BAB II LANDASAN TEORI - repository.uinbanten.ac.idrepository.uinbanten.ac.id/1274/3/BAB II.pdf ·...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI - repository.uinbanten.ac.idrepository.uinbanten.ac.id/1274/3/BAB II.pdf ·...
18
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Keuangan Daerah
1. Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Daerah
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal, pemerintah daerah diberi keleluasaan untuk
mengelola dan memanfaatkan sumber penerimaan daerah yang
dimilikinya sesuai dengan aspirasi masyarakat daerah. Hal ini
berdasarkan pada Undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah dengan sistem
pemerintahan desentralisasi dan sudah mulai efektif
dilaksanakan sejak 1 januari 2001. Misi utama Undang-undang
nomor 33 tahun 2004 adalah bukan hanya melimpahkan
kewenangan pembangunan dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah, tetapi yang lebih penting adalah efisiensi dan efektifitas
sumber daya keuangan.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 58 Tahun 2005, tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
dalam ketentuan umumnya menyatakan bahwa keuangan daerah
adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan
uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan daerah
tersebut. Sementara Mamesah menyatakan bahwa “keuangan
daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang
dapat yang dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu
19
baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan
kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh negara
atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai
ketentuan/peraturan perundangan yang berlaku.”1
Menurut Halim dari definisi diatas terdapat dua hal yang
perlu dijelaskan, yaitu sebagai berikut:
1) Yang dimaksud dengan semua hak adalah hak untuk
memungut sumber-sumber penerimaan daerah seperti
pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik
daerah, dan lain-lain, dan/atau hak untuk menerima
sumber-sumber penerimaan lain seperti dana alokasi
umum dan dana alokasi khusus sesuai peraturan yang
ditetapkan. Hak tersebut akan menaikan kekayaan
daerah. 2) Yang dimaksud dengan semua kewajiban
adalah kewajiban untuk mengeluarkan uang untuk
membayar tagihan-tagihan kepada daerah dalam rangka
penyelenggaraan fungsi pemerintahan, infrastuktur,
pelayanan umum, dan pengembangan ekonomi.
Kewajiban tersebut akan menurunkan kekayaan daerah.2
Kebijakan keuangan daerah senantiasa diarahkan pada
tercapainya sasaran pembangunan, terciptanya perekonomian
daerah yang mandiri sebagai usaha bersama atas asas
kekeluargaan berdasarkan demokrasi ekonomi yang
berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
dengan peningkatan kemakmuran rakyat yang merata.
Berdasarkan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 pasal 66 ayat
1, keuangan daerah harus dikelola secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan, efisiensi ekonomis, efektif,
1 Abdul Halim, Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah (
Jakarta : Salemba Empat, 2012), 25 2 Abdul Halim, Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah, 25-
26
20
transparan, bertanggungjawaban dengan memperhatikan asas
keadilan, kepatuhan dan manfaat untuk masyarkat.
Ruang lingkup keuangan daerah menurut Abdul Halim
meliputi beberapa aspek diantaranya:
1) Hak daerah untuk memungut pajak daerah dan
retribusi daerah serta melakukan pinjaman, 2) kewajiban
daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan
dan membayar tagihan pihak ketiga, 3) penerimaan
daerah, 4) pengeluaran daerah, 5) kekayaan daerah yang
dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat
berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat
dinilai dengan uang termasuk kekayaan yang dipisahkan
pada perusahaan daerah, dan 6) kekayaan pihak lain
yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau
kepentingan umum.3
2. Pengelolaan keuangan daerah
Salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus
diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan
daerah dan anggaran daerah. Proses pengelolaan keuangan
daerah dimulai dengan perencanaan anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD). Anggaran daerah adalah rencana
pemerintah daerah dalam bentuk uang (rupiah) dalam satu
periode tertentu (satu tahun).4 Anggaran daerah menduduki
posisi sentral dalam upaya pengembangkan kapabilitas,
efesiensi, dan efektifitas pemerintah daerah. Anggaran daerah
atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
3 Ahmad Yani, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
di Indonesia (Jakarta:Rajawali Pers, 2013), 357 4 Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah
(Yogyakarta:ANDI, 2004), 9
21
merupakan instrument kebijakan yang utama bagi pemerintah
daerah.Pada hakikatnya APBD merupakan instrument kebijakan
yang dipakai untuk meningkatkan pelayanan umum dan
kesejahteraan masyarakat di daerah.
Dalam ketentuan umum pada PP Nomor 58 Tahun 2005,
Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan
yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan,
pelaporan dan pertanggungjawaban, pengawasan daerah. Dalam
pengelolaan anggaran/keuangan daerah harus mengikuti
prinsip-prinsip pokok anggaran sektor publik.
Pada Permendagri Nomor 26 Tahun 2006 tentang
Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2007
menyatakan bahwa APBD harus disusun dengan
memperhatikan prinsip-prinsip pokok anggaran sektor publik,
sebagai berikut: (a) Partisipasi Masyarakat, (b) Transparansi
dan Akuntabilitas Anggaran, (c) Disiplin Anggaran, (d)
Keadilan Anggaran, (e) Efisiensi dan Efektifias Anggaran dan
(f) Taat Asas.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-
undang Nomor 33 Tahun 2004 sudah tentu berpengaruh
terhadap pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan
daerah berarti mengurus dan mengatur keuangan daerah itu
sendiri dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah
menurut adalah sebagai berikut :
(a) Pertanggungjawaban (Accountability), pemerintah
daerah harus mempertanggungjawabkan tugas keuangan
kepada lembaga atau orang yang berkepentingan. Unsur
tanggungjawab ini adalah meliputi keabsahan dengan
22
berpangkal pada ketentuan hokum dan perundang-
undangan yang berlaku.Sedangkan pengawasan
merupakan tatacara yang efektif untuk menjaga
kekayaan uang dan barang, mencegah penghamburan
dan penyelewengan, dan memastikan bahwa semua
sumber pendapatan dan penggunaannya tepat dan sah.
(b) Mampu memenuhi kewajiban keuangan. Keuangan
daerah harus dikelola sedemikian rupa sehingga mampu
melunasi semua ikatan keuangan, baik jangka pendek
maupun jangka panjang. (c) Kejujuran. Urusan
keuangan harus diserahkan kepada pegawai yang jujur
dan kesempatan untuk berbuat curang dipersempit. (d)
Efisiensi dan Efektifitas. Tata cara mengurus keuangan
daerah harus menggunakan manajemen pengawasan
yang baik, sehingga memungkinkan daerah dengan
biaya seefisien mungkin dan memerlukan jangka waktu
pelaksanaan seefektif mungkin. (e) Pengendalian.
Petugas keuangan daerah, DPRD, dan petugas pengawas
harus melakukan pengendalian agar tujuan yang
direncanakan bisa tercapai.5
Menurut Halim Berdasarkan peraturan-peraturan manajemen
keuangan daerah, pengelolaan keuangan daerah memiliki
karakteristik antara lain:
(a) Pengertian Daerah adalah propinsi dan kota atau
kabupaten. Istilah Pemerintah Daerah Tingkat I dan II,
juga kota madya tidak lagi digunakan. (b) Pengertian
Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta
perangkat lainnya.Pemerintah ini adalah badan
eksekutif, sedang badan legislatif di daerah adalah
DPRD (pasal 14 UU No.22 Tahun 1999). Oleh karena
itu, terdapat pemisahan yang nyata antara legislatif dan
eksekutif. (c) Perhitungan APBD menjadi satu laporan
dengan pertanggung jawaban Kepala Daerah (pasal 5 PP
Nomor 108 Tahun 2000). (d) Pinjaman APBD tidak lagi
5 Devas dkk, Keuangan Pemerintah Indonesia.Terjemahan Marsi Maris
(Jakarta: UI-Press, 1987), 279-280
23
masuk dalam pos pendapatan (yang menunjukkan hak
Pemda) tetapi masuk dalam pos penerimaan (yang
belum tentu menjadi hak Pemda) Masyarakat termasuk
didalam unsur-unsur penyusunan APBD disamping
pemerintah daerah yang terdiri atas Kepala Daerah dan
DPRD. (e) Indikator kinerja pemerintah daerah tidak
hanya mencakup Perbandingan antara anggaran dan
realisasinya, perbandingan antara standar biaya dan
realisasinya, target dan persentase fisik proyek, tetapi
juga meliputi standar pelayanan yang diharapkan. (f)
Laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah pada akhir
tahun anggaran yang bentuknya laporan perhitungan
APBD dibahas oleh DPRD dan mengandung
konsekuensi terhadap masa jabatan Kepala Daerah
apabila dua kali ditolak oleh DPRD. (g) Digunakan
akuntansi didalam pengelolaan keuangan daerah.6
Pengaturan mengenai pengelolaan keuangan daerah
yang diatur dalam Peeaturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005
yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun
2000 merupakan aturan yang bersifat umum dan lebih
menekankan pada hal yang bersifat prinsip, norma, asas, dan
landasan umum dalam pengelolaan keuangan daerah. Sementara
itu, sistem dan prosedur pengelolaan keuangan secara rinci
ditetapkan oleh masing-masing daerah.7 Kebinekaan
dimungkinkan terjadi sepanjang hal tersebut masih sejalan atau
tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah. Dengan upaya
kreatif, dan mampu mengambil inisiatif dalam perbaikan dan
pemutakhiran sistem dan prosedurnya serta meninjau kembali
sistem tersebut secara terus menerus, dengan tujuan
6 Abdul Halim, Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah (
Jakarta : Salemba Empat, 2012), 4 7 Ahmad Yani, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
di Indonesia (Jakarta:Rajawali Pers, 2013), 357
24
memaksimalkan efisiensi dan efektifitas berdasarkan keadaan,
kebutuhan dan kemampuan daerah.
3. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Kinerja merupakan gambaran pencapaian pelaksanaan
suatu kegiatan dalam mencapai tujuan, visi dan misi suatu
organisasi8. Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah tingkat
pencapaian dari suatu hasil kerja dibidang keuangan daerah
yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan
menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu
kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu
periode anggaran.Bentuk dari pengukuran kinerja tersebut
merupakan rasio keuangan yang terbentuk dari unsur laporan
pertanggungjawaban kepada kepala daerah berupa perhitungan
APBD.
Menurut Mohamad Mahsun “Kinerja adalah gambaran
mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu
kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan,
misi dan visi organisasi yang teruang dalam stategic planning
suatu organisasi.”9
Sedangkan Sedarmayanti menyatakan bahwa “Kinerja
(performance) diartikan sebagai hasil kerja seorang pekerja,
sebuah proses manajemen atau suatu organisasi secara
8 Indra Bastian, Sistem Akuntansi Sektor Publik (Jakarta: SalembaEmpat,
2006), 177 9 Mohamad Mahsun, Pengukuran Kinerja Sektor Publik (Yogyakarta: BPFE,
2006), 25
25
keseluruhan, dimana hasil kerja tersebut harus dapat diukur
dengan dibandingkan standar yang telah ditentukan.”10
Menurut Mardiasmo, “Sistem pengukuran kinerja sektor
publik adalah suatu sistem yang bertujuan untk membantu
manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat
ukur finansial dan nonfinansial.”11
Dalam penelitian ini, istilah
yang penulis maksudkan dengan Kinerja Keuangan Pemerintah
Daerah adalah tingkat capaian dari suatu hasil kerja di bidang
keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah
dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan
melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan
selama satu periode anggaran. Bentuk kinerja tersebut berupa
rasio keuangan yang terbentuk dari unsur laporan
pertangggungjawaban Kepala Daerah berupa perhitungan
APBD.
Pengukuran kinerja yang digunakan secara umum oleh
perusahaan yang berorientasi pada pencapaian laba antara lain
melalui penetapan rasio keuangan. Rasio yang dimaksud dalam
laporan keuangan adalah suatu angka yang menunjukkan
hubungan antara suatu unsur dengan unsur lainnya.Suatu rasio
tersebut diperbandingkan dengan perusahaan lainnya yang
sejenis, sehingga adanya perbandingan ini maka perusahaan
tersebut dapat mengevaluasi situasi perusahaan dan kinerjanya.
10
Sedarmayanti, Dasar-Dasar Pengetahuan Tentang Manajeman
Perkantoran (Bandung: Mandar Maju, 2003), 64 11
Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah
(Yogyakarta:ANDI, 2004),121
26
4. Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja Keuangan
Daerah
Prestasi pelaksanaan program yang dapat diukur akan
mendorong pencapaian prestasi tersebut. Pengukuran prestasi
yang dilakukan secara berkelanjutan memberikan umpan balik
untuk upaya perbaikan secara terusmenerus dan pencapaian
tujuan di masa mendatang. Salah satu alat menganalisis kinerja
pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah
dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD
yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya. Menurut Abdul
Halim hasil analisis rasio keuangan ini bertujuan untuk:
(a) Menilai kemandirian keuangan daerah dalam
membiayai penyelenggaraan otonomi daerah. (b)
Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan
pendapatan daerah. (c) Mengukur sejauh mana aktivitas
pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan
daerahnya. (d) Mengukur kontribusi masing-masing
sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan
daerah. (e) Melihat pertumbuhan/perkembangan
perolehan pendapatan dan pengeluran yang dilakukan
selama periode waktu tertentu.12
B. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
1. Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Meurut pasal 1 UU Nomor 32 tahun 2004 APBD adalah
rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang ditetapkan
dengan Peraturan Daerah.Penyelenggaraan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah, didanai dan atas beban
12
Abdul Halim, Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah (
Jakarta : Salemba Empat, 2012), 126
27
anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), sementara
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintah di daerah, didanai dari dan atas beban
Anggaran Pendapatan dan belanja Negara (APBN).
Sementara Abdul Halim menyatakan APBD adalah
Suatu rencana pekerjaan keuangan (Financial work
plan) yang dibuat dalam jangka waktu tertantu dimana
badan legislatif memberikan kredit kepada badan-badan
eksekutif untuk melakukan pembiayaan sehubungan
dengan kebutuhan rumah tangga daerah sesuai dengan
rencana yang menjadi dasar (grondsleg) penetapan
anggaran, dan yang menunjukan semaua penghasilan
untuk menutup pengeluaran tadi.13
APBD dapat didefinisikan sebagai rencana operasional
keuangan pemerintah daerah, di mana pada satu pihak
menggambarkan perkiraan pengeluaran setinggi-tingginya guna
membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek daerah selama
satu tahun anggaran tertentu, dan di pihak lain menggambarkan
perkiraan dan sumber-sumber penerimaan daerah guna
menutupi pengeluaran-pengeluaran yang dimaksud.14
Sedangkan definisi APBD pada orde lama adalah kegiatan
badan legislatif (DPRD) memberikan kredit kepada badan
eksekutif (kepala daerah) untuk melakukan pembiayaan guna
kebutuhan rumah tangga daerah sesuai dengan rancangan yang
menjad dasar (grondslag) penetapan anggaran, dan yang
13
Abdul Halim,Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) terhadap Belanja Pemerintah Daerah: Studi Kasus Kabupaten/Kota di
Jawa dan Bali (Jakarta, 2004), 15 14
Abdul Halim, Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah, 21
28
menunjukan semua penghasilan untuk menutupi pengeluaran
tadi.
Dari kedua definisi tersebut, menunjukan bahwa APBD
sebagai anggaran daerah memiliki unsur-unsur sebagai
berikut: (a) Rencana kegiatan suatu daerah, beserta
uraiannya secara terperinci. (b) Adanya sumber
penerimaan yang merupakan target minimal untuk
menutupi biaya terkait aktivitas tersebut, dan adanya
biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran
yang akan dilaksanakan. (c) Jenis kegiatan dan proyek
yang dituangkan dalam bentuk angka. (d) Periode
anggaran, yaitu biasanya 1 (satu) tahun.15
2. Fungsi-Fungsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
Fungsi APBN/APBD sesuai dengan ketentuan dalam Pasal
3 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yaitu:
a. Fungsi Otoritasi
Fungsi Otoritasi bermakna bahwa anggaran daerah menjadi
dasar untuk merealisasi pendapatan dan belanja pada tahun
bersangkutan.Tanpa dianggarkan dalam APBD sebuah kegiatan
tidak memiliki kekuatan untuk dilaksanakan.
b. Fungsi Perencanaan
Fungsi Perencanaan bermakna bermakna bahwa anggaran
daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan
kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
c. Fungsi Pengawasan
Fungsi Pengawasan bermakna Anggaran daerah menjadi
pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan
15
Abdul Halim dan Syam Kusufi, Teori, Konsep, dan Aplikasi :Akuntansi
Sektor Publik: Dari Anggaran Hingga Laporan Keuangan dari Pemeintah Hingga
Temapat Ibadah (Jakarta: Salemba Empat, 2012), 38
29
pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan.
d. Fungsi Alokasi
Fungsi Alokasi mengandung makna bahwa anggaran daerah
harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi
pengangguran, dan pemborosan sumberdaya, serta
meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian daerah.
e. Fungsi Distribusi
Fungsi Distribusi memiliki makna bahwa kebijakan-kebijakan
dalam penganggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan
dan kepatutan.
f. Fungsi Stabilitasi
Fungsi Stabilitasi memliki makna bahwa anggaran daerah
menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan
keseimbangan fundamental perekonomian daerah.
3. Stuktur APBD
Dengan dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah maka
akan membawa konsekuensi terhadap berbagai perubahan
dalam keuangan daerah, termasuk terhadap struktur APBD
berdasarkan PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah sebagai berikut :
a. Pendapatan daerah
Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas
daerah.Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi
terdiri atas pendapatan dan pembiayaan.Pendapatan Daerah
adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah
nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan.
30
Pendapatan adalah semua rekening kas umum negara/daerah
yang menambah ekuitas dana lancar dari periode tahun
anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak pemerintah dan
tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah.16
Pendapatan
daerah meliputi : Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbang dan
Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah.
1) Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah semua
penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli
daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan
daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, retibusi daerah,
hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan, dan lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk
memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali
pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai
perwujudan asas desentralisasi.17
Sektor pendapatan daerah
memegang peranan yang sangat penting, karena melalui sektor
ini dapat dilihat sejauh mana suatu daerah dapat membiayai
kegiatan pemerintah dan pembangunan daerah.
Menurut pasal 6 ayat (1) UU Nomor 33 Tahun 2004
menjelaskan bahwa sumber pendapatan asli daerah (PAD)
terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan
kekayaan yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah.
16
Dalam Standar Akuntansi Pemerintah (2005, hal. 107) 17
Ahmad Yani, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 44
31
2) Dana Perimbangan
Dana perimbangan terdiri dari:
a) Bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB), dan penerimaan sumber daya alam
(SDA)
b) Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan
antardaerah dengan tujuan pemerataan kemampuan
keuangan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi.18
c) Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBD yang dialokasikan kepada daerah
tertentu dengan tujuan membantu mendanai kegiatan
khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai
dengan perioritas nasional.19
3) Lain-lain Pendapatan yang sah
Pada peraturan sebelumnya yaitu Kepmendagri Nomor 29
Tahun 2002, pendapatan ini dikelompokan dalam jenis
pendapatan bantuan dana kontinjensi/penyeimbang dari
pemerintah dan dana darurat.
18
Ahmad Yani, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
di Indonesia, 142 19
Ahmad Yani, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
di Indonesia, 165
32
Sesuai dengan peraturan terbaru Permendagri Nomor 13
Tahun 2006, pendapatan ini dibagi menurut jenis
pendapatan yang mencakup:
a) Pendapatan hibah
b) Pendapatan dana darurat
c) Pendapatan lainnya.
b. Belanja Daerah
Belanja daerah menurut UU No. 33 Tahun 2004
merupakan semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran
yang bersangkutan.Belanja daerah adalah belanja yang tertuang
dalam APBD yang diarahkan untuk mendukung
penyelenggaraan pemeritahan, pembangunan dan pembinaan
kemasyarakatan. Menurut Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002,
belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam
periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah.
Belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah atau
kewajiban yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih
dalam periode satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh
pembayarannya kembali oleh pemerintah.20
Belanja daerah dikelompokkan ke dalam belanja tidak
langsung dan belanja langsung.Belanja tidak langsung
merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara tidak
langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.Sementara
20
Sony Yuwono dkk, Penganggaran Sektor Publik (Surabaya: Bayumedia
Publishing, 2005), 108
33
belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait
secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.
c. Pembiayaan daerah
Pembiayaan adalah semua penerimaan yang perlu
dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima
kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun
pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Selisih antara
penerimaan pembiayaan dengan pengeluaran pembiayaan dalam
periode tahun anggaran dicatat dalam pos pembiayaan neto.
Pembiayaan dikatagorikan menjadi dua, yaitu;
1) Penerimaan Pembiayaan: Penggunaan SILPA tahun lalu,
pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan
daerah yang dipisahkan, pinjaman dalam negeri kepada
pemerintah pusat, pinjaman dalam negeri kepada
pemerintah daerah lainnya, pinjaman dalam negeri
kepada lembaga keuangan bank, pinjaman dalam negeri
lainnya, penerimaan kembali pinjaman kepada
perusahaan negara, perusahaan daerah, dan pemerintah
daerah lainnya.
2) Pengeluaran Pembiayaan: pembentukan dana cadangan,
penyertaan modal pemerintah daerah pembayaran pokok
pinjaman dalam negeri kepada pemerintah daerah
lainnya, pemerintah pusat, lembaga keuangan bank, dan
lembaga keuangan non bank.21
21
Mahmudi, Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Edisi Dua
(Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2010), 76
34
C. Efektifitas
1. Pengertian Efektifitas
Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 efektifitas
merupakan pencapaian hasil program dengan target yang telah
ditentukan, yaitu dengan cara membandingkan pengeluaran
dengan hasil. Sementara Mardiasmo mengemukaan bahwa
efektifitas merupakan tingkat penca paian hasil program dengan
target yang ditetapkan.22
Sedangkan Georgopolous dan
Tannenbaum dalam bukunya yang berjudul Efektivitas
Organisasi (1985) mengemukakan bahwa Efektivitas ditinjau
dari sudut pencapaian tujuan, dimana keberhasilan suatu
organisasi harus mempertimbangkan bukan saja sasaran
organisasi tetapi juga mekanisme mempertahankan diri dalam
mengejar sasaran dengan kata lain, penilaian efektivitas harus
berkaitan dengan masalah sasaran maupun tujuan.Secara
sederhana efektifitas merupakan perbandingan outcome dengan
output.
Efektifitas adalah ukuran berhasil tidaknya suatu
organisasi dalam mencapai tujuannya.23
Apabila suatu
organisasi berhasil dalam mencapai tujuannya, maka organisasi
tersebut dikatakan telah berjalan efektif.Hal ini menunjukan
bahwa efektifitas sebagi suatu kegiatan yang tepat sasaran,
berdaya guna dan berhasil guna untuk mencapai tujuan dalam
implementasi suatau kegiatan tertentu. Efektifitas pada dasarnya
berhubungan dengan pencapaian tujuan atau target kegiatan.
22
Mardiasmo,Akuntansi Sektor Publik (Yogyakarta:ANDI, 2009), 4 23
Mardiasmo,Akuntansi Sektor Publik (Yogyakarta:ANDI, 2009),14
35
Efektifitas merupakan hubungan anatara keluaran dengan tujuan
atau sasaran yang harus dicapai.24
Kegiatan operasional ini
dikatakan efektif apabila proses kegegiatan mencapai tujuan dan
sasaran akhir kebijakan (spending wisely).25
Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa
efektifitas merupakan suatu konsep yang sangat penting karena
mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan suatu
organisasi dalam mencapai sasarannya atau dapat dikatakan
bahwa efektifitas merupakan tingkat ketercapaian tujuan dari
aktifitas-aktifitas yang telah dilaksanakan dibandingkan dengan
tingkat yang telah ditetapkan sebelumnya. Besarnya efektifitas
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:26
Tingkat efektifitas dapat diukur dengan
membandingkan antara rencana atau target yang telah
ditentukan dengan hasil yang dicapai, maka usaha atau hasil
pekerjaan tersebut itulah yang dikatakan efektif, namun jika
usaha atau hasil pekerjaan yang dilakukan tidak tercapai sesuai
dengan apa yang direncanakan, maka hal itu dikatakan tidak
efektif. Efektifitas adalah ukuran berhasil tidaknya suatu
organisasi mencapai tujuannya. Apabila suatu organisasi
tersebut dikatakan telah berjalan dengan efektif. Hal terpenting
24
Ihyaul Ulum, intellectual Capital: Konsep dan Kajian Empiris
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), 26 25
Deddi Nordiawan dan Ayuningtyas Hertanti, Akuntansi Sektor Publik
(Jakarta:SalembaEmpat, 2010), 161 26
Ihyaul Ulum, Intellectual Capital: Konsep dan Kajian Empiris 32
36
yang perlu di catat adalah bahwa efektivitas tidak
menyatakantentang berapa besar biaya yang telah di keluarkan
untuk mencapai tujuan tersebut.27
Biaya boleh jadi melebihi apa
yang telah di anggarkan boleh jadi dua kali lebih besar atau
bahkan tiga kali lebih besar. Efektifitas hanya melihat suatu
program atau kegiatan telah mencapai tujuan yang telah di
tetapkan.28
Efektifitas terkait dengan hubungan antara hasil
yang di harapkan dengan hasil yang sesunguhnya dicapai.
Efektifitas merupakan hubungan antara output dengan tujuan.
Maka semakin besar kontribusi output terhadap pencapaian
tujuan ,maka semakin efektif organisasi,program atau kegiatan.
2. Rasio Efektifitas Keuangan Daerah
Rasio efektifitas keuangan daerah otonom selanjutnya
disebut Rasio efektifitas menunjukkan kemampuan
pemerintahan daerah dalam merealisasikan pendapatan asli
daerah (PAD) yang direncanakan dibandingkan dengan target
yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Adapun rasio
efektifitas keuangan daerah dapat diformulasikan sebagai
berikut:
Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas
dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal 1
(satu) 100 persen.Namun, semakin tinggi rasio efektifitas
menggambarkan kemampuan daerah semakin baik.
27 Ihyaul Ulum, Audit Sektor Publik: Suatu Pengantar,28
28Mardiasmo,Efisiensi dan Efektifitas (Jakarta:ANDI, 2004), 134
37
Kriteria Rasio Efektifitas Keuangan Daerah menurut
Mohamad Mahsun adalah:29
“(a) Jika diperoleh nilai kurang
dari 100% ( x < 100%) berarti tidak efektif. (b) Jika diperoleh
nilai sama dengan 100% (x = 100%) berarti efektivitas
berimbang (c) Jika diperoleh nilai lebih dari 100% (x > 100%)
berarti efektif”
D. Efisiensi
1. Pengertian Efisiensi
Sesuai dengan Permendagri No 13 Tahun 2006 efisiensi
adalah hubungan antara masukan (input) dengan keluaran
(output), efisiensi merupakan ukuran apakah penggunaan
barang dan jasa yang dibeli dan digunakan oleh organisasi
perangkat pemerintahan dapat mencapai tujuan organisasi
tertentu. Efisiensi berhubungan erat dengan konsep
produktivitas.
Pengukuran efisiensi dilakukan dengan menggunakan
perbandingan antara output yang dihasilkan terhadap input yang
digunakan (cost of output).proses kegiatan operasional dapat
dikatakan efisien apabila suatu produk atau hasil kerja tertentu
dapat dicapai dengan penggunaan sumber daya dan dana yang
serendah-rendahnya.30
Efisiensi diukur dengan ratio antara
output dengan input. Semakin besar output di banding
29
Mohammad Mahsun, Pengukuran Kinerja Sektor Publik. (Yogyakarta:
BPFE, 2012), 187 30
Ihyaul ulum, Audit Sektor Publik: Suatu Pengantar (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2012), 26
38
input,maka semakin tinggi tingkat efisiensi suatu organisasi.31
Dengan demikian efisiensi dapat di rumuskan sebagai berikut:
Berdasarkan rumusan tersebut penilaian efisiensi
dikatakan sangat efisien apabila hasil perhitungan di bawah
60%. Karena efisiensi di ukur dengan membandingkan keluaran
dan masukan,maka perbaikan efisiensi dapat dilakukan dengan
cara:
(1) Meningkatkan output pada tingkat input yang sama.
(2) Meningkatkan output dalam proporsi yang lebih
besar daripada proporsi peningkatan input. (3)
Menurunkan input pada tingkatan output yang sama. (4)
Menurunkan input dalam proporsi yang lebih besar
daripada proporsi penurunan output. 32
Dalam pengukuran kinerja pengeloalaan organisasi sektor
publik, efisiensi dapat dibedakan atas: “(1) Efisiensi Alokasi,
Terkait dengan kemampuan untuk mendayagunakan
sumberdaya input pada tingkat efektivitas optimal. (2) Efisiensi
Teknis (Manajerial), Terkait dengan kemampuan
mendayagunakan sumberdaya input pada tingkat output
tertentu.” 33
31Mardiasmo,Efisiensi dan Efektifitas (Jakarta: ANDI, 2004), 133
32 Ihyaul ulum, Audit Sektor Publik: Suatu Pengantar (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2012), 27 33
Ihyaul ulum, Audit Sektor Publik: Suatu Pengantar, 28
39
2. Rasio Efisiensi Keuangan Daerah
Rasio Efisiensi Keuangan Daerah (REKD)
menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang
dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi
pendapatan yang diterima. Kinerja Keuangan Pemerintahan
Daerah dalam melakukan pemungutan pendapatan
dikategorikan efisien apabila rasio yang dicapai kurang dari 1
(satu) atau di bawah 100%. Semakin kecil Rasio Efisiensi
Keuangan Daerah berarti Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
semakin baik. Untuk itu pemerintah daerah perlu menghitung
secara cermat berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk
merealisasikan seluruh pendapatan yang diterimanya sehingga
dapat diketahui apakah kegiatan pemungutan pendapatannya
tersebut efisien atau tidak.
Efisiensi pengelolaan keuangan daerah merupakan
perbandingan antara realisasi belanja dan realisasi pendapatan
yang diterima. Rumus yang digunakan untuk menghitung rasio
ini adalah sebagai berikut :
Kriteria Rasio Efisensi Keuangan Daerah menurut
Mohamad Mahsun adalah:34
a) Jika diperoleh nilai kurang dari 100% ( x < 100%)
berarti efisien
34
Mohammad Mahsun, Pengukuran Kinerja Sektor Publik. (Yogyakarta:
BPFE, 2012), 187
40
b) Jika diperoleh nilai sama dengan 100% (x = 100%)
berarti efektivitas berimbang.
c) Jika diperoleh nilai lebih dari 100% (x > 100%)
berarti tidak efisien
E. Kemandirian Keuangan Daerah
1. Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah
Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004,
kemandirian keuangan daerah berarti pemerintah dapat
melakukan pembiayaan dan pertanggungjawaban keuangan
sendiri, melaksanakan sendiri dalam rangka asas desentralisasi.
Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan
Pemerintah Daerah dalam membiayai kegiatan pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah
membayar pajak dan retribusi sebagai sumber yang diperlukan
daerah.35
Kemandirian keuangan daerah ditenjukan oleh besar
kecilnya pendapatan asli daerah dibandingkan dengan
pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain, misalnya
bantuan pemerintah pusat ataupun pinjaman.36
Bantuan
pemerintah pusat dalam konteks otonomi daerah bisa dalam
bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi
Khusus (DAK).
Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa
kemandirian keuangan daerah adalah kemampuan pemerintah
35
Abdul Halim, Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah (
Jakarta : Salemba Empat, 2012), 232 36
Ihyaul ulum, Audit Sektor Publik: Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2012), 31
41
daerah dalam menggali dan mengelola sumber daya atau
potensi daerah yang dimilikinya secara efektif dan efisien
sebagai sumber utama keuangan daerah yang berguna untuk
membiayai kegiatan penyelengaraan pemerintah di daerah.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian
Keuangan Daerah
Tangkilisan mengemukakan bahwa terdapat faktor-
faktor yang mempengaruhi kemandirian keuangan daerah,
antara lain:
(1) Potensi ekonomi daerah, indikator yang banyak
digunakan sebagai tolak ukur potensi ekonomi daerah
adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). (2)
Kemampuan Dinas Pendapatan Daerah, artinya
kemandirian keuangan daerah dapat ditingkatkan secara
terencana melalui kemampuan atau kinerja institusi atau
lembaga yang inovotif dan pemanfaatan lembaga
Dispenda untk meningkatkan penerimaan daerah. 37
3. Pola Hubungan dan Tingkat Kemandirian Kuangan Daerah
Menunjukkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam
membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan
retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah.
Kemandirian keuangan daerah ditunjukan oleh besar kecilnya
pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah
yang berasal dari sumber yang lain, misalnya bantuan
37
Tangkilisan, Hessel Nogi S, Manajemen Publik (Jakarta: Gramedia Widia
Sarana Indonesia, 2007), 89-92
42
pemerintah pusat ataupun dari pinjaman. Berikut Rasio untuk
mengukur tingkat kemandirian keuangan daerah.38
( )
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah menggambarkan
Ketergantungan daerah terhadap Pendapatan Transfer (sumber
dana ekstern). Transfer dana dari pemerintah pusat ini dilakukan
dengan mekanisme dana perimbangan, yang terdiri dari Dana
Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana
Alokasi Khusus (DAK). Transfer dari pemerintah pusat atau
disebut juga dengan perimbangan keuangan ini merupakan
suatu sistem pembiayaan dalam kerangka Negara kesatuan yang
mencangkup pembagian keuangan pemerintah pusat dan daerah.
Semakin tinggi Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap
bantuan pihak ekstern semakin rendah dan demikian pula
sebaliknya, sehingga kinerja keuangan daerah semakin baik.
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah juga menggambarkan
tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah.
Semakin tinggi Rasio Kemandirian Keuangan Daerah, semakin
tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan
retribusi daerah yang merupakan komponen utama Pendapatan
Asli Daerah. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan
retribusi daerah menggambarkan bahwa tingkat kesejahteraan
masyarakat semakin tinggi. Sebagai pedoman dalam melihat
38
Abdul Halim, Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah (
Jakarta : Salemba Empat, 2012), 128
43
pola hubungan dengan kemampuan daerah (dari sisi keuangan )
dapat dikemukakan tabel sebagai berikut :
Tabel 2.1
Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah39
Kemampuan
Keuangan
Kemandirian
(%)
Pola Hubungan
Rendah Sekali 0%-25% Instruktif
Rendah 25%-50% Konsultatif
Sedang 50%-75% Partisipatif
Tinggi 75%-100% Delegatif
1) Pola hubungan instruktif, di mana peranan pemerintah pusat
lebih dominan dari pada kemandirian pemerintah daerah
(daerah yang tidak mampu melaksanakan otonomi daerah).
2) Pola hubungan konsultatif, yaitu campur tangan pemerintah
pusat sudah mulai berkurang karena daerah dianggap sedikit
lebih mampu melaksanakan otonomi daerah.
3) Pola hubungan partisipatif, peranan pemerintah pusat sudah
mulai berkurang,
mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya
mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi daerah.
39
Hermi Oppier, “Analisis Pengaruh Pelaksanaan Otonomi Daerah
Terhadap Keuangan Daerah Kabupaten Maluku Tenggara”, Jurnal Benchmark
Volume II (November, 2013),82
44
4) Pola hubungan delegatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat
sudah tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dan
mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah.
F. Kajian Teori Yang Digunakan Menurut Prespektif Islam
1. Keuangan Daerah Berdasarkan Prinsip Keuangan Publik
Islam
Menurut ulama Islam klasik, seperti Abu Ubaid yang
menulis kitab Al-Amwal, ungkapan yang digunakan olehnya
mengenai ekonomi publik adalah: sunuful amwaal allati
yahliihaa al-a’immah liirro’iyyah, yang artinya beberapa
macam bentu kekayaan yang dikelola oleh pemerintah oleh
rakyat.40
Nurul Huda menyimpulkan bahwa terdapat empat
konsep dalam definisi di atas, yaitu amwal (harta kekayaan),
wilayah (pengelolaan), imamah (pemerintah), dan ro’iyyah
(rakyat).
Yang dimaksud dengan amwal adalah kekayaan atau
hak milik yang diatur oleh pemerintah untuk kepentingan
rakyat, sedangkan wilayah dapat diartikan sebagai konsep
perwalian/pengelolaan kekayaan publik. Sedangkan yang
dimaksud dengan imamah dan ro’iyyah adalah pemerintah dan
rakyat, dimana syariat mutlak suatu pemerintahan adalah
kepercayaan (amanah).Otoritas publik diharuskan memerintah
berdasarkan kita Allah, bertanggung jawab dan adil, jika
40
Nurul Huda dan Ahmad Muti, Keuangan Publik Islam Pendekatan Al-
Kharaj (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), 9
45
pemerintah dapat memenuhi persyaratan tersebut, maka wajib
bagi rakyat untuk mematuhinya.41
Sementara keuangan publik menurut ulama kontemporer
diantaranya oleh As-syayiji, yaitu kumpulan prinsip dan kaidah
kekayaan publik yang diambil dari sumber syariat Islam yaitu
Al-Quran, sunah dan ijma yang menjelaskan dan mengatur
aktivitas ekonomi publik serta temuan para pakar yang berupa
aturan dan solusi yang diterjemahkan dari sumber dasar tersebut
sesuai waktu dan tempat.42
Keuangan publik berhubungan dengan peran Negara
dalam menganalisa dampak-dampak perpajakan dalam
pembelanjaan Negara terhadap situasi ekonomi individu dan
lembaga, juga menyelidiki damapaknya terhadap ekonomi
secara keseluruhan.43
Dalam sejarah islam, keuangan publik
berkembang bersamaan dengan pengembangan masyarakat
muslim dan pembentukan Negara islam oleh Rosulullah SAW.,
kemudian diteruskan oleh para sahabat. Sebelum Negara
dibentuk perintah-perintah wahyu menegaskan perintah
menyantuini orang miskin secara sukarela. Sebagaimana salah
satu firman Allah SWT., dalam Q.S Al-Ma’arij ayat 24-25:
41
Nurul Huda dan Ahmad Muti, Keuangan Publik Islam Pendekatan Al-
Kharaj (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), 9-10 42
Nurul Huda dan Ahmad Muti, Keuangan Publik Islam Pendekatan Al-
Kharaj (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), 10 43
Sabahuddin Azmi, Menimbang Ekonomi Islam (Bandung: Nuansa, 2005),
25
46
Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian
tertentu, Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang
yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau
meminta) (Q.S Al- Ma’arij : 24-25).44
Abu Ubaid berpendapat bahwa andil pemerintah/Negara
begitu besar dalam perekonomian, karena tugas
pemerintah/Negara adalah menegakan kehidupan sosial dan
menumbuhkan kepedulian sosial. Melalui peraturan
administrasi keuangan Negara secara efektif, sehingga
penyediaan kebutuhan pokok, fasilitas umum, distribusi
pendapatan dapat menjamin kemaslahatan umat yang pada
akhirnya terselenggara kegiatan ekonomi yang berkeadilan.Abu
Ubaid juga berpendapat, bahwa pemerintah harus menjaga
keamanan, meningkatkan kesejahtraan, melindungi hak-hak
rakyat, mengatur kekayaan publik, dan menjamin terpeliharanya
maqashid syariah.45
Menurut M. Umar Chapra, efisiensi da efektifitas
merupakan landasan pokok dalam kebijakan pengeluara
pemerintah. Dalam ajaran Islam tersebut dipandu oleh kaidah-
kaidah syariah dan penentuan skala perioritas.46
Umar Chapra
menjelaskan bahwa pemerintah Islam wajib meminimalkan
pinjaman dengan menegakan displin dalam program
pengeluaran dan tidak melampauinya.
44
Tim penerjemah Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an
Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: Diponegoro,
2005), 456 45
Nurul Huda dkk, Keuangan Publik Islam Pendekatan Teori dan Sejarah
(Jakarta: Kencana, 2012), 6 46
Nurul Huda dkk, Keuangan Publik Islam Pendekatan Teori dan Sejarah,
168
47
2. Prinsip Pendapatan Negara Menurut Sistem Ekonomi Islam
Dalam Sistem Ekonomi Islam ada beberapa prinsip yang
harus ditaati oleh Ulil Amri dalam melaksanakan pemungutan
pendapatan Negara, yaitu sebagai berikut:
a. Harus Ada Nash yang Memerintahnya
Setiap pendapatan dalam Negara Islam harus
diperoleh sesuai dengan hokum syara’ dan juga disalurkan
sesuai hukum-hukum syara’.47
Prinsip kebijakan
penerimaan Negara yang pertama adalah harus ada Nash
(Al-Quran dan Hadis) yang memerintahnya, sebagaimana
firman Allah SWT.,
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian
yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada
harta orang itu dengan (jalan berbuat dosa), padahal
kamu mengetahui (Q.S Al-Baqarah [2]:188)48
b. Harus ada pemisahan muslim dan non muslim
Islam membedakan antara subjek zakat dengan pajak
muslim dengan non muslim. Zakat misalnya hanya
bersumber dari kaum muslim dan hanya digunakan untuk
47
Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, Edisi
terjemahan oleh Ahmad S, dkk (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002), 115 48
Tim penerjemah Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an
Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: Diponegoro,
2005), 23
48
kepentingan kaum muslim. Sedangkan kepada non
muslimdipungut jizyah.Hal tersebut tercantum dalam firman
Allah QS. At-Taubah [9]: 29
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada
Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan
mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan
oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan
agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang)
yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai
mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka
dalam Keadaan tunduk (Q.S At-Taubah: 29).49
c. Hanya golongan kaya yang menanggung beban
Prinsip kebijakan pemasukan terpenting ketiga adalah
bahwa sistem zakat dan pajak harus menjamin bahwa hanya
golongan kaya dan makmur yang mempunyai kelebihan yang
memiliki beban utama. Hal ini sesuai firman Allah SWT., :
....
49
Tim penerjemah Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an
Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: Diponegoro,
2005), 27
49
Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka
nafkahkan. Katakanlah: yang lebih dari
keperluan.”demikian Allah menerangkan ayat-ayatnya
kepadamu supaya kamu berpikir. (QS Al-Baqarah [2]:
219)50
d. Adanya tuntutan kemaslahatan umum
Prinsip kebijakan penerimaan Negara keempat adalah
adanya tuntutan kemaslahatan umum, yang mesti didahulukan
untuk mencegah kemudharatan. Dalam keadaan tertentu
(darurat), Ulil Amri wajib mengadakan kebutuhan tersebut,
besar kemungkinan akan datang kemudharatan yang lebih besar
lagi. Atas dasar tuntutan umum inilah Negara boleh
mengadakan suatau jenis pendapatan tambahan.
G. Penelitian yang Relevan
Tabel 2.2
Penelitian yang Relevan
No
.
Nama Peneliti Judul
Peneliti
Hasil Penelitian
1. Dori saputra,
Program
Studi
Akuntansi,
Fakultas
Ekonomi
Analisis
kemandirian
dan
efektivitas
keuangan
daerah Pada
Hasil penelitian tersebut
menunjukan bahwa secara
rata-rata rasio kemandirian
rendah sekali karena berapada
pada 0%-25% dan trend
kemandirian keuangan daerah
50
Tim penerjemah Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an
Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: Diponegoro,
2005),
50
Universitas
Negeri
Padang
(2014)
kabupaten
dan kota di
propinsi
Sumatera
barat.
menandakan cenderung
menurun berada pada 95.3%
kurang dari 100%. Kemudian
untuk rasio efektifitas sangat
efektif karna berada pada
kecenderungan sebesar
109,8% dan trend efektifitas
cenderung naik berada diatas
100%.
2. Vera Sri
Endah,
Fakultas
Ekonomi
Universitas
Sam
Ratulangi
(2014)
Analisis
Efisiensi
Dan
Efektivitas
Serta
Kemandiria
n
Pengelolaan
Keuangan
Daerah Di
Kabupaten
Minahasa
Utara
Dalam penelitian ini
digunakan analisis rasio
efektifitas dan rasio efisiensi
untuk melihat sejauh mana
pemerintah kabupaten
minahasa utara mengelola
keuangan yang dimiliki dan
mampu meningkatkan
perekonomiannya.Penghitunga
n rasio yang dilakukan
menghasilkan angka efisiensi
rata-rata diatas 75 persen
selama tahun penelitian (2009
- 2013), sementara untuk
efektivitas kinerja mencapai
angka rata-rata 90 persen per
tahunnya.
51
Stevany
Hanalyna
Dethan,
Fakultas
Ekonomi
Universitas
Mahasaraswat
i Mataram
(2016)
Efektivitas
Dan
Efisiensi
Pengelolaan
Keuangan
Daerah
Provinsi
Nusa
Tenggara
Barat
Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa tingkat
efektivitas pengelolaan
keuangan daerah Provinsi
Nusa Tenggara Barat berada
pada tingkat pengelolaan
keuangan daerah yang cukup
efektif dan efektif. Sementara
itu, tingkat efisiensi
pengelolaan keuangan daerah
Provinsi Nusa Tenggara Barat
berada pada tingkat
pengelolaan keuangan daerah
yang tidak efisien dan kurang
efisien.
H. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah dugaan sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, dikatakan sementara karena baru didasari teori bukan
fakata. Soeratno dan Lincolin Arsyad mengungkapkan bahwa:
Hipotesis berasal dari kata hipo (hypo) dan tesis.Hipo berarti
kurang dari dan teas berarti pendapat.Jadi hipoteisi adalah suatu
pendapat atau kesimpulan yang sifatnya masih sementara belum
bener-benar berstatus sebagai tesis. Sifat sementara dari
hipoteisis ini mempunyai arti bahwa hipoteisis dan diubah atau
diganti dengan hipotesis lain yang lebih tepat. Hal ini
dimungkinkan karena hipotesis yang diperoleh biasanya
52
tergantug pada masalah yang diteliti dan konsep-konsep yang
digunakan.51
Hipotesis dari rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:
H1 = Diduga kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Serang
berdasarkan tingkat efektifitas Keuangan Daerah Kabupaten
Serang selama periode 2011-2016 belum efektif ,
H2 = Diduga kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Serang
berdasarkan tingkat efisien Keuangan Daerah Kabupaten Serang
selama periode 2011-2016 belum efisien.
H3 = Diduga kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Serang
berdasarkan tingkat kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten
Serang selama periode 2011-2016 belum mencapai
kemandirian.
51
Soeratno & Lincolin Arsyad, Metodolologi Penelitian untuk Ekonomi dan
Bisnis (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2008), 19