3. Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal Dan Informal
BAB II LANDASAN TEORI -...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI -...
4
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Konsep Efektivitas dan Evaluasi Program
Pemantauan dan evaluasi program sangat penting untuk menentukan
apakah suatu program bekerja dengan baik sesuai dengan tujuan yang
diharapkan, untuk membantu memperbaiki pelaksanaan program, dan
memberikan bukti untuk melanjutkan dukungan program. Evaluasi tidak hanya
akan memberikan umpan balik tentang efektivitas program tetapi juga akan
membantu untuk menentukan apakah program ini sesuai untuk populasi sasaran,
apakah ada masalah dengan implementasi dan dukungan, dan apakah ada suatu
permasalahan yang perlu diselesaikan selama program dilaksanakan. Suatu
program disebut efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran seperti yang
telah ditentukan. Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau
sasaran yang telah ditentukan di dalam setiap organisasi, kegiatan ataupun
program.
Terdapat banyak beberapa metode dalam menentukan efektivitas suatu
program, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Dengan cara kuantitatif,
dikenal metode Controlled Before-After Study. Metode ini merupakan desain
yang paling praktis untuk evaluasi program (Mayne, 2011). Pada dasarnya
metode ini membandingkan sebelum dan setelah program atau membandingkan,
atau dengan dan tanpa program, juga ditentukan faktor kontribusinya. Dalam
konteks penelitian ini, efektivitas dari program CFD dapat dihitung dengan
pendekatan rumus sederhana sebagai berikut (Persamaan 2.1):
(2.1)
Keterangan:
E = Effectivity
NCFDTAE = Non Car Free Day Total Air Emission
CFDTAE = Car Free Day Total Air Emission
5
2. Program CFD
Program CFD merupakan salah satu program untuk mengurangi dan
mengendalikan pencemaran udara. Program CFD pertama kali dilakukan di
negara Belanda dan Belgia dalam rangka mengurangi krisis energi pada 25
November 1956 hingga 20 Januari 1957. Pada 19 April 2001 program Earth
Car Free Day pertama kali diadakan dan serentak di seluruh penjuru dunia.
Lebih dari 300.000 organisasi dan kota di seluruh dunia ikut berpartisipasi
dalam kegiatan yang diadakan oleh The Commons WC/FD program and Earth
Day Network. Pada tanggal 29 September 2009, World Car Free Day dirayakan
di Washington, D.C. Kegiatan yang dilaksanakan di sana antara lain terdiri dari
reparasi kendaraan bermotor gratis, senam yoga dan kegiatan - kegiatan lain
yang dilakukan oleh berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat.
Tanggal 22 September ditetapkan sebagai perayaan CFD Internasional.
Isu mengurangi moda transportasi bermotor dimulai sejak krisis minyak tahun
1977. Tetapi baru pada tahun 1994 isu tersebut mulai digencarkan dan digagas
lebih serius. Pidato Eric Britton, Ilmuwan Politik dan Aktivis Lingkungan pada
Konferensi Internasional Asesibilitas Kota (International Ciudades
Accesibles Conference) di Toledo, Spanyol mengawali gerakan CFD. Baru pada
1995 terbentuklah forum nonformal Word Car free Day Consortium yang
mendukung gerakan CFD di seluruh dunia. Pertama kali hajatan ini digelar di
Inggris pada tahun 1997, selanjutnya di Perancis (1998) dan berkembang secara
masif di Eropa pada tahun-tahun berikutnya hingga pada tahun 2000 menjadi
gerakan global.
Di Indonesia, program CFD pertama kali dikenal dengan program Hari
Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB). Pelaksanaanya pertama kali dilaksanakan
di Jakarta pada tanggal 21 September 2004 di sepanjang ruas Jalan Sudirman -
Thamrin. Pada hari itu seluruh kendaraan bermotor dilarang melintas di jalan
yang telah ditentukan. HBKB bertujuan untuk mensosialisasikan kepada
masyarakat untuk menurunkan ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan
bermotor. Kegiatan tersebut biasanya didorong oleh aktivis yang bergerak
dalam bidang lingkungan dan transportasi. Gagasan utama yang dipromosikan
dalam gerakan CFD adalah mengembangkan transportasi massal, bersepeda dan
6
berjalan kaki. Dasar hukum pelaksanaan CFD diperkuat dengan beredarnya
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 426/296/SJ Tahun 2015 perihal
pelaksanaan Car Free Day dan penyediaan ruang terbuka olahraga.
Di kota Surakarta CFD pertama kali diadakan pada tanggal 30 Mei 2010,
yang dilaksanakan setiap hari Minggu pagi di Jalan Brigjen. Slamet Riyadi Kota
Surakarta mulai pukul 05.00 - 09.00 WIB. Selain bertujuan utama untuk
mengurangi emisi, CFD juga dimanfaatkan sebagai ruang publik untuk aktifitas
olah raga, edukasi, bermain, serta kesenian budaya.
3. Pencemaran Udara
a. Definisi Pencemaran Udara
Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang
mengelilingi bumi. Udara merupakan komponen penunjang kehidupan yang
sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia maupun makhluk hidup
lainnya seperti tumbuhan dan hewan (Nowak, et al., 2014). Tanpa makan
dan minum manusia bisa hidup untuk beberapa hari tetapi tanpa udara
manusia hanya dapat hidup untuk beberapa menit saja (Keuken, et al.,
2012). Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi,
dan komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga
mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara
ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Pencemaran udara pada suatu
tingkat tertentu dapat merupakan campuran dari satu atau lebih bahan
pencemar, baik berupa padatan, cairan, atau gas yang masuk terdispersi ke
udara dan kemudian menyebar ke lingkungan sekitarnya. Kecepatan
penyebaran ini tentu tergantung pada keadaan geografi dan metereologi
setempat (Tanaka, 2015). Kota Surakarta secara geografis berada pada
cekungan di antara dua gunung, yaitu Gunung Lawu dan Gunung Merapi
dan di bagian timur dan selatan dibatasi oleh Sungai Bengawan Solo,
kondisi seperti ini tidak menguntungkan jika dilihat dari sisi pencemaran
udara. Potensi pencemar udara yang masuk dari wilayah sekitar kota
Surakarta sangat besar.
Sebagian besar pencemar udara berasal gas buangan hasil
7
pembakaran bahan bakar fosil. Sumber polusi yang utama berasal dari
kendaraan bermotor. Sumber-sumber polusi lainnya misalnya proses
industri, pembuangan limbah dan lain-lain (Prathipa1, et al., 2015). Udara
di daerah perkotaan yang mempunyai banyak kegiatan industri dan
teknologi serta lalu lintas yang padat, udaranya relatif sudah tidak bersih
lagi. Dari beberapa macam komponen pencemar udara, angka yang paling
banyak berpengaruh dalam pencemaran udara adalah karbon monoksida
(CO), belerang oksida (SOx), nitrogen oksida (NOx), dan partikulat yang
dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Di Indonesia, pertumbuhan jumlah
kendaraan sangat besar (Tabel 2.2).
Tabel 2.1. Jumlah Kendaraan di Indonesia Tahun 2009 - 2013
Tahun Mobil Sepeda Motor
2009 7.910.407 52.767.093
2010 8.891.041 61.078.188
2011 9.548.866 68.839.341
2012 10.432.259 76.381.183
2013 11.484.514 84.732.652
(BPS, 2015)
b. Sumber Pencemar Udara
Bahan pencemar udara dapat dibagi atas dua kelompok
berdasarkan sumbernya dan berdasarkan dampak yang timbul sebagai
berikut :
1) Berdasarkan Sumber
a) Pencemar Primer
Pencemar primer yaitu semua pencemar yang berada di udara
dalam bentuk yang hampir tidak pernah berubah. Pencemar ini sifat
dan komposisi kimianya sama seperti saat ia dibebaskan dari
sumbernya sebagai hasil dari suatu proses tertentu. Pencemar primer
umumnya berasal dari sumber-sumber yang diakibatkan oleh aktifitas
manusia, antara lain yang diakibatkan pada proses pembakaran
batubara di Industri. Contoh untuk pencemar-pencemar primer antara
lain SOX yang dikeluarkan dari cerobong industri peleburan atau
pemurnian logam dan pada pusat-pusat penyulingan minyak. Contoh
lainnya adalah COX, NOX, CH4, yang merupakan bahan/gas buangan
8
dari industri yang menggunakan bahan bakar batu bara (Caiazzo, et
al., 2013).
b) Pencemar Sekunder
Pencemar sekunder yaitu pencemar yang di udara sudah
berubah sifat-sifat dan komposisinya karena hasil reaksi antara dua
kontaminan. Umumnya pencemar sekunder tersebut merupakan hasil
antara pencemar primer dengan kontaminan/polutan lain yang ada di
dalam udara. Reaksi-reaksi yang dimaksud adalah reaksi fotokimia
dan reaksi oksida katalitis. Pencemar sekunder yang terjadi melalui
reaksi fotokimia umumnya diwakili contohnya oleh pembentukan
ozon yang terjadi antara zat-zat hidrokarbon yang ada di udara dengan
NOx melalui sinar ultra violet yang dipancarkan matahari. Sebaliknya
pencemar sekunder yang terjadi melalui reaksi-reaksi oksida
katalitis diwakili oleh pencemar-pencemar berbentuk oksida-oksida
gas, yang terjadi karena adanya partikel-partikel logam di udara
sebagai katalisator. Contoh-contoh pencemar sekunder antara lain
Particulate Matter (PM), ozon dan senyawa-senyawa peroksida.
2) Berdasarkan Perkiraan Dampak yang Timbul
a) Sumber Titik
Sumber titik adalah sumber individu yang tidak bergerak. Suatu
sumber dikategorikan sebagai sumber titik apabila sumber tersebut
mengemisikan pencemar di atas ambang batas yang ditetapkan dalam
inventarisasi. Ambang batas tersebut bisa didasarkan pada potensi
emisinya, jenis sumber, atau toksisitas pencemar. Misalnya, ditetapkan
bahwa sumber yang mengemisikan pencemar udara kriteria sebesar 10
ton per tahun dikategorikan sebagai sumber titik. Tipikal sumber titik
adalah industri manufaktur atau pabrik produksi yang memiliki
cerobong. Di dalam suatu sumber titik, bisa terdapat beberapa unit
pembakaran/boiler atau beberapa unit proses. Untuk kota-kota sedang
dan kecil, sumber titik ini selain industri manufaktur dengan skala
besar, dapat pula mencakup insinerator di rumah sakit, boiler di hotel,
krematorium, dan industri-industri skala menengah dan kecil.
9
b) Sumber Area
Sumber area adalah sumber yang secara individu tidak memenuhi
kualifikasi sebagai sumber titik. Sumber area mewakili berbagai
kegiatan individu yang mengeluarkan sejumlah kecil pencemar,
namun secara kolektif kontribusi emisinya menjadi signifikan.
Misalnya, satu tungku pembakaran di industri rumah tangga di dalam
wilayah inventarisasi tidak memenuhi kualifikasi sebagai sumber titik,
namun secara kolektif emisi dari sejumlah fasilitas yang sama di
wilayah tersebut akan signifikan sehingga sejumlah fasilitas tersebut
harus diinventarisir sebagai sumber area. Yang termasuk sumber area
diantaranya adalah kegiatan memasak di rumah tangga, stasiun
pengisian bahan bakar umum, lokasi konstruksi, bengkel cat, terminal
bis, klenteng, dan sejenisnya.
c) Sumber Bergerak
Sumber bergerak terbagi menjadi dua, yaitu sumber bergerak di
jalan raya (on-road), seperti mobil, truk, bus, sepeda motor; dan bukan
di jalan raya (non-road) seperti pesawat terbang, kapal laut, kereta api,
peralatan pertanian dan konstruksi, dan mesin pemotong rumput.
Lebih lanjut, sumber bergerak on-road dan non-road juga dapat
diwakili oleh sumber bergerak garis dan sumber bergerak area.
Sumber bergerak garis adalah sumber bergerak yang emisinya secara
individu maupun kolektif membentuk garis sepanjang ruas jalan atau
jalur non-jalan di wilayah inventarisasi. Untuk mengetahui emisi
sumber bergerak garis, diperlukan data aktivitas kendaraan/moda
transportasi pada ruas atau jalur tersebut, misalnya volume kendaraan
per hari atau jarak tempuh kereta api per hari. Apabila data aktivitas
pada ruas jalan atau jalur non-jalan tidak diketahui, maka sumber
bergerak dikategorikan sebagai sumber bergerak area, yaitu bahwa
emisi kendaraan secara kolektif membentuk suatu area di wilayah
inventarisasi.
10
4. Emisi
a. Definisi Emisi Udara
Emisi udara adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang dihasilkan
dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkan ke dalam udara
ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur
pencemar (Permen LH, 2012).
b. Regulasi tentang Pencemaran Udara di indonesia
Regulasi mengenai lingkungan hidup di Indonesia berdasar pada
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam regulasi ini
pencemran lingkungan hidup didefinisikan sebagai masuk atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke
dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku
mutu lingkungan yang telah ditetapkan (pasal 1).
Pencemaran udara secara khusus diregulasikan dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara. Regulasi tersebut mendeskripsikan
pencemaran udara sebagai masuk atau dimasukkannya zat, energi dan/atau
komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga
mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya (pasal 1 poin 1). Pada pasal
yang sama di PPRI Pengendalian Pencemaran Udara dijelaskan pula
deskripsi emisi (poin 9). Emisi didefinisikan sebagai zat, energi dan/atau
komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau
dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak
mempunyai potensi sebagai unsur ambien.
Melalui regulasi PPRI Nomor 41 Tahun 1999 Pemerintah Indonesia
menegaskan arti penting udara dan pengelolaan bagi kehidupan manusia.
Untuk itu regulasi tersebut juga menegaskan adanya perlindungan atas mutu
udara ambien yang didasarkan pada baku mutu udara ambien, status mutu
udara ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang, baku
tingkat gangguan, ambang batas kebisingan dan Indeks Standar Pencemaran
11
Udara. Penyusunan baku mutu udara secara nasional dilakukan pemerintah
dan turut dicantumkan dalam PPRI Nomor 41 Tahun 1999 sebagai perisai
utama terhadap potensi pencemaran udara. Secara khusus setiap daerah
diberikan arahan untuk menyusun baku mutunya masing-masing dengan
berdasar pada pertimbangan status mutu udara ambien di daerah masing-
masing. Baku mutu yang diregulasikan pemerintah berupa baku mutu untuk
udara ambien. Baku mutu udara ambien nasional ditetapkan sebagai
batas maksimum kualitas udara ambien nasional yang diperbolehkan untuk
seluruh kawasan Indonesia. Arah dan tujuan penetapan baku mutu ini
adalah mencegah pencemaran uadara dalam rangka pengendalian
pencemaran udara nasional. Penetapan baku mutu udara ambien nasional
melibatkan beragam instansi terkait dan mempertimbangkan standar-standar
internasional.
Status mutu udara ambien daerah adalah mutu udara ambien yang
menggambarkan kualitas udara ambien di suatu lokasi pada waktu tertentu.
Penetapan status mutu udara ambien daerah adalah dengan
mempertimbangkan kondisi-kondisi teknis tertentu saat pengambilan
sampel udara ambien. Penetapan status mutu udara ambien daerah akan
ditentukan oleh kegiatan-kegiatan di bawah ini sesuai dengan Penjelasan
PPRI Nomor 41 Tahun 1999: (1) Inventarisasi data-data indeks standar
pencemaran udara dan ataudata-data kualitas udara ambien daerah; (2)
Inventarisasi sumber-sumber pencemar dan potensinya, dan (3)
Inventarisasi kondisi atmosfer daerah. Indonesia secara khusus di daerah,
mayoritas belum mengenal konsep inventarisasi emisi. Penyebabnya karena
selama ini penentuan status mutu dan penilaiannya masih didasarkan pada
kondisi udara ambien mengikuti baku mutu yang ada secara nasional. Jika
mengikuti regulasi PPRI Nomor 41 Tahun 1999, maka setiap daerah
sebenarnya memiliki kewajiban melakukan inventarisasi emisi untuk
menyusun status mutu udara ambiennya sendiri sesuai karakter wilayahnya.
Secara umum, Indonesia belum meregulasikan baku mutu secara spesifik
dari seluruh kegiatan yang berpotensi menimbulkan emisi. Mayoritas
sumber emisi spesifik masih menggunakan patokan baku mutu udara
12
ambien nasional maupun daerah apabila telah ada sebagai pertimbangan
penentuan status mutunya. Pemerintah Kota Surakarta, secara khusus telah
mengeluarkan regulasi khusus untuk mencegah dan mengendalikan
pencemaran udara yang tercantum dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun
2006 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup. Menurut Perda tersebut,
kegiatan pengendalian pencemaran lingkungan meliputi pencegahan,
penanggulangan, dan pemulihan, sedangkan ruang lingkup kegiatan
pengendalian lingkungan hidup dilakukan secara terpadu meliputi
pencemaran air permukaan, pencemaran tanah dan air tanah, pencemaran
udara, dan limbah padat.
Kegiatan pencegahan pencemaran udara menurut Perda No. 2 Tahun
2006 ini meliputi penentuan status mutu udara, penyusunan data
meteorologis dan geografis yang diperlukan dalam rangka pengendalian
pencemaran udara, inventarisasi sumber-sumber pencemaran, penetapan
baku mutu emisi, baku kebisingan, dan baku kebauan, penetapan
ketatalaksanaan perijinan pembuangan limbah berwujud gas dan atau
partikulat, penetapan persyaratan ijin termasuk persyaratan mengenai
cerobong saluran pembuangan emisi ke udara, pengawasan ketaatan,
penetapan sasaran dan program kerja pengendalian pencemaran udara.
Melalui Perda No. 2 Tahun 2006 ini diharapkan kualitas udara di Kota
Surakarta dapat dicegah dari pencemaran udara.
c. Inventarisasi Emisi
Inventarisasi Emisi (Emission Inventory) adalah pencatatan secara
komprehensif tentang jumlah pencemar udara dari sumber – sumber
pencemar udara dalam suatu wilayah dan periode waktu tertentu. Dalam
bahasa yang sederhana, inventarisasi emisi adalah menentukan sumber –
sumber pencemar udara, apa yang keluar dari sumber pencemar udara
tersebut dan berapa banyak jumlahnya (Kementerian Lingkungan Hidup RI,
2013). Pendekatan dalam Inventarisasi Emisi secara umum dibagi menjadi 2
(dua), yakni pendekatan Top - Down dan Bottom - Up. Pendekatan Top –
Down dilakukan apabila terdapat keterbatasan operasional baik berupa tidak
adanya personel surveyor maupun keterbatasan pembiayaan dalam
13
pelaksanaan inventarisasi, sehingga dalam pendekatan ini lebih banyak
digunakan data sekunder. Pendekatan Bottom – Up mengutamakan
pengumpulan data primer.
d. Faktor Emisi
Faktor emisi didefinisikan sebagai nilai yang menunjukan jumlah
polutan yang dikeluarkan ke udara yang bersumber dari kegiatan
pembakaran. Setiap jenis kendaraan bermotor menghasilkan emisi yang
berbeda-beda sesuai dengan jenis mesin dan konsumsi bahan bakar yang
digunakan. COx, NOx, SOx dan gas-gas serta pertikulat adalah beberapa
contoh emisi yang dihasilkan oleh berbagai jenis kendaraan bermotor. CO
dihasilkan dari reaksi atom karbon dengan oksigen. Gas CO dihasilkan pada
proses pembakaran tidak sempurna di mana perbandingan udara dengan
bahan bakar tidak seimbang. Udara yang diambil untuk proses pembakaran
terdiri dari 20% O2, 79% N2 dan sisanya berupa gas-gas lainnya. Gas
Nitrogen (N2) merupakan udara pengencer yang tidak ikut dalam proses
pembakaran. Gas N2 bereaksi sendiri membentuk gas NOx (Boedisantoso,
2002). Jumlah emisi CH4, NOx, dan COx berbeda-beda untuk tiap jenis
kendaraan dan juga ditentukan dari bahan bakar yang digunakan.
Faktor emisi menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2013) adalah
suatu rasio yang menghubungkan emisi suatu pencemar dengan suatu
tingkat aktivitas yang dapat diukur, misalnya jumlah materi yang diproses
atau jumlah bahan bakar yang digunakan. Sebagai contoh, pembakaran 1
kiloliter minyak bakar pada tungku di pembangkit listrik akan menghasilkan
1,84 kilogram PM10, dan ini berarti faktor emisi PM10 untuk fasilitas
tersebut adalah 1,84 kg/kL. Apabila faktor emisi dan tingkat aktivitas
diketahui, maka perkalian antara keduanya akan menghasilkan beban emisi.
Faktor-faktor emisi umumnya ditentukan dari data pengukuran pada satu
atau beberapa fasilitas di dalam suatu kategori industri, sehingga faktor
emisi tersebut mewakili nilai yang sejenis untuk suatu industri tetapi tidak
berarti mewakili apa yang sesungguhnya terjadi pada suatu sumber tertentu.
Faktor emisi yang telah dipublikasikan telah tersedia. Faktor emisi
memungkinkan perkiraan beban emisi dari beberapa kategori sumber atau
14
sumber-sumber individu. Untuk menghitung beban emisi dengan
menggunakan faktor emisi, diperlukan 3 data masukan; yaitu informasi
aktivitas, faktor emisi, dan informasi tentang efisiensi peralatan pengendali
emisi (apabila menggunakan faktor emisi yang tidak mempertimbangkan
efisiensi peralatan pengendali). Persamaan dasar perhitungan emisi adalah
(Persamaan 2.2.):
E = AR x EF (2.2)
dimana:
E = Emisi
AR = tingkat aktivitas (misalnya, jumlah materi yang diproses)
EF = faktor emisi, dengan asumsi tanpa pengendalian
Emisi sumber area umumnya sulit dihitung melalui pengukuran
aktivitas secara langsung. Dalam hal ini, digunakan faktor emisi yang
didasarkan pada variabel penentu yang dapat dikaitkan dengan emisi,
misalnya penduduk atau tenaga kerja di dalam industri. Untuk saat ini,
Indonesia belum memiliki dokumen/publikasi yang memuat faktor-faktor
emisi yang berlaku nasional. Beberapa publikasi di luar negeri yang memuat
referensi faktor-faktor emisi untuk berbagai fasilitas dan kategori industri
berdasarkan tingkat aktivitas di negara dimana faktor emisi tersebut disusun
dalam berbagai dokumen, salah satu contohnya adalah EMEP/EEA air
pollutant emission inventory guidebook.
5. Pengelolaan Kualitas Udara
Pengelolaan kualitas udara adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk
menciptakan dan memelihara udara bersih untuk melindungi kesehatan manusia
dan memberikan perlindungan bagi ekosistem. Kegiatan-kegiatan pengelolaan
meliputi: penetapan baku mutu, pemantauan kualitas udara ambien, penyusunan
perijinan, penegakan hukum, dan penetapan insentif ekonomi untuk mengurangi
pencemaran udara. Pengelolaan kualitas udara melalui kebijakan dan peraturan
perundangan menjabarkan tugas dan tanggung jawab serta hubungan antar
institusi pemerintah di tingkat pusat dan daerah. Kebijakan pemerintah adalah
landasan bagi pengelolaan kualitas udara. Tanpa kebijakan dan peraturan
15
perundangan yang tepat dan memadai, akan sulit memelihara program
pengelolaan kualitas udara yang baik. Strategi pengelolaan kualitas udara
adalah serangkaian cara atau rencana tindak untuk melaksanakan kebijakan dan
peraturan perundangan pengelolaan kualitas udara.
16
B. Penelitian yang Relevan
Tabel 2.2. Penelitian yang Relevan
No Nama
Peneliti Tahun
Lokasi
Penelitian Jenis Judul Penelitian Hasil Penelitian
1 Kanaf dan
Razif, M.
2010 Surabaya Skripsi Efisiensi Program Car Free Day
terhadap Penurunan Emisi Karbon
Penelitian ini menggunakan metode pengukuran
emisi. Dengan adanya program CFD di Jalan Raya
Kertajaya Surabaya terbukti berhasil mereduksi
emisi CO2 sebesar 21,56%.
2 Rini,
F.W.C.
2012 Jakarta Tesis Kajian Pemanfaatan Ruang Jalan sebagai
Ruang Terbuka Publik dengan Studi
Kasus: Car Free Day di Koridor Jalan
M.H. Thamrin – Jenderal Sudirman di
Jakarta
Car Free Day jalan M. H. Thamrin Jakarta
dapat memperbaiki segi fisik, sosial, ekologis
maupun ekonomi dengan indikator terpenuhinya
elemen comfort, relaxation, passive engagement,
active engagement, dan discovery.
3 Arwini,
N.P.D.
2014 Denpasar Tesis Analisis Dampak Pelaksanaan Car Free
Day di Kota Denpasar (Studi Kasus:
Jalan Raya Puputan Niti Mandala Renon
Denpasar)
Pengukuran terhadap tingkat pencemaran udara di
Kota Denpasar memperlihatkan bahwa dari 6
parameter yang diujikan secara keseluruhan masih
berada dibawah baku mutu yang diijinkan dengan
kategori baik dan sedang. Sulfur dioksida (SO2)
menunjukkan peningkatan sebesar 6,87%. Nitrogen
dioksida (NO2) menunjukkan peningkatan sebesar
17
No Nama
Peneliti Tahun
Lokasi
Penelitian Jenis Judul Penelitian Hasil Penelitian
36,35%, Karbon monoksida (CO) menunjukkan
peningkatan sebesar 366,25%, debu total (PM)
mengalami peningkatan terbesar yaitu 599,95%,
sedangkan untuk oksidan menunjukkan peningkatan
sebesar 28,57%. Kebisingan yang terjadi pada saat
pelaksanaan Car Free Day menunjukkan angka
rata-rata 61,65 dB(A) sedangkan tingkat kebisingan
rata-rata pada hari kerja menunjukkan angka 72,77
dB(A). Peningkatan kebisingan yang terjadi antara
dilaksanakannya program Car Free Day dengan
hari biasa adalah sebesar 19,17%.
4 Saputra, I.,
dan
Sutriadi, R.
2014 Bandung Tesis Analisis Car Free Days Berdasarkan
Persepsi Pengunjung dalam Konteks
Perubahan Perilaku Penggunaan
Kendaraan Pribadi. Studi Kasus: Car
Free Days Jalan Ir. H.Juanda (Dago)
Dilihat dari penilaian pengunjung terhadap Car Free
Days dalam mengubah perilaku penggunaan
kendaran pribadi, lebih dari setengah
pengunjung menyatakan bahwa Car Free Days
tidak dapat mengubah perilaku dalam penggunaan
kendaraan pribadi, mayoritas pengunjung masih
menggunakan kendaraan pribadi (Mobil dan Motor)
18
No Nama
Peneliti Tahun
Lokasi
Penelitian Jenis Judul Penelitian Hasil Penelitian
untuk berkunjung ke Car Free Days juga
memperkuat belum dapatnya Car Free Days
mengubah perilaku penggunaan kendaraan pribadi
secara optimal, selain itu hasil observasi
menunjukkan bahwa banyak terjadi kemacetan
dititik-titik jalan sekitar area Car Free Days pada
saat berlangsungnya Car Free Days dan bahkan
terjadi kemacetan yang sangat panjang sesaat
setelah selesainya acara Car Free Days karena
besarnya bangkitan kendaraan pada waktu yang
bersamaan.
19
C. Kerangka Berpikir
Gambar 2.1. Diagram alir kerangka berpikir
D. Hipotesis
1. Terdapat perbedaan jumlah asumsi emisi udara total yang dihasilkan dari
kegiatan di sepanjang Jalan Brigjen. Slamet Riyadi dan Jalan Diponegoro Kota
Surakarta masing – masing pada saat NCFD dan pada saat CFD.
2. Program Car Free Day di Jalan Brigjen. Slamet Riyadi dan Jalan Diponegoro
Kota Surakarta Surakarta tidak efektif dalam menurunkan emisi udara.
Dihitung, dibandingkan, serta
dianalisis Asumsi Emisinya sehingga diperoleh efektivitas
dari program CFD
Kendaraan Bermotor
Hasil penelitian terdahulu
membuktikan program CFD
efektif menurunkan emisi pada
beberapa parameter emisi
Penelitian terdahulu
menggunakan metode
pengukuran emisi dan udara
ambien pada jalur utama CFD
Kategori sumber emisi:
1. Street Food Vendor
2. Non Road Machinery 3. Parking
Parameter emisi:
NOX, NMVOC, PM10, CO, CO2, SOX, dan TSP
Saat NCFD Saat CFD
Emisi udara
Bersifat toksik, berbahaya bagi
kesehatan manusia
Program CFD
Perlu dilakukan penelitian
mengenai emisi udara di
jalur utama CFD ditambah
jalur - jalur pendukungnya
menggunakan metode
perhitungan inventarisasi
emisi dengan pendekatan
bottom-up
Diperlukan upaya pengendalian
emisi udara
Evaluasi Program CFD