PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

38
PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI KELUARGA BERSTATUS EKONOMI RENDAH DITINJAU DARI TEMPAT TINGGAL (BERSAMA KEDUA ORANG TUA DAN TINGGAL DI PANTI ASUHAN) DI WONOSOBO OLEH KRISTIAN WIDIATMOKO 802012011 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016

Transcript of PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

Page 1: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

KELUARGA BERSTATUS EKONOMI RENDAH DITINJAU DARI

TEMPAT TINGGAL (BERSAMA KEDUA ORANG TUA DAN

TINGGAL DI PANTI ASUHAN) DI WONOSOBO

OLEH

KRISTIAN WIDIATMOKO

802012011

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari PersyaratanUntuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2016

Page 2: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI
Page 3: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI
Page 4: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI
Page 5: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI
Page 6: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI
Page 7: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJADARI KELUARGA BERSTATUS EKONOMI RENDAH DITINJAUDARI TEMPAT TINGGAL (BERSAMA KEDUA ORANG TUA DAN

TINGGAL DI PANTI ASUHAN) DI WONOSOBO

Kristian Widiatmoko

Berta Esti Ari Prasetya

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2016

Page 8: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

i

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan psychological well-being antara

remaja yang tinggal di panti asuhan dan remaja yang tinggal bersama kedua orang tua

dengan status ekonomi rendah. Subjek penelitian berjumlah 100 remaja dari keluarga

berstatus ekonomi rendah ( 50 remaja tinggal dengan orang tua & 50 remaja tinggal di

Panti Asuhan ) di Wonosobo. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah

purposive sampeling. Data penelitian diambil menggunakan skala RPWB (Ryff

psychological well-being) yang teridiri dari 37 item yang dinyatakan lolos seleksi daya

diskriminasi dengan koefisien alpha cronbachnya 0,946. Berdasarkan uji perbedaan

menggunakan teknik uji beda uji t diperoleh nilai t = -3,111 dengan (p<0,05). Hasil

tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan psychological well-being antara

remaja yang tinggal di panti asuhan dan remaja yang tinggal bersama kedua orang tua

dengan status ekomomi rendah. Berdasarkan hasil uji analisis deskriptif menunjukan

bahwa remaja yang tinggal bersama kedua orang tua memiliki psychological well-being

lebih tinggi daripada remaja yang tinggal di Panti Asuhan. Berdasarkan pengujian pada

setiap aspek dalam penelitian ditemukan adanya perbedaan pada aspek environmental

mastery, personal growth, positive relation, purpose in life, dan self acceptance dengan

remaja yang tinggal bersama kedua orang tua lebih tinggi dari pada remaja yang tinggal

di Panti Asuhan. Sedangkan pada aspek autonomy tidak ditemukan adanya perbedaan.

Kata Kunci : psychologycal well-being, tinggal dengan orang tua, tinggal di

Panti Asuhan, Remaja dari keluarga status ekonomi rendah.

Page 9: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

ii

Abstract

The purpose of the research is to determine the difference on psychological well -being

among adolescents in a low economic status family, who live in orphanages and

adolescents who live with both parents. The type of research is quantitative research.

The research Subjects numbered 100 adolescents from low economic status families (

50 adolescents living with their parents and 50 adolescents living in orphanages ) in

Wonosobo. Sampling technique used is purposive sampeling. Data research is taken

with RPWB (Ryff psychological well-being), which is consisted of 37 item with alpha

cronbach’s coefficient is 0,946. According to result t test, we got t = -3,111. This result

analysis data showed that there is difference of psychological well -being among

adolescents who live in orphanages and adolescents who live with both parents with

low economic status (p<0,05). Based on the test results of descriptive analysis showed

that adolescents who lived with both parents have the psychological well -being is

higher than the adolescents who live in the Orphanage. Based on the test each aspect

found there is difference in the aspect of environmental mastery, personal growth,

positive relation, purpose in life, and self acceptance with adolescents lived with both

parents have higher score than adolescents living in orphanages while in the aspect of

autonomy did not reveal any difference.

Key Words : psychologycal well-being, orphanages, non- orphanages, low economic

status

Page 10: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

1

PENDAHULUAN

Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal di belahan dunia, khususnya

Indonesia yang merupakan negara berkembang. Kemiskinan adalah keadaan dimana

terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian,

tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh

kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan

dan pekerjaan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak tidak bisa mengenyam

pendidikan, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan, dan masalah lain

yang menjuruskan meraka ke arah tindakan kekerasan dan kejahatan untuk bertahan

hidup (Apriliana, 2011).

Di Indonesia sendiri jumlah kemiskinan yang ada semakin meningkat. Hal ini

terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat penduduk miskin di

Indonesia pada Maret 2015 sebanyak 28,59 Juta orang atau 11,22 persen dari jumlah

penduduk Indonesia. Hal ini mengalami peningkatan dibanding pada tahun 2014

sebesar 860.000 orang (Kompas.com, Selasa, 15 September 2015).

Dari data BPS, salah satu Provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi adalah

Jawa Tengah dengan tingkat kemiskinan mencapai 4,58 juta jiwa (Liputan 6.com, 15

September 2015). Di Jawa Tengah sendiri kota dengan tingkat kemiskinan tertinggi ada

di Wonosobo dengan tingkat kemisikinan mencapai 22,08%. Angka tersebut masih

menempatkan Wonosobo di posisi 35 dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah atau bisa

dikatakan menjadi kabupaten termiskin se-Jawa Tengah (Kedaulatan Rakyat online,

Jumat, 22 Mei 2015). Menurut De Panfilis (2006), kondisi permasalahan ekonomi

keluarga yang kompleks dapat berakibat pada kecenderungan orangtua melakukan

Page 11: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

2

pengabaian (fisik, pendidikan, dan emosional) karena perhatian dan waktu lebih

berfokus pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Kondisi ekonomi yang rendah

membuat orangtua menitipkan anak mereka di panti asuhan. Menurut Hartini (2011)

kemiskinan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan orangtua menitipkan anak

mereka di panti asuhan.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Kementrian Sosial Republik

Indonesia.co.id, 2008) menemukan bahwa tidak seperti asumsi luas yang ada, hanya ada

persentasi yang sangat kecil untuk anak-anak di panti asuhan yang benar-benar yatim

piatu 6% dan 94% di antaranya memiliki salah satu atau kedua orangtua. Kebanyakan

anak-anak ditempatkan di panti asuhan oleh keluarganya yang mengalami kesulitan

ekonomi dan juga secara sosial dalam konteks tertentu, dengan tujuan untuk

memastikan anak-anak mereka mendapatkan pendidikan.

Harapan keluarga menitipkan anak mereka di panti asuhan agar mendapat

kehidupan yang layak berbanding terbalik dengan kenyataannya. Dalam Standar

Nasional Pengasuhan Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (2011)

mengemukakan bahwa banyak anak yang sedih tinggal di panti asuhan karena jauh dari

keluarga. Selain itu, anak yang tinggal di panti juga mendapat makanan yang kurang

layak, keharusan kerja di panti, dan aturan yang ketat. Mereka juga mengalami

kekhawatiran pada masa depannya karena mereka kurang mendapat dukungan dari

keluarga. Brooks mengungkapkan bahwa pengasuhan didefinisikan sebagai individu

yang mengembangkan seluruh fase pertumbuhan dan perkembangan seorang anak

melalui menjaga kesehatan anak, melindungi anak dan mengarahkan anak dalam

menapaki kehidupan baru mereka menuju ke kedewasaan. Pengasuhan yang diberikan

Page 12: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

3

orangtua sangat dibutuhkan untuk perkembangan seorang anak khususnya saat anak

beranjak remaja.

Santrock (2012) membagi masa remaja di mulai dari usia 10 tahun hingga 13

tahun dan berakhir pada usia 18 tahun hingga 22 tahun. Pada masa transisi menuju

dewasa, remaja juga memiliki tugas untuk menemukan identitas dirinya. Hal yang sama

juga dikemukakan oleh Erikson yang menyebutkan bahwa tugas terpenting bagi remaja

adalah mencapai identitas diri yang lebih mantap melalui pencarian dan eksplorasi

terhadap diri dan lingkungan sosialnya. Dalam proses pencarian identitas diri diperlukan

pengasuhan dari orang tua ataupun keluarga di dalam mengarahkan remaja dalam

menemukan identitas dirinya.

Menurut Narwoko dan Suyanto (2004) keluarga adalah lembaga sosial dasar di

antara semua lembaga atau pranata sosial lainnya. Hampir sebagian besar kalangan

masyarakat di dunia menganggap keluarga merupakan kebutuhan manusia yang

universal dan mampu menjadi pusat terpenting dari kegiatan dalam kehidupan individu.

Hyoscyamina (2011) juga berpendapat bahwa keluarga merupakan forum pendidikan

yang pertama dan utama dalam sejarah hidup sang anak yang menjadi dasar penting

dalam pembentukan karakter anak itu sendiri. Selain itu, menurut Pattimahu (t.t)

keluarga memiliki peran penting dalam perkembangan remaja karena dari anggota

keluarga tersebut yaitu ayah, ibu dan saudara - saudaranya, anak memperoleh segala

kemampuan dasar, baik intelektual maupun sosial. Bahkan penyaluran emosi banyak

ditiru dan dipelajarinya dari anggota-anggota keluarganya. Sikap, pandangan dan

pendapat orang tua atau anggota keluarganya dijadikan model oleh anak dan ini

kemudian menjadi sebagian dari tingkah laku anak itu sendiri. Keberadaan figur dan

peran orangtua yang jelas membuat anak merasa adanya penerimaan yang hangat dari

Page 13: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

4

orangtua berupa pemberian rasa aman dengan menerima anak, menghargai kegiatannya

dan memberikan patokan yang jelas sehingga anak dengan sendirinya akan merasa

yakin dengan kemampuannya dan akan lebih percaya diri. Selain itu, berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Demo dan Acock (1996) menemukan bahwa fungsi

keluarga yang baik akan berdampak positif pada kesejahteraan psikologis

(psychological well-being) seorang remaja. Selain itu Lazzari (2000) mengemukakan

bahwa dukungan sosial merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi psychological

well-being pada remaja. Dukungan sosial pada remaja bisa didapatkan salah satunya

dari keluarga.

Menurut Ryff, psychological well‐being merupakan istilah yang digunakan untuk

menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi

psikologi positif (positive psychological functioning). Kurang atau tidaknya kasih

sayang dan perhatian yang diterima remaja serta jelas atau tidaknya status diri mereka

merupakan pengalaman hidup yang akan mempengaruhi hasil evaluasi/penilaian remaja

terhadap dirinya. Hasil evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidup remaja ini disebut

dengan psychological well-being, yang dilihat dari keenam dimensinya. Keenam

dimensi tersebut adalah self-acceptance, positive relations with others, personal growth,

purpose in life, environmental mastery, autonomy. Self-acceptance adalah penilaian

remaja tentang dirinya yang harus berjuang untuk merasa nyaman dengan dirinya

sendiri. Positive relations with others adalah penilaian remaja tentang kemampuannya

untuk mempererat hubungan dan keberadaan hubungan dengan orang lain yang hangat,

intim, saling percaya, berempati, dan bekerjasama dengan orang lain. Personal growth

adalah penilaian remaja tentang usahanya yang berkelanjutan untuk menilai dirinya

untuk dan telah bertumbuh serta berkembang, berubah dalam cara yang lebih efektif,

Page 14: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

5

mau terbuka pada pengalaman-pengalaman baru, dan mampu merealisasikan

potensinya. Purpose in life merupakan penilaian remaja tentang maksud dan tujuan

dirinya untuk hidup, yang meliputi adanya tujuan hidup dan penghayatan bahwa hidup

itu mempunyai arah. Environmental mastery adalah penilaian remaja tentang

kemampuannya untuk mengenali kebutuhan personalnya, berperan aktif dalam

mengatur dan mengontrol kejadian sehari-hari, mengefektifkan kesempatan yang ada

untuk menciptakan kondisi tertentu yang sesuai dengan kebutuhannya tersebut.

Autonomy adalah penilaian remaja tentang refleksi dirinya di dalam pencarian akan

penentuan diri (self-determination) dan otoritas personal/ kemandirian dalam

masyarakat yang terkadang mendorong pada sikap obedience dan compliance ( Savitri,

Kiswantomo, dan Ratnawati, t.t).

Langford dan Badeau (2013) mengkategorikan beberapa dampak positif

psychological well-being pada remaja yaitu mengembangkan dan membangun relasi

dalam komunitas sosial; berhasil dalam berinteraksi dengan komunitasnya; dapat

mengenali, mengetahui dan mengekspresikan emosinya dapat menyalurkan emosinya

ke dalam perilaku yang baik, memiliki kebugaran dan kesehatan fisik, dan memiliki

tujuan hidup.

Menurut Keyes, Shmotkin, dan Ryff (2002), faktor – faktor yang mempengaruhi

psychological well-being (PWB) adalah usia, jenis kelamin, perbedaan status sosial,

pendidikan dan pekerjaan, dukungan sosial, kesehatan fisik dan kepribadian. Usia,

menjelaskan posisi individu dalam struktur sosial. Faktor perbedaan status sosial,

beberapa penelitian telah membuktikan bahwa semakin seseorang mementingkan tujuan

yang berhubungan dengan materi dan finansial, semakin rendah tingkat well-being

orang tersebut (Ryan dan Deci, 2001). Ryff dkk. telah meneliti dampak kemiskinan

Page 15: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

6

terhadap psychologycal well-being, dimana hasil dari penelitian tersebut menunjukkan

bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan

hidup, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan pribadi.

Mazaya dan Supradewi (2011) berpendapat bahwa remaja yang tinggal di panti

asuhan secara tidak langsung kehilangan fungsi dan peran keluarganya, dimana fungsi

dan peran dalam keluarga ini sangat dibutuhkan remaja dalam melaksanakan tugas

perkembangannya. Individu yang tinggal di panti asuhan akan dihadapkan pada segala

dinamika kehidupan dan problema yang dijalaninya. Dalam menjalani kehidupannya,

remaja yang tinggal di panti akan cenderung untuk mudah putus asa bila tidak memiliki

tujuan hidup, harapan, dan hal-hal berharga yang ingin dicapai. Hal itu dapat

menyebabkan remaja yang hidup di panti asuhan kesulitan mewujudkan kesejahteraan

psikologis (psychological well-being).

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Tsegaye (2013)

menemukan adanya perbedaan psychological well-being antara remaja yang tinggal di

panti asuhan dan yang tidak tinggal di panti asuhan di Addis Ababa ( dengan t hitung =

3.41 dengan p < 0.05 ). Dengan mean anak yang tinggal di Panti Asuhan adalah 62.5

dan mean pada remaja yang tidak tinggal di Panti Asuhan adalah 64,14. Hal tersebut

menunjukkan bahwa psychological well-being remaja yang tidak tinggal di panti asuhan

lebih tinggi dibandingkan dengan psychological well-being remaja yang tinggal di panti

asuhan.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Katyal (2013) menunjukkan bahwa

terdapat perbedaan psychological well-being antara anak yang tinggal di Panti Asuhan

dan anak yang tidak tinggal di Panti Asuhan di India dengan ( t = 2.0063 dan p < 0,05 ).

Page 16: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

7

Dengan mean anak yang tinggal di Panti Asuhan adalah 56,64 dan mean pada remaja

yang tidak tinggal di Panti Asuhan adalah 54,83. Hal ini berarti anak yang tinggal di

Panti Asuhan memiliki psychological well-being lebih tinggi dari anak yang tinggal

diluar Panti Asuhan.

Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk meneliti “Apakah ada

perbedaan psychological well-being antara remaja yang tinggal di panti asuhan dan

yang tinggal bersama kedua orang tua dengan status ekonomi rendah di Wonosobo”.

Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah “terdapat perbedaan psychological well-

being pada remaja dari keluarga berstatus ekonomi rendah ditinjau dari ekonomi rendah

ditinjau dari tempat tinggal ( besama orang tua & di Panti Asuhan ) di Wonosobo”

dengan remaja yang tinggal bersama kedua orangtuanya memiliki psychological well-

being lebih tinggi dari pada remaja yang tinggal di panti asuhan.

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Menurut

Azwar (2008), pada pendekatan penelitian kuantitatif, data penelitian hanya akan dapat

diinterpretasikan dengan lebih objektif apabila diperoleh lewat suatu proses pengukuran

di samping valid dan reliabel, juga objektif.

Variabel-variabel yang akan dilibatkan dalam penelitiani adalah:

a. Variabel terikat (Y) : Psychological Wellbeing

b. Variabel bebas (X) : Panti Asuhan dan tinggal dengan orang tua

Page 17: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

8

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah remaja panti asuhan di kota Wonosobo

yang keseluruhannya masih memiliki ayah dan ibu namun tinggal di panti asuhan

dikarenakan memiliki status ekonomi rendah. Sedangkan populasi remaja yang tinggal

bersama orang tua adalah remaja SMA di Wonosobo dengan kriteria remaja yang

memiliki status ekonomi rendah. Sedangkan sampel dari penelitian ini berjunlah 50

remaja dari panti asuhan Darul Hadlonah, panti asuhan AL-Mannan, dan panti asuhan

Peduli Pendidikan di Wonosobo dan 50 remaja dari SMA Kristen 01 Wonosobo.

Kriteria sampel

Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: buruh tani, nelayan, buruh

bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah

Rp. 600.000,- per bulan. Orang tua siswa terdaftar sebagai peserta PKH (Program

Keluarga Harapan). Memiliki kartu miskin. Anak mendapat Bantuan Siswa Miskin

(BSM).

Tehnik Pengambilan Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang ditentukan dengan teknik tertentu

sehingga mempunyai sifat yang sama dengan populasi (Purwanto 2008). Tehnik

Sampling adalah merupakan tehnik pengambilan sampel. Teknik pengambilan sampel

yang digunakan dalam penelitian ini adalah Purposive sampling yaitu pengambilan

sampel yang didasarkan pada keriteria penelitian.

Page 18: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

9

Alat Ukur Penelitian

Pengukuran psychological wellbeing yang dilakukan menggunakan instrument RPWB (

Ryff psychological well being) yang di kembangkan oleh Ryff Instrument ini mengukur

psychological wellbeing seseorang melalui enam aspek yaitu autonomy, enviromental

mastery, personal growth, positive relation, purpose in life, dan self acceptance yang

terdiri dari 42 item. Pengukuran RPWB menggunakan enam point skala likert, dimana 1

menunjukan sangat setuju, 2 menunjukan setuju, 3 agak setuju, 4 agak tidak setuju, 5

tidak setuju, dan 6 sangat tidak setuju.

Selanjutnya alat ukur yang digunakan telah diuji lagi dengan uji daya diskriminasi item

dan reliabilitasnya menggunakan bantuan SPSS.17 for Windows dengan standar

validitas.

Berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas Skala psychological well-

being yang terdiri dari 42 item, pada pengujian pertama terdapat 5 item yang gugur

yaitu 3 item yang terdapat pada aspek personal growth, 1 item yang terdapat pada aspek

purpose in life, dan 1 item yang terdapat pada aspek positive relation dan setelah

dilakukan pengujian ulang didapat 37 item yang valid. Daya diskriminasi item dengan

koefisien korelasi item totalnya bergerak antara (0,339-0,748). Sedangkan teknik

pengukuran untuk menguji reliabilitas adalah menggunakan teknik koefisien Alpha

Cronbach, sehingga dihasilkan koefisien Alpha pada Skala psychological well-being

sebesar 0,946. Hal ini berarti skala psychological well-being tergolong reliable.

Berdasarkan uji reliabilitas per aspek diperoleh hasil Autonomy α = 0,698 Enviromental

α = 0,722, personal growth α = 0,531 , positive relation α = 0,739, purpose in life α =

0,746, self acceptance α = 0,765.

Page 19: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

10

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji t (Independent

Sample t test) dengan bantuan SPSS. 17 for Windows. Beberapa pengujian sebelum

dilakukan uji perbedaan atau uji t adalah pengujian terhadap normalitas data dan

homogenitas varian.

HASIL PENELITIAN

Uji Asumsi

Pada Skala psychological well-being pada kelompok panti diperoleh nilai K-S-Z

sebesar 0,618 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,839 (p>0,05).

Sedangkan pada skor psychological well-being pada kelompok non panti memiliki nilai

K-S-Z sebesar 0,439 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,991. Dengan

demikian kedua jenis kelompok berdistribusi normal.

Uji Homogenitas

Dari tabel di atas dapat dilihat nilai signifikansi dari uji homogenitas dari sampel

psychological well-being pad remaja yang tinggal di panti dan remaja yang tinggal

bersama kedua orang tua menunjukan bahwa nilai koefisien Levene Statistic sebesar

0,412. Dengan signifikansi sebesar 0,522. Karena signifikansi > 0,05, sehingga dapat

dikatakan bahwa penelitian ini bersifat homogen atau memiliki varians yang sama.

Page 20: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

11

Analisa Deskriptif

Tabel 1

Tabel Statistik Deskriptif

Kategori Skor psychological well-being remaja yang tinggal di panti asuhan dan

remaja yang tinggal bersama kedua orangtua

Interval Kategori Panti % NonPanti

%

185≤x<222 Sangat Tinggi 0 0% 12 24%

151≤x<185 Tinggi 17 34% 26 52%

113≤x<151 Sedang 23 46% 12 24%

74≤x<113 Rendah 10 20% 0 0%

37≤x<74 Sangat Rendah 0 0% 0 0%

Jumlah 50 100% 50 100%

Mean 149.12 162.94

StDev 20.701 23.631

Data tersebut menunjukan bahwa sebanyak 17 (34%) remaja yang tinggal di

panti asuhan memiliki psychological well-being pada kategori tinggi, sebanyak 23

(46%) remaja yang tinggal di panti asuhan memiliki psychological well-being pada

kategori sedang. Dan sebanyak 10 (20%) remaja yang tinggal di panti asuhan memiliki

psychological well-being pada kategori rendah. Dalam hal ini psychological well-being

remaja yang tinggal di panti asuhan tergolong kategori sedang.

Sedangkan 12 (24%) remaja yang tinggal bersama kedua orang tua memiliki

psychological well-being pada kategori sangat tinggi, dan 26 (52%) remaja yang tinggal

bersama kedua orang tua memiliki psychological well-being pada ketegori tiggi, dan 12

Page 21: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

12

(24%) remaja yang tinggal bersama kedua orang tua memiliki psychological well-being

pada kategori sedang. Dalam hal ini psychological well-being remaja yang tinggal

bersama kedua orang tua tergolong kategori tinggi.

Tabel 2

Tabel Hasil Uji-t psychologicall well-being pada remaja yang tinggal di panti

asuhan dan tinggal bersama kedua orang tua

Independent Samples Test

Levene's Test for

Equality of

Variances

t-test for Equality of Means

95%

Confidence

Interval of the

Difference

F Sig. T dfSig. (2-

tailed)

Mean

Difference

Std. Error

DifferenceLower Upper

PWB

Equal

variances

assumed

.412 .522 -3.111 98 .002 -13.820 4.443-

22.637

-

5.003

Equal

variances not

assumed

-3.111 96.331 .002 -13.820 4.443-

22.639

-

5.001

Hasil perhitungan uji beda (uji-t), diperoleh (t-hitung = -3,111 dengan p <

0,05). Berdasarkan hasil rata – rata anak yang tinggal di Panti Asuhan memperoleh hasil

149,12 berada pada kategori sedang, sedangkan anak yang tinggal bersama kedua orang

tua memperoleh hasil 162,94 berada pada kategori tinggi. jadi, psychological well-

being remaja yang tinggal di Panti Asuhan lebih rendah dari remaja yang tinggal

bersama kedua orang tua. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan psychological

Page 22: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

13

well-being pada remaja dari keluarga berstatus ekonomi rendah ditinjau dari tempat

tinggal (bersama orang tua & di Panti Asuhan) di Wonosobo.

Tabel 3

Perbedaan psychological well-being pada remaja dari keluarga berstatus ekonomi

rendah ditinjau dari tempat tinggal (bersama orang tua & di Panti Asuhan) di

Wonosobo ditinjau dari Aspek.

z t Sig. (2-tailed)

N PANTI NON-PANTI

Std.Deviation

Mean Std.Deviation

Mean

Autonomy -1,864 0,065 50 4,285 29,74 4,407 31,36

EnviromentalMastery

-2,790 0,006 50 4,349 28,02 4,678 30,54

Personal Growth -3,837 0,000 50 2,404 16,12 2,745 18,34

Positive Relation -0,115 0,000 50 4,116 22,40 4,067 25,54

Purpose in Life -2,475 0,015 50 3,859 24,38 4,290 26,40

Self Acceptance -2,439 0,017 50 4,179 28,46 5,200 30,76

Berdasarkan tabel di atas, diperoleh hasil uji t setiap aspek psychological well-

being sebagai berikut. Pada aspek autonomy diperoleh ( t hitung = -1,864 dan p > 0,05

), dengan remaja yang tinggal di panti asuhan memperoleh hasil rata-rata 29,74

sedangkan remaja yang tinggal bersama kedua orang tua memperoleh hasil rata-rata

31,36. Pada aspek Enviromental Mastery diperoleh ( t hitung = -2,790 dan p < 0,05 ),

dengan remaja yang tinggal di panti asuhan memperoleh hasil rata-rata 28,02 sedangkan

remaja yang tinggal bersama kedua orang tua memperoleh hasil rata-rata 30,54. Pada

aspek personal growth diperoleh ( t hitung = -3,837 dan p< 0,05 ), dengan remaja yang

tinggal di panti asuhan memperoleh hasil rata-rata 16,12 sedangkan remaja yang tinggal

Page 23: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

14

bersama kedua orang tua memperoleh hasil rata-rata 18,34 dengan. Pada aspek positive

relation diperoleh ( t hitung = -o,115 dan p< 0,05 ), dengan remaja yang tinggal di panti

asuhan memperoleh hasil rata-rata 22,40 sedangkan remaja yang tinggal bersama kedua

orang tua memperoleh hasil rata-rata 25,54. Pada aspek purpose in life diperoleh ( t

hitung = -2,475 dan p< 0,05 ), dengan remaja yang tinggal di panti asuhan memperoleh

hasil rata-rata 24,38 sedangkan remaja yang tinggal bersama kedua orang tua

memperoleh hasil rata-rata 26,40. Pada aspek self-acceptance diperoleh ( t hitung = -

2,439 dan p< 0,05 ), dengan remaja yang tinggal di panti asuhan memperoleh hasil rata-

rata 28,46 sedangkan remaja yang tinggal bersama kedua orang tua memperoleh hasil

rata-rata 30,76.

Berdasarkan hasil pembahasan diatas menunjukan bahwa ada perbedaan

psychological well-being antara remaja yang tinggal di Panti Asuhan dan Remaja yang

tinggal bersama kedua orang tua dengan status ekonomi rendah pada aspek

environmental mastery, personal growth, positive relation, purpose in life, dan self

acceptance.

Pembahasan

Berdasarkan hasil analisa data penelitian mengenai perbedaan psychological well

being antara remaja yang tinggal di Panti Asuhan dan remaja yang tinggal bersama

kedua orang tua dengan status ekonomi rendah menggunakan program SPSS versi 17.0,

diperoleh (t hitung = -3,111 dengan p< 0,05). Berdasarkan hasil rata – rata anak yang

tinggal di Panti Asuhan memperoleh hasil 149,12, sedangkan anak yang tinggal

bersama kedua orang tua memperoleh hasil 162,94. Dapat disimpulkan bahwa terdapat

perbedaan psychological well-being pada remaja dari keluarga berstatus ekonomi

rendah ditinjau dari tempat tinggal (bersama orang tua & di Panti Asuhan) di

Page 24: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

15

Wonosobo, dengan psychological well-being remaja yang tingga di Panti Asuhan lebih

rendah dari pada remaja yang tinggal bersama kedua orangtua. Hal ini sejalan

penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Tsegaye ( 2013 ) menemukan adanya

perbedaan psychological well-being antara remaja yang tinggal di panti asuhan dan

yang tidak tinggal di panti asuhan di Addis Ababa ( dengan t hitung = 3.41 dengan p <

0.05 ).

Perbedaan tingkat psychological well being pada remaja yang tinggal di Panti

Asuhan dan remaja yang tinggal bersama orang tua ini salah satu faktornya mungkin

dipengaruhi oleh dukungan sosial dari keluarga karena keterlibatan orang tua

mempengaruhi psychological well being remaja terutama dalam hal harga diri, evaluasi

diri dan hubungan dengan orang lain (Amato, 1994;Amato & Ochiltree, 1986; Buri et

al., 1987; Dekovic & Meeus, 1997; Dmitrieva et al, 2004; Flouri & Buchanan, 2003;

GECAS, 1971; Gibson & Jefferson, 2006; Roberts & Bengtson, 1993; Wilkinson,2004).

Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Demo dan Acock (

1996 ) menemukan bahwa fungsi keluarga yang baik akan berdampak positif pada

kesejahteraan psikologis (psychological well-being) seorang remaja. Selain itu Lazzari

(2000) mengemukakan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi psychological well-being pada remaja. Sebaliknya dukungan sosial dari

keluarga kurang didapatkan pada remaja yang tinggal di Panti Asuhan.

Budiharjo (2015) menyatakan Panti Asuhan sebagai lembaga pengasuhan anak

tentu memiliki peran yang strategis dalam mewujudkan keseimbangan antara asah, asih

dan asuh dalam proses pengasuhan anak. Namun pada prakteknya Panti Asuhan hanya

dominan dalam pemenuhan kebutuhan asuh dan asah. Pemenuhan kebutuhan asuh

terlihat dari pangan, akan, minum dan tempat tinggal anak yang disediakan oleh Panti

Page 25: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

16

Asuhan terhadap anak asuh. Pemenuhan akan kebutuhan asah tercermin dari pendidikan

yang disediakan oleh Panti asuhan untuk anak, baik pendidikan umum maupun

pendidikan agama melalui sekolah yang disediakan oleh Panti asuhan. Padahal konsep

dasar pengasuhan anak menitik beratkan pada kemampuan lingkungan untuk menjaga

tumbuh kembang anak secara optimal melalui pendekatan asah, asih dan asuh. Anak

membutuhkan stimulasi mental (asah) yang menjadi cikal bakal dalam proses belajar

(pendidikan dan pelatihan). Kebutuhan akan kasih sayang (asih) dari orang tua akan

menciptakan ikatan yang erat (bounding) dan kepercayaan dasar (basic trust) antara

anak dan orang tua. Kebutuhan fisik biomedis (asuh) meliputi pangan, gizi dan

pemenuhan kebutuhan dasar anak. Namun di Panti Asuhan anak asuh kurang mendapat

kebutuhan kasih sayang (asih). Hal ini juga didukung Dalam Standar Nasional

Pengasuhan Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (2011) mengemukakan bahwa

banyak anak yang sedih tinggal di panti asuhan karena jauh dari keluarga. Selain itu,

anak yang tinggal di panti juga mendapat makanan yang kurang layak, keharusan kerja

di panti, dan aturan yang ketat. Mereka juga mengalami kekhawatiran pada masa

depannya karena mereka kurang mendapat dukungan dari keluarga. Selain itu,

pengasuhan di panti asuhan ditemukan sangat kurang. Hampir semua fokus ditujukan

untuk memenuhi kebutuhan kolektif, khususnya kebutuhan materi sehari-hari sementara

kebutuhan emosional anak-anak sendiri tidak dipertimbangkan (Wahyuningrum dan

Tobing, 2013). Kurangya dukungan sosial dan kasih sayang kepada remaja yang tinggal

di Panti Asuhan dapat berdampak negatif seperti mengalami depresi dan kehilangan

tujuan hidup. Hal tersebut didukung dari penelitian yang dilakukan oleh Sengedo dan

Nambi (1997) yang menemukan bahwa remaja yang tinggal di Panti Asuhan memiliki

potensi yang lebih besar mengalami depresi dan kehilangan tujuan hidup. Hal tersebut

Page 26: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

17

membuat remaja yang tinggal di Panti Asuhan tidak memiliki psychological well-being

yang baik.

Pada pengujian setiap aspek psychological well-being juga ditemukan perbedaan

antara remaja yang tinggal di Panti Asuhan dengan remaja yang tinggal bersama kedua

orang tua dengan status ekonomi rendah pada aspek pada aspek environmental mastery,

personal growth, positive relation, purpose in life, dan self acceptance. Dan tidak

ditemukan perbedaan pada aspek autonomy.

Pada aspek autonomy tidak ditemukan perbedaan psychological well-being antara

remaja yang tinggal di Panti Asuhan dengan remaja yang tinggal bersama kedua orang

tua dengan (t hitung = - 1,864, p > 0,065). Remaja yang tinggal di panti asuhan

memperoleh hasil rata-rata 29,74 sedangkan remaja yang tinggal bersama kedua orang

tua memperoleh hasil rata-rata 31,36. Dari penelitian yang dilakukan oleh Tsayage

bahwa Hal ini dapat terjadi karena remaja yang tinggal di Panti Asuhan telah diberikan

hak untuk mengekspresikan diri mereka sebagai individu melalui cara-cara yang

sederhana contohnya termasuk memungkinkan mereka untuk menghiasi tempat tidur

mereka, membiarkan mereka memasang gambar, menulis nama-nama mereka, membuat

benda-benda kecil - sesuatu yang mengekspresikan diri mereka dan bahwa mereka

benar-benar penting, memiliki nilai, dan tidak dilupakan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Savitri dkk (t.t) mengenai gambaran

psychological well-being remaja yang tinggal di Panti Asuhan menemukan bahwa

dimensi autonomy tinggi karena mereka telah diajarkan untuk dapat menentukan

hidupnya sendiri dan hidup mandiri. Remaja-remaja tersebut diberikan tugas-tugas

harian seperti menyapu, mencuci, menyetrika, mengerjakan tugas sekolah, dan lainnya

Page 27: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

18

dan diajarkan untuk mengerjakan tugas-tugas tersebut secara bertanggung jawab. Sejak

kecil mereka juga diajarkan untuk mengambil keputusan sendiri, tetapi ibu asuh dan

Pembina ikut membantu dalam memberikan saran, nasihat, arah, dan pertimbangan

yang dibutuhkan bagi remaja sebelum memutuskan.

Sedangkan pada remaja yang tinggal bersama kedua orangtua kemandirian

mungkin dibentuk dari lingkungan keluarga. Hal ini didukung oleh (Setiadi, 2010)

bahwa keutuhan keluarga sangat diperlukan dan penting dalam pendewasaan anak.

Kehadiran orang tua memungkinkan adanya rasa kebersamaan sehingga memudahkan

orang tua mewariskan nilai-nilai moral yang dipatuhi dan ditaati dalam berperilaku,

sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang mandiri. Oleh

karena itu, mereka membutuhkan pertolongan dari orang dewasa yaitu melalui

pendidikan dan pelatihan dalam hal ini adalah keluarga, terutama orang tua. Untuk

dapat mandiri seseorang membutuhkan dukungan dan dorongan dari keluarga serta

lingkungan sekitarnya, agar dapat mencapai otonomi atas dirinya sendiri.

Pada aspek Enviromental Mastery diperoleh hasil uji beda ( t = -2,790 dan p <

0,05). Hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan pada aspek environmental mastery

anatara remaja yang tinggal di Panti Asuhan dengan remaja yang tinggal bersama kedua

orang tua. Remaja yang tinggal di panti asuhan memperoleh hasil rata-rata 28,02

sedangkan remaja yang tinggal bersama kedua orang tua memperoleh hasil rata-rata

30,54. Hal ini berarti Enviromental Mastery remaja yang tinggal di panti asuhan lebih

rendah dari pada remaja yang tinggal bersama kedua orangtua dengan status ekonomi

rendah. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Savitri, Kisantomo,

dan Ratnawati (t.t) bahwa remaja yang tinggal di Panti Asuhan memiliki environmental

mastery yang rendah. Hal tersebut terjadi karena remaja yang tinggal di Panti Asuhan

Page 28: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

19

tidak mendapat kesempatan yang efektif untuk mencapai keperluan pribadi mereka, dan

mereka cenderung menyerah dan menerima keadaan tanpa berusaha untuk mendapatkan

apa yang mereka inginkan dan mereka perlukan. Selain itu, rendahhnya environmental

mastery pada remaja yang tinggal di Panti Asuhan mungkin dipengaruhi oleh pola asuh

yang diterapkan oleh pengasuh di Panti asuhan. Berdasarkan survey yang pernah

dilakukan oleh Kristanti (2013), para pengasuh panti asuhan mengakui bahwa anak asuh

mereka kurang mendapatkan perhatian. Akibatnya yaitu mereka tidak bisa

mengandalkan orang lain, pendiam, pemalu, tidak berani tampil dan tidak aktif. Jadi

apabila pengasuh menerapkan pola asuh yang tidak tepat akan mengakibatkan remaja

memiliki penilaian terhadap diri yang renda, merasa tidak mampu, dan akan mengalami

keraguan akan dirinya.

Menurut Pattimahu (t.t) keluarga memiliki peran penting dalam perkembangan

remaja karena dari anggota keluarga tersebut yaitu ayah, ibu dan saudara - saudaranya,

anak memperoleh segala kemampuan dasar, baik intelektual maupun sosial. Bahkan

penyaluran emosi banyak ditiru dan dipelajarinya dari anggota-anggota keluarganya.

Sikap, pandangan dan pendapat orang tua atau anggota keluarganya dijadikan model

oleh anak dan ini kemudian menjadi sebagian dari tingkah laku anak itu sendiri.

Keberadaan figur dan peran orangtua yang jelas membuat anak merasa adanya

penerimaan yang hangat dari orangtua berupa pemberian rasa aman dengan menerima

anak, menghargai kegiatannya dan memberikan patokan yang jelas sehingga anak

dengan sendirinya akan merasa yakin dengan kemampuannya dan akan lebih percaya

diri. Sehingga remaja yang dibesarkan oleh kedua orang tuanya akan bisa menentukan

cita-cita mereka. Hal ini membantu remaja untuk mengetahui apa yang mereka inginkan

dan butuhkan, serta berusaha untuk mendapatkannya.

Page 29: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

20

Pada aspek personal growth diperoleh hasil uji beda ( t = -3,837 dan p<0,05) itu

berarti terdapat perbedaan dalam aspek personal growth antara remaja yang tinggal di

Panti asuhan dengan remaja yang tinggal bersama kedua orang tua. Remaja yang tinggal

di panti asuhan memperoleh hasil rata-rata 16,12 sedangkan remaja yang tinggal

bersama kedua orang tua memperoleh hasil rata-rata 18,34. Hal ini berarti personal

growth remaja yang tinggal di panti asuhan lebih rendah dari remaja yang tinggal

bersama kedua orangtua dengan status ekonomi rendah. Dalam Standar Nasional

Pengasuhan Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (2011) mengemukakan bahwa

banyak anak yang sedih tinggal di panti asuhan karena jauh dari keluarga. Selain itu,

anak yang tinggal di panti juga mendapat makanan yang kurang layak, keharusan kerja

di panti, dan aturan yang ketat. Mereka juga mengalami kekhawatiran pada masa

depannya karena mereka kurang mendapat dukungan dari keluarga. Selain itu,

pengasuhan di panti asuhan ditemukan sangat kurang. Hampir semua fokus ditujukan

untuk memenuhi kebutuhan kolektif, khususnya kebutuhan materi sehari-hari sementara

kebutuhan emosional anak-anak sendiri tidak dipertimbangkan (Wahyuningrum dan

Tobing, 2013). Karena aturan yang ketat dalam Panti Asuhan, keharusan remaja kerja di

Panti dan tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis yang mampu menumbuhkan potensi

yang ada dalam diri remaja itu dapat menghambat remaja dalam mengembangkan

potensi yang ada di dalam dirinya.

Latipun (1999) mengemukakan bahwa keluarga yang lengkap dan fungsional

serta mampu membentuk homeostatis akan meningkatkan kesehatan mental para

anggota keluarganya, dan kemungkinan dapat meningkatkan ketahanan anggota

keluarganya dari gangguan gangguan mental dan ketidakstabilan emosional anggotanya.

Hal ini tidak lepas dari kemampuan setiap anggota keluarga, khususnya orangtua yang

Page 30: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

21

menciptakan iklim yang dapat mengembangkan kondisi homeostatis. Jika kebutuhan

fisik, sosial, dan psikologis remaja terpenuhi mereka akan lebih mudah untuk

berkembang. Hal tersebut yang mungkin membuat remaja yang tinggal bersama kedua

orang tua memiliki personal growth yang lebih tinggi dari pada remaja yang tinggal di

Panti Asuhan.

Pada aspek positive relation diperoleh hasil uji beda ( t = 0,115 dan p<0,05) itu

berarti terdapat perbedaan pada aspek positive relation pada remaja yang tinggal di

Panti Asuhan dengan remaja yang tinggal bersama kedua orangtua. Remaja yang tinggal

di panti asuhan memperoleh hasil rata-rata 22,40 sedangkan remaja yang tinggal

bersama kedua orang tua memperoleh hasil rata-rata 25,54. Hal ini berarti positive

relation remaja yang tinggal di panti asuhan lebih rendah dari remaja yang tinggal

bersama kedua orangtua dengan status ekonomi rendah. Kurangnya attachment yang

diperoleh remaja yang tinggal di Panti Asuhan, membuat remaja mengembangkan

mistrust baik kepada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sosialnya (Tejalaksana

M.K., 2009), yang pada akhirnya membuat mereka merasa rendah diri dalam pergaulan

mereka sehari-hari. Hal ini didukung degan penelitian yang dilakukan oleh Hartini

(2001) menjelaskan bahwa anak Panti Asuhan memiliki deskripsi atau gambaran

kebutuhan psikologis seperti kepribadian yang inferior, pasif, apatis, menarik diri,

mudah putus asa, dan penuh ketakutan dan kecemasan, sehingga anak panti asuhan akan

sulit menjalin hubungan sosial dengan orang lain.

Sedangkan remaja yang tinggal bersama orang tua cenderung memiliki positive

relation yang baik terhadap lingkungan. Hal ini mungkin terjadi karena orang tua

memiliki fungsi sosialisasi yang merupakan tugas orang tua dalam mendidik anaknya.

Tidak hanya mencangkup pengembangan seorang anak agar menjadi pribadi yang

Page 31: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

22

mantap, namun upaya membantu dan mempersiapkannya menjadi anggota masyarakat

yang baik. Sehingga anak mampu menjalin relasi yang positif dengan masyarakat dan

lingkungannya (Soelman, 1994).

Pada aspek purpose in life diperoleh uji beda (t = - 2,475 dan p < 0,05) dari hasil

tersebut dapat diketahui bahwa ada perbedaan pada aspek purpose in life remaja yang

tinggal di Panti Asuhan dengan remaja yang tinggal bersama kedua orang tua. Remaja

yang tinggal di panti asuhan memperoleh hasil rata-rata 24,38 sedangkan remaja yang

tinggal bersama kedua orang tua memperoleh hasil rata-rata 26,40. Hal tersebut berarti

bahwa purpose in life remaja yang tinggal di panti asuhan lebih rendah dari remaja

yang tinggal dengan kedua orangtua dengan status ekonomi rendah. Hal ini mungkin

terjadi karena Panti Asuhan kadang masih diberi label negatif di kalangan masyarakat,

(Mazaya dan Supradewi, 2011). Hartini (2001) menjelaskan bahwa anak Panti Asuhan

memiliki deskripsi atau gambaran kebutuhan psikologis seperti kepribadian yang

inferior, pasif, apatis, menarik diri, mudah putus asa, dan penuh ketakutan dan

kecemasan, sehingga remaja yang tinggal di Panti Asuhan rentan kehilangan tujuan

hidupnya.

Pada aspek self acceptance diperoleh uji beda ( t = - 2,436 dan p < 0,05) dari hasil

tersebut dapat diketahui bahwa ada perbedaan pada aspek self acceptance remaja yang

tinggal di Panti Asuhan dengan remaja yang tinggal bersama kedua orang tua. Remaja

yang tinggal di panti asuhan memperoleh hasil rata-rata 28,46 sedangkan remaja yang

tinggal bersama kedua orang tua memperoleh hasil rata-rata 30,76. Hal tersebut berarti

bahwa self acceptance remaja yang tinggal di panti asuhan lebih rendah dari remaja

yang tinggal dengan kedua orangtua dengan status ekonomi rendah. Anak panti asuhan

sering mengalami depresi, gelisah dan mempunyai kesukaran seumur hidup dalam

Page 32: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

23

mengembangkan hubungan yang intim (Putri, Agusta, dan Najahi, 2013). Hambatan

dalam mengembangkan hubungan yang intim, dapat berpengaruh terhadap interaksi

individu dengan lingkungan sekitarnya. Hidup di panti asuhan dengan aturan yang

sudah ada tentu akan membuat remaja merasa di kekang. Akibat dari perasaan di

kekang ini bisa membuat remaja menjadi membangkang atau sebaliknya menjadi

tertutup dan membatasi dirinya dengan dunia luar. Dan membuat remaja menganggap

dirinya berbeda dari individu seusianya, hal ini tentu akan mempengaruhi penerimaan

diri individu (Putri, Agusta, dan Najahi, 2013).

Salah satu hal yang dapat mempengaruhi penerimaan diri adalah Dukungan sosial.

Menurut Sayless Dukungan sosial dari keluarga dapat berupa pemberian perhatian,

materi nyata, semangat, sehingga dapat menurunkan ketegangan. Hal tersebutlah yang

mungkin membuat remaja yang tinggal bersama kedua orang tua dapat lebih mudah

menerima dirinya walaupun mereka hidup dengan status ekonomi rendah.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas tentang perbedaan psychologycal

well-being antara remaja yang tinggal di Panti Asuhan dan remaja yang tinggal bersama

kedua orangtua dengan status ekonomi rendah, maka dapat disimpulkan Bahwa ada

perbedaan psychologycal well-being antara remaja yang tinggal di Panti Asuhan dan

remaja yang tinggal bersama kedua orangtua dengan status ekonomi rendah di

Wonosobo. Remaja yang tinggal bersama kedua orang tua memiliki psychological well-

being lebih tinggi dari pada remaja yang tinggal di Panti Asuhan. Pada pengujian setiap

aspek ditemukan perbedaan pada aspek environmental mastery, personal growth,

positive relation, purpose in life, dan self acceptance. Dan tidak ditemukan perbedaan

Page 33: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

24

pada aspek autonomy. Dari keseluruhan aspek remaja yang tinggal bersama orangtua

memperoleh rata – rata lebih tinggi dari pada remaja yang tingal di Panti Asuhan.

Page 34: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

25

DAFTAR PUSTAKA

Amato, P. R. (1994). Father-child Relations, Motherchild Relations, and Offspring

Psychological Wellbeing in Early Adulthood. Journal of Marriage and Family,

56,1031–1042. Diakses pada 13 Maret,

2016.http://www.midus.wisc.edu/findings/pdfs/853.pdf.

Amawidyati, S.A.G., & Utami, M.S, (t.t). Religiusitas dan Psychologycal Well Being

pada Korban Gempa. Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada

Vol. 32 No. 02. 164-176.

Apriliana, DF.(2011). Kemiskinan Sebagai Dampak dari Globalisasi. Skripsi.

Yogyakarta : STIMIK AMIKOM Pendidikan Pancasila.

Ariyanti. (2015, 15 September). Orang Miskin Paling Banyak di Provinsi Ini. Liputan

6.com. http://bisnis.liputan6.com/read/2318060/orang-miskin-paling-banyak-di-

provinsi-ini

Brooks, J. (2008). The Process of Parenting. 7th edition. Boston : Mc.GrawHill.

Budiharjo. (2015). Pendidikan Pengasuh Pada Panti Sosial Asuhan Anak Milik

Organisasi Masyarakat Islam di DKI Jakarta. Jurnal Studia Islamika Vol. 12 No.

01, 19-41

Demo, David H., & Alan C. Acock. (1996). Family structure, family process, and

adolescent well-being. Journal of Research on Adolescence. 6. 457-488.

Hartini, N. (2001). Deskripsi Kebutuhan Psikologi pada Anak Panti Asuhan. Insan

Media Psikologi Vol. 03 No. 02, 109-118.

Page 35: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

26

Hyoscyamina, DE. (2011). Peran Keluarga Dalam Membangun Karakter Anak. Jurnal

Psikologi UNDIP. 10. 2. 144-152.

Kementrian Sosial Republik Indonesia.co.id. (2008). Kurangnya Pengasuhan di Panti

Asuhan.http://www.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=67

4%29

Kompas.com. (2015). Penduduk Miskin Indonesia Bertambah 860.000 Orang.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/09/15/142220626/Penduduk.Miskin

.Indonesia.Bertambah.860.000.Orang

Kristanti. (2013). Stress pada Remaja yang Tinggal di Panti Asuhan. Jurnal Online

Psikologi Vol.01 No. 02, 566-580. Diakses pada 22 Maret 2016.

http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jop/article/download/1661/1757

Langford, B. H., & Badeau, S. (2013, August). A plan for investing in the social,

emotional, and physical well-being of older youth in foster care: Connected by 25.

Retrieved from www.

fostercareworkgroup.org/media/resources/FCWG_WellBeing

_Investment_Agenda.pdf

Latipun. (1999). Kesehatan Mental Malang : UMM Press.

Lazzari, S.A.D., (2000). Emotional Intelligence, Meaning, and Psychological Well

Being: A Comparison Between Early and Late Adolescence. Thesis. Faculty of

Graduate Studies Graduate Counselling Psychology Program Trinity Western

University.

Page 36: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

27

Lesmana, W.I.,& Budiani, M.S., (2013). Hubungan Antara Harga Diri dan Tingkat

Stres dengan Psychological Well Being Pada Remaja di Panti Asuhan

Muhammadiyah Wiyung dan Karangpilang Surabaya. Jurnal Online Universitas

Negri Surabaya. 02. 02.

Mazaya, K.N.,& Supradewi, R., (2011). Konsep Diri dan Kebermaknaan Hidup Pada

Remaja di Panti Asuhan. Proyeksi. 6. 2. 103-112.

Narwoko. 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan Jakarta: Kencana Media Group.

Putri, K.D,& Najahi.(2013). Perbedaan Self Acceptance (Penerimaan Diri) Pada Anak

Panti Asuhan Ditinjau dari Segi Usia. Proceeding PESAT Vol. 05.

Rahma, A.N.(2011). Hubungan Efikasi Diri dan Dukungan Sosial Dengan Penyesuaian

Diri Remaja di Panti Asuhan. Jurnal Psikologi Islam (JPI). 8. 2. 231-246.

Ryan, R.M, Decy, E.L. (2001). On happiness and human potentials: a review of

research on hedonic and eudaimonic well-being. annurev.psych.52.1.141.

Ryff, C.D & Keyes, C.(1995). The Structure of Psychological Well Being Revisited

Journal of Personality and Social Psychology, (online) vol.69, no.4, 719-727

diakses tanggal 17 maret

2016..http://thegrandnarrative.wordpress.com/2009/04/06/the-structure-of-

psychological-well-being-revisited- journal-of-personality-and-social-psychology.

Safitri, Kiswantomo, & Ratnawati. (t.t). Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well-

Being pada Remaja SOS desa Taruna Kinderdorf Bandung.

Santrock, J. W. (2003). Adolescence: Perkembangan Remaja. Terjemahan Shinto B.

Adelar. Jakarta: Erlangga.

Page 37: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

28

Sari, R. (2013). Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Penerimaan Diri Pada

Remaja Penderita HIV di Surakarta. Program Studi Psikologi Universitas Negri

Surabaya Vol. 01 No.03.

Sarwono,& Sarlito, W. (2010). Psikologi Remaja, Jakarta: Rajawali Press.

Sengendo, J. & Nambi, J. (1997). The psychological effect of orphan-hood: a study of

orphans in Rakai district. Health Transitions Review, 7,105-124.

Standart Nasional Pengasuhan Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak. (2011).

Diakses pada 21 Maret 2016. http://docplayer.info/338324-Standar-nasional-

pengasuhan-untuk-lembaga-kesejahteraan-sosial-anak.html.

Tsegaye, A. (2013). A Comparative Study of Psychological Wellbeing Between Orphan

and Non-Orphan Children in Addis Ababa : The Case of Three Selected School in

Yeka Sub-City. Thesis. Addis Ababa: School Of Psychology Clinical, Health, and

Counseling Ps ychology Program Unit.

Wahyuningrum, E., Tobing, M.A., (2013). Pengasuhan Pada Remaja Yang Tinggal di

Panti Asuhan. Prosiding Seminar Nasional Psikologi (SEMPSI). 21-28.

Page 38: PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA DARI

29