BAB II LANDASAN TEORI PENGASUHAN ORANG TUA,...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI PENGASUHAN ORANG TUA,...
BAB II
LANDASAN TEORI
PENGASUHAN ORANG TUA, BIMBINGAN GURU DAN KEMANDIRIAN SISWA
A. Deskripsi Teori
1. Pengasuhan Orang Tua
Istilah pengasuhan berasal dari kata dasar “asuh” yang berarti
“menjaga (merawat, mendidik) anak kecil, membimbing (membantu,
melatih, dsb) supaya dapat berdiri sendiri”.1 Dengan mendapat tambahan
awalan pe- dan akhiran –an sehingga membentuk kata benda. Dalam
kamus besar bahasa Indonesia pengasuhan berarti “cara mengasuh”. 2
Dalam kehidupan sehari-hari istilah pengasuhan atau cara
mengasuh yang diterapkan orang tua sering disebut dengan pola asuh. Para
ahli psikologi juga menggunakan istilah tersebut. Hal ini terlihat pada
definisi yang mereka uraikan, diantaranya adalah konsep yang diuraikan
oleh Kohn sebagaimana dikutip oleh Chabib Thoha dalam buku Kapita
Selekta Pendidikan Islam, dia mendefinisikan bahwa pola asuh adalah “
sikap orang tua dalam berhubungan dengan anaknya, sikap ini dapat dilihat dari berbagai segi, antara lain dari cara orang tua memberikan peraturan kepada anak, cara memberikan hadiah dan hukuman, cara orang tua memberikan otoritas dan cara orang tua memberikan perhatian dan tanggapan terhadap keinginan anak. 3
Sedangkan menurut Singgih D. Gunarso pola asuh orang tua adalah
“sikap dan cara orang tua dalam mempersiapkan anggota keluarga yang
lebih muda termasuk anak supaya dapat mengambil keputusan sendiri,
bertindak sendiri, sehingga mengalami perubahan dari keadaan tergantung
kepada orang tua menjadi berdiri sendiri dan bertanggung jawab sendiri”.4
Menurut Saiful Bahri Djamarah pola asuh orang tua bersentuhan langsung
1 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm.164 2 Ibid 3 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar offset,
1996), hlm.110 4 Singgih D.Gunarso dan Ny. Singgih D. Gunarso, Psikologi Remaja (Jakarta: Gunung
Mulia, 1989), hlm. 109
dengan masalah tipe kepemimpinan orang tua dalam keluarga.5 Sementara
M. Shohib mendefinisikan pola asuh sebagai “upaya orang tua yang
diaktualisasikan terhadap penataan lingkungan fisik, lingkungan sosial,
internal maupun eksternal, dialog dengan anak-anaknya, suasana
psikologi, sosial budaya, prilaku yang ditampilkan pada saat terjadinya
pertemuan dengan anak-anak”. 6 Dari sini dapat diketahui bahwa pola asuh
orang tua mempunyai makna yang sama dengan pengasuhan orang tua
terhadap anak. Pengasuhan ini mencakup seluruh interaksi orang tua
dengan anak baik berupa sikap, ucapan maupun perilaku mereka.
Dengan demikian maka dapat diambil kesimpulan bahwa
pengasuhan orang tua merupakan sikap orang tua dalam upaya mendidik
anak dengan melakukan penataan lingkungan fisik, sosial, sosio-kultural,
suasana psikologis, yang kesemuanya dilakukan dalam rangka
menerapkan nilai-nilai moral kepada anak sebagai dasar perilaku di
kehidupan yang akan datang. Sehingga pengasuhan orang tua mencakup
seluruh interaksi orang tua dengan anak dalam kehidupan sehari-hari, baik
yang berupa sikap, ucapan maupun perilaku mereka. Pengasuhan yang
dimaksudkan tidak hanya bagaimana memelihara dan membesarkan anak
secara fisik, namun juga mencakup bagaimana membimbing dan mendidik
anak secara psikis menuju kedewasaan.
Pada dasarnya sikap yang diterapkan orang tua dalam mendidik
anaknya dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat kebebasan yang
diberikannya. Dalam hal ini terdapat tiga tingkatan yaitu : orang tua yang
memberi kebebasan secara penuh kepada anak-anaknya, orang tua yang
memberikan kebebasan dengan sewajarnya, dimana orang tua masih
melakukan kontrol dan mengendalikan anak dalam hal-hal tertentu dan
orang tua yang tidak memberikan kebebasan kepada anaknya sama sekali.
Secara garis besar hal ini terlihat pada sikap orang tua ketika menentukan
berbagai hal dalam keluarganya. Diantaranya dalam menentukan aturan
5 Saiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga (Jakarta, Rineka Cipta, 2004), hlm. 26
6 M.Shohib, Pola Asuh Orang Tua, Cet.I, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm.15
keluarga, menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan, memberikan
kesempatan kepada anak untuk mengembangkan diri dan cara memberikan
perhatian kepada anak-anaknya.
a. Sikap orang tua dalam menetapkan aturan keluarga
Peraturan merupakan sesuatu yang selalu ada dalam sebuah
keluarga, meskipun keberadaannya tidak sejelas dan semutlak
peraturan-peraturan legal sebagaimana yang selalu ada dalam institusi
formal. Peraturan ini diantaranya meliputi pembagian tugas setiap
angota keluarga, kewajiban yang harus ditaati, sikap anak kepada
orang tua, dll. Dengan adanya peraturan ini, dalam sebuah keluarga
dapat tercipta suasana yang indah karena segalanya berjalan dengan
tertib, teratur dan berjalan sebagaimana mestinya.
Peraturan keluarga berlaku bagi seluruh anggota keluarga,
sehingga sudah sewajarnya jika dalam menetapkannya melibatkan
seluruh anggotanya termasuk anak-anak. Cara yang paling tepat
digunakan dalam menetapkannya adalah dengan musyawarah. Karena
dengan cara ini, seluruh keinginan anggota keluarga dapat dibicarakan
bersama. Misalnya dalam menentukan peraturan yang berhubungan
dengan anak, maka anak boleh berpendapat dan mengusulkan
peraturan apa yang harus ditaatinya. Demikian halnya dengan hal-hal
yang menurut orang tua harus ada dalam keluarga tersebut, dapat
dibicarakan bersama. Dengan demikian keinginan orang tua dan anak
dapat tersalurkan dengan baik. Sehingga peraturan yang ada
merupakan hasil dari kesepakatan bersama, dengan ini diharapkan
seluruh anggota keluarga dapat menerima dan menjalankan peraturan
tersebut dengan senang hari tanpa ada rasa keterpaksaan.
Akan tetapi tidak semua orang tua menerapkan sistim
musyawarah ketika menetapkan peraturan keluarga. Karena bisa saja
peraturan itu ditentukan oleh orang tua sendiri atau bahkan diserahkan
sepenuhnya kepada anak.
Orang tua yang terlalu berkuasa dalam keluarga, akan
menentukan semua peraturan yang berlaku. Anak sama sekali tidak
diberi kesempatan untuk ikut menetapkan peraturan tersebut, sekalipun
peraturan itu berlaku untuk anak. Meskipun demikian orang tua
mewajibkan kepada anak untuk mentaatinya. Cara mengasuh semacam
ini ditandai dengan adanya aturan-aturan yang ketat. Orang tua
seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua),
kebebasan untuk bertindak atas nama pribadi dibatasi.7 Sikap ini
tersirat dalam cara mendidik yang selalu menggunakan teknik serba
memerintah. Apa yang dikatakan orang tua merupakan keharusan yang
wajib ditaati anak, sehingga kendali keluarga berada di tangan orang
tua secara penuh.
Selain itu ada juga keluarga yang bebas, sepertinya tidak
terdapat peraturan di dalamnya. Setiap anggota keluarga bebas
melakukan apa saja yang diinginkannya. Dalam hal ini orang tua
memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada anak untuk
menentukan sendiri apa yang dikehendaki. Orang tua tidak
menentukan nilai atau norma yang harus ditaati dan dianut anak.
Sehingga anak dapat melakukan apapun sekehendak hatinya. Bahkan
ketika dia melakukan perbuatan salah, orang tua membiarkannya.
Anak merasa tidak ada pegangan tertentu yang mengendalikan
perilaku dirinya. Sehingga suasana keluarga menjadi bebas, seakan-
akan tidak ada peraturan yang berlaku.
b. Sikap orang tua dalam menyelesaikan masalah dan mengambil
keputusan
Dalam kehidupan sehari-hari, merupakan hal yang wajar
ketika dalam sebuah keluarga muncul berbagai masalah, baik masalah
itu kecil maupun besar, masalah itu berhubungan dengan masalah
ekonomi, hubungan antar anggota keluarga, pendidikan anak,
perkembangan anak, masalah yang dihadapi anak, dll. Orang tua
7 Chabib Thoha, loc.cit.
mempunyai andil yang cukup besar dalam upaya penyelesaian masalah
yang muncul dalam keluarga tersebut, akan tetapi sikap orang tua
dalam menyelesaikannya sangat beragam.
Orang tua yang baik adalah orang tua yang apabila dalam
keluarganya muncul suatu masalah, maka dia akan menyelesaikannya
dengan musyawarah, khususnya masalah yang berhubungan dengan
anak. Dia senantiasa memberi kesempatan kepada anak untuk
menyatakan pendapat, keluhan, kegelisahan dan dia menanggapinya
secara wajar serta membimbing seperlunya. Dalam cara mengasuh
seperti ini, Singgih D. Gunarso berpendapat bahwa “remaja boleh
mengemukakan pendapat sendiri, mendiskusikan pandangan mereka
kepada orang tua, boleh menentukan dan mengambil keputusan, akan
tetapi orang tua masih melakukan pengawasan dalam hal mengambil
keputusan terakhir”.8 Selain itu anak juga dilatih untuk menyelesaikan
masalah dan mengambil keputusan sendiri terhadap masalah-masalah
yang kecil serta dilatih bertanggungjawab dengan keputusannya itu.
Oleh karena itu anak akan terbiasa untuk menyelesaikan masalah,
mampu berinisiatif, melakukan improvisasi dan selalu tanggap dengan
permasalahan yang ada. Pada akhirnya anak akan bersifat terbuka
dengan orang tua dan bersedia menerima pendapatnya serta mau
menuruti nasehat orang tua tanpa paksaan.
Cara mendidik seperti ini juga pernah diterapkan oleh nabi
Ibrahim ketika mengasuh putranya yaitu Ismail. Hal ini difirmankan
oleh Allah dalam Al-Qur’an :
بلغ معه السعي قال يبني اني أري في المنام اني أذبحك فلما
فانظرماذاتري قال يأبت افعل ماتؤمر ستجدني إن شااهللا من
9 )102: الصافات ( الصبرين
8 Singgih D. Gunarso dan Ny Singgih D. Gunarso, op. cit, hlm. 116. 9 Depag R.I, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Indah Press, 1996), hlm. 725.
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama. Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. (QS. Ash-Shoffat: 102)
Pada ayat tersebut jelas bahwa nabi Ibrahim memberikan kebebasan
yang penuh (bersifat demokratis) terhadap Ismail untuk memutuskan
suatu masalah yang dihadapi oleh ayahnya.
Akan tetapi ada juga orang tua yang tidak memberikan
kesempatan kepada anak untuk ikut campur dalam menyelesaikan
masalah keluarga, meskipun masalah itu merupakan masalah pribadi
anak. Orang tua yang menentukan segala sesuatu yang berhubungan
dengan anak secara penuh, tanpa memperhatikan keinginan, pendapat
dan kemampuan anak. Apa yang dikatakan orang tua merupakan
keputusan mutlak yang harus dituruti. Anak tidak boleh melanggar,
membangkang apalagi melawannya. Sehingga anak merupakan robot
pelaksana keinginan orang tua. Orang tua merupakan pusat segalanya,
karena dia yang menggariskan semua keputusan atas diri anaknya. Dia
memberikan hadiah atau hukuman agar pendapatnya ditaati. Ancaman
hukuman diberlakukan untuk melarang dan janji hadiah untuk
mendorong agar anak mematuhinya.10 Hadiah dan hukuman ini
merupakan produk dari sistem otoriter yang memperkokoh superioritas
orang tua.
Dalam pandangan Islam suatu saat sikap otoriter ini sangat
diperlukan terutama dalam hal penegakan syari’at Islam. Hal ini
sebagaimana diterangkan dalam hadits nabi sebagai berikut :
قال رسول اهللا : عن عمروبن سعيب عن أبيه عن جده قال
مروا أوالدآم بالصالة وهم أبنإ سبع : صل اهللا عليه وسلم
10 Maurice Balson, Op. Cit., hlm 2
سنين وفرقوا بينهم سنين واضربوهم عليها وهم أبنإ عشر
11 ) رواه ابوداود(في المضاجع
Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata Rasulullah SAW bersabda : Perintahkanlah anak-anakmu untuk melakukan shalat ketika mereka mencapai umur tujuh tahun dan deralah mereka ketika mencapai umur sepuluh tahun (belum mau melaksanakannya) dan pisahlah tempat tidur mereka. (HR Abu Daud)
Dari hadits di atas jelas bahwa Nabi Muhammad SAW menyarankan
untuk menggunakan cara paksaan dalam mendisiplinkan anak
mengerjakan sholat. Orang tua juga dapat memaksakan kehendaknya
kepada anak dalam menentukan hal-hal yang sangat prinsip, mengenai
pilihan agama, pilihan nilai hidup yang bersifat universal dan absolut.
Karena anak belum memiliki wawasan yang cukup mengenai hal itu.12
Orang tua dapat memberikan aqidah Islamiyah secara dogmatis dan
tidak harus diberikan secara demokratis. Karena bagaimana keimanan
anak kelak, itu sangat ditentukan oleh orang tuanya.
Uraian di atas menunjukkan bahwa orang tua berhak untuk
melakukan targhib (intimidasi) secara seimbang. Sehingga tingkah
laku anak muncul dari kesadaran sendiri (motivasi intrinsik) bukan
karena tekanan dari luar (motivasi ekstrinsik).
Selain itu ada juga orang tua memberikan kebebasan kepada
anaknya untuk memutuskan dan menyelesaikan masalahnya sendiri
tanpa harus memberitahukannya kepada orang tua. Orang tua bersikap
masa bodoh, membiarkan anak tanpa bimbingan sama sekali.13 Orang
tua tidak membimbing anak dalam menyelesaikan masalah, karena dia
menganggap bahwa anak sudah bisa menyelesaikan masalahnya
sendiri. Oleh karena itu dia memperlakukannya sebagai anak yang
11 Muhammad Abdul Azizi Al-Kholid, Sunan Abu Daud, Juz 1, (Beirut: Darul Kutub,
t.th), hlm. 173. 12 Chabib Thoha, loc.cit. 13 R.I. Suhartin, op.cit., hlm. 66
sudah dewasa. Orang tua tidak memnuntut tanggung jawab apapun
dari anak, sehingga segalanya berpusat pada anak.
c. Sikap orang tua dalam memberikan kesempatan kepada anaknya untuk
mengembangkan diri
Seorang anak lahir ke dunia sebagai makhluk yang independen
dan kompleks. Yang dimaksud dengan makhluk independen dalam hal
ini ialah ciptaan Allah yang berdiri sendiri, memiliki takdir tersendiri
dan merupakan individu yang terlepas dari individu lain termasuk
orang tuanya sekalipun.14 Adapun disebut makhluk yang kompleks
karena seorang anak lahir dengan membawa karakter, bakat serta
kemampuan tertentu untuk dapat dikembangkan.
Orang tua yang baik adalah orang tua yang mengakui
kemampuan anak, dia memandang anak sebagai individu yang sedang
berkembang.15 Sehingga memberikan kesempatan kepadanya untuk
mengembangkan diri dengan segala kemungkinan yang dimilikinya.
Orang tua seperti ini memahami hakekat perkembangan anak yakni
mencapai kedewasaan fisik, mental, emosional dan sosial. Orang tua
yang memahami hal ini akan menanggapi secara positif seluruh
ekspresi anak dalam bentuk apapun, memberi kebebasan kepada anak
untuk berkreasi, berperilaku dan mengembangkan bakatnya,
mendukung seluruh keinginan anak yang positif, melatih anak untuk
berkiprah di masyarakat, kemudian orang tua membimbing dan
mengarahkannya dengan baik agar lebih maju.
Adapun orang tua yang terlalu berkuasa, kurang memberikan
kesempatan kepada anak untuk berekspresi dan bereksperimen sendiri,
karena segala sesuatu ditentukan oleh orang tuanya. Semua
keinginannya harus diberitahukan kepada orang tua dan seluruh
aktifitasnya harus dengan persetujuan orang tua, bahkan keinginan dan
14 M. Nipan Abdul Halim, Anak Saleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2001), hlm.19 15 Sutari Imam Garnadib, ILmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta: Andi Offset, 1995),
hlm. 124.
cita-citanya tidak mendapatkan perhatian orang tua. Sehingga anak
tidak boleh melakukan apapun tanpa persetujuan orang tua.
Sedangkan anak yang dalam pengasuhan bebas, pada dasarnya
kesempatan untuk mengembangkan diri sangat luas. Akan tetapi
karena sifat anak yang masih sangat labil, terkadang kurang bisa
memilih mana kemampuan positif yang harus dikembangkan dan mana
keinginan yang kurang bermanfaat yang harus diminimalisir. Sehingga
tidak jarang di antara mereka yang terjerumus ke dalam perilaku
kurang baik.
d. Sikap Orang Tua Dalam Memberikan Perhatian Kepada Anak-anaknya
Perhatian orang tua merupakan kebutuhan dasar bagi anak,
karena dengan adanya perhatian tersebut, anak merasa mendapatkan
kasih sayang dari orang tuanya. Orang tua yang memberikan perhatian
cukup, sangat membantu perkembangan kepribadian anak. Perhatian
tersebut dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, misalnya cara orang
tua memenuhi kebutuhan dan keinginan anak, sikap orang tua ketika
anak sedang belajar, respons orang tua atas kemampuan yang dimiliki
anak baik kemampuan motorik, intelektual maupun emosional, dll.
Orang tua yang baik adalah orang tua yang memahami
pentingnya perhatian bagi anak. Dia akan memberikan perhatian
secukupnya. Semua kebutuhan yang menunjang perkembangan anak
sedapat mungkin akan dipenuhi. Tetapi keinginan-keinginan yang
dirasa kurang bermanfaat akan diminimalisir. Ketika anak sedang
belajar, orang tua akan mendampinginya. Demikian halnya ketika anak
mendapatkan presetasi tertentu, orang tua akan menanggapinya secara
positif dan memotivasinya untuk terus maju.
Berbeda halnya dengan orang tua yang terlalu berkuasa, dia akan
menuntut sesuatu dari anak ketika dia memenuhi kebutuhan dan
keinginan anak. Orang tua akan memberikan banyak tuntutan,
sehingga membuat anak menjadi takut apabila tidak dapat
memenuhinya. Ketika anak melakukan sesuatu, orang tua terkesan
mengawasinya, sehingga terkadang membuat anak merasa tidak
nyaman. Demikian halnya ketika anak mendapatkan prestasi tertentu,
orang tua mengharuskan anak agar besoknya lebih berprestasi lagi.
Sehingga anak merasa memikul beban yang sangat berat.
Orang tua yang terlalu memberi kebebasan kepada anak, akan
memberikan perhatian berlebihan dalam hal-hal tertentu, tetapi hal
yang lain kurang diperhatikan. Misalnya orang tua lebih menekankan
pada pemenuhan kebutuhan materi anak, dimana segala sesuatu yang
diminta dan diinginkannya selalu dituruti, sehingga dia menjadi manja
karena orang tua selalu memanjakannya. Sedangkan dalam hal prestasi
dan kemampuan intelektual lainnya kurang diperhatikan atau terkesan
masa bodoh.
Akibat yang dapat muncul dari cara-cara yang diterapkan orang tua
dalam mendidik anaknya antara lain: orang tua yang memberi kebebasan
dengan sewajarnya akan dapat menciptakan suasana harmonis, karena
antara orang tua dan anak terdapat komunikasi dua arah, dimana terwujud
hubungan timbal balik secara aktif. Tidak ada yang mendominasi secara
penuh, tetapi keduanya saling mempengaruhi satu sama lain. Keduanya
mempunyai kesempatan yang sama dalam menentukan keputusan dan
tindakan. Dari sini tercipta suasana yang hangat dan pertautan perasaan
yang kuat yang membuat anak merasa dihargai dan diterima oleh orang
tua. Orang tua seperti ini, mampu menyesuaikan cara pendidikannya
dengan taraf perkembangan anak, cita-cita, minat, kecakapan serta
kemampuannya.
Dengan cara seperti ini diharapkan dapat membentuk sifat
kepribadian anak yang aktif di dalam hidupnya, penuh inisiatif, percaya
pada diri sendiri, mempunyai perasaan social yang tinggi, penuh tanggung
jawab, mau menerima kritik dengan terbuka, mempunyai emosi yang lebih
stabil dan mudah menyesuaikan diri.16 Harapan ke depan anak dapat
mandiri dan akan menjadi pemimpin yang handal di masa mendatang.
Adapun orang tua yang tidak memberi kebebasan kepada anaknya
sama sekali menyebabkan suasana keluarga menjadi kaku, monoton dan
membosankan, hal ini menyebabkan anak sulit berkembang dan
kemungkinan besar anak mempunyai sifat kepribadian yang kurang
berterus terang, sering memperlihatkan rasa ketakutan, merasa tertekan,
kurang pendirian, mudah dipengaruhi, bersikap pasif, kurang sekali
berinisiatif maupun spontanitas, tidak percaya pada diri sendiri karena dia
terbiasa bertindak dengan persetujuan orang tuanya, serta kurang berani
memikul tanggung jawab.17
Orang tua yang memberi kebebasan secara penuh kepada anak-
anaknya akan berakibat sangat buruk bagi perkembangan kepribadiannya,
karena anak akan menjadi orang yang bebas tak terkendali, kurang bisa
menghargai orang lain, kurang bisa memahami norma atau etika yang ada,
emosinya tidak matang dan mudah marah, kurang bertanggungjawab,
tidak sanggup menghadapi kesukaran–kesukaran hidup, sulit dipimpin dan
tidak bisa memimpin, dan lain-lain. Sehingga anak akan selalu
mementingkan diri sendiri (egois).
Orang tua bisa saja memberi kebebasan secara penuh kepada
anaknya yang sudah dewasa, yang benar-benar sudah matang. Tetapi
sangat tidak sesuai apabila kebebasan itu diterapkan untuk memberikan
pendidikan keagamaan. Karena pendidikan agama hanya cocok apabila
diberikan secara dogmatis, khususnya kepada anak-anak.
Dari ketiga cara mengasuh diatas, banyak tokoh yang berpendapat
bahwa pengasuhan yang paling cocok dan seharusnya diterapkan dalam
sebuah keluarga adalah pengasuhan yang memberi kebebasan sewajarnya.
Hal ini bukan berarti cara mengasuh yang lainnya buruk, jelek dan tidak
boleh diterapkan, karena ada kalanya kedua cara mengasuh itu sebaiknya
16 Sutari Imam Barnadib, Op. Cit., hlm. 124 17 Zahara Idris dan Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan I, (Jakarta: Grasindo, 1992), hlm.
88
diterapkan. Masing-masing dari ketiga cara tersebut mempunyai segi
positif dan negatifnya. Orang tua harus menentukan sendiri mana cara
yang paling tepat untuk mendidik anaknya. Dalam memilih tentunya orang
tua harus memperhatikan materi pendidikan, kemampuan anak, situasi dan
kondisinya pada saat itu serta tingkat kematangannya. Tidak ada suatu
cara tertentu yang selalu cocok untuk diterapkan pada setiap situasi dan
kondisi anak, namun semuanya saling melengkapi. Hal ini harus
diperhatikan demi keberhasilan kita bersama.
2. Bimbingan Guru
Bimbingan secara etimologi (asal kata) menurut kamus besar
bahasa Indonesia, berasal dari kata “bimbing”, dengan mendapatkan
tambahan akhiran –an yang menunjukkan arti arahan, tuntunan,
pimpinan.18 Istilah bimbingan merupakan terjemahan dari bahasa Inggris
“Guidance” yang berarti menunjukkan. Dalam bahasa Arab bimbingan
disebut dengan “ارشاد ” (irsyaadun) yang berarti menunjukkan.19
Penggunaan kata ini dapat dilihat dalam firman Allah surat al Kahfi
berikut:
20 .فقالوا ربنا أتنا من لد نك رحمة وهيء لنا من امرنا رشدا Lalu mereka berdoa: Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).(QS. Al Kahfi: 10)
Melihat kandungan ayat di atas Ahmad Mustafa al Maraghi mengartikan
:dengan (rasyadan) رشد
21 .الهداية إلى الطريق المو صول للمطلوب
Petunjuk yang mengantarkan kepada cita-cita
18 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 54. 19 KH. Adib Bisri dan Munawir, Kamus Indonesia – Arab, (Jakarta: Pustaka Progresif,
tth), hlm. 20 Departemen Agama R.I, …………………. 21 Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz 13, (Mesir, al-Babal al-Halaby,
t.th), hlm. 121
Sedangkan pengertian bimbingan secara istilah diartikan oleh
beberapa ahli antara lain : Sidney P. Rollins dan Adolph Unruh
mengemukakan: “Guidance as a developmental process through which
pupils are helped to understand, accept and use aptitudes, abilities,
interests and attitudes in relation to their aspirations in order that they
can came tatterable to make wish and free choice”.22 Artinya bimbingan
merupakan sebuah proses perkembangan melalui cara dimana anak
dibantu untuk memahami, menerima dan mengembangkan bakatnya,
kemampuannya, minatnya dan sikapnya dalam hubungannya dengan cita-
cita mereka, sehingga mereka menjadi lebih baik, mampu membuat
kebijaksanaan dan bebas menentukan pilihan.
Dewa Ketut Sukardi menyatakan bahwa bimbingan adalah
Proses bantuan yang diberikan kepada seseorang agar mampu mengembangkan potensi (bakat, minat dan kemampuan) yang dimiliki, mengenal dirinya sendiri, mengatasi persoalan-persoalan sehingga mereka dapat menemukan sendiri jalan hidupnya secara bertanggungjawab tanpa tergantung kepada orang lain.23
Menurut Bimo Walgito bimbingan adalah “bantuan atau pertolongan yang
diberikan kepada individu atau sekumpulan individu dalam menghindari
atau mengatasi kesulitan-kesulitan didalam kehidupannya, agar individu
atau sekumpulan indifidu itu dapat kesejahteraan hidupnya”.24 I Jumhur
dan Muhammad Surya mendefinisikan bahwa bimbingan adalah
Suatu proses bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang dihadapi agar tercapai kemapuan memahami dirinya (self understanding), kemampuan untuk menerima dirinya (self directing) dan kemampuan untuk merealisasikan dirinya (self realisazation) sesuai dengan potensi dan kemampuan dalam mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah maupun masyarakat.25
22 Sidney P. Rollins and Adolph Unruh, Introduction to Secondary Educational,
(Chicago: Rane MC Nally and company, 1969), hlm. 98 23 Dewa Ketut Sukardi, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, (Surabaya: Usaha
Nasional, 1983), hlm. 20. 24 Bimo Walgito, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, (Yogyakarta: Andi Offset,
1995), hlm. 4. 25 I Jumhur dan Moh. Surya, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, (Bandung: CV.
Ilmu, 1975), hlm. 28.
Dari beberapa pengertian di atas, secara umum dapat disimpulkan
bahwa bimbingan merupakan suatu proses bantuan terus menerus dan
sistematis yang diberikan seorang ahli kepada individu atau sekelompok
individu, baik anak-anak, remaja atau dewasa agar dia dapat
mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, sehingga nantinya dia
akan menjadi pribadi yang matang, di mana dia dapat memecahkan
seluruh persoalan yang dihadapinya, dapat memahami, menerima dan
merealisasikan dirinya dengan penuh rasa tanggung jawab tanpa harus
bergantung kepada orang lain dan kelak dia akan mendapatkan
kebahagiaan hidup.
Sedangkan guru dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai
orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar.26
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa bimbingan guru
adalah: Bimbingan yang diberikan guru kepada siswanya yang terjadi
dalam interaksi edukatif di sekolah. Secara garis besar bimbingan guru
merupakan aktivitas membantu siswa dalam menentukan tujuan,
menyelesaikan persoalan-persoalan dan menentukan pilihan-pilihan
bijaksana.27 Sebagai tenaga profesional yang telah diakui oleh masyarakat
dan pemerintah, seorang guru bertugas untuk mendidik, mengajar dan
melatih siswa. Dengan adanya tugas tersebut, mau-tidak mau guru harus
melakukan bimbingan terhadap siswa agar tujuan pendidikan yang telah
ditentukan dapat tercapai. Adapun jenis bimbingan yang dapat dilakukan
guru terhadap siswanya antara lain bimbingan studi/belajar dan bimbingan
pribadi-sosial.
1. Bimbingan Studi
Bimbingan studi adalah seperangkat usaha bantuan kepada
peserta didik agar dapat membuat pilihan, mengadakan penyesuaian
dan memecahkan masalah-masalah pendidikan dan pengajaran /
26 Tim Penyusun Pembaharuan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 667. 27 D. Keiter, dalam Kartini-Kartono, Bimbingan dan Dasar-Dasar Pelaksanaannya,
(Jakarta: CV. Rajawali, 1985), hlm. 75-76.
pelajaran yang dihadapinya.28 Dalam proses belajar mengajar tugas
guru sangat besar karena guru sebagai perancang pengajaran,
pengelola pengajaran dan sebagai evaluator belajar siswa.
Guru merupakan orang yang bertanggungjawab mencerdaskan
kehidupan siswa. Tugas guru yang utama ialah dengan segala macam
cara yang dapat dilakukannya membantu siswa agar ia dapat
menguasai bahan pelajaran yang diberikan menurut kurikulum.29 Tidak
jarang ketika dalam belajar, siswa mendapatkan masalah atau
mengalami kesulitan, misalnya kesulitan memahami materi pelajaran,
kesulitan dalam memilih cara belajar yang efektif, kesulitan dalam
mengerjakan tugas, kesulitan dalam memilih pelajaran tambahan yang
menunjang pendidikan, kesulitan dalam memilih ekstra kurikuler dan
lain-lain. Oleh karena itu bimbingan dari guru khususnya dalam belajar
sangat dibutuhkan, sehingga murid dapat menyelesaikan masalah dan
menetukan pilihan-pilihan secara bijaksana. Apalagi ketika dilihat
bahwa belajar merupakan inti dari kegiatan pembelajaran di sekolah.
Oleh karena itu siswa wajib dibimbing agar mencapai tujuan belajar.
Islam juga sangat memperhatikan masalah pendidikan.
Diantaranya diterangkan dalam QS. An-Nahl ayat: 125.
وجدلهم ادع إلي سبيل ربك بالحكمة والموعظةالحسنة
من ضل عن سبيله بالتي هي احسن إن ربك هو أعلم ب
30 )125: النحل( وهوأعلم بالمهتدين
Serulah (manusia) pada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih tahu tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih
28 Abu Ahmadi, dan Ahmad Rohani, Bimbingan dan konseling di Sekolah, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1991), hlm. 107. 29 D.Keiter dalam Kartini-Kartono, op.cit., hlm. 75. 30 Departemen Agama R.I, op.cit, hlm. 421
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. An-Nahl: 125)
Ayat di atas menyuruh kepada manusia untuk senantiasa memberikan
petunjuk dan keteladanan yang baik kepada orang lain. Pemberian
petunjuk maupun bimbingan harus dengan menggunakan cara-cara
yang arif dan materi yang baik. Karena Allah SWT mengetahui atas
segala sifat dan tingkah laku manusia di dunia ini. Maka sudah
menjadi kewajiban bagi manusia yang mengetahui kebaikan harus
memberikannya kepada orang lain.
Setiap guru pasti ingin berhasil, ingin masing-masing siswanya
belajar sesuai dengan kemampuannya. Tetapi guru sering merasa
gagal, sebab meskipun dia telah berusaha semaksimal mungkin, namun
tidak semua siswa belajar dengan sungguh-sungguh. Secara umum
tujuan bimbingan belajar adalah membantu siswa agar dapat mendapat
penyesuaian yang baik di dalam situasi belajar, sehingga setiap siswa
dapat belajar dengan efisien sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya, dan mencapai perkembanagn yang optimal.31
2. Bimbingan Pribadi-Sosial (personal and social guidance)
Bimbingan pribadi-sosial ialah seperangkat usaha bantuan
kepada para siswa agar dapat menghadapi sendiri masalah-masalah
pribadi dan sosial yang dialaminya, memilih kelompok sosial, memilih
jenis-jenis kegiatan sosial dan rekreatif yang bernilai guna, serta
berdaya upaya sendiri dalam memecahkan masalah-masalah pribadi,
rekreasi dan sosial yang dialaminya.32 Bimbingan pribadi sukar sekali
terpisah dari bimbingan sosial, karena biasanya masalah pribadi
muncul tidak lepas dari adanya masalah sosial.
Guru selain berperan sebagai pengajar juga sebagai pendidik
dimana harus mengembangkan nilai-nilai hidup kepada siswanya.
Guru bertanggungjawab membentuk dan membangun kepribadian
31 Dewa Ketut Sukardi, Bimbingan dan Penyuluhan Belajar di Sekolah (Surabaya: Usaha Nasional, t.th.), hlm. 108.
32 Abu Ahmadi dan Ahmad Rohani, op.cit., hlm. 108
siswa menjadi orang bersusila yang cakap. Orang bersusila yang cakap
tidak hanya ditandai dengan kepandaiannya dalam menguasai suatu
ilmu pengetahuan, tetapi juga harus mampu menyelesaikan masalah
pribadinya, mengatur dirinya sendiri, mampu berinteraksi dengan
lingkungannya, memahami norma atau nilai hidup, dan lain-lain.
Dalam proses belajar mengajar di kelas guru dituntut untuk
mengadakan pendekatan instruksional dengan dibarengi pendekatan
yang bersifat pribadi. Dengan pendekatan pribadi ini guru akan secara
langsung mengenal dan memahami siswa secara mendalam sehingga
dapat membantu perkembangan kepribadiannya.
Masalah pribadi yang biasa muncul pada diri siswa antara lain:
emosi yang sering berubah-ubah, seperti merasa gembira-tenang dan
gelisah-susah secara silih berganti, keinginan menjadi pribadi yang
utuh, tetapi tidak tahu caranya bagaimana, keinginan menyendiri dan
melamun, timbul nafsu seksuil, bahkan ada yang kecanduan minum-
minuman keras. Hal ini muncul karena perubahan pesat yang terjadi
pada aspek psikis, fisik dan sosiologisnya seiring dengan masa
pubertas yang dialaminya.
Adapun masalah sosial yang muncul pada diri siswa biasanya
berhubungan dengan keluarga, guru dan teman sebaya, beberapa
bentuk masalah yang sering dihadapinya antara lain: cara mendapatkan
teman akrab, cara bergaul dengan teman, cara menghadapi konflik
dengan teman, cara mendapat simpati dari teman, tidak cocok dengan
cara mengajar guru atau sikap guru, menyesuaikan diri dengan harapan
guru, orang tua, saudara, teman, pacar, dan sebagainya.
Bimbingan pribadi-sosial yang dilakukan oleh guru dimaksudkan
untuk mencapai tujuan dan tugas perkembangan pribadi-sosial dalam
mewujudkan pribadi yang taqwa, mandiri dan tanggungjawab. Dalam
aspek tugas perkembangan pribadi-sosial, layanan bimbingan
bertujuan untuk membantu siswa agar memiliki kesadaran diri, dapat
mengembangkan sikap positif, dapat membuat pilihan secara sehat,
mampu menghargai orang lain, mempunyai rasa tanggungjawab dan
mengembangkan keterampilan hubungan antar pribadi, dapat
menyelesaikan konflik dan dapat membuat keputusan secara aktif.33
Bimbingan studi dan bimbingan pribadi-sosial merupakan bagian
dari seluruh bimbingan yang dapat dilakukan guru terhadap siswanya.
Masih banyak jenis bimbingan lain yang dapat dilakukan oleh seorang
guru, apalagi ketika melihat tugas dan tanggungjawab seorang guru yang
sangat besar. Yang jelas peranan seorang guru sebagai seorang
pembimbing sangat penting, karena kehadiran guru di sekolah adalah
untuk membimbing siswa menjadi manusia dewasa yang cakap. Tanpa
bimbingan, siswa akan kesulitan dalam menghadapi perkembangan
dirinya. Kekurangmampuan anak didik menyebabkan lebih banyak
tergantung kepada bantuan orang lain. Tetapi semakin dewasa
ketergantungan siswa semakin berkurang. Jadi bagaimanapun juga
bimbingan guru sangat diperlukan pada saat siswa belum mampu berdiri
sendiri (mandiri) secara penuh.
3. Kemandirian Siswa Secara etimologi (asal kata) kemandirian berasal dari kata
“mandiri” yang mendapat tambahan awalan ke- dan akhiran –an yang
berarti “hal atau keadaan yang dapat berdiri sendiri tanpa bergantung
kepada orang lain”.34
Sedangkan pengertian mandiri secara istilah diartikan oleh
beberapa ahli antara lain: J.I.G.M. Drost, S.J menyatakan bahwa
“kemadirian adalah keadaan kesempurnaan dan keutuhan kedua unsur
(budi dan badan) dalam kesatuan pribadi. Dengan kata lain, manusia
mandiri adalah pribadi dewasa yang sempurna”.35 Charles schaeffer
mendefinisikan kemandirian (otonom) adalah “suatu keinginan untuk
33 Dewa Ketut Sukardi, Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 30. 34 Depdiknas, op.cit., hlm. 625. 35 J.I.G.M. Drost S.J, Sekolah: Mengajar atau Mendidik ?, (Jakarta: Kanisius, 1998), hlm
93.
menguasai dan mengendalikan tindakan-tindakan sendiri dan bebas
pengendalian luar”.36 Menurut Zakiyah Daradjat, mandiri (berdiri sendiri)
adalah
kecenderungan anak untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya tanpa minta tolong kepada orang lain. Juga mengukur kemampuannya untuk mengarahkan kelakuannya tanpa tunduk kepada orang lain. Biasanya anak yang berdiri sendiri lebih mampu memikul tanggungjawab, dan pada umumnya mempunyai emosi yang stabil.37
Chabib Thoha mengartikan prilaku mandiri adalah
kebebasan seseorang dari pengaruh orang lain. Ini berarti orang yang berperilaku mandiri mempunyai kemampuan untuk menemukan sendiri apa yang harus dilakukan, menentukan dan dalam memilih kemungkinan-kemungkinan dari hasil perbuatan dan akan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi tanpa harus mengharapkan bantuan dari orang lain.38
Sedangkan siswa atau peserta didik adalah anggota masyarakat
yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pebelajaran
yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu.39
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemandirian siswa
adalah suatu sikap yang dapat berdiri sendiri dan memiliki pribadi yang
matang yang dimiliki seorang siswa dimana dia mampu memilih,
memutuskan dan menentukan apa yang harus dilakukannya secara
bertanggungjawab, tanpa campur tangan orang lain, serta mampu
menyatakan, mengeluarkan dan mengaktualisasikan kemampuan yang
dimilikinya. Oleh karena itu siswa yang mandiri adalah siswa yang tidak
selalu tergantung kepada orang lain, baik orang tua, guru, teman, maupun
lingkungan. Sikap mandiri ini sesuai dengan konsep Al-Qur’an:
40 )38: المدثر(آل نفس بماآسبت رهينة
36 Charles Schaeffer, Cara Mendidik dan Mendisiplinkan Anak, (Jakarta: Mitra Utama, 1994), hlm. 173.
37 Zakiah Daradjat, Perawatan Jiwa Untuk Anak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 130.
38 Chabib Thoha, op.cit., hlm. 122. 39 Undang-Undang RI. No.20 tahun 2003 (tentang) Sistem Pendidikan Nasional,(
Bandung: Citra Umbara, 2003), hlm. 3
Tiap-tiap dari diri bertanggungjawab atas apa yang diperbuatnya (QS. Al-Mudatsir: 38)
41 )21: الطور( آل امرء بما آسبت رهين Setiap diri bertanggung jawab terhadap apa yang diperbuatnya (QS. At-Thur: 21)
Dari kedua ayat di atas telah jelas bahwa setiap diri seseorang harus
mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Oleh karena itu dia harus
mampu memilih dan menentukan sendiri apa-apa yang diperbuatnya.
Sehingga seluruh perbuatannya akan menjadi baik dan terhindar dari
perbuatan yang salah. Jadi kemandirian siswa yang dimaksud adalah sikap
seorang siswa yang dapat berdiri sendiri tanpa selalu bergantung kepada
orang lain dan dapat mempertanggungjawabkan segala perbuatannya.
Pandangan bahwa anak merupakan sosok pribadi yang masih labil
sudah merupakan pendapat umum dan kenyatannya memang demikian.
Oleh karena itu segala yang ada pada anak, sifatnya masih sulit
diidentifikasi secara jelas, karena dalam diri anak masih sering mengalami
perubahan-perubahan, seiring dengan perkembangan fisik dan mentalnya.
Demikian halnya dengan ciri-ciri kemandirian siswa, tampaknya
masih sulit ditentukan secara jelas, maka dari itu, disini akan dijelaskan
ciri-ciri kemandirian secara umum, sebagaimana yang tersirat dalam
definisi. Adapun ciri-ciri tersebut antara lain: kematangan fungsi psikis,
tingkah laku swakarsa dan tanggungjawab, disiplin serta mampu
memecahkan masalah.
a. Kematangan Fungsi Psikis.
Proses kematangan potensi seseorang baik fisik maupun psikis
adakalanya terjadi secara alamiah dan adakalanya melalui usaha atau
latihan-latiohan yang dilakukan sendiri. Hurlock dalam bukunya yang
berjudul Child Development mengemukakan bahwa “intrinsic naturing
maturition is the unfolding of caracteristic, potential, present in the
40 Departemen Agama R.I, op.cit, hlm. 995 41 Ibid, hlm. 995
individual that came from individual genetics endowment”42. Artinya:
proses kematangan intrinsik adalah terbentuknya karakteristik yang
secara potensial ada pada individu yang berasal dari warisan genetik
individu. Pernyataan tersebut menunjukkan proses kematangan secara
alamiah karena terbentuknya cirri-ciri individu (karakteristik individu)
merupakan keturunan dari sifat-sifat orang tuanya.
Sedangkan kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah,
mempertanggungjawabkan segala perbuatannya dan lain-lain
merupakan suatu proses untuk menuju kematangan yang dilakukan
dengan latihan-latihan. Dengan demikian proses kematangan potensi
seseorang dapat berkembang secara maksimal dan dapat membentuk
sikap dan perilaku seseorang. Menurut kartini-Kartono yang megutip
Marie Jahade, menyebutkan ciri-ciri kematangan psikis antara lain:
pribadi yang matang adalah individu yang dapat menguasai
lingkungannya secara aktif dan dapat memperlihatkan suatu totalitas
dari segenap kepribadiannya, dia dapat menerima secara tepat dunia
lingkungannya dan dirinya sendiri serta dia mampu berdiri diatas
kedua belah kakinya tanpa banyak tergantung kepada orang lain.43
Dari beberapa ciri tersebut dapat dilihat bahwa kematangan
psikis berkaitan erat dengan kemandirian. Hal ini ditandai dengan
adanya empat unsur penting yaitu: menguasai lingkungan secara aktif,
mampu mengaktualisasikan totalitas dirinya, mampu menerima diri
dan lingkungannya serta mampu berdiri sendiri. Hal ini menunjukkan
bahwa kematangan fungsi psikis merupakan indikasi utama dalam
kemandirian.
Kematangan fungsi psikis juga ditandai dengan dapat mengenal
diri sendiri dan menjadi diri sendiri. Untuk mengenal diri biasanya
seseorang menjadi semakin jujur pada diri sendiri, semakin otentik dan
menjadi semakin unik tak tertandingkan. Sedangkan untuk menjadi
42 Elisabeth B. Hurlock, Child Development, (Japan: MC. Grawhill company, 1978), hlm 28
43 Kartini-Kartono, Teori-Teori Kepribadian, (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 120.
diri sendiri seseorang harus menjauhkan kecenderungan suka meniru
dan sekedar ikut-ikutan.44 Hal ini menunjukkan bahwa dia dapat
berkata: bahwa saya adalah : ”aku” bulan si “A” atau si “B”,
meskippun belum dapat berkata “aku adalah ….”, karena masih dalam
“proses”.
b. Tingkah Laku Swakarsa dan Tanggungjawab.
Tingkah laku swakarsa merupakan sikap mandiri anak yang
ditandai dengan adanya kecenderungan untuk berbuat atas kehendak
sendiri secara aktif atau pengambilan sikap yang dikemudikan secara
independen terhadap suatu obyek. Ciri yang mendasar dari sikap
swakarsa adalah dia merasa mampu untuk mengendalikan tindakannya
atau dia bebas untuk melakukan hal apapun dengan tidak dipengaruhi
atau dikendalikan oleh orang lain. Meskipun demikian dia tidak akan
melakukan hal-hal yang merugikan diri sendiri dan orang lain serta
tidak melanggar norma-norma yang ada.
Orang dewasa yang mandiri disamping ia mampu berperilaku
bebas, tapi dia juga bertanggungjawab atas perilakunya. Dalam hal ini
Zakiah Darajad berpendapat bahwa “Disamping tingkah laku swakarsa
tentunya diiringi tanggung jawab, sebab jika bertindak atas dasar
kesadaran dan kemauan sendiri, maka ia harus bertanggung jawab atas
perbuatannya tersebut. Biasanya orang itu dapat berdiri sendiri, lebih
mampu memikul tanggung jawab dan pada umum ya memiliki emosi
yang stabil”.45 Rasa tanggungjawab tumbuh dari dalam diri seseorang
karena mendapat pengaruh dari nilai-nilai yang ditanamkan dalam
keluarga dan masyarakat.
Rasa tanggung jawab bukanlah sesuatu yang tertanam sejak lahir,
namun merupakan hasil dari latihan yang berlahan-lahan atau
merupakan sebuah proses panjang, yang tergantung pada tingkat umur
dan daya fikirnya. Adapun bentuk akhir dari perilaku swakarsa adalah
44 Andreas Harefa, Menjadi Manusi Pembelajar, (Jakarta: Harian Kompas, 2000), hlm. 40 45 Zakiah Darajat, Op. Cit., hlm. 169
aktualisasi diri dimana dia mamandang diri sendiri sebagai agen yang
merdeka, aktif, bertanggungjawab, dan agen yang mendisiplinkan diri
dengan membentuk nasibnya sendiri.46 Hal ini memberikan gambaran
bahwa sikap mandiri anak ditandai dengan adanya kecenderungan
untuk mengambil dan menentukan sikap swakarsa yang disertai
dengan rasa tanggungjawab.
c. Disiplin
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, disiplin mempunyai arti
ketaatan dan kepatuhan kepada aturan.47 Sedangkan pengertian
disiplin secara istilah diartikan oleh beberapa ahli, diantaranya W.J.S
Poerwadarminta, menurutnya disiplin adalah latihan batin dan watak
supaya segala perbuatannya selalu mentaati tata tertib.48 Menurut
Sheila dan Barbara Ann Barnett, Ph. D mengemukakan bahwa
“Discipline is a form of life training that, once experienced and when
practiced, develops and indivudual ability to control them selves, it
allowes us to devate our selves to a task or goal until the task is
complete”.49 Artinya disiplin adalah suatu bentuk latihan hidup yang
berupa pengalaman dan praktek, mengembangkan kemampuan
individu utnuk mengontrol dirinya. Hal ini menuntut untuk
mencurahkan diri kita terhadap suatu kewajiban dan tujuan sehingga
terpenuhi kewajiban tersebut secara sempurna.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa
disiplin adalah kontrol terhadap perbuatan seseorang agar selalu
mentaati tata tertib dari orang lain maupun diri sendiri.
Disiplin merupakan kunci sukses karena dengan disiplin, orang
dapat berbuat sesuatu, menyelesaikan suatu pekerjaan tepat pada
46 E. Koesworo, Teori-Teori Kepribadian, (Bandung: Eresco, 1991), hlm. 141. 47 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 208. 48 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1976), hlm. 254. 49 Sheila Ellison and Barbara Ann Barnett, Ph. D., 365 Ways to Help Your Children
Grow, (Unitet State of America: source book , 1996), hlm 195
waktunya dan akan membawa hasil sesuai dengan yang diinginkan.
Siswa yang disiplin dapat megatur waktunya dengan baik, semua
kegiatan akan direncanakanya secara matang seperti: kapan dia harus
belajar, membantu orang tua, bangun pagi, bermain dan lain-lain.
Sehingga dia akan teratur dalam segala hal.
Dengan disiplin anak dapat mengembangkan kendali atas
perilaku mereka sendiri sehingga mereka akan melakukan apa yang
benar, meskipun tidak ada penjaga yang mengancamnya dengan
hukuman jika mereka melakukan kesalahan. Sebab fungsi utama
disiplin adalah untuk mendidik supaya dapat mengendalikan diri
dengan mudah, menghormati dan mematuhi peraturan yang ada.
d. Mampu Memecahkan Masalah
Orang yang mandiri adalah orang yang apabila mendapat
masalah dapat menghadapinya dan menyelesaikannya dengan matang
dan bersikap dewasa. Karena tanpa mampu memecahkan masalah,
seseorang tidak mungkin dapat bertindak sendiri dengan yakin.
Keterampilan memecahkan masalah sangat berkaitan dengan cara
pengambilan keputusan dan mengetahui langkah-langkah penting
dalam proses pemecahan masalah.
Pada dasarnya meskipun teknik untuk memecahkan masalah itu
berbeda-beda, tetapi terdapat lima langkah pokok yang berlaku bagi
segala situasi pemecahan masalah tersebut, yaitu: mengenali masalah,
menetapkan beberapa cara pemecahan untuk mencapai tujuan akhir,
mengevaluasi dan menetapkan cara pemecahan yang terbaik,
melaksanakan pemecahan masalah dan mengamati kembali, apakah
rencana-rencana tersebut telah sejalan dengan tujuan yang ingin
dicapai.50 Meskipun hendaknya setiap orang mampu memecahkan dan
menyelesaikan masalah sendiri, tetapi tidak semua masalah dapat
50 Charles Schaeffer, Bagaimana Mempengaruhi Anak, (Jakarta: Dahara Prize, 1994),
hlm. 56-57.
ditanganinya sendiri. Adakalanya kita membutuhkan orang lain untuk
membantu kita dan itulah arti pentingnya kerjasama antar sesama.
Ciri-ciri kamandirian anak pada dasarnya sangat luas dan tingkat
kemandiriannyapun sangat beragam pada setiap tingkatan usia. Dalam
hal ini banyak ahli yang telah menjabarkan cirri-ciri tersebut.
Penjabaran mereka ada yang masih bersifat umum dan ada yang
bersifat lebih rinci. Salah satu di antaranya yaitu M. Ali dan M. Asrori.
Mereka berpendapat bahwa temuan penelitian pada umumnya
menunjukkan bahwa tingkat kemandirian remaja menyebar pada
tingakatan sadar diri, seksama, individualitas dan mandiri. Semua itu
dapat ditafsirkan secara rinci pada masing-masing tingkatan sebagai
berikut:
1. Tingkat Sadar Diri Ini dapat disimpulkan bahwa remaja telah memiliki kemampuan sebagai berikut: a. Cenderung mampu berfikir alternatif b. Melihat berbagai kemungkinan dan situasi c. Peduli akan pengambilan manfaat dari situasi yang ada d. Berorientasi pada pemecahan masalah e. Memikirkan cara mengarungi hidup f. Berupaya menyesuaikan diri terhadap situasi dan peranan
2. Tingkat Seksama Ini dapat ditafsirkan bahwa remaja telah memiliki kemampuan sebagai berikut: a. Cenderung bertindak atas dasar nilai internal b. Melihat dirinya sebagai pilihan dan pelaku tindakan c. Melihat keragaman emosi, motif dan perspektif diri sendiri
maupun orang lain d. Sadar akan tanggung jawab e. Mampu melakukan kritik dan penilaian diri f. Peduli akan hubungan mutualistik g. Berorientasi pada tujuan jangka panjang
3. Tingkat Individualitas Ini dapat ditafsirkan bahwa remaja telah mamiliki kemampuan sebagai berikut: a. Memiliki kesadaran yang lebih tinggi dan individualitas b. Kesadaran akan konflik emosionalitas antara kemandirian dan
ketergantungan c. Menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain d. Sadar akan eksistensi perbedaan individual
e. Bersikap toleran terhadap perkembangan dalam kehidupan f. Mampu memberikan kehidupan dalam dirinya dengan
kehidupan luar dirinya 4. Tingkat Mandiri
Ini dapat ditafsirkan bahwa remaja memiliki kemampuan sebagai berikut: a. Telah memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan b. Bersifat objektif dan realistis terhadap diri sendiri maupun
orang lain c. Mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan d. Ada keberanian untuk menyelesaikan konflik dalam dirinya e. Menghargai kemandirian orang lain f. Sadar akan adanya ketergantungan dengan orang lain g. Mampu mengekspresikan perasaannya dengan penuh
keyakinan dan keceriaan51
Siswa sekolah menengah atas, sebagai bagian dari remaja secara
umum memiliki sifat sebagaimana tersebut di atas. Walaupun
demikian tingkat kemandirian mereka relatif berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Hal ini tergantung pada factor-faktor yang di
lingkungan mereka.
Dari sini dapat diketahui bahwa cirri-ciri kemandirian siswa
secara umum adalah ………………………
Sebagaimana aspek-aspek psikologis yang lainnya,
perkembangan kemandirian juga bukan semata-mata merupakan
pembawaan yang melekat pada diri individu sejak lahir.
Perkembangannya sangat dipengaruhi berbagai stimulus yang ada di
lingkungannya. Ada sejumlah faktor yang sering disebut sebagai faktor
yang mempengaruhi kemandirian yaitu:
a. Faktor Internal
Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri anak,
meliputi kematangan usia anak dan inteligensi. Bertambahnya usia
anak, mambantu tumbuhnya kecenderungan untuk melepaskan diri
dari ketergantungan terhadap orang lain. Hal ini sangat terlihat
pada pertumbuhan bayi. Ini juga dijumpai pada masa remaja,
51 M. Ali dan M. Asrori, Psikologi Remaja, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 102
mereka ingin berusaha melepaskan diri dari orang tua dengan
maksud untuk menemukan dirinya.52 Berpengaruhnya faktor usia
pada kemandirian anak disebabkan anak mengalami perkembangan
jasmani dan rohani. Adapun kadar atau kriteria kemandirian itu
jelas berbeda standarnya pada tiap tingkatan usia. Hal ini
disesuaikan dengan kemampuan berfikirnya anak.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri anak
tersebut, yang meliputi :
1. Pola Asuh Orang Tua
Cara orang tua mengasuh atau mendidik anak akan
mempengaruhi perkembangan kemandirian anak. Tugas orang
tua adalah membuat anak dapat berdiri sendiri secepat
mungkin, sehingga orang tua tidak mengerjakan pekerjaan
mereka lagi seperti: mengatasi kesulitan-kesulitan mereka,
mengambil inisiatif dan memecahkan masalah mereka serta
melakukan hal-hal untuk dan oleh dirinya sendiri.53 Pola asuh
ini meliputi: aktifitas pendidikan dalam keluarga, cara
memberikan penilaian kepada anak, cara berinteraksi antar
individu dalam keluarga bahkan sampai pola hidup orang tua
sehari-hari.
2. Sistem Pendidikan Di Sekolah
Sistem pendidikan yang diterapkan khususnya dalam
proses belajar mengajar, penegakan peraturan sekolah,
bimbingan guru terhadap siswa, kegiatan ekstra kurikuler, dan
lain-lain, juga menunjang perkembangan kemandirian siswa.
Proses pembelajaran atau pendidikan memungkinkan seseorang
menjadi lebih manusiawi (being humanize), sehingga disebut
dewasa dan mandiri. Itulah visi atau tujuan dari proses
52 F.J. Monks, AMP. Knoers, Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), hlm. 278-279.
53 Charles Scheeffer, Cara Mendidik dan Mendisiplinkan Anak, Op.cit., hlm. 173.
pembelajaran.54 Sekolah diharapkan dapat membantu orang tua
memandirikan anak mereka. Proses pendidikan yang cenderung
menekankan doktrinasi tanpa argumentasi yang sesuai, akan
menghambat perkembangan kemandirian siswa. Demikian
halnya dengan proses pendidikan yang menekankan pentingnya
pemberian sanksi dan hukuman. Sebaliknya proses yang
menekankan pentingnya penghargaan terhadap kemampuan
siswa, pemberian kesempatan untuk bebas berpendapat,
berkreasi, memberi kesempatan untuk berorganisasi serta
menciptakan kompetisi yang positif, akan memperlancar
perkembangan kemandirian siswa.
3. Sistem Kehidupan / Kebudayaan Di Masyarakat.
Masyarakat yang kurang menghargai manifestasi potensi
remaja bahkan tidak peduli terhadap mereka akan berpengaruh
kurang baik pada perkembangan kemandirian mereka.
Sebaliknya, lingkungan yang menghargai ekspresi potensi
remaja dalam barbagai bentuk kegiatan akan mendorong
kemandirian remaja. Demikian halnya masyarakat yang maju
dan kompleks tuntutan hidupnya cenderung merangsang
kemandirian remaja dibandingkan dengan masyarakat yang
sederhana.
4. Pengaruh Pengasuhan Orang Tua Terhadap Kemandirian Anak
Orang tua memegang peranan penting dalam menumbuhkan sikap
kemandirian anak. Sebagaimana diketahui bahwa perkembangan pribadi
anak merupakan sebuah proses untuk menjadi suatu bentuk tertentu di
masa mendatang dan orang yang terjun langsung dalam proses tersebut
adalah orang tua. Kemandirian pribadi merupakan salah satu hasil dari
suatu proses tersebut, maka jelaslah bahwa sadar atau tidak sadar cara
54 Andreas Harefa, Menjadi Manusia Pembelajar, (Jakarta: Harian Kompas, 2000), hlm.
37.
yang digunakan orang tua dalam mengasuh anak sangat mempengaruhi
sikap kemandirian anak.
Melihat begitu pentingnya sikap kemandirian bagi anak, baik pada
usia dini, remaja, dewasa maupun tua maka orang tua harus menerapkan
cara yang terbaik dalam mengasuh anaknya. Pada umumnya orang tua
dalam mengasuh anak menggunakan semua model pola asuh sesuai
dengan situasi dan kondisi yaitu dengan mengkombinasikannya. Sebab
masing-masing pola asuh tersebut mempunyai kelemahan dan kelebihan,
yang hal ini juga mempunyai pengeruh tersendiri bagi perkembangan
sikap kemandirian anak.
Upaya yang dapat dilakukan orang tua dalam menmgembangkan
sikap kemandirian anak khususnya anak remaja antara lain: penciptaan
partisipasi keterlibatan anak dalam keluarga, penciptaan keterbukaan
komunikasi dalam keluarga, penciptaan kebebasan untuk mengeksplorasi
lingkungan, penerimaan positif tanpa syarat, empati terhadap anak dan
pemciptaan kehangatan hubungan dengan anak.55 Orang tua juga harus
memberi wilayah pribadi terghadap anak remaja, karena remaja
merupakan pribadi yang mempunyai otonomi dan orang tua tidak bisa
menyuruh seenaknya sendiri melakukan sesuatu hal.
Orang tua yang ingin menjadikan anak-anaknya bnertanggung
jawab, harus memberikan kelonggaran kepada setiap anaknya untuk
memilih dan menanggung konsekwensi atas keputusan yang mereka pilih.
Seorang pemuda yang terbiasa dimanja dan selalu bergantung pada orang
tuanya, kelak jika lepas dari orang tua dia akan kebingungan, karena untuk
bertindak sendiri dia takut dengan kegagalan. Lain halnya dengan anak
yang dilatih mandiri sejak kecil, di mana orang tua tidak suka memanjakan
dan jika anaknya menghadapi masalah, orang tua tidak terburu-buru turun
tangan. Begitu juga dengan si anak karena ia telah terbiasa dilatih untuk
menghadapi masalahnya sendiri, maka jika menemui kesulitan, jarang
sekali minta pertolongan orang lain. Dia akan menghadapinya dengan
55 M. Ali dan M. Asrori, Op. Cit., hlm. 121
segala kemampuan yang dimilikinya dengan penuh keberanian dan
bertanggung jawab.
Sikap orang tua yang melindungai anak akan menyebabkan perilaku
anak kurang mandiri karena mereka lebih banyak tergantung pada orang
lain. Orang tua yang terlalu banyak melarang atau mengeluarkan kata
“jangan” kepada anak tanpa disertai dengan penjelasan yang rasional akan
menghambat perkembnagn kemandirian anak. Sebaliknya, orang tua yang
menciptakan suasana aman dan penuh nuansa demokratis dalam interaksi
keluarganya akan dapat mendorong kelancaran perkembangan
kemandirian anak.
5. Pengaruh Bimbingan Guru Terhadap Kemandirian Siswa
Dunia anak merupakan dunia yang diwarnai oleh perilaku orang tua
dan anggota keluarga lainnya, sehingga dalam perkembangan kemandirian
anak keseimbangan antara faktor internal dan eksternal sangat diperlukan.
Bimbingan dari orang tua dan guru akan memantapkan bentuk otonomi
anak. Sekolah diharapkan dapat membantu orang tua dalam memandirikan
anak mereka. Namun semua itu akan sia-sia apabila pendidik utama yaitu
orang tua tidak meletakkan dasar yang kuat dan kokoh. Setelah dasar itu
kuat sekolah baru dapat membantu dalam perkembangan pribadi anak.
Guru sebagai pihak yang setiap saat berinteraksi langsung dengan
siswa, selain melaksanakan perannya sebagai pengajar, hendaknya juga
mampu membimbing siswanya ke arah kedewasaan yang mandiri,
sebagaimana yang telah diuraikan di depan. Adapun hasil yang mungkin
dapat diperoleh dalam rangka memandirikan siswanya antara lain:
a. Guru Sebagai Pembimbing Belajar Bagi Siswanya
Hasil yang mungkin dapat diperoleh dalam bimbingan belajar
adalah sesuai dengan tujuan akhir dari bimbingan ini yaitu
kemandirian belajar. Adapun indikasi terjadinya kemandirian belajar
pada diri siswa antara lain siswa dapat: menemukan cara belajar yang
efektif dan efisien, mengetahui cara mempelajari sesuatu serta
menggunakan buku pelajaran, memanfaatkan perpustakaan dengan
baik, dapat mengerjakan tugas sekolah dan siap menghadapi ulangan
kapan pun, memilih bidang studi untuk lebih diperdalam yang sesuai
dengan bakat, minat, kecerdasan, cita-cita serta kemampuannya,
menyelesaikan kesulitan yang dihadapi dalam pelajaran tertentu,
membagi waktu dan merencanakan jadwal belajarnya dan dapat
memilih pelajaran tambahan yang diperlukannya.
b. Guru Sebagai Pembimbing Personal-Sosial
Hasil yang mungkin dapat dicapai adalah kematangan psikis dan
pribadi siswa antara lain siswa dapat: memahami diri sendiri dan
memiliki kesadaran diri, mengembangkan sikap positif nilai-nilai dan
motif-motif intrinsiknya, menentukan pilihan-pilihan yang tepat bagi
dirinya, menghargai orang lain dan mampu bekerja sama dengan
mereka, memiliki rasa tanggung jawab yang besar dan dapat
memahami lingkungan dan dapat hidup dalam kehidupan yang
seimbang antara aspek fisik, mental dan sosial.
Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh guru dalam mendidik
siswanya merupakan otoritas guru sepenuhnya. Namun demikian seorang
guru hendaknya memperhatikan tugas, tanggung jawab, dan kode etik
yang telah ditentukan. Demikian halnya dengan beberapa upaya
bimbingan tersebut, semua itu merupakan bagian kecil dalam
mengembangkan sikap kemandirian siswa.
6. Pengaruh Pengasuhan Orang Tua dan Bimbingn Guru terhadap
Kemandirian Siswa
Tugas pendidik adalah memandirikan peserta didik secepat mungkin,
karena apabila potensi kemandirian dikembangkan secara cepat, maka
kemandirian anak akan tumbuh sedini mungkin. Tetapi apabila seorang
anak sejak kecil hingga dewasa selalu dimanja, maka kemandirian itu pun
akan terhambat perkembangannya. Hal yang menjadi pertanyaan sekarang,
siapa yang termasuk pendidik?. Pendidik yang mempunyai tugas,
wewenang dan tanggung jawab untuk mendidik adalah orang tua dan guru.
Pada dasarnya tugas orang tua dan guru sama yaitu mendidik anak.
Bimbingan, arahan, tuntunan dan petunjuk dari mereka berdua sangat
dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Sehingga
diharapkan suatu saat nanti anak tersebut menjadi orang dewasa mandiri,
yaitu orang yang tahu dan bisa menerima keunggulan dan kelemahan
dirinya, tidak dihinggapi oleh kerendahan diri yang palsu, karena ia sadar
akan dan bangga atas kepribadiannya yang berharga bagi sesama. Ia
mempergunakan kemampuannya secara penuh, ia pantang mundur,
kendati ada kekurangan padanya. Ia mampu bertanggung jawab atas diri
sendiri dan menolak pendiktean atau pemaksaan kehendak dari apapun
yang berada dari luar. Ia mampu menyatakan, mengaktualisasikan dan
mengeluarkan potensi-potensi yang dimilikinya. Ia mampu menjadi orang
yang berdaya, berdaulat, merdeka, lebih manusiawi dan menjadi dirinya
sendiri.
Untuk membentuk peserta didik seideal di atas, rasanya sangat sulit
bagi seorang pendidik, bahkan terkadang pendidiknya sendiri belum tentu
mampu menjadi orang yang mempunyai kriteria seperti di atas. Meskipun
demikian, setidaknya manusia mandiri yang ideal itu merupakan
cakrawala ikhtiar kita. Sedapat-dapatnya didekati, namun kita tetap sadar
sangat sulit untuk meraihnya entah kapan hal itu akan terwujud. Di sinilah
kerja sama semua fihak khususnya orang tua dan guru sangat dibutuhkan,
karena semuanya harus memerankan perannya masing-masing dengan
semaksimal mungkin untuk salang melengkapi satu sama lain. Dengan
demikian anak dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya,
tanpa harus terganggu apalagi terjerumus dalam lembah kenistaan. Semua
ini dimaksudkan agar kita memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Aamiin
B. Kajian Penelitian Yang Relevan
Dalam melakukan penelitian ini, penulis mengadakan kajian terhadap
penelitian yang sudah ada. Sejauh ini belum penulis temukan penelitian yang
mengkaji tentang permasalahan yang persis sama dengan permasalahan yang
penulis kaji. Meskipun demikian terdapat beberapa penelitian yang
bahasannya berhubungan dengan permasalahan yang dibahas penulis. Untuk
lebih jelasnya, berikut ini penulis sebutkan beberapa peneliti dan hasil
penelitiannya, diantaranya adalah:
1. Robiatul Alawiyah (4195045), melakukan penelitian dengan judul “Peran
Keluarga Muslim Dalam Melatih Kemandirian Dan Kreatifitas Anak Di
Keluarga Tanjung Mas Utara (Studi Tentang Pendidikan Agama Tahun
2000/ 2001). Dalam penelitiannya penulisnya lebih menekankan pada
bagaimana sebuah keluarga muslim melatih kemandirian serta
menumbuhkan kreatifitas anak-anaknya. Sedangkan kajian yang dilakukan
penulis lebih banyak menyorot tentang cara memandirikan anak melalui
pendidikan agama pada anak, memberi teladan yang baik, memberikan
kesejahteraan serta menciptakan hubungan yang kondusif dan harmonis
dalam keluarga.
2. Khoirudin (4195199) melakukan penelitian dengan judul “Peranan Guru
Pembimbing Dalam Meningkatkan Kemandirian Belajar Peserta Didik di
SMU N 08 Kota Semarang”. Dalam pembahasannya, penulis lebih
menekankan pada peranan guru bimbingan dan penyuluhan dalam
membimbing siswa di Sekolah. Sedangkan kemandirian belajar yang
dimaskudkan, adalah kondisi belajar yang mandiri, dimana dalam proses
belajar mengajar, siswa diharapkan mampu memecahkan masalah, kreatif,
dapat meneliti dan menemukan hal baru, khususnya hal yang berhubungan
dengan materi pembelajaran di sekolah.
3. Ika Astuti (4195122) melakukan penelitian dengan judul “Komparasi Pola
Asuh Orang tua Terhadap Tingkat Kecerdasan Emosi Siswa SLTP N 18
Semarang Tahun 2000/ 2001”. Dalam penelitian tersebut dikaji tentang
bagaimana pola dan cara orang tua mengasuh anak-anaknya dalam rangka
meningkatkan kecerdasan emosi mereka. Penulisnya lebih menekankan
pada bagaimana kecerdasan emosi pada anak, macam-macam emosi,
pengertian Emotional Intelegence (EI), dimensi-dimensi EI, serta
komparasi pola asuh orang tua terhadap tingkat EI anak.
C. HIPOTESIS
Hipotesis adalah “jawaban yang bersifat sementara terhadap
permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul”.56
Hipotesis merupakan jawaban masalah penelitian yang secara teoritis
dianggap paling mungkin dan paling tinggi tingkat kebenarannya.57
Sedangkan menurut Sutrisno Hadi, hipotesis adalah “dugaan yang mungkin
benar dan mungkin salah, dia akan ditolak jika salah dan diterima jika
faktanya membenarkan”.58
Berdasarkan pengertian di atas, maka penulis mengajukan hipotesis
atau dugaan sementara bahwa:
1. Ada pengaruh positif yang ditimbulkan dari pola asuh orang tua terhadap
kemandirian siswa MAN Kutowinangun.
2. Ada pengaruh positif yang ditimbulkan dari bimbingan guru terhadap
kemandirian siswa MAN Kutowinangun.
3. Ada pengaruh positif yang ditimbulkan dari pola asuh orang tua dan
bimbingan guru terhadap kemandirian siswa MAN Kutowinangun.
56 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2002), hlm. 64. 57 Ibid, 58 sutrisno Hadi, Metode Research, jld. I, (Yogyakarta: FP. UGM, 1983), hlm. 63.