BAB II LANDASAN TEORI -...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI -...
15
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Supply Chain Secara mendasar, Supply Chain menurut Chaffey dan Woods
(2005), adalah pengaturan dari seluruh aktivitas pengadaan oleh sebuah
organisasi dari pemasoknya dan pengiriman produk ke konsumennya.
Sedangkan menurut Romney dan Steinbart (2006), Supply Chain
ialah perpanjangan sistem yang mencakup Value Chain dari sebuah
organisasi beserta pemasok, distributor dan konsumennya (lihat gambar
2.1).
Gambar 2.1. Supply Chain menurut Romney dan Steinbart.
Sumber: Accounting Information Systems. 10th Edition. Upper Saddle River,
NJ: Prentice Hall.
16
2.2. Supply Chain Management (SCM) Pada penerapannya, Supply Chain kemudian berkembang menjadi
sebuah fungsi yang dibutuhkan oleh perusahaan. Dimana fungsi ini harus
dapat mendukung kebutuhan perusahaan, serta dapat dipantau dengan
baik. Hal ini dirasakan oleh perusahaan yang memiliki kebutuhan untuk
melakukan perpindahan barang atau bahan baku pendukung kegiatan
perusahaan. Bila dahulu fungsi ini sering disebut dengan logistic - maka
dalam pengembangannya - disadari tidak hanya sebatas cakupan pada
logistic saja (perpindahan secara fisik), tapi terhubung dengan disiplin
ilmu lainnya. Sehingga kemudian muncul terminologi Supply Chain
Management (SCM) yang kini diadopsi secara luas.
Menurut Whitten, Bentley dan Dittman (2004), Supply Chain
Management ialah sebuah aplikasi perangkat lunak yang mengoptimalkan
proses bisnis pengadaan bahan baku sampai kepada distribusi barang jadi,
dengan mengintegrasikan secara langsung sistem informasi logistik yang
dikelola oleh organisasi dengan sistem yang ada pada pemasok dan
distributor.
Sedangkan menurut Turban, Rainer dan Potter (2002), SCM ialah
perencanaan dan pengendalian arus asal barang dan material, sampai
dengan produksi dan pengirimannya ke konsumen, sehingga dapat
mencapai tujuan untuk sampai ke pasar lebih cepat, mengurangi tingkat
persediaan, biaya yang lebih rendah dan meningkatkan layanan bagi
pelanggan.
17
Adapun menurut Balou (2007), Supply Chain Management
merupakan perkembangan dari penggabungan fungsi logistik, Material
Management, Purchasing, Transportation. Konvergensi fungsi-fungsi ini
baru dirasakan pada tahun 2000an, yang kemudian dikenal sebagai Supply
Chain Management (lihat gambar 2.2).
Gambar 2.2. Evolusi Konvergensi Disiplin Ilmu ke dalam SCM.
Sumber: European Business Review (2007) Vol. 19 No. 4, pp. 332-348.
Pendapat ini mendukung perumusan sub proses yang telah disusun
oleh Lambert dkk (1998), dimana di dalam SCM harus terdapat sub proses
sebagai berikut:
1. Customer Relationship Management;
2. Customer Service Management;
3. Demand Management;
18
4. Order Fulfillment;
5. Manufacturing Flow Management;
6. Supplier Relationship Management;
7. Product Development and Commercialization; and
8. Returns Management.
SCM pada penerapannya SCM mencakup integrasi antara Supplier,
Customer dan perusahaan berserta fungsi di dalamnya sebagai satu
kesatuan, dengan berbagai alternatif cakupan sebagai berikut (Fawcett &
Magnan, 2002):
Gambar 2.3. Cakupan SCM menurut Fawcett dan Magnan.
Sumber: International Journal of Physical Distribution & Logistics
Management (2002) Vol. 32 No. 5, pp. 339-61
19
Dengan semakin luasnya cakupan SCM, maka tidak hanya terbatas
pada sisi Supplier maupun konsumen saja, tetapi juga bagi kedua belah sisi
dan pihak yang terkait dengan masing-masing sisi tersebut. Makin luasnya
cakupan, akan semakin meningkatkan tingkat kerumitan integrasi SCM.
Kolaborasi antar unsur Supply Chain merupakan inti
keberlangsungan SCM saat ini dan di masa yang akan datang, untuk itu,
diperlukannya beberapa fitur dalam SCM guna mendukung kolaborasi
tersebut, yaitu:
1. Pembagian informasi bersama dan semangat untuk
bekerjasama;
2. Sistem informasi yang melibatkan setiap unsur SCM;
3. Metriks yang diterima tiap organisasi yang berada pada SCM;
4. Cara pandang yang sama terhadap identifikasi manfaat; dan
5. Cara pembagian keuntungan dari hasil kerjasama.
2.3. Posisi SCM dalam E-Business Application Architecture
Pada penerapannya, SCM tidak lepas dari fungsi teknologi (baik itu
TI/SI) sebagai enabler. Teknologi mendorong berkembangnya batas-batas
maupun kesempatan baru dalam menjalankan model usaha dari suatu
perusahaan. Dimana kini teknologi dituntut tidak hanya mendukung
operasional perusahaan (internal), namun juga mampu untuk
menghubungkan perusahaan dengan entitas lain yang berada di luar
organisasinya (eksternal), bahkan sampai tingkatan pelanggan.
20
Persyaratan ini dapat dipenuhi dengan konsep E-Business. Dalam
E-Business Application Architecture, Kalakota dan Robinson (2001)
memetakan applikasi yang digunakan untuk pengambilan keputusan
(Decision Support) dan integrasi antar perusahaan (Enterprise
Integration), ke dalam dua bagian besar (lihat gambar 2.4).
Pertama, dimana Supply Chain Management sebagai bagian
perpanjangan dari ERP. Dimana fungsi logistik, distribusi dan produksi
telah termasuk ke dalamnya. Fungsi ini akan mengintegrasikan antara
pemasok, distributor dan reseller ke dalam satu sistem, yaitu Supply Chain
Management.
Kedua, sebagai bagian dari Customer Relatioship Management
yang mencakup fungsi Marketing, Sales dan Customer Services. Dimana
fungsi ini merupakan penghubung antara perusahaan dengan Konsumen
dan Reseller sebagai bagian dari Selling Chain Management.
Dengan berjalannya pengambilan putusan dan integrasi antar
perusahaan, maka akan membawa dampak secara internal bagi perusahaan.
Pertama, adalah peningkatan pengendalian administratif berupa
pengelolaan sumber daya manusia, sebagai penghubung dengan pihak
pegawai. Kedua, adalah untuk meningkatkan pengendalian manajemen
terhadap kinerja keuangan, akuntansi dan audit, sebagai penghubung
dengan pihak Stakeholder (lihat gambar 2.4).
21
Gambar 2.4. Pemetaan SCM dalam E-Business Application Architecture.
(Kalakota dan Robinson, 2001).
Sumber: E-Business 2.0: Roadmap for Success. Addison-Wesley Publishing
Company, Inc.
Kemampuan untuk menghubungkan berbagai pihak melalui peran
SCM, diharapkan mampu memenuhi tujuan (goals) dari segi perusahaan
dengan menjalankan E-Business maupun ekspektasi daripada konsumen.
Kedua hal tersebut harus disertai dengan penyesuaian secara
internal dari perusahaan. Sehingga baik dari sisi konsumen boleh
diyakinkan akan efektivitas proses yang ada di dalam SCM (indikator
harga dan waktu kirim), dan dari sisi perusahaan akan memiliki rasa
22
tanggung jawab untuk dapat menyediakan layanan yang terbaik (lihat
gambar 2.5).
Gambar 2.5. Pemenuhan Tujuan Perusahaan dan Ekspektasi Konsumen.
(Kalakota dan Robinson, 2001).
Sumber: E-Business 2.0: Roadmap for Success. Addison-Wesley Publishing
Company, Inc.
Dengan TI/SI sebagai “Enabler” SCM, maka menurut Chaffey dan
Woods (2005) perusahaan akan memperoleh manfaat sebagai berikut:
1. Increased efficiency of individual processes
Mengurangi siklus waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan sebuah proses beserta sumber dayanya
Keuntungan: Mengurangi siklus waktu dan biaya per order
2. Reduced complexity of the supply chain
Proses disintermediasi dari siklus waktu dan sumber daya pada
Supply Chain, dimana perusahaan dapat secara langsung
memesan dari Supplier tanpa melalui perantaraan distributor
23
dan memampukan konsumen untuk memesan langsung secara
online.
Keuntungan: Mengurangi biaya dari saluran distribusi dan
penjualan
3. Improved data integration between elements of the supply
chain
Sebuah perusahaan dapat berbagi informasi dengan Supplier
sesuai dengan kebutuhan produk untuk mengoptimalkan proses
penyediaan barang.
Keuntungan: Pengurangan biaya pemrosesan berbasiskan
kertas dan mengurangi biaya persediaan.
4. Reduced cost through outsourcing
Perusahaan dapat meng-“Outsource”-kan atau melakukan
integrasi secara virtual untuk memindahkan asset dan biaya
(misalnya persediaan) kepada pihak ketiga.
Keuntungan: Biaya yang lebih rendah untuk memudahkan
penentuan harga dan mengurangi pengeluaran berdasarkan
kapasitas produksi dan penyimpanan.
5. Innovation
Memungkinkan penawaran produk atau jasa baru, maupun cara
baru untuk melakukan pemesanan kepada konsumen.
Keuntungan: Tanggapan yang lebih baik dari konsumen
24
Perubahan Proses Supply Chain akibat penerapan TI sangat terasa
pada penggunaan internet untuk mendukung SCM. Dimana tiap unsur,
mulai dari Supplier, Produsen (Manufacturer), Retailer dan pelanggan
dapat terhubung ke dalam sebuah solusi yang mencakup penggunaan data
secara bersama dan memampukan tiap-tiap unsur di dalam jaringan untuk
dapat memenuhi kebutuhannya.
Penerapan ini memungkinkan proses fungsional SCM (Strategic
Sourcing and Procurement, Forecast and Demand Planning, Customer
Order Fullfilment, Distribution Network and Warehouse Operation,
Production Logistic, dan Transportation and Shipment Management)
untuk dapat memenuhi life cycle Supply Chain. Hal ini dapat dimampukan
bila perusahaan tersebut menggunakan suatu sistem informasi yang sesuai
dengan kebutuhannya dan memampukan untuk mengatur sumber daya
yang ada secara optimal.
Penerapan TI dan dampaknya dapat digambarkan sebagai berikut,
(Kalakota dan Robinson, 2001):
25
Gambar 2.6. Penerapan TI terhadap Supply Chain.
Sumber: E-Business 2.0: Roadmap for Success. Addison-Wesley Publishing
Company, Inc.
2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kompleksitas SCM Dalam penerapan SCM, terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi kompleksitasnya. Dimana faktor-faktor ini terkait produk
atau jasa yang mempengaruhi kompleksitas dari SCM (Cucchiella and
Gastaldi, 2006), yaitu:
1. Skala,
2. Pengembangan teknologi,
3. Kuantitas komponen sub-sistem,
4. Derajat penyesuaian komponen pada produk akhir ataupun
jasa,
5. Kuantitas alternatif perancangan dan pengiriman,
26
6. Jumlah “Feedback Loops” pada sistem produksi dan
pengiriman,
7. Variasi dari tiap basis ilmu,
8. Keahlian dan kompetensi yang dibutuhkan untuk
menghasilkan produk atau jasa,
9. Intensitas dan tingkatan keterlibatan “end-user”,
10. Ketidakpastian dan perubahan dari persyaratan maupun
keterlibatan “end-user”,
11. Tingkatan keterlibatan Supplier pada proses inovasi dan
transformasi,
12. Keterkaitan dengan regulasi,
13. Jumlah pihak yang terlibat dalam jaringan kerja,
14. Pengaturan secara web maupun keuangan untuk mendukung
produk atau jasa, dan
15. Tingkat intevensi secara politis maupun oleh Stakeholder
Selain faktor produk dan jasa Van Der Vorst, et al, 1998, juga
mengidentifikasikan tiga penyebab ketidakpastian di dalam sebuah Supply
Chain, yaitu:
1. Order forecast horizon,
2. Input data, dan
3. Decision processes
27
2.5. Tantangan Terhadap SCM di Masa Depan Dengan semakin berkonvegensinya berbagai disiplin ilmu dan
penerapan teknologi ke dalam Supply Chain Management, maka tantangan
yang dihadapi SCM di masa yang datang (Balou, 2007) adalah:
1. Strategi untuk menghasilkan keuntungan akan sama
pentingnya dengan bagaimana melakukan pengurangan biaya.
2. Rentang batas manfaat SCM mudah untuk diidentifikasikan
tapi sulit untuk direalisasikan.
3. Koordinasi dan kolaborasi, disertai dengan rasa saling percaya,
merupakan elemen terpenting untuk merealisasikan
kesempatan yang ada.
4. Pembagian informasi antar para anggotanya akan terus
berlangsung dengan memanfaatkan teknologi, baik itu dalam
bentuk koordinasi, kompromi maupun kerja sama.
5. Metriks pengukuran batas diperlukan untuk mengidentifikasi
manfaat Supply Chain dan melacak letak manfaat tersebut pada
Supply Chain.
6. Metode pembagian manfaat harus didefinisikan dan disusun
ulang.
7. Relasi Supply Chain tidak secara alami tetap, sehingga contoh
penerapan koordinasi Supply Chain yang baik diantara
beberapa perusahaan akan dilakukan secara selektif dan dalam
waktu jangka pendek.
28
8. Pemahaman dasar mengenai Logistics bergeser menjadi
pemahaman Supply Chain yang diperluas dengan pemahaman
mengenai relasi dan bagaimana membangun rasa saling
percaya.
9. Operasi, Pembelian dan Logistics akan bergabung secara
organisasi menjadi bagian dari Supply Chain.
2.6. Industry Analysis and Performance Measurements
2.6.1. SWOT Analysis SWOT merupakan bagian dari analisa situasi (Ward &
Peppard, 2002) dengan sudut pandang secara internal organisasi
dan secara eksternal.
Analisa internal akan berpusat pada strategi yang sedang
berjalan serta pemahaman terhadap kekuatan dan kelemahan
perusahaan. Hal-hal yang menjadi pertimbangan adalah:
ketersediaan sumber daya untuk menghasilkan produk maupun
jasa, kinerja keuangan, karyawan (keahlian, pelatihan,
pengalaman, motivasi dan kompetensi), aset fisik serta teknologi
yang digunakan, riset serta pengembangan dan organisasi
(struktur, relasi internal, efektifitas dan kemampuan mengadaptasi
perubahan).
Analisa eksternal akan mencakup lingkungan kompetitif
yang akan menggambarkan posisi perusahaan dalam pasar beserta
29
strategi di masa yang akan datang. Hal-hal yang menjadi
perhatian: segmen pasar serta market share yang bisa dikuasai
perusahaan, posisi organisasi terkait dengan siklus produk,
penilaian terhadap kompetitor yang ada maupun potensial, beserta
kekuatan maupun kelemahannya, dan potensi hadirnya produk
baru serta lingkungan yang mendukung terjadinya hal tersebut.
2.6.2. Goal Question Metrics (GQM) Menurut Basili, Caldiera dan Rombach (1994),
pengembangan perangkat lunak membutuhkan mekanisme
pengukuran sebagai masukan dan evaluasi. Pengukuran adalah
mekanisme untuk pembelajaran berdasarkan pengalaman bagi
perusahaan dan juga mampu menjawab berbagai macam
pertanyaan terkait dengan kinerja applikasi tersebut. Pengukuran
dapat digunakan untuk keperluan perencanaan, perbaikan
pelaksanaan suatu kegiatan, serta bisa digunakan utuk
mengevaluasi kulitas proses ataupun produk yang ada.
Pengukuran dapat dilakukan secara efektif apabila:
1. Fokus terhadap tujuan yang spesifik.
2. Diaplikasikan pada siklus hidup suatu produk, proses
ataupun sumber daya.
3. Menterjemahkan karakteristik dan pemahaman terhadap
konteks, lingkungan dan tujuan suatu organisasi.
30
Pengukuran dilakukan dengan pendekatan top-down yang
berpusat pada suatu tujuan. Pendekatan dengan cara sebaliknya,
bottom-up, tidak berjalan karena banyaknya karateristik
pengukuran yang harus dipertimbangkan.
Goal Question Metric adalah pendekatan yang didasari
akan asumsi bahwa agar suatu organisasi dapat melakukan
pengukuran secara tepat, maka organisasi tersebut harus
menspesifikasikan tujuan organisasi maupun proyeknya, serta
serta mengkaitkan tujuan dengan data yang ditujukan untuk
keperluan operasional, dan pada akhirnya menyusun suatu
kerangka kerja untuk menterjemahkan data sesuai dengan tujuan.
Pendekatan GQM disusun untuk melakukan evaluasi
kelemahan proyek-proyek NASA. Hasil dari penerapan GQM
adalah spesifikasi pengukuran sistem sesuai dengan permasalahan
yang ada beserta interpretasi data pengukuran yang tepat. Model
pengukuran terdiri atas tiga tingkatan , yaitu:
1. Level Konsep (Goal), dimana tujuan ditentukan untuk
sebuah objek berdasarkan alasan tertentu, sesuai dengan
model kualitas, sudut pandang dan lingkungannya. Objek
pengukurannya antara lain adalah produk, proses dan
sumber daya.
2. Level Operasional (Question), dengan menggunakan
pertanyaan untuk mengkarakterkan penilaian atau
31
pencapaian terhadap suatu tujuan berdasarkan karakter
dari model terebut.
3. Level Kuantitatif (Metric), dimana kumpulan data
diasosiasikan dengan pertanyaan secara kuantitatif
Model GQM adalah sebuah struktur hirarki dengan sebuah
sudut tujuan (mencakup tujuan pengukuran, objek yang diukur,
dan sudut pandangnya). Tujuan disaring dengan beberapa
pertanyaan (sesuai pengelimpokannya) dan menghasilkan metriks
yang memampukan untuk melakuan pengukurannya. Metrik yang
sama dapat digunakan untuk menjawab beberapa pertanyaan.
2.6.3. Balance Scorecard Balance Scorecard merupakan alat analisa yang penting
untuk mengelola kinerja organisasi dan pengembangan strategi
(Kaplan & Norton, 1996). Dimana penilaian kinerja tidak sebatas
penilaian secara indikator keuangan yang hanya menggambarkan
tindakan di masa lalu, tetapi juga memampukan penilaian dari
perspektif lain. Seperti dari sudut pandang konsumen, sudut
pandang internal dan sudut pandang inovasi serta pertumbuhan
organisasi (lihat gambar 2.8).
Sudut pandang keuangan akan menggambarkan kinerja
perusahaan bagi para pemegang saham, secara keuangan.
Sedangkan sudut pandang internal akan menggambarkan apa
32
yang harus dicapai oleh perusahaan untuk dapat memenuhi
ekspektasi karyawan dan mitra dagang perusahaan.
Sudut pandang konsumen akan memberikan pandangan
tentang bagaimana penerimaan kosumen terhadap produk, jasa,
relasi dan nilai tambah yang diberikan perusahaan.
Sudut pandang inovasi dan pembelajaran akan
memberikan gambaran bagaimana untuk mencapai tujuan
perusahaan.
Hasil dari keempat sudut pandang ini akan berupa tujuan
yang hendak dicapai per bagiannnya. Pencapaian tiap tujuan ini
akan diukur dengan indikator kinerja (Key Performance Indicator
– KPI).
Gambar 2.8. Balanced Scorecard.
Sumber: R.S. Kaplan and D.P. Norton, “Using the Balanced Scorecard as a
strategic management system” - Harvard Business Review, January-February
1996, 76).
2.7. Ma
ilm
me
sua
pen
pen
ini
yan
dig
pen
Ha
pen
seb
Gamba
Sumber:
anagemeManag
miah untuk
embantu par
atu permasa
Metod
ngamatan,
nyusunan so
i dilakukan
ng dibutuhk
Teknik
gunakan u
nyusunan s
asil dari imp
nyusunan m
belumnya.
ar 2.8. Pen
Taylor III,
ent Sciengement Sci
k menyele
ra pengamb
alahan deng
de ilmiah u
pendefin
olusi terhad
secara ber
kan dalam m
k-teknik ya
untuk mem
solusi yang
plementasi
model dan s
dekatan M
, Bernard W
nces Appience adala
esaikan su
bil keputusa
gan lebih bai
untuk meny
isian ma
dap permasa
rurut untuk
menyelesaik
ang terdapa
mbantu da
g diperluka
dapat menj
solusi, apab
Management
W. (2007). I
plicationah penerapa
uatu perma
an untuk me
ik.
yelesaikan p
asalah, pe
alahan dan
memberik
kan masalah
at pada M
lam pemo
an dan kem
jadi masuk
bila tidak s
t Science da
Introductio
ns on SCan dari pe
asalahan,
emutuskan j
permasalah
enyusunan
implementa
kan informa
h tersebut.
Management
odelan per
mudian diim
an bagi pen
esuai denga
alam Penel
on to Manag
CM ndekatan s
sehingga
jalan kelua
han dimulai
permasal
asi solusi. P
asi dan feed
Science,
rmasalahan
mplementas
nentian mas
an pendefin
litian Ilmia
gement Sci
33
secara
dapat
ar dari
i dari
lahan,
Proses
dback
dapat
dan
sikan.
salah,
nisian
ah.
ience.
34
Pengambilan keputusan yang bersifat strategis berdasarkan data
operasional (diantaranya adalah Forecasting dan Decision Making) dalam
Supply Chain Management dapat memampukan untuk pengambilan
putusan secara strategis berdasarkan data operasional yang tersedia.
2.7.1 Forecasting Forecasting berguna agar menjadi tambahan informasi bagi
suatu perusahaan dalam memperkirakan jumlah permintaan suatu
barang dalam rentang season yang ditentukan, agar dapat
melakukan persiapan pemesanan sebelumnya. Forecasting adalah
prediksi akan apa yang terjadi di masa mendatang (Taylor III,
2007). Penerapan Forecasting secara luas telah dilakukan pada
bidang olahraga maupun di bidang bisnis untuk menentukan tingkat
permintaan di masa yang akan datang guna pengambilan putusan
yang menentukan kesuksesan perusahaan.
Metode Forecasting bergantung pada unsur-unsur berikut:
1. Lamanya rentang waktu Forecasting. Bisa dalam
jangka waktu pendek, menengah maupun jangka
panjang. Penentuan rentang waktu bergantung pada
kebijakan organisasi.
2. Keberadaan pola. Dimana teradapat kecenderungan
tertentu yang menggambarkan naik turunnya
permintaan.
35
3. Variable yang memperuhi secara langsung forecast.
Pola Forecasting umumnya terkait dengan tren, siklus
maupun pola musiman. Tren merupakan cerminan naik turunnya
permintaan dalam jangka waktu yang panjang. Siklus
menggambarkan pergerakan berulang akan naik atau turunnya
jumlah permintaan. Sedangkan pola musiman menunjukan naik
turunnya permintaan berulang dalam suatu periode dan erat
kaitannya dengan pengaruh musim.
Mengingat sifat SCM pada industri furniture yang erat
pengaruhnya dengan pemesanan yang berulang (repeat order) dan
fluktuasi permintaan berdasarkan musim (misalnya negara-negara
di Eropa), maka penerapan Management Science untuk Forecasting
dapat dilakukan dengan menggunakan metode seasonal factor.
Seasonal factor adalah nilai numeric yang dikalikan dengan
perkiraan normal sehingga dapat menghasilkan nilai perkiraan
seasonalnya.
2.7.2 Decision Making – Analytical Hierarchy Process (AHP)
Situasi dimana pemilihan Supplier maupun situasi dimana
jumlah dan kapasitas produksi Supplier yang ada lebih kecil
daripada pesanan yang masuk, menuntut adanya penilaian
kelayakan Supplier tambahan (sourcing). Hal ini belum dapat
36
diakomodasi oleh Allegro dan dirasakan akan mampu ditingkatkan
(improvement) sebagai perbaikan pasca implementasi.
Masalah ini dapat diatasi dengan penerapan Science
Management, dengan menggunakan pendekatan Analytical
Hierarchy Process (AHP).
Analytical Hierarchy Processing (AHP) adalah suatu
metode yang dikembangkan oleh Thomas Saaty (Taylor III, 2007)
untuk membantu menyusun prioritas dari berbagai pilihan yang
memiliki banyak kriteria (multi criteria) guna membandingkan
beberapa objectives atau alternatif secara sistematis. AHP dapat
membuat keputusan secara hirarki yang terstruktur dengan
keputusan utama berada di posisi yang tertinggi pada model, tujuan
strategis berada di tingkat yang lebih tinggi, kriteria evaluasi berada
di tingkat tengah, dan alternatif pilihan berada di bagian bawah.
Model ini dapat digambarkan pada gambar 2.9.
Gambar 2.9. Model Pemilihan Alternatif Keputusan Berdasarkan Kriteria.
Sumber: Part of Research.
GOAL
Criteria 1 Criteria 2 Criteria 3 Criteria 4
Choice 1
Choice 5Choice 4
Choice 2 Choice 3 Choice 4
GOALGOAL
Criteria 1Criteria 1 Criteria 2Criteria 2 Criteria 3Criteria 3 Criteria 4Criteria 4
Choice 1
Choice 5Choice 4
Choice 2 Choice 3 Choice 4
37
AHP menyediakan struktur kerangka kerja, menggunakan
pair-wise comparison. Pair-wise comparison adalah suatu proses
evaluasi dimana setiap kriteria diberikan suatu prioritas terhadap
kriteria pasangannya. Pemberi keputusan kemudian dapat membuat
model prioritas untuk setiap kriteria yang ada dalam model hirarki.
Keakuratan pemilihan solusi dapat diketahui melalui Consistency
Index (CI).
2.7.3 Decision Making – Goal Programming Dalam menjalankan kegiatannya, suatu perusahaan
seringkali memiliki lebih dari satu tujuan, selain dari biaya dan
keuntungan. Berbagai kriteria (multiple criteria) ini digunakan
sebagai pertimbangan untuk mengambil sebuah keputusan.
Penggunaan berbagai kriteria sebagai bahan pertimbangan
pengambilan keputusan, berbeda dengan linear programming yang
hanya mempertimbangkan kriteria atau tujuan tunggal semata, baik
itu dalam bentuk maksimalisasi maupun minimalisasi kriteria
tersebut.
Menurut Taylor III (2007), Goal Programming serupa
dengan linear programming, dengan tambahan fungsi tujuan,
variabel keputusan dan batasan (constraints). Goal Programming
memiliki batasan tujuan yang di dalamnya terkandung deviational
variables (toleransi terhadap batasan). Bila nilainya positif, berarti
38
menggambarkan tujuan dilampaui. Sedangkan bila bernilai
negative, merupakan nilai yang tidak mencapai tujuan. Deviational
variables disusun sesuai dengan prioritas yang diinginkan.
Rumusan Goal Programming, yang di dalamnya terdapat
prioritas, Deviational Variables dan goal constraints dapat diolah
lebih lanjut dengan bantuan perhitungan applikasi pengolah data
seperti excel, QM, Lindo ataupun applikasi pengolah data umum
lainnya, untuk menghasilkan solusi yang paling optimal.