BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.id II-r-2015... · operating loss pada tahun 1986- 1991)...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.id II-r-2015... · operating loss pada tahun 1986- 1991)...
11
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Manajemen Laba dan Discretioanry Accrual 2.1.1. Pengertian Manajemen Laba
Earning management (Manajemen Laba) didefinisikan oleh beberapa penelitian akuntansi
secara berbeda-beda, sebagai berikut:
1. Widyaningdyah (2001:92) membagi definisi manajemen laba menjadi dua
yaitu:
a) Definisi sempit
Earning management dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan
metode akuntansi. Earning management dalam arti sempit adalah
sebagai perilaku manajer dalam “bermain” dengan komponen
discretionary accruals dalam penentuan besarnya laba.
b) Definisi luas
Earning management merupakan tindakan manajer untuk
meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas unit
dimana manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan peningkatan
(penurunan) profitabilitas ekonomis jangka panjang unit tersebut.
12
2. Assih dan Gundono (2000:37) mengartikan manajemen laba sebagai proses
yang dilakukan dengan sengaja dalam batas General Accepted Accounting
Principples (GAAP) untuk mengarah pada satu tingkat yang diinginkan atas
laba yang dilaporkan.
3. Healy dan Wahlen (1999:368) memberikan definisi manajemen laba yang
ditinjau dari sudut pandang penetap standar, yaitu manajemen laba terjadi
ketika para manajer menggunakan keputusan tertentu dalam pelaporan
keuangan dan mengubah transaksi untuk mengubah laporan keuangan sehingga
menyesatkan stakeholder yang ingin mengetahui kinerja ekonomi yang
diperoleh perusahaan untuk mempengaruhi hasil kontrak yang menggunakan
angka-angka akuntansi yang dilaporkan.
4. Scipper (1989:92) mengartikan manajemen laba dari sudut pandang fungsi
pelaporan pada pihak eksternal, sebagai disclosure management, dalam
pengertian bahwa manajemen melakukan intervensi terhadap proses pelaporan
keuangan kepada pihak eksternal dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan
pribadi.
Earning management dapat didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh manajemen
perusahan yang dipengaruhi oleh laba yang dilaporkan, sehingga bisa memberikan
informasi mengenai keuntungan ekonomis (economic advantage) yang sesungguhnya tidak
dialami perusahaan. Tindakan manajer melakukan manajemen laba tersebut bisa
13
dikategorikan sebagai suatu penipuan dan tidak etis (Merchant dan Rocknes, 1994 dalam
Gumanti, 2001).
Healy dan Wahlen (1998) berpendapat dalam earning management mempunyai pengertian
yang luas karena di dalam pengertian tersebut terdapat tiga aspek penting. Pertama adalah
nampak bahwa banyak alasan atau justifikasi yang diajukan oleh manajer untuk
mempengaruhi berbagai alasan untuk mengestimasi berbagai kejadian masa depan,
misalnya umur mesin, nilai sisa (salvage value) asset jangka panjang, penundaan pajak
atau kerugian sebagai akibat dari adanya bad debt. Manajer juga dituntut untuk memilih
beberapa metode penyusutan, menentukan kebijakan tentang manajemen modal kerja,
memutuskan, mengakui atau menunda pendapatan dan biaya, dan dituntut untuk
menetapkan apakah perlakuan-perlakuan khusus harus digunakan dalam kaitanya dengan
strukturisasi transaksi-transaksi besar perusahaan (corporate transaction). Misalnya, dalam
kasus penggabungan usaha (merger) dan kontrak lease penggunaan.
Faktor-faktor yang memicu terjadinya manajemen laba menurut Setyawati dan Na’im
(2000) yaitu:
1. Dalam kontrak antara manajer dan pemilik (melalui kompensasi). Penelitian
Healy (1985) membuktikan bahwa kompensasi yang didasarkan atas data
akuntansi merupakan insentif bagi para manajer untuk memilih prosedur dan
metode akuntansi yang dapat memaksimumkan besarnya bonus yang akan
diperoleh.
14
2. Sebagai sumber informasi bagi investor di pasar modal. Sebagai suatu
perusahaan, akan mencoba membuat laporan keuangan secara agresif pada
saat pertama kali go public agar dapat menarik calon investor.
3. Dalam kontak utang. Salah satu persyaratan dalam pemberian kredit seringkali
mencakup kesediaan debitur untuk mempertahankan tingkat rasio modal kerja
minimal, rasio debt to equity minimal, maksimal pemberian deviden ke
pemegang saham, atau batasan-batasan lain yang umumnya dikaitan dengan
data akuntansi perusahaan.
4. Dalam penetapan pajak oleh pemerintahan, penentuan proteksi terhadap
produk, penentuan denda dalam suatu kasus, dan lain sebagainya berpengaruh
terhadap besarnya pajak yang harus dibayarkan oleh perusahaan. Cristie dan
Zimmermen (1994) membuktikan bahwa reduksi tingkat pajak tersebut
merupakan merupakan insentif bagi manajemen untuk melakukan rekayasa
laba akuntansi. Dalam penelitian itu juga membuktikan bahwa penghematan
pajak menjadi insentif bagi manajer (khusus manajer yang mengalami not
operating loss pada tahun 1986- 1991) untuk mempercepat pengakuan biaya
dan menunda pengakuan pendapatan. Di USA, perusahaan mengalami net
operating loss diijinkan untuk mengkompensasikan rugi operassi tersebut
dengan laba 3tahun sebelumnya atau dengan laba 15 tahun yang akan datang.
Dampak dari kompensasi rugi terhadap laba adalah restitusi pajak (tax refund.
15
5. Oleh pesaing, kondisi laporan keuangan digunakan dalam menentukan
keputusan yang diambil alih ataupun untuk penetapan strategi persaingan.
6. Oleh karyawan kenaikan laba perusahaan digunakan untuk meminta kenaikan
upah, dan sebagainya.
Pada penelitian Gumanti (2000) menyebutkan bahwa hal yang menjadi pertimbangan para
manajer dalam menerapkan pendekatan manajemen laba, sebagai berikut:
1. Laba atau earning telah dijadikan sebagai suatu target dalam proses penelitian
prestasi usaha suatu departmen secara khusus (manajer) atau perusahaan
(organisasi) secara umum.
2. Laba atau tingkat keuntungan merupakan alat untuk mengurangi biaya
keagenan (agency cost), dari sisi keagenan (agency theory), dan juga biaya
kontrak, dari sisi teori (contracting theory). Misalnya pada saat keuntungan
dijadikan sebagai patokan dalam pemberian bonus, hal ini akan menciptakan
dorongan kepada manajer untuk mengatur data keuangan agar dapat menerima
bonus seperti yang diinginkan.
3. Adanya tiga sasaran yang dapat dicapai oleh manajer sehubungan dengan
praktek manajemen laba. Ketiga sasaran tersebut adalah minimisasi biaya
politis (politicial cost minimization). Maximisasi kesejahteraan manajer
(manager wealth maximization), dan minimisasi biaya financial (minimization
financing cost).
16
2.1.2. Motivasi Manajemen Laba Scott (2000) mengungkapkan beberapa motivasi terjadinya manajemen laba yaitu :
1. Bonus purpose
Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak
secara opportunistic untuk memaksimalkan laba saat ini.
2. Political motivations
Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada
perusahaan publik. Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan
karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan
peraturan yang lebih ketat.
3. Taxation motivation
Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling
nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan untuk tujuan penghematan pajak
pendapatan.
4. Pergantian CEO
CEO yang mendekati masa pensiun cenderung akan menaikan pendapatan
untuk meningkatkan bonus mereka. Apabila kinerja perusahaan buruk maka
mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan.
17
5. Initial Public Offering (IPO)
Perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar dan menyebabkan
manajer perusahaan yang akan go public melakukan manajemen laba dalam
propectus mereka dengan harapan dapat menaikan harga saham perusahaan.
6. Informasi kepada Investor
Informasi mengenai kinerja perusahaan harus disampaikan kepada investor
sehingga pelaporan laba perlu disajikan agar investor tetap menilai bahwa
perusahaan tersebut dalam kinerja yang baik.
2.1.3. Teknik dan Pola Manajemen Laba
Teknik dan pola manajemen laba menurut Setiawati dan Na’im (2000) dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
1. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi. Cara manajemen
untuk mempengaruhi laba melalui judgement terhadap estimasi akuntansi
antara lain, estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu
depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya
garansi, dan lain-lain.
2. Mengubah metode akuntansi. Perubahan metode akuntansi yang digunakan
18
untuk mencatat suatu transaksi, contoh : merubah depresiasi aktiva tetap, dari
metode depresiasi angka tahun ke metode garis lurus.
3. Menggeser periode biaya atau pendapatan. Metode ini juga disebut juga
dengan manipulasi keputusan operasional. Contohnya rekayasa periode biaya
atau pendapatan antara lain: mempercepat atau menunda pengeluaran untuk
penelitian sampai periode akuntansi berikutnya, mempercepat atau menunda
pengeluaran promosi sampai periode berikutnya, mempercepat atau menunda
pengiriman produk ke pelanggan, mengatur saat penjualan aktiva tetap yang
sudah tak dipakai.
Perilaku manajemen laba dapat dijelaskan melalui Positive Accounting Theory (PAT) dan
Agency Theory. Dalam PAT terdapat tiga jenis hipotesis yang melatarbelakangi terjadinya
manajemen laba (Watt dan Zimmerman, 1986) yaitu:
1. Bonus Plan Hypothesis
Manajemen akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya
yaitu bonus yang tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan bonus besar
berdasarkan earnings lebih banyak menggunakan metode akuntansi yang
meningkatkan laba yang dilaporkan.
2. Debt Covenant Hypothesis
Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit cenderung
memilih metode akuntansi yang memiliki dampak meningkatkan laba. Hal ini
19
untuk untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal.
3. Political Cost Hypothesis
Semakin besar perusahaan maka semakin besar pula kemungkinan perusahaan
dalam memilih metode akuntansi dalam menurunkan laba. Hal tersebut
dikarenakan laba yang tinggi, pemerintah akan segera mengambil tindakan,
misalnya: mengenakan peraturan antitrust, menaikan pajak pendapatan
perusahaan dan lain-lain.
Scott (2000) juga mengemukakan bentuk-bentuk manajemen laba yang dilakukan oleh
manajer antara lain:
1. Taking a bath, dilakukan ketika keadaan buruk yang tidak menguntungkan
tidak bisa dihindari pada periode berjalan dengan cara mengakui biaya-biaya
pada periode-periode yang akan datang dan kerugian periode berjalan.
2. Income minimization, dilakukan pada saat perusahaan memperoleh
profitabilitas yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat perhatian secara
politis. Kebijakan yang diambil bisa berupa pembebanan pengeluaran iklan,
riset, dan pengembangan yang cepat dan sebagainya. Cara ini mirip dengan
taking a bath namun kurang ekstrim.
3. Income maximization, yaitu memaksimalkan laba agar memperoleh bonus yang
lebih besar. Demikian pula dengan perusahaan yang mendekati suatu
20
pelanggaran kontrak hutang jangka panjang, manajer perusahaan tersebut akan
cenderung untuk memaksimalkan laba.
4. Income smoothing, merupakan bentuk manajemen laba yang sering dilakukan
dan populer. Melalui income smoothing manajer menaikan atau menurunkan
laba untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan sehingga perusahaan
terlihat stabil dan tidak berisiko tinggi.
Manajemen laba dapat dilakukan melalui kebijakan akrual. Dalam mengaplikasikan
kebijakan akrual digunakan accrual, deferral dan prosedur alokasi yang bertujuan untuk
menyesuaikan beban dan pendapatan dengan periodenya, bukan mengkaitkan beban dan
pendapatan berdasarkan atas pengeluaran dan penerimaan kas (cash basic). Dengan
demikian kebijakan akrual dalam mengaplikasikan standar akuntansi dapat dimanfaatkan
untuk melakukan manajemen laba. Penelitian – penelitian tentang manajemen laba hampir
seluruh menggunakan pendekatan accruals. Pendekatan yang paling banyak digunakan
dalam pengujian manajemen laba adalah model yang dikembangkan oleh Jones. Dalam
pendekatan Jones (1991) total accrual didapat dari laba bersih dikurangi aliran kas dari
aktivitas operasi, sedangkan dalam pendekatan modifikasi Jones, total accrual dan
pendapatan operasi digunakan untuk mencari discretionary accrual. Salah satu kelebihan
dari pendekatan ini adalah pendekatan ini memiliki potensi dalam mengungkapkan cara-
cara untuk menurunkan atau menaikan keuntungan, dimana hal ini kurang mendapatkan
perhatian untuk bisa diketahui oleh pihak luar (outsider).
21
Model-model yang dapat digunakan antara lain:
1. Model Jones (1991)
Keterangan:
- TA adalah Total Akrual yang diperoleh dari selisih antara laba sebelum
extraordinary items dengan arus kas bersih dari total operasional,
- adalah Total Asset tahun sebelumnya
- adalah selisih Piutang Dagang tahun yang diteliti dengan Piutang dagang
tahun sebelumnya,
- adalah total property, plant, dan equipment tahun yang diteliti, dan
- adalah nilai residu yang akan digunakan untuk perhitungan pengelolaan laba.
Semua variabel diskala dengan total asset tahun lalu.
2. Model Jones dimodifikasi (modified Jones model) (1991)
Keterangan:
Manajemen laba (DACC) dapat diukur melalui discretionary accruals yang dengan
cara menselisihkan Total Accruals (TACC) dan Nondiscretionary Accruals
(NDACC). Modifikasi dari model Jones yang didesain untuk mengeliminasi
kecenderungan untuk menggunakan perkiraan yang bisa salah dari model Jones
22
untuk menentukan discretionary accrual.
3. Model Jones yang dimodifikasi oleh Dechow et al. (1995)
Keterangan:
Model ini merupakan midifikasi dari Model Jones sebelumnya, pengukuran variabel
dan perhitungannya juga hampir sama, hanya ditambah dengan menggunakan
, yaitu selisih pendapatan tahun yang diteliti dengan satu tahun sebelumnya.
4. Model Kaznik (1999)
Keterangan:
Model ini merupakan pengukuran dan perlakuan model Dechow sebelumnya,
ditambah dengan penggunaan yaitu selisih arus kas dari hasil operasi tahun
yang diteliti dengan satu tahun sebelumnya.
5. Model Kothari et al. (2005)
23
Keterangan:
Pengukuran dan perlakuan model Kasznik ini juga serupa dengan model Dechow
sebelumnya, ditambah dengan ROA dari tahun yang diteliti.
6. Model KasKot
Keterangan:
Pengukuran model KasKot ini mengkombinasikan pada Kasznik dengan
pada model Kothari. Model ini dicobakan untuk ikut diujikan karena diduga
dapat memperlihatkan faktor kebijakan akrual non-diskresioner yang selama ini
ditampung dalam kebijakan akrual diskresioner (error). Misalnya, pada model
Kasznik hanya memasukan dalam komponen komponen kebijakan akrual
non- diskresioner sebagai tambahan dari model Dechow yang memberikan
implikasi bahwa factor lain masuk sebagai komponen kebijakan akrual diskresioner.
Padahal, model Kothari membuktikan bahwa ROA juga bagian dari komponen
kebijakan akrual non-diskresioner. Dengan demikian, dengan mencoba memasukkan
semua komponen akrual non-diskresioner yang telah teruji diharapkan dapat
memberikan tambahan bukti bahwa ∆CFO dan ROA secara bersama-sama memang
sebagai komponen kebijakan akrual non-diskresioner. Sehingga, nilai akrual yang
bersifat diskresioner akan lebih akurat. Dalam penelitian dengan menggunakan
24
Model Jones yang telah dilakukan modifikasi sebagai cara dalam melakukan
pendeteksian perilaku pengelola laba di perusahaan. Alasan digunakannya model
Jones lebih baik dalam melakukan deteksi terhadap manipulasi pendapatan dan bad
debt. Model Jones mengasumsikan bahwa semua perubahan dalam penjualan kredit
diperoleh dari manajemen laba. Hal ini menjadi dasar alasan yang mudah untuk
mengatur laba dengan melakukan kebijakan melalui pengakuan pendapatan pada
penjualan kredit daripada melalui tunai.
2.1.4. Pengertian Discretionary Accrual
Satwika dan Damayanti (2005) menyatakan bahwa akrual merupakan jumlah penyesuaian
akuntansi yang dibutuhkan untuk mengubah arus kas operasi menjadi laba bersih. Akrual
kemudian dibagi menjadi dua jenis, antara lain:
1. Nondicretionasry Accrual (Normal Accruals) yaitu pengakuan akrual yang wajar
dan tunduk pada saat standar atau peraturan akuntansi yang berlaku umum.
2. Discretionary Accrual (Abnormal Accruals) yaitu pengakuan akrual yang bebas,
tidak diatur, dan merupakan kebijakan manajemen.
Dengan berbasis akrual akan menyediakan banya keleluasaan bagi manajer dalam hal
pengakuan pendapatan dan beban. Manajemen perusahaan kemudian dapat melakukan
manipulasi dengan menggunakan discretionary accrual. Pendapat lain yang dinyatakan oleh
25
Sulistyanto (2008) menyatakan bahwa discretionary accrual merupakan komponen akrual
hasil rekayasa manajerial dengan memanfaatkan kebebasan dan keleluasaan dalam estimasi
dan pemakaian standard akuntansi. Terdapat beberapa metode yang bisa dipakai manajer
perusahaan untuk merekayasa besar kecilnya discretionary accrual ini sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai, misalnya kebebasan menentukan estimasi dan memilih metode
depresiasi aktiva tetap, menentukan estimasi prosentase sejumlah piutang tak tertagih,
memilih metode penentu sejumlah persedeiaan dan sebagainya. Sementara itu Sulistyanto
(2008) juga menyatakan bahwa pengertian non-discretionary accrual merupakan komponen
akrual yang diperoleh secara alamiah dari dasar pencatatan akrual dengan mengikuti
standard yang diterima secara umum, misalnya metode depresiasi dan penentuan persediaan
yang dipilih harus mengikuti metode yang diakui dalam prinsip akuntansi.
2.2. As imet r i In formasi Asimetri informasi adalah suatu keadaan dimana agent mempunyai lebih banyak informasi
tentang perusahaan dan prospek dimasa yang akan datang dibandingkan dengan principal.
Kondisi ini memberikan kesempatan kepada agent menggunakan informasi yang
dimilikinya untuk dapat melakukan manipulasi laporan keuangan dengan tujuan untuk
memaksimalkan kemakmurannya. Asimetri informasi ini dapat mengakibatkan terjadinya
moral hazard yaitu berupa usaha manajemen untuk melakukan manajemen laba (earning
26
management) (Rahmawati, dkk. 2006). Menurut Scott(2000), terdapat dua macam asimetri
informasi yaitu sebagai berikut:
1. Adverse selection, yaitu bahwa manajer serta orang-orang dalam lainnya
biasanya mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan
dibandingkan dengan pihak luar. Dan mungkin terdapat fakta-fakta yang tidak
disampaikan kepada principal.
2. Moral Hazard, yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer
tidak seluruhnya diketahui oleh investor (pemegang saham, kreditor) sehingga
manajer dapat melakukan tindakan diluar pengetahuan pemegang saham yang
melanggar kontrak dan sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak
layak dilakukan.
Schift dan Lewin (1970) dalam Ujiyanto dan Bambang (2007), menyatakan bahwa agent
berada pada posisi yang memiliki lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri,
lingkungan kerja dan perusahaan secara keseluruhan dibandingkan dengan principal.
Dengan asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri
sendiri, maka dengan asimetri informasi yang dimilikinya akan mendorong agent untuk
menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal. Sehingga dalam
kondisi semacam ini principal seringkali pada posisi yang tidak diuntungkan. Dalam
penyajian informasi akuntansi, khususnya penyusunan laporan keuangan, agent juga
memiliki informasi yang asimetri sehingga dapat lebih fleksibel dalam mempengaruhi
27
pelaporan keuangan dalam memaksimalkan kepentingannya. Tujuan laporan keuangan
adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keungan, kinerja serta perubahan
posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai laporan
keuangan dalam pengambilan keputusan ekonomi (IAI, 2009). Dengan adanya kondisi yang
asimetri, maka agent dapat mempengaruhi angka-angka akuntansi yang disajikan dalam
laporan keuangan dengan cara melakukan manajemen laba (earning management).
Model asimetri informasi (Copeland dan Galai. 1983) mengasumsikan adanya
tiga jenis agen di pasar yaitu pedagang terinformasi (informed traders) yang merupakan
pemroses informasi potensial, pedagang tidak terinformasi (uninformed traders) dan risk
neutral specialist. Pedagang terinformasi melakukan transaksi perdagangan dengan
dilatarbelakangi oleh informasi privat yang mereka miliki yang tidak terefleksi dalam harga
saham dan mereka bersifat spekulatif, sedangkan pedagang tidak terinformasi atau yang
lebih dikenal dengan pedagang likuid, berdagang dengan tujuan untuk menyesuaikan
portfolio yang dimilikinya. Spesialis merupakan partisipan pasar yang bisa bertindak
sebagai broker atau dealer. Broker melakukan transaksi guna memenuhi pesanan dari
investor yang menjadi kliennya, sedangkan dealer merupakan broker sekaligus memiliki
kewenangan untuk melakukan transaksi untuk dirinya sendiri.
Lev dalam penelitiannya (1988) berpendapat bahwa ukuran pengamatan atas
likuiditas pasar dapat digunakan untuk mengidentifikasi tingkat penerimaan asimetri
informasi yang dihadapi partisipan di dalam pasar modal. Bid-asks spreads adalah salah satu
28
ukuran dalam likuiditas pasar yang digunakan secara luas dalam penelitian terdahulu
sebagai pengukur asimetri informasi antara masyarakat dan pemegang saham perusahaan.
Penelitian Richardson (1998) menunjukan adanya hubungan antara asimetri
informasi dengan manajemen laba. Ketika asimetri informasi tinggi, stakeholder tidak
memiliki sumber daya yang cukup, insentif, atau akses atas informasi yang relevan untuk
memonitor tindakan manajemen, dimana hal ini memberikan kesempatan atas praktek
manajemen laba, dimana hal ini memberikan kesempatan atas praktek manajemen laba.
Adanya asimetri informasi akan mendorong manajer untuk menyajikan informasi yang tidak
sebenarnya terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja manajer.
2.2.1. Teori Bid Ask Spread
Literatus mikrostruktur (O Hara, 1995) dalam Puput (2001) mengenai Bid Ask Spread
menyatakan bahwa terdapat komponen spread yang turut memberikan kontribusi terhadap
kerugian yang dialami dealer ketika bertransaksi dengan pedagang terinformasi tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Kos pemrosesan pesanan (order processing cost) terdiri dari biaya yang
dibebankan oleh pedagang sekuritas (efek) atas kesiapannya mempertemukan
pesanan pembelian dan penjualan dengan kompensasi untuk waktu yang
diluangkan oleh pedagang sekuritas guna menyelesaikan transaksi.
29
2. Kos penyimpanan persediaan (inventory holding cost) yaitu kos yang
ditanggung oleh pedagang sekuritas untuk membawa persediaan saham agar
dapat diperdagangkan sesuai dengan permintaan.
3. Adverse Selection Component, menggambarkan suatu upah (reward) yang
diberikan kepada pedagang sekuritas untuk mengambil suatu risiko ketika
berhadapan dengan investor yang memiliki informasi superior. Komponen ini
terkait dengan arus informasi di pasar modal.
Berkaitan dengan Bid Ask Spread, fokus perhatian akuntan adalah pada komponen Adverse
Selection karena berhubungan dengan penyediaan informasi ke pasar modal. Beberapa riset
yang dilakukan, Bagehot dan Easley dan O’Hara sebagaimana yang dikutip oleh Callahan
dkk (1997) telah mengembangkan model teoritis yang menghubungkan arus informasi
terhadap Bid Ask Spread. Sesuai dengan pernyataan bahwa sebagian investor memiliki lebih
banyak informasi mengenai nilai saham dibandingkan pedagang sekuritas (dealer).
Pedagang efek (dealer) mengetahui bahwa informed investor ini hanya akan berdagang jika
dipandang menguntungkan bag i mereka. Disisi lain, pedagang sekuritas juga mengetahui
bahwa ia akan memperoleh keuntungan bila berdagang dengan investor yang kurang
informed(uninformed trader).
30
2 .3 . K iner ja Perusahaan
2.3.1. Pengertian Kinerja Perusahaan
Perusahaan sebagai salah satu bentuk organisasi yang mana memiliki tujuan tertentu yang
ingin dicapai dalam usaha untuk memenuhi kepentingan para anggotanya. Dimana hasil dari
keberhasilan dalam mencapai tujuannya merupakan prestasi manajemen. Penilaian prestasi
atau kinerja perusahaan diukur karena hal ini dapat dipakai sebagai dasar dalam mengambil
keputusasn baik pihak internal maupun eksternal. Kinerja perusahaan merupakan sutu
gambaran tentang bagaimana kondisi keuangan perusahaan yang dapat dianalisis dengan
alat-alat analisi keuangan, sehingga dapat diketahui mengenai baik buruknya keadaan
keuangan suatu perusahaan yang mana mencerminkan prestasi kinerja dalam periode
tertentu. Penilaian kinerja keuangan merupakan cara yang dapat dilakukan oleh manajemen
dalam memenuhi kewajibannya terhadap pada penyandang dana dan dalam mencapai tujuan
perusahaan yang telah ditetapkan.
Helfert (1996:67) menyatakan bahwa kinerja perusahaan adalah hasil dari banyak keputusan
individual yang dibuat secara terus menerus oleh manajemen. Pendapat tersebut menyatakan
bahwa kinerja merupakan indikator dari baik buruknya keputusan manajemen. Manajemen
dapat berinteraksi dengan lingkungan interen maupun eksteren melalui informasi yang
dituangkan dalam laporan keuangan perusahaan.
Stoner et al, (1996:9) menyatakan bahwa performance adalah ukuran seberapa efesien dan
31
efektif sebuah organisasi atau seorang manajer untuk mencapai tujuan yang memadai.
Adapun pengertian efisien adalah kemampuan untuk meminimalkan penggunaan sumber
daya dalam mencapai organisasi berarti dapat melakukan dengan tepat, sedangkan
efektivitas adalah kemampuan untuk menentukan tujuan yang memadai berarti melakukan
hal yang tepat.
Pengertian kinerja menurut G.Sugiyarso dan F Winarni (2005:11) adalah tingkat
pencapaian hasil atau tujuan perusahaan, tingkat pencapaian misi perusahaan, tingkat
pencapaian tugas secara aktual dan pencapaian misi perusahaan. Mulyadi (2001:415)
penilaian kinerja adalah penentuan secara periodik efektivitas operasional suatu operasional
suatu organisasi dan karyawannya berdasarkan sasaaran, standard dan kriteria yang telah
ditetapkan sebelumnya. Saat ini yang masih dilakukan dalam melakukan pengukuran
terhadap kinerja perusahaan adalah rasio-rasio keuangan dari laporan keuangan seperti rasio
profitabilitas, rasio likuiditas, rasio solvabilitas dan rasio aktivitas, menurut Bambang
Riyanto (2001:338) rasio adalah perbandingan antara data yang didapat dalam rugi laba,
rasio merupakan sarana analisis untuk mengetahui kinerja perusahaan serta untuk
mengetahui hubungan antara pos-pos tersebut. Menurut Bambang Riyanto (2001:340)
terdapat jenis – jenis rasio keuangan dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu:
1. Rasio Likuiditas
Rasio likuiditas adalah rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam
memenuhi kewajiban financialnya.
32
2. Rasio Aktivitas
Rasio Aktivitas adalah rasio yang mengukur sampai seberapa besar efektifitas
perusahaan dalam menggunakan sumber dayanya.
3. Rasio Leverage
Rasio Leverage adalah rasio yang mengukur sejauh mana aktiva perusahaan dibiayai
dengan hutang perusahaan
4. Rasio Profitabilitas
Rasio Profitabilitas adalah rasio yang mengukur efektifitas manajemen berdasarkan
hasil pengembalian yang dihasilkan dari penjualan dan investasi. Rasio ini
merupakan rasio yang sering digunakan dalam mengukur kinerja suatu perusahaan.
Mulyadi (2001:434) menjelaskan adanya tiga macam ukuran yang dapat digunakan untuk
mengukur kinerja secara kuantitatif yaitu:
1. Ukuran Kinerja Tunggal (Singel Criterion)
Ukuran kinerja yang hanya menggunakan satu macam ukuran untuk menilai kinerja
manajer.
2. Ukuran Kinerja Beragam (Multiple Criterion)
Ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran untuk menilai kinerja
manajer.
3. Ukuruan Kinerja Gabungan (Composite Criterion)
33
Ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran memperhitungkan bobot
masing-masing ukuran dan menghitung rata-ratanya sebagai ukuran menyeluruh
kinerja manajer.
2.3.2. Manfaat dan Tujuan Kinerja Perusahaan
Penilaian kinerja perusahaan sebaiknya dapat dijadikan sebagai syarat mutlak bagi
penempatan sumber daya ketika akan melaksanakan kegiatan baru, memperhitungkan
pendapatan dan biaya serta investasi suatu proyek.
Menurut Mulyadi (2001:415), penilaian kinerja perusahaan dimanfaatkan oleh manajemen
dalam rangka untuk sebagai berikut:
1. Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui memotivasi
karyawan secara maksimal
2. Membantu pengambilan keputusan yang berhubungan dengan karyawan seperti
promosi, transfer, dan pemberhentian
3. Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan untuk
menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan
4. Menyediakan umpan balik bagi karyawan bagaimana atasan menilai mereka.
5. Menyediakan suatu dasar bagi distribusi penghargaan.
Tujuan penilaian kinerja perusahaan menurut Munawir (2000:31) adalah sebagai berikut:
34
a) Mengetahui tingkat likuiditas, yaitu kemampuan perusahaan untuk memperoleh
kewajiban keuangannya yang harus segera dipenuhi atau kemampuan perusahaan
untuk memenuhi keuangannya pada saat ditagih.
b) Meningkatkan solvabilitas, yaitu kemampuan perusahaan untuk memenuhi
kewajiban keuangannya apabila perusahaan untuk memenuhi kewajiban
keuangannya apabila perusahaan tersebut dilikuidasi baik kewajiban keuangan
jangka pendek maupun jangka panjang.
c) Mengetahui tingkat rentabilitas atau profitabilitas, yaitu menunjukan kemampuan
perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu.
d) Mengetahui tingkat stabilitas usaha, kemampuan perusahaan untuk melakukan
usahanya dengan stabil, yang mana diukur dengan mempertimbangkan kemampuan
perusahaan untuk membayar beban bunga atas hutang-hutangnya termasuk
membayar kembali pokok hutangnya tepat pada waktunya serta kemampuan
membayar deviden secara teratur kepada para pemegang saham tanpa mengalami
hambatan atau krisis keuangan.
2 .3 .3 . Return on Asset (ROA) Return on Asset (ROA) merupakan salah satu bagian dari rasio profitabilitas dalam analisa
laporan keuangan atau pengukuran kinerja perusahaan, bentuk yang paling mudah dari
35
analisis profitabilitas dalam menghubungkan laba bersih (EBIT) yang dilaporkan terhadap
total aktiva. Pengertian Return on Asset (ROA) menurut Mamduh M Hanafi dan Abdul
Halim (2004:75) adalah rasio yang mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba
dengan menggunakan total asset yang dimiliki oleh perusahaan setelah disesuaikan dengan
biaya-biaya untuk mendanai asset tersebut. Menurut Mardiyanto (2009:196) adalah rasio
yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba yang
berasal dari aktivitas investasi. Menurut Dendawijaya (2003:120) rasio ini digunakan untuk
mengukur kemampuan manajemen dalam memperoleh laba secara keseluruhan. Semakin
besar ROA, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai oleh perusahaan tersebut
dan semakin baik pula perusahaan tersebut dalam segi penggunaan assetnya. Menurut
Lestari dan Sugiarto (2007:196) ROA adalah rasio yang digunakan untuk mengukur
keuntungan bersih yang diperoleh dari aktiva. Dengan kata lain semakin tinggi rasio ini
maka semakin baik produktivitas asset dalam memperoleh keuntungan bersih. Hal tersebut
yang selanjutnya meningkatkan daya tarik perusahaan kepada investor. Peningkatan daya
tarik perusahaan menjadikan perusahaan tersebut semakin diminati oleh investor, karena
tingkat pengembalian atau deviden akan semakin besar. Hal ini juga akan berdampak pada
harga saham dari peruahaan tersebut di pasar modal yang akan semakin meningkat sehingga
ROA akan berpengaruh terhadap saham perusahaan. Menurut Lestari dan Sugiharto
(2007:196) angka ROA dapat dikatakan baik apabila > 2%. ROA dapat membantu
perusahaan yang telah menjalankan praktik akuntansi dengan baik untuk dapat mengukur
36
efisiensi penggunaan modal yang menyeluruh, yang sensitif terhadap setiap hal yang
mempengaruhi keadaan keuangan perusahaan sehingga dapat diketahui posisi perusahaan
terhadap industri. Hal ini merupakan salah satu langkah perencanaan strategi.
2 .4 . Cash F low f rom Opera t ing Act iv i tes /CFO Menurut Belkaoui (2006) pengertian dari laporan arus kas itu sendiri adalah: “ Laporan arus
kas memberikan gambaran kas masuk dan kas keluar sebagai hasil dari aktivitas investing,
financing dan operating serta memberikan gambaran tentang tentang net cash flow from
operating activities , cash flow from investing activities dan cash flow from financing.” Arus
kas operasi adalah arus kas yang diperoleh dari penghasilan utama perusahaan, dimana hal
ini mempengaruhi laba atau rugi. Menurut Philip, Pincus, dan Rego(2003) yang berpendapat
bahwa peningkatan arus kas operasi mencerminkan peningkatan kinerja sekarang dan
mengurangi keperluan manajemen dalam melakukan pengaturan terhadap laba perusahaan.
Laporan arus kas mengklasifikasikan penerimaan kas dan pembayaran kas berdasarkan
aktivitasnya, yaitu sebagai berikut:
1. Operating cash flow (CFO), adalah arus kas yang berkaitan dengan laba yang dilaporkan
dalam Laporan Laba/Rugi dan juga dari kegiatan operasional lainnya.
2. Investing Cash Flow (CFI), adalah arus kas yang berhubungan dengan perolehan fasilitas
investasi dan non kas lainnya yang digunakan oleh perusahaan.
37
3. Financing Cash Flow (CFF), adalah arus kas yang berhubungan dengan kegiatan untuk
mendapatkan dana dari perusahaan dan pembayaran kembali kepada pemilik dan kreditur
atas dana yang diberikan sebelumnya.
2 .5 . Growth
Pertumbuhan (growth) merupakan salah satu indikator dalam mengukur maju tidaknya
suatu perusahaan. Perusahaan dapat dikatakan mengalami pertumbuhan yang lebih baik
apabila dilihat dari konsistensinya dalam aktivitas utama dalam operasinya. Pertumbuhan
tinggi yang dimiliki oleh perusahaan akan menimbulkan kesenjangan informasi antara
manajer dan investor yang mana hal ini berkaitan dengan kualitas proyek investasi
perusahaan. Menurut Weston dan Brigham (1991) Penjualan memiliki pengaruh yang
strategis dalam suatu perusahaan karena penjualan yang dilakukan harus didukung dengan
adanya asset yang tersedia sehingga dengan demikian dapat dikatakan asset akan
meningkat. Pandey (2001) dalam Supriyaanti dan Falikhatun (2008) perusahaan yang
penjualannya tumbuh secara cepat perlu untuk menambah aset tetapnya, sehingga
pertumbuhan penjualan yang tinggi akan menyebabkan perusahaan mencari dana yang lebih
besar.
Pertumbuhan perusahaan dapat diukur dengan berbagai cara, misalnya dengan melihat
pertumbuhan penjualan. Pengukuran ini hanya dapat dilihat pertumbuhan perusahaan
tersebut dari aspek pemasaran perusahaan saja. Pengukuran yang lainnya dengan melihat
38
pertumbuhan laba operasi perusahaan, melalui pengukuran ini perusahaan dapat melihat
aspek pemasaran tetapi juga efisiensi perusahaan dalam memanfaatkan sumber daya yang
dimilikinya. Pengukuran tersebut dengan mengukur laba bersih, dimana diinputnya laba
bersih ini adalah modal sedangkan outputnya adalah laba.
2 .6 . S ize Ukuran perusahaan atau skala perusahaan adalah ukuran perusahaan yang ditentukan dari
jumlah aset yang dimiliki oleh perusahaan. Ukuran perusahaan dapat ditentukan oleh laba
yang diperoleh dari perusahaan. Besar ukuran perusahan juga dapat dinyatakan dalam total
aktiva, penjualan dan kapitalisasi pasar. Semakin besar total aktiva, penjualan dan
kapitalisasi pasar maka semakin besar juga ukuran perusahaan tersebut. Penelitian yang
dilakukan Defond dalam Veronica dan Bachtiar (2008) mengidentifikasi bahwa ukuran
perusahaan memiliki pengaruh terhadap pengelolaan laba, perusahaan yang besar
mempunyai insentif yang cukup besar untuk melakukan manajemen laba dimana salah satu
alasan utamanya adalah perusahaan besar harus mampu memenuhi ekspekstasi dari investor
atau pemegang sahamnya.
Menurut Watts dan Zimmerman (1986) motivasi dalam memaukan size adalah political cost
hypothesis yaitu perusahaan besar sering menjadi sasaran politik yang menimbulkan biaya,
kondisi ini mendorong manajer untuk memilih metode akuntansi yang menghindari biaya.
Size dapat diukur dengan menggunakan natural log total aktiva, nilai penjualan, kapitalisasi
39
pasar sekuritas, modal perusahaan.
2 .7 . Market to Book Va lue o f Equ i ty
Market to book value of equity ini merupakan rasio nilai buku ekuitas terhadap nilai pasar
merupakan alat untuk mengukur invesment opportunity set (IOS) yang dianggap paling baik
untuk menggambarkan invesment opportunity set (IOS) perusahaan. Rasio ini dapat
diperoleh dengan mengalikan jumlah lembar saham beredar dengan harga penutupan saham
terhadap total ekuitas. Bagi para investor yang akan melakukan pembelian saham
perusahaan, penilaian terhadap kemampuan perusahaan dalam mendapatkan dan mengelola
modal merupakan suatu hal yang penting. Apabila suatu perusahaan dapat memanfaatkan
modalnya dengan baik dalam menjalankan usaha, semakin besar kemungkinan harga saham
perusahaan tersebut diperkirakan meningkat, return saham pun akan meningkat. Menurut
Myers (1977) menguraikan pengertian perusahaan, yaitu sebagai suatu kombinasi antara
aktiva riil (asset in place) dan opsi investasi masa depan. Menurut Gaver (1983) opsi
investasi masa depan tidak semata-mata hanya ditunjukkan dengan adanya proyek-proyek
yang didukung oleh kegiatan riset dan pengembangan saja, tetapi juga dengan kemampuan
perusahaan dalam mengekploitasi kesempatan mengambil keuntungan dibandingkan dengan
perusahaan lain yang setara dalam suatu kelompok industrinya.
40
2 .8 . Pene l i t ian Sebe lumnya dan Pengembangan Hipotes is
2 .8 .1 . Hubungan antara As imet r i In formas i te rhadap Discre t ionary Accrua l
Manajemen dapat melakukan tindakan meningkatkan nilai perusahaan dengan cara
pengungkapan informasi tambahan dalam laporan keuangan yang mana hal ini dapat
mengurangi asimetri informasi sehingga kesempatan untuk melakukan discretionary
accrual akan menjadi lebih kecil. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Richardson
(1998) menemukan hubungan yang positif antara asimetri informasi dengan manajemen
laba (earning management). Penelitian tersebut didukung oleh penemuan yang dilakukan
oleh Lobo dan Zhou (2001), Halim dkk (2005), serta Rahmawati (2006). Lobo dan Zhou
(2001) menemukan manajemen laba dan tingkat pengungkapan laporan keuangan memiliki
hubungan negatif. Suatu perusahaan yang melakukan manajemen laba (earning
management) akan melakukan pengungkapan informasi yang lebih sedikit dalam laporan
keuangannya dalam melakukan pencegahan pendektesian oleh pihak terkait.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya, penulis ingin
mencari apakah terdapat pengaruh antara asimetri informasi dengan manajemen laba.
H1: Terdapat pengaruh antara asimetri informasi pada discretionary accrual .
41
2 .8 .2 . Hubungan antara K iner ja Keuangan te rhadap Discre t ionary Accrua l
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suyudi (2009), penelitian ini menguji apabila
kinerja perusahaan buruk pihak manajemen akan melakukan tindakan manajemen laba yaitu
dengan cara menaikan laba akuntansinya, begitu pula sebaliknya bila perusahaan berkinerja
baik pihak manajemen akan melakukan tindakan manajemen laba yaitu dengan menurunkan
laba akuntansinya. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Baik et al (2011), Hamza dan
Lakhal (2010), serta Shimin et al (2009) yang menemukan hasil penelitian adanya pengaruh
positif kinerja perusahaan dengan rasio profitabilitas yang di proksi dengan Return on Asset
(ROA) pada discretionary accrual. Namun penelitian tersebut bertentangan dengan
penelitian Omid et al(2012), Anjun et al(2012), Tahir et al(2011), Aji dan Mita(2010) serta
Herni Susanto (2008) menunjukan pengaruh negatif Return On Asset (ROA) pada
manajemen laba (earning management) yang mana berarti bahwa semakin baik kinerja
perusahaan yang diproksi dengan ROA maka tindakan manajemen laba (earning
management) semakin menurun. Hal ini berarti pada perusahaan yang dimiliki kinerja
perusahaan yang baik maka perilaku oportunis dari pihak manajemen dalam hal ini tindakan
manajemen laba akan menurun. Hal ini membuktikan bahwa pihak manajemen tidak tertarik
dalam melakukan manajemen laba karena dilihat dari kinerja perusahaan yang sudah sesuai
dengan ekspektasi.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya, penulis ingin
42
mencari apakah terdapat pengaruh antara kinerja perusahaan dengan manajemen laba.
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat dinyatakan hipotesis sebagai berikut:
H2: Terdapat pengaruh antara kinerja perusahaan yang diproksi dengan Return On Asset
(ROA) pada discretionary accrual.
2 .8 .3 . Hubungan antara Arus Kas Operas i te rhadap Discre t ionary Accrua l
Menurut penelitian Rahmawati dkk (2006) arus kas operasi berpengaruh terhadap praktik
manajemen laba.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya, penulis ingin
mencari apakah terdapat pengaruh antara arus kas operasi dengan manajemen laba.
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat dinyatakan hipotesis sebagai berikut:
H3: Terdapat pengaruh antara arus kas operasi pada discretionary accrual.
2 .8 .4 Hubungan antara Growth t e rhadap Discre t ionary Accrua l
Pertumbuhan yang diukur dengan sales growth adalah yaitu perubahan jumlah penjualan
perusahaan yang terjadi pada tahun ini dengan jumlah penjualan tahun sebelumnya dibagi
dengan jumlah penjualan tahun sebelumnya. Menurut Mc Nichols (2000) menyebutkan
besarnya discretionary accrual terkait dengan growth perusahaan, karena perusahaan
43
umumnya ingin memperlihatkan tingkat pertumbuhannya yang konstan. Menurut penelitian
Rahmawati dkk (2006) penghasilan bersih berpengaruh terhadap praktik manajemen laba.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya, penulis ingin
mencari apakah terdapat pengaruh antara penghasilan bersih dengan manajemen laba.
H4: Terdapat pengaruh antara penghasilan bersih pada discretionary accrual.
2 .8 .5 Hubungan antara Ukuran Perusahaan te rhadap Discre t ionary Accrua l
Menurut penelitian Rahmawati dkk (2006) ukuran perusahaan berpengaruh terhadap praktik
manajemen laba. Perusahaan yang besar mempunyai peluang dalam melakukan praktik
manajemen laba dalam memenuhi keinginan investor dan pemegang saham.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya, penulis ingin
mencari apakah terdapat pengaruh antara ukuran perusahaan dengan manajemen laba.
H5: Terdapat pengaruh antara ukuran perusahaan pada discretionary accrual.
2 .8 .6 . Hubungan antara Market to Book Va lue o f
Equ i ty te rhadap Mana jemen Laba Menurut Zmijewski dan Hagerman (1981) yang menyatakan bahwa biaya politik meningkat
seiring berkembangnya dan besarnya perusahaan dan risiko terkait dengan perusahaan,
dengan demikian adalah salah satu proxy yang mana untuk menilai besarnya perusahaan dan
resiko perusahaan yaitu rasio market to book value of equity. Menurut penelitian Richardson
44
(1998) market to book value of equity berpengaruh terhadap praktik discretionary accrual.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya, penulis ingin
mencari apakah terdapat pengaruh antara market to book value of equity dengan
discretionary accrual.
H6: Terdapat pengaruh market to book value of equity perusahaan pada discretionary
accrual.
45
46
47
Gambar 2.5 Kerangka Konseptual