awan panas 2010 fix

21
AWAN PANAS LETUSAN TIPE ST. VINCENT 2010 DAN DAMPAKNYA BAGI LERENG SELATAN GUNUNG MERAPI Oleh: Yasin Yusup 1 1 Prodi Pendidikan Geografi FKIP UNS, Mahasiswa Program Doktor Perencanaan Wilayah Kota ITB, Email: [email protected] ABSTRAK Letusan Gunungapi Merapi 2010 menghasilkan awan panas yang berbeda dengan awan panas yang biasa terjadi di Merapi. Awan panas yang menjadi ciri khas G. Merapi adalah awan panas guguran yang mengikuti proses pembentukan dan penghancuran kubah lava yang bersifat sektoral menuju lereng tertentu. Letusan 2010 tidak membentuk kubah terlebih dahulu, fase utama berupa letusan yang menghancurkan sumbat lava dan menghasilkan awan panas letusan tipe St. Vincent menuju ke segala arah. Dampak letusan sangat besar, zona sejauh 8,5 km menuju ke Lereng Selatan hangus total terbakar awan panas dengan konsentrasi endapan awan panas di Kali Gendol mencapai 15 km. Dibandingkan letusan 2006, zona letusan di Lereng Selatan berbeda secara nyata karena pengaruh setting morfologi dalam meredam laju awan panas boleh dikatakan tidak berlaku lagi. Terbukanya kawah menghadap ke Selatan, tidak efektifnya “morfologi pelindung”, dan meningkatnya magnitud erupsi menjadikan lereng Selatan berisiko sangat tinggi seandainya dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi pada zona terdampak. Mitigasi yang tepat adalah mengurangi kerentanan penduduk dengan cara merelokasi permukiman di luar zona terdampak. Kata Kunci: awan panas guguran, awan panas letusan, dampak letusan, setting morfologi, mitigasi 1. LATAR BELAKANG Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan [Type text] Page 1

Transcript of awan panas 2010 fix

Page 1: awan panas 2010 fix

AWAN PANAS LETUSAN TIPE ST. VINCENT 2010 DAN

DAMPAKNYA BAGI LERENG SELATAN GUNUNG MERAPI

Oleh: Yasin Yusup1

1Prodi Pendidikan Geografi FKIP UNS, Mahasiswa Program Doktor Perencanaan Wilayah Kota ITB, Email: [email protected]

ABSTRAK

Letusan Gunungapi Merapi 2010 menghasilkan awan panas yang berbeda dengan awan panas yang biasa terjadi di Merapi. Awan panas yang menjadi ciri khas G. Merapi adalah awan panas guguran yang mengikuti proses pembentukan dan penghancuran kubah lava yang bersifat sektoral menuju lereng tertentu. Letusan 2010 tidak membentuk kubah terlebih dahulu, fase utama berupa letusan yang menghancurkan sumbat lava dan menghasilkan awan panas letusan tipe St. Vincent menuju ke segala arah. Dampak letusan sangat besar, zona sejauh 8,5 km menuju ke Lereng Selatan hangus total terbakar awan panas dengan konsentrasi endapan awan panas di Kali Gendol mencapai 15 km. Dibandingkan letusan 2006, zona letusan di Lereng Selatan berbeda secara nyata karena pengaruh setting morfologi dalam meredam laju awan panas boleh dikatakan tidak berlaku lagi. Terbukanya kawah menghadap ke Selatan, tidak efektifnya “morfologi pelindung”, dan meningkatnya magnitud erupsi menjadikan lereng Selatan berisiko sangat tinggi seandainya dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi pada zona terdampak. Mitigasi yang tepat adalah mengurangi kerentanan penduduk dengan cara merelokasi permukiman di luar zona terdampak.

Kata Kunci: awan panas guguran, awan panas letusan, dampak letusan, setting morfologi, mitigasi

1. LATAR BELAKANG

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu

kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor

nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,

kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU No. 24 Tahun 2007).

Risiko bencana terbentang sepanjang waktu melalui konsentrasi orang dan aktivitas ekonomi di

daerah yang terpapar bahaya seperti gempabumi, siklon tropis, banjir, kekeringan, dan tanah

longsor (ISDR, 2007).

Sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar dan masuk dalam negara

dengan penghasilan menengah, serta terletak di daerah pertemuan 3 lempeng aktif dan daerah

tropis, Indonesia termasuk daerah yang memiliki tingkat risiko bencana yang tinggi. Wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan

Page 1

Page 2: awan panas 2010 fix

demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam,

faktor nonalam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia,

kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan

tertentu dapat menghambat pembangunan nasional. Hal inilah yang menjadi salah satu

pertimbangan diundangkannya UU penanggulangan bencana (UU No. 24 Tahun 2007).

Setiap tahun baik bencana geologi, bencana atmosfer, bencana biologi, dan bencana

sosial selalu terjadi di Indonesia. Data historis bencana (EM-DAT: The OFDA/CRED

International Disaster Database) selama 1 abad (1907-2006), mencatat 3 bencana yang paling

sering terjadi (45 - 105 kali) yaitu banjir, gempabumi dan gunung meletus. Tiga besar bencana

yang paling mematikan (8000 – 165.708 jiwa) yaitu tsunami, gempabumi, dan letusan

gunungapi.

Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai gunungapi aktif terbanyak di dunia,

yaitu lebih dari 30% dari gunung aktif dunia ada di Indonesia. Sepanjang pertemuan lempeng

lebih dari 190 gunungapi berbaris seperti mutiara di atas sebuah kalung (like pearls on a

necklace). Barisan gunungapi sepanjang kurang lebih 7.000 km tersebut membentuk sabuk

memanjang dari Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara pada satu rangkaian dan menerus ke

arah utara sampai Laut Banda dan bagian utara Pulau Sulawesi (Effendi, dkk, 2004; Mawardi,

2006).

Gunungapi aktif di Indonesia terbagi dalam tiga kelompok berdasarkan sejarah

letusannya, yaitu tipe A (79 buah), adalah gunungapi yang pernah meletus sejak tahun 1600, tipe

B (29 buah) adalah yang diketahui pernah meletus sebelum tahun 1600 dan tipe C (21 buah)

adalah lapangan solfatara dan fumarola (Bemmelen, 1949; Kusumadinata 1979; Pratomo, 2006).

Kawasan gunung api di Indonesia merupakan daerah pertanian yang subur dan selalu padat

penduduk sejak zaman dahulu, walaupun tidak lepas dari ancaman bencana letusan. Saat ini

lebih dari 10 persen penduduk Indonesia bermukim di kawasan rawan bencana gunungapi.

Dalam rekaman sejarah gunungapi di dunia, tercatat 2 letusan besar terjadi di Indonesia,

yaitu Gunung Tambora dan Gunung Krakatau. Letusan terbesar dalam sejarah manusia adalah

letusan Gunungapi Tambora pada tahun 1815. Debunya tersebar di seluruh muka bumi dan pada

tahun 1816 menyebabkan penurunan temperatur rerata bumi 1 derajat. Tahun 1816, sejak itu

dikenal sebagai tahun tanpa musim panas di belahan bumi utara. Gunungapi Krakatau yang

Page 2

Page 3: awan panas 2010 fix

meletus pada bulan Agustus 1883, memiliki dampak yang terkenal di seluruh dunia. Awan

debunya melintasi dunia beberapa kali dan kejadian tersebut memicu tsunami yang mampu

mendorong kapal-kapal perang ratusan meter ke daratan. (Davidson & Da Silva, 2000; Pratomo

& Abdurachman, 2004; Mawardi, 2006).

Salah satu gunungapi yang paling sering meletus adalah Gunungapi Merapi. Gunungapi

tersebut boleh dikatakan selalu aktif sejak tahun 1900 sampai dengan sekarang, terjadi 24 kali

erupsi dengan periode diam atau istirahat yang pendek (rata-rata tidak lebih dari 3,5 tahun).

Sebagai pembanding G. Kelud di Jawa Timur mempunyai siklus letusan 15 tahun sekali (Voight,

et al, 2000). G. Merapi mempunyai tipe letusan khusus yang berbeda dengan tipe yang lainnya

yang sudah banyak dikenal (seperti tipe Vulcanian, tipe Peleean, dan tipe St Vincent) yaitu tipe

letusan dengan ciri khas awan panas guguran atau sering disebut Tipe Merapi (Voight, et al,

2000). Penduduk di sekitar lereng G. Merapi menyebut awan panas sebagai “wedhus gembel”

karena gerakannya ketika menuruni lereng seperti gerombolan wedus gembel yang sedang

`berlari` menuruni lereng. Berbeda dengan tipe awan panas vulcanian yang penyebaran awan

panasnya lebih luas, arah gerakan awan panas Tipe Merapi memusat ke satu arah, sehingga

daerah bahaya awan panas Tipe Merapi bersifat sektoral untuk lereng yang dituju.

Bahaya gunungapi dibedakan menjadi bahaya primer dan bahaya sekunder (Smith, 1996.,

Stieltjes and Wagner, 1999, Wright, et al. 1992, Crandell, 1984). Bahaya primer atau bahaya

langsung, didasarkan pada dampak langsung dari hasil-hasil erupsi, meliputi aliran lava (lava

flows), aliran piroklastik (pyroclastic flow), bahan jatuhan (free-fall deposits) dan gas. Bahaya

sekunder atau bahaya tidak langsung didasarkan pada akibat sekunder dari erupsi, meliputi lahar,

gerakan massa (slumps, slides, subsidence, block falls, debris avalanche), tsunami dan hujan

asam. Baik bahaya primer maupun sekunder saat ini terjadi mengiringi erupsi Merapi 2010

khususnya aliran piroklastik atau sering disebut awan panas atau wedhus gembel; bahan jatuhan

seperti  abu, pasir, dan kerikil, khusus abu  diberitakan sudah menjangkau jarak ratusan km (Kota

Bogor), bahkan mengganggu aktivitas penerbangan; Bahaya sekunder berupa lahar saat ini

mencemaskan warga di bantaran Kali Code di Kota Yogyakarta. Tulisan ini lebih fokus kepada

bahaya primer yang paling banyak menimbulkan dampak bencana, khususnya korban jiwa yaitu

aliran piroklastik atau awan panas.

Page 3

Page 4: awan panas 2010 fix

Piroklastika merupakan bahan hamburan yang langsung berasal dari magma. Istilah itu

berasal dari kata pyro (bahasa yunani) yang berarti api dan clast yang berarti kepingan, butiran,

fragmen atau pecahan. Dengan demikian piroklastika berarti kepingan yang berapi, membara

atau berpendar pada saat dilontarkan dari dalam bumi ke permukaan bumi melalui kawah

gunungapi. Awan panas merupakan salah satu bentuk aliran piroklastik, berupa aliran suspensi

dari batu, kerikil, abu, pasir, dalam suatu masa gas vulkanik panas yang keluar dari gunungapi

dan mengalir turun mengikuti lerengnya. Kecepatan aliran dapat mencapai lebih dari 100 km per

jam dengan jarak jangkau dapat mencapai puluhan kilometer (Ratdomopurbo dan Andreastuti,

2000). Dari kejauhan, awan tersebut seperti awan bergulung-gulung menuruni lereng gunungapi,

yang pada waktu malam aliran tersebut nampak membara. Benturan antar batu-batu atau material

yang besar di dalam awan panas itu terlindungi oleh gas sehingga benturan teredam. Oleh karena

itu aliran awan panas sekalipun dalam bentuk turbulensi dalam perjalanannya tidak berisik

seperti longsoran material dingin (lahar).

Awan panas khususnya di G. Merapi dibedakan menjadi awan panas guguran, awan

panas letusan dan awan panas letusan terarah (Voight, et al, 2000). Awan panas yang sering

disebut sebagai wedus gembel yang masuk dalam kategori Tipe Merapi, hanya merupakan salah

satu bentuk awan panas yang ada, tetapi awan panas tipe inilah yang paling sering terjadi, lihat

Tabel 1 dan Gambar 1-C. Awan panas 2010 menurut pendapat penulis ciri-cirinya lebih dekat

dengan awan panas letusan yang sering diidentifikasi sebagai awan panas tipe St. Vincent. Awan

panas ini terbentuk karena runtuhnya material vulkanik yang tererupsi secara vetikal, lihat Tabel

1, Gambar 1-B. Sementara awan panas letusan terarah menurut penulis juga pernah terjadi di

Merapi yaitu saat letusan tahun 1930 yang menghasilkan awan panas terjauh abad 20 yaitu 13

km, lihat Tabel 1 dan Gambar 1-A, tetapi rekor ini dipecahkan awan panas 2010.

Dampak letusan sangat terkait dengan bukaan kawah di puncak, dan efektif tidaknya

morfologi pelindung dan besar-kcilnya letusan. Berdasarkan hasil interpretasi citra sebelum

erupsi (SPOT-5 tanggal 1 Mei 2006) dan citra setelah erupsi (ALOS-PALSAR September 2006)

tampak bahwa terjadi perubahan morfologi di sekitar puncak G. Merapi (Gambar 2). Perubahan

tersebut meliputi adalah runtuhnya Geger Boyo pada lereng Selatan dan semakin lebarnya

perimeter hulu sungai K. Gendol (LAPAN, 2006). Berdasarkan pengukuran, terjadi perubahan

ukuran lebar hulu K. Gendol dari sebelum erupsi sekitar 50 – 75 meter menjadi sekitar 150 –250

Page 4

Page 5: awan panas 2010 fix

meter (BPPTK, 2006, dalam LAPAN, 2006). Kondisi demikian akan membuka jalan bagi

guguran lava pijar dan awan panas mengarah ke sungai tersebut, lihat Gambar 2.

Tabel 1. Klasifikasi Istilah yang Sering Digunakan untuk Menamakan Awan Panas

Lacroix, 1930

Escher,1933 and Macdonald, 1972

Voight, et al, 2000

Padanan kata Indonesia

Mekanisme Pembentukan

Nuee ardentes d`avalance

Merapi-type, glowing clouds

Dome-collapse nuee ardentes

Awan panas guguran

Runtuhnya kubah lava (dome collapse)

Fountain-collapse nuee ardentes

Nuee ardentes d`explosions vulkaniennes

St. Vincent-type glowing clouds

Awan panas letusan

Runtuhnya material vulkanik yang tererupsi secara vertikal (collapse of vertically erupted debris fountain)

Directed-explosion nuee ardentes

Nuee peelenes d`explosion dirigee

Glowing clouds by directed blasts

Awan panas letusan terarah

Ledakan terarah (directed blast)

Sumber : Voight, et al, 2000

Page 5

Page 6: awan panas 2010 fix

5 Juni 2006

ESDM - 2006

Gambar 2. Morfologi puncak G. Merapi berubah, Garis merah putus-putrus merupakan igir-igir gunung. Lingkaran kuning merupakan hulu K. Gendol dan bekas rubuhan Geger Boyo (LAPAN, 2006, dengan tambahan informasi foto)

Keberadaan morfologi pelindung bisa dilihat melaui transek/profil topografi. Dengan

metode transek, lebih mudah ditelusur bagaimana efektivitas bukit dalam membatasi ruang gerak

awan panas, tempat-tempat mana yang bisa menjadi limpahan awan panas, dan tempat mana

yang masih mampu menampung aliran awan panas. Dari hasil transek bisa dipahami mengapa

Dusun Kalitengah Lor, relatif lebih aman dibandingkan Dusun Pelemsari, dan Kaliadem, padahal

sama-sama berada di lereng paling atas G. Merapi, lihat Gambar 3.

Page 6

Gambar 1. Tipe-Tipe Awan Panas (A) Tipe Pelee, (B) Tipe St. Vincent, (C) Tipe Merapi (Macdonald, 1972) Ratdomopurbo, dkk, 2000

Page 7: awan panas 2010 fix

Gambar 3. Transek/Profil topografi Dusun Pelemsari, Kaliadem, Kalitengah Lor dan Wisata Kaliadem (Yusup, Y., 2009)

Sementara daya tampung Kali Gendol untuk kejadian letusan 2006, khususnya di wisata

Kaliadem sudah terlampaui, sampai awan panas melimpah dan mengubur infrastruktur wisata di

Kaliadem, termasuk mengubur Ruang Lindung Darurat (Rulinda) atau lebih dikenal dengan

nama “bunker”, dan melimpah ke Kali Opak. Bahkan bukit yang melindungi Kampung

Kinahejo, Dusun Pelemsari, dimana Mbah Maridjan tinggal, hampir terlampaui, sehingga Dusun

Pelemsari masuk kategori agak bahaya dan diberi simbol rumah warna kuning. Dusun Kaliadem

sendiri masih selamat dari luncuran awan panas 2006, karena lembah Kali Gendol di sebelah

timur dusun dan lembah Kali Opak di sebelah barat dusun masih mampu menampung luncuran

awan panas, tetapi awan panas 2010 yang mengiringi letusan eksplosif dengan magnitud yang

sangat besar untuk kategori G. Merapi (Skala Indeks Letusan 4) menghancurkannya dan

menewaskan Mbah Maridjan.

Pertanyaannya mengapa morfologi pelindug efektif meredam awan panas 2006 tetapi

tidak untuk awan panas 2010? Lalu bagaimana dampak awan panas 2010 dibanding awan panas

2006 terhadap lereng selatan dan apa implikasinya terhadap mitigasi bencana?

2. TUJUAN

Tulisan ini memiliki tujuan:

1. Mengungkap perbedaan letusan Gunung Merapi tahun 2010 dan letusan 2006 yang

menghasilkan tipe awan panas yang berbeda.

2. Mengetahui dampak letusan yang berbeda dan implikasinya terhadap mitigasi bencana.

3. BAHASAN

3.1. Tipe Awan Panas yang Berbeda

Letusan 2010 berbeda dengan letusan sebelumnya tahun 2006. Berdasarkan volume

tephra yang dikeluarkan lebih dari 150 juta m3 dan tinggi kolom letusan > 10 km, maka letusan

2010 mengacu Indeks Letusan Gunungapi (Volcanic Explosivity Index) (Newhall, et al, 1982)

Page 7

Page 8: awan panas 2010 fix

memiliki magnitud skala 4, atau melampaui rekor letusan di abad 20 yang hanya memiliki

magnitud terbesar skala 3, lihat Gambar 4. Gambaran kualitatif untuk letusan 2010 adalah

letusan eksplosif besar, merusak dan masuk klasifikasi letusan Plinian yang menghasilkan awan

panas tipe St. Vincent seperti sudah diungkapkan di atas dan akan dikupas lebih mendalam di

bagian selanjutnya.

Gambar 4. Magnitud Letusan G. Merapi berdasarkan Indeks Letusan Gunungapi

Letusan 2010 memiliki kemiripan dengan Letusan Tipe C-nya Hartmann (1935).

Hartmann membagi tiap erupsi di G. Merapi menjadi 3 fase yaitu fase awal atau keadaan

sebelum erupsi, fase utama yaitu aktivitas utama dan fase akhir. Ketiga fase tersebut merupakan

satu siklus aktivitas letusan Merapi. Berdasarkan apa yang terjadi pada fase awal, utama dan

akhir, Hartmann membedakan kronologi letusan menjadi empat bagian, lihat Gambar 5.

Page 8

Page 9: awan panas 2010 fix

Pertama, kronologi A. Siklus diawali dengan satu letusan kecil yang mengawali ekstrusi

lava. Fase utama berupa pembentukan kubah lava sampai kubah mencapai volume besar dan

kemudian pertumbuhan kubah berhenti. Siklus diakhiri dengan proses guguran lava pijar yang

berasal dari kubah. Kejadian guguran lava pijar, kadang dengan awan panas kecil dapat

berlangsung lama (bulanan). Kedua, kronologi B. Pada awalnya telah ada kubah lava di puncak

Merapi. Fase utama berupa letusan Tipe Vulkanian bersumber di kubah lava dan menghancurkan

kubah lava yang ada. Letusan menghasilkan asap letusan Tipe Vulkanian. Material kubah yang

hancur sebagian menjadi awanpanas yang menyertai letusan Tipe Vulkanian tersebut. Fase akhir

diisi dengan pertumbuhan kubah lava baru pada bagian kubah yang hancur atau disamping

kubah.

Ketiga, kronologi C. Kronologi C mirip dengan kronologi B, hanya saja pada awalnya

tidak terdapat kubah lava tetapi sumbat lava yang menutup kawah Merapi. Oleh adanya sumbat

lava tersebut, fase utama berupa letusan Tipe Vulkanian dengan awanpanas lebih besar (Tipe St.

Vincent). Fase akhir dari kronologi letusan yaitu berupa pembentukan kubah lava baru.

Keempat, kronologi D. Fase awal berupa letusan vertikal kecil. Fase utama berupa pembentukan

sumbat lava yang kemudian diikuti dengan fase akhir berupa letusan vertikal yang cukup

signifikan. Pada letusan D ini, karena sumbat lava cukup besar, letusan cukup dahsyat yang

menghasilkan awanpanas besar dan asap letusan tinggi.

Menurut penulis letusan 2010 memiliki karakteristik yang sangat mirip dengan kronologi

C di atas. Letusan kali ini berbeda dengan letusan 2006 yang membentuk dan menghancurkan

kubah lava 2006 yang mirip kronologi A. Fase awal letusan 2010 dimulai adanya sumbat lava di

puncak yang merupakan sisa kubah lava 2006 yang tidak longsor menjadi awan panas tipe

merapi. Fase utama diawali saat letusan 26 Oktober yang menghasilkan awan panas letusan yang

menerjang kampung Mbah Maridjan. Fase ini terus berlanjut dan menghasilkan letusan besar

pada tanggal 3 dan 4 yang menghasilkan awan panas sejauh 15 km menerjang Dusun

Argomulyo. Fase ini masih berlanjut sampai sekarang. Berdasarkan skenario C Hartmann ini,

eruspsi 2010 akan diakhiri dengan pembentukan kubah lava 2010, tetapi waktunya sulit

diperkirakan.

Page 9

Gambar 5. Kronologi Letusan Gunung Merapi menurut Hartmann (1935) dalam Andreastuti (2000)

Page 10: awan panas 2010 fix

3.2. Dampak Letusan terhadap Lereng Selatan yang Berbeda

Dampak letusan 2006 terekam pada citra ALOS-PALSAR bulan September 2006. Dari

citra tersebut dapat diketahui persebaran material piroklastik, guguran lava pijar dan awan panas.

Pada citra, tampak berwarna putih cerah di sekitar puncak. Dilihat dari polanya mengarah ke

selatan, tenggara dan baratdaya. Kontrol morfologi tampak jelas di sini, khususnya yang

mengarah ke Kali Gendol, Awan panas tidak tersebar merata tetapi dominan masuk lembah kali

tersebut, lihat Gambar 6. Awan panas mengubur wisata Kaliadem termasuk Bunker, seperti

sudah dijelaskan di pendahuluan, lihat kembali Gambar 3.

Page 10

Gambar 6. Sebaran Awan Panas Tahun 2006 (LAPAN, 2006)

Page 11: awan panas 2010 fix

Sementara dampak awan panas 2010 terekam citra satelit Terra NASA. Citra satelit –

warna-palsu (false-color satellite imagery) dari instrumen ASTER menunjukkan bukti aliran

piroklastik yang besar di sepanjang Sungai Gendol selatan Gunung Merapi. Endapan vulkanik

abu-abu (baik dari aliran piroklastik atau lahar) mengisi alur Kali Gendol. Di Sebelah Utara

Merapi Golf Course (warna merah muda) aliran piroklastik tersebar di seluruh lanskap,

menyebabkan kerusakan sangat parah. Sebagian besar pohon tersapu ke bawah dan tanah dilapisi

dengan abu dan batu (warna abu-abu gelap). Vegetasi sehat, yang tidak terpengaruh erupsi

berwarna merah cerah, lihat Gambar 7.

Gambar 7. Sebaran Awan Panas 2010 di Lereng Selatan (Sumber, Rovicky, 2010)

Dampak letusan 2010 sangat besar dilihat dari luasan daerah yang terdampak, zona 8,5

km dari puncak hancur total tersapu awan panas, selanjutnya distribusi awan panas memusat di

kanan kiri Sungai Gendol sejauh 15 km dari puncak, lihat Gambar 3 di bawah. Bila

dibandingkan dengan dampak awan panas 2006 khusus di lereng Selatan, awan panas 2006

Page 11

Page 12: awan panas 2010 fix

masih relative terkontrol morfologi (Yusup, Y., 2009), tetapi untuk letusan awan panas 2010,

control morfologi relative tidak berlaku sampai jarak 8,5 km.

3.3. Implikasi Letusan 2010 terhadap Mitigasi Bencana

Letusan Gunungapi Merapi yang menghasilkan awan panas tidak identik dengan

bencana. Selama abad 20, dari 23 letusan, kurang dari sepertiga letasan (27,9%) yang

menimbulkan bencana. Letusan memiliki magnitude kecil (VEI = 2) (Yusup, Y, dkk., 2008).

Sampai dengan letusan 2006, hujan abu atau kerikil, awan panas kecil (< 4 km) dan sedang (4-7

km) yang mengakibatkan dampak langsung kerusakan lahan, infrastruktur wisata, jembatan,

jaringan pipa air minum, dan dampak tidak langsung seperti mengungsi, matinya perekonomian

selama beberapa waktu, tidak mengakibatkan penduduk jera tinggal di KRB. Terbukti tawaran

pemerintah untuk relokasi ke daerah bawahnya (luar KRB) pun ditolak penduduk, apalagi

program transmigrasi antar daerah. Dengan demikian kebanyakan letusan masih dalam batas

toleransi penduduk atau risiko yang ditimbulkannya masih dapat diterima (acceptable risk) dan

masyarakat di Lereng Selatan memilih hidup bersama risiko bencana (living with disaster risk).

Akan tetapi letusan besar 2010 dengan dampak yang sangat besar, menghancurkan

puluhan dusun secara total sampai radius 8,5 km, perlu dipertimbangkan secara lebih bijaksana,

mengingat terbukanya kawah menghadap ke Selatan, tidak efektifnya “morfologi pelindung”,

dan meningkatnya magnitud erupsi menjadikan lereng Selatan berisiko sangat tinggi seandainya

dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi pada zona terdampak. Penduduk di Lereng Selatan perlu

bercermin dari saudaranya di lereng Barat Daya yang terkena dampak letusan 1961. Saat itu

rumah dari jarak 5 s/d 10 km hancur tersapu awan panas (warna putih), tetapi saat ini

permukiman mereka sudah menyesuaikan jarak maksimal awan panas 1961 (warna pink), lihat

Gambar 8.

Page 12

Page 13: awan panas 2010 fix

4. KESIMPULAN

Letusan 2010 menghasilkan awan panas yang lebih berbahaya dibanding letusan 2006,

control morfologi sudah tidak efektif lagi, dan bukaan kawah ke Selatan semakin lebar, serta

memberi dampak yang sangat besar terhadap lereng selatan, sehingga mitigasi yang cocok

adalah mengurangi kerentanan penduduk dengan cara merelokasi permukiman di luar zona

terdampak.

DAFTAR PUSTAKA

Bemmelen, 1949. The Geology of Indonesia, vol. IA, General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagos, Govt. Printing Office, The Hague.

Crandell, P. R. 1984. Source Book for Volcanic Hazards Zonation. United Nations Education Scentific and Culture Organization.

Page 13

Gambar 8. Peta Sebaran Awan Panas Tahun 1961 yang mengarah ke Barat Daya dan adaptasi kampung penduduk (Yusup, Y., 2006)

Page 14: awan panas 2010 fix

Davidson, J. and Da Silva, S., 2000. Composite volcanoes. In: Sigurdsson, H. (ed) Encyclopedia of Volcanoes. Academic Press.

Effendi, Nasution, Djarwoto, Murdohardono, Kertapati, Hermawan, Hidajat, Sutawidjaja, Jäger, Manhart, Ranke, Rehmann, Dalimin, Sugalang, Weiland, 2004. Mitigation of Geohazards in Indonesia, Status report on the project “Civil-society and inter-municipal cooperation for better urban services. Jakarta.

EM-DAT: The OFDA/CRED International Disaster Database, Université catholique de Louvain - Brussels – Belgium [cited 10 November 2009]. Available from http://em-dat.net/

ISDR, 2007. Disaster Risk Reduction: 2007 Global Review. Global Platform for Disaster Reduction. UN.

Kusumadinata, K., 1979. Data Dasar Gunung api Indonesia. Dit. Vulk., Bandung.

Mawardi, 2006. Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2006-2009,Kerjasama antara Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dengan Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana. Jakarta.

Pratomo, I. and Abdurachman, K., 2004. Characteristics of the Indonesian active volcanoes and their hazards. Mineral & Energi, 2, no. 4, h. 56-60.

Ratdomopurbo dan Andreastuti, 2000. Karakteristik Gunung Merapi. Direktorat Vulkanologi.

Smith, K., 1996. Environmental Hazards: Assessing Risk and Reducing Disaster. Second Edition, Routledge, London and New York.

Stieltjes, L and Wagner, J.J., 1999. Volcanic Hazards. Comprehensive Risk Assessment for Natural Hazards, WMO.

UU No. 24 Tahun 2007. UU Tentang Penanggulangan Bencana.

Voight, B., Constantine, E.K., Siswowidjoyo, S., Torley, R., 2000. Historical Eruptions of Merapi Vocano, Central Java, Indonesia,1768-1998.Journal of Volcanology and Geothermal Research Volume 100 (2000), Elsevier, Amsterdam, hal. 69-138.

Wright, T.L., 1992. Living with Volcanoes. The U.S. Geological Survey's Volcano Hazards Program, United States Government Printing Office,Washington.

Yusup, Y., 2006. Studi Sensitivitas Penduduk terhadap Bahaya Awan Panas di Kawasan Rawan Bencana II dan III Gunungapi Merapi, Tesis, Fakultas Geografi, Sekolah Pascasarjana Ugm, Yogyakarta.

Yusup, Y., 2009. Analisis Risiko Kampung Mbah Maridjan terhadap Bahaya Awan Panas Gunungapi Merapi Berbasis 3D Analysis, Makalah, Simposium Sains Geoinformasi I, Puspics, Fakultas Geografi.

Page 14

Page 15: awan panas 2010 fix

Yusup, Y., Sugiyanto, Hadi, P., 2008. Model Mitigasi Bencana Awan Panas dengan Pendekatan Sensitivitas terhadap Bahaya Lingkungan, Laporan Hibah Bersaing, Dirjen Dikti, Diknas, 2008

Rovicky, 2010. Foto Satelit Guguran Lava diambil 15 November2010, http://rovicky.wordpress.com/2010/11/16/foto-satelit-guguran-lava-diambil-15-nov-2010/

Page 15