihitung dengan rumus :

¿ {( β 1+ β 2 )2

+( β 3+β 4 )

2 }/ 2 ..................................................................................

(II.16)

II.1.1.3. Pengukuran jarak . Jarak adalah panjangan terpendek antara dua titik di

lapangan pada bidang horizontal. Pengukuran jarak dapat dilakukan dengan metode

secara langsung dan tidak langsung.

Pengukuran jarak langsung adalah pengukuran dengan menggunakan pita ukur,

dibantu alat lainnya seperti jalon, unting-unting, dan pen ukur. Apabila pengukuran

tidak dapat dilakukan dengan sekali bentangan pita ukur karena jarak yang melebihi

pita ukur perlu dilakukan pelurusan dengan membuat penggal-penggal terlebih

dahulu seperti gambar II.3.

Gambar II.3. Pengukuran jarak langsung

(http://geomaticsandsurveying.blogspot.com/2012/12/kerangka-kontrolhorizontal.html)

Pengukuran jarak tidak langsung adalah pengukuran yang dapat dilakukan

dengan metode jarak optis, elektro optis, dan elektronis. Pada praktek kerja lapangan,

pengukuran yang dilakukan menggunakan metode jarak elektronis yaitu

menggunakan EDM (Electric Distance Measurement). Kelebihannya adalah jarak

yang di ukur lebih cepat dan teliti dan jarak yang ditunjukkan dalam bentuk digital

dalam feet atau meter.

Konsep dasar pengukuran jarak elektronik adalah suatu sinyal gelombang

elektromagnetik yang dipancarkan dari suatu alat yang dipasang pada stasiun di

ujung suatu garis yang akan diukur jaraknya, kemudian di ujung lain dari garis

9

2

Page 6: Bab II Landasan Teori Revisi

tersebut dipasang pemantul atau reflector. Sinyal tersebut dipantulkan kembali ke

pemancar, waktu lintas perjalanan sinyal pulang-pergi diukur oleh pemancar

(Basuki,2011). Seperti terlihat pada Gambar II.4.

Gambar II.4. Pengukuran jarak elektronik dengan EDM

(http://surveyorcommunity.wordpress.com/2011/02/09/electronic-total-station/)

Pengukuran jarak dilakukan secara pengukuran pergi dan pulang. Untuk

mengetahui jarak rata-rata setiap sisi poligon, dapat dihitung dengan rumus :

d rata-rata ¿d pergi+d pulang

2 .....................................................................

(II.17)

dimana d pergi dan d pulang juga diperoleh dari hasil rata-rata sebanyak data ukuran

jarak pergi dan pulang.

Perbandingan selisih jarak pergi-pulang dengan jarak reratanya dapat dihitung

dengan rumus : ¿d rata−rata

d pergi−d pulang ......................................................................

(II.18)

atau standar deviasi pengukuran jarak setiap sisi poligon lebih kecil atau sama

dengan 5 mm ± 5 ppm D ( D dalam milimeter) ..................................................(II.19)

II.1.1.4. Azimuth. Azimuth adalah sudut arah yang dimulai dari arah utara

berputar searah putaran jarum jam. Arah utara yang sebenarnya adalah arah kutub

utara bola bumi atau arah meridian.

1. Mencari azimuth dari titik tetap

10

Page 7: Bab II Landasan Teori Revisi

Gambar II.5. Azimuth dari titik tetap

Azimuth dari A ke B dapat dihitung dengan rumus :

αAB = tan -1 XB−XAYB−YA

..........................................................................................

(II.20)

Untuk menghitung azimuth, perlu dilihat terlebih dahulu arahnya terletak

dikuadran berapa. Letak kuadran dapat dilihat pada tabel II.1.

Tabel II.1. Kuadran Azimuth

Kuadran (Xb – Xa) (Yb – Ya) Azimuth (φ)I + + φ = αII + – φ = 180 – │α│III – – φ = 180 + │α│IV – + φ = 360 – │α│

2. Mencari azimuth dari rangkaian titik

Gambar II.6. Azimuth rangkaian titik

Apabila azimuth AB (αAB) diketahui dan sudut S1 dan S2 telah diukur, maka

azimuth BC (αBC) dapat dicari dengan rumus sebagai berikut :

αBC = αAB + 180° - S2 atau αBC = αAB - 180° + S1 .........................................(II.21)

Apabila nilai azimuth BC negatif maka harus ditambah 360°, demikian juga apabila

nilainya lebih dari 360° harus dikurangi 360°.

11

Page 8: Bab II Landasan Teori Revisi

II.1.2. Pengukuran kerangka kontrol vertikal (KKV)

Pengukuran kerangka kontrol vertikal (KKV) ini mengukur tinggi. Pengukuran

tinggi adalah menentukan beda tinggi antara dua titik. Beda tinggi antara dua titik

dapat ditentukan dengan metode pengukuran sipat datar atau dengan metode

trigonometrik dan metode takhimetrik. Pengukuran kerangka kontrol vertikal yang

dilakukan pada saat PKL menggunakan metode sipat datar.

Sipat datar merupakan metode penentuan beda tinggi antara dua titik atau lebih

dengan garis bidik (garis lurus pada teropong) secara mendatar atau horizontal yang

diarahkan pada rambu-rambu yang berdiri secara vertikal. Sedangkan alat ukurnya

dinamakan penyipat datar atau waterpass, dibantu alat lainnya seperti rambu ukur

dan sepatu rambu.

Gambar II.7. Prinsip pengukuran beda tinggi

(http://aryadhani.blogspot.com/2012/03/alat-ukur-waterpas-dalam-ilmu-ukur.html)

Keterangan :

A dan B : titik yang akan diukur beda tinggi

a dan b : bacaan rambu (bt) atau tinggi garis mendatar titik

ΔH : beda tinggi antara titik A dan B

Beda tinggi antara titik A dan B dapat dirumuskan :

ΔHAB = a – b ........................................................................................................(II.22)

Pengukuran beda tinggi tidak dapat dilakukan dengan sekali berdiri alat apabila

jarak antar titik kontrol pemetaan relatif jauh. Oleh karena itu antara dua buah titik

kontrol dibuat beberapa slag dan pengukurannya dibuat secara berantai. Pengukuran

beda tinggi juga dibuat pengukuran pergi-pulang yang pelaksanaannya dapat

dilakukan dalam satu hari (dinamakan seksi), serta dimulai dan diakhiri pada titik

tetap.

12

B

Page 9: Bab II Landasan Teori Revisi

AA

Slag 1

db1 dm1 db2 dm2 dm3db3SEKSI

Gambar II.8.Pengukuran beda tinggi berantai

Keterangan :

A,B = titik awal dan akhir pengukuran

1,2 = titik bantu pengukuran (tempat berdiri sepatu rambu)

b1,b2,b3 = bacaan benang tengah di rambu belakang

m1,m2,m3 = bacaan benang tengah di rambu muka

db1,db2,db3 = jarak antar alat ke rambu belakang

dm1,dm2,dm3 = jarak antar alat ke rambu muka

∆h1, ∆h2, ∆h3 = beda tinggi setiap slag

Beda tinggi antara A dan B adalah kumulatif dari beda tinggi semua slag,

dengan rumus:

hA1 = b1 - m1

h12 = b2 – m2

h2B = b3 – m3

hAB = h = b - m .............................................................. (II.23)

Dalam hal ini :

b = jumlah pembacaan rambu belakang

m = jumlah pembacaan rambu muka

h = beda tinggi setiap slag

Pengukuran beda tinggi dalam satu seksi dilakukan pergi pulang, akan didapat beda

tinggi pergi (∆hpg) dan beda tinggi pulang (∆hpl) yang besarnya tidak selalu sama.

Beda tinggi definitif adalah rata-rata dari ∆hpg dan ∆hpl atau secara sistematis :

13

2

∆h121

B

∆hA1

∆h2B

Slag 2

Slag 3

b1m1

b2m2

b3 m3

Page 10: Bab II Landasan Teori Revisi

Δh rata-rata = (Δ h pg+ Δh pl)

2 ............................................................................

(II.24)

Salah satu syarat pengukuran beda tinggi adalah jumlah beda tinggi rata-rata

harus sama dengan nol,

∑ Δh = 0 ..................................................................................................(II.25)

Dalam kenyataannya, pengukuran yang terjadi di lapangan yaitu :

∑ Δh = 0 ± fh ...........................................................................................(II.26)

dimana fh : kesalahan penutup beda tinggi. Kesalahan ini kemudian dikoreksikan ke

masing – masing sisi poligon dengan rumus :

dhi=di

∑ d× fh........................................................................................ (II.27)

dimana dhi : koreksi beda tinggi

di : jarak sisi poligon yang sudah diketahui beda tingginya

∑d : jumlah jarak semua sisi poligon

Persamaan untuk mengitung tinggi titik B apabila titik A diketahui tingginya, maka

tinggi titik B dapat dihitung dengan :

HB = HA + ∆hAB ± dhi ..............................................................................(II.28)

dimana HA , HB : tinggi titik A dan B

∆hAB : beda tinggi AB

II.1.3. Pengukuran detil situasi

Detil adalah segala obyek yang ada di lapangan, baik yang bersifat alamiah

seperti sungai, lembah, bukit, alur, dan rawa maupun hasil budaya manusia seperti

jalan, jembatan, gedung, lapangan, stasiun, selokan, dan batas-batas pemilikan tanah

yang dijadikan isi dari peta yang dibuat (Basuki, 2011). Pengukuran detil ini

dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran permukaan tanah dan bentukan alam

atau manusia, agar dapat disajikan dalam suatu peta situasi.

Penentuan posisi dari titik-titik detil, diikatkan pada titik-titik kerangka

pemetaan yang terdekat dalam hal ini titik poligon yang telah diukur sebelumnya.

Metode yang digunakan untuk penentuan posisi pada Praktek Kerja Lapangan ini

adalah metode ekstrapolasi dengan koordinat kutub yang terikat pada titik kontrol

14

Page 11: Bab II Landasan Teori Revisi

perapatan. Sedangkan untuk penentuan beda tinggi menggunakan metode

trigonometrik.

Gambar II.9. Pengukuran detil metode ekstrapolasi koordinat kutub

(http://lmronsolihin.blogspot.com/)

Keterangan :

A, B : titik poligon

a,b,c,d,e,f,g : sudut detil planimetris

II.1.4. Penggambaran peta digital

Peta digital merupakan peta yang menggambarkan permukaan bumi yang

diolah dengan bantuan perangkat keras komputer. Penggambaran ini dilakukan

setelah dilakukan pengolahan data ukuran, seperti melakukan perhitungan karena

proses ini untuk mendapatkan informasi dari data (mentah). Data yang digunakan

untuk penggambaran peta digital adalah data koordinat X, Y, dan Z (elevasi).

Penggambaran peta digital ini menggunakan software Surpac Vision V4.0-L dan

ArcGIS 10. Surpac digunakan untuk mengolah data dan editing data, sedangkan

ArcGIS digunakan untuk pembuatan layout peta.

II.1.5. Uji peta

Pengujian peta dilakukan dengan maksud untuk menguji kualitas peta dengan

mengecek kelengkapan detil, kebenaran arah, skala, dan elevasi. Pengujian

kelengkapan detil dilakukan dengan pengecekan lapangan langsung yaitu dengan

cara membandingkan kesesuaian hasil gambar peta dengan kondisi di lapangan.

Pengujian kebenaran arah, skala, dan elevasi dilakukan dengan pengecekan secara

langsung di lapangan dengan cara :

1. Pengecekan sudut : pengukuran sudut suatu obyek atau detil terhadap garis

referensi yang telah ditetapkan.

15

Page 12: Bab II Landasan Teori Revisi

2. Pengecekan skala : pengukuran jarak dari obyek yang satu terhadap obyek

yang lain.

3. Pengecekan elevasi : pengukuran beda tinggi antara obyek yang satu dengan

obyek yang lain.

II.2. Spesifikasi Teknis (TOR)

Dalam pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan diberikan TOR (Term of

Reference). TOR merupakan ketentuan dan ketelitian yang diminta dalam proses

pelaksanaan suatu pengukuran. TOR dibuat untuk menentukan tata cara dalam

kegiatan pengukuran agar hasil yang didapatkan sesuai dengan yang diharapkan.

Penjelasan tentang TOR dalam kegiatan Praktek Kerja Lapangan dapat dilihat pada

lampiran B.

16