BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 2.1 Hakikat...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 2.1 Hakikat...
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
2.1 Hakikat Hasil Belajar
2.1.1 Pengertian Hasil Belajar Siswa
Menurut Sudjana (2008:22) “hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan
yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya”. Namun menurut
Ward Kingsley (dalam Sudjana 2008:22) membagi tiga macam hasil belajar, “yakni
(a) keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, (c) sikap dan cita-
cita”. Masing-masing jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah
ditetapkan dalam kurikulum. Sedangkan menurut Gagne (dalam Sudjana 2008:22)
membagi lima kategori hasil belajar, “yakni (a) informasi verbal, (b) keterampilan
intelektual, (c) strategi kognitif, (d) sikap dan (e) keterampilan motoris”.
Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan
kurikuler maupun tujuan intruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari
Benyamin Bloom (dalam sudjana 2008:22) yang secara garis besar membaginya
menjadi tiga ranah yakni :
1. Ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam
aspek yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, sintesis, dan evaluasi.
2. Ranah afektif, berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yakni
penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.
3. Ranah psikomotoris, berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan
bertindak yakni gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan
perseptual, keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, serta
gerakan ekspresif dan interpretatif.
Menurut Slameto (2010:54) faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dua
faktor utama “yakni faktor intern (Faktor Internal) yang berasal dari dalam diri
individu yang sedang belajar dan faktor ekstern (Faktor Eksternal) yang berasal dari
lingkungan”. Faktor intern mencakup faktor jasmani, faktor psikologis dan faktor
kelelahan sedangkan faktor ektern mencakup tiga faktor yaitu faktor keluarga, faktor
sekolah dan faktor masyarakat. Untuk mengukur kemampuan-kemampuan siswa guru
dapat menggunakan tes sebagai alat penilaian untuk mengumpulkan informasi
sebagai laporan hasil belajar siswa, seperti yang dikemukakan Sudjana (2008:35) “tes
sebagai alat penilaian adalah pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada siswa
untuk mendapat jawaban dari siswa dalam bentuk lisan (tes lisan), dalam bentuk
tulisan (tes tulisan) atau dalam bentuk perbuatan (tes tindakan)”. Tes pada umumnya
digunakan untuk menilai dan mengukur hasil belajar siswa, terutama hasil hasil
belajar kognitif berkenaan dengan pengusaan bahan pengajaran sesuai dengan tujuan
pendidikan dan pengajaran.
2.2 Hakikat Mata Pelajaran Geografi
2.2.1 Pengertian Geografi
Geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena
geosfer dari sudut pandang kelingkungan atau kewilayahan dalam konteks keruangan.
1.3 Tinjauan Umum Tentang Materi Hidrologi
2.3.1 Pengertian Hidrologi
Hidrosfer berasal dari kata hidros = air dan sphere = daerah atau bulatan. Hidrosfer
dapat diartikan daerah perairan yang mengikuti bentuk bumi yang bulat. Daerah
perairan ini meliputi samudra, laut, danau, sungai, glister, air tanah dan uap air yang
terdapat di atmosfer. Diperkirakan hampir tiga per empat muka bumi tertutup oleh
air. Hidrosfer merupakan wilayah perairan yang mengelilingi bumi. Hidrosfer
meliputi samudra, laut, sungai, danau, air tanah, mata air, hujan dan air yang berada
di atmosfer.
Menurut Kodoatie (1996:3) “siklus hidrologi merupakan konsep dasar tentang
keseimbangan air secara global dan juga menunjukan semua hal yang berhubungan
dengan air”.
Menurut Asdak (2010:7) daur hidrologi secara alamiah dapat ditunjukan
seperti terlihat pada Gambar 1.1 “yaitu menunjukan gerakan air di permukaan bumi”.
Selama berlangsungnya daur hidrologi yaitu, perjalanan air dari permukaan air ke
atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kemudian kembali ke laut yang tidak
perna berhenti, air tersebut akan bertahan (sementara) di sungai dan dalam tanah
sehingga dapat di manfaatkan oleh manusia atau makluk hidup yang lainnya.
Gambar 1.1 Daur hidrologi
Kurniawan (2013)
2.3.2 Macam – macam siklus air
Menurut Asdak (2007:7) ada tiga macam siklus air, yaitu siklus pendek, siklus
sedang dan siklus panjang.
1) Siklus pendek
Siklus ini terjadi jika uap air laut mengalami kondensasi di atas laut,
selanjutnya membentuk awan dan jatuh sebagai hujan di laut setempat.
2) Siklus sedang
Siklus ini terjadi jika air laut mengalami kondensasi, selanjutnya membentuk
awan yang terbawa angin menuju daratan dan jatuh sebagai hujan.
Terbentuknya awan tidak selalu diatas laut, tetapi ada kemungkinan uap
airnya saja yang terbawa ke daratan. Setelah di daratan uap air berubah
menjadi awan dan jatuh sebaga hujan. Air hujan yang jatuh di darat ada yang
menjadi aliran permukaan, meresap kedalam tanah dan mengalir ke sungai
kemudian kembali kelaut.
3) Siklus panjang
Siklus ini terjadi jika air laut mengalami kondensasi, selanjutnya seperti pada
siklus sedang, uap air atau awan terbawa angin menuju daratan hingga
pegunungan tinggi, oleh karena pengaruh suhu, uap air menjadi Kristal-
kristtal es atau salju, kemudian jatuh sebagai hujan es atau salju yang
membentuk gletser, mengalir masuk ke sungai dan kembali ke laut.
Menurut Asdak (2007:7) Terjadinya siklus air tersebut disebabkan oleh
adanya proses-proses yang mengikuti gejalah meteorologist, antara lain:
1) Evaporasi yaitu penguapan benda-benda abiotik dan merupakan proses perubahan
wujud air menjadi gas/uap. 2) Transpirasi adalah proses penguapan pada
tumbuhan melalui mulut daun (stomata). 3) Evapotranspirasi adalah proses
gabungan evaporasi dan transpirasi. 4) Kondensasi yaitu proses perubahan wujud
air dari gas menjadi cair karena pendinginan. 5) Adveksi yaitu transpirasi air pada
gerakan horizontal seperti transportasi panas dan uap air dari lokasi satu ke lokasi
lain oleh gerakan udarah mendatar. 6) Konveksi yaitu gerakan uap air dari satu
tempat ke tempat yang lain karena pergerakan angin secara vertikal. 7) Presipitasi
yaitu segalah bentuk curahan hujan atau hujan dari atmosfer ke bumi yang
meliputi hujan air, hujan es dan hujan salju. 8) Run-off (aliran permukaan) yaitu
pergerakan aliran air di permukaan bumi/tanah. 9) Infiltrasi yaitu
perserapan/pergerakan air masuk kedalam tanah melalui pori tanah secarah
vertikal. 10) Perkolasi yaitu perembesan atau pergerakan air kedalam tanah
melalui pori tanah secarah horizontal.
1.3.3 Perairan darat
Perairan darat adalah semua bentuk air yang terdapat di daratan. Air dapat
berupa benda cair atau benda padat (es dan salju), sedangkan yang banyak digunakan
manusia berwujud cair, yaitu berupa air, baik air permukaan, air tanah, sungai, danau
dan sebagian air rawa.
Sungai
Menurut Haryani (2005:12) “pengertian sungai adalah bentuk aliran air yang
melalui saluran atau lembah alami, besar ataupun kecil”. Sungai mengalir dari
pegunungan atau perbukitan melewati dataran rendah akhirnya bermuara ke laut,
rawa atau danau. Bentuk aliran air selain terbentuk oleh proses alami yang di sebut
sungai tersebut ada yang di buat oleh manusia yang disebut kanal.
Menurut Haryani (2005:12) sungai berdasarkan pola aliranya, sungai
dibedakan sebagai berikut:
a) Pola aliran radial atau menjari. Pola aliran radial dibedakan menjadi radial
sentrifugal dan radial sentripental. Pola aliran sentrifugal adalah pola aliran yang
meninggalkan pusat, misalnya pola aliran di daerah gunung yang berbentuk
kerucut. Pola aliran sentripental adalah pola aliran yang menuju pusat, misalnya
pola aliran di daerah basin atau ledokan.
b) Pola aliran dendritik yaitu pola aliran yang tidak teratur, biasannya terdapat di
dataran pantai dan di daerah plato.
c) Pola aliran trelis yaitu pola aliran yang berbentuk sirip daun atau trellis. Ada di
pegunungan lipatan.
d) Pola aliran rektangular yaitu pola aliran yang membentuk siku-siku dan terdapat
di daerah patahan atau pada daerah yang tingkat kekerasan batuanya berbeda.
e) Pola aliran anular yaitu pola aliran yang semula merupakan pola aliran radial
sentrifugal. Selanjutnya, muncul sungai subsekuen yang sejajar, sungai obsekuen
dan resekuen. Pola aliran anular terdapat di daerah kubah (dome) stadium dewasa
atau pegunungan tua.
Rawa
Menurut Haryani (2005:31) “rawa adalah tubuh perairan dangkal di daratan,
terbentuk pada daerah yang drainasenya kurang baik, letaknya rendah dan di muara
sungai-sungai besar”. Drainase kurang baik dapat diakibatkan oleh lerengnya datar
bahkan berupa cekungan, gradient, rendah karena dekat pantai, aliran air terhalang
oleh bentukan alam atau buatan manusia, material penyusunya halus (lempungan) dan
curah hujan tinggi. Sumber air pada rawa dapat berasal dari air hujan, air banjir, atau
air pasut.
Danau
Menurut Haryani (2005:32) “danau adalah tubuh perairan di daratan yang
berupa cekungan alami dan terisi air yang menggenang”. Sumber air danau berasal
dari air hujan, air tanah, mata air atau air sungai.
Air Tanah
Menurut Asdak (2010:244) “Air yang berada di wilayah jenuh di bawa
permukaan tanah di sebut air tanah”. Secara global, dari keseluruhan air tawar yang
berada di planet bumu ini lebih dari 79 % terdiri atas air tanah. Tampak bahawa
perairan air tanah di bumi adalah penting. Air tanah dapat di jumpai hampir semua
tempat di bumi. Ia dapat ditemukan di bawa gurun pasir yang paling kering
sekalipun, demikian juga di bawa tanah yang membeku karena tertutup lapisan salju
dan es.
1.3.4 Perairan laut
Menurut Endarto (dalam Haryanto 2010:170) “Perairan laut merupakan massa
air asin dengan kadar garam yang cukup tinggi (rata-rata 3,45%)”. Laut merupakan
bagian dari samudra. Bumi memiliki lima samudra, yaitu Samudra Pasifik, Atlantik,
Hindia, Antartika Dan Arktik. Lautan di bumi memiliki luas kira-kira 361.000.000
km². Jadi, lebih dari 70% luas permukaan bumi dengan kedalaman rata-rata 3.730 m.
Menurut Endarto (dalam Haryanto 2010:170) “Sebutan planet bumi sebagai
suatu wilaya daratan yang kita diami selama ini sebenarnya kurang tepat karena
kenyataannya luas daratan hanya sekitar 30% dan sisanya 70% berupa lautan dan
perairan”. Klasifikasi laut menurut proses terjadinya dan letaknya dibedakan sebagai
berikut.
1. Klasifikasi laut berdasarkan proses terjadinya
Laut Ingresi
Menurut Endarto (dalam Haryanto 2010:171) “Laut ingresi merupakan laut
yang disebabkan terjadinya penurunan dasar laut. Hal ini menyebabkan laut semakin
dalam".
Laut Regresi
Menurut Endarto (dalam Haryanto 2010:171) “Laut regresi merupakan laut
yang terbentuk karena penyempitan lautan atau pengangkatan daratan pada daerah
yang luas”. Proses tersebut terjadi pada saat zaman diluvium. Akibat suhu bumi yang
dingin, menyebabkan air membeku dan permukaan laut turun sampai 60 m. hal ini
menyebabkan dangkalan sunda dan sahul berubah menjadi daratan pulau Sumatra,
Jawa dan Kalimantan bersatu dengan Asia, sedangkan dangkalan sahul dan pulau-
pulau kecil dibagian timur Indonesia bersatu dengan Australia.
Laut Transgresi
Menurut Endarto (dalam Haryanto 2010:171) “Laut transgresi merupakan laut
yang terbentuk akibat kenaikan permukaan air laut atau penurunan daratan secara
perlahan sehingga luas laut bertambah”. Proses ini terjadi pada masa glasial.
Pencairan es di kutub menyebabkan air laut naik dan menggenangi daratan. Laut
transgresi bersifat dangkal karena mempunya kedalaman sekitar 70 m.
2. Klasifikasi Laut Berdasarkan Letaknya
Tepi laut
Menurut Endarto (dalam Haryanto 2010:171) “Tepi laut adalah laut yang
terletak di pinggir benua”. contohnya laut bering yang dipisahkan oleh kepulauan
aleut, laut jepang yang dipisahkan oleh kepulauan jepang, laut koral yang disebelah
timur Australia, dan laut cina yang dipisahkan oleh kepulauan Indonesia dan Filipina.
Laut Pertengahan
Menurut Endarto (dalam Haryanto 2010:171) “Laut pertengahan merupakan
laut yang terletak diantara dua benua atau lebih”. Contohnya laut tenga, laut merah
dan laut-laut Indonesia yang terletak diantara benua Asia dan Australia.
Laut Pedalaman
Menurut Endarto (dalam Haryanto 2010:171) “Laut pedalaman merupakan
laut yang seluruhnya dikelilingi oleh daratan”. Contohnya Laut Hitam, Laut Kaspia,
Laut Mati. Selanjutnya, berikut ini pembagian zona laut yang dibedakan berdasarkan
kedalaman dan wilayah kekuasaan suatu negara.
Zona laut berdasarkan kedalamanya
Menurut Endarto (dalam Haryanto 2010:171) Berdasarkan kedalamanya, laut
dibedakan menjadi beberapa zona seperti berikut.
1. Zona litoral atau zona pesisir adalah daerah diantara garis air surut dan garis air
pasang. Pada saat air pasang akan tergenang air dan pada saat surut akan kering.
2. Zona neritis adalah zona laut dengan tingkat kedalaman sampai 200 m. pada areal
ini matahari masi di mungkinkan tembus ke dasar laut.
3. Zona bathyal adalah laut dengan kedalaman 200-1.500 m dan memiliki lereng
yang curam.
4. Zona abysal adalah zona laut yang sangat dalam dengan tingkat kedalaman lebih
dari 1.500 m. biasanya dijumpai dalam bentuk palung laut atau lubuk laut.
Zona laut berdasarkan wilayah kekuasaan suatu negara
Menurut Endarto (dalam Haryanto 2010:171) “Indonesia merupakan Negara
kepulauan dengan wilayah perairan laut yang sangat luas. Hal ini menyebabkan
wilayah laut memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan bangsa dan
Negara”. Batas luas wilayah lautan Indonesia dibedakan menjadi 3 macam, yaitu
zona laut territorial, zona landas kontinen, dan zona ekonomi eksklusif.
a. Zona laut teritorial
Menurut Endarto (dalam Haryanto 2010:172) “Zona laut teritorial adalah zona
yang dibatasi garis khayal yang berjarak 12 mil dari garis dasar kearah laut lepas”.
Jika lebar lautan yang membatasi dua negara kurang dari 24 mil, garis tetorial ditarik
sama jauh dari tiap-tiap negara. Pada zona ini negara mempunyai hak kedaulatan
sepenuhnya, tetapi menyediakan alur pelayaran lintas damai di atas maupun di bawa
laut. Wilayah laut teritorial Indonesia diumumkan pemerintah pada tanggal 13
Desember 1957 yang dikenal dengan deklarasi Djuanda dan diperkuat dengan
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1960.
b. Zona landas kontinen
Menurut Endarto (dalam Haryanto 2010:172) “Zona landas kontinen
merupakan dasar laut yang secara geologis maupun morfologi merupakan lanjutan
dari sebuah kontinen (benua) dengan kedalaman laut kurang dari 150 m”. Indonesia
terletak di antara landas kontinen Asia dan Australia. Pada zona ini pemerintah
memiliki kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada dan
berkewajiban menyediakan alur pelayaran lintas damai. Batas landas kontinen
diumumkan oleh pemerintah Indonesia pada tanggal 17 Februari 1969.
c. Zona Ekonomi Eksklusif
Menurut Endarto (dalam Haryanto 2010:172) “Wilayah zona ekonomi
eksklusif (ZEE) dihitung dari garis dasar laut lurus kearah laut bebas sejauh 200 mil
laut”. Dalam zona ini negarah dapat memanfaatkan sumber daya laut untuk
kesejahteraan bangsa. Negara lain memiliki hak pelayaran dan pemasangan kabel
serta pipa di bawah permukaan laut.
2.4 Model Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
Elaine (dalam Rusman, 2011:187) mengatakan bahwa “pembelajaran
kontekstual adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola
yang mewujudkan makna”. Lebi lanjut, Elaine (dalam Rusman, 2011:187)
mengatakan bahwa pembelajaran “kontekstual adalah suatu sistem pembelajaran
yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan
akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa”. Jadi, pembelajaran
kontekstual adalah usaha untuk membuat siswa aktif dalam memompa dalam
kemampuan diri tanpa merugi dari segi manfaat, sebab siswa berusaha mempelajari
konsep sekaligus menerapkan dan mengaitkannya dengan dunia nyata.
Sejauh ini, pembelajaran masih didominasi oleh pandangan bahwa
pengetahuan sebagai fakta untuk dihafal. Pembelajaran tidak hannya difokuskan pada
pemberian pembekalan kemampuan pengetahuan yang bersifat teoretis saja, akan
tetapi bagaimana agar pengalaman belajar yang dimiliki siswa itu senantiasa terkait
dengan permasalahan-permasalahan aktual yang terjadi di lingkungannya. Dengan
demikian, inti dari pemdekatan CTL adalah keterkaitan setiap materi atau topik
pembelajaran dengan kehidupan nyata. Untuk mengaitkanya bisa dilakukan berbagai
cara, selain karena memang materi yang dipelajari secara langsung terkait dengan
kondisi factual, juga bisa disiasati dengan pemberian ilustrasi atau contoh, sumber
belajar, media dan lain sebagainya. Dengan demikian, pembelajaran selain akan lebih
menarik, juga akan dirasakan sangat dibutuhkan oleh setiap siswa karena apa yang
dipelajari dirasakan langsung manfaatnya.
Ketika memberikan pengalaman belajar yang diorientasikan pada pengalaman
dan kemampuan aplikatif yang lebih bersifat praktis, tidak diartikan pemberian
pengalaman teoretis konseptual tidak penting. Sebab dikuasainya pengetahuan
teoretis secara baik oleh para siswa akan memfasilitasi kemampuan aplikatif lebih
baik pula. Demikian pula halnya bagi guru, kemampuan melaksanakan proses
pembelajaran melalui CTL yang baik didasarkan pada penguasaan konsep apa,
mengapa, dan bagaimana CTL itu. Melalui pemahaman konsep yang benar dan
mendalam terhadap CTL itu sendiri, akan membekali kemampuan para guru
menerapkannya secara lebih luas, tegas dan penuh keyakinan, karena memang telah
disadari oleh kemampuan konsep teori yang kuat.
Pembelajaran di sekolah tidak hanya difokuskan pada pemberian pembekalan
kemampuan pengetahuan yang bersifat teoretis saja, akan tetapi bagaimana agar
pengalaman belajar yang dimiliki siswa senantiasa terkait dengan permasalahan-
permasalahan aktual yang terjadi di lingkungannya. Dengan demikian, inti dari
pendekatan CTL adalah keterkaitan setiap materi atau topik pembelajaran dengan
kehidupan nyata. Untuk mengaitkannya bisa dilakukan berbagai cara, selain karena
memeng materi yang dipelajari secara langsung terkait dengan kondisi faktual, juga
bisa disiasati dengan pemberian ilustrasi atau contoh, sumber belajar, media dan lain
sebagainya, yang memang baik secara langsung, yang memang baik secara langsung
maupun tidak diupayakan terkait atau ada hubungan dengan pengalaman hidup nyata.
Dengan demikian, pembelajaran selain akan lebih menarik, juga akan dirasakan
sangat dibutuhkan oleh setiap siswa karena apa yang dipelajari dirasakan langsung
manfaatnya.
Ketika memberikan pengalaman belajar yang diorientasikan pada pengalaman
dan kemampuan aplikatif yang lebih bersifat praktis, tidak diartikan pemberian
pengalaman teoretis konseptual tidak penting. Sebab dikuasainya pengetahuan
teoretis secara baik oleh para siswa akan menfasilitasi kemampuan aplikatif lebih
baik pula. Demikian pula halnya bagi guru, kemampuan melaksanakan proses
pembelajaran melalui CTL yang baik didasarkan pada penguasaan konsep apa,
mengapa dan bagaimana CTL itu. Melalui pemahaman konsep yang benar dan
mendalam terhadap CTL itu sendiri, akan membekali kemampuan para guru
menerapkanya secara lebih luas, tegas dan penuh keyakinan, karena memang telah
didasari oleh kemampuan konsep teori yang kuat.
2.4.1 Konsep Dasar Pembelajaran Kontekstual
Nurhadi (dalam Rusman, 2011:189). “Pembelajaran kontekstual (contextual
teaching and learning) merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapanya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat”.
Untuk memperkuat dimilikinya pengalaman belajar yang aplikatif bagi siswa,
tentu saja diperlukan pembelajaran yang lebih banyak memberikan kesempatan
kepada siswa untuk melakukan, mencoba dan mengalami sendiri (learning go to),
dan bahkan sekedar pendengar yang pasif sebagaimana penerima terhadap semua
informasi yang disampaikan guru. Oleh sebab itu, melalui pembelajaran kontekstual,
mengajar bukan transportasi pengetahuan dari guru kepada siswa dengan menghafal
sejumlah konsep-konsep yang sepertinya terlepas dari kehidupan nyata, akan tetapi
lebih ditekankan pada upaya memfasilitasi siswa untuk mencari kemampuan untuk
bias hidup (life skill) dari apa yang dipelajari. Dengan demikian, pembelajaran akan
lebih bermakna, sekolah lebih dekat dengan lingkungan masyarakat (bukan dekat dari
segi fisik), akan tetapi secara fungsional apa yang dipelajari di sekolah senantiasa
bersentuhan dengan situasi dan permasalahan kehidupan yang terjadi
dilingkungannya (keluarga dan masyarakat).
Menurut Howey (dalam Rusman, 2011:189) mendefinisikan CTL sebagai
berikut.
“contekstual teaching is teaching that enables learning in wich student
employ their academic understanding and abilities in a variety of in-and out
of school context to solve simulated or real world problems, both alone and
with others.”
(CTL adalah pembelajaran yang memungkinkan terjadinya proses belajar
dimana siswa menggunakan pemahaman dan kemampuan akademiknya dalam
berbagai konteks dalam dan luar sekolah untuk memecahkan masalah yang
bersifat simulatif ataupun nyata, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama).
Sedangkan menurut Elaine (dalam Rusman, 2011:189)
“contekstual teaching and learning enables students to connect the content of
academic subject with the immediate context of their daily lives to discover
meaning. It enlarges their personal context furthermore, by providing
students with fresh experience that stimulate the brain to make new
connection and consecuently, to discovery new meaning”.).
(CTL memungkinkan siswa menghubungkan isi mata pelajaran akademik
dengan konteks kehidupan sehari-hari untuk menemukan makna. CTL
memperluas konteks pribadi siswa lebih lanjut melalui pemberian pengalaman
segar yang akan merangsang otak guna menjalin hubungan baru untuk
menemukan makna yang baru)
Sistem CTL adalah proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa
melihat makna dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan jalan
menghubungkan mata pelajaran akademik dengan isi kehidupan sehari-hari, yaitu
dengan konteks kehidupan pribadi, sosial, dan budaya.
Pembelajaran kontekstual sebagai suatu model pembelajaran yang
memberikan fasilitas kegiatan belajar siswa untuk mencari, mengola, dan menemukan
pengalaman belajar yang lebih bersifat konkret (terkait dengan kehidupan nyata)
melalui keterlibatan aktifitas siswa dalam mencoba, melakukan, dan mengalami
sendiri. Dengan demikian, pembelajaran tidak sekedar dilihat dari sisi produk, akan
tetapi yang terpenting adalah proses.
Secara lebih terurai diungkapan oleh Reigeluth (dalam Rusman 2010:191),
bahwa fungsi dan peran desain pembelajaran, antara lain :
1. Instructional design prescribes methods a part of instructional development;
2. Instructional design prescribes procedure for instructional implementation;
3. Instructional design prescribes procedure for instructional management;
4. Instructional design identifies and remedies weaknesses as a part of instructional
evaluation.
Berdasarkan uraian singkat konsep desain di atas, maka desain pembelajaran
memiliki sifat keluesan (fleksibel) tidak kaku dalam satu model tertentu saja. Format
desain bisa dikembangkan dalam bentuk berfariasi tergantung pada tujuan dan model
pembelajaran bagaimana yang akan dilaksanakan oleh guru dalam melaksanakan
proses belajar mengajar. Dari hasil inovasi, kini ditemukan berbagai jenis model
pembelajaran seperti model terpadu, model cooperative learning model pembelajaran
quantum teaching and learning, dan lain sebagainya. Kini muncul model lain, yaitu
yang disebut dengan contekstual teaching and learning (CTL) tentu saja setiap model
tersebut di samping memiliki unsur kesamaan, juga ada beberapa perbedaan tertentu.
Hal ini karena setiap model memiliki karakteristik khas tertentu, yang tentu saja
berimplikasi pada adanya perbedaan tertentu dalam membuat desain/skenarionya
disesuaikan dengan model yang akan diterapkan.
Menurut Reigeluth (dalam Rusman 2010:191) “Ciri khas CTL ditandai oleh
tujuh komponen utama, yaitu “1) Contructivism; 2) Inquiry; 3) Questionning; 4)
Learning Community; 5) Modelling; 6) Reflection; 7) Authentic Assessment”.
Penjelasan dari setiap komponen tersebut diungkapkan dalam materi
sebelumnya. Sekarang tinggal bagaimana melaksanakan setiap komponen tersebut
dalam bentuk pembelajaran di kelas atau di luar kelas sehingga benar-benar
mencerminkan pelaksanaan model CTL sebelum melaksanakan pembelajaran dengan
menggunakan CTL, tentu saja terlebih dahulu guru harus membuat desain/skenario
pembelajaran, sebagai pedoman umum dan sekaligus sebagai alat kontrol dalam
pelaksanaannya.
Menurut Reigeluth (dalam Rusman 2010:192) pada intinya pengembangan
setiap komponen CTL tersebut dalam pembelajaran dapat dilakukan melalui langkah-
langkah sebagai berikut.
1. Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih
bermakna, apakah dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan
mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru yang akan dimilikinya.
2. Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik diajarkan.
3. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui memunculkan pertanyaan-
pertanyaan.
4. Menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok berdiskusi,
tanya jawab dan lain sebainya.
5. Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi, model,
bahkan media yang sebenarnya.
6. Membiasakan anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan pembelajaran
yang telah dilakukan.
7. Melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang sebenarnya
pada setiap siswa.
2.4.2 Komponen Pembelajaran Kontekstual
Menurut Elaine, (dalam Rusman, 2011:192) komponen pembelajaran
kontekstual meliputi : “(1) menjalin hubungan-hubungan yang bermakna (making
meanimful connection) (2) meengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berarti (duing
signitifikan work); (3) melakukan proses belajar yang diatur sendiri (self-regulated
learning); (4) mengadakan kolaborasi (collaborating); (5) berfikir kritis dan kreatif
(critical and creatife thinking); (6) memberikan layanan secara individual (nurturing
the individual); (7) mengupayakan pencapaian standar yang tinggi (reaching high
standars); (8) menggunakan assessment autentik (using authentic assessment.)”.
2.4.3 Prinsip Pembelajaran Kontekstual
Elaine (dalam Rusman 2010:193) “CTL, sebagai suatu model, dalam
implementasinya tentu saja memerlukan perencanaan pembelajaran yang
mencerminkan konsep dan prinsip CTL”. Setiap model pembelajaran, disamping
memiliki unsur kesamaan, juga ada beberapa berbedaan tertentu. Hal ini karena setiap
model memiliki karakteristik khas tertentu, yang tentu saja berimplikasi pada adanya
perbedaan tertentu pula dalam membuat desain (skenario) yang disesuaikan dengan
model yang akan diterapkan.
Ada tujuh prinsip pembelajaran kontekstual yang ahrus dikembangkan oleh
guru, yaitu :
1. Kontruktivisme (constructivism)
Menurut Elaine (2010:193) “Kontruktivisme merupakan landasan berfikir
(filosofi) dalam CTL, yaitu pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit
yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas”. Pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia
harus membangun pengetahuan itu memberi makna melalui pengalaman yang nyata.
Batasan kontruktivisme di atas memberikan penekanan bahwa konsep bukanlah tidak
penting sebagai bagian integral dari pengalaman belajar yang harus dimiliki oleh
siswa, akan tetapi bagaimana dari setiap konsep atau pengetahuan yang dimiliki siswa
itu dapat memberikan pedoman nyata terhadap siswa untuk diaktualisasikan dalam
kondisi nyata.
Oleh karena itu, dalam CTL strategi untuk membelajarkan siswa
menghubungkan setiap konsep dengan kenyataan merupakan unsur yang diutamakan
dibandingkan penekanan terhadap seberapa banyak pengetahuan yang harus diingat
oleh siswa.
Hasil penelitian ditemukan bahwa pemenuhan terhadap kemampuan
penguasaan teori berdampak positif untuk jangka pendek, tetapi tidak memberikan
sumbangan yang cukup baik dalam waktu jangka panjang. Pengetahuan teoretis yang
bersifat hafalan muda lepas dari ingatan seseorang apabila tidak ditunjang dengan
pengalaman nyata. Implikasi bagi guru dalam mengembangkan tahap kontruktivisme
ini terutama dituntut kemampuan untuk membimbing siswa mendapatkan makna dari
setiap konsep yang dipelajarinya.
Pembelajaran akan dirasakan memiliki makna apabila secara langsung
maupun tidak langsung berhubungan dengan pengalaman sehari-hari yang dialami
oleh para siswa itu sendiri. Oleh karna itu, setiap guru harus memiliki bekal wawasan
yang cukup luas, sehingga dengan wawasannya itu iya selalu dengan muda
memberikan ilustrasi, menggunakan sumber belajar, dan media pembelajaran yang
dapat merangsang siswa untuk aktif mencari dan melakukan serta menemukan sendiri
antara konsep yang dipelajari dengan pengalamannya. Dengan cara itu, pengalaman
belajar siswa akan menfasilitasi kemampuan siswa untuk melakukan transformasi
terhadap pemecahan masalah lain yang memiliki sifat keterkaitan, meskipun terjadi
pada ruang dan waktu yang berbeda.
2. Menemukan (inquiry)
Menurut Elaine (2010:194) “Menemukan merupakan kegiatan inti dari CTL,
melalui upaya menemukan akan memberikan penegasan bahwa pengetahuan dan
keterampilan serta kemampuan-kemampuan lain yang diperlukan bukan merupakan
hasil dari mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi merupakan hasil menemukan
sendiri”.
Kegiatan pembelajaran yang mengarah pada upaya menemukan, telah lama
diperkenalkan pula dalam pembelajaran inquiry and discovery (mencari dan
menemukan). Tentu saja unsur menemukan dari kedua pembelajaran (CTL dan
inquiry and discovery) secara prinsip tidak banyak perbedaan, intinya sama, yaitu
model atau sistem pembelajaran yang membantu siswa baik secara individu maupun
kelompok belajar untuk menemukan sendiri sesuai pengalaman masing-masing.
Dilihat dari segi kepuasan secara emosional, sesuatu hasil menemukan sendiri
nilai kepuasan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pemberian. Beranjak dari
logika yang cukup sederhana itu tampaknya akan memiliki hubungan yang erat bila
dikaitkan dengan pendekatan pembelajaran. Dimana hasil pembelajaran merupakan
hasil dan kreativitas siswa sendiri, akan bersifat lebih tahan lama diingat oleh siswa
bila dibandingkan dengan sepenuhnya merupakan pemberian dari guru. Untuk
menumbuhkan kebiasaan siswa secara kreatif agar bisa menemukan pengalaman
belajarnya sendiri, berimplikasi pada strategi yang dikembangkan oleh guru.
3. Bertanya (Questioning )
Menurut Elaine (2010:194) “Unsur lain yang menjadi karakteristik utama
CTL adalah kemampuan dan kebiasaan untuk bertanya”. Pengetahuan yang dimiliki
seseorang selalu bermula dari bertanya. Oleh karena itu, bertanya merupakan strategi
utama dalam CTL. Penerapan unsur bertanya dalam CTL harus difasilitasi oleh guru,
kebiasaan siswa untuk bertanya atau kemampuan guru dalam menggunakan
pertanyaan yang baik akan mendorong pada peningkatan kualitas dan produktifitas
pembelajaran. Seperti pada tahapan sebelumnya, berkembangnya kemampuan dan
keinginan untuk bertanya, sangat di pengaruhi oleh suasana yang dikembangkan oleh
guru. Dalam implementasi CTL, pertanyaan yang diajukan oleh guru atau siswa harus
dijadikan alat atau pendekatan untuk menggali informasi atau sumber belajar yang
ada kaitanya dengan kehidupan nyata. Dengan kata lain, tugas bagi guru adalah
membimbing siswa melalui pertanyaan yang diajukan untuk mencari dan menemukan
kaitan antara konsep yang dipelajari dalam kaitan dengan kehidupan nyata.
Oleh karena itu, cukup beralasan jika dengan pengembangan bertanya
produktifitas pembelajaran akan lebih tinggi karena dengan bertanya, maka :
(1) Dapat menggali informasi, baik administrasi maupun akademik; (2) Mengecek
pemahaman siswa; (3) Membangkitkan respons siswa; (4) Mengetahui sejaumana
keingin tahuan siswa; (5) Mengetahui hal-hal yang diketahui siswa; (6) menfokuskan
perhatian siswa; (7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa; (8)
menyegarkan kembali pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
Elaine (2010:193)
4. Masyarakat Belajar (Learning komunity)
Menurut Elaine (2010:193) “Maksud dari masyarakat belajar adalah
membiasakan siswa untuk melakukan kerjasama dan memanfaatkan sumber belajar
dari teman-teman belajarnya”. Seperti yang disarankan dalam learning comunity,
bahwa hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dari orang lain melalui berbagai
pengalaman (sharing). Melalui sharing ini anak dibiasakan untuk saling memberi dan
menerima, sisfat ketergantungan positif dalam learning comunity dikembangkan.
Manusia diciptakan sebagai mahluk individu sekaligus sebagai mahluk sosial.
Hal ini berimplikasi pada saatnya seseorang bekerja sendiri untuk mencapai tujuan
yang diharapkan, namun disisi lain tidak bisa melepaskan diri dari ketergantungan
dari pihak lain. Penerapan learning comunity dalam pembelajaran di kelas akan
banyak bergantung pada model komunikasi pembelajaran yang dikembangkan oleh
guru. Dimana dituntut keterampilan dan profesionalisme guru untuk mengembangkan
komunikasi banyak arah (interaksi) yaitu model komunikasi yang bukan hanya
hubungan antara guru dan siswa atau sebaliknya, akan tetapi secara luas dibuka jalur
hubungan komunikasi pembelajaran antara siswa dan siswa lain.
Kebiasaan penerapan dan mengembangkan masyarakat belajar dalam CTL
sangat dimungkinkan dan dibuka dengan luas memanfaatkan masyarakat belajar lain
di luar kelas. Setiap siswa semestinya dibimbing dan diarahkan untuk
mengembangkan rasa ingin tahunya melalui pemanfaatan sumber belajar secara luas
yang tidak hanya disekat oleh masyarakat belajar di dalam kelas, akan tetapi sumber
manusia lain di luar kelas (keluarga dan masyarakat). Ketika kita dan siswa
dibiasakan untuk memberikan pengalaman yang luas kepada orang lain, maka saat itu
pula kita atau siswa akan mendapatkan pengalaman yang lebih banyak dari komunitas
lain.
5. Pemodelan (modelling)
Menurut Elaine (2010:196) “Perkembangan ilmu dan teknologi, rumitnya
permasalahan hidup yang dihadapi serta tuntutan siswa yang semakin berkembang
dan beranekaragam, telah berdampak pada kemampuan guru yang memiliki
kemampuan lengkap, dan ini yang sulit dipenuhi”. Oleh karena itu, maka kini guru
bukan lagi satu-satunya sumber belajar bagi siswa, karena dengan segala kelebihan
dan keterbatasan yang dimiliki oleh guru akan mengalami hambatan untuk
memberikan pelayanan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan siswa yang cukup
heterogen. Oleh karena itu, tahap pembuatan model dapat dijadikan alternatif untuk
mengembangan pembelajaran agar siswa bisa memenuhi harapan siswa secara
menyeluruh, dan membantu mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh para guru.
6. Refleksi (reflection)
Menurut Elaine (2010:197) “Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang
baru terjadi atau apa yang baru dipelajari”. Dengan kata lain refleksi adalah berfikir
kebelakang tentang apa yang suda dilakukan dimasa lalu, siswa mengendapkan apa
yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru yang merupakan
pengayaan atau refisi dari pengetahuan sebelumnya. Pada saat refleksi, siswa diberi
kesempatan untuk mencerna, menimbang, membandingkan, menghayati dan
melakukan diskusi dengan dirinya sendiri (learning to be).
Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari suatu proses yang bermakna pula,
yaitu melalui penerimaan, pengolahan dan pengendapan, untuk kemudian dijadikan
sandaran dalam menanggapi terhadap gejala yang muncul kemudian. Melalui model
CTL, pengalaman belajar bukan hanya terjadi dan dimiliki ketika seseorang siswa
berada di dalam kelas, akan tetapi jauh lebih penting dari bagai mana membawa
pengalaman belajar tersebut keluar dari kelas, yaitu pada saat ia dituntut untuk
menanggapi dan memecahkan permasalahan nyata yang dihadapi sehari-hari.
Kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan, sikap, dan keterampilan pada
dunia nyata yang dihadapi akan muda diaktualisasikan mana kala pengalaman belajar
itu telah terinternalisasi dalam setiap jiwa siswa dan disinilah pentingnya menerapkan
unsur refleksi pada setiap kesempatan pembelajaran.
7. Penilaian Sebenarnya (Authentic assesment)
Tahap terakhir dari pembelajaran kontekstual adalah melakukan penilaian.
Menurut Elaine (2010:197) “Penilain adalah sebagian integral dari pembelajaran
memiliki fungsi yang amat menentukan untuk mendapatkan informasi kualitas proses
dan hasil pembelajaran melalui penerapan CTL”. Penilaian adalah proses
pengumpulan berbagai data dan informasi yang bisa memberikan gambaran atau
petunjuk terhadap pengalaman belajar siswa. Dengan terkumpulnya berbagai data dan
informasi yang lengkap sebagai perwujudan dari penerapan penilaian, maka akan
semakin akurat pula pemahaman guru terhadap proses dan hasil pengalaman belajar
setiap siswa.
Guru dengan cermat mengetahui kemajuan, kemunduran dan kesulitan siswa
dalam belajar, dan dengan itu pula guru akan memiliki kemudahan untuk melakukan
upaya-upaya perbaikan dan penyempurnaan proses bimbingan belajar dalam langka
selanjutnya. Mengingat gambaran tentang kemajuan belajar siswa diperlukan
disepanjang proses pembelajaran, maka penilaian tidak hanya dilakukan di akhir
program pembelajaran, akan tetapi secara integral dilakukan selama proses program
pembelajaran itu terjadi. Dengan cara tersebut, guru secara nyata akan mengetahui
tingkat kemampuan siswa yang sebenarnya.
Depdiknas (dalam Rusman 2010:198) proses pembelajaran dengan
menggunakan CTL harus mempertimbangkan karakteristik-karakteristik:
1) Kerja sama; 2) Saling menunjang; 3) Menyenangkan dan tidak membosankan; 4)
Belajar dan bergairah; 5) Pembelajaran terintegrasi; 6) Menggunakan berbagai
sumber; 7) Siswa aktif; 8) Sharing dengan teman; 9) Dinding kelas dan lorong-lorong
penuh dengan hasil karya siswa (peta-peta, gambar, artikel); 11) Laporan kepada
orang tua bukan hanya rapor, tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum,
karangan siswa, dan lain-lain.
Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran merupakan rencara
kegiatan kelas yang dirancang oleh guru, yaitu dalam bentuk skenario tahap demi
tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswa selama berlangsungnya proses
pembelajaran. Dalam program tersebut harus tercermin penerapan dari ketujuh
komponen CTL dengan jelas, sehingga setiap guru memiliki persiapan yang utuh
mengenai rencana yang akan dilaksanakan dalam membimbing kegiatan belajar
mengajar di kelas.
Secara umum, tidak ada perbedaan mendasar antara format program
pembelajaran konfensional seperti yang biasa dilakukan oleh guru-guru selama ini.
Adapun yang membedakannya, terletak pada penekanannya, dimana pada model
konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan
operasional), sementara program pembelajaran CTL lebih menekankan pada skenario
pembelajaranya, yaitu kegiatan tahap-demi tahap yang dilakukan oleg guru dan siswa
dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Oleh karena itu,
Elaine (dalam Rusman 2010:199) mengatakan program pembelajaran kontekstual
hendaknya:
1. Nyatakan kegiatan utama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan
siswa yang merupakan gabungan antara kompetensi dasar, materi pokok, dan
indikator pencapaian hasil belajar.
2. Rumuskan dengan jelas tujuan umum pembelajaranya.
3. Uraikan secara terperinci media dan sumber pembelajaran yang akan digunakan
untuk mendukung kegiatan pembelajaran yang diharapkan.
4. Rumuskan skenario tahap demi tahap kegiatan yang harus dilakukan siswa dalam
melakukan proses pembelajaranya.
5. Rumuskan dan lakukan sistem penilaian dengan menfokuskan pada kemampuan
sebenarnya yang dimiliki oleh siswa baik pada saat berlangsungnya (proses)
maupun setelah siswa tersebut selesai belajar.
2.4.4 Skenario Pembelajaran Kontekstual
Sebelum melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan CTL, tentu saja
terlebih dahulu guru harus membuat desain (Skenario) pembelajaranya, sebagai
pedoman umum dan sekaligus sebagai alat kontrol dalam pelaksanaannya. Menurut
Elaine (dalam Rusman 2010:199) pengembangan setiap komponen CTL tersebut
dalam pembelajaran dapat dilakukan sebagai berikut.
1. Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih
bermakna apakah dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan
mengontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru yang harus dimilikinya.
2. Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik yang
diajarkan.
3. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui memunculkan pertanyaan-
pertanyaan.
4. Menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok berdiskusi,
tanya jawab, dan lain sebagainya.
5. Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi, model,
bahkan media yang sebenarnya.
2.4.5 Perbedaan antara pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran
konvensional
Perbedaan antara pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran
konvensional
Konteks Pembelajaran
Pembelajaran
Kontekstual
Pembelajaran
Konvensional
Hakikat Belajar
Konten pembelajaran
selalu dikaitakan dengan
kehidupan nyata yang
diperoleh sehari-hari
pada lingkungan
Isi pelajaran terdiri dari
konsep dan teori yang
abstrak tanpa
pertimbangan manfaat
bagi siswa
Model pembelajaran
Siswa belajar melalui
kegiatan kelompok
seperti kerja kelompok,
bersdiskusi, praktikum
kelompok, saling
bertukar pikiran, member
dan menerima informasi
Siswa melakukan
kegiatan pembelajaran
bersifat individual dan
komunikasi satu arah,
kegiatan dominan
mencatat, menghafal,
menerima intruksi guru
Kegiatan pembelajaran
Siswa ditempatkan
sebagai subyek
pembelajaran dan
berusaha menggali serta
menemukan sendiri
materi pelajaran
Siswa ditemapatkan
sebgai obyek
pembelajaran yang lebih
berperan sebagai
penerima informasi yang
pasif dan kaku
Kebermaknaan belajar
Mengutamakan
kemampuan yang
didasarkan pada
pengalaman yang
diperoleh siswa dari
Kemempuan yang
didapat siswa
berdasarkan pada latihan-
latihan dan dril yang
terus menerus
kehidupan nyata
Tindakan dan perilaku
siswa
Menumbuhkan kesadaran
diri pada anak didik
karena menyadari
perilaku itu merugikan
dan tidak memberikan
manfaat bagi dirinya dan
masyarakat
Tindakan dan perilaku
individu didasrakan oleh
factor luar dirinya, tidak
melakukan sesuatu
karena takut sangsi,
kalaupun melakukan
sekedar memperoleh
nialai atau ganjaran
Tujuan hasil belajar
Pengetahuan yang
dimilikibersifat tentative
karena tujuan akhir
belajar kepuasan diri
Pengetahuan yang
diperoleh dari hasil
pembelajaran bersifat
final dan absolute karena
bertujuan untuk nilai
Purwandari (2010:47)
B. Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang relevan merupakan penelitian orang lain yang relevan
dijadikan titik tolak penelitian kita dalam mencoba melakukan pengulangan, revisi,
modivikasi dan sebagainya. Penelitian yang relevan dan selaras dengan judul yang di
ambil yaitu “meningkatkan hasil belajar siswa melalui pendekatan Contextual
Teaching And Learning di kelas Xc SMA Prasetya Gorontalo” adalah sebagai
berikut:
1. Ramlan saleh (2009) dalam penelitiannya yang berjudul meningkatkan hasil
belajar peserta didik melalui pendekatan kontekstual pada mata pelajaran IPS di
kelas VIII SMP Muhamadiyah Telaga Kabupaten Gorontalo. Hasil penelitian
menunjukan konsepsi-konsepsi peserta didik terhadap mata pelajaran IPS
meningkat dari siklus ke siklus, yaitu pada siklus I daya serap 80%, rata-rata kelas
VIII pada nilai 6,5 ke atas mencapai 74,2%, sedangkan pada sikus II memperoleh
peningkatan hasil belajar siswa di mana daya serap mencapai 94,2%, rata-rata
kelas 9,1 dan yang memperoleh nilai 6,5 ke atas 65 %.
2. Hariati Djunaid (2009) dalam penelitiannya yang berjudul penerapan
pembelajaran kontekstual dalam meningkatkan minat belajar siswa pada mata
pelajaran Pkn di SMP Negeri 1 Kabila dengan menggunakan pendekatan
pembelajaran kontekstual maka minat belajar siswa dapat di tingkatkan. Hal ini
terlihat pada peningkatan minat belajar siswa dapat di tingkatkan. Hal ini terlihat
pada peningkatan minat belajar siswa yaitu pada siklus I 36,2% menjadi 70,32%
pada siklus II.
3. Muhammad Yamin Huwoyon (2010) dalam penelitiannya yang berjudul
meningkatkan hasil belajar siswa melalui pendekatan Contextual Teaching and
Learning (suatu penelitian pada kelas Xc SMA Prasetya Gorontalo) dapat
meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini dapat terlihat pada hasil belajar pada
siklus I yaitu 73,08%, sebelum penelitian ketuntasan hanya mencapai 33%. Pada
siklus II hasil belajar siswa meningkat dari 73,08% menjadi 96,15%.
C. Kerangka Berpikir
Kerangka pemikiran merupakan arahan penalaran untuk dapat sampai pada
pemberian jawaban sementara atas masalah yang telah dirumuskan. Untuk mencapai
hasil belajar yang optimal landasan teori yang telah dikemukakan sebelumnya, maka
dapat diuraikan kerangka pemikiran dalam penelitian ini bahwa banyak faktor yang
mempengaruhi keberhasilan proses belajar mengajar, salah satunya adalah model
pembelajaran. Dalam penelitian ini peneliti menggunkan pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL) dalam kegiatan pembelajarannya.
Contextual Teaching and Learning merupakan pendekatan pembelajaran
dimana siswa dapat mengkaitkan materi ajar dengan konteks kehidupan nyata,
dengan begitu siswa akan memperoleh pengalaman.
D. Hipotesis Tindakan
Hipotesis tindakan pada penelitian ini dapat dirumuskan bahwa jika dalam
pembelajaran geografi digunakan model belajar contextual teaching and Learning,
maka akan meningkat hasil belajar siswa kelas X-6 MAN Model Gorontalo.