BAB II LANDASAN TEORI - repository.bsi.ac.id · Menurut Sukardji (2005:20) “Pajak Pertambahan...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI - repository.bsi.ac.id · Menurut Sukardji (2005:20) “Pajak Pertambahan...
6
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Pajak
Menurut Smeets dalam Sutedi (2011:3) “Pajak merupakan prestasi kepada
pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum dan dapat dipaksakan tanpa
adanya kontraprestasi yang ditunjukan dalam hak individual untuk membiayai
pengeluaran rutin pemerintah”.
Menurut Andriani dalam Sukardji (2014:1) :
Pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh wajib pajak membayarnya menurut peraturan- peraturan, dengan
tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubungan dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Pajak dapat diartikan sebagai iuran, pungutan atau prestasi yang dilakukan
oleh pemerintah berdasarkan Undang-undang yang berlaku dan hasilnya untuk
pembiayaan pengeluaran umum atau pembangunan Negara dengan tanpa balas jasa
secara langsung.
2.1.1. Fungsi Pajak
Terdapat dua fungsi pajak menurut Resmi (2009:3) yaitu:
1. Fungsi Anggaran (Budgetair)
Fungsi pajak sebagai anggaran (budgetair) artinya pajak sebagai salah satu
sumber dan penerimaan pemerintah yang memasukkan uang sebanyak-
7
banyaknya ke kas negara, dengan tujuan untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran Negara.
2. Fungsi Pengatur (Regularend)
Fungsi pajak sebagai pengatur (regularend) artinya pajak digunakan sebagai alat
untuk mengatur masyarakat baik dibidang ekonomi, social maupun politik
dengan tujuan tertentu dibidang keuangan.
Dapat disimpulkan fungsi anggaran (budgetair) adalah sumber pemasukan kas
negara yang digunakan untuk pembiayaan Negara, sedangkan fungsi pengatur
(regularend) adalah aturan untuk melaksanakan kebijakan pemerintah.
2.1.2. Sistem Pemungutan Pajak
Dalam pemungutan pajak dikenal beberapa sistem pemungutan yang
digunakan menurut Mardiasmo (2009:39), adalah :
1. Official Assessment System
Suatu sistem pemungutan pajak dimana besarnya pajak yang harus dilunasi atau
pajak yang terutang oleh wajib pajak ditentukan oleh fiskus (wajib pajak bersifat
final).
2. Self Assessment System
Suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang menghitung besarnya pajak
yang terutang oleh wajib pajak diserahkan oleh fiskus kepada wajib pajak yang
bersangkutan, dimana dengan system ini wajib pajak harus aktif untuk
8
menghitung, menyetor, dan melaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
sedangkan fiskus hanaya bertugas memberikan penerangan dan pengawasan.
3. With Holding System
Suatu cara pemungutan pajak dimana perhitungan besarnya pajak terutang oleh
wajib pajak dilakukan oleh pihak ketiga.
2.2. Pajak Pertambahan Nilai
Menurut penjelasan atas UU No. 42 Tahun 2009 “Pajak pertambahan nilai
(PPN) adalah pajak konsumsi atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang
dikenakan secara bertingkat disetiap jalur produksi dan distribusi”.
Menurut Sukardji (2005:20) “Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak
yang dikenakan atas barang dan jasa tertentu didaerah pabean tersebut”.
Menurut Muljono (2008:4) :
Pajak Pertambahan Nilai atau Value Added Tax (VAT) merupaka pajak
penjualan yang dipungut atas dasar nilai tambahan yang timbul pada setiap
transaksi. Nilai tambahan adalah setiap tambahan yang dilakukan penjual atas
barang atau jasa yang dijual karena prinsipnya setiap penjual menghendaki
adanya tambahan tersebut yang bagi penjual merupakan keuntungan.”
Menurut Supramono dan Damayanti (2010:125) “Pajak Pertambahan Nilai
adalah (PPN) merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi di dalam negeri
(daerah pabean), baik konsumsi Barang Kena Pajak (BKP) maupun konsumsi Jasa
kena pajak (JKP).”
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak tambahan atas konsumsi barang
atau jasa kena pajak didaerah pabean. Pemungutan, Penyetoran dan pelaporan PPN
9
merupakan kewajiban dari produsen atau pedangang yang disebut pengusaha kena
pajak (PKP).
2.2.1. Pengusaha Kena Pajak
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 Pasal 1 ayat
(1) “Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah
peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah)”.
Pengusaha Kena Pajak atau PKP dapat mengenakan PPN pada barang atau
jasa yang telah dijual atau ditawarkan, PKP dapat mengkreditkan PPN yang
diperoleh dari hasil transaksinya.
Jika penghasilan per tahun dari penjualan barang dan jasa yang dikenakan
pajak mencapai Rp 4,8 milyar rupiah, baik pengusaha besar atau kecil, kelompok atau
individu, maka pengusaha wajib medaftarkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP),
sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 Pasal 4 ayat (1).
Akibatnya bagi Wajib Pajak/Pengusaha (baik orang pribadi maupun badan)
yang melakukan penyerahan barang hasil pertanian yang merupakan barang kena
pajak ini wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib
memungut PPN, kecuali pengusaha yang termasuk pengusaha kecil dengan omzet
sampai dengan Rp 4.800.000.000 (Rp 4,8 Milyar) per tahun.
10
Menurut Sukardji (2007:65) :
Subjek Pajak Pertambahan Nilai disebut juga Pengusaha Kena Pajak, yaitu
pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau JKP yang dapat dikenakan
PPN, mengekspor BKP yang dapat dikenakan PPN, menyerahkan aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan, dan melakukan bentuk
kerjasama operasi yang apabila menyerahkan BKP atau JKP dapat dikenakan
PPN.
2.2.2. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak
Menurut Mardiasmo (2009:254) “Barang kena pajak adalah barang berwujud
yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak, atau barang tidak
bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan undang-
undang PPN”.
Menurut Mardiasmo (2009:255) tentang jasa kena pajak yaitu :
Jasa kena pajak adalah setiap kegiatan pelayana berdasarkan suatu perikatan
atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan
tidak tersedia untuk dipakai termasuk jasa yang dilakukan untuk
menghasulkan barang karena pesanan atau permintaan, dengan bahan dan atas
petunjuk dari pemesan yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang
PPN.
Barang kena pajak adalah barang berwujud berupa barang bergerak atau
barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud yang dikenakan PPN. Pada
dasarnya semua barang merupakan barang kena pajak kecuali yang diatur lain oleh
undang-undang nomor PPN itu sendiri. Barang kena pajak tersebut terdiri dari barang
berwujud (bergerak atau tidak bergerak) dan barang tidak berwujud (hak cipta, merek
dagang, paten, dll).
Sedangkan jasa kena pajak adalah setiap kegiatan pelayanan yang
menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk
dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan
11
atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan PPN,
contohnya : jasa konstruksi, jasa sewa ruangan, jasa konsultan, jasa perantara, dll.
2.2.3. Dasar Pengenaan Pajak
Ada beberapa macam DPP Menurut Sukardji (2007:145) yaitu :
1. Harga jual dan penggantian
Dalam pasal 1 angka 18 dirumuskan “Harga jual adalah nilai berupa uang
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena
penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang
dipungut berdasarkan undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan
dalam Faktur Pajak”.
Kemudian dalam Pasal 1 angka 19 UU PPN 1984 dirumuskan “Penggantian
adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk
pajak yang dipungut berdasarkan undang-undang ini dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak”.
12
+ - =
Sumber : Sukardji (2007:146)
Gambar II.1. Rumus Harga Jual dan Penggantian
Adapun yang dimaksud dengan semua biaya dalam ketentuan tersebut antara lain
biaya pengangkutan, biaya asuransi, biaya bantuan teknik, biaya pemeliharaan,
biaya pengiriman, biaya garansi, biaya pendidikan.
2. Nilai Impor
Pasal 1 angka 20 UU PPN 1984 “Nilai impor adalah nilai berupa uang yang
menjadi dasar perhitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang
dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undang pabean
untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang
dipungut menurut undang-undang ini”.
Nilai impor merupakan nilai (uang) atas barang yang diimpor yang menjadi dasar
perhitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai.
NILAI
BERUPA
UANG
SEMUA
BIAYA
POTONGAN
HARGA DALAM
FAKTUR PAJAK
HARGA JUAL
PENGGANTIAN
DALAM HARGA JUAL TIDAK PERNAH TERMASUK PPN DAN PPnBM
DALAM PENGGANTIAN TIDAK PERNAH TERMASUK PPN
13
+ =
Sumber : Sukardji (2007:147)
Gambar II.2. Rumus Nilai Impor
3. Nilai Ekspor
Pasal 1 angka 26 UU PPN 1984 merumuskan “Nilai Ekspor adalah nilai berupa
uang termasuk semua biaya yang diminta atau yang seharusnya diminta oleh
eksportir”.
Nilai ekspor merupakan nilai (uang) atas barang yang diekspor termasuk semua
biaya yang terkandng didalamnya.
4. Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak
Ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan.
2.2.4. Pajak Masukan dan Pajak Keluaran
Menurut Muljono (2008:61) pajak masukan adalah “pajak pertambahan nilai
yang seharusnya sudah dibayar oleh pengusaha kena pajak karena perolehan barang
kena pajak dan atau pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah
pabean dan atau penyerahan jasa kena pajak dari luar daerah pabean dan atau impor
barang kena pajak”.
COST
INSURANCE
& FREIGHT
(CIF)
BEA MASUK NILAI IMPOR
DALAM NILAI IMPOR TIDAK PERNAH TERMASUK PPN DAN PPnBM
14
Menurut Muljono (2008:73) pajak keluaran adalah “pajak pertambahan nilai
terutang yang wajib dipungut oleh pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan
barang kena pajak, penyerahan jasa kena pajak,, ekspor barang kena pajak berwujud,
ekspor barang kena pajak tidak berwujud dan atau ekspor barang kena pajak”.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pajak masukan dan pajak
keluaran yang dipungut atau dibayar atas barang kena pajak atau jasa kena pajak oleh
pengusaha kena pajak.
2.2.5. Tarif Pajak Pertambahan Nilai
Menurut UU PPN dan PPnBM Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 7 menerangkan
bahwa :
1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
a. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
c. Ekspor Jasa Kena Pajak.
3. Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling
rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang
perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Untuk menghitung PPN terutang menurut UU PPN dan PPnBM No.42 Tahun
2009 pasal 8A ayat (1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan
15
Pajak yang meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai
lain. Dengan rumus :
UU PPN dan PPnBM No.42 Tahun 2009 pasal 9 ayat (3) “Apabila dalam
suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya
merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak”.
Sedangkan Pasal 9 ayat (4) “Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya
merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya”.
Rumus Pajak Pertambahan Nilai :
Pajak keluaran adalah PPN terutang PKP, dan diperoleh saat PKP
menyerahkan menjual barang atau jasa kena pajak. Pajak ini merupakan tanggungan
pembeli/pelanggan, dan merupakan kewajiban PKP untuk menyetorkan dan
melaporkannya kepada kantor pajak setempat. Sedangkan, Pajak masukan adalah
PPN yang ditanggung PKP saat membeli barang atau jasa kena pajak, dan
merupakan pajak terutang penjual yang harus dilaporkan oleh penjual.
2.2.6. Faktur Pajak
Menurut Djuanda dan Lubis (2006:74) “Faktur pajak adalah bukti pungutan
pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang
PPN = DPP x TARIF 10%
PPN TERUTANG = PAJAK KELUARAN – PAJAK MASUKAN
16
kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
karena impor Barang Kena Pajak”.
Menurut Mardiasmo (2011:310) “Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak
yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP atau JKP”
Bentuk, ukuran, warna, isi, dan persyaratan lainnya dan faktur pajak
ditetapkan oleh direktorat jenderal pajak. Faktur pajak dapat berupa :
1. Faktur pajak standar
Faktur pajak yang isinya jelas dan lengkap termasuk identitas pengusaha kena
pajak yang menerima penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak. Faktur
pajak standar diterbitkan apabila pengusaha kena pajak menyerahkan barnag
kena pajak atau jasa kena pajak kepada pengusaha kena pajak lain (transaksi
antar PKP). Faktur pajak terdiri dari beberapa lembar. Adapun tiap lembarnya
diperuntukn bagi :
Lembar ke 1 : untuk pembeli BKP atau peneriam JKP sebagai bukti pajak
masukan.
Lembar ke 2 : untuk pengusaha kena pajak sebagai bukti pajak keluaran
Lembar ke 3 : untuk KPP dalam hal penyerahan dilakukan kepada pemungut
PPN.
2. Faktur pajak gabungan
Faktur pajak standar yang dibuat satu kali dalam satu masa pajak (bulan takwim)
untuk lebih dari satu kali penyerahan dalam masa pajak yang sama oleh PKP
penjual Barang Kena Pajak (BKP) atau pemberi Jasa Kena Pajak (JKP) yang
17
sama untuk pembeli atau atau penerima jasa yang sama pula (dalam hal ini
terjadi karena langganan tetap).
3. Faktur pajak sederhana
Faktur pajak yang isinya tidak jelas dan tidak lengkap pada identitas penerima
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Faktur ini diterbitkan oleh Pengusaha
Kena Pajak apabila penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada
bukan Pengusaha Kena Pajak.
2.2.7. Putusan Mahkamah Agung No. 70P/HUM/2013
mengajukan keberatan
atas
yang
bertentangan
dengan
kepada
dan dikabulkan
dengan
disampaikan
oleh
sumber : data olahan penulis
Gambar II.3.
Bagan Alir Putusan Mahkamah Agung No. 70P/HUM/2013 tentang PPN
Dilihat dari gambar II.3 Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN)
melawan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA atas keberatan hak uji materiil
KAMAR DAGANG
DAN INDUSTRI
INDONESIA
(KADIN)
PP NOMOR 31
TAHUN 2007
UU PPN
TAHUN 2000
MAHKAMAH
AGUNG
PMA NOMOR
70P/HUM/2013
SURAT EDARAN
DJP SE-24/PJ/2014
18
terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tentang Impor dan atau
Penyerahan Barang Kena Pajak yang Bersifat Strategis yang dibebaskan dari
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai yang bertentangan dengan Undang-undang PPN
Tahun 2000 bertekad mengenakan semua barang hasil pertanian (kecuali barang
hasil tambang) maka dengan dimasukkannya barang hasil pertanian ke dalam BKP
strategis menurut pasal 16B, akan mengakibatkan BKP hasil pertanian tersebut
sebagai barang yang dibebaskan dari pengenaan PPN yang diajukan kepada
Mahkamah Agung. Mahkamah Agung mengabulkan uji materiil dengan
dikeluarkannya Pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
70P/HUM/2013 mengenai PPN atas Barang Hasil Pertanian yang dihasilkan dari
kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007. Dan untuk menyampaikan
Putusan Mahkamah Agung ini ditetapkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-24/PJ/2014 dan implikasi perpajakan yang timbul kepada petugas pajak
di seluruh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan Kantor Pelayanan Pajak.
Posita Kerugian Pemohon :
1. Bahwa dengan diberlakukannya Pasal 1 ayat (1) huruf c, Pasal 1 ayat (2) huruf a,
Pasal 2 ayat (1) huruf f, dan Pasal 2 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah
Nomor 31 Tahun 2007, terdapat kerugian nyata yang diderita oleh perusahaan
pembayar pajak (Pengusaha Kena Pajak, untuk selanjutnya disebut sebagai
“PKP”);
2. Bahwa Pasal 1 ayat (1) juncto Pasal 1 ayat (2) PP Nomor 31 Tahun 2007
19
mengatur bahwa pemakaian oleh Barang Hasil Pertanian merupakan barang
bersifat strategis yang berdasarkan UU PPN diklasifikasikan sebagai kena pajak,
namun dengan adanya PP menjadi barang yang dibebaskan pajak;
3. Bahwa akibat dari pajak yang dibebaskan, system perpajakan yang berdasarkan
UU PPN menganut indirect method dengan mekanisme pengkreditan yaitu PPN
Keluaran (PK) dikurangi dengan PPN Masukan (PM) menjadi tidak berlaku;
4. Bahwa PM yang berfungsi sebagai kredit (mengurangi) PK, dengan keluarnya
PP Nomor 31 Tahun 2007 menjadi tidak dapat dijadikansebagai kredit.
Akibatnya PPN yang di tanggung menjadi lebih besar, dibandingkan apabila
system pengkreditan berjalan sesuai dengan apa yang telah di atur dalam UU
PPN;
5. Bahwa kerugian yang paling cepat dirasakan oleh WP adalah pengaruh cash-
flow, karena WP harus menyetorkan PPN pada saat pembayaran atau pada akhir
bulan terjadinya penyerahan. Seringkali dalam dunia usaha, transaksi adalah
dengan hutang, sehingga WP harus “menalangi” terlebih dahulu atas PPN yang
harus disetorkan;
Pasal-pasal yang dimohonkan keberatannya adalah pasal-pasal di dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 sebagai berikut :
Pasal 1 :
1. Barang Hasil Pertanian Tertentu yang bersifat strategis adalah :
c. Barang Hasil Pertanian;
20
2. Barang Hasil Pertanian adalah barang ang dihasilkan dari kegiatan usaha dibidang:
a. Pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
Pasal 2 :
1. Atas impor barang Kena Pajak tertentu yang besifat strategis berupa :
f. Barang hasil pertanian, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf c
Dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
2. Atas penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis berupa:
c. Barang hasil pertanian, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf c;
Dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
Alasan-alasan pemohon (KADIN) mengajukan Permohonan keberatan Atas
Peraturan Pemerintah No 31 Tahun 2007:
Pasal 1 ayat (1) huruf c, pasal 1 ayat (2) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf f, dan Pasal 2
ayat (2) huruf c PP Nomor 31 Tahun 2007 memiliki materi muatan yang berbeda
dengan materi muatan UU PPN.
Menurut Putusan Mahkamah Agung Nomor 70P/HUM/2013 yang
mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE – 24/PJ/2014 yang mengatur antara lain:
1. Pasal 1 angka 1 huruf c, bahwa Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat
strategis adalah barang hasil pertanian.
2. Pasal 1 angka 2 huruf a, bahwa barang hasil pertanian adalah barang yang
dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebuanan dan kehutanan
21
yang dipetik langsung, diambil langung atau disadap langsung dari sumbernya
termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan
atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam lampiran
Peraturan Pemerintah ini.
Tabel II.1. Lampiran Barang Hasil Pertanian Kena PPN
CTanaman Hias
dan Obat
1 Tanaman Hias
2 Tanaman Potong
3 Tanaman Obat
-Buah -Segar, simplisia kering -BKP yang dikenai PPN
-Daun -Segar, simplisia kering -BKP yang dikenai PPN
-Biji -Segar, simplisia kering -BKP yang dikenai PPN
-Umbi -Segar, simplisia kering -BKP yang dikenai PPN
-Batang, kulit,
bunga dan lain-
lain
-Segar, simplisia kering -BKP yang dikenai PPN
Implikasi Putusan MA
No. 70P/HUM/2013No. Komoditi Proses Jenis Barang
-BKP yang dikenai PPN
-BKP yang dikenai PPN-Daun, Bunga
Dipindah utuh, diberi
media/tanpa media,
dikemastanpa dikemas
Dipetik, dipotong, direndam
larutan penyegar, diikat,
dibungkus/digulung,dikepak
(packing)
Tanaman hias bunga dan
tanaman hias berdaun,
dalam media
Daun dan bangun potong
kemas/tidak dikemas
Dipetik, diiris, dikeringkan,
dikemas
sumber : Lampiran SE-24/PJ/2014
3. Pasal 2 ayat (1) huruf f, bahwa atas impor Barang Kena Pajak Tertentu yang
bersifat strategis berupa barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam
pasal 1 angka 1 huruf c dibebaskan dari pengenaan PPN.
22
4. Pasal 2 ayat (2) huruf c, bahwa atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu
yang bersifat strategis berupa barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 1 huruf c dibebaskan dari pengenaan PPN.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tersebut, maka implikasi
perpajakannya adalah sebagai berikut :
Barang hasil pertanian yang merupakan hasil perkebunan, tanaman hias dan
obat, tanaman pangan, dan hasil hutan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran
Putusan Nomor 70P/HUM/2013 yang semula dibebaskan dari pengenaan PPN
berubah menjadi dikenakan PPN sehingga atas penyerahan dan impornya dikenai
PPN dengan tarif 10%, sedangkan atas ekspornya dikenai PPN dengan tarif 0%.
Untuk memberikan kepastian hukum, maka ditegaskan dengan menerbitkan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-24/PJ/2014 pada tanggal 25 Juli
2014 mengenai PPN atas barang hasil pertanian yang dihasilkan dari pertanian,
perkebunan dan kehutanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
31 Tahun 2007, barang hasil pertanian seperti beras, gabah, jagung, sagu dan kedelai
adalah barang yang tidak dikenai PPN (bukan barang kena pajak) sesuai ketentuan
Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN.
Barang hasil pertanian yang merupakan hasil perkebunan, tanaman hias dan
obat, tanaman pangan, dan hasil hutan sebagaimana yang ditetapkan dalam Lampiran
Putusan Mahkamah Agung Nomor 70P/HUM/2013 yang semula dibebaskan dari
pengenaan PPN saat ini berubah menjadi dikenakan PPN.
23
2.3. Penjualan
Menurut Narafin (2006:60) “Penjualan adalah proses menjual, padahal yang
dimaksud penjualan dalam laporan laba-rugi adalah hasil menjual atau hasil
penjualan (sales) atau jualan”.
Menurut Marom (2005:28) “Penjualan adalah barang dagangan sebagai usaha
pokok perusahaan yang biasanya dilakukan secara teratur”.
Menurut Kusnadi (2009:300) “Penjualan (sales) adalah sejumlah uang yang
dibebankan kepada pembeli atas barang atau jasa yang dijual”.
Penjualan adalah proses menjual barang dagangan sebagai usaha yang
dilakukan secara teratur.
2.3.1. Klasifikasi Transaksi Penjualan
Ada beberapa macam transaksi penjualan menurut Midjan (2005:170)
diantaranya yaitu :
1. Penjualan Tunai
Adalah penjualan yang bersifat cash dan carry pada umumnya terjadi secara
kontan dan dapat pula terjadi pembayaran selama satu bulan dianggap kontan.
2. Penjualan Kredit
Adalah penjualan dengan tenggang waktu rata-rata diatas satu bulan.
3. Penjualan Tender
Adalah penjualan yang dilaksanakan melalui prosedur tender untuk
memenangkan tender selain harus memenuhi berbagai prosedur.
24
4. Penjualan Ekspor
Adalah penjualan yang dilaksanakan denagan pihak pembeli luar negeri yang
mengimpor barang tersebut.
5. Penjualan Konsinyasi
Adalah penjualan yang dilakukan secara titipan kepada pembeli yang juga
sebagai penjual.
6. Penjualan Grosir
Adalah penjualan yang tidak langsung kepada pembeli, tetapi melalui pedagang
grosir atau eceran.
2.3.2. Tujuan Umum Penjualan
Tujuan penjualan dalam perusahaan menurut Swastha (2005:404) adalah :
1. Mencapai volume penjualan tertentu.
2. Mendapat laba tertentu.
3. Menunjang pertumbuhan perusahaan.
2.3.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penjualan
Faktor- factor yang mempengaruhi penjualan menurut Swastha (2005:406) :
1. Kondisi dan Kemampuan Penjual
Kondisi dan kemampuan terdiri dari pemahaman atas beberapa masalah penting
yang berkaitan dengan produk yang dijual, jumlah dan sifat dari tenaga
penjual adalah:
25
a. Jenis dan karakteristik barang atau jasa yang ditawarkan
b. Harga produk atau jasa
c. Syarat penjualan, seperti: pembayaran, pengiriman
2. Kondisi Pasar
Pasar sebagai kelompok penbelian atau pihak yang menjadi sasaran dalam
penjualan dan dapat pula mempengaruhi kegiatan penjualannya.
3. Modal
Modal atau dana sangat diperlukan dalam rangka untuk mengangkut barang
dagangan ditempatkan atau untuk membesar usahanya.
4. Kondisi Organisasi Perusahaan
Pada perusahan yang besar, biasanya masalah penjual ini ditangani oleh bagian
tersendiri, yaitu bagian penjualan yang dipegang oleh orang-orang yang ahli
dibidang penjualan.
5. Faktor-faktor lain
Faktor-faktor lain seperti periklanan, peragaan, kampanye, dan pemberian hadiah
sering mempengaruhi penjualan karena diharapkan dengan adanya faktor-faktor
tersebut pembeli akan kembali membeli lagi barang yang sama.
2.3.4. Proses Penjualan
Beberapa tahapan penjualan menurut Swastha (2005:410) yaitu:
26
1. Persiapan Sebelum Penjualan
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah mempersiapkan tenaga penjual
dengan memberikan pengertian tentang barang yang dijualnya, pasar yang di
tuju, dan teknik-teknik penjualan yang harus dilakukan.
2. Penentuan Lokasi Pembeli Potensial
Dari lokasi ini dapatlah dibuat sebuah daftar tentang orang-orang atau
perusahaan yang secara logis merupakan pembeli potensial dari produk yang
ditawarkan.
3. Pendekatan Pendahuluan
Berbagai macam informasi perlu dikumpulkan untuk mendukung penawaran
produknya kepada pembeli, misalnya tentang kebiasaan pembeli, kesukaan, dan
sebagainya. Semua kegiatan ini dilakukan sebagai pendekatan pendahuluan
terhadap pasarnya.
4. Melakukan Penjualan
Penjualan dilakukan bermula dari suatu usaha untuk memikat perhatian calon
pembeli, kemudian diusahakan untuk menarik daya tarik mereka. Dan akhirnya
penjual melakukan penjualan produknya kepada pembeli.
5. Pelayanan Sesudah Penjualan
Dalam tahap akhir ini penjual harus berusaha mengatasi berbagai macam keluhan
atau tanggapan yang kurang baik dari pembeli. Pelayanan penjualan ini
dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepada pembeli bahwa keputusan yang
diambilnya tepat dan barang yang dibelinya betul-betul bermanfaat.