BAB II LANDASAN TEORI II.1. Dasar-dasar Perpajakan ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2009-2-00001-AK...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI II.1. Dasar-dasar Perpajakan ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2009-2-00001-AK...
9
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Dasar-dasar Perpajakan Indonesia
II.1.1. Definisi Pajak
Apabila membahas pengertian pajak, banyak para ahli memberikan batasan tentang
pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani
yang telah diterjemahkan oleh R. Santoso Brotodiharjo, S.H. dalam buku Pengantar Ilmu
Hukum Pajak (1991:2).
“Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh
yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi
kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara yang
menyelenggarakan pemerintahan.”
Kutipan beberapa pengertian pajak yang dikemukakan para ahli lainnya adalah
sebagai berikut:
1. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. dalam bukunya Dasar-dasar Hukum Pajak dan
Pajak Pendapatan (1990:5) menyatakan “Pajak adalah iuran kepada kas Negara
berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa
timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan
untuk membayar pengeluaran umum.”
2. Pengertian pajak menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja dari disertasinya yang
berjudul “Pajak Berdasarkan Azas Gotong Royong” menyatakan “ Pajak adalah
iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan
10
norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa
kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.”
Menurut Pasal 1 angka 1 (satu) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang dimaksud dengan pajak adalah
kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh Orang Pribadi atau Badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang
melekat pada pengertian pajak, adalah sebagai berikut:
1. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya yang
sifatnya dapat dipaksakan.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual
oleh pemerintah.
3. Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari
pemasukannya masih dapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public
investment.
5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu mengatur.
II.1.2. Fungsi Pajak
Menurut Mardiasmo (2008), pajak mempunyai 2 (dua) fungsi yang berbeda dalam
pelaksanaannya, antara lain:
a. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara).
11
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluarannya.
b. Fungsi Regulerend (Mengatur).
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah
dalam bidang sosial dan ekonomi.
II.1.3. Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo (2008), terdapat 3 (tiga) sistem pemungutan pajak, yaitu:
a. Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah
(fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya:
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.
2) Wajib Pajak bersifat pasif.
3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
b. Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib
Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya:
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak
sendiri.
2) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri
pajak yang terutang.
3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
12
c. With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak
ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak
ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.
II.1.4. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak
Menurut Pasal 1 angka 2 (dua) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 yang
dimaksud dengan Wajib Pajak adalah Orang Pribadi atau Badan, meliputi pembayar
pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
A. Hak Wajib Pajak
1. Hak untuk menerima Tanda Bukti Pemasukkan Surat Pemberitahuan (Pasal 6
Ayat (1) KUP).
2. Hak mengajukan permohonan dan penundaan penyampaian Surat
Pemberitahuan (Pasal 3 Ayat (4) KUP).
3. Hak melakukan pembetulan dengan kemauan sendiri Surat Pemberitahuan
(SPT) yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis
dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan
(Pasal 8 Ayat (1) KUP).
4. Hak untuk mengajukan permohonan pengangsuran dan penundaan pembayaran
pajak termasuk kekurangan pembayaran yang terutang berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan paling lama 12 (dua belas) bulan
13
yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan (Pasal 9 Ayat (4) KUP).
5. Hak mengajukan permohonan perhitungan atau pengembalian kelebihan
pembayaran pajak serta berhak memperoleh kepastian terbitnya surat
keputusan kelebihan pembayaran pajak, surat keputusan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak (Pasal 11 Ayat (1) jo. Pasal 17 Ayat (2) KUP).
6. Hak mengajukan permohonan pembetulan salah tulis atau salah hitung atau
kekeliruan yang terdapat dalam SKP dalam penerapan Peraturan Perundang-
Undangan Perpajakan (Pasal 16 KUP).
7. Hak mengajukan Surat Keberatan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia
dengan mengemukakan jumlah pajak terutang, jumlah pajak yang dipotong
atau dipungut, atau jumlah rugi menurut perhitungan Wajib Pajak dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim Surat Ketetapan Pajak (Pasal
25 Ayat (2) dan (3) KUP).
8. Hak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan secara tertulis
dalam Bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan
sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri salinan Surat
Keputusan Keberatan tersebut (Pasal 27 KUP).
9. Hak mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan pengenaan
sanksi administrasi perpajakan (Pasal 36 Ayat (1) KUP).
10. Hak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan
hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan (Pasal 32 Ayat (3) KUP).
14
B. Kewajiban Wajib Pajak
1. Mendaftarkan diri dan meminta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) (Pasal 2
KUP).
2. Kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (Pasal 3 Ayat (1) KUP).
Setiap Wajib Pajak, wajib mengisi SPT, dan menandatangani serta
menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
3. Kewajiban membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak ke kas Negara melalui tempat pembayaran yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (Pasal 10 Ayat (1)
KUP).
4. Kewajiban menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan (Pasal 28 KUP).
Pada prinsipnya Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak Badan di Indonesia, wajib
menyelenggarakan pembukuan. Namun, Wajib Pajak Orang Pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan Penghasilan Neto
dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas, dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan
tetapi wajib melakukan pencatatan. Pencatatan terdiri dari data yang
15
dikumpulkan secara teratur tentang peredaran bruto dan/atau penerimaan
penghasilan sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang.
5. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak,
Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit
sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil
pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan (Pasal 25 Ayat (3a) KUP).
6. Wajib Pajak yang diperiksa wajib memperlihatkan dan/atau meminjamkan
buku atau catatan serta dokumen yang berhubungan dengan penghasilan yang
diperoleh, memberi kesempatan untuk memasuki tempat/ruang yang dipandang
perlu, dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan, serta memberi
keterangan lain yang diperlukan (Pasal 29 Ayat (3) KUP).
II.2. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
Pendaftaran Wajib Pajak/Nomor Pokok Wajib Pajak diatur dalam Pasal 2 Undang-
Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Setiap Wajib Pajak yang
telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat
Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan
Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai suatu sarana
dalam administrasi perpajakan yang digunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas
Wajib Pajak.
16
Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dibatasi jangka waktunya,
karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban mengenakan pajak
terutang.
Jangka waktu pendaftaran NPWP adalah:
• Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan
Wajib Pajak Badan, wajib mendaftarkan diri paling lambat 1 (satu) bulan setelah
saat usaha mulai dijalankan.
• Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak menjalankan suatu usaha atau tidak
melakukan pekerjaan bebas apabila jumlah penghasilannya sampai dengan suatu
bulan yang disetahunkan telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, wajib
mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya.
Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP
akan dikenakan sanksi perpajakan.
II.2.1. Fungsi NPWP
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) memiliki beberapa fungsi sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui identitas Wajib Pajak;
2. Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan
administrasi perpajakan.
II.2.2. Format NPWP
NPWP terdiri dari 15 digit, yaitu 9 (sembilan) digit pertama merupakan Kode
Wajib Pajak dan 6 (enam) digit berikutnya merupakan Kode Administrasi Perpajakan.
Formatnya adalah sebagai berikut: XX. XXX. XXX. X. XXX. XXX
17
Lebih lanjut NPWP dapat dirinci sebagai berikut:
• 2 digit pertama adalah identitas Wajib Pajak;
• 6 digit kedua merupakan nomor registrasi/urut yang diberikan Kantor Pusat DJP
kepada KPP;
• 1 digit ketiga diberikan untuk KPP sebagai alat pengaman agar tidak terjadi
pemalsuan dan kesalahan NPWP;
• 3 digit keempat adalah kode KPP;
• 3 digit terakhir adalah status Wajib Pajak (Tunggal, Pusat, atau Cabang).
II.2.3. Penghapusan NPWP
Penghapusan NPWP dapat dilakukan dalam hal:
1) Wajib Pajak meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan.
2) Wanita kawin.
3) Warisan yang sudah dibagi.
4) Wajib Pajak Badan yang sudah dibubarkan.
5) Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang karena sesuatu hal kehilangan statusnya.
II.3. Surat Pemberitahuan (SPT)
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan bahwa pengertian Surat Pemberitahuan
(SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan
dan/atau pembayaran pajak, Objek Pajak dan/atau bukan Objek Pajak dan/atau harta dan
kewajiban, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang KUP juga menegaskan kewajiban bagi setiap
Wajib Pajak untuk mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas dalam bahasa
18
Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan
menandatangani serta menyampaikan ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib
Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.
Dan ditegaskan pada Pasal 3 Ayat (2) bahwa untuk setiap Wajib Pajak yang wajib
mengisi SPT dan Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk
menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain
Rupiah, mengambil sendiri SPT atau mengambil dengan cara lain yang tata caranya
diatur oleh Menteri Keuangan.
II.3.1. Fungsi SPT
Menurut Mardiasmo (2008), fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Pajak
Penghasilan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui
pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian
Tahun Pajak;
b. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak;
c. Harta dan kewajiban; dan/atau
d. Pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan
pajak Orang Pribadi atau Badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana
untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak
19
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang
dan untuk melaporkan tentang:
a. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; dan
b. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha
Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bagi pemotongan atau pemungutan pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah
sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong
atau dipungut dan disetorkannya.
II.3.2. Pembetulan SPT
Sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa Wajib Pajak dengan
kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan
dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum
melakukan tindakan pemeriksaan. Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan
menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan
paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan
maupun Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih
besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran
sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)
bulan.
20
Walaupun telah dilakukan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan
penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak, terhadap
ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan apabila
Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya
tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang
sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus
lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat
Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan
kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan
yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:
a. Pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
b. Rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;
c. Jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau
d. Jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil dan proses pemeriksaan tetap
dilanjutkan.
Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ini
beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak
yang kurang dibayar, harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri
dimaksud disampaikan.
Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah
disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima ketetapan pajak, Surat Keputusan
21
Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan
Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang
menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu
3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan
syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
II.3.3. Jenis SPT
Jenis SPT sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 181/PMK 03/2007
meliputi:
1. Surat Pemberitahuan Masa, yaitu Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak
yang terdiri dari:
a. SPT Masa Pajak Penghasilan;
b. SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai; dan
c. SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
2. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, yaitu Surat Pemberitahuan untuk
suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
II.3.4. Batas Waktu Penyampaian SPT
Sesuai Pasal 3 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, batas waktu penyampaian SPT diatur:
a. Untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir
Masa Pajak;
22
b. Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang
Pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak;
c. Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, paling
lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
II.4. Sanksi Keterlambatan Pembayaran dan Penyetoran Pajak Terutang
Keterlambatan dalam pembayaran dan penyetoran berakibat dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo
pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh 1
(satu) bulan.
Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang KUP mengatur pula batas waktu pembayaran
kekurangan pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan yaitu
harus dibayar lunas sebelum SPT Pajak Penghasilan disampaikan atau yang dikenal
dengan Pajak Penghasilan Pasal 29 (PPh Pasal 29). Apabila Wajib Pajak membayar atau
menyetor PPh Pasal 29 setelah tanggal jatuh tempo penyampaian SPT Tahunan, dikenai
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan yang dihitung mulai dari
berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran
dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Demikian pula untuk Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat
Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan
Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah,
harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. Khusus
Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan
23
dimaksud dapat diperpanjang paling lama menjadi 2 (dua) bulan yang ketentuannya
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
II.5. Sanksi Administrasi dan Sanksi Pidana Sehubungan Dengan SPT dan NPWP
Kepada Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan dalam
Undang-Undang sehubungan dengan SPT dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi
pidana.
1. Apabila Surat Pemberitahuan Wajib Pajak tidak disampaikan dalam jangka waktu
yang telah ditetapkan atau batas waktu perpanjangan Surat Pemberitahuan dikenai
sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)
untuk SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai; Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah)
untuk SPT Masa lainnya; dan Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk SPT
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan; serta Rp 100.000,00 (seratus ribu
rupiah) untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi.
2. Pasal 38 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan menyatakan bahwa, apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT,
atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar karena kealpaan Wajib Pajak
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dan perbuatan
tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13A Undang-Undang KUP, didenda paling sedikit 1 (satu)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2
24
(dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana
kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.
3. Pasal 39 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan menyatakan apabila dengan sengaja Wajib Pajak tidak menyampaikan
SPT atau menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar, atau
tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang
tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang
yang tidak atau kurang dibayar. Untuk mencegah adanya pengulangan tindak
pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun sejak selesainya
menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan dikenai pidana
lebih berat yaitu ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana yang
diatur di atas.
4. Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 39 Ayat (1)
huruf b Undang-Undang KUP, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud
pada Pasal 39 Ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP, dalam rangka mengajukan
permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau perkreditan pajak,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2
25
(dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan
dan/atau kompensasi atau perkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat)
kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau perkreditan yang
dilakukan.
II.6. Kebijakan Penghapusan Sanksi Administrasi (Sunset Policy)
II.6.1. Pengertian
Sunset Policy adalah fasilitas penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa
bunga yang diatur dalam Pasal 37A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007).
II.6.2. Latar Belakang
Undang-Undang KUP Tahun 2007 memberikan kewenangan kepada Direktorat
Jenderal Pajak untuk menghimpun data perpajakan dan mewajibkan instansi pemerintah,
lembaga, asosiasi, dan pihak lainnya untuk memberikan data kepada Direktorat Jenderal
Pajak. Ketentuan ini memungkinkan Direktorat Jenderal Pajak mengetahui
ketidakbenaran pemenuhan kewajiban perpajakan yang telah dilaksanakan oleh
masyarakat. Untuk menghindarkan masyarakat dari pengenaan sanksi perpajakan yang
timbul apabila masyarakat tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya secara benar,
Direktorat Jenderal Pajak di tahun 2008 memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada
masyarakat untuk mulai memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela dan
melaksanakannya dengan benar.
II.6.3. Dasar Hukum
a. Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan;
26
b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 66/PMK.03/2008 tanggal 29 April 2008
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor:
12/PMK.03/2009 tanggal 02 Februari 2009;
c. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-27/PJ./2008 tanggal 19 Juni 2008
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor: PER-13/PJ./2009 tanggal 23 Februari 2009;
d. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-31/PJ./2008 tanggal 19 Juni 2008
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor: SE-33/PJ./2008 tanggal 27 Juni 2008;
e. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-34/PJ./2008 tanggal 31 Juli 2008;
f. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tanggal 31
December 2008.
II.6.4. Yang Dapat Memanfaatkan Sunset Policy
Yang dapat memanfaatkan Sunset Policy, adalah:
1. Orang Pribadi yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang
dalam tahun 2008 secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan
menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk Tahun Pajak 2007 dan tahun-tahun pajak
sebelumnya paling lambat 31 Maret 2009.
2. Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang telah memiliki NPWP sebelum tahun
2008, yang menyampaikan pembetulan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2006 dan
tahun-tahun pajak sebelumnya untuk melaporkan penghasilan yang belum
diperhitungkan dalam pelaporan SPT Tahunan PPh yang telah disampaikan.
27
II.6.5 Orang Pribadi Yang Belum Memiliki NPWP
Orang Pribadi yang belum memiliki NPWP dapat memanfaatkan Sunset Policy
dengan cara:
1. Mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP secara langsung ke Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) tempat Orang Pribadi tersebut bertempat tinggal (KPP Domisili) atau
melalui e-registration dalam tahun 2008.
2. Mengisi SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2007 dan tahun-tahun pajak sebelumnya
(sejak memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak).
3. Melunasi pajak yang harus dibayar berdasarkan SPT Tahunan PPh ke Bank
Persepsi atau Bank Devisa Persepsi atau Kantor Pos Persepsi dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
4. Menyampaikan SPT Tahunan PPh yang dilampiri dengan SSP, paling lambat
tanggal 31 Maret 2009, ke KPP Domisili (KPP tempat Wajib Pajak terdaftar).
II.6.6. Orang Pribadi atau Badan Yang Telah Memiliki NPWP
Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan yang telah memiliki NPWP dapat
memanfaatkan Sunset Policy dengan cara:
1. Membetulkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2006 dan/atau tahun-tahun pajak
sebelumnya yang telah disampaikan dengan cara mengisi kembali formulir SPT
Tahunan tersebut, apabila menurut Wajib Pajak masih terdapat kekurangan pajak
yang harus dibayar.
2. Melunasi kekurangan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan pembetulan
SPT Tahunan PPh ke Bank Persepsi atau Bank Devisa Persepsi atau Kantor Pos
Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
28
3. Menyampaikan pembetulan SPT Tahunan PPh yang dilampiri dengan SSP paling
lambat tanggal 31 Desember 2008 (diperpanjang sampai dengan tanggal 28
Februari 2009 sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2008) ke Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar.
II.6.7. Keuntungan Memanfaatkan Sunset Policy
1. Tidak dikenai sanksi administrasi berupa bunga;
2. Tidak dilakukan pemeriksaan, kecuali SPT yang disampaikan menjadi Lebih Bayar
atau di kemudian hari ditemukan data atau keterangan lain yang ternyata belum
dilaporkan di SPT tersebut;
3. Apabila Wajib Pajak sedang diperiksa dan belum disampaikan Surat
Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP), pemeriksaan akan dihentikan;
4. Data dan/atau informasi yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh terkait dengan
pemanfaatan Sunset Policy tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak atas jenis pajak lainnya.
II.6.8. Pemeriksaan Pajak
1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri dan
menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, tidak
dilakukan pemeriksaan, kecuali:
a. Terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tersebut tidak benar, atau
b. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan menyatakan lebih bayar atau
rugi.
29
Dalam hal terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang telah
disampaikan dilakukan pemeriksaan karena memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada huruf a atau huruf b, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak atas seluruh kewajiban
perpajakan.
2. Apabila Wajib Pajak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan yang sedang dilakukan pemeriksaan, berlaku ketentuan sebagai
berikut:
Pemeriksaan tersebut dihentikan kecuali untuk pemeriksaan terhadap Surat
Pemberitahuan atas pajak lainnya yang menyatakan lebih bayar, atau Pemeriksaan
tersebut tetap dilakukan berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.
3. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang dibetulkan ternyata
menyatakan lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan dianggap sebagai pencabutan atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan yang dibetulkan.
4. Wajib Pajak yang dalam tahun 2008 (diperpanjang sampai dengan tanggal 28
Februari 2009 sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2008) menyampaikan pembetulan
SPT Tahunan Pajak Penghasilan tidak dilakukan pemeriksaan, kecuali terdapat
data atau keterangan yang menyatakan bahwa pembetulan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tersebut tidak benar.
30
5. Terhadap pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang telah
disampaikan dilakukan pemeriksaan karena memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada angka 4, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak atas seluruh kewajiban perpajakan.