BAB II LANDASAN TEORI -...

24
15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Supply Chain Secara mendasar, Supply Chain menurut Chaffey dan Woods (2005), adalah pengaturan dari seluruh aktivitas pengadaan oleh sebuah organisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya. Sedangkan menurut Romney dan Steinbart (2006), Supply Chain ialah perpanjangan sistem yang mencakup Value Chain dari sebuah organisasi beserta pemasok, distributor dan konsumennya (lihat gambar 2.1). Gambar 2.1. Supply Chain menurut Romney dan Steinbart. Sumber: Accounting Information Systems. 10th Edition. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI -...

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/TSA-2010-0013-bab2.pdforganisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya. Sedangkan

15  

BAB II

LANDASAN TEORI

 

2.1. Supply Chain Secara mendasar, Supply Chain menurut Chaffey dan Woods

(2005), adalah pengaturan dari seluruh aktivitas pengadaan oleh sebuah

organisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya.

Sedangkan menurut Romney dan Steinbart (2006), Supply Chain

ialah perpanjangan sistem yang mencakup Value Chain dari sebuah

organisasi beserta pemasok, distributor dan konsumennya (lihat gambar

2.1).

Gambar 2.1. Supply Chain menurut Romney dan Steinbart.

Sumber: Accounting Information Systems. 10th Edition. Upper Saddle River,

NJ: Prentice Hall.

 

 

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/TSA-2010-0013-bab2.pdforganisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya. Sedangkan

16  

 

2.2. Supply Chain Management (SCM) Pada penerapannya, Supply Chain kemudian berkembang menjadi

sebuah fungsi yang dibutuhkan oleh perusahaan. Dimana fungsi ini harus

dapat mendukung kebutuhan perusahaan, serta dapat dipantau dengan

baik. Hal ini dirasakan oleh perusahaan yang memiliki kebutuhan untuk

melakukan perpindahan barang atau bahan baku pendukung kegiatan

perusahaan. Bila dahulu fungsi ini sering disebut dengan logistic - maka

dalam pengembangannya - disadari tidak hanya sebatas cakupan pada

logistic saja (perpindahan secara fisik), tapi terhubung dengan disiplin

ilmu lainnya. Sehingga kemudian muncul terminologi Supply Chain

Management (SCM) yang kini diadopsi secara luas.

Menurut Whitten, Bentley dan Dittman (2004), Supply Chain

Management ialah sebuah aplikasi perangkat lunak yang mengoptimalkan

proses bisnis pengadaan bahan baku sampai kepada distribusi barang jadi,

dengan mengintegrasikan secara langsung sistem informasi logistik yang

dikelola oleh organisasi dengan sistem yang ada pada pemasok dan

distributor.

Sedangkan menurut Turban, Rainer dan Potter (2002), SCM ialah

perencanaan dan pengendalian arus asal barang dan material, sampai

dengan produksi dan pengirimannya ke konsumen, sehingga dapat

mencapai tujuan untuk sampai ke pasar lebih cepat, mengurangi tingkat

persediaan, biaya yang lebih rendah dan meningkatkan layanan bagi

pelanggan.

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/TSA-2010-0013-bab2.pdforganisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya. Sedangkan

17  

 

Adapun menurut Balou (2007), Supply Chain Management

merupakan perkembangan dari penggabungan fungsi logistik, Material

Management, Purchasing, Transportation. Konvergensi fungsi-fungsi ini

baru dirasakan pada tahun 2000an, yang kemudian dikenal sebagai Supply

Chain Management (lihat gambar 2.2).

 

Gambar 2.2. Evolusi Konvergensi Disiplin Ilmu ke dalam SCM.

Sumber: European Business Review (2007) Vol. 19 No. 4, pp. 332-348.

Pendapat ini mendukung perumusan sub proses yang telah disusun

oleh Lambert dkk (1998), dimana di dalam SCM harus terdapat sub proses

sebagai berikut:

1. Customer Relationship Management;

2. Customer Service Management;

3. Demand Management;

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/TSA-2010-0013-bab2.pdforganisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya. Sedangkan

18  

 

4. Order Fulfillment;

5. Manufacturing Flow Management;

6. Supplier Relationship Management;

7. Product Development and Commercialization; and

8. Returns Management.

SCM pada penerapannya SCM mencakup integrasi antara Supplier,

Customer dan perusahaan berserta fungsi di dalamnya sebagai satu

kesatuan, dengan berbagai alternatif cakupan sebagai berikut (Fawcett &

Magnan, 2002):

Gambar 2.3. Cakupan SCM menurut Fawcett dan Magnan.

Sumber: International Journal of Physical Distribution & Logistics

Management (2002) Vol. 32 No. 5, pp. 339-61

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/TSA-2010-0013-bab2.pdforganisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya. Sedangkan

19  

 

Dengan semakin luasnya cakupan SCM, maka tidak hanya terbatas

pada sisi Supplier maupun konsumen saja, tetapi juga bagi kedua belah sisi

dan pihak yang terkait dengan masing-masing sisi tersebut. Makin luasnya

cakupan, akan semakin meningkatkan tingkat kerumitan integrasi SCM.

Kolaborasi antar unsur Supply Chain merupakan inti

keberlangsungan SCM saat ini dan di masa yang akan datang, untuk itu,

diperlukannya beberapa fitur dalam SCM guna mendukung kolaborasi

tersebut, yaitu:

1. Pembagian informasi bersama dan semangat untuk

bekerjasama;

2. Sistem informasi yang melibatkan setiap unsur SCM;

3. Metriks yang diterima tiap organisasi yang berada pada SCM;

4. Cara pandang yang sama terhadap identifikasi manfaat; dan

5. Cara pembagian keuntungan dari hasil kerjasama.

2.3. Posisi SCM dalam E-Business Application Architecture

Pada penerapannya, SCM tidak lepas dari fungsi teknologi (baik itu

TI/SI) sebagai enabler. Teknologi mendorong berkembangnya batas-batas

maupun kesempatan baru dalam menjalankan model usaha dari suatu

perusahaan. Dimana kini teknologi dituntut tidak hanya mendukung

operasional perusahaan (internal), namun juga mampu untuk

menghubungkan perusahaan dengan entitas lain yang berada di luar

organisasinya (eksternal), bahkan sampai tingkatan pelanggan.

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/TSA-2010-0013-bab2.pdforganisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya. Sedangkan

20  

 

Persyaratan ini dapat dipenuhi dengan konsep E-Business. Dalam

E-Business Application Architecture, Kalakota dan Robinson (2001)

memetakan applikasi yang digunakan untuk pengambilan keputusan

(Decision Support) dan integrasi antar perusahaan (Enterprise

Integration), ke dalam dua bagian besar (lihat gambar 2.4).

Pertama, dimana Supply Chain Management sebagai bagian

perpanjangan dari ERP. Dimana fungsi logistik, distribusi dan produksi

telah termasuk ke dalamnya. Fungsi ini akan mengintegrasikan antara

pemasok, distributor dan reseller ke dalam satu sistem, yaitu Supply Chain

Management.

Kedua, sebagai bagian dari Customer Relatioship Management

yang mencakup fungsi Marketing, Sales dan Customer Services. Dimana

fungsi ini merupakan penghubung antara perusahaan dengan Konsumen

dan Reseller sebagai bagian dari Selling Chain Management.

Dengan berjalannya pengambilan putusan dan integrasi antar

perusahaan, maka akan membawa dampak secara internal bagi perusahaan.

Pertama, adalah peningkatan pengendalian administratif berupa

pengelolaan sumber daya manusia, sebagai penghubung dengan pihak

pegawai. Kedua, adalah untuk meningkatkan pengendalian manajemen

terhadap kinerja keuangan, akuntansi dan audit, sebagai penghubung

dengan pihak Stakeholder (lihat gambar 2.4).

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/TSA-2010-0013-bab2.pdforganisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya. Sedangkan

21  

 

Gambar 2.4. Pemetaan SCM dalam E-Business Application Architecture.

(Kalakota dan Robinson, 2001).

Sumber: E-Business 2.0: Roadmap for Success. Addison-Wesley Publishing

Company, Inc.

Kemampuan untuk menghubungkan berbagai pihak melalui peran

SCM, diharapkan mampu memenuhi tujuan (goals) dari segi perusahaan

dengan menjalankan E-Business maupun ekspektasi daripada konsumen.

Kedua hal tersebut harus disertai dengan penyesuaian secara

internal dari perusahaan. Sehingga baik dari sisi konsumen boleh

diyakinkan akan efektivitas proses yang ada di dalam SCM (indikator

harga dan waktu kirim), dan dari sisi perusahaan akan memiliki rasa

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/TSA-2010-0013-bab2.pdforganisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya. Sedangkan

22  

 

tanggung jawab untuk dapat menyediakan layanan yang terbaik (lihat

gambar 2.5).

Gambar 2.5. Pemenuhan Tujuan Perusahaan dan Ekspektasi Konsumen.

(Kalakota dan Robinson, 2001).

Sumber: E-Business 2.0: Roadmap for Success. Addison-Wesley Publishing

Company, Inc.

Dengan TI/SI sebagai “Enabler” SCM, maka menurut Chaffey dan

Woods (2005) perusahaan akan memperoleh manfaat sebagai berikut:

1. Increased efficiency of individual processes

Mengurangi siklus waktu yang dibutuhkan untuk

menyelesaikan sebuah proses beserta sumber dayanya

Keuntungan: Mengurangi siklus waktu dan biaya per order

2. Reduced complexity of the supply chain

Proses disintermediasi dari siklus waktu dan sumber daya pada

Supply Chain, dimana perusahaan dapat secara langsung

memesan dari Supplier tanpa melalui perantaraan distributor

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/TSA-2010-0013-bab2.pdforganisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya. Sedangkan

23  

 

dan memampukan konsumen untuk memesan langsung secara

online.

Keuntungan: Mengurangi biaya dari saluran distribusi dan

penjualan

3. Improved data integration between elements of the supply

chain

Sebuah perusahaan dapat berbagi informasi dengan Supplier

sesuai dengan kebutuhan produk untuk mengoptimalkan proses

penyediaan barang.

Keuntungan: Pengurangan biaya pemrosesan berbasiskan

kertas dan mengurangi biaya persediaan.

4. Reduced cost through outsourcing

Perusahaan dapat meng-“Outsource”-kan atau melakukan

integrasi secara virtual untuk memindahkan asset dan biaya

(misalnya persediaan) kepada pihak ketiga.

Keuntungan: Biaya yang lebih rendah untuk memudahkan

penentuan harga dan mengurangi pengeluaran berdasarkan

kapasitas produksi dan penyimpanan.

5. Innovation

Memungkinkan penawaran produk atau jasa baru, maupun cara

baru untuk melakukan pemesanan kepada konsumen.

Keuntungan: Tanggapan yang lebih baik dari konsumen

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/TSA-2010-0013-bab2.pdforganisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya. Sedangkan

24  

 

Perubahan Proses Supply Chain akibat penerapan TI sangat terasa

pada penggunaan internet untuk mendukung SCM. Dimana tiap unsur,

mulai dari Supplier, Produsen (Manufacturer), Retailer dan pelanggan

dapat terhubung ke dalam sebuah solusi yang mencakup penggunaan data

secara bersama dan memampukan tiap-tiap unsur di dalam jaringan untuk

dapat memenuhi kebutuhannya.

Penerapan ini memungkinkan proses fungsional SCM (Strategic

Sourcing and Procurement, Forecast and Demand Planning, Customer

Order Fullfilment, Distribution Network and Warehouse Operation,

Production Logistic, dan Transportation and Shipment Management)

untuk dapat memenuhi life cycle Supply Chain. Hal ini dapat dimampukan

bila perusahaan tersebut menggunakan suatu sistem informasi yang sesuai

dengan kebutuhannya dan memampukan untuk mengatur sumber daya

yang ada secara optimal.

Penerapan TI dan dampaknya dapat digambarkan sebagai berikut,

(Kalakota dan Robinson, 2001):

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/TSA-2010-0013-bab2.pdforganisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya. Sedangkan

25  

 

Gambar 2.6. Penerapan TI terhadap Supply Chain.

Sumber: E-Business 2.0: Roadmap for Success. Addison-Wesley Publishing

Company, Inc.

2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kompleksitas SCM Dalam penerapan SCM, terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi kompleksitasnya. Dimana faktor-faktor ini terkait produk

atau jasa yang mempengaruhi kompleksitas dari SCM (Cucchiella and

Gastaldi, 2006), yaitu:

1. Skala,

2. Pengembangan teknologi,

3. Kuantitas komponen sub-sistem,

4. Derajat penyesuaian komponen pada produk akhir ataupun

jasa,

5. Kuantitas alternatif perancangan dan pengiriman,

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/TSA-2010-0013-bab2.pdforganisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya. Sedangkan

26  

 

6. Jumlah “Feedback Loops” pada sistem produksi dan

pengiriman,

7. Variasi dari tiap basis ilmu,

8. Keahlian dan kompetensi yang dibutuhkan untuk

menghasilkan produk atau jasa,

9. Intensitas dan tingkatan keterlibatan “end-user”,

10. Ketidakpastian dan perubahan dari persyaratan maupun

keterlibatan “end-user”,

11. Tingkatan keterlibatan Supplier pada proses inovasi dan

transformasi,

12. Keterkaitan dengan regulasi,

13. Jumlah pihak yang terlibat dalam jaringan kerja,

14. Pengaturan secara web maupun keuangan untuk mendukung

produk atau jasa, dan

15. Tingkat intevensi secara politis maupun oleh Stakeholder

Selain faktor produk dan jasa Van Der Vorst, et al, 1998, juga

mengidentifikasikan tiga penyebab ketidakpastian di dalam sebuah Supply

Chain, yaitu:

1. Order forecast horizon,

2. Input data, dan

3. Decision processes

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/TSA-2010-0013-bab2.pdforganisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya. Sedangkan

27  

 

2.5. Tantangan Terhadap SCM di Masa Depan Dengan semakin berkonvegensinya berbagai disiplin ilmu dan

penerapan teknologi ke dalam Supply Chain Management, maka tantangan

yang dihadapi SCM di masa yang datang (Balou, 2007) adalah:

1. Strategi untuk menghasilkan keuntungan akan sama

pentingnya dengan bagaimana melakukan pengurangan biaya.

2. Rentang batas manfaat SCM mudah untuk diidentifikasikan

tapi sulit untuk direalisasikan.

3. Koordinasi dan kolaborasi, disertai dengan rasa saling percaya,

merupakan elemen terpenting untuk merealisasikan

kesempatan yang ada.

4. Pembagian informasi antar para anggotanya akan terus

berlangsung dengan memanfaatkan teknologi, baik itu dalam

bentuk koordinasi, kompromi maupun kerja sama.

5. Metriks pengukuran batas diperlukan untuk mengidentifikasi

manfaat Supply Chain dan melacak letak manfaat tersebut pada

Supply Chain.

6. Metode pembagian manfaat harus didefinisikan dan disusun

ulang.

7. Relasi Supply Chain tidak secara alami tetap, sehingga contoh

penerapan koordinasi Supply Chain yang baik diantara

beberapa perusahaan akan dilakukan secara selektif dan dalam

waktu jangka pendek.

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/TSA-2010-0013-bab2.pdforganisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya. Sedangkan

28  

 

8. Pemahaman dasar mengenai Logistics bergeser menjadi

pemahaman Supply Chain yang diperluas dengan pemahaman

mengenai relasi dan bagaimana membangun rasa saling

percaya. 

9. Operasi, Pembelian dan Logistics akan bergabung secara

organisasi menjadi bagian dari Supply Chain. 

2.6. Industry Analysis and Performance Measurements  

2.6.1. SWOT Analysis SWOT merupakan bagian dari analisa situasi (Ward &

Peppard, 2002) dengan sudut pandang secara internal organisasi

dan secara eksternal.

Analisa internal akan berpusat pada strategi yang sedang

berjalan serta pemahaman terhadap kekuatan dan kelemahan

perusahaan. Hal-hal yang menjadi pertimbangan adalah:

ketersediaan sumber daya untuk menghasilkan produk maupun

jasa, kinerja keuangan, karyawan (keahlian, pelatihan,

pengalaman, motivasi dan kompetensi), aset fisik serta teknologi

yang digunakan, riset serta pengembangan dan organisasi

(struktur, relasi internal, efektifitas dan kemampuan mengadaptasi

perubahan).

Analisa eksternal akan mencakup lingkungan kompetitif

yang akan menggambarkan posisi perusahaan dalam pasar beserta

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/TSA-2010-0013-bab2.pdforganisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya. Sedangkan

29  

 

strategi di masa yang akan datang. Hal-hal yang menjadi

perhatian: segmen pasar serta market share yang bisa dikuasai

perusahaan, posisi organisasi terkait dengan siklus produk,

penilaian terhadap kompetitor yang ada maupun potensial, beserta

kekuatan maupun kelemahannya, dan potensi hadirnya produk

baru serta lingkungan yang mendukung terjadinya hal tersebut.

 

2.6.2. Goal Question Metrics (GQM) Menurut Basili, Caldiera dan Rombach (1994),

pengembangan perangkat lunak membutuhkan mekanisme

pengukuran sebagai masukan dan evaluasi. Pengukuran adalah

mekanisme untuk pembelajaran berdasarkan pengalaman bagi

perusahaan dan juga mampu menjawab berbagai macam

pertanyaan terkait dengan kinerja applikasi tersebut. Pengukuran

dapat digunakan untuk keperluan perencanaan, perbaikan

pelaksanaan suatu kegiatan, serta bisa digunakan utuk

mengevaluasi kulitas proses ataupun produk yang ada.

Pengukuran dapat dilakukan secara efektif apabila:

1. Fokus terhadap tujuan yang spesifik.

2. Diaplikasikan pada siklus hidup suatu produk, proses

ataupun sumber daya.

3. Menterjemahkan karakteristik dan pemahaman terhadap

konteks, lingkungan dan tujuan suatu organisasi.

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/TSA-2010-0013-bab2.pdforganisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya. Sedangkan

30  

 

Pengukuran dilakukan dengan pendekatan top-down yang

berpusat pada suatu tujuan. Pendekatan dengan cara sebaliknya,

bottom-up, tidak berjalan karena banyaknya karateristik

pengukuran yang harus dipertimbangkan.

Goal Question Metric adalah pendekatan yang didasari

akan asumsi bahwa agar suatu organisasi dapat melakukan

pengukuran secara tepat, maka organisasi tersebut harus

menspesifikasikan tujuan organisasi maupun proyeknya, serta

serta mengkaitkan tujuan dengan data yang ditujukan untuk

keperluan operasional, dan pada akhirnya menyusun suatu

kerangka kerja untuk menterjemahkan data sesuai dengan tujuan.

Pendekatan GQM disusun untuk melakukan evaluasi

kelemahan proyek-proyek NASA. Hasil dari penerapan GQM

adalah spesifikasi pengukuran sistem sesuai dengan permasalahan

yang ada beserta interpretasi data pengukuran yang tepat. Model

pengukuran terdiri atas tiga tingkatan , yaitu:

1. Level Konsep (Goal), dimana tujuan ditentukan untuk

sebuah objek berdasarkan alasan tertentu, sesuai dengan

model kualitas, sudut pandang dan lingkungannya. Objek

pengukurannya antara lain adalah produk, proses dan

sumber daya.

2. Level Operasional (Question), dengan menggunakan

pertanyaan untuk mengkarakterkan penilaian atau

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/TSA-2010-0013-bab2.pdforganisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya. Sedangkan

31  

 

pencapaian terhadap suatu tujuan berdasarkan karakter

dari model terebut.

3. Level Kuantitatif (Metric), dimana kumpulan data

diasosiasikan dengan pertanyaan secara kuantitatif

Model GQM adalah sebuah struktur hirarki dengan sebuah

sudut tujuan (mencakup tujuan pengukuran, objek yang diukur,

dan sudut pandangnya). Tujuan disaring dengan beberapa

pertanyaan (sesuai pengelimpokannya) dan menghasilkan metriks

yang memampukan untuk melakuan pengukurannya. Metrik yang

sama dapat digunakan untuk menjawab beberapa pertanyaan.

2.6.3. Balance Scorecard Balance Scorecard merupakan alat analisa yang penting

untuk mengelola kinerja organisasi dan pengembangan strategi

(Kaplan & Norton, 1996). Dimana penilaian kinerja tidak sebatas

penilaian secara indikator keuangan yang hanya menggambarkan

tindakan di masa lalu, tetapi juga memampukan penilaian dari

perspektif lain. Seperti dari sudut pandang konsumen, sudut

pandang internal dan sudut pandang inovasi serta pertumbuhan

organisasi (lihat gambar 2.8).

Sudut pandang keuangan akan menggambarkan kinerja

perusahaan bagi para pemegang saham, secara keuangan.

Sedangkan sudut pandang internal akan menggambarkan apa

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/TSA-2010-0013-bab2.pdforganisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya. Sedangkan

32  

 

yang harus dicapai oleh perusahaan untuk dapat memenuhi

ekspektasi karyawan dan mitra dagang perusahaan.

Sudut pandang konsumen akan memberikan pandangan

tentang bagaimana penerimaan kosumen terhadap produk, jasa,

relasi dan nilai tambah yang diberikan perusahaan.

Sudut pandang inovasi dan pembelajaran akan

memberikan gambaran bagaimana untuk mencapai tujuan

perusahaan.

Hasil dari keempat sudut pandang ini akan berupa tujuan

yang hendak dicapai per bagiannnya. Pencapaian tiap tujuan ini

akan diukur dengan indikator kinerja (Key Performance Indicator

– KPI).

Gambar 2.8. Balanced Scorecard.

Sumber: R.S. Kaplan and D.P. Norton, “Using the Balanced Scorecard as a

strategic management system” - Harvard Business Review, January-February

1996, 76).

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/TSA-2010-0013-bab2.pdforganisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya. Sedangkan

 

 

2.7. Ma

ilm

me

sua

pen

pen

ini

yan

dig

pen

Ha

pen

seb

Gamba

Sumber:

anagemeManag

miah untuk

embantu par

atu permasa

Metod

ngamatan,

nyusunan so

i dilakukan

ng dibutuhk

Teknik

gunakan u

nyusunan s

asil dari imp

nyusunan m

belumnya.

ar 2.8. Pen

Taylor III,

ent Sciengement Sci

k menyele

ra pengamb

alahan deng

de ilmiah u

pendefin

olusi terhad

secara ber

kan dalam m

k-teknik ya

untuk mem

solusi yang

plementasi

model dan s

dekatan M

, Bernard W

nces Appience adala

esaikan su

bil keputusa

gan lebih bai

untuk meny

isian ma

dap permasa

rurut untuk

menyelesaik

ang terdapa

mbantu da

g diperluka

dapat menj

solusi, apab

Management

W. (2007). I

plicationah penerapa

uatu perma

an untuk me

ik.

yelesaikan p

asalah, pe

alahan dan

memberik

kan masalah

at pada M

lam pemo

an dan kem

jadi masuk

bila tidak s

t Science da

Introductio

ns on SCan dari pe

asalahan,

emutuskan j

permasalah

enyusunan

implementa

kan informa

h tersebut.

Management

odelan per

mudian diim

an bagi pen

esuai denga

alam Penel

on to Manag

CM ndekatan s

sehingga

jalan kelua

han dimulai

permasal

asi solusi. P

asi dan feed

Science,

rmasalahan

mplementas

nentian mas

an pendefin

 

litian Ilmia

gement Sci

33 

secara

dapat

ar dari

i dari

lahan,

Proses

dback

dapat

dan

sikan.

salah,

nisian

ah.

ience.

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/TSA-2010-0013-bab2.pdforganisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya. Sedangkan

34  

 

Pengambilan keputusan yang bersifat strategis berdasarkan data

operasional (diantaranya adalah Forecasting dan Decision Making) dalam

Supply Chain Management dapat memampukan untuk pengambilan

putusan secara strategis berdasarkan data operasional yang tersedia.

2.7.1 Forecasting Forecasting berguna agar menjadi tambahan informasi bagi

suatu perusahaan dalam memperkirakan jumlah permintaan suatu

barang dalam rentang season yang ditentukan, agar dapat

melakukan persiapan pemesanan sebelumnya. Forecasting adalah

prediksi akan apa yang terjadi di masa mendatang (Taylor III,

2007). Penerapan Forecasting secara luas telah dilakukan pada

bidang olahraga maupun di bidang bisnis untuk menentukan tingkat

permintaan di masa yang akan datang guna pengambilan putusan

yang menentukan kesuksesan perusahaan.

Metode Forecasting bergantung pada unsur-unsur berikut:

1. Lamanya rentang waktu Forecasting. Bisa dalam

jangka waktu pendek, menengah maupun jangka

panjang. Penentuan rentang waktu bergantung pada

kebijakan organisasi.

2. Keberadaan pola. Dimana teradapat kecenderungan

tertentu yang menggambarkan naik turunnya

permintaan.

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/TSA-2010-0013-bab2.pdforganisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya. Sedangkan

35  

 

3. Variable yang memperuhi secara langsung forecast.

Pola Forecasting umumnya terkait dengan tren, siklus

maupun pola musiman. Tren merupakan cerminan naik turunnya

permintaan dalam jangka waktu yang panjang. Siklus

menggambarkan pergerakan berulang akan naik atau turunnya

jumlah permintaan. Sedangkan pola musiman menunjukan naik

turunnya permintaan berulang dalam suatu periode dan erat

kaitannya dengan pengaruh musim.

Mengingat sifat SCM pada industri furniture yang erat

pengaruhnya dengan pemesanan yang berulang (repeat order) dan

fluktuasi permintaan berdasarkan musim (misalnya negara-negara

di Eropa), maka penerapan Management Science untuk Forecasting

dapat dilakukan dengan menggunakan metode seasonal factor.

Seasonal factor adalah nilai numeric yang dikalikan dengan

perkiraan normal sehingga dapat menghasilkan nilai perkiraan

seasonalnya.

2.7.2 Decision Making – Analytical Hierarchy Process (AHP)

Situasi dimana pemilihan Supplier maupun situasi dimana

jumlah dan kapasitas produksi Supplier yang ada lebih kecil

daripada pesanan yang masuk, menuntut adanya penilaian

kelayakan Supplier tambahan (sourcing). Hal ini belum dapat

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/TSA-2010-0013-bab2.pdforganisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya. Sedangkan

36  

 

diakomodasi oleh Allegro dan dirasakan akan mampu ditingkatkan

(improvement) sebagai perbaikan pasca implementasi.

Masalah ini dapat diatasi dengan penerapan Science

Management, dengan menggunakan pendekatan Analytical

Hierarchy Process (AHP).

Analytical Hierarchy Processing (AHP) adalah suatu

metode yang dikembangkan oleh Thomas Saaty (Taylor III, 2007)

untuk membantu menyusun prioritas dari berbagai pilihan yang

memiliki banyak kriteria (multi criteria) guna membandingkan

beberapa objectives atau alternatif secara sistematis. AHP dapat

membuat keputusan secara hirarki yang terstruktur dengan

keputusan utama berada di posisi yang tertinggi pada model, tujuan

strategis berada di tingkat yang lebih tinggi, kriteria evaluasi berada

di tingkat tengah, dan alternatif pilihan berada di bagian bawah.

Model ini dapat digambarkan pada gambar 2.9.

Gambar 2.9. Model Pemilihan Alternatif Keputusan Berdasarkan Kriteria.

Sumber: Part of Research.

GOAL

Criteria 1 Criteria 2 Criteria 3 Criteria 4

Choice 1

Choice 5Choice 4

Choice 2 Choice 3 Choice 4

GOALGOAL

Criteria 1Criteria 1 Criteria 2Criteria 2 Criteria 3Criteria 3 Criteria 4Criteria 4

Choice 1

Choice 5Choice 4

Choice 2 Choice 3 Choice 4

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/TSA-2010-0013-bab2.pdforganisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya. Sedangkan

37  

 

AHP menyediakan struktur kerangka kerja, menggunakan

pair-wise comparison. Pair-wise comparison adalah suatu proses

evaluasi dimana setiap kriteria diberikan suatu prioritas terhadap

kriteria pasangannya. Pemberi keputusan kemudian dapat membuat

model prioritas untuk setiap kriteria yang ada dalam model hirarki.

Keakuratan pemilihan solusi dapat diketahui melalui Consistency

Index (CI).

2.7.3 Decision Making – Goal Programming Dalam menjalankan kegiatannya, suatu perusahaan

seringkali memiliki lebih dari satu tujuan, selain dari biaya dan

keuntungan. Berbagai kriteria (multiple criteria) ini digunakan

sebagai pertimbangan untuk mengambil sebuah keputusan.

Penggunaan berbagai kriteria sebagai bahan pertimbangan

pengambilan keputusan, berbeda dengan linear programming yang

hanya mempertimbangkan kriteria atau tujuan tunggal semata, baik

itu dalam bentuk maksimalisasi maupun minimalisasi kriteria

tersebut.

Menurut Taylor III (2007), Goal Programming serupa

dengan linear programming, dengan tambahan fungsi tujuan,

variabel keputusan dan batasan (constraints). Goal Programming

memiliki batasan tujuan yang di dalamnya terkandung deviational

variables (toleransi terhadap batasan). Bila nilainya positif, berarti

Page 24: BAB II LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/TSA-2010-0013-bab2.pdforganisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya. Sedangkan

38  

 

menggambarkan tujuan dilampaui. Sedangkan bila bernilai

negative, merupakan nilai yang tidak mencapai tujuan. Deviational

variables disusun sesuai dengan prioritas yang diinginkan.

Rumusan Goal Programming, yang di dalamnya terdapat

prioritas, Deviational Variables dan goal constraints dapat diolah

lebih lanjut dengan bantuan perhitungan applikasi pengolah data

seperti excel, QM, Lindo ataupun applikasi pengolah data umum

lainnya, untuk menghasilkan solusi yang paling optimal.