BAB II LANDASAN TEORI II.1. Pengertian dan Kewajiban ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-2-00545-AK...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI II.1. Pengertian dan Kewajiban ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-2-00545-AK...
6
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Pengertian dan Kewajiban Membayar Pajak
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang No. 28 Tahun 2007 pengertian Pajak adalah : kontribusi wajib kepada Negara
yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-
Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Menurut Pardiat (2008),UU. No 6 Tahun 1983 yang sebagaimana telah di ubah
terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 dan UU No. 7 Tahun 1983 yang telah di ubah
terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008 menyebutkan UU. Pajak (KUP dan PPh)
dilandasi falsafah Pancasila Tahun 1945 yang didalamnya tertuang ketentuan yang
menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai
kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan
negara dan pembangunan nasional.
Sistem self assessment dalam Undang-Undang perpajakan dinyatakan dalam
Pasal 12 UU KUP, yaitu : setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak
menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak (SKP).
7
II.2 Fungsi dan Asas Pengenaan Pajak
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara,
khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber
pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran
pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka menurut Mardiasmo (2006), pajak
mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
• Fungsi anggaran (budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan
pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan
pahak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai,
belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan,
uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi
pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan
sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama
diharapkan dari sektor pajak.
• Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan
fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya :
dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri,
diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi
produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk
luar negeri.
8
• Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang
berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa
dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan
pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efesien.
• Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua
kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat
membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat.
• Asas Pengenaan Pajak
Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang
pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan
negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Untuk
dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasar-dasar
yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak.
Menurut Mardiasmo (2008), terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh
negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak,
khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering
digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah:
• Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence
principle), berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk
9
kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident)
atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan
berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana
penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara
yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduk-nya
akan menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan
pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan
yang diperoleh di luar negeri (world-wide income concept).
• Asas sumber, Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas
suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya
apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh
orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di
negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa
status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang
menjadi landasan pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal
dari negara itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari
penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah
Indonesia.
• Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan
(nationality/citizenship principle). Dalam asas ini, yang menjadi landasan
pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang
memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari
mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas
10
domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan
dengan cara mengga¬bungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak
atas world wide income.
II.3 PAJAK PENGHASILAN
II.3.1. Pengertian
Undang-Undang Pajak Penghasilan No.7 Tahun 1983 yang telah diubah
terakhir menjadi UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 Pasal 1
mendefinisikan, “Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek
pajak atas penghasilan yang diterimanya atau diperolehnya dalam tahun pajak”.
II.3.2. Subjek Pajak Penghasilan
Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan No.7 Tahun 1983 yang telah
diubah terakhir menjadi UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 tentang pajak
penghasilan, subyek pajak penghasilan adalah sebagai berikut:
1. Subyek pajak pribadi yaitu setiap orang yang tinggal di Indonesia atau tidak
bertempat tinggal di Indonesia yang mendapatkan penghasilan dari indonesia.
2. Subyek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari seseorang yang
sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka
pendapatan itu dikenakan pajak.
3. Subyek pajak badan yaitu perkumpulan orang dan/atau modal baik melakukan
usaha maupun tidak melakukan kegiatan usaha meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah
dengan nama dan bentuk usaha apapun seperti firma, kongsi, koperasi, dana
pensiun, perkumpulan, persekutuan, yayasan, organisasi massa, organisasi
11
sosial politik, atau organisasi sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk
badan lainnya.
4. Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari
183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau badan yang tidak didirikan
dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di Indonesia.
Sedangkan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan No.7 Tahun 1983
yang telah diubah terakhir menjadi UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008
Pasal 4 juga menjelaskan tentang apa yang tidak termasuk obyek pajak, antara
lain sebagai berikut:
1. Badan perwakilan negara asing.
Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat - pejabat lain dari
negara asing dan orang - orang yang diperbantukan kepada mereka yang
bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat bukan
warga negara indonesia dan negara yang bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik.
2. Organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan
dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi
tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Contoh: WTO, FAO,
UNICEF.
3. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan
menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak
memperoleh penghasilan dari Indonesia.
12
II.3.3. Objek Pajak Penghasilan
Undang-Undang Pajak Penghasilan No.7 Tahun 1983 yang telah diubah
terakhir menjadi UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008, Objek Pajak
Penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP), baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam
bentuk apapun termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, penghargaan dan labausaha.
c. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
2) keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya
karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota.
3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, atau pengambilalihan usaha.
4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan
13
atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
5) keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau pemodal dalam
perusahaan pertambangan.
d. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
e. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang.
f. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi.
g. royalty atau imbalan atas penggunaan hak.
h. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
i. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
j. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP. No. 130/2000).
k. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
l. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
m. premi asuransi.
n. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
dari Wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
14
o. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak.
p. penghasilan dari usaha berbasis syariah.
q. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan (SE.04/PJ.42/2002)
r. surplus Bank Indonesia.
Objek Pajak menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan No.7 Tahun 1983 yang
telah diubah terakhir menjadi UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 yang dikenakan
PPh Pasal 4 ayat (2) final atas penghasilan, yakni:
a. bunga obligasii dan Surat Utang Negara.
b. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek.
c. penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan.
d. Hadiah undian.
e. Bunga simpanan koperasi.
f. Penghasilan dari transaksi derivatif.
g. Penghasilan dari usaha real estate.
h. Deviden yang diterima WPOPDN sebesar 10% (sepuluh persen).
Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan No.7 Tahun 1983 yang telah
diubah terakhir menjadi UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008, yang tidak termasuk
Objek Pajak, antara lain :
1. a. Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.
15
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau
badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
2. Warisan.
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti
saham atau sebagai pengganti penyertaan modal.
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib
Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, WP
yang dikenakan secara final atau WP yang menggunakan norma perhitungan
khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan
asuransi beasiswa.
6. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai WP Dalam Negeri, koperasi, BUMN atau BUMD dari penyertaan
modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
dengan syarat:
a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan
b. bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen,
kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah
16
25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor. (”dan harus
mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut” dihapus pada
perubahan UU.No.36 Tahun 2008);
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan , baik yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun pegawai;
8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-
bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan,
firma dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi
kolektif;
10. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana selama 5
(lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha
(berlaku s.d. 31 Des 2008);
11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha
atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
a. merupakan perusahaan mikro kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sector-sektor usaha diatur atau berdasarkan PMK; dan
b. saham tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
12. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur atau
berdasarkan PMK;
17
13. Sisa lebih diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang
telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali
dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak
diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan PMK;
14. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan PMK.
II.3.4. Tarif Pajak Penghasilan
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak
badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap sampai dengan akhir 2008 adalah
sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tahun Sampai 2008 Tarif Pajak
Rp. 0,00 – Rp. 50.000.000,00 10%
Rp 50.000.000,00 – Rp. 100.000.000,00 15%
Di atas Rp. 100.000.000,00 30%
Tabel. 2.1. Penghasilan Kena Pajak Badan
Dan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan No.7 Tahun 1983 yang
telah diubah terakhir menjadi UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008
18
menjelaskan perubahan tarif progresif menjadi tarif tunggal pada Pasal 17 ayat (1)
huruf b UU. No.36 Tahun 2008 yakni sebesar 28%.
WP badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling
sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu
lainnya dapat memperoleh tariff sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada
tarif sebagaimana dimaksud diatas.
II.4. Kewajiban Perpajakan PPh Badan
II.4.1. Kewajiban Pembukuan
a. WP Badan dalam negeri, semuanya Wajib pembukuan, oleh karena itu
dasar pengisian SPT. PPh. Badan adalah pembukuan WP, Bentuk usaha
tetap juga diwajibkan menyelenggarakan pembukuan sesuai Pasal 28
UU KUP.
b. Pasal 14 (5) UU no. 36 Tahun 2008
Apabila dilakukan pemeriksaan pajak, ternyata tidak atau tidak
sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan, maka penghasilan netonya
dihitung berdasarkan norma perhitungan penghasilan neto dan
peredaran brutonya dihitung dengan cara diatur dengan PMK.
c. Pasal 39 ayat (1) huruf f, g, h, UU KUP.
Setiap orang dengan sengaja:
19
1) Memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau dokumen yang palsu
dan dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan
keadaan yang sebenarnya;
2) Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia,
tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau
dokumen lain;
3) Tidak menyimpan buku, catatan atau dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil
pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik
atau diselenggarakan secara program aplikasi online di Indonesia
selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia.
Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara
dipidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama enam tahun dan
denda paling sedikit dua kali dan paling banyak empat kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar.
II.4.2. Kewajiban Menyampaikan SPT Tahunan PPh
Kewajiban menyampaikan SPT. PPh Tahun 2008, ketentuan formal sudah
berdasarkan UU. No.28 Tahun 2007 (Perubahgan Ketiga UU KUP), sedangkan
ketentuan materialnya masih berdasarkan UU No.36 Tahun 2008 (Perubahan
Keempat UU. PPh. 1984)) mulai berlaku 1 Januari 2009 dapat digunakan untuk
menyusun tax planning tahun 2009.
20
Berdasarkan Pasal 4 ayat (4b) UU. No.28 Tahun 2007, dalam hal laporan
keuangan diaudit Akuntan Publik tetapi tidak dilampirkan pada SPT. PPh, maka
dianggap SPT tidak lengkap dan tidak jelas atau dianggap SPT. PPh. tidak
disampaikan.
Tata cara pengambilan, pengisian, penandatanganan dan penyampaian SPT
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No:
181/PMK.03/2007, antara lain :
a. Formulir SPT dapat diambil langsung di KPP, eSPT dapat diambil secara
langsung oleh WP atau dengan cara mengunduh format SPT atau aplikasi e-
SPT dari situs DJP (www.pajak.go.id)
b. SPT yang disampaikan ke KPP wajib ditandatangani oleh WP atau Kuasa WP,
dengan cara : tanda tangan biasa, tanda tangan stempel, tanda tangan elektronik
atau digital.
c. Penyampaian SPT ke KPP dapat dilakukan :
1) Secara langsung diberikan tanda penerimaan surat;
2) Melalui pos dengan bukti pengiriman surat.
3) Melalui perusahaan hasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman
surat
4) e-Filling melalui Application Service Provider (ASP) dengan bukti
penerimaan elektronik.
d. Batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh:
1) WPOP paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak
2) WP badan paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak.
21
II.4.3. Pembayaran dan Pelaporan PPh Pasal 25
Peraturan Dir. Jen. Pajak No. PER-22/PJ/2008, 21 Mei 2008. Pembayaran
PPh. Pasal 25 dilakukan melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos Persepsi dengan
system pembayaran secara on-line :
a. Harus dibayar paling lambar tanggal 15 bulan berikutnya;
b. Tanggal jatuh tempo pembayaran bertepatan dengan hari libut termasuk Sabtu,
pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya;
c. Pembayaran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
d. SSP merupakan bukti pembayaran pajak dan dianggap sah apabila telah
divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN).
e. PPh. Pasal 25 Rupiah yang dibayar pada Bank Persepsi atau Kantor Pos
Persepsi, dan SSPnya telah mendapat validasi dengan NTPN, maka SPT Masa
PPh Pasal 25 dianggap telah disampaikan ke KPP sesuai dengan tanggal
validasi yang tercantum pada SSP.
f. PPh. Pasal 25 Nihil, PPh. Pasal 25 yang dibayar dalam USD, PPh. Pasal 25
yang belum on-line; SPT. Masa PPh. Pasal 25 (SSP lembar ke 3) wajib
dilaporkan sebelum tanggal 20 bulan berikutnya.
g. Terlambat membayar PPh. Pasal 25 secara on-line tetapi sebelum tanggal
laporan, dikenai sanksi bunga sebesar 2%.
h. Terlambat membayar PPh. Pasal 25 secara on-line setelah tanggal laporan,
dikenai sanksi 2% perbulan dan denda sebesar Rp. 100.000,-.
22
II.4.4. Kewajiban Memotong atau Memungut Pajak
1. Memotong PPh-Pihak lain.
Wajib Pajak Badan dan BUT, wajib melakukan pemotongan PPh. Pasal 21,
PPh. Pasal 23, PPh. Pasal 26 dan PPh. Pasal 4 ayat (2) Final, PPh. Pasal 15;
a. Pasal 8 PP. No.138 Tahun 2000, terutang pada akhir bulan dilakukannya
pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya pernghasilan yang
bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu; kecuali
untuk pembayaran ke kontraktor dilakukan pada saat pembayaran termin.
b. Disetorkan ke Kas Negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan
kemudian dilaporkan (SPT.Masa PPh. Pasal 21/26, SPT Masa. PPh. Pasal
23/26, SPT. Masal Ph. Pasal 4 (2) Final, SPT. Masa PPh. Pasal 15) Paling
lambat tanggal 20.
c. SPT. Masa PPh Pasal 21, wajib dilaporkan walaupun NIHIL.
d. Sanksi terlambat menyetorkan atau terlambat melaporkan sebesar Rp.
100.000,-.
e. Terlambat menyetorkan dikenakan sanksi bunga 2% perbulan.
2. Pajak Pertambahan Nilai.
Bagi WP Badan dan BUT yang sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak (PKP), wajib melaporkan SPT. Masa PPN walaupun NIHIL; mulai tahun
2008 tidak atau terlambat menyampaikan SPT. Masa PPN dikenakan sanksi
denda sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
3. SPT. Tahunan PPh. Pasa; 21/26 (Tahun Takwin).
23
Bagi WP Badan dan BUT wajib menyampaikan SPT. Tahunan PPh. Pasal
21/26, walaupun NIHIL. Paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya.
II.4.5. Kompensasi Rugi Fiskal
Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU. No. 10 Tahun 1994 tidak berubah s.d.
UU. No.36 Tahun 2008, Rugi Fiskal dapat dikompensasikan dengan penghasilan
mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan lima tahun, dimasukkan
dalam lampiran khusus SPT. Tahunan PPh :
1. Berdasarkan SPT-WP, jika belum dilakukan pemeriksaan pajak.
2. Berdasarkan SKP (hasil pemeriksaan), walaupun WP mengajukan keberatan
tapi belum ada keputusan keberatan.
3. Berdasarkan keputusan keberatan, walaupun WP mengajukan banding ke
Pengadilan Pajak tapi belum ada Putusan Pengadilan Pajak.
4. Berdasarkan Putusan Pengadilan Pajak, walaupun WP mengajukan peninjauan
kembali ke Mahkamah Agung tapi belum ada Putusan dari Mahkamah Agung.
5. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung.
SE-03/PJ.3/2000, Rugi Usaha di LN tidak dapat dikompensasikan dengan
penghasilan DN. Dan WP Pembukuan yang penghasilannya dikenakan PPh-tidak
final (PPh dengan tarif umum), apabila menderita kerugian fiskal tidak dikenakan
PPh, dapat dikompensasikan selama lima tahun; dan dapat mengurangi
perhitungan PPh Pasal 25 tahun berikutnya.
24
II.4.6. Transaksi Antara Pihak-Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa
(Satu Group)
Apabila terjadi transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa, WP wajib mengisi lampiran khusus dalam mengisi
SPT. Tahunan PPh. Badan, untuk menjelaskan metode penentuan harga
transfer.
Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan No.7 Tahun
1983 yang telah diubah terakhir menjadi UU Pajak Penghasilan No. 36
Tahun 2008 Pasal 18 ayat 4, hubungan istimewa dianggap apabila:
a. WP mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) pada WP lain, atau hubungan
antara WP dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima
persen) pada dua atau lebih, demikian pula hubungan antara dua WP
atau lebih yang disebut terakhir.
b. WP menguasai WP lainnya atau dua atau lebih WP berada dibawah
penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung.
c. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan atau kesamping satu derajat.
Dan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan Tahun 1984
yang telah diubah terakhir menjadi UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun
2008 Pasal 18 menyebutkan.
a. Ayat (3), Dirjen. Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan pengurang serta menentukan kembali besarnya
25
penghasilan dan pengurang serta menentukan utang sebagai modal
untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi WP yang
mempunyai hubungan istimewa dengan WP lainnya sesuai dengan
kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi hubungan
istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antar pihak
yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya plus,
atau metode lainnya.
b. Ayat (3a) : Direktur Jendral Pajak berwenang melakukan perjanjian
dengan WP dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain
untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa, yang berlaku selama suatu periode tertentu dan
mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode
tertentu tersebut berakhir.
Pasal 9 ayat (1f) UU No.36 Tahun 2008, tidak boleh dikurangkan
jumlah yang melebihi kewajiban yang dibayarkan kepada pemegang saham
atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
II.5. Biaya Fiskal dan Non Fiskal
Berdasarkan UU. PPh. Pasal 6 Tahun 1984 mengenai biaya-biaya yang dapat
dijadikan pengurang pajak, telah mengalami perubahan pada UU. No 36 Tahun 2008
yakni berisi :
26
1. Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha
tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk :
a. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, antara lain :
1) biaya pembelian barang;
2) biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium,
bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
3) bunga, sewa, royalty;
4) biaya perjalanan;
5) biaya pengolahan limbah;
6) premi asuransi;
7) biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan;
8) biaya administrasi; dan
9) pajak kecuali pajak penghasilan.
b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortiasasi
atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
dan Pasal 11 A (UU. No.10/1994);
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendirinya telah disyahkan oleh Menteri
Keuangan (UU. No.10/1994);
27
d. Kerugian karena penjualan atau peralihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan (UU. No.10/1994);
e. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing (UU. No.10/1994);
f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia
(UU. No.10/1994);
g. Biaya bea siswa, magang dan pelatihan (UU.No.10/1994);
h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat (UU. No.17/2000
yang mengalami perubahan menjadi UU.No.36/2008) :
1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2) wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jendral Pajak;
3) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara, atau adanya perjanjian
tertulis mengenai penghapusan piutang/ pembebasan utang antara kreditur
dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan
umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya
telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
4) syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan
piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana penghapusan dalam pasal 4
ayat (1) huruf k. yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan PMK.
28
i. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ditetapkan
dengan PP (UU.No.36/2008).
j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan PP (UU.No.36/2008).
k. Biaya pembangunan infrastruktur social yang ketentuannya diatur dengan PP
(UU.No.36/2008).
l. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan PP
(UU.No.36/2008); dan
m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dalam
PP (UU.No.36/2008).
2. Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut berturut-turut sampai dengan 5 (lima)
tahun (UU. No.7/1983)
3. Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan
berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 7.
Dan berdasarkan Pasal 9 UU PPh. 1984 mengenai biaya-biayan yang tidak dapat
dijadikan pengurang pajak, juga mengalami perubahan pada UU.No.36 2008, yakni :
1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri
dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan :
a) Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti deviden,
termasuk deviden yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang
polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi (UU.No.10/1994);
29
b) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang
saham, sekutu atau anggota (UU. No.10/1994);
c) Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali (UU.No.36/2008) :
1) cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan
pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
2) cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan social yang
dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3) cadangan penjamin untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
4) cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
5) cadangan biaya penanaman kembali usaha kehutanan; dan
6) cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah
industry, yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan
PMK.
d) Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi pribadi,
kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebai
penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan (UU.No.10/1994);
e) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman
bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan
kenikmatan didaerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan
yang diatur dengan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (UU. No.17/2000);
30
f) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham
atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan (UU. No.7/1983);
g) Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b, kecuali sumbangan
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i, huruf j, huruf k,
huruf l, dan huruf m serta zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan PP (UU.No.36/2008);
h) Pajak Penghasilan (UU.No.7/1983);
i) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib
Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya (UU.No.10/1994);
j) Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham (UU.No.10/1994);
k) Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di
bidang perpajakan (UU. No.10/1994)
2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak diperbolehkan untuk
dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11 A (UU. No.10/1994).
31
Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung
besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap
(Pasal 4 PP. No.138 Tahun 2000) termasuk :
a. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan
merupakan Objek Pajak;
b. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang pengenaan
pajaknya bersifat final;
c. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dikenakan
pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan;
d. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali pajak atas
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pajak
Penghasilan tetapi tidak termasuk deviden sepanjang Pajak Penghasilan tersebut
ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk pemotongan pajak; dan
e. Kerugian dari harta atau utang yang tidak dimiliki dan tidak dipergunakan dalam
usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
merupaka Objek Pajak.
II.6. Manajemen Pajak
Manajemen pajak adalah suatu upaya dalam melakukan penghematan pajak tanpa
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sophar Lumbatorun
seperti dikutip oleh Suandy (2008) mendefinisikan, “Manajemen pajak adalah sarana
32
untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang
dibayarkan dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang
diharapkan”.
Tujuan manajemen pajak adalah menerapkan peraturan perpajakan secara benar
dan mencapai laba serta likuiditas yang diharapkan, dan dapat dicapai melalui fungsi-
fungsi manajemen pajak yang terdiri dari :
II.6.1. Perencanaan pajak (Tax Planning)
Mengacu pada pendapat Suandy (2008), perencanaan pajak adalah langkah
awal dalam manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan
penelitian terhadap peraturan perpajakan, agar dapat diketahui jenis tindakan
penghematan pajak. Dan untuk meminimumkan kewajiban pajak dapat dilakukan
dengan berbagai cara baik yang masih memenuhi ketentuan perpajakan (lawful)
maupun yang melanggar peraturan perpajakan (unlawful), dan dengan
memanfaatkan hal-hal yang tidak diatur (loopholes).
Tujuan perencanaan pajak adalah merekayasa agar beban pajak (tax
burden) dapat ditekan serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan yang
ada, maka perencanaan pajak (tax planning) ini sama dengan penghindaran pajak
(tax avoidance) karena keduanya memaksimalkan penghasilan setelah pajak (tax
after return) karena pajak merupakan unsur pengurang laba bagi Wajib Pajak.
33
II.6.2. Pelaksanaan kewajiban Pajak (Tax Implementation)
Pelaksanaan kewajiban pajak harus memenuhi peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku agar perencanaan pajak tidak menyimpang dari
tujuan manajemen pajak. Oleh karena itu, hal-hal yang perlu diketahui dan
diperhatikan, yakni :
a. Memahami ketentuan peraturan perpajakan.
b. Menyelenggarakan pembukuan yang sesuai dengan syarat-syarat yang telah
ditentukan.
c. Melaksanakan kewajiban sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku.
II.6.3. Pengendalian pajak (Tax Control)
Pengendalian pajak bertujuan untuk memastikan bahwa kewajiban pajak
telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan dan telah memenuhi
persyaratan formal dan material. Dalam pengendalian pajak yang penting adalah
pengecekan pembayaran pajak. Oleh sebab itu, pengendalian dan pengaturan arus
kas sangat penting dalam strategi penghematan pajak, contohnya melakukan
pembayaran pajak pada saat terakhir akan lebih menguntungkan jika dibandingkan
dengan membayar lebih awal.
II.7 Motivasi Pelaksanaan Perencanaan Pajak
Menurut Suandy (2008), motivasi yang mendasari dilakukannya perencanaan
pajak umumnya bersumber dari tiga unsure perpajakan, antara lain :
34
a. Kebijakan perpajakan (tax policy).
Kebijakan perpajakan (tax policy) merupakan alternatif dari berbagai sarana
yang hendak dituju dalam sistem perpajakan. Faktor-faktor yang mendorong
dilakukannya suatu perencanaan pajak (tax planning) antara lain :
1) Pajak yang akan dipungut
2) Subjek Pajak
3) Objek Pajak
4) Tarif Pajak
5) Prosedur Pembayaran Pajak
b. Undang-Undang Perpajakan (tax law).
Satu hal yang perlu disadari, yakni tidak ada undang-undang yang mengatur
permasalahan secara sempurna. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya selalu diikuti
oleh ketentuan-ketentuan lain, seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,
Keputusan Menteri Keuangan, dan Keputusan Direktur Jendral Pajak. Dan tidak
jarang ditemukan pertentangan antara ketentuan pelaksana dengan Undang-Undang
itu sendiri karena adanya penyesuaian dengan kepentingan pembuat kebijakan dalam
mencapai tujuan lain yang ingin dicapainya, akibatnya terbuka celah (loopholes)
bagi Wajib Pajak untuk menganalisis kesempatan tersebut dengan cermat untuk
perencanaan pajak yang baik.
c. Administrasi Perpajakan (tax administration).
Hal yang mendorong perusahaan untuk melaksanakan perencanaan pajak (tax
planning) dengan baik agar terhindar dari sanksi administrasi maupun pidana karena
35
adanya perbedaan penafsiran antara aparat fiskus dan Wajib Pajak akibat luasnya
peraturan perpajakan yang berlaku dan sistem informasi yang masih belum efektif.
II.8. Tahap-tahap Perencanaan Pajak
Mengacu pada Suandy (2008), perencanaan pajak dapat berhasil sesuai tujuannya,
harus melalui tahap-tahap berikut :
1. Menganalisis informasi yang ada.
Tahap pertama dari proses perencanaan pajak adalah menganalisis komponen yang
berbeda atas pajak yang terlibat dalam suatu proyek dan menghitung tepat beban
pajak yang harus ditanggung.
2. Membuat model satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak.
Setelah menganalisis informasi yang diperoleh, maka selanjutnya adalah membuat
berbagai macam model rencana kemungkinan besarnya pajak yang harus disesuaikan
dengan situasi dan kondisi pajak.
3. Mengevaluasi pelaksanaan rencana pajak.
Perencanaan pajak sebagai suatu perencanaan merupakan bagian kecil dari seluruh
perencanaan strategic perusahaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi untuk
melihat sejauh mana hasil pelaksanaan suatu perencanaan pajak terhadap beban
pajak (tax burden), perbedaan laba kotor dan pengeluaran selain pajak atas berbagai
alternatif perencanaan.
4. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak
Dalam membuat suatu rencana pajak terkadang perlu mencari kelemahan, misalnya
hal ini disebabkan oleh perubahan peraturan perundang-undang atau perencanaan ini
36
tidak sesuai dengan kondisi perusahaan. Sehingga harus memperbaiki kembali
rencana pajak yang telah dibuat sebelumnya.
5. Muktahirkan rencana pajak.
Walaupun suatu rencana pajak telah dilaksanakan dan proyek juga telah berjalan,
namun perlu diperhitungkan setiap perubahan yang terjadi baik dari undang-undang
maupun pelaksanaannya. Pemuktahiran dari suatu rencana pajak adalah konsekuensi
yang perlu dilakukan atas perkembangan yang akan datang maupun situasi saat ini,
dimana seorang perencana pajak mampu mengurangi resiko atas perubahan dan
mampu mengambil kesempatan atau memperoleh manfaat yang potensial.
II.9. Rekonsiliasi Laporan Komersial dengan Laporan Fiskal
Adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya antara akuntansi komersial
dan fiskal menimbulkan perbedaan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak
(PKP). Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan kepentingan antara akuntansi
komersial yang mendasarkan laba pada konsep dasar akuntansi yaitu the proper
matching cost against revenue, sedangkan dari segi fiskal tujuan utamanya adalah
penerimaan negara. Dalam penyusunan laporan keuangan fiskal Wajib Pajak harus
mengacu kepada peraturan perpajakan, sehingga laporan keuangan komersial yang
dibuat berdasarkan standart akutansi keuangan harus disesuaikan atau koreksi fiskal
terlebih dahulu sebelum menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP).
Perbedaan antara laporan keuangan fiskal dengan komersial dapat dibedakan
menjadi 2, yakni :
37
1. Perbedaan Waktu (timing differences).
Adalah perbedaan yang bersifat sementara karena adanya ketidaksamaan waktu
pengakuan penghasilan dan beban antara peraturan perpajakan dengan standart
akutansi keuangan. Perbedaan waktu dapat dibagi menjadi perbedaan waktu
positif dan perbedaan waktu negatif. Perbedaan waktu positif apabila pengakuan
beban untuk akutansi lebih lambat dari pengakuan beban untuk pajak atau
pengakuan penghasilan untuk tujuan akutansi. Dan perbedaan waktu negatif
terjadi apabila ketentuan perpajakan mengakui beban lebih lambat dari
pengakuan beban akutansi komersial atau akutansi mengakui penghasilan lebih
lambat dari pengakuan menurut ketentuan pajak. Contoh: perbedaan pengakuan
penyusutan menurut komersial dan fiskal, dimana penyusutan komersial
disusutkan sesuai umur masa manfaat aktiva tersebut, namun dalam fiskal
diperhitungkan menurut waktu perolehan aktiva.
2. Perbedaan Tetap (permanent differences).
Adalah perbedaan yang terjadi karena peraturan perpajakan menghitung laba
fiskal berbeda dengan perhitungan laba menurut standart akutansi keuangan
tanpa ada koreksi dikemudian hari. Perbedaan permanen dapat positif karena ada
laba akutansi yang tidak diakui oleh ketentuan perpajakan dan relatif pajak,
sedangkan perbedaan permanen negatif disebabkan adanya pengeluaran sebagai
beban laba akutansi yang tidak diakui oleh ketentuan fiskal. Contoh: secara
komersial pendapatan jasa giro merupakan tambahan penghasilan bagi
perusahaan, namun secara fiskal pendapatan tersebut terkena Pajak final,
38
sehingga pengakuan terhadap pendapatan ini tidak disertakan dalam laporan
fiskal.
Dalam prakteknya dilapangan, terdapat pajak masukan dan pajak keluaran dimana:
pajak masukan adalah pajak pertambahan nilai (PPn) yang telah dipungut oleh
pengusaha kena pajak pada saat pembelian barang kena pajak atau jasa kena pajak dalam
masa pajak tertentu. Pajak masukan dijadikan kredit pajak oleh pengusaha kena pajak
untuk memperhitungkan sisa pajak yang terutang. Sedangkan pajak keluaran adalah
pajak pertambahan nilai (PPn) yang telah dipungut oleh pengusaha kena pajak pada saat
penjualan barang kena pajak atau jasa kena pajak dalam masa pajak tertentu.