BAB II LANDASAN TEORI A. Psychological Well-Being
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI A. Psychological Well-Being
17
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Psychological Well-Being
a. Pengertian Psychological well‐being
Menurut Ryff, psychological well‐being merupakan kondisi
seseorang yang bukan hanya bebas dari tekanan atau masalah-masalah
mental saja tetapi kondisi mental yang dianggap sehat dan berfungsi
maksimal. Psychological well‐being merupakan istilah yang
digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu
berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif (positive
psychological functioning).1
Ryyf juga mengemukakan bahwa psychological well‐being
merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu,
dimana individu dapat menerima segala kelemahan dak kelebihan
dirinya, mandiri, mampu membina hubungan positif dengan orang lain
dapat menguasai lingkungannya, dalam arti dapat memodifikasi
lingkungan agar sesuai dengan keinginannya, memiliki tujuan hidup,
serta terus mengembangkan pribadinya.2
Dari definisi diatas dapat disimpulkan psychological well‐
being merupakan suatu kondisi yang dirasakan oleh individu yang
1 Ryyf C. D., & Keyyes , C. L. M. The structure of psychological well-being revisited. Journal o f
Personality and Social Psychology, 69 (4), 719. 1995 2 Ryyf, C. D. Happines is Everything, or is it? Exploration on the meaning of psycholog ical well
being, Journal of Personality and Social Psychology, 56 (6), 1069-1081. 1989
18
bebas dari masalah psikologis dan mampu merealisasikan
kehidupannya kearah yang positif.
b. Aspek-Aspek Psychological Well Being Ryff3
1. Penerimaan diri (Self acceptance).
Seseorang yang psychological well‐being‐nya tinggi memiliki
sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai
aspek positif dan negatif dalam dirinya, dan perasaan positif tentang
kehidupan masa lalu.
2. Hubungan positif dengan orang lain (Positive relations with
others).
Banyak teori yang menekankan pentingnya hubungan
interpersonal yang hangat dan saling mempercayai dengan orang
lain. Kemampuan untuk mencintai dipandang sebagai komponen
utama kesehatan mental. Psychological well‐being seseorang itu
tinggi jika mampu bersikap hangat dan percaya dalam
berhubungan dengan orang lain, memiliki empati, afeksi, dan
keintiman yang kuat, memahami pemberian dan penerimaan
dalam suatu hubungan.
3. Kemandirian (Autonomy).
Merupakan kemampuan individu dalam mengambil
keputusan sendiri dan mandiri, mampu melawan tekanan sosial
untuk berpikir dan bersikap dengan cara yang benar,
3 Keyes, CLM., Ryff, CD., and Shmotkin, D. 2002. Optimizing Well‐Being : The Empirical
Encounter of Two Traditions. Journal of Personality and Social Psychology . 82, 6, 959‐971.
19
berperilaku sesuai dengan standar nilai individu itu sendiri, dan
mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal.
4. Penguasaan lingkungan (Environmental mastery).
Mampu dan berkompetensi mengatur lingkungan,
menyusun kontrol yang kompleks terhadap aktivitas eksternal,
menggunakan secara efektif kesempatan dalam lingkungan,
mampu memilih dan menciptakan konteks yang sesuai dengan
kebutuhan dan nilai individu itu sendiri.
5. Tujuan hidup (Purpose in life).
Kesehatan mental didefinisikan mencakup kepercayaan‐
kepercayaan yang memberikan individu suatu perasaan bahwa
hidup ini memiliki tujuan dan makna. Individu yang berfungsi
secara positif memiliki tujuan, misi, dan arah yang
membuatnya merasa hidup ini memiliki makna.
6. Pengembangan pribadi (Personal growth).
Merupakan perasaan mampu dalam melalui tahap‐tahap
perkembangan, terbuka pada pengalaman baru, menyadari
potensi yang ada dalam dirinya, melakukan perbaikan dalam
hidupnya setiap waktu.
c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well Being
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being pada diri
individu menurut Ryyf4, yakni :
4 Ryff, C. D. Psychological Well Being in Adult Life. Current Direction in Psychological Science.
Vol 4, No. 4, 99-104. 1995
20
1. Usia
Menurut Ryff, dimensi-dimensi dari psychological well-being
seperti penguasaan lingkungan, dan otonomi meningkat searah
dengan bertambahnya usia. Penerimaan diri dan hubungan positif
dengan orang lain tidak memiliki perbedaan dengan bertambahnya
usia.5
2. Jenis Kelamin
Menurut Ryff, perbedaan jenis kelamin mempengaruhi aspek-aspek
kesejahteraan psikologis. Di temukan bahwa perempuan memiliki
kemampuan yang lebih tinggi dalam membina hubungan yang lebih
positif dengan orang lain serta memiliki pertumbuhan pribadi yang
lebih baik dari pada pria.6
3. Budaya
Ada perbedaan kesejahteraan psikologis antara masyarakat yang
memilikibudaya yang berorientasi pada individualisme dan
kemandirian seperti dalam aspek penerimaan diri atau otonomi
lebih menonjol dalam konteks budaya barat. Sementara itu,
masyarakat yang memiliki budaya yang berorientasi kolektif dan
saling ketergantungan dalam konteks budaya timur seperti yang
termasuk dalam aspek hubungan positif dengan orang yang bersifat
kekeluargaan.
5 Ibid. 25 6 Ibid. 25
21
4. Religiusitas
Menurut Chamberlain & Zika menyebutkan bahwa religiusitas
mempunyai hubungan positif dengan kesejahteraan dan kesehatan
mental.7 Lebih lanjut, Ellison menyatakan bahwa agama mampu
meningkatkan psychological well-being dalam diri seseorang.
Ellison juga menjelaskan bahwa adanya korelasi antara religiusitas
dengan psychological well-being, dimana individu dengan
religiusitas yang kuat, tingkat psychological well-being juga akan
lebih tinggi, sehingga akan semakin sedikit dampak negatif yang
dirasakan dari peristiwa traumatik dalam hidup.8
5. Dukungan Sosial
Menurut Persma menyatakan bahwa dukungan secara informatif
disertai dengan dukungan emosional yang baik akan meningkatkan
PWB pada individu.9 Menurut Winnubust dukungan sosial erat
kaitannya dengan hubungan yang harmonis dengan orang lain
sehingga individu tersebut mengetahui bahwa orang lain peduli,
menghargai dan mencintai dirinya.10 Penelitian yang dilakukan
Bodla, Saima, dan Ammara tentang Social Support and
Psychological Well-Being among Parents of Intellectually
Challenged Children, menunjukkan bahwa ada hubungan antara
7 Galuh Amawidyati, Sukma Adi & Muhana Sofiati Utami, Religiusitas dan Psychological Wel l ‐
Being pada Korban Gempa, Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Volume 34, No. 2, 164 – 176, hlm. 167
8 Ibid. 28 9 Tembalang, Desiningrum, Family’s Social Support and Psychological Well-Being of the Elderly
in, 2010 hlm. 25 10 Ibid. 30
22
dukungan sosial dengan psychological well-being. Biasanya pada
orang tua yang memiliki anak yang retardasi mental yang
membutuhkan dukungan sosial dari anggota keluarga mereka.11
6. Kepribadian
Ryff dan Keyes mengatakan bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi psycological well-being adalah kepribadian.
Individu yang memiliki kepribadian yang sehat adalah individu
yang memiliki coping skill yang efektif, sehingga individu tersebut
mampu menghindari stres dan konflik, memiliki banyak kompetensi
pribadi dan sosial, seperti penerimaan diri, dan mampu menjalin
hubungan yang harmonis dengan lingkungan.
7. Stres
Menurut Rathi dan Rastogi, stres merupakan salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi tinggi rendahnya psychological well-being
pada diri seseorang.12 Dapat disimpulkan bahwa faktor yang
mempengaruhi psychological well-being terdiri dari dua macam,
yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari usia,
jenis kelamin, religiusitas, kepribadian dan stres. Sedangkan faktor
eksternal terdiri dari budaya dan dukungan sosial.
11 Bodla, Saima, dan Ammara, Social Support and Psychological Well-Being among Parents o f
Intellectually Challenged Children. 2012 hlm. 48 1212 Rathi, N., Rastogi, R. Meaning in life and psychological well-being in preadolescents and
adolocent. Journal off the Indian Academi of Aplied Psychology.2007. hlm. 31-38.
23
d. Psychological well being dalam Perspektif Islam
Psychological well being adalah suatu keadaan dimana individu
mampu menerima keadaan dirinya, mampu membentuk hubungan yang
hangat dengan orang lain, mampu mengontrol lingkungan, memiliki
kemandirian, memiliki tujuan hidup dan mampu mengembangkan bakat
serta kemampuan untuk perkembangan pribadi. Dalam pengertiannya,
Psychological well being juga diartikan sebagai mental yang sehat, sebab
beberapa dimensi dan Psychological well being mengacu pada kesehatan
mental itu sendiri. terdiri dari beberapa dimensi. Berikut beberapa ayat
yang menyebutkan tentang dimensi-dimensi tersebut:
a. Penerimaan diri (Self acceptance)
Di dalam Islam, istilah penerimaan diri lebih dikenal dengan istilah
Qona’ah. Allah berfirman dalam surat At-Taubah 59:
حسبنا ٱلل سيؤتينا ۥ وقالوا ءاتىهم ٱلل ورسوله ما ولو أنهم رضوا
غبون إلى ٱلل ر ۥ إنا ٱلل من فضله ۦ ورسوله
Artinya: “Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan adi yang
diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah
Allah bagi Kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan
demikian (pula) Rasul-Nya, Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang
berharap kepada Allah," (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi
mereka).” (Q.S. At-Taubah: 59)
Allah SWT akan memberikan sebagian karunia-Nya bagi hamba-
Nya yang menerima keadaan dirinya secara positif. Mensyukuri segala
24
sesuatu yang ia dapatkan. Selain itu, orang yang bisa menerima keadaan
dirinya baik dan buruknya, tentu lebih membawa ketenangan, ketentraman
dan kenyamanan hati.
b. Hubungan postif dengan orang lain (Posstive Relations with Others)
Hubungan antar manusia (hablum minannas) dalam membina
silaturahim terdapat dalam firman Allah SWT surat An Nisa ayat 1:
حدة وخلق منها ن نفس و ربكم ٱلذى خلقكم م أ يها ٱلناس ٱتقوا ي
ءلون ٱلل ٱلذى تسا وٱتقوا ء ا ونسا زوجها وبث منهما رجال كثير
إن ٱلل كان عليكم رقيب ا به ۦ وٱلرحام
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu
yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta
satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Q.S. An Nisa: 1)
Perintah yang serupa juga terdapat dalam Ar Ra‟d ayat 21, yakni:
ء أمر ٱلل به ۦ أن يوصل ويخشون ربهم ويخافون سو وٱلذين يصلون ما
ٱلحساب
Artinya: “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang
Allah perintahkan supaya dihubungkan (silaturahim), dan mereka takut
kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” (Q.S. Ar Ra‟d: 21)
25
Ayat tersebut mengandung makna anjuran untuk menjalin,
menjaga, serta memelihara silaturahmi itu sendiri tidak lain karena dibalik
silaturahmi itu ada rahasia dimana Allah menjanjikan kenikmatan bagi
hambanya yang menjalankan serta menjanjikan keburukan bagi hambanya
yang memutuskan. Silaturahmi merupakan ketaatan kepada Allah SWT
dan ibadah besar, serta petunjuk takutnya hamba kepada Rabb-Nya.
c. Otonomi/ kemandirian (Autonomy)
Kemandirian dalam istilah bahasa Arab adalah الذاتي الحكم (alhakm
adzdzati) yang dalam bahasa Inggris sepadan dengan autonomy. Istilah
lain yang maknanya hampir sama adalah kata االستقالل) alistiklaliyah) yang
didalam bahasa Inggris disepadankan dengan kata independence.
Hakikat atau konsep dasar kemandirian adalah
ketidakbergantungan manusia kepada makhluk lainnya termasuk tidak
bergantung kepada dirinya sendiri. Seorang muslim hanya bergantung
kepada Allah SWT. Manusia adalah makhluk yang tidak memiliki
kekuatan apapun tanpa pertolongan Allah ا إ ل ب الل ة لا قو tidak ada) لا حاولا وا
daya dan kekuatan kecuali dari Allah SWT). Meskipun seorang muslim
hanya bergantung kepada Allah, bukan berarti ia pasrah, tanpa ikhtiar,
tanpa kerja keras. Islam mengajarkan agar setiap muslim berikhtiar
semaksimal mungkin, bekerja keras, dan bersungguh-sungguh untuk
mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Indikatornya, semakin ia bergantung
kepada Allah SWT, semakin keras usahanya untuk mendapat ridha Allah
SWT.
26
Kemandirian juga diartikan sebagai kemampuan individu dalam
mengambil keputusan sendiri dan mandiri, mampu melawan tekanan
sosial untuk berfikir dan bersikap dengan cara yang benar, berperilaku
sesuai standar nilai individu itu sendiri, dan mengevaluasi dengan standar
personal.
Allah telah berfirman dalam Al Qur’an Surat Al-Mukminun ayat 62:
ا وهم ل يظلمون ب ينطق بٱلحق ولدينا كت ا إل وسعها ول نكل ف نفس
Artinya: “Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut
kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu kitab yang membicarakan
kebenaran, dan mereka tidak dianiaya.” (Q.S. Al-Mukminun: 62.)
Dari ayat tersebut menjelaskan bahwa individu tidak akan
mendapatksu suatu beban diatas kemampuannya sendiri tetapi Allah Maha
Tahu dengan tidak memberi beban individu melebihi batas kemampuan
individu itu sendiri. Karena itu individu dituntut untuk mandiri dalam
menyelesaikan persoalan dan pekerjaannya tanpa banyak tergantung pada
orang lain.
d. Tujuan hidup (Purpose in Life)
Dalam konteks ini, Al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia
memiliki beberapa tujuan hidup, diantaranya adalah sebagai berikut:13
1. Menyembah Kepada Allah (Beriman)
Keberadaan manusia di muka bumi ini bukanlah ada dengan
sendirinya. Manusia diciptakan oleh Allah, dengan dibekali potensi dan
13 Nur Amma, Bunayya. Hubungan Tingkat Religiusitas dengan Kesejahteraan Psiko logis s is wa
SMK Muhammadiyah 2 Malang. UIN. Maulana Malik Ibrahim Malang.2014
27
infrastruktur yang sangat unik. Keunikan dan kesempurnaan bentuk
manusia ini bukan saja dilihat dari bentuknya, akan tetapi juga dari
karakter dan sifat yang dimiliki oleh manusia. Sebagai ciptaan, manusia
dituntut memiliki kesadaran terhadap posisi dan kedudukan dirinya di
hadapan Tuhan. Dalam konteks ini, posisi manusia dihadapan Tuhan
adalah bagaikan “hamba” dengan “majikan” atau “abdi” dengan “raja”,
yang harus menunjukan sifat pengabdiaan dan kepatuhan.
Tujuan hidup manusia yang pertama adalah menyembah kepada
Allah. Dalam pengertian yang lebih sederhana, tujuan ini dapat disebut
dengan “beriman”. Manusia memiliki keharusan menjadi individu yang
beriman kepada Allah (tauhid). Beriman merupakan kebalikan dari syirik,
sehingga dalam kehidupannya manusa sama sekali tidak dibenarkan
menyekutukan Allah dengan segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini
(Syirik).
2. Memanfaatkan Alam Semesta (Beramal)
Perintah memakmurkan alam, berarti perintah untuk menjadikan
alam semesta sebagai media mewujudkan kemaslahatan hidup manusia di
muka bumi. Al-Qur’an menekankan bahwa Allah tidak pernah tak perduli
dengan ciptaan-Nya. Ia telah menciptakan bumi sebanyak Ia menciptakan
langit, yang kesemuanya dimaksudkan untuk menjamin kesejahteraan lahir
dan batin manusia. Ia telah menciptakan segala sesuatu untuk kepentingan
manusia. Bintang diciptakan untuk membantu manusia dalam pelayaran,
bulan dan matahari diciptakan sebagai dasar penanggalan. Demikian juga
28
dengan realitas kealaman yang lainnya, diciptakan adalah dengan
membekal maksud untuk kemaslahatan manusia. Untuk menjadikan
realitas kealaman dapat dimanfaatkan oleh manusia, Allah telah
membekalinya dengan potensi akal. Di samping itu, Allah juga telah
mengajarkan kepada manusia terhadap nama-nama benda yang ada di
alam semesta. Semua ini diberikan oleh Allah adalah sebagai bekal untuk
menjadikan alam semesta sebagai media membentuk kehidupan yang
sejahtera lahir dan batin. Dalam hal ini Allah menegaskan bahwa manusia
harus mengembara dimuka bumi, dan menjadikan seluruh fenomena
kealaman sebagai pelajaran untuk meraih kebahagian hidupnya.
Dalam kehidupannya manusia memiliki tujuan untuk
memakmurkan alam semesta. Implementasi tujuan ini dapat diwujudkan
dalam bentuk mengambil i’tibar (pelajaran), menunjukan sikap sportif dan
inovatif serta selalu berbuat yang bermanfaat untuk diri dan
lingkungannya. Dalam konteks hubungannya dengan alam semesta, dalam
kehidupannya manusia memiliki tujuan untuk melakukan kerja
perekayasaan agar segala yang ada di alam semesta ini dapat bermanfaat
bagi kehidupannya. Dengan kata lain, tujuan hidup manusia yang
semacam ini dapat dikatakan dengan tujuan untuk “beramal”.
3. Membentuk Sejarah Dan Peradaban (Berilmu)
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, Allah menciptakan alam
semesta ini dengan pasti dan tidak ada kepalsuan di dalamnya (QS. Shod
ayat 27). Oleh Karena itu, alam memiliki eksistensi yang riil dan obyektif,
29
serta berjalan mengikuti hukum-hukum yang tetap (sunnatullah). Di
samping itu, sebagai ciptaan dari Dzat yang merupakan sebaik-baiknya
pencipta (QS. al-Mukminun ayat 14), alam semesta mengandung nilai
kebaikan dan nilai keteraturan yang sangat harmonis. Nilai ini diciptakan
oleh Allah untuk kepentingan manusia khususnya bagi keperluan
perkembangan sejarah dan peradabannya.
Menurut al-Qur‟an manusia setidaknya memiliki 3 tujuan dalam
hidupnya. Ketiga tujuan tersebut adalah; pertama, menyembah kepada
Allah Swt. (beriman). Kedua, memakmurkan alam semesta untuk
kemaslahatan (beramal) dan Ketiga, membentuk sejarah dan peradabannya
yang bermartabat (berilmu). Dengan kata lain, menurut al-Qur’an, tugas
atau tujuan pokok hidup manusia dimuka bumi ini sebenarnya sangatlah
sederhana, yakni menjadi manusia yang “beriman”, “beramal” dan
“berilmu”. Keterpaduan ketiga tujuan hidup manusia inilah yang
menjadikan manusia memiliki eksistensi dan kedudukan yang berbeda dari
makhluk Allah lainnya.
e. Pertumbuhan pribadi (Personal growth)
Menurut Agama Islam manusia adalah makhluk Allah yang
berpotensi. Potensi-potensi yang dimilikinya dapat membawa kemuliaan
dan keutamaan serta dapat menjalankan amanah. Sebagaimana firman
Allah SWT dalam surat At-Tin ayat 4:
أحسن تقويم ن ف ى نس لقد خلقنا ٱل
Artinya “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam
30
bentuk yang sebaik-baiknya.” (Q.S At-Tin : 4)
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan diberi akal dan
berbeda dengan hewan dengan tujuan agar manusia bisa menggunakan
kelebihannya untuk membuat hidupnya lebih bermutu. Sebagaimana
makhluk yang sebaik-baiknya mampu menyadari potensi yang ada dalam
dirinya, melakukan perbaikan dalam hidupnya, mampu melewati tahap-
tahap perkembangan secara berkelanjutan dan dapat terus
mengembangkan potensi diri.
f. Penguasaan terhadap lingkungan (Enviromental Mastery)
Individu yang mampu menguasai lingkungan adalah yang mampu
mengontrol dan memahami keadaan lingkungan sekitarnya, mampu
menciptakan suasana yang nyaman, tentram, dan damai serta mampu
berkompetensi dalam mengatur lingkungan.
Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai pengendali dari
lingkungannya sebelum dan bukan dikendalikan pihak lain. Allah
berfirman dalam Al-Qur‟an surat An’am: 165
ت ئف ٱلرض ورفع بعضكم فوق بعض درج وهو ٱلذى جعلكم خل
ۥ لغفور رحيم إن ربك سريع ٱلعقاب وإنه ءاتىكم ل يبلوكم فى ما
Artinya: “Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-
penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas
sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu
tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya
31
Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. An’am: 165)
Sehingga dapat disimpulkan bahwa individu yang bisa
menguasai lingkungan adalah yang mampu memahami keadaan
lingkungannya dan berusaha untuk dapat mengatur situasi sekitarnya
sesuai dengan apa yang sedang dibutuhkannya, dan berusaha agar
kehidupannya tidak dikuasai secara dominan oleh orang lain.
B. Religiusitas
a. Pengertian Religiusitas
Glock dan Stark dalam Jalaluddin mengungkapkan bahwa
religiusitas adalah keseluruhan dari fungsi jiwa individu mencakup
keyakinan, perasaan, dan perilaku yang diarahkan secara sadar dan
sungguh-sungguh pada ajaran agamanya dengan mengerjakan lima
dimensi keagamaan yang didalamnya mencakup tata cara ibadah wajib
maupun sunat serta pengalaman dan pengetahuan agama dalam diri
individu.14
Menurut Vorgote berpendapat bahwa setiap sikap religiusitas
diartikan sebagai perilaku yang tahu dan mau dengan sadar menerima
dan menyetujui gambar-gambar yang diwariskan kepadanya oleh
masyarakat dan yang dijadikan miliknya sendiri, berdasarkan iman,
kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sehari hari.15
14 Jalaluddin. Psikologi Agama (ed.revisi), Jakarta: Raja Grafindo Persada.2008 15 Nikko Syukur Dister, Psikologi Agama, Yogyakarta:Kanisius 1989. hlm 10
32
Menurut Muhammad Thaib Thohir Religiusitas merupakan
dorongan jiwa seseorang yang mempunyai akal, dengan kehendak dan
pilihannya sendiri mengikuti peraturan tersebut guna mencapai
kebahagiaan dunia akhirat.16 Sedangkan menurut Zakiyah Darajat
dalam psikologi agama dapat dipahami religiusitas merupakan sebuah
perasaan, pikiran dan motivasi yang mendorong terjadinya perilaku
beragama.17 Religiusitas dapat diketahui dari seberapa jauh
pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatan atas agama
Islam.18 Religiusitas sebagai keberagamaan meliputi berbagai macam
sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan
perilaku ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain
yang didorong oleh kekuatan supranatural. Dapat diartikan, bahwa
pengertian religiusitas adalah seberapa mampu individu melaksanakan
aspek keyakinan agama dalam kehidupan beribadah dan kehidupan
sosial lainnya.
Religiusitas membantu individu mempertahankan kesehatan
mental individu pada saat‐saat sulit.19 Demikian pula penelitian Ellison
menyatakan bahwa agama mampu meningkatkan psychological well‐
being dalam diri seseorang. Hasil penelitian Ellison menunjukkan
bahwa individu yang memiliki kepercayaan terhadap agama yang
kuat, dilaporkan memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi,
16 M Thaib Thohir Abdul Muin, Ilmu Kalam, Jakarta: Widjaya, 1986, hlm 121 17 Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm 13 18 Ancok, Suroso, Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2001. hlm 77 19 Argyle, M. The Psychology of Happiness. 2nd Edition. Sussex : Routledge. 2001
33
kebahagiaan personal yang lebih tinggi, serta mengalami dampak
negatif peristiwa traumatis yang lebih rendah jika dibandingkan
individu yang tidak memiliki kepercayaan terhadap agama yang
kuat.20 Hasil penelitian Freidman dan kawan‐kawan, juga
melaporkan bahwa religiusitas sangat membantu mereka ketika
mereka harus mengatasi peristiwa yang tidak menyenangkan.21
Menurut Najati kehidupan religius atau keagamaan dapat membantu
manusia dalam menurunkan kecemasan, kegelisahan, dan
ketegangan.22
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa, religiusitas
adalah suatu keadaan individu yang memiliki keyakinan dan perasaan
terhadap ajaran agama dan mampu memberikan motivasi untuk
melakukan perilaku keagamaan yang diwujudkan dalam perilaku
sehari-hari dengan tujuan mencapai kebahagiaan dunia akhirat.
b. Dimensi Religiusitas
Glock & Stark (dalam Ancok dan Suroso) secara terperinci
menyebutkan lima dimensi religiusitas, yaitu23:
1. Dimensi Keyakinan
Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang
religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan
mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama
20 Taylor, S.E., Health Psychology. 3rd ed. Singapore : McGraw‐Hill. 1995 21 Ibid. 22 Najati, U., Al’Quran dan Ilmu Jiwa. Jakarta : Aras Pustaka. 2005 23 Ancok, D, dan Suroso, N. S. Psikologi Islami. Jakarta : Pustaka Pelajar.1994
34
mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganut
diharapkan akan taat. Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup
keyakinan itu bervariasi tidak hanya diantara agama-agama, tetapi
seringkali juga diantara tradisi-tradisi dalam agama yang sama.
2. Dimensi Praktik Agama.
Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-
hal yang dilakukan oleh orang untuk menunjukan komitmen
terhadap agama yang dianutnya. Praktik-praktik keagamaan ini
terdiri atas dua kelas penting yaitu ritual dan ketaatan.
3. Dimensi Pengalaman
Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa
semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu,
meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama
dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan
subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir (kenyataan
terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan
supranatural).
4. Dimensi Pengetahuan Agama
Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang
yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal
pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab
suci dan tradisi-tradisi. Dimensi pengetahuan dan keyakinan jelas
35
berkaitan satu sama lain, karena pengetahuan mengenai suatu
keyakinan adalah syarat bagi penerimanya.
5. Dimensi Pengamalan atau Konsekuensi
Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat
keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan
seseorang dari hari kehari.
c. Religiusitas dalam Perspektif Islam
Dalam surat Al-Baqarah ayat 208 dijelaskan bahwa umat islam
diminta untuk beragama secara penuh atau tidak setengah-setengah. Di
dalam aktivitasnya sehari-hari, umat Islam diharapkan untuk selalu
berislam atau apapun yang dilakukannya dalam rangka beribadah
kepada Allah24
Allah SWT memerintahkan kita untuk beriman secara penuh
dan menjauhi musuh besar umat Islam yakni syaitan. Sebagaimana
yang difirmankan dalam Al-quran surat Al Baqarah ayat 208:
ت خطو فة ول تتبعوا لم كا فى ٱلس ٱدخلوا أيها ٱلذين ءامنوا ي
ۥ لكم عدو م بم إنه ن ٱلشيط
Artinya “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke
dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah
syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (Q.S.
Al Baqarah: 208)
24 Ancok, D. & Suroso, F. N. 2005. Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem- Problem
Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 78
36
Salah satu kenyataan yang terjadi dalam sepanjang sejarah
perjalanan umat manusia adalah fenomena keberagamaan
(religiousity). Sepanjang itu pula bermunculan beberapa konsep
religiusitas. Namun demikian, para ahli sepakat bahwa agama
berpengaruh kuat terhadap tabiat personal dan sosial. Keberagamaan
itu sendiri mengandung arti suatu naluri atau insting untuk meyakini
dan mengadakan suatu penyembahan terhadap suatu kekuatan yang
ada di luar dirinya. Naluri keberagamaan ini sudah ada pada setiap
manusia sejak dirinya dilahirkan yang berupa benih-benih
keberagamaan yang dianugerahkan Tuhan pada setiap manusia.25
Agama memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.
Manusia religius adalah manusia yang struktur mental secara
keseluruhan dan secara tetap diarahkan kepada pencipta nilai mutlak,
memuaskan, dan tertinggi yaitu Tuhan. Manusia membutuhkan agama
untuk memenuhi kebutuhan rohani serta mendapat ketentraman dikala
mereka mendekatkan diri dan mengabdi kepada yang Maha Kuasa.26
Hal ini dijelaskan dalam QS. Ar-rum: 30 dan QS. Ar-Rad: 28.
ل فطرت ٱلل ٱلتى فطر ٱلناس عليها ين حنيف ا فأقم وجهك للد
كن أكثر ٱلناس ل يعلمون ين ٱلقي م ول لك ٱلد ذ تبديل ل خلق ٱلل
Artinya : ”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
Allah; tetaplah atas fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut
25 Rakhmad, Jalaluddin, 2005, Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja.hlm. 67 26 Ibid. hlm. 101
37
fitrah itu. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” (Q.S. Al rum: 30)
Al-Qur‟an Surat Ar-Rad ayat 28
أل بذكر ٱلل تطمئن وتطمئن قلوبهم بذكر ٱلل ٱلذين ءامنوا
ٱلقلوب
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati
Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q.S. Ar-Rad: 28)
Sebagaimana kita ketahui bahwa keberagamaan dalam Islam
bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual saja, tetapi juga
dalam aktivitas-aktivitas lainnya. Sebagai sistem yang menyeluruh,
Islam mendorong pemeluknya untuk beragama secara menyeluruh
baik dalam berpikir, bersikap maupun bertindak, harus didasarkan
pada prinsip penyerahan diri dan pengabdian secara total kepada Allah,
kapan dimana dan dalam keadaan bagaimanapun. Hal ini sebagaimana
dijelaskan dalam QS. Al-Bayyinah ayat 5 yang berbunyi:
ء ين حنفا ٱلد ٱلل مخلصين له إل ليعبدوا ا أمرو وما
لك دين ٱلقي مة وذ ٱلزكوة ٱلصلوة ويؤتوا ويقيموا
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
38
shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang
lurus.” (Q.S. Al-Bayyinah: 5)
Pembagian dimensi keberagamaan atau religiusitas dalam
Islam dibagi menjadi 3, yaitu akidah islam, syariah, dan akhlak.
Akidah merujuk pada seberapa tingkat keyakinan muslim terhadap
kebenaran ajaran-ajaran agamanya. Di dalam islam, isi dimensi
keimanan menyangkut keyakinan tentang Allah, para malaikat,
Nabi/Rasul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta qadha dan qadar.
Sementara itu syariah merujuk pada seberapa tingkat kepatuhan
muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana yang
disuruh dan dianjurkan oleh agamanya. Dalam hal ini menyangkut
dimensi peribadatan yaitu pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji,
membaca Al-Qur‟an, doa, zikir, ibadah kurban, iktikaf di masjid di
bulan puasa, dan sebagainya. Untuk yang terakir yaitu akhlak yang
merujuk pada seberapa tingkatan Muslim berprilaku dimotivasi oleh
ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan
dunianya, terutama dengan manusia lain. Dalam dimensi ini meliputi
perilaku suka menolong, bekerjasama, bederma,
menumbuhkembangkan orang lain, menegakkan keadilan dan
kebenaran, berlaku jujur, dan sebagainya.27
27 Ibid. hlm.80
39
C. Mindfulness
a. Pengertian Mindfulness
Mindfulness merupakan suatu konsep yang diambil
berdasarkan tradisi meditasi yang sudah diintegrasikan dengan
terapi.28 Thompson, dkk mengemukakan mindfulness sendiri
mempunyai arti perhatian, kesadaran murni pada keadaan sekarang
sehingga dapat berfokus pada tujuan dan menerima tanpa penilaian.29
Kabat-Zin mengemukakan mindfulness didefinisikan sebagai
kemampuan untuk memusatkan perhatian secara langsung,
keterbukaan terhadap pengalaman, dari waktu ke waktu, dengan
keterbukaan pikiran dan penerimaan diri.30 Brown dan Ryan
menyatakan bahwa mindfulness sebagai kehadiran kesadaran yang
melekat dan melibatkan pengalaman dari waktu ke waktu.31
Menurut Goleman mindfulness dapat berguna untuk
mengidentifikasi emosi-emosi dan mengukurnya pada tingkat
28 Hansen, E., Lundh, L. G., Homman, A., & Wångby-Lundh, M. Measuring mindfu lness: p ilo t
studies with the Swedish versions of the mindful attention awareness scale and the Kentucky inventory of mindfulness skills. Cognitive Behaviour Therapy, 38, 2-15.
doi:10.1080/16506070802383230.2009
29Thompson, M., & Gauntlett-Gilbert, J. Mindfulness with children and adolescents: Effective clinical application. Clinical child psychology and psychiatry , 13, 395-407. doi: 10.1177/1359104508090603.2008
30 Kabat-Zinn, J.,Where you go there you are: Mindfulness meditation in everyday life. New York:
Hyperion.1994 31 Brown, K.W., & Ryan, R.M. The Benefit of Being Present : Mindfullness and Its Role in
Psychological Well-Being. Journal of Personality & Social Psychology , Vol. 84, No . 4, 822-
848.2003
40
kesadaran yang jauh lebih dalam.32 Mindfulness juga dapat
meningkatkan proses afektif, stres, dan regulasi emosi.33
Baer, R.A, dkk mengemukakan mindfulness berarti suatu
keadaan ketika individu sadar akan dirinya, baik tempat maupun
mental terhadap keadaan yang terjadi pada saat itu juga, serta tidak
berfikir ataupun terpaku akan kejadian masa lalu maupun masa
depannya, melainkan fokus akan keadaan sekarang34. Individu yang
mindful akan memiliki tingkat tingkat stres yang rendah ketika
menemui permasalahan sehari-hari, memiliki mental dan fisik yang
sehat, kemampuan yang baik dalam sosial dan emosional, serta
indikator lain dalam kualitas hidup dan psychological well-being.35
Dengan demikian, individu mampu untuk memenuhi tugas dan
permasalahan dalam tahapan perkembangannya dapat diatasi dengan
baik.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa mindfulness
merupakan keadaan individu yang mampu memusatkan perhatian
dengan penuh kesadaran dan mampu memahami apa yang dirasakan
dirinya sehingga dapat berfokus pada keadaan sekarang.
32 Goleman, D. Working With Emotional Intelligence, New York: Bantam Books. 1998 33 Nielsen, L., & Kaszniak, A.W. Awarenes of Subtle Emotinonal Feelings : A Comparison of
Long-term Meditators and Non-Meditators. Emotion, 7 (4). 392405.2006 34 Baer, R. A., Smith, G. T., Hopkins, J., Krietemeyer, J., & Toney, L. Using self-report
assessment methods to explore facets of mindfulness. Assessment, 13(1), 27-45.2006 35 Ibid.
41
b. Komponen Mindfulness
Brown dan Ryan menjelaskan bahwa mindfulness adalah
keadaan sadar terjaga dan perhatian yang menghasilkan kesadaran
penuh akan pengalaman keberadaannya di sini-saat ini secara lebih
terbuka.36 Keadaan sadar terjaga adalah pengalaman subjektif dari
fenomena internal dan eksternal yang merupakan apersepsi dan
persepsi murni dari semua realitas peristiwa yang terjadi setiap saat.
Perhatian merupakan pemusatan keadaan sadar terjaga untuk
memperjelas aspek tertentu dari realitas. Pengalaman atas rasa
kehidupan dan keberadaannya dialami sebagaimana adanya, sebagai
realitas pengalaman di sini-saat ini. Brown dan Ryan juga
menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki mindfull (kesadaran)
adalah lebih mampu dalam melakukan kontrol diri dan regulasi diri.
Mindfulness menjadikan seseorang memiliki kemampuan dalam
penyesuaian dengan kebutuhan, perasaan, nilai-nilai, yang sesuai
dengan situasi tertentu.37 Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan
para ahli, komponen utama dalam mindfulness adalah:
a. Kesadaran (awareness) Keadaan sadar terjaga adalah pengalaman
subjektif dari fenomena internal dan eksternal yang merupakan
apersepsi dan persepsi murni dari semua realitas peristiwa yang
terjadi setiap saat.
36 36 Brown, K.W., & Ryan, R.M. The Benefit of Being Present : Mindfullness and Its Role in
Psychological Well-Being. Journal of Personality & Social Psychology, 84, 2003.(4), 822-848. 37 Affandi, N.A. 2007Pelatihan Meditasi Mindfulness terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan
Survivor Gempa Bumi Bantul. Tesis. ( tidak Diterbitkan ). Yogyakarta : Fakultas Psikologi
Pasca Sarjana Universitas Gajahmada. hlm. 48
42
b. Perhatian (attention) Perhatian merupakan pemusatan keadaan
sadar terjaga untuk memperjelas aspek tertentu dari realitas.
Pengalaman atas rasa kehidupan dan keberadaannya dialami
sebagaimana adanya, sebagai realitas pengalaman di sini-saat ini.
c. Penerimaan (acceptance) Penerimaan terjadi ketika individu
hanya memperhatikan setiap pemikiran, perasaan, dan sensasi
sebagai pengalaman terbuka akan realitas saat ini di sini yang
muncul dalam arus kesadaran tanpa memberikan respon spontan
atas realita tersebut. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
mindfulness adalah tingkat kesadaran diri seseorang yang
mencakup keadaan sadar terjaga dan perhatian pada perubahan-
perubahan yang terjadi, baik perubahan dalam maupun dari luar
dirinya hingga ia mampu menerima segala perubahan tersebut
tanpa merespon secara otomatis.
d. Mindfulness dalam Perspektif Islam
Dalam psikoterapi Islam, spiritualitas merupakan konsep yang
sering digunakan dan dapat menghubungkan antara unsur agama
dengan unsur yang sifatnya realistik. Pada dasarnya spiritualitas
merupakan kebutuhan transenden dalam diri yang harus terpenuhi dan
akan digunakan sebagai penunjuk dalam mencapai tujuan hidup serta
meningkatkan kuliatas ruhani.38 Menurut Rusydi (2015) psikoterapi
spiritual Islam merupakan proses yang mengintegerasikan konsep
38 Suseno, M. N. (2013). Efektivitas Pembentukan Karakter Spiritual untuk Meningkatkan
Optimisme Terhadap Masa Depan Anak Yatim Piatu. Jurnal Intervensi Psikologi, 5(1), 1–24.
43
spiritualitas dengan nilai-nilai keIslaman sebagai upaya penyembuhan
terhadap permasalah psikologis maupun fisik.
Mindfulness dalam Islam dikenal dengan istilah muraqabah,
yaitu sebuah istilah dalam bahasa arab yang berasal dari akar kata
melihat, mengamati, dan penuh perhatian. Seorang muslim yang
dalam keadaan muraqabah akan senantiasa mengetahui bahwa Allah
Maha Mengetahui terhadap dirinya.39 Menurut Torabi muraqabah
secara harfiah diterjemahkan sebagai "observasi’.40 Muraqabah
merupakan praktik dan pencapaian terhadap keadaan berserah diri
kepada Allah yang diperoleh berdasarkan keheningan, kedamaian,
ketenangan, kejernihan dan kesadaran. Azeemi menjelaskan bahwa
cara paling efektif untuk mengaktifkan dan meningkatkan spiritual
adalah muraqabah (meditasi).41 Muraqabah merupakan latihan,
keterampilan, atau cara berpikir yang dapat mengaktifkan kesadaran
indera. Melalui itu juga, seseorang bisa mengeksplorasi kekuatan yang
berada di luar jangkauan indra fisiknya. Parrott menyimpulkan bahwa
aspek yang mendasar dari muraqabah adalah mengetahui bahwa Allah
selalu melihat dan mengetahui setiap saat, sehingga seseorang akan
meresapinya ke dalam pikiran, perasaan, keadaan dirinya lahir dan
batin. Kondisi muraqabah membuat seseorang memiliki kesadaran
39 Parrott, J. (2017). How to be a Mindful Muslim : An Exercise in Islamic Meditation. Yaqeen
Institute for Islamic Research 40 Torabi, E. (2011). Islamic Meditation : Mastering The Art of Zikr. Islamic Meditation.com.
BorderPoint Media. 41 Azeemi, K. S. (2013). Muraqaba : The art and science of sufi meditation. KarachiPakistan:
Azeemi University Press.
44
akan keterhubungan dengan Allah di dalam hati, pikiran, dan tubuh.42
Dari beberapa penjelasan mengenai praktik mindfulness yang telah
didefinisikan oleh para ahli, terdapat adanya perbedaan dalam hal
pandangan dan paradigma. Perbedaan tersebut terbagi antara
pendekatan barat dan pendekatan islam. Perbandingan kedua
pendekatan mindfulness tersebut dapat dilihat pada tabel berikut
Tabel 2.1
Perbandingan Paradigma Mindfulness Barat Islam
Barat Islam
1. Berangkat dari filosofi Buddha
dan memandang manusia
sebagai makhluk yang kuat
melalui kesadaran dirinya.
2. Hanya berfokus pada aspek
kognitif serta
menghubungkannya dengan
perasaan dan sensasi fisik.
3. Tidak menyertakan
penghayatan terhadap tuhan
dalam pelaksanaannya.
1. Berangkat dari konsep
meditasi Islam yaitu
Muraqabah yang merupakan
kesadaran akan keterhubungan
dengan Allah di dalam hati,
pikiran, dan tubuh.
2. Menggabungkan aspek
kognitif, afektif, dan fisik
dengan penghayatan terhadap
sifat-sifat Allah yang Maha
Besar, Maha Melihat, Maha
Mendengar, dan Maha
Mengetahui (keimanan).
42 Ibid.
45
Berdasarkan tabel di atas dapat dipahami bagaimana
perbandingan antara kedua pendekatan mindfulness. Setiap
pendekatan memiliki paradigma dan teknik yang berbeda. Namun,
kedua pendekatan tersebut memiliki tujuan untuk membantu
individu dalam memperoleh kesejahteraan fisik dan psikis. Dalam
proses mindfulness akan semakin kuat dan menjadi lebih efektif
apabila disetiap tahapan selalu menghubungkan keberadaan Allah
secara lahir dan batin.
D. Caregiver
1. Pengertian Caregiver
Menurut Awad dan Voruganti, pendamping pasien atau
caregiver adalah seorang Individu yang secara umum merawat dan
mendukung individu lain (pasien) dalam kehidupannya.43 Davidson,
Gerald, Neale, Jhon dan Kring juga menjelaskan bahwa caregiver
adalah seseorang yang menyediakan perawatan baik itu dalam bentuk
fisik dan atau emosional bagi individu yang menderita penyakit atau
kecacatan, biasanya individu merupakan seseorang yang dicintai.44
2. Tugas Caregiver
Talley, R. Mc, Corkle menuturkan caregiver memberikan
perawatan informal mencakup 4 dimensi yaitu perawatan langsung
(seperti membantu dressing, manajemen obat-obatan), perawatan
43 Ibid. 53.hlm. 56 44 Ibid. 53.hlm.59
46
emosional (menyediakan dukungan sosial dan dukungan emosional
dan dukungan lainnya), perawatan medis (bernegosiasi dengan orang
lain, termasuk tenaga kesehatan, untuk kepentingan pasien),
pengaturan finansial (mengatur sumber keuangan, termasuk
penghasilan dan pembelanjaan).45
3. Karakteristik Caregiver
Menurut McQuerrey karakteristik caregiver yang baik adalah46:
a. Empathy
Salah satu karakteristik caregiver yang baik adalah
memiliki kemampuan empati kepada klien yang memerlukan
pendampingan. Ketika melakukan pendampingan baik kepada anak
kecil atau membantu orangtua, kemampuan “personal
understanding” dan koneksi dengan klien adalah hal yang sangat
penting. Caregiver yang baik mengerti bagaimana membuat klien
menjadi nyaman dan merasa diperhatikan.
b. Patience
Individu yang menerima pendampingan/pelayanan biasanya
tergantung pada oranglain dan self sufficient, hal tersebut dapat
membuat mereka frustasi dan memberontak. Ketika seorang anak
yang tidak bisa mengekspresikan rasa laparnya, atau yang tidak
bisa mengungkapkan rasa sakit secara verbal atau seorang lansia
yang mengalami dementia. Kesabaran menjadi hal yang vital untuk
45 Ibid. 53.hml.66 46 MC. Querrey, L. Good Qualities Caregiver of a Caregiver..2012
47
caregiver. Anda harus mampu memisahkan diri dari kemarahan
dan tidak terbawa situasi.
c. Realistic Outlook
Pelayanan/pendampingan sering dilakukan dalam jangka
waktu yang panjang untuk melengkapi kebutuhan sehari-hari dari
klien. Memahami keterbatasan dari klien membantu caregiver
untuk menurunkan tekanan yang ada di lingkungan. Caregiver
yang baik menyadari kapabilitas dan tetap terdorong untuk
semangat dalam melayani dan memperhatikan klien.
d. Strong Constitution
Tugas yang dilakukan oleh caregiver berhubungan dengan
aktivitas instrumental seperti memandikan baik itu bayi atau lansia,
membersihkan luka. Seorang caregiver yang baik tidak akan
merasa malu dengan tugas yang dilakukan.
e. Soothing Nature
Caregiver tahu bagaimana cara untuk menenangkan klien.
Menjadi voice of encouragement adalah hal yang membuat kualitas
dari caregiver jadi baik.
f. Reliability
Merupakan trait yang penting bagi caregiver. Individu yang
menerima pendampingan/pelayanan bergantung dan tidak bisa
berpisah dari caregiver dan sering merasa dekat dengan
48
caregivernya. Caregiver harus konsisten dalam memberikan
pelayanan baik itu makanan dan pemberian obat.
4. Jenis Caregiver
Caregiver dibagi menjadi caregiver informal dan caregiver
formal. Caregiver informal adalah seseorang individu (anggota
keluarga, teman, atau tetangga) yang memberikan perawatan tanpa di
bayar, paruh waktu atau sepanjang waktu, tinggal bersama maupun
terpisah dengan orang yang dirawat, sedangkan caregiver formal
adalah relawan atau individu yang dibayar untuk menyediakan
pelayanan. Keduanya termaksud orang-orang yang menyediakan
bantuan yang berhubungan dengan aktivitas sehari-hari dan tenaga
professional yang menyediakan pelayanan terutama dalam hal
kesehatan mental maupun jasmani.47
Barrow menyebutkan terdapat dua jenis caregiver, yaitu formal
dan tidak formal. Caregiver formal adalah individu yang memberikan
perawatan dengan melakukan pembayaran yang disediakan oleh rumah
sakit, psikiater, pusat perawatan ataupun tenaga professional lainnya.
Sementara caregiver informal adalah individu yang memberikan
perawatan dengan tidak melakukan pembayaran dan tidak secara
tenaga professional.48
47 Akpunne, B. C. Psycho-Social Factor and Psychological well Being o f Formal Caregiver .
European Journal of Humabities and Social Sciences, 34, 1855-1871. 2015 48 Widiastuti, R. Copping Stress pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzeimer. Medan: F.
Psikologi USU. 2009
49
Reinhard mengemukakan istilah pengasuh keluarga dan
pengasuh informal merujuk pada anggota keluarga, teman atau
tetangga yang tidak dibayar yang memberikan perawatan kepada
individu yang memiliki kondisi akut atau kronis dan membutuhkan
bantuan untuk mengelola berbagai tugas, mulai dari mandi,
berpakaian, dan minum obat hingga perawatan ventilator.49 Murray &
Zentner, dalam Allender & Spradley mengemukaka suatu keluarga
terdiri dari dua individu atau lebih yang berbagi tempat tinggal atau
berdekatan satu dengan lainnya, memiliki ikatan emosi, terlibat dalam
posisi sosial, peran dan tugas-tugas yang saling berhubungan, serta
adanya rasa saling menyayangi dan memiliki.50
49 Reinhard, C. Susan.Supporting Family Caregivers in Providing Care.2008 50 Ibid.