BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/ecolls/Doc/Bab2/2013-1-00099-AR...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/ecolls/Doc/Bab2/2013-1-00099-AR...
26
BAB II
LANDASAN TEORI
Bab ini memuat pokok landasan bahasan untuk kepentingan penelitian.
Disajikan berupa variabel, oleh penjelasan dari topik dan tema yang diangkat,
penjabaran dari permasalahan-permasalahan yang terjadi pada proyek, landasan teori
yang menjabarkan penyelesaian terhadap permasalahan tersebut. Dari hasil kajian-
kajian landasan tersebut maka didapatkan sebuah hipotesis.
2.1 Variabel Penelitian Yang Berkaitan
Variable pada penelitian ini yaitu terfokus pada lokasi permukiman
pesisir Desa Tanjung Pasir yang mempunyai permasalahan kekumuhan dan
selalu menjadi langganan rob atau abrasi, serta mencari masalah-masalah
yang ada, sehingga dapat dipecahkan dengan konsep desain, sebagaimana
yang sudah dilampirkan dan dijabarkan dalam bab satu.
2.2 Definisi Dan Landasan Terhadap Perancangan
Lingkup sustainable development (redevelopment, model penanganan
permukiman kumuh dan pembangunan/pengembangan permukiman ke arah
horizontal/vertikal), permukiman pesisir dan budaya nelayan serta sustainable
ecology (lahan basah, mangrove dan keanekaragaman ekosistem pesisir)
27 2.2.1 Sustainable Development (Pengembangan secara berkelanjutan)
Definisi konsep pembangunan berkelanjutan diinteprestasikan oleh
beberapa ahli secara berbeda-beda. Namun demikian pembangunan
berkelanjutan sebenarnya didasarkan kepada kenyataan bahwa kebutuhan
manusia terus meningkat. Kondisi yang demikian ini membutuhkan suatu
strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang efesien.
Ada pula pakar yang memberikan rumusan untuk lebih menjelaskan
makna dari pembangunan yang berkelanjutan (Abdurrahman, 2003):
- Emil Salim
Pembangunan berkelanjutan atau suistainable development adalah suatu
proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat dari sumberdaya
alam dan sumberdaya manusia, dengan menyerasikan sumber alam
dengan manusia dalam pembangunan (Yayasan SPES, 1992 :3). Ada
beberapa asumsi dasar serta ide pokok yang mendasari konsep
pembangunan berlanjut ini, yaitu:
a. Proses pembangunan ini mesti berlangsung secara berlanjut, terus
menerus di topang oleh sumber alam, kualitas lingkungan dan
manusia yang berkembang secara berlanjut.
b. Sumber alam terutama udara, air dan tanah memiliki ambang batas,
dimana penggunaannya akan menciutkan kualitas dan kuantitasnya.
Penciutan ini berarti berkurangnya kemampuan sumber alam
tersebut untuk menopang pembangunan secara berkelanjutan,
sehingga menimbulkan gangguan pada keserasian sumber alam
dengan daya manusia.
c. Kualitas lingkungan berkorelasi langsung dengan k
Semakin baik kualitas lingkungan, semakin positif pengaruhnya
pada kualitas hidup, yang antara lain tercermin pada meningkatnya
kualitas fisik, pada harapan hidup, pada turunnya tingkat kematian
dan lain sebagainya.
Dipahami bahwa konsep pem
didukung oleh
pendekatan tersebut bukanlah pendekatan yang berdiri sendiri, tetapi saling
terkait dan mempengaruhi satu sama lain. Secara skematis, keterkaitan ant
komponen dimaksud dapat digambarkan sebagai berikut (Munasinghe
1995).
Sumber:
� Redevelopment
Merupakan salah satu dari tiga kategori
sebagai perangkat pelaksanaan yang didasarkan kepada sifat dan
peremajaan yaitu
Kualitas lingkungan berkorelasi langsung dengan kualitas hidup.
Semakin baik kualitas lingkungan, semakin positif pengaruhnya
pada kualitas hidup, yang antara lain tercermin pada meningkatnya
kualitas fisik, pada harapan hidup, pada turunnya tingkat kematian
dan lain sebagainya.
ipahami bahwa konsep pembangunan berkelanjutan didirikan atau
didukung oleh 3 pilar, yaitu: ekonomi, sosial dan lingkungan. Ketiga
pendekatan tersebut bukanlah pendekatan yang berdiri sendiri, tetapi saling
terkait dan mempengaruhi satu sama lain. Secara skematis, keterkaitan ant
komponen dimaksud dapat digambarkan sebagai berikut (Munasinghe
Gambar 2.1 Tiga pilar pembangunan berkelanjutan
Sumber: http://www.damandiri.or.id/file/sulistionoipbbab2.pdf
Redevelopment
Merupakan salah satu dari tiga kategori peremajaan dan sekaligus
sebagai perangkat pelaksanaan yang didasarkan kepada sifat dan
peremajaan yaitu:
28
ualitas hidup.
Semakin baik kualitas lingkungan, semakin positif pengaruhnya
pada kualitas hidup, yang antara lain tercermin pada meningkatnya
kualitas fisik, pada harapan hidup, pada turunnya tingkat kematian
bangunan berkelanjutan didirikan atau
dan lingkungan. Ketiga
pendekatan tersebut bukanlah pendekatan yang berdiri sendiri, tetapi saling
terkait dan mempengaruhi satu sama lain. Secara skematis, keterkaitan antar 3
komponen dimaksud dapat digambarkan sebagai berikut (Munasinghe-Cruz,
http://www.damandiri.or.id/file/sulistionoipbbab2.pdf
peremajaan dan sekaligus
sebagai perangkat pelaksanaan yang didasarkan kepada sifat dan tingkat/skala
29
1. Konservasi dan Preservasi.
2. Gentrifikasi dan Rehabilitasi.
3. Redevelopment (pembangunan kembali)
Redevelopment atau pembangunan kembali adalah upaya penataan
kembali suatu kawasan dengan cara mengganti sebagian dari, atau seluruh,
unsur-unsur lama dari kawasan tersebut dengan unsur-unsur yang lebih baru
dengan tujuan untuk meningkatkan vitalitas serta kualitas lingkungan
kawasan tersebut. Yang merupakan upaya penataan kembali suatu kawasan
dengan terlebih dahulu melakukan pembongkaran sarana dan prasarana dari
sebagian atau seluruh kawasan tersebut yang telah dinyatakan tidak dapat
dipertahankan lagi kehadirannya. Contoh:
1. Perombakan beberapa gedung bioskop untuk kemudian dijadikan pusat
perbelanjaan bertingkat 3 yang bersifat multiguna.
2. Perombakan persil-persil kecil pertokoan di sepanjang jalan penting
pada kawasan komersial di pusat kota, untuk kemudian dibangun pusat
perbelanjaan bertingkat yang bersifat multiguna.
3. Rencana pembangunan kembali Segi-Tiga Senen Jakarta.
4. Rencana pemanfaatan bekas landasan udara Kemayoran sebagai sistem
sirkulasi utama.
Kebijaksanaan Pembangunan kembali suatu kawasan kota diambil
dan/atau digariskan berdasarkan penilaian atas, (a) Tingkat permasalahan
yang dihadapi, (b) Potensi dan (c) Prospek yang dimiliki kawasan kota
tersebut. Hasil kajian atas ketiga penilaian tersebut sangat menentukan tingkat
kebijaksanaan dan pelaksanaan dari peremajaan suatu wilayah, artinya apakah
perlu dilakukan peremajaan yang bersifat menyeluruh, sebagian atau
30
memanfaatkan potensi dari aset yang ada/yang dimiliki seoptimum mungkin
dengan membatasi perombakan struktur kawasan pada lokasi-lokasi yang
strategis saja.
Untuk terciptanya suatu proses redevelopment yang baik pada suatu
wilayah, maka biasanya kategori peremajaan jenis ini dilakukan bersamaan
dengan melakukan kebijakan Konsolidasi Lahan yang nantinya sangat
berguna untuk pengaturan pertanahannya.
� Model penanganan permukiman kumuh
Model penanganan permukiman kumuh dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan kondisi status tanah, kepadatan bangunan, tingkat
kekumuhan, kesesuaian dengan RUTR, sehingga model penanganan yang ada
adalah:
Permukiman di atas tanah yang sebagian adalah ilegal dengan kondisi
sebagai berikut:
- Tingkat kekumuhan yang tinggi.
- Penggunaan tata guna tanah yang tidak sesuai RUTR.
Pada kondisi ini maka model penanganan yang tepat adalah
peremajaan. Beberapa alternatif yang dapat dipakai sebagai bentuk
peremajaan adalah:
a. Pemindahan penduduk (Resettlement)
b. Pembangunan/pengembangan permukiman ke arah vertikal.
� Pembangunan/Pengembangan ke arah horizontal/vertikal
Merupakan salah satu dari empat kategori peremajaan suatu model yang
menjadi acuan dalam upaya untuk memperbaiki permukiman yang
31
mengalami degradasi lingkungan. Beberapa model dalam menangani masalah
permukiman kumuh antara lain:
- Model Land Sharing.
- Model Resettlement.
- Pembangunan/pengembangan permukiman ke arah horizontal/vertikal.
- Program Perbaikan Kampung/ Kampung Improvement Program (KIP).
Pembangunan/pengembangan permukiman ke arah horizontal
merupakan cara perkembangan mengarah keluar, artinya daerah bertambah
sedangkan ketinggian dan kuanitas lahan terbangun (coverage) tetap sama,
terjadi pada daerah pinggir kota. Pembangunan/pengembangan permukiman
ke arah vertikal merupakan suatu model penanganan permukiman kumuh
dengan mengubah kondisi lingkungan permukiman yang sangat padat
penduduknya dan dinilai tidak memenuhi syarat lagi sebagai tempat hunian
yang layak. Cara yang dilakukan dalam pembangunan permukiman ke arah
vertikal adalah dengan memperkecil lahan untuk permukiman tetapi dengan
meningkatkan luas lantai. Lahan sisa (residual land) dimanfaatkan untuk
penempatan fungsi produktif misalnya komersial, perkantoran atau pusat
hiburan dan penempatan prasarana lingkungan (jalan dan utilitas umum) dan
sarana lingkungan (fasos dan fasum). Pembangunan permukiman ke arah
vertikal merupakan sebagai suatu bangunan rumah bertingkat yang terdiri atas
satuan atau unit dengan batasan yang jelas baik ukuran maupun luasnya.
Pembangunan kembali pada kawasan permukiman kumuh secara
vertikal maksimal 4 (empat) lantai dengan maksud sebagai berikut:
1. Supaya dapat menampung seluruh penghuni.
2. Harga tanah di pusat kota relatif tinggi.
32
3. Sebagian tanah digunakan untuk kebutuhan sosial.
4. Sebagian tanah dijual kepada pihak swasta atau pemerintah guna
memperkecil biaya pembangunan untuk meringankan harga sewa atau
cicilan.
5. Sebagian tanah diserahkan pada pemerintah untuk membangun
infrastruktur dan fasilitas sosial lainnya sebagai pendukung kawasan.
2.2.2 Permukiman Pesisir
� Karakteristik fisik lingkungan
a. Secara topografi, merupakan pertemuan antara darat dan air, dataran
landai, serta sering terjadi erosi, abrasi dan sedimentasi yang bisa
menyebabkan pendangkalan badan perairan. Topografi tanah dapat
dibedakan atas 3 (tiga) kategori, yaitu:
- Daerah perbukitan dengan kemiringan dataran 20-60 % (di darat)
- Daerah relatif datar/kemiringan 0-20 % (di darat dan termasuk
daerah pasang surut)
- Daerah rawa atau di atas air.
b. Secara hidrologi merupakan daerah pasang surut, mempunyai air tanah
tinggi, terdapat tekanan air laut terhadap air tanah serta merupakan
daerah retensi sehingga run-off air rendah.
c. Secara geologi, sebagian besar mempunyai struktur batuan lepas, tanah
lunak, serta rawan bencana tsunami.
d. Secara penggunaan lahan memiliki hubungan intensif antara air dan
elemen kota.
e. Secara klimatologi memiliki dinamika iklim, cuaca, angin, suhu dan
kelembaban tinggi.
33
f. Pergeseran fungsi badan perairan laut sebagai akibat kegiatan di
sekitarnya menimbulkan beberapa permasalahan lingkungan, seperti
pencemaran.
� Karakteristik perumahan dan permukiman
a. Sejarah awal keberadaan lingkungan perumahan/permukiman di
kawasan pesisir dapat dibedakan atas 2 (dua) kronologis, yaitu:
- Perkembangan yang dimulai oleh kedatangan sekelompok etnis
tertentu di suatu lokasi di pantai, yang kemudian menetap dan
berkembang secara turun-temurun membentuk suatu klan/komunitas
tertentu serta cenderung bersifat sangat homogen, tertutup dan
mengembangkan tradisi dan nilai-nilai tertentu, yang pada akhirnya
merupakan karakter dan ciri khas permukiman tersebut.
- Perkembangan sebagai daerah alternatif permukiman, karena
peningkatan arus urbanisasi, yang berakibat menjadi kawasan liar
dan kumuh.
b. Tahapan perkembangan kawasan perumahan/permukiman di pesisir
adalah:
- Tahap awal ditandai oleh dominasi pelayanan kawasan perairan
sebagai sumber air untuk keperluan hidup masyarakat. Masih berupa
suatu kelompok permukiman di pantai dan di atas air.
- Ketika kota membutuhkan komunikasi dengan lokasi lainnya
(kepentingan perdagangan) maka kawasan perairan merupakan
prasarana transportasi dan dapat diduga perkembangan fisik kota
yang cenderung memanjang di pantai (linear).
34
- Perkembangan selanjutnya ditandai dengan semakin kompleksnya
kegiatan fungsional, sehingga intensitas kegiatan di sekitar perairan
makin tinggi. Jaringan jalan raya menawarkan lebih banyak
kesempatan mengembangkan kegiatan. Walaupun begitu, jenis
fungsi perairan tidak berarti mengalami penurunan, bahkan
mengalami peningkatan (makin beragam).
c. Kawasan permukiman di atas air cenderung rapat (kepadatan bangunan
tinggi dan jarak antar bangunan rapat) dan kumuh (tidak teratur, kotor,
dll). Dominasi kawasan perumahan/permukiman nelayan, yang
umumnya kumuh dan belum tertata.
d. Pola perumahan dipengaruhi oleh keadaan topografi, dibedakan atas 3
(tiga), yaitu:
- Daerah perbukitan cenderung mengikuti kontur tanah.
- Daerah relatif datar cenderung memiliki pola relatif teratur, yaitu
pola Grid atau Linear dengan tata letak bangunan berada di kiri-
kanan jalan atau linear sejajar dengan (mengikuti) garis tepi pantai.
- Daerah atas air pada umumnya cenderung memiliki pola cluster,
yang tidak teratur dan organik. Pada daerah-daerah yang telah ditata
umumnya menggunakan pola grid atau linear sejajar garis badan
perairan.
e. Orientasi bangunan semula umumnya menghadap perairan sesuai
orientasi kegiatan berbasis perairan. Perkembangan selanjutnya
orientasi kegiatan ke darat semakin meningkat (bahkan lebih dominan),
maka orientasi bangunan cenderung menghadap ke arah darat dan lebih
mempertimbangkan aspek fungsional dan aksesibilitas.
35
f. Secara arsitektural, bangunan pada permukiman di kota pantai
dibedakan atas:
- Bangunan di atas tanah.
- Bangunan panggung di darat.
- Bangunan panggung di atas air.
- Bangunan rakit di atas air (pernah ada dan saat ini sudah jarang
dijumpai)
Arsitektural bangunan dibuat dengan kaidah tradisional maupun
modern, sesuai dengan latar belakang budaya dan suku/etnis masing-
masing.
g. Tipologi bangunan menggunakan struktur dan konstruksi sederhana,
tradisional dan konvensional, yang kurang memperhitungkan pengaruh
angin, tsunami, gempa, dll.
h. Sering terjadinya kebakaran karena kelalaian, penggunaan
bahan/peralatan berbahaya dan mudah terbakar, serta belum tersedianya
sarana dan pedoman penanggulangan kebakaran, khususnya untuk
perumahan di atas air.
� Karakteristik sarana dan prasarana lingkungan
a. Mempunyai aksesibilitas yang sangat tinggi sebab dapat dicapai dari
darat dan dari air, sehingga peran dermaga/pelabuhan menjadi titik
pertumbuhan.
b. Sistem dan pola jaringan jalan di darat umumnya sudah terpola,
memadai serta dapat melayani fungsi-fungsi yang ada. Hanya beberapa
konstruksi jalan perlu disesuaikan dengan standar dan tingkat pelayanan
yang harus disediakan. Jalan setapak dan beberapa jalan lingkungan
36
umumnya berpola organik mengikuti pola perumahan. Sistem jaringan
jalan di daerah pasang surut dan bertanah lunak umumnya
menggunakan konstruksi batu (dengan perkerasan atau makadam) atau
konstruksi kayu, sedangkan jaringan jalan di atas air sepenuhnya
menggunakan konstruksi kayu. Pola jaringan jalan umumnya tidak
teratur/ organik mengikuti perkembangan bangunan dan tidak bisa
dilalui oleh kendaraan roda 4.
c. Sistem drainase memerlukan penanganan relatif lebih rumit, karena
merupakan daerah retensi yang sering tergenang air/banjir dan menjadi
muara daerah hulunya.
d. Pembuangan air limbah memerlukan penanganan khusus, karena muka
air tanah yang tinggi serta menjadi muara daerah hulunya. Masyarakat
cenderung membuang air limbah langsung ke badan air, baik dari kakus
individu maupun MCK.
e. Kebutuhan air bersih biasanya belum tercukupi karena pada umumnya
belum terjangkau jaringan air bersih/minum kota (PAM/PDAM) dan
kondisi air tanah yang dijadikan sumber air bersih kebanyakan payau,
sehingga perlu penjernihan air.
f. Umumnnya sampah dibuang/ditimbun di pinggir laut atau dibuang
langsung ke laut sehingga sering menimbulkan bau serta menjadi
sarang lalat dan nyamuk.
g. Sistem penanggulangan bahaya kebakaran (sarana, prasarana, tata cara
dan pedoman), khususnya di atas air memerlukan penanganan serius.
Beberapa permukiman pesisir dapat diklasifikasikan sebagai berikut
(Refshauge, 2003):
37
- Kota Pantai/Coastal Cities-penduduk lebih dari 20,000 orang.
- Kampung Kota Pantai/Coastal Towns -3,000-20,000 orang.
- Desa Pantai/Coastal Villages-jumlah populasi hingga 3,000 orang.
- Daerah Berpusat di Pantai/Inland Coastal Centres.
- Permukiman Pantai Baru/New Coastal Settlements.
� Ketentuan perencanaan lingkungan permukiman yang terintegrasi
pusat perkotaan dengan ketentuan SNI
Lokasi lingkungan perumahan harus memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. Lokasi perumahan harus sesuai dengan rencana peruntukan lahan yang
diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat atau
dokumen perencanaan lainnya yang ditetapkan dengan peraturan daerah
setempat, dengan kriteria sebagai beriku, (1) kriteria keamanan, (2)
kriteria kesehatan, (3) kriteria kenyamanan, (4) kriteria
keindahan/keserasian/keteraturan (kompatibilitas), (5) kriteria
fleksibilitas, (6) kriteria keterjangkauan jarak dan (7) kriteria
lingkungan berjati diri.
b. Lokasi perencanaan perumahan harus berada pada lahan yang jelas
status kepemilikannya dan memenuhi persyaratan administratif, teknis
dan ekologis.
c. Keterpaduan antara tatanan kegiatan dan alam di sekelilingnya, dengan
mempertimbangkan jenis, masa tumbuh dan usia yang dicapai, serta
pengaruhnya terhadap lingkungan, bagi tumbuhan yang ada dan
mungkin tumbuh di kawasan yang dimaksud.
38
Ketentuan dasar fisik lingkungan perumahan harus memenuhi faktor-
faktor berikut ini:
a) Ketinggian lahan tidak berada di bawah permukaan air setempat,
kecuali dengan rekayasa/ penyelesaian teknis.
b) Kemiringan lahan tidak melebihi 15% (lihat Tabel 2.1) dengan
ketentuan:
1) Tanpa rekayasa untuk kawasan yang terletak pada lahan
bermorfologi datar-landai dengan kemiringan 0-8%.
2) Diperlukan rekayasa teknis untuk lahan dengan kemiringan 8-15%.
Tabel 2.1 Kesesuaian penggunaan lahan berdasarkan kemiringan lereng
Peruntukan Lahan
Kelas Sudut Lereng (%) 0-3 3-5 5-10 10-15 15-20 20-30 30-40 >40
Jalan raya Parkir
Taman bermain Perdagangan
Drainase Permukiman
Trotoar Bidang resapan
septic
Tangga umum Rekreasi
Sumber: Acuan diambil dari, SNI 03-1733-2004 Tata Cara Perencanaan Lingkungan Permukiman
Yang Terintegrasi Dengan Pusat Perkotaan
Data dasar lingkungan perumahan
- 1 RT: terdiri dari 150–250 jiwa penduduk.
- 1 RW: (2.500 jiwa penduduk) terdiri dari 8–10 RT.
- 1 kelurahan (≈lingkungan): (30.000 jiwa penduduk) terdiri dari 10–12
RW.
- 1 kecamatan: (120.000 jiwa penduduk) terdiri dari 4–6
kelurahan/lingkungan.
39
- 1 kota: terdiri dari sekurang-kurangnya 1 kecamatan.
Asumsi dasar lingkungan perumahan
- Jumlah penghuni rumah rata-rata: 5 jiwa.
- Kecepatan rata-rata pejalan kaki: 4.000 m / jam.
- Jarak ideal jangkauan pejalan kaki: 400 m.
Penggolongan
Acuan penggolongan sarana hunian ini berdasarkan beberapa
ketentuan/peraturan yang telah berlaku, berdasarkan tipe wujud fisik
arsitektural dibedakan atas:
a) Hunian Tidak Bertingkat
Hunian tidak bertingkat adalah bangunan rumah yang bagian huniannya
berada langsung di atas permukaan tanah, berupa rumah tunggal, rumah
kopel dan rumah deret. Bangunan rumah dapat bertingkat dengan
kepemilikan dan dihuni pihak yang sama.
b) Hunian Bertingkat
Hunian bertingkat adalah rumah susun (rusun) baik untuk golongan
berpenghasilan rendah (rumah susun sederhana sewa), golongan
berpenghasilan menengah (rumah susun sederhana) dan maupun
golongan berpenghasilan atas (rumah susun mewah≈apartemen).
Bangunan rumah bertingkat dengan kepemilikan dan dihuni pihak yang
berbeda dan terdapat ruang serta fasilitas bersama.
40
Tabel 2.2 Penggolongan sarana hunian
Penggolongan Hunian
Berdasarkan Wujud Fisik Arsitektural
Berdasarkan Keterjangkauan Harga
Jenis Penyediaan
Fasilitas Penunjang
Jenis Target Pasar
Pemakai Kepemilikan
Hunian Tidak Bertingkat
Rumah tunggal
Berupa sarana lingkungan
bersama
Privat/sewa
Rumah kopel
Privat/sewa
Rumah deret
Privat/sewa
Hunian Bertingkat => rumah susun
Berupa fasilitas bersama dalam
bangunan hunian
Rumah susun sederhana
sewa
Gol. Ekonomi rendah
Sewa
Rumah susun sederhana
Gol. Ekonomi menengah
Privat/sewa
Rumah susun mewah
Gol. Ekonomi
tinggi Privat/sewa
Sumber: Acuan diambil dari, SNI 03-1733-2004 Tata Cara Perencanaan Lingkungan Permukiman
Yang Terintegrasi Dengan Pusat Perkotaan
Hunian bertingkat (≈ rumah susun)
Hunian bertingkat dapat dikembangkan pada kawasan-lingkungan
perumahan yang direncanakan untuk kepadatan penduduk >200 Jiwa/ha,
berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah atau dokumen rencana lainnya,
yaitu kawasan-kawasan:
a) Pusat kegiatan kota.
b) Kawasan-kawasan dengan kondisi kepadatan penduduk sudah
mendekati atau melebihi 200 jiwa/ha.
c) Kawasan-kawasan khusus yang karena kondisinya memerlukan rumah
susun, seperti kawasan-kawasan industri, pendidikan dan campuran.
41
Tabel 2.3 Kebutuhan rumah susun berdasarkan kepadatan penduduk
Klasifikasi Kawasan
Kepadatan Rendah Sedang Tinggi Sangat Padat
Kepadatan penduduk
< 150 jiwa/ha 151-200 jiwa/ha 200-400 jiwa/ha
> 400 jiwa/ha
Kebutuhan Rumah Susun
Alternatif (untuk
kawasan tertentu)
Disarankan (untuk pusat-pusat kegiatan
kota dan kawasan tertentu)
Disyaratkan (peremajaan lingkungan
permukiman perkotaan)
Disyaratkan (peremajaan lingkungan
permukiman perkotaan)
Sumber: Acuan diambil dari, SNI 03-1733-2004 Tata Cara Perencanaan Lingkungan Permukiman
Yang Terintegrasi Dengan Pusat Perkotaan
Kebutuhan lahan bagi sarana pada unit RW (2.500 jiwa penduduk)
1. Balai pertemuan warga luas lahan min. 300 m.
2. Pos hansip luas lahan min. 12 m.
3. Gardu listrik luas lahan min. 30 m.
4. Telepon umum, bis surat, bak sampah kecil luas lahan min. 30 m.
5. Parkir umum luas lahan min. 100 m (standar satuan parkir = 25 m)
Sarana pendidikan dan pembelajaran
Perencanaan sarana pendidikan harus didasarkan pada tujuan
pendidikan yang akan dicapai, dimana sarana pendidikan dan pembelajaran
ini akan menyediakan ruang belajar harus memungkinkan siswa untuk dapat
mengembangkan pengetahuan, keterampilan serta sikap secara optimal. Oleh
karena itu dalam merencanakan sarana pendidikan harus memperhatikan:
a) Berapa jumlah anak yang memerlukan fasilitas ini pada area
perencanaan.
b) Optimasi daya tampung dengan satu shift.
c) Effisiensi dan efektifitas kemungkinan pemakaian ruang belajar secara
terpadu.
d) Pemakaian sarana dan prasarana pendukung.
42
e) Keserasian dan keselarasan dengan konteks setempat terutama dengan
berbagai jenis sarana lingkungan lainnya.
Tabel 2.4 Kebutuhan program ruang minimum
No. Jenis Sarana Program Ruang
1. Taman Kanak-
kanak Memiliki minimum 2 ruang kelas @ 25-30 murid. Dilengkapi dengan
ruang-ruang lain dan ruang terbuka/bermain ± 700 m²
2. Sekolah Dasar Memiliki minimum 6 ruang kelas @ 40 murid dilengkapi dengan ruang-
ruang lain dan ruang terbuka/bermain ± 3000-7000 m² 3. SLTP
4. SMU
5. Taman Bacaan Memiliki minimum 1 ruang baca @ 15 murid
Sumber: Acuan diambil dari, SNI 03-1733-2004 Tata Cara Perencanaan Lingkungan Permukiman
Yang Terintegrasi Dengan Pusat Perkotaan
Tabel 2.5 Kebutuhan sarana pendidikan dan pembelajaran
No Jenis
Sarana
Jumlah Penduduk Pendukung
(jiwa)
Kebutuhan Per Satuan Sarana
Standard (m²/jiwa)
Kriteria
Keterangan Luas Lantai
Min. (m²)
Luas Lahan Min. (m²)
Radius pencapaian
Lokasi dan Penyelesaian
1. Taman Kanak-kanak
1.250
216 termasuk
rumah penjaga 36 m²
500 0,28 m²/j 500 m²
Di tengah kelompok
warga. Tidak menyebrang jalan raya. Bergabung
dengan taman sehingga menjadi
pengelompokan kegiatan.
2 rombongan prabelajar @
60 murid dapat bersatu
dengan sarana lain
2. Sekolah Dasar
1.600 633 2000 1,25 1000 m² Kebutuhan harus
berdasarkan perhitungan
dengan rumus 2, 3
dan 4. Dapat digabung dengan sarana
pendidikan lain, mis. SD, SMP,
SMA dalam satu
komplek
3. SLTP 4.800 2.282 9000 1,88 1000 m² Dapat dijangkau dengan
kendaraan umum.
Disatukan dengan
lapangan olah raga. Tidak
selalu harus di pusat
lingkungan
4. SMU 4.800 3.835 12.500 2,6 3000 m²
5. Taman Bacaan 2.500 72 150 0,09 1000 m²
Di tengah kelompok
warga tidak menyeberang
jalan lingkungan.
Sumber: Acuan diambil dari, SNI 03-1733-2004 Tata Cara Perencanaan Lingkungan Permukiman
Yang Terintegrasi Dengan Pusat Perkotaan
43
Tabel 2.6 Kebutuhan sarana kesehatan
No. Jenis Sarana
Jumlah Penduduk pendukung
(jiwa)
Kebutuhan Per Satuan Sarana
Standard (m²/jiwa)
Kriteria
Keterangan Luas
Lantai Min. (m²)
Luas Lahan Min. (m²)
Radius pencapaian
Lokasi dan penyelesaian
1. Posyandu 1.250 36 60 0,048 500
Di tengah kelompok
tetangga tidak menyeberang
jalan raya.
Dapat bergabung
dengan balai warga atau
sarana hunian
2. Balai
Pengobatan Warga
2.500 150 300 0,12 1000 m²
Di tengah kelompok
tetangga tidak menyeberang
jalan raya.
Dapat bergabung
dalam lokasi balai warga
3. BKIA/Klinik
Bersalin 30000 1.500 3000 0,1 4000 m²
Dapat dijangkau dengan
kendaraan umum
4.
Puskesmas Pembantu dan
Balai Pengobatan Lingkungan
30000 150 300 0,006 1.500 m² -idem-
Dapat bergabung
dalam lokasi kantor
kelurahan
5. Puskesmas dan
Balai Pengobatan
120000 420 1000 0,008 3000 m² -idem-
Dapat bergabung
dalam lokasi kantor
kecamatan
6. Tempat Praktek
Dokter 5000
18 - - 1.500 m² -idem-
Dapat bersatu dengan rumah tinggal/tempat usaha/apotik
7. Apotik/Rumah
Obat 30000 120 250 0,025 1.500 m² -idem-
Sumber: Acuan diambil dari, SNI 03-1733-2004 Tata Cara Perencanaan Lingkungan Permukiman
Yang Terintegrasi Dengan Pusat Perkotaan
Sarana peribadatan
Jenis sarana peribadatan sangat tergantung pada kondisi setempat
dengan memperhatikan struktur penduduk menurut agama yang dianut dan
tata cara atau pola masyarakat setempat dalam menjalankan ibadah
agamanya. Adapun jenis sarana ibadah untuk agama Islam, direncanakan
sebagai berikut:
a) Kelompok penduduk 250 jiwa, diperlukan musholla/langgar.
b) Kelompok penduduk 2.500 jiwa, disediakan masjid.
c) Kelompok penduduk 30.000 jiwa, disediakan masjid kelurahan.
44
d) Kelompok penduduk 120.000 jiwa, disediakan masjid kecamatan.
Tabel 2.7 Kebutuhan sarana peribadatan
No. Jenis
Sarana
Jumlah Penduduk penukung
(jiwa)
Kebutuhan Per Satuan Sarana Standard
(m²/jiwa)
Kriteria
Luas Lantai Min. (m²)
Luas Lahan Min. (m²)
Radius pencapaian
Lokasi dan Penyelesaian
1. Musholla/ Langgar
250 45 100 bila
bangunan tersendiri
0,36 100 m²
Di tengah kelompok tetangga. Dapat
merupakan bagian dari bangunan sarana lain
2. Masjid Warga
2.500 300 600 0,24 1000 m²
Di tengah kelompok tetangga tidak
menyeberang jalan raya. Dapat bergabung
dalam lokasi balai warga.
3. Masjid
Lingkungan (Kelurahan)
30000 1.800 3.600 0,12 Dapat dijangkau
dengan kendaraan umum
4. Masjid
Kecamatan 120000 3.600 5.400 0,03
Berdekatan dengan pusat
lingkungan/kelurahan. Sebagian sarana
berlantai 2, KDB 40 %
5. Sarana ibadah
agama lain
Tergantung sistem
kekerabata/ hirarki
lembaga
Tergantung kebiasaan setempat
Tergantung kebiasaan setempat
- - -
Sumber: Acuan diambil dari, SNI 03-1733-2004 Tata Cara Perencanaan Lingkungan Permukiman
Yang Terintegrasi Dengan Pusat Perkotaan
Sarana perdagangan dan niaga
Menurut skala pelayanan, penggolongan jenis sarana perdagangan dan
niaga adalah:
a) Toko/warung (skala pelayanan unit RT≈250 penduduk), yang menjual
barang-barang kebutuhan sehari-hari.
b) Pertokoan (skala pelayanan 6.000 penduduk), yang menjual barang-
barang kebutuhan sehari-hari yang lebih lengkap dan pelayanan jasa
seperti wartel, fotocopy dan sebagainya.
c) Pusat pertokoan dan atau pasar lingkungan (skala pelayanan unit
kelurahan≈30.000 penduduk) yang menjual keperluan sehari-hari
termasuk sayur, daging, ikan, buah- buahan, beras, tepung, bahan-bahan
45
pakaian, pakaian, barang-barang kelontong, alat-alat pendidikan, alat-
alat rumah tangga, serta pelayanan jasa seperti warnet, wartel dan
sebagainya.
d) Pusat perbelanjaan dan niaga (skala pelayanan unit kecamatan≈120.000
penduduk) yang selain menjual kebutuhan sehari-hari, pakaian, barang
kelontong, elektronik, juga untuk pelayanan jasa perbengkelan,
reparasi, unit-unit produksi yang tidak menimbulkan polusi, tempat
hiburan serta kegiatan niaga lainnya seperti kantor-kantor, bank,
industri kecil dan lain-lain.
Tabel 2.8 Jenis sarana perdagangan dan niaga
No. Jenis Sarana
Jumlah Penduduk pendukung
(jiwa)
Kebutuhan Per Satuan Sarana Standard
(m²/jiwa)
Kriteria
Luas Lantai Min. (m²)
Luas Lahan Min. (m²)
Radius pencapaian
Lokasi dan Penyelesaian
1. Toko/
Warung 250
50 (termasuk gudang)
100 (bila berdiri sendiri)
0,4 300 m²
Di tengah kelompok tetangga. Dapat
merupakan bagian dari sarana lain
2. Pertokoan 6000 1.200 3000 0,5 2000 m²
Di pusat kegiatan sub lingkungan KDB 40 % Dapat berbentuk
P&D
3.
Pusat Pertokoan +
Pasar Lingkungan
30000 13.500 10000 0,33 Dapat dijangkau
dengan kendaraan umum
4.
Pusat Perbelanjaan dan Niaga
(toko + pasar + bank + kantor)
120.000 36.000 36.000 0,3
Terletak dijalan utama. Termasuk
sarana parkir sesuai ketentuan setempat
Sumber: Acuan diambil dari, SNI 03-1733-2004 Tata Cara Perencanaan Lingkungan Permukiman Yang Terintegrasi Dengan Pusat Perkotaan
Sarana kebudayaan dan rekreasi
Penetapan jenis/macam sarana kebudayaan dan rekreasi pada suatu
daerah sangat tergantung pada kondisi setempat area tersebut, yaitu
menyangkut faktor-faktor:
a) Tata kehidupan penduduknya.
46
b) Struktur sosial penduduknya.
Tabel 2.9 Kebutuhan sarana kebudayaan dan rekreasi
No. Jenis Sarana
Jumlah Penduduk pendukung
(jiwa)
Kebutuhan Per Satuan Sarana
Standard (m²/jiwa)
Kriteria
Luas Lantai Min. (m²)
Luas Lahan Min. (m²)
Radius pencapaian
Lokasi dan Penyelesaian
1. Balai
Warga/Balai Pertemuan
2.500 150 300 0,12 100 m²
Di tengah kelompok tetangga. Dapat
merupakan bagian dari bangunan sarana lain
2. Balai
Serbaguna/Balai Karang Taruna
30000 250 500 0,017 100 m² Di pusat lingkungan.
3. Gedung
Serbaguna 120.000 1.500 3000 0,025 100 m²
Dapat dijangkau dengan kendaraan umum
4. Gedung Bioskop
120.000 1000 2000 0,017 100 m² Terletak di jalan utama. Dapat merupakan bagian dari pusat perbelanjaan
Sumber: Acuan diambil dari, SNI 03-1733-2004 Tata Cara Perencanaan Lingkungan Permukiman
Yang Terintegrasi Dengan Pusat Perkotaan
Sarana ruang terbuka, taman dan lapangan olah raga
Ruang terbuka merupakan komponen berwawasan lingkungan, yang
mempunyai arti sebagai suatu lansekap, hardscape, taman atau ruang rekreasi
dalam lingkup urban. Peran dan fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH)
ditetapkan dalam Instruksi Mendagri no. 4 tahun 1988, yang menyatakan
"Ruang terbuka hijau yang populasinya didominasi oleh penghijauan baik
secara alamiah atau budidaya tanaman, dalam pemanfataan dan fungsinya
adalah sebagai areal berlangsungnya fungsi ekologis dan penyangga
kehidupan wilayah perkotaan.
47
Tabel 2.10 Sarana ruang terbuka, taman dan lapangan olah raga
No. Jenis Sarana
Jumlah Penduduk pendukung
(jiwa)
Kebutuhan Luas Lahan
Min. (m²)
Standard (m²/jiwa)
Radius pencapain
(m)
Kriteria Lokasi dan Penyelesaian
1. Taman/Tempat Main 250 250 1 100 Di tengah kelompok
tetangga.
2. Taman/Tempat Main 2.500 1.250 0,5 1000 Di pusat kegiatan
lingkungan.
3. Taman dan Lapangan
Olah Raga 30000 9000 0,3
Sedapat mungkin berkelompok dengan sarana pendidikan.
4. Taman dan lapangan
Olah Raga 120.000 24.000 0,2
Terletak di jalan utama. Sedapat mungkin
berkelompok dengan sarana pendidikan.
5. Jalur Hijau - - 15 m Terletak menyebar.
6. Kuburan/Pemakaman
Umum 120.000
Mempertimbangkan radius pencapaian dan
area yang dilayani.
Sumber: Acuan diambil dari, SNI 03-1733-2004 Tata Cara Perencanaan Lingkungan Permukiman
Yang Terintegrasi Dengan Pusat Perkotaan
� Tipologi pesisir Indonesia, karakteristik dan sebarannya
(GEOGRAFIA OnlineTM Malaysian Journal of Society and Space 1
(76 - 84)
A. PESISIR BERBATU
1. Pesisir berbatu, ekosistem bukan hutan dan dibudidayakan:
Material dasar yang dominan didaerah pesisir adalah berbatu.
Tipe pesisir ini telah dibudidayakan oleh masyarakat maka
kemungkinan mengalami proses destruksional khususnya oleh
proses erosi di wilayah daratan. Beberapa vegetasi dominan yang
tumbuh di tipe pesisir ini jenis tumbuhan pantai yang kurang
ekonomis. Oleh karena itu kemungkinan pembudidayaan pesisir ini
untuk kepentingan pertanian khususnya lahan kering.
Tersebar di 20 provinsi, terpanjang di Provinsi Bangka
Belitung (438, 85 km atau 13,86 %). Terpendek di Provinsi
Lampung (3.25 km).
48
2. Pesisir berbatu, ekosistem hutan dan tidak dibudidayakan:
Tipe pesisir ini merupakan daerah yang masih relatif asli dan
sesuai untuk kawasan lindung, karena pesisirnya berbatu dengan
ekosistem hutan dan relatif belum tersentuh oleh intervensi manusia
(pembudidayaan). Kemungkinan besar tipe pesisir ini berada pada
daerah asal vulkanik dan struktural. Arah pengembangan yang
mungkin dapat dilakukan dengan resiko minimal adalah
pegembangan pariwisata.
Tersebar di 28 provinsi. Terpanjang terdapat di Provinsi
Irianjaya (Papua) Barat (1.587,69 km atau 18,33%). Terpendek
terdapat di provinsi Irian Timur (11, 19 km atau 0,13 %).
3. Pesisir berbatu, ekosistem hutan dan dibudidayakan:
Pesisir berbatu umumnya memiliki tingkat intensitas
pembudidayaan yang relatif rendah, karena material bebatuan sulit
untuk diusahakan. Kemungkinan pengembangan usaha adalah di
sektor pertambangan. Karena tipe pesisir ini berada pada ekosistem
hutan, maka pembudidayaan disektor kehutanan dan pertambangan
perlu diwaspadai, kerana boleh menjadi “ancaman” bagi
kelangsungan wilayah pesisir tipe ini.
Tersebar di 12 provinsi. Terpanjang terdapat di provinsi
Maluku Utara (404,33 km atau 36,83 %) dan terpendek terdapat di
Provinsi Jawa Tengah (8,09 km).
4. Pesisir berbatu dan ekosistem terumbu karang dibudidayakan:
Diantara jenis pesisir berbatu, pesisir tipe ini paling produktif.
Pesisir berbatu merupakan daerah potensial tumbuhnya ekosistem
49
terumbu karang. Pesisir tipe ini juga potensial bagi tumbuhnya
beranekaragam jenis ikan dan vegetasi perairan laut dan pesisir.
Selan itu keindahan alam yang menawan juga merupakan nilai
ekonomi yang tinggi (strategis). Oleh karena itu sebagian besar
pesisir ini telah dibudidayakan. Beberapa kemungkinan
pembudidayaan oleh manusia antara lain disektor perikanan dan
pariwisata.
Tersebar di 23 provinsi. Terpanjang terdapat di Provinsi Riau
(1.315,09 km atau 15,92 %). Dan terpendek di Provinsi Bali (27 km
atau 0.33 %).
B. PESISIR BERPASIR
1. Pesisir berpasir, ekosistem bukan hutan dan dibudidayakan:
Pesisir ini didominasi oleh material pasir. Karena tipe ini jenis
ekosistemnya bukan hutan, maka kemungkinan besar ditumbuhi oleh
jenis vegetasi pantai atau padang rumput. Oleh karena itu pesisir
seperti ini produktivitasnya relatif rendah. Meskipun demikian
daerah seperti ini telah mengalami intensitas pembudidayaan yang
cukup tinggi khususnya untuk kegiatan pemukiman perdesaan
dengan kegiatan pembudidayaan sektor pertanian. Kemungkinan
pengembangan lainnya adalah sektor pariwisata, mengingat pesisir
berpasir disukai oleh wisatawan.
Tersebar di 19 provinsi. Terpanjang terdapat di Provinsi
Maluku (2.892,90 km atau 31,07 %). Dan terpendek di Provinsi
Kalimantan Timur (1,63 km atau 0.02 %).
50
2. Pesisir berpasir, ekosistem bukan hutan dan tidak dibudidayakan:
Sesuai dengan karakter ekosistemnya yang terdiri dari pantai
berpasir dan hutan serta relatif belum tersentuh pembudidayaan oleh
manusia, maka tipe pesisir ini sesuai untuk kawasan lindung pantai
yang akan melindungi daerah belakangnya.
Tersebar di 27 provinsi. Terpanjang terdapat di Provinsi
Sulawesi Tengah (976.01 km atau 16.05 %). Terpendek di Provinsi
Kalimantan Timur (8.02 km atau 0,13 %).
3. Pesisir berpasir, ekosistem hutan dan dibudidayakan:
Secara ekologis, pesisir ini memiliki karakter yang sama
dengan pesisir nomer 2, namun tipe pesisir ini telah dibudidayakan
oleh manusia. Kemungkinan pembudidayaan sangat tergantung pada
ketersediaan sumberdaya yang ada. Jika sumberdaya hutan dan
tambang menjadi komoditas yang diusahakan, maka resiko
kerusakan pesisir tinggi. Sebaliknya jika arah pengembangannya
pada sektor pariwisata maka resiko lingkungan lebih kecil. Selain itu
pada tipe pesisir ini juga dimungkinkan tumbuhnya penduduk
perdesaan dengan budidaya pertanian dan perikanan.
Tersebar di 18 provinsi. Terpanjang terdapat di Provinsi
Maluku Utara (740,12 km atau 34,94 %). Terpendek terdapat di
Provinsi Maluku (1.67 km atau 0.07 %).
4. Pesisir berpasir dan ekosistem mangrove di budidayakan:
Pesisir berpasir dengan ekosistem mangrove biasanya
berlokasi di sekitar muara sungai. Pesisir tipe ini memiliki
produktivitas dan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, karena
51
mangrove merupakan habitat yang baik bagi tumbuhkembangnya
beranekaragam komunitas hewan, ikan dan vegetasi pantai. Oleh
karena potensi dan letaknya yang strategis, pesisir tipe ini sebagian
besar telah dibudidayakan oleh manusia secara intensif bahkan
eksploitatif, sehingga cenderung over-eksploitation dan
menyebabkan kerusakan lingkungan. Beberapa jenis pembudidayaan
pesisir antara lain perikanan, tambak, industry, permukiman dan
pertanian.
Tersebar di 21 provinsi. Terpanjang terdapat di Riau (715,02
km atau 31,40 %). Terpendek terdapat di Provinsi Lampung (1,62
km atau 0,07 %).
5. Pesisir berpasir, ekosistem terumbu karang dan dibudidayakan:
Pesisir tipe berpasir dengan ekosistem terumbu karang
umumnya memiliki daya tarik yang paling baik, selain keindahan
terumbukarang, jenis pasirnya yang berwarna putih (sebagai
hancuran dari material terumbu karang dan hewan laut) banyak
menarik wisatawan. Oleh karena itu sebagian besar wilayah ini telah
banyak ditempati oleh penduduk untuk pemukiman dan
dikembangkan untuk sektor pariwisata. Tipe pesisir ini sebaiknya
dilindungi dari kegiatan-kegiatan pembudidayaan yang merusak
lingkungan, misalnya penambangan pasir.
Tersebar di 19 provinsi. Terpanjang terdapat di Provinsi
Maluku (845,06 km atau 32,84 %). Terpendek terdapat di Provinsi
Bengkulu (11.00 km atau 0,43 %).
52
C. PESISIR BERLUMPUR
1. Pesisir berlumpur, ekosistem bukan hutan dan dibudidayakan:
Pesisir belumpur selalu berasosiasi dengan keberadaan DAS
(Daerah Aliran Sungai), dimana endapan lumpur merupakan hasil
pengendapan dari daerah atasnya (hiterland). Oleh karena itu tipe
pesisir ini tergolong pesisir kontruktif. Perkembangan delta dan
perlumpuran di tepi pantai merupakan contoh tipe pesisir ini. Jika
ekosistem yang ada bukan hutan dan telah dibudidayakan oleh
manusia , maka sebagian besar tipe pesisir ini telah tumbuh menjadi
kawasan permukiman. Sebagian besar permukiman-permukiman dan
kota yang berkembang di Indonesia berada pada tipe pesisir
berlumpur dan ekosistem non hutan. Tipe pesisir ini adalah tipe
pesisir yang mengalami pembudidayaan paling intensif dan telah
mengalami tekanan lingkungan tinggi. Sebagai contoh adanya
reklamasi pantai dan pembukaan usaha tambak.
Tersebar di 31 provinsi. Terpanjang terdapat di Maluku
(689,74 km atau 12,74 %). Terpendek di Provinsi Jawa Tengah
(17,26 km atau 0,31 %).
2. Pesisir berlumpur, ekosistem hutan dan tidak dibudidayakan:
Pesisir berlumpur dengan ekosistem hutan yang belum
dibudidayakan menunjukkan bahwa jenis pesisir ini relatif masih asli
dan belum terjadi kerusakan lingkungan. Tipe pesisir ini merupakan
barrier atau cadangan ekosistem pesisir yang harus dijaga dan
dilestarikan. Tipe pesisir ini sebaiknya diarahkan untuk kawasan
lindung atau suaka alam atau cagar alam.
53
Tersebar di 16 provinsi. Terpanjang terdapat di di Provinsi
Sulawesi Tengah (930,09 atau 25, 21 %). Terpendek di Provinsi
Riau (5,53 km atau 0,15 %).
3. Pesisir berlumpur dan ekosistem hutan dibudidayakan:
Pesisir berlumpur dan ekosistem hutan adalah kawasan lindung
yang cukup baik, namun tidak jarang pesisir tipe ini juga telah
banyak dibudidayakan. Beberapa jenis pembudidayaan diantaranya
adalah untuk kepentingan permukiman dan perikanan, khususnya
tambak. Jika pembudidayaan tidak dilakukan secara arif dan
bijaksana, maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi kerusakan
ekosistem pesisir tipe ini semakin parah.
Tersebar di 23 provinsi. Terpanjang di Provinsi Jawa Timur
(483,42 km atau 12,98 %). Terpendek di Provinsi Kalimantan Timur
(7,37 km atau 0,20 %).
4. Pesisir berlumpur dan ekosistem mangrove dibudidayakan:
Tipe pesisir berlumpur, mangrove dan dibudidayakan adalah
tipe pesisir yang memiliki nilai ekonomi dan produktivitas tinggi,
namun juga mengalami eksploitasi dan kerusakan (degradasi)
lingkungan paling berat. Tipe pesisir ini terjadi konversi ekosistem
besar-besaran ekosistem mangrove untuk dibudidayakan menjadi
tambak ikan, tambak udang, tambak garam, industri, permukiman
dan bahkan reklamasi pantai juga dilakukan. Kerusakan ekosistem
ini juga menyebabkan kerusakan pada ekosistem daratan seperti
adanya instrusi, sedimentasi, dan banjir kota. Tipe pesisir ini
54
memerlukan pengawasan dan pengendalian yang ketat dari ancaman
kerusakan lingkungan.
Tersebar di 26 provinsi. Terpanjang terdapat di Provinsi
Kalimantan Timur (1.932,05 km atau 18,22 %). Terpendek terdapat
di Provinsi Jawa Tengah (19,03 km atau 0,18 %).
2.2.3 Nelayan
� Kajian kondisi sosial, budaya dan ekonomi penduduk
Penduduk kawasan
Keberadaan penduduk dan sebaran permukiman penduduk yang
mendiami kawasan pemukiman nelayan lingkup Pulau Jawa dikategorikan
menjadi:
a. Penduduk Tionghoa, yang mendiami lokasi pemukiman jauh dari area
perairan. Pekerjaan utama penduduk Tionghoa ini adalah berdagang.
Perumahan penduduk Tionghoa berdiri sejajar memanjang/linear,
searah dengan jalur jalan utama di luar kawasan. Kelompok perumahan
penduduk Tionghoa yang membentuk pola pemukiman
memanjang/linear di sepanjang sisi jalan, dengan tujuan bahwa aktifitas
perdagangan sebagai mata pencaharian utama akan mendekati akses
kepada konsumen, terutama kedekatan terhadap aksesibilitas di pusat
kota.
b. Penduduk Pribumi yang bekerja sebagai nelayan tradisional dan
mendiami lokasi pemukiman mendekati perairan/pantai. Rata-rata
komposisi perumahan berbentuk kelompok/cluster dan berorientasi
menghadap ke arah perairan. Kelompok perumahan penduduk asli
pribumi yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan/pencari ikan
55
membentuk pola pemukiman berkelompok/cluster, tetapi masih
berorientasi menuju perairan/pantai. Diantara kelompok-kelompok
pemukiman ini masih banyak menyisakan ruang-ruang terbuka/open
space, yang sangat diperlukan bagi para nelayan untuk menjemur hasil
olahan ikan dan memperbaiki jala/ngiteng.
c. Penduduk pendatang umumnya berasal dari daerah Madura. Mereka
mulai menempati lokasi pemukiman pada tahun 1954. Rata-rata mereka
bekerja tidak jauh dari kegiatan perairan dan perikanan, baik sebagai
buruh nelayan bagi mereka yang tidak memiliki perahu, nelayan harian
lepas bagi yang memiliki perahu sendiri, pedagang ataupun sebagai
pengolah ikan dan sektor informal lainnya di sekitar pemukiman.
Kelompok perumahan pendatang dibangun diantara rumah-rumah
penduduk asli. Mereka memanfaatkan setiap ruang terbuka yang ada
sebelumnya, untuk didirikan rumah. Karena kebutuhan lahan untuk
perumahan bagi penduduk pendatang semakin besar, mulai dilakukan
pengurugan pantai/reklamasi yang dilaksanakan secara liar dan
mengganggu aktifitas dermaga. Pola pemukiman di sekitar perairan
semakin tidak teratur. Karena masing-masing penduduk nelayan
menginginkan akses dari rumah tinggal menuju ke tempat tambatan
perahu/dermaga sedekat mungkin.
Mata pencaharian dan ekonomi
Mata pencaharian penduduk permukiman nelayan lingkup Pulau Jawa
yaitu, (1) nelayan, (2) wiraswasta, (3) sektor-sektor yang berhubungan
dengan perikanan yaitu usaha pengolahan ikan, baik pada skala besar maupun
skala rumah tangga, (4) pengelolaan dan penyewaan kapal, (5) perdagangan
56
hasil tangkapan dan pengolahan ikan, (6) serta penjualan perlengkapan
penangkapan ikan.
Rusaknya habitat ekosistem perikanan di sekitar wilayah perairan telah
mengakibatkan penurunan jumlah ikan, sehingga para nelayan harus berlayar
selama lebih dari 3 jam pelayaran dari wilayah kawasan untuk mendapatkan
hasil tangkapan ikan dalam jumlah yang cukup maksimal. Hal ini tentunya
hanya dapat dilakukan oleh nelayan-neleyan yang memiliki perahu yang
cukup besar dan dilengkapi oleh motor tempel. Sedangkan nelayan-nelayan
kecil akan membutuhkan waktu lama untuk berlayar menangkap ikan. Itu
sebabnya, banyak nelayan-nelayan kecil yang membutuhkan waktu antara
10–15 hari untuk menangkap ikan, kemudian pulang ke rumah selama 2–3
hari, kemudian pergi berlayar lagi.
Tabel 2.11 Musim melaut dan musim angin
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nop Des
Angin Barat Musim untuk melaut Angin Timur
Angin Barat
Sumber:
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:4na9TyYTuA4J:wardoyo.staff.gunadarma.a
c.id/Publications/files/373/Teluk%2BNaga.pdf+&cd=1&hl=en&ct=clnk
Para nelayan di Pulau Jawa pada umumnya memiliki jadwal kapan
mereka melaut dan kapan tidak melaut. Pada bulan Maret–Juli adalah musim
yang tepat untuk melaut, sedangkan bulan Agustus–September adalah Musim
Angin Timur dan Bulan Oktober–Februari adalah Musim Angin Barat. Pada
musim-musim angin tersebut, para nelayan tidak banyak yang melaut.
Selama para suami pergi berlayar menangkap ikan, para istri mengolah
ikan hasil tangkapan untuk dibuat menjadi ikan asin, terasi, mangut, kerupuk
udang dan sebagainya. Hal ini dilakukan karena hasil olahan ikan akan
57
membuat nilai jualnya menjadi lebih tinggi dari pada hasil tangkapan ikan
yang dijual langsung.
Sosial budaya
Sebagian besar penduduk di kawasan permukiman lingkup Pulau Jawa
adalah pemeluk agama Islam/Muslim. Sarana dan prasarana peribadatan yang
ada di sekitar kawasan sudah mencukupi. Sehingga kegiatan agama yang ada
di sekitar kawasan cukup tinggi. Sikap masyarakat terhadap kehidupan
sehari-hari dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan keagamaan yang mereka
anut. Sehingga meskipun masyarakat menganut agama yang berbeda-beda,
tingkat toleransi agama di antara mereka cukup tinggi. Pola bentukan ruang
pada kawasan menunjukan karakter pola perumahan yang berorientasi pada
sarana peribadatan, dimana dalam kawasan ditunjukan pada pola perumahan
yang berorientasi pada bangunan Masjid dan Klenteng. Karakter sosial
banyak mempengaruhi penataan pola perumahan di sekitar tempat ibadah
tersebut, yaitu pertama adalah Ikatan kekerabatan berdasarkan kesamaan
kepercayaan, menyebabkan mereka yang memiliki kesamaan
kepercayaan/agama, berkelompok membuat pola perumahan yang saling
berdekatan dan berusaha mendekati pusat-pusat tempat peribadatan, kedua
adalah sikap Community Leader pada masyarakat beragama, menyebabkan
pemuka agama memiliki posisi dan kondisi yang lebih dibandingkan
masyarakat awam pada umumnya. Sehingga ada kecenderungan mereka
hidup berkelompok mendekati posisi tempat tinggal pemimpin agama yang
dianut.
Dari kedua kondisi tersebut, secara fisik pola perumahan membentuk
Pola Clustered dengan sistem memusat pada tempat/fasilitas ibadah
58
(Centralized Depend On Social/Cultural Facilities). Dari beberapa tempat
peribadatan di sekitar kawasan, terdapat ruang terbuka yang selain digunakan
untuk kegiatan beribadah, juga dimanfaatkan warga sekitar untuk kegiatan
sosial dan kegiatan komunal sehari-hari. Bahkan karena letaknya yang sangat
strategis, ruang terbuka menjadi Landmark kawasan, bukan saja sebagai pusat
orientasi pemukiman di sekitarnya, tetapi juga sebagai petunjuk arah bagi
para nelayan yang sedang berlayar di malam hari.
Selain berhubungan dengan pola tata ruang, kegiatan keagamaan
penduduk di sekitar kawasan, berkaitan erat dengan kondisi sosial dan budaya
masyarakat setempat, yaitu kepercayaan mereka akan sesuatu kekuatan yang
lebih berkuasa dan melebihi segalanya di dunia ini, yaitu Sang Pencipta.
Sehingga masih ada kegiatan yang bersifat ritual, yang bertujuan untuk
memberikan penghargaan dan pengorbanan kepada Sang Pencipta atas
rahmat yang telah diterima, dan diwujudkan dengan Upacara Sedekah Laut.
Upacara ini berupa persembahan kepada Sang Pencipta yang diwujudkan
dalam bentuk beraneka ragam makanan dan benda-benda berharga yang
ditempatkan di dalam perahu, kemudian dilabuhkan/dilepas ke tengah laut.
Kegiatan ini melibatkan banyak pengunjung, yaitu masyarakat sekitar
kawasan yang terlibat secara langsung mengikuti kegiatan ini, maupun
pengunjung yang ingin menyaksikannya, karena acara ini sudah diagendakan
sebagai sajian wisata oleh Pemerintah Kabupaten. Untuk itu di sekitar
kawasan di tepi dermaga diperlukan ruang terbuka yang cukup luas dan
memiliki akses langsung ke arah laut. Karena secara spesifik fasilitas ruang
terbuka tersebut tidak tersedia di sekitar kawasan, maka masyarakat
59
memanfaatkan ruang fasilitas pendaratan ikan di depan Tempat Pelelangan
Ikan (TPI) untuk menyelenggarakan U
Dari kenyataan tersebut, terbukti bahwa kondisi sosial b
kawasan membawa pengaruh yang cukup besar bagi pembentukan pola tata
ruang pemukiman di sekitar kawasan.
Dalam kenyataannya pola ruang adalah sangat terintegrasi secara era
dengan kelompok manusia dan segala kegiatannya.
Gambar 2.2 Aktifitas masyarakat yang berhubungan dengan setting ruang pada p
Sumber: YD Ekaputra
2.2.4 Sustainable Ecology
Ekologi
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme
dengan lingkungannya dan yang lainnya. Berasal dari kata Yunani
("habitat") dan logos
mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun
memanfaatkan ruang fasilitas pendaratan ikan di depan Tempat Pelelangan
n (TPI) untuk menyelenggarakan Upacara Sedekah Laut ini.
rsebut, terbukti bahwa kondisi sosial budaya di sekitar
kawasan membawa pengaruh yang cukup besar bagi pembentukan pola tata
ruang pemukiman di sekitar kawasan.
alam kenyataannya pola ruang adalah sangat terintegrasi secara era
dengan kelompok manusia dan segala kegiatannya.
Gambar 2.2 Aktifitas masyarakat yang berhubungan dengan setting ruang pada pemukiman
YD Ekaputra - 2012 - ejournal.unpand.ac.id
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme
dengan lingkungannya dan yang lainnya. Berasal dari kata Yunani oikos
("ilmu"). Ekologi diartikan sebagai ilmu yang
mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara
memanfaatkan ruang fasilitas pendaratan ikan di depan Tempat Pelelangan
udaya di sekitar
kawasan membawa pengaruh yang cukup besar bagi pembentukan pola tata
alam kenyataannya pola ruang adalah sangat terintegrasi secara erat
emukiman
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme
oikos
("ilmu"). Ekologi diartikan sebagai ilmu yang
interaksi antara
60
makhluk hidup dan lingkungannya. Dalam ekologi, kita mempelajari
makhluk hidup sebagai kesatuan atau sistem dengan lingkungannya.
Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan
berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor
biotik antara lain suhu, air, kelembapan, cahaya dan topografi, sedangkan
faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan,
tumbuhan dan mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan-
tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas dan ekosistem
yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan
kesatuan.
Ekosistem
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan
timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem bisa
dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara
segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi.
Dalam rangka penyusunan kebijakan dan strategi pengelolaan
lingkungan perlu memahami konsep dasar ekologi. Lebih spesifik lagi setelah
kita dapat memahami konsep ekologi dapat digunakan untuk melakukan
identifikasi karakteristik ekologi melalui penelusuran proses ekologi. Proses
ekologi dalam suatu wilayah ekosistem dapat diidentifikasi melalui hubungan
antara komponen lingkungan biofisik dan komponen lingkungan sosial-
budaya, seperti digambarkan secara ringkas pada Gambar 2.3.
61
Gambar 2.3 Hubungan antara komponen l
Sumber: Prof Dr Ir Soemarno
Terjadinya penurunan/degradasi kualitas lingkungan adalah akibat
exploitasi lingkungan hidup yang menyimpang (malpraktek) melegalkan
upaya pemanfaatan lahan yang sebenarnya merupakan kawa
dilindungi atau pun ruang terbuka hijau. Meluasnya lahan kritis, miskin dan
terlantar, lahan miring dan tebing sungai longsor, banjir yang melanda di
permukiman dan perumahan, kekeringan di bagian hulu, pencem
kontaminasi air tanah serta
Dampak dari malpraktek tersebut meluas menimpa kembali kehidupan
manusia dan akhirnya dapat menurunkan kualitas sumberdaya manusia.
Gambar 2.4 Komponen utama dalam pengelolaan e
Sumber: Prof Dr Ir Soemarno MS Bahan kajian MK. Dinamika Pengembangan Wilayah PM
Ketiga komponen pembentuk lingkungan tidak terpisah, namun
membentuk satu kesatuan lokalitas dalam suatu ekosistem bentanglaha
sumberdaya alam potensial serta
Hubungan antara komponen lingkungan biofisik dan komponen lingkungan
sosial-budaya
Sumber: Prof Dr Ir Soemarno MS Bahan kajian MK. Dinamika Pengembangan Wilayah PM
pslp-ppsub 2011
Terjadinya penurunan/degradasi kualitas lingkungan adalah akibat
exploitasi lingkungan hidup yang menyimpang (malpraktek) melegalkan
upaya pemanfaatan lahan yang sebenarnya merupakan kawasan yang harus
dilindungi atau pun ruang terbuka hijau. Meluasnya lahan kritis, miskin dan
terlantar, lahan miring dan tebing sungai longsor, banjir yang melanda di
permukiman dan perumahan, kekeringan di bagian hulu, pencemaran dan
erta merosotnya kesehatan dan sanitasi lingkungan.
Dampak dari malpraktek tersebut meluas menimpa kembali kehidupan
manusia dan akhirnya dapat menurunkan kualitas sumberdaya manusia.
Komponen utama dalam pengelolaan ekosistem
r Soemarno MS Bahan kajian MK. Dinamika Pengembangan Wilayah PM
pslp-ppsub 2011
Ketiga komponen pembentuk lingkungan tidak terpisah, namun
membentuk satu kesatuan lokalitas dalam suatu ekosistem bentanglaha
sumberdaya alam potensial serta kawasan budidaya dan non-budidaya
ngkungan biofisik dan komponen lingkungan
MS Bahan kajian MK. Dinamika Pengembangan Wilayah PM
Terjadinya penurunan/degradasi kualitas lingkungan adalah akibat
exploitasi lingkungan hidup yang menyimpang (malpraktek) melegalkan
san yang harus
dilindungi atau pun ruang terbuka hijau. Meluasnya lahan kritis, miskin dan
terlantar, lahan miring dan tebing sungai longsor, banjir yang melanda di
aran dan
ehatan dan sanitasi lingkungan.
Dampak dari malpraktek tersebut meluas menimpa kembali kehidupan
r Soemarno MS Bahan kajian MK. Dinamika Pengembangan Wilayah PM
Ketiga komponen pembentuk lingkungan tidak terpisah, namun
membentuk satu kesatuan lokalitas dalam suatu ekosistem bentanglahan,
budidaya
62
merupakan input alam (given), sumberdaya manusia potensial tergantung
pada tingkat penguasaan tekno-budaya (cultural ecology), dampak exploitasi
lingkungan akibat penyalahgunaan praktek pemanfaatan lahan (malpraktek).
Pendekatan ekologi pada perancangan arsitektur
Ada berbagai cara yang dilakukan dari pendekatan ekologi pada
perancangan arsitektur, tetapi pada umumnya mempunyai inti yang sama,
antara lain: Yeang (2006), me-definisikannya sebagai: Ecological design, is
bioclimatic design, design with the climate of the locality, and low energy
design. Yeang, menekankan pada integrasi kondisi ekologi setempat, iklim
makro dan mikro, kondisi tapak, program bangunan, konsep design dengan
sistem yang tanggap pada iklim, penggunan energi yang rendah, diawali
dengan upaya perancangan secara pasif dengan mempertimbangkan bentuk,
konfigurasi, façade, orientasi bangunan, vegetasi, ventilasi alami dan warna.
Integrasi tersebut dapat tercapai dengan mulus dan ramah, melalui 3 tingkatan
yaitu yang pertama integrasi fisik dengan karakter fisik ekologi setempat,
meliputi keadaan tanah, topografi, air tanah, vegetasi, iklim dan sebagainya.
Kedua, integrasi sistim-sistim dengan proses alam, meliputi cara penggunaan
air, pengolahan dan pembuangan limbah cair, sistim pembuangan dari
bangunan dan pelepasan panas dari bangunan dan sebagainya. Yang ketiga
adalah integrasi penggunaan sumber daya yang mencakup penggunaan
sumber daya alam yang berkelanjutan. Aplikasi dari ketiga integrasi tersebut,
dilakukannya pada perancangan tempat tinggalnya.
� Wetlands
Lahan Basah adalah kawasan yang terletak di zona peralihan antara
daratan yang kering secara permanen dan perairan yang berair secara
63
permanen (Maltby,1991 Dalam Khiatudin.2003). Menurut EPA lahan basah
adalah suatu area dimana air selalu menutupi tanah, baik dimasa saat ini
maupun di sebagian besar waktu dalam setahun, termasuk pada musim
pertumbuhan (EPA,2006). Jenis-jenis lahan basah (wetland) tergantung dari
perbedaan regional dan lokal pada tanah, topografi, iklim, hidrologi, kualitas
air, vegetasi dan berbagai faktor lain termasuk juga aktifitas manusia.
Dua jenis umum lahan basah yang dikenal yaitu tidal wetland dan non-
tidal wetland.
1. Tidal wetland: adalah lahan basah yang berhubungan dengan estuari,
dimana air laut bercampur dengan air tawar dan membentuk lingkungan
dengan bermacam-macam kadar salinitas. Fluktuasi pemasukan air laut
yang tergantung pada pasang surut seringkali menciptakan lingkungan
yang sulit bagi vegetasi, salah satu yang dapat beradaptasi disini adalah
tumbuuhan mangrove dan beberapa tanaman yang tahan terhadap
salinitas.
2. Non-tidal wetland: adalah lahan basah yang biasanya berada di
sepanjang aliran sungi, di bagian yang dangkal dikelilingi oleh tanah
kering. Keberadaannya tergantung musim, dimana mereka akan
mengering pada satu atau beberapa musim di setiap tahunnya. Tipe ini
bisa di ditemui di Amerika atau Alaska. (EPA,2006)
Lahan basah buatan
Lahan basah buatan adalah suatu sistem perawatan yang
mempergunakan proses alamiah yang melibatkan vegetasi lahan basah, tanah
dan mikrobakteri yang berasosiasi di dalamnya dengan tujuan memperbaiki
kualitas air (EPA,2004). Lahan Basah buatan memiliki banyak fungsi
64
diantranya untuk filtrasi air. Ketika aliran air melewati lahan basah, mereka
akan berjalan perlahan dan sebagian besar bahan pencemar akan terjerab oleh
vegetasi untuk kemudian terangkat atau berubah bentuk menjadi lebih tidak
berbahaya. Tumbuhan yang hidup dalam lahan basah membutuhkan unsur
hara yang terkandung dalam air. Jika yang tertahan adalah air yang
mengandung bahan pencemar berbahaya bagi lingkungan namun bermanfaat
bagi tumbuhan, maka bahan itu akan diserapnya (Wong, 1997).
Lahan basah memindahkan polutan dari perairan melibatkan proses
yang komplek antara aspek biologi, fisika dan kimia. Pengambilan nutrient
oleh tumbuhan tingkat tinggi dan penyimpanan logam berat di dalam akar
adalah komponen biologi yang paling nyata pada ekosistem lahan basah
(Orson 1992; Rai 1995 dalam Wong 1997). Dalam pengambilan polutan oleh
tumbuhan, transformasi bakteri dan proses fisika-kimia termasuk adsorpsi,
presipitasi dan sedimentasi dalam tanah dan rhizospere di zona akar adalah
mekanisme utama untuk pengangkatan bahan pencemar (Wong,1997).
Ditinjau secara fisik, kimiawi dan biologis, peran lahan basah dalam
proses penghilangan bahan pencemar dari air limbah terjadi menurut salah
satu proses berikut (Wildeman dan Laudon 1989 dalam Khiatudin,.2003)
1. Penyaringan bahan tersuspensi dan koloida yang terdapat dalam air.
2. Asimilasi bahan pencemar ke dalam jaringan akar dan daun tumbuhan
hidup.
3. Pengikatan atau pertukaran bahan pencemar dengan tanah lahan basah,
bahan tanaman hidup, bahan tanaman mati dan bahan alga hidup.
4. Presipitasi dan netralisasi melalui pembentukan NH3 dan HCO3 dari
penguraian bahan biologis karena kegiatan bakteri.
65
5. Presipitasi logam di lapisan oksidasi dan reduksi yang dikatalisir oleh
aktivitas bakteri.
Jenis lahan basah buatan
Menurut jenis aliran air, lahan basah buatan secara umum digolongkan
dalam dua bentuk yaitu aliran horisontal dan aliran vertikal. Dalam sistem
aliran horisontal, air memasuki lahan dari satu titik, mengalir dalam lahan
buatan, kemudian keluar dari titik di ujung lahan basah. Sedangkan pada
aliran vertikal, air merembes atau mengalir secara vertikal baik dari atas ke
arah bawah atau dari bawah ke arah atas sistem untuk keluar dari sistem.
Lahan basah buatan aliran horisontal digolongkan menjadi:
1. Lahan basah buatan yang airnya mengalir di atas permukaan tanah.
2. Lahan basah buatan yang airnya mengalir lewat substrat tempat
tanaman air.
3. Kombinasi bentuk 1 dan 2.
4. Lahan basah buatan hidroponik aliran tipis tanpa substrat.
Gambar 2.5 Jenis-jenis lahan basah buatan aliran horisontal
Sumber: Maulida Khiatudin,2003
Lahan basah buatan aliran vertikal digolongkan menjadi
1. Aliran vertikal menurun. Air masuk dari permukaan, merembes ke
substrat hingga
2. Aliran vertikal menanjak. Air disalurkan melaui pipa
melalui saluran yang
Diantara tanaman akuatik yang c
sagu. Sedangkan tanaman
Gambar 2.6
Tanaman mangrove pada
Bakau atau mangrove adalah salah satu tanama
beradaptasi dengan
asin. Endapan yang dihanyutkan oleh
tempat tumbuh yan
Lahan basah buatan aliran vertikal digolongkan menjadi:
Aliran vertikal menurun. Air masuk dari permukaan, merembes ke
substrat hingga mencapai dasar untuk keluar dari sistem.
Aliran vertikal menanjak. Air disalurkan melaui pipa kamud
melalui saluran yang terletak di permukaan substrat. (Khiatudin,2003)
Diantara tanaman akuatik yang cocok ditanam di areal air tawar adalah
sagu. Sedangkan tanaman bakau dan nipah untuk air payau.
Gambar 2.6 Contoh penerapan lahan basah buatan di area tambak i
Sumber: Maulida Khiatudin,2003
mangrove pada tidal wetland sebagai biodiversity
Bakau atau mangrove adalah salah satu tanaman yang mampu
beradaptasi dengan baik dalam lingkungan air, bahkan air payau maupun
Endapan yang dihanyutkan oleh air dari daratan merupakan substrat
tempat tumbuh yang sangat cocok bagi tanaman ini. Kemampuan berbagai
66
Aliran vertikal menurun. Air masuk dari permukaan, merembes ke
kamudian keluar
terletak di permukaan substrat. (Khiatudin,2003)
air tawar adalah
uatan di area tambak ikan
biodiversity pesisir
n yang mampu
baik dalam lingkungan air, bahkan air payau maupun
air dari daratan merupakan substrat
Kemampuan berbagai
67
spesies bakau beradaptasi dengan lingkungan basah berbeda-beda. Di
endapan lumpur yang terendam secara permanen hanya spesies Rhizopora
Mucronata yang mampu hidup. Di endapan yang terendam secara periodik
ketika air pasang ukuran menengah, spesies yang mendominasi adalah
Avicennia sp, Soneratia griffithii dan Rhizopora (di pinggiran air). Di
endapan yang dibanjiri oleh air pasang besar normal, semua spesies dapat
hidup tetapi yang mendominasi adalah Rhizopora. Di lahan oleh air pasang
bulan purnama atau bulan gelap, spesies yang utama adalah Bruguiera
gymnorphyza dan Bruguiera cylindrica, Ceriops sp. Sementara di lahan yang
hanya dibanjiri oleh air pasang ekuinoks atau air pasang yang tinggi sekali
ketika bersamaan dengan banjir dari hulu, spesies Bruguiera gymnophora
dominan dan disertai oleh Rhizopora apiculata dan Xylocarpus granatum (
Knox 2001 Dalam Khiatudin 2003).
2.3 Hubungan Definisi Dan Landasan Terhadap Perancangan (Bahasan 2.2)
Dengan Permukiman Kumuh Serta Rob Atau Abrasi
Pada suatu wilayah permukiman pesisir yang mempunyai permasalahan
menyangkut kekumuhan (akibat faktor non alam) dan rob atau abrasi (akibat
faktor alam), maka perlu adanya tindak pembangunan/pengembangan secara
berkelanjutan (sustainable development). Sebagai bentuk pemecahan
masalahnya yaitu dengan redevelopment/pembangunan kembali (karna
bangunan yang ada sudah tidak dapat dipertahankan lagi keberadaanya) yang
model penangananya ke arah pembangunan horizontal/vertikal (agar
mempunyai residual land) sebagai bentuk pemecahan permasalahan
menyangkut kekumuhan. Untuk pemecahan permasalahan menyangkut rob
atau abrasi sebagaimana dari hasil kajian terhadap 10 macam jurnal
68
yang sudah terlampir pada bab I (bahasan tinjauan pustaka), maka dapat
disimpulkan alternatif konsep sebagai penangananya yaitu konsep panggung
(ditinjau lagi dengan kondisi eksisting yang ada).
Agar terciptanya suatu pembangunan/pengembangan wilayah
permukiman pesisir yang baik, maka hal-hal yang perlu dikaji sebagai acuan
adalah sebagai berikut:
1. Permukiman pesisir. Melingkupi: Karakteristik fisik lingkungan,
karakteristik perumahan dan permukiman, karakteristik sarana dan
prasarana lingkungan pesisir. Sebagai acuan terhadap permukiman
pesisir yang ingin dibangun.
2. SNI. Sebagai tolak ukur maupun acuan mengenai ketentuan
perencanaan lingkungan permukiman pesisir yang terintegrasi dengan
pusat perkotaan.
3. Tipologi pesisir Indonesia dan karakteristiknya. Sebagai acuan
penilaian terhadap jenis pesisir pada wilayah yang ingin dibangun.
4. Nelayan. Melingkupi: Pemahaman mendalam mengenai kondisi sosial,
budaya dan ekonomi. Sebagai acuan dan penyesuaian terhadap
permukiman pesisir yang ingin dibangun.
Setelah empat hal diatas dikaji secara mendalam, permukiman pesisir
yang akan dibangun nantinya harus melakukan pendekatan secara ekologi,
agar ekosistem pesisir setempat (mangrove) nantinya akan tetap memberikan
interaksi yang menguntungkan bagi penduduknya. Hal-hal yang perlu dikaji
menyangkut sustainable ecology pesisir yaitu:
- Wetlands (lahan basah)
1. Jenis-jenis wetland.
69
2. Tanaman mangrove pada tidal wetlands sebagai biodiversity pesisir.
Kedua hal tersebut perlu dikaji menyangkut pendekatan sustainable
ecology, adalah sebagai acuan dan pilihan mengenai interaksi vegetasi
mangrove apa yang cocok dan dikembangkan, serta nantinya akan
dikombinasikan terhadap wilayah permukiman pesisir yang akan dibangun.
2.4 Kaitan Teori Dengan Pemecahan Masalah
Dasar dalam menentukan arah pembangunan/pengembangan bangunan:
Zhand (1999; 24), mengungkapkan tiga cara perkembangan dasar
dalam pembangunan yaitu sebagai berikut:
- Perkembangan Horisontal
Cara perkembangan mengarah keluar, artinya daerah bertambah
sedangkan ketinggian dan kuanitas lahan terbangun (coverage) tetap
sama. Terjadi pada daerah pinggiran.
- Perkembangan Vertikal
Cara perkembangannya mengarah keatas. Artinya daerah pembangunan
dan kuantitas lahan tetap, sedangkan ketinggian bangunan bertambah.
- Perkembangan Interstisial
Cara perkembangan dilangsungkan ke dalam. Artinya daerah dan
ketinggian bangunan tetap, kuantitas lahan terbangun bertambah.
Terjadi transisi antara pusat dan pinggiran kota.
� Alternatif pertama
Dengan notabene wilayah Desa Tanjung Pasir yang dikategorikan
sebagai kawasan permukiman yang terintegrasi dengan pusat perkotaan dan
pusat pelayanan kawasan sekitar wilayah kabupaten, maka penerapan dari
teori perkotaan boleh diterapkan dalam mengatasi permasalahan yang ada.
70
Teori pembentuk pola stuktur ruang kawasan
Trancik 1986, merumuskan tiga kategori teori yang secara serial
membentuk pola stuktur ruang yang dapat digunakan untuk menganalisis
hubungan dan pergerakan, struktur dan dimensi aktivitas.yaitu:
- Figure-ground (konfigurasi solid dan void)
Teori tentang figure/ground didapatkan melalui studi mengenai
hubungan tekstural antara bangunan (building mass) dan ruang terbuka
(open space) sebagai bentuk solid (figure) serta open void (ground).
- Linkage (penghubung)
Merupakan analisis melalui pergerakan dan aktivitas yang dapat
menegaskan hubungan dalam suatu tata ruang. Teori ini menjelaskan
hubungan solid-voids dalam sistem pergerakan dan antar kawasan yang
kenyataannya diwujudkan berupa jalan, jalur pedestrian atau ruang
terbuka lainnya. Linkage ini tidak hanya membentuk ruang luar tetapi
juga membentuk struktur kota karena akhirnya diwujudkan dalam
jaringan jalan, pola pergerakan dan sirkulasi.
- Place (tempat)
Teori place lebih menekankan faktor-faktor kultural (budaya) dan
historis (sejarah). Dengan demikian, teori place memberikan
perwujudan bentuk-bentuk lokal. Bentuk-bentuk bangunan dan elemen-
elemen (focal point) tidak hanya sebagai bentuk-bentuk enclosure,
tetapi merupakan bentuk-bentuk yang cocok bagi potensi masyarakat,
sehingga masyarakat dapat menerima nilai-nilai sosiokultural tersebut.
Menurut Trancik (1986), mengemukakan bahwa teori place merupakan
71
kombinasi antara teori figure-ground dan linkage yang menekankan
fisik dan visual pada aspek sosial dan budaya serta sejarah.
� Alternatif kedua
Isu utama dalam habitat agenda II,
- Perumahan Layak untuk Semua/Adequate Shelter for All.
- Permukiman yang Berkelanjutan/Sustainable Human Settlement.
Pedoman perumahan dan permukiman di Indonesia:
Berlandaskan UU No.4/1992 mengenai perumahan dan permukiman,
telah dikeluarkan kebijakan dan strategi nasional perumahan dan permukiman
(KSNPP) pada tahun 1999 sebagai suatu pedoman penyusunan kebijakan
teknis, perencanaan, pemrograman dan kegiatan yang terkait dengan
perumahan dan permukiman.
Teori penataan dan pengembangan kawasan dengan interaksi dua arah
(Man–Environment Studies)
Man-Environment Studies, yaitu sebuah studi mengenai hubungan
saling menguntungkan (mutual interaction) antara manusia dengan
lingkungan terbangun di sekitarnya (3 variabel):
1. Karakteristik manusia sebagai pembentuk karakter lingkungan.
2. Lingkungan fisik dan manusia.
3. Mekanisme yang menghubungkan antara manusia dengan lingkungan
dalam interaksi dua arah.
Ada beberapa aspek fundamental yang melengkapi organisasi
keruangan (Rapoport,1977), yaitu:
72
1. Tatanan Ruang -Organization of space yaitu merupakan tatanan
lingkungan dan menciptakan hubungan antara manusia dengan
lingkungannya.
2. Tatanan berdasarkan Makna -Organization of meaning.
3. Tatanan berdasarkan Waktu -Organization of time.
4. Tatanan berdasarkan Komunikasi -Organization of communication.
Definisi dan prinsip teori empiris praktis
Penataan merupakan sebuah kegiatan membentuk benda, energi dan
proses menuju sebuah kebutuhan dan keinginan yang dimiliki seorang atau
sekelompok manusia (Van DerRyn, 1996).
Prinsip sustainable memiliki poin-poin sebagai acuan dalam melakukan
analisa potensi, penataan dan pengembangan di masyarakat (Vales,1991):
- Efisiensi energi (Conserving Energy)
- Penyesuaian terhadap iklim (Working with Climate)
- Membudayakan daur ulang (Minimizing New Resources)
- Menghargai pengguna (Respect for Users)
- Menghargai lingkungan (Respect for Site)
- Menyeluruh (Holism)
Definisi dan prinsip teori fenomenologi
Pada dasarnya berbagai pola penciptaan tempat menghasilkan karakter
permukiman menjadi beberapa tipe dasar dari organisasi ruang berikut
(Norberg-Schulz, 1971):
1. Tipe dasar Cluster.
2. Tipe dasar Row.
3. Tipe dasar Enclosure.
73
Karakter permukiman
(Rapoport,1977):
1. Orientasi permukiman
Gambar 2.7 Dwelling Surrounding The Central Space
pola permukiman
Sumber: Studi Kasus
2. Orientasi permukiman
macam organisasi dalam
jalan dan berseberangan
disepanjang jalan dan
Gambar 2.8 Street related housing
Sumber: Studi Kasus
3. Orientasi kearah dalam
Gambar 2.9 The inside
Sumber: Studi Kasus
permukiman dapat dilihat dari organisasi ruang permukiman
permukiman mengelilingi central space.
Dwelling Surrounding The Central Space; Terdapat bermacam bentuk
pola permukiman dengan organisasi yang mirip
Sumber: Studi Kasus Permukiman Nelayan Laino Pantai, Laiworu Kab.Muna
permukiman menyusuri jalan/along the streets. Terdapat
dalam orientasi ini, yaitu rumah berada disepanjang
berseberangan dengan rumah lain atau rumah berada
dan berseberangan dengan unsur air (waterfront).
Street related housing (kiri) dan Waterfront housing (kanan)
Sumber: Studi Kasus Permukiman Nelayan Laino Pantai, Laiworu Kab.Muna
dalam (inside-out city)
The inside-out city; Orientasi ke dalam memiliki domain privat-publik
Sumber: Studi Kasus Permukiman Nelayan Laino Pantai, Laiworu Kab.Muna
permukiman
; Terdapat bermacam bentuk
Permukiman Nelayan Laino Pantai, Laiworu Kab.Muna
Terdapat dua
disepanjang
berada
).
Kab.Muna
publik
Laino Pantai, Laiworu Kab.Muna
• Pembahasan mengenai teori alternatif kedua
perancangan permukiman pesisir
- Orientasi
langsung dengan
nelayan tangguh.
- Orientasi
pekerjaan pengolah
kedalam dapat
- Kedua orientasi
organisasi
Gambar 2.10
Pembahasan mengenai teori alternatif kedua terhadap acuan
perancangan permukiman pesisir
waterfront, yaitu orientasi permukiman yang terhubung
dengan jalan dan unsur air akan sangat mendukung
tangguh.
inside-out (terbalik/kedalam) akan sangat
pengolah ikan, karena central space yang menjadi
dapat menjadi ruang pengolahan ikan.
orientasi tersebut tergabung dalam komposisi berulang
ruang.
Gambar 2.10 Orientasi Waterfront (kiri), Orientasi Inside-out (tengah) dan Komposisi
Berulang Dalam Organisasi Ruang (kanan)
Sumber: Rapoport, 1977
74
terhadap acuan
yang terhubung
mendukung pekerjaan
mendukung
yang menjadi orientasi
berulang dalam
(tengah) dan Komposisi
75 2.5 Kerangka Berpikir
JUDUL TUGAS AKHIR
PERMUKIMAN PESISIR DENGAN PENDEKATAN EKOLOGI BERKELANJUTAN DI TANJUNG PASIR
Latar Belakang Masalah
1. Desa Tanjung Pasir merupakan permukiman yang termasuk dalam kategori kumuh (non alam)
2. Di wilayah permukiman Desa Tanjung Pasir menjadi langganan terkena rob atau abrasi (alam)
Maksud Dan Tujuan
Penataan kembali Desa Tanjung Pasir dengan konsep permukiman yang dapat menyelesaikan masalah rob atau abrasi dengan pola mangrove sebagai interaksi yang menguntungkan.
Permasalahan
1. Permukiman warga tidak tertata dan padat serta tidak layak dari segi sanitasi.
2. Permukiman warga sangat sering terkena rob atau abrasi dengan ketinggian air ± 60-120 cm.
Analisa
Mengumpulkan data–data permasalahan berdasarkan observasi/survey lapangan, interview, studi literatur dan membaca teori–teori mengenai permukiman pesisir yang mempunyai permasalahan kekumuhan dan rob atau abrasi serta sustainable ecology.
Konsep Bangunan Dan Lingkungan
Sustainable dan tetap menjaga budaya nelayan yang telah terbentuk sejak lama.
SKEMATIK DESAIN PERANCANGAN
76 2.6 Hipotesis
Teori yang cocok diterapkan pada permukiman Desa Tanjung Pasir
yang mempunyai masalah dengan kekumuhan dan rob atau abrasi ialah
penggabungan teori Amos Rapoport 1977 (Human Aspects of Urban Form:
Towards a Man-Environment Approach to Urban Form and Design) dengan
teori Roger Trancik 1986 (Finding Lost Space: Theories of Urban Design),
sebagaimana kajian yang sudah diuraikan pada Kaitan Teori Dengan
Pemecahan Masalah (pembahasan 2.4) diatas, serta penerapan teori dari
Yeang 2006 (Ecological design, is bioclimatic design, design with the climate
of the locality, and low energy design) kepada tiap-tiap huniannya.
Gambar 2.11 Pemetaan daerah Desa Tanjung Pasir (Kampung Garapan)
Sumber: Hasil Olahan Peneliti
2.7 Studi Banding
Studi banding ini mengambil area permukiman pesisir terbaik di
berbagai daerah didalam maupun diluar Indonesia. Penentuan lokasi studi
banding didasari oleh permukiman pesisir yang tertata dan dijadikan daya
tarik dari berbagai aspek serta dapat menjaga interaksi dengan ekosistem
sekitar (mangrove) sehingga terhindar dari permasalahan alam maupun non
alam. Sebagai perbandingan untuk menentukan desain permukiman pesisir
dengan pendekatan sustainable ecology. Disajikan dalam bentuk tabel:
77
NO 1
LOKASI Kalimantan Timur (Bontang Kuala)
JENIS PERMUKIMAN
Permukiman nelayan Permukiman masyarakat
KONSEP Sustainable dengan
permukiman panggung permukiman panggung
yang berinteraksi dengan
LAYOUT
ACUAN
Permukiman yang sangat tertata, bersih, modern tetapi sangat
kontekstual serta berkelanjutan secara
ekologi
permukiman tradisional
HASIL BAHASAN
Permukiman nelayan dapat dijadikan sebagai pengembangan wisata
komersial sebagai peningkatan
perekonomian penduduknya
Permukiman masyarakat
masalah pasang surut air
Sumber: Hasil Olahan Peneliti
2 3 4
HongKong (Tai-O fishing village)
Kepulauan Seribu (Pulau Untung Jawa)
Holland Utara (Semenanjung
Marken)
Permukiman masyarakat nelayan Tanka
Permukiman nelayan dengan fungsi campuran sebagai home stay wisata
Desa nelayan yang dikembangkan ke arah fungsi wisata
Sustainable dengan permukiman panggung
yang berinteraksi dengan tumbuhan mangrove
Permukiman nelayan dibalut secara modern dari
segi desain hunian
Sustainable ecology +
sustainable culture + Sustainable
economy
Kombinasi antara permukiman tradisional
dengan permukiman modern yang saling
berhubungan sehingga membuat suatu
komunitas
Pengembangan pola permukiman nelayan ke
arah perkerasan tetapi tetap menjaga ekosistem mangrove yang ada, sehingga terciptanya
permukiman yang sehat dari segi sanitasi
Permukiman yasangat baik dari
segi sanitasi, modern tetapi sustainable
culture’nya sangat terasa
Permukiman masyarakat Tanka yang
menyesuaikan konsep permukiman dengan
masalah pasang surut air laut
Pengembangan permukiman nelayan Pulau Untung Jawa dinilai sangat
berhasil, sehingga dapat meningkatan kesejahteraan
penduduknya
Desa nelayan yang sangat berhasil membalut unsur
tradisional dengan unsur modern. Tetapi masih sangat terasa
culture’nya itu sendiri
Sumber: Hasil Olahan Peneliti
Holland Utara (Semenanjung
Marken)
nelayan yang dikembangkan ke arah fungsi wisata
Sustainable ology +
sustainable culture + Sustainable
economy
Permukiman yang sangat baik dari
segi sanitasi, modern tetapi sustainable
culture’nya sangat terasa
Desa nelayan yang sangat berhasil membalut unsur
dengan unsur modern. Tetapi masih sangat terasa
culture’nya itu sendiri
78 2.8 Sistematika Pembahasan
TUJUAN
Peremajaan permukiman pesisir Desa Tanjung Pasir dengan konsep panggung dan sustainable housing serta dengan pendekatan interaksi mangrove
Pendahuluan - Permasalahan umum yang
terdapat pada permukiman pesisir
- Penjelasan pemilihan lokasi - Permasalahan di lokasi
Landasan Teori - Penjabaran mengenai lingkup sustainable development
(redevelopment, model penanganan permukiman kumuh dan pembangunan/pengembangan permukiman ke arah horizontal/vertikal), permukiman pesisir dan budaya nelayan serta sustainable ecology (lahan basah, mangrove dan keanekaragaman ekosistem pesisir)
- Teori-teori yang berkaitan
Analisa Tapak & Bangunan - Zoning tapak - Zoning bangunan - Orientasi massa - Sirkulasi dalam tapak
(Pola jalan, Pola hijau dan Pola penyebaran fasilitas)
- Tipe unit hunian - Modul struktur - Utilitas - Block Plan
Metode Penelitian - Cara pengumpulan data - Proses pengolahan data
Hasil Dan Bahasan Analisa Manusia
- Karakteristik Penduduk - Sosial-Ekonomi-Budaya
Penduduk - Struktur Penduduk - Aktifitas &Waktu Kegiatan - Status Kepemilikkan
Analisa Lingkungan - Sirkulasi dalam tapak - Pencapaian tapak - Kegiatan sekitar tapak - Sosial-Ekonomi-Budaya sekitar - Matahari - Angin - Kebisingan - Utilitas tapak
Kesimpulan Dan Saran
BAB 1 Latar Belakang Permasalahan & Latar Belakang Pemilihan Lokasi
BAB 2 Teori terkait penyelesaian permasalahan & Hipotesis
BAB 3 Proses mencari data
BAB 4 Analisa data-data disertai
kesimpulan sementara
BAB 5 Rangkuman dari hasil analisa dan saran bagi peneliti selanjutnya